Pandemi COVID-19 telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan di
berbagai macam aspek kehidupan, seperti aspek sosial, budaya, ekonomi, kesehatan dan lainnya. Pengaruh dari situasi ini tentu memiliki dampak positif dan negatif, namun jika dilihat secara keseluruhan mengenai dampak negetif dari situasi ini sangat berkaitan antara aspek satu dengan lainnya. Jika berbicara mengenai beberapa masalah pada aspek sosial, budaya, dan ekonomi tentu sangat berkaitan dengan pengaruh kesehatan terutama kesehatan mental. Kesehatan bukan hanya dilihat dari segi fisik saja, namun sehat dapat tercapai jika ada keseimbangan antara kesehatan jasmani dan rohani seperti kata Mens Sana in Corpore Sano, “dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Semakin kesini banyak orang yang menyadari mengenai ketidaksetaraan kesehatan mental di dunia. Seakan-akan untuk memelihara kesehatan mental pun menjadi sebuah diskriminasi sosial pada masa yang sangat krusial ini, karena biaya pemeliharaan kesehatan mental dinilai cukup sulit diraih oleh masyarakat menengan kebawah hingga menengah. Sedangkan cara mereka memelihara kesehatan mental dengan sederhana pada umumnya seperti berkumpul dengan teman-teman itu pun direnggut oleh pandemi ini. Melihat kondisi tersebut, beberapa organisasi besar dunia seperti WHO (World Health Organizer) dan WFMH (World Federation for Mental Health) mengangkat tema “Kesehatan Mental Dunia yang Tidak Setara atau “Mental Health in an Unequal World “ sebagai kampanye yang diharapkan agar masyarakat lebih peduli mengenai masalah kesehatan mental juga adanya dorongan dari orang yang lebih mengerti mengenai permasalahan ketidaksetaraan tersebut yang harapannya akan ditindak lanjuti oleh pihak yang memiliki wewenang. Perubahan yang terjadi pada aspek sosial seperti kegiatan belajar mengajar serta bekerja yang dilakukan secara daring atau lebih sering disebut dengan SFH (Study From Home) dan WFH (Work From Home). Hal ini sangat mempengaruhi kinerja serta cara belajar seorang individu yang dipaksa untuk harus beradaptasi dengan cepat dalam kondisi yang tak pernah diduga sebelumnya. Secara tidak langsung kegiatan belajar mengajar daring banyak membuat siswa mengalami depresi saat belajar dirumah, karena mereka beranggapan sulit untuk memahami materi yang dipaparkan serta banyaknya keluhan seperti sulitnya mendapatkan jaringan internet yang baik terutama untuk anak-anak yang tinggal di desa yang sulit jaringan internetnya. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu pun terbebani dengan tidak adanya gadget atau sulitnya membeli kuota internet. Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejauh ini tercatat kasus kematian yang diduga terkait dengan depresi anak yang diakibatkan pembelajaran jarak jauh. KPAI juga mencatat ada seorang siswa tingkat akhir SMA yang bersekolah di kabupaten Tangerang, dirawat di salah satu rumah sakit, hingga dirujuk ke RSJ Grojol.Dalam hal ini, bukan hanya perubahan saja yang dapat mempengaruhi hal tersebut namun kehilangan akan hal yang biasa mereka lakukan sebagai penghilang penat atau stress seperti bermain, jalan-jalan ke taman, ngumpul hanya untuk bercanda ria dengan teman-teman kini kian dibatasi sehingga banyak anak-anak yang mengalami tekanan mental. Selain dari lingkungan eksternal, anak-anak pun akan mendapatkan tekanan yang lebih besar jika mendapatkan orang tua yang toxic atau memiliki masalah keluarga. Dimana saat itu ia butuh ketenangan diluar, namun pergerakan diluar sedang dibatasi saat pandemi ini. Jika mengulik mengenai permasalahan keluarga biasanya didasari oleh permasalahan ekonomi yang berlangsung. Kepala keluarga yang kewajibannya menafkahi keluarga pun kebanyakan tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga karena terdampak oleh pandemi, seperti PHK besar besaran yang dilakukan oleh suatu perusahaan yang membuat mereka tidak memiliki penghasilan apapun. Masalah perekonomian ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental seorang individu. Seperti kasus yang muncul baru baru ini yakni suami bunuh istri lalu menggolok leher sendiri, yang dilatar belakangi masalah ekonomi. Kementrian Kesehatan (Kemenkes) mencatat selama pandemi covid-19 juni 2020 ada sebanyak 277 ribu kasus kesehatan jiwa di Indonesia. Jumlah kasus kesehatan jiwa ini mengalami peningkatan dibandingkan 2019 yang hanya 197 ribu orang. Angka yang mencapai lebih dari 100 ribu jiwa itu bukanlah jumlah yang kecil. Disini kita mengetahui bahwa dari awal sebelum terjadinya pelonjakan kasus mengenai kesehatan mental ini selama masa pandemi, kepeduian masyarakat di Indonesia masih sangat rendah. World Health Organizer (WHO) memberi penilaian sangat rendah terhadap kepedulian serta cara penanggulangan masalah kesehatan mental yang ada di Indonesia. Balik lagi ke pelonjakan kasus kesehatan jiwa ini, sudah ada solusi yang ditawarkan yakni berupa jasa konsultan melalui aplikasi Sehat Jiwa. Namun, jika dipikir-pikir kembali, konsultasi melalui aplikasi ini tidak akan berjalan dengan efektif. Alasan yang pertama yakni sulitnya untuk mencapai titik keterbukaan jika hanya bercerita atau berkonsultasi secara daring. Alasan lainnya, tidak semua masyarakat memiliki gadget bahkan masih banyak yang gaptek terutama masyarakat menengah kebawah. Melihat dari beberapa data yang ada mayoritas masyarakat yang mengalami gangguan mental adalah masyarakat menengah kebawah hingga masyarakat menengah. Untuk menjalani pengobatan di psikolog atau psikiater tentunya membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Terlihat jelas disini tentang ketidaksetaraan kesehatan mental, seperti mendiskriminasi golongan-golongan kecil. Banyak yang beranggapan bahwa masyarakat menengah kebawah tidak memiliki hak untuk dapat memelihara kesehatan mentalnya dan kurangnya perhatian oleh masyarakat sipil atau pemerintah. Ketidaksetaraan mengenai kesehatan mental sudah terjadi sejak dulu dan baru ditarik perhatiannya sekarang. Ini salah satu langkah yang baik untuk mengatasi ketidaksetaraan ini. Banyak hal yang bisa menggambarkan ketidaksetaraan ini, contoh yang paling sering dilihat saat pandemi ini yakni anak - anak orang kaya walaupun dirumah saja masih bisa tetap senang, makan-makanan yang bergizi, tidak perlu memikirkan besok mau makan apa, masih dapat mengeksplor diri, belajar dengan fasilitas yang memadai. Sedangkan anak-anak yang berada di keluarga yang kurang mampu belum sempat memikirkan masa depan, karena mereka masih memikirkan untuk hari esok ingin makan apa masalah pendidikan mereka pun banyak yang terbengkalai karena keterbatasan akan perekonomian yang membuat mereka tidak mempunyai fasilitas untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh. Pemerintah harusnya sadar dan tidak hanya memberikan bantuan sosial saja terhadap masyarakat menengah kebawah ini. Namun, sebaiknya pemerintah juga harus peduli terhadap kesehatan mental masyarakat tersebut dengan memberikan solusi seperti konsultasi dengan psikolog atau psikiater. Berbicara mengenai penanganan dari ketidaksetaraan kesehatan mental ini, yang berperan untuk menghentikan masalah ini bukan hanya masyarakat sipil atau pemerintah saja, namun harus didukung oleh setiap individu di dalam lingkup kemasyarakatan agar upaya penanganan masalah ini cepat terwujud. Percuma saja jika pemerintah telah menetapkan regulasi seperti penegakan HAM, pelarangan bullying dan lainnya namun, bila tidak ada dukungan dari masyarakat tentu hal ini akan menjadi sia-sia saja. Sebenarnya kita adalah pahlawan yang dapat membantu untuk mengatasi masalah mental orang disekitar kita, tidak perlu untuk menjadi psikolog atau psikiater terlebih dahulu. Walaupun kita tidak tahu cara mengatasi gangguan mental seseorang setidaknya kita bisa menjadi pahlawan untuk mencegah dari perbuatan yang dapat menganggu kesehatan mental seseorang secara umum kita berpedoman saja kepada ideologi kita yakni Pancasila. Seperti, menghargai pendapat orang lain, tidak membeda bedakan seseorang dari ras, suku, agama dan lainnya. Dengan demikian kita dapat menjadi pahlawan kesehatan mental untuk Indonesia hingga seluruh dunia. Terlebih pada era yang sangat mementingkan eksistensi diri melalui media sosial, kasus Perundungan terjadi dimana-mana. Saat pandemi bukan menutup kemungkinan tidak adanya perundungan namun lebih dari itu kasus perundungan semakin melonjak sehingga banyak sekali pengguna media sosial yang mengalami depresi ringan hingga depresi serius.Banyak sekali hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah terjadinya “mental break down” terhadap seseorang. Kebanyakan orang mengumbar kebahagiaan, kekayaan, kecantikan dan hal-hal baik lainnya di dalam media sosial, yang tentunya ini akan berdampak kepada beberapa individu yakni munculnya sikap tidak percaya diri atau yang sering kita sebut sekarang dengan “Insecure”. Sebenarnya masalah Insecure ini merupakan masalah pribadi yang ada di dalam diri sesorang yang hanya bisa di kontrol oleh dirinya sendiri, namun tidak menutup kemungkinan bahwa kita dapat membuat seseorang itu keluar dari ketidakpercayadirannya. Hal pertama yang harus kita lakukan dalam mencegah adanya “mental break down” yakni membangun kepedulian yang mendalam atau meningkatkan awareness atau kepedulian terhadap masalah kesehatan mental. Contoh kecil yang bisa kita lakukan adalah saling mendukung teman-teman atau sahabat terdekat kita. Berikan dukungan serta apresiasi terhadap perilaku atau kegiatan postif yang dilakukan teman kita. Jangan membuat circle pertemanan toxic yang dapat menjadi tekanan mental seseorang. Jika ada seseorang yang mengekspresikan dirinya melalui sosial media seperti bernyanyi, membuat kata- kata yang puitis, cukup kita lihat saja jika kita tidak bisa memberikan apresiasi dan jangan membuat itu menjadi bahan olokan atau bercandaan. Netizen di Indonesia dikenal yang sangat menakutkan karena kritikan yang pedas dan dapat membuat mental orang sangat tertekan. Dengan demikian suatu organisasi, badan, bahkan negara bisa menggunakan sosial media sebagai sarana untuk Campaign atau kampanye mengenai pentingnya meningkatkan kepedulian terhadap mental diri sendiri, orang terdekat, dan orang sekitarnya baik melalui sosial media atau media lainnya. Orang yang memiliki gangguan kesehatan fisik juga biasanya memiliki gangguan mental atau psikologis contohnya orang yang cacat atau disabilitas, merasa dirinya berbeda. Ia cenderung sulit membuka diri atau beradaptasi dengan lingkungan, karena munculnya ketakutan akan dikucilkan, dibedakan, jadi bahan ejekan dan lainnya. Tentu jika kita menemui orang seperti ini, kita bisa membantu ia untuk berfikir positif bahwa masih banyak orang baik yang dapat berteman dengannya dan membuat ia tetap semangat untuk bekarya dalam hidupnya. Cara- cara sederhana yang dapat kita lakukan yakni tidak mendiskriminasinya, bisa menjadi teman untuknya, memberikan dukungan serta jika melihat adanya diskriminasi yang dilakukan orang lain tentu kita harus mencegah dan melindungi korban perundungan tersebut. Seperti yang kita ketahui dampak dari perundungan ini sangatlah fatal, mulai dari depresi ringan hingga berat sampai-sampai hilangnya harapan seseorang untuk hidup dan berkarya. Kesehatan mental itu kompleks. Penentu kesehatan mental banyak, sebagian besar bersifat sosial, bukan medis. Namun, banyak hal yang dapat kita lakukan untuk mencegah terjadinya “Mental Break Down” tersebut, tetapi jika telah terjadi gangguan terhadap kesehaan mental ini, kita perlu menyiapkan cara untuk mengatasinya. Untuk membuat kesetaraan, agar tidak hanya masyarakat menengah keatas yang dapat memelihara kesehatan mentalnya dengan membayar psikiater atau psikolog yang mahal, pemerintah telah membuat layanan kesehatan mental di Puskesmas. Beberapa pusat kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) telah memberikan fasilitas untuk berkonsultasi dengan seorang psikolog. Ini merupakan langkah yang sangat baik, karena masyarakat menengah kebawah hingga menengah dapat tetap berkonsultasi dengan seorang psikolog tanpa harus memikirkan tarif harga yang mahal karena di Puskesmas, fasilitas ini hanya ditarif dengan harga dua ribu rupiah saja. Harapan kedepannya agar layanan ini dapat disebarluaskan terhadap semua puskesmas yang ada di wilayah Indonesia dengan terus meningkatkan kualitas pelayanannya serta memberikan sosialisasi kepada masyarakat untuk meingkatkan kepdeulian mengenai kesehatan mentalnya. Sehingga terwujudlah kesetaraan kesehatan mental masyarakan di Indonesia dan tentu kita menjadi seorarang pahlawan untuk diri sendiri, orang lain, negara dan dunia. DAFTAR PUSTAKA
Gabriel. 2021. “Mental Health In Unequal World”, https://wfmh.global/2021-
world-mental-health-global-awareness-campaign-world-mental-health- day-theme/ , diakses pada 29 September 2021 pukul 01.32. Kristiadi, Adi. 2021. “Himpitan Ekonomi Suami Bunuh Istri Lalu Bunuh Diri”, https://mediaindonesia.com/nusantara/431415/himpitan-ekonomi-suami- bunuh-istri-lalu-bunuh-diri , diakses pada 29 September 2021 pukul 01.54. Kumparan. 2018. “Konsultasi dengan Psikolog kini Bisa Dilakukan di Puskesmas”, https://kumparan.com/kumparanmom/konsultasi-dengan- psikolog-kini-bisa-dilakukan-di-puskesmas-1535972443199806641/full , diakses pada 29 September 2021 pukul 02.13. Pinvold, Vanessha. 2021. “The Unequal Mental Health toll of The Pandemic”, https://www.health.org.uk/news-and-comment/blogs/the-unequal-mental- health-toll-of-the-pandemic , diakses pada 29 September 2021 pukul 01.47. Pranita, Ellyvon. 2021. “Ahli Sebut Kasus Bunuh Diri di Indonesia Bagaikan fenomena Gunung Es”, https://www.kompas.com/sains/read/2021/09/12/130500523/ahli-sebut- kasus-bunuh-diri-di-indonesia-bagaikan-fenomena-gunung-es?page=all , diakses pada 29 September 2021 pukul 02.17. Wijaya, Callistasi. 2021. “Stress, mudah marah, hingga dugaan bunuh diri’, persoalan mental murid selama sekolah dari rumah”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55992502 , diakses pada 29 September 2021 pukul 02.36.