Anda di halaman 1dari 5

KITA SEMUA BISA JADI PAHLAWAN INDONESIA

Mishell

Pandemi COVID-19 telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan di


berbagai macam aspek kehidupan, seperti aspek sosial, budaya, ekonomi, kesehatan
dan lainnya. Pengaruh dari situasi ini tentu memiliki dampak positif dan negatif,
namun jika dilihat secara keseluruhan mengenai dampak negetif dari situasi ini
sangat berkaitan antara aspek satu dengan lainnya. Jika berbicara mengenai
beberapa masalah pada aspek sosial, budaya, dan ekonomi tentu sangat berkaitan
dengan pengaruh kesehatan terutama kesehatan mental. Kesehatan bukan hanya
dilihat dari segi fisik saja, namun sehat dapat tercapai jika ada keseimbangan antara
kesehatan jasmani dan rohani seperti kata Mens Sana in Corpore Sano, “dalam
tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Semakin kesini banyak orang yang
menyadari mengenai ketidaksetaraan kesehatan mental di dunia. Seakan-akan
untuk memelihara kesehatan mental pun menjadi sebuah diskriminasi sosial pada
masa yang sangat krusial ini, karena biaya pemeliharaan kesehatan mental dinilai
cukup sulit diraih oleh masyarakat menengan kebawah hingga menengah.
Sedangkan cara mereka memelihara kesehatan mental dengan sederhana pada
umumnya seperti berkumpul dengan teman-teman itu pun direnggut oleh pandemi
ini. Melihat kondisi tersebut, beberapa organisasi besar dunia seperti WHO (World
Health Organizer) dan WFMH (World Federation for Mental Health) mengangkat
tema “Kesehatan Mental Dunia yang Tidak Setara atau “Mental Health in an
Unequal World “ sebagai kampanye yang diharapkan agar masyarakat lebih peduli
mengenai masalah kesehatan mental juga adanya dorongan dari orang yang lebih
mengerti mengenai permasalahan ketidaksetaraan tersebut yang harapannya akan
ditindak lanjuti oleh pihak yang memiliki wewenang.
Perubahan yang terjadi pada aspek sosial seperti kegiatan belajar mengajar
serta bekerja yang dilakukan secara daring atau lebih sering disebut dengan SFH
(Study From Home) dan WFH (Work From Home). Hal ini sangat mempengaruhi
kinerja serta cara belajar seorang individu yang dipaksa untuk harus beradaptasi
dengan cepat dalam kondisi yang tak pernah diduga sebelumnya. Secara tidak
langsung kegiatan belajar mengajar daring banyak membuat siswa mengalami
depresi saat belajar dirumah, karena mereka beranggapan sulit untuk memahami
materi yang dipaparkan serta banyaknya keluhan seperti sulitnya mendapatkan
jaringan internet yang baik terutama untuk anak-anak yang tinggal di desa yang
sulit jaringan internetnya. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang
mampu pun terbebani dengan tidak adanya gadget atau sulitnya membeli kuota
internet. Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejauh ini
tercatat kasus kematian yang diduga terkait dengan depresi anak yang diakibatkan
pembelajaran jarak jauh. KPAI juga mencatat ada seorang siswa tingkat akhir SMA
yang bersekolah di kabupaten Tangerang, dirawat di salah satu rumah sakit, hingga
dirujuk ke RSJ Grojol.Dalam hal ini, bukan hanya perubahan saja yang dapat
mempengaruhi hal tersebut namun kehilangan akan hal yang biasa mereka lakukan
sebagai penghilang penat atau stress seperti bermain, jalan-jalan ke taman, ngumpul
hanya untuk bercanda ria dengan teman-teman kini kian dibatasi sehingga banyak
anak-anak yang mengalami tekanan mental.
Selain dari lingkungan eksternal, anak-anak pun akan mendapatkan tekanan
yang lebih besar jika mendapatkan orang tua yang toxic atau memiliki masalah
keluarga. Dimana saat itu ia butuh ketenangan diluar, namun pergerakan diluar
sedang dibatasi saat pandemi ini. Jika mengulik mengenai permasalahan keluarga
biasanya didasari oleh permasalahan ekonomi yang berlangsung. Kepala keluarga
yang kewajibannya menafkahi keluarga pun kebanyakan tidak dapat memenuhi
kebutuhan keluarga karena terdampak oleh pandemi, seperti PHK besar besaran
yang dilakukan oleh suatu perusahaan yang membuat mereka tidak memiliki
penghasilan apapun. Masalah perekonomian ini tentunya sangat berpengaruh
terhadap kesehatan mental seorang individu. Seperti kasus yang muncul baru baru
ini yakni suami bunuh istri lalu menggolok leher sendiri, yang dilatar belakangi
masalah ekonomi.
Kementrian Kesehatan (Kemenkes) mencatat selama pandemi covid-19 juni
2020 ada sebanyak 277 ribu kasus kesehatan jiwa di Indonesia. Jumlah kasus
kesehatan jiwa ini mengalami peningkatan dibandingkan 2019 yang hanya 197 ribu
orang. Angka yang mencapai lebih dari 100 ribu jiwa itu bukanlah jumlah yang
kecil. Disini kita mengetahui bahwa dari awal sebelum terjadinya pelonjakan kasus
mengenai kesehatan mental ini selama masa pandemi, kepeduian masyarakat di
Indonesia masih sangat rendah. World Health Organizer (WHO) memberi
penilaian sangat rendah terhadap kepedulian serta cara penanggulangan masalah
kesehatan mental yang ada di Indonesia. Balik lagi ke pelonjakan kasus kesehatan
jiwa ini, sudah ada solusi yang ditawarkan yakni berupa jasa konsultan melalui
aplikasi Sehat Jiwa. Namun, jika dipikir-pikir kembali, konsultasi melalui aplikasi
ini tidak akan berjalan dengan efektif. Alasan yang pertama yakni sulitnya untuk
mencapai titik keterbukaan jika hanya bercerita atau berkonsultasi secara daring.
Alasan lainnya, tidak semua masyarakat memiliki gadget bahkan masih banyak
yang gaptek terutama masyarakat menengah kebawah. Melihat dari beberapa data
yang ada mayoritas masyarakat yang mengalami gangguan mental adalah
masyarakat menengah kebawah hingga masyarakat menengah. Untuk menjalani
pengobatan di psikolog atau psikiater tentunya membutuhkan biaya yang cukup
tinggi. Terlihat jelas disini tentang ketidaksetaraan kesehatan mental, seperti
mendiskriminasi golongan-golongan kecil. Banyak yang beranggapan bahwa
masyarakat menengah kebawah tidak memiliki hak untuk dapat memelihara
kesehatan mentalnya dan kurangnya perhatian oleh masyarakat sipil atau
pemerintah.
Ketidaksetaraan mengenai kesehatan mental sudah terjadi sejak dulu dan
baru ditarik perhatiannya sekarang. Ini salah satu langkah yang baik untuk
mengatasi ketidaksetaraan ini. Banyak hal yang bisa menggambarkan
ketidaksetaraan ini, contoh yang paling sering dilihat saat pandemi ini yakni anak -
anak orang kaya walaupun dirumah saja masih bisa tetap senang, makan-makanan
yang bergizi, tidak perlu memikirkan besok mau makan apa, masih dapat
mengeksplor diri, belajar dengan fasilitas yang memadai. Sedangkan anak-anak
yang berada di keluarga yang kurang mampu belum sempat memikirkan masa
depan, karena mereka masih memikirkan untuk hari esok ingin makan apa masalah
pendidikan mereka pun banyak yang terbengkalai karena keterbatasan akan
perekonomian yang membuat mereka tidak mempunyai fasilitas untuk mengikuti
pembelajaran jarak jauh. Pemerintah harusnya sadar dan tidak hanya memberikan
bantuan sosial saja terhadap masyarakat menengah kebawah ini. Namun, sebaiknya
pemerintah juga harus peduli terhadap kesehatan mental masyarakat tersebut
dengan memberikan solusi seperti konsultasi dengan psikolog atau psikiater.
Berbicara mengenai penanganan dari ketidaksetaraan kesehatan mental ini,
yang berperan untuk menghentikan masalah ini bukan hanya masyarakat sipil atau
pemerintah saja, namun harus didukung oleh setiap individu di dalam lingkup
kemasyarakatan agar upaya penanganan masalah ini cepat terwujud. Percuma saja
jika pemerintah telah menetapkan regulasi seperti penegakan HAM, pelarangan
bullying dan lainnya namun, bila tidak ada dukungan dari masyarakat tentu hal ini
akan menjadi sia-sia saja. Sebenarnya kita adalah pahlawan yang dapat membantu
untuk mengatasi masalah mental orang disekitar kita, tidak perlu untuk menjadi
psikolog atau psikiater terlebih dahulu. Walaupun kita tidak tahu cara mengatasi
gangguan mental seseorang setidaknya kita bisa menjadi pahlawan untuk mencegah
dari perbuatan yang dapat menganggu kesehatan mental seseorang secara umum
kita berpedoman saja kepada ideologi kita yakni Pancasila. Seperti, menghargai
pendapat orang lain, tidak membeda bedakan seseorang dari ras, suku, agama dan
lainnya. Dengan demikian kita dapat menjadi pahlawan kesehatan mental untuk
Indonesia hingga seluruh dunia.
Terlebih pada era yang sangat mementingkan eksistensi diri melalui media
sosial, kasus Perundungan terjadi dimana-mana. Saat pandemi bukan menutup
kemungkinan tidak adanya perundungan namun lebih dari itu kasus perundungan
semakin melonjak sehingga banyak sekali pengguna media sosial yang mengalami
depresi ringan hingga depresi serius.Banyak sekali hal yang bisa kita lakukan untuk
mencegah terjadinya “mental break down” terhadap seseorang. Kebanyakan orang
mengumbar kebahagiaan, kekayaan, kecantikan dan hal-hal baik lainnya di dalam
media sosial, yang tentunya ini akan berdampak kepada beberapa individu yakni
munculnya sikap tidak percaya diri atau yang sering kita sebut sekarang dengan
“Insecure”. Sebenarnya masalah Insecure ini merupakan masalah pribadi yang ada
di dalam diri sesorang yang hanya bisa di kontrol oleh dirinya sendiri, namun tidak
menutup kemungkinan bahwa kita dapat membuat seseorang itu keluar dari
ketidakpercayadirannya. Hal pertama yang harus kita lakukan dalam mencegah
adanya “mental break down” yakni membangun kepedulian yang mendalam atau
meningkatkan awareness atau kepedulian terhadap masalah kesehatan mental.
Contoh kecil yang bisa kita lakukan adalah saling mendukung teman-teman atau
sahabat terdekat kita. Berikan dukungan serta apresiasi terhadap perilaku atau
kegiatan postif yang dilakukan teman kita. Jangan membuat circle pertemanan toxic
yang dapat menjadi tekanan mental seseorang. Jika ada seseorang yang
mengekspresikan dirinya melalui sosial media seperti bernyanyi, membuat kata-
kata yang puitis, cukup kita lihat saja jika kita tidak bisa memberikan apresiasi dan
jangan membuat itu menjadi bahan olokan atau bercandaan. Netizen di Indonesia
dikenal yang sangat menakutkan karena kritikan yang pedas dan dapat membuat
mental orang sangat tertekan. Dengan demikian suatu organisasi, badan, bahkan
negara bisa menggunakan sosial media sebagai sarana untuk Campaign atau
kampanye mengenai pentingnya meningkatkan kepedulian terhadap mental diri
sendiri, orang terdekat, dan orang sekitarnya baik melalui sosial media atau media
lainnya.
Orang yang memiliki gangguan kesehatan fisik juga biasanya memiliki
gangguan mental atau psikologis contohnya orang yang cacat atau disabilitas,
merasa dirinya berbeda. Ia cenderung sulit membuka diri atau beradaptasi dengan
lingkungan, karena munculnya ketakutan akan dikucilkan, dibedakan, jadi bahan
ejekan dan lainnya. Tentu jika kita menemui orang seperti ini, kita bisa membantu
ia untuk berfikir positif bahwa masih banyak orang baik yang dapat berteman
dengannya dan membuat ia tetap semangat untuk bekarya dalam hidupnya. Cara-
cara sederhana yang dapat kita lakukan yakni tidak mendiskriminasinya, bisa
menjadi teman untuknya, memberikan dukungan serta jika melihat adanya
diskriminasi yang dilakukan orang lain tentu kita harus mencegah dan melindungi
korban perundungan tersebut. Seperti yang kita ketahui dampak dari perundungan
ini sangatlah fatal, mulai dari depresi ringan hingga berat sampai-sampai hilangnya
harapan seseorang untuk hidup dan berkarya.
Kesehatan mental itu kompleks. Penentu kesehatan mental banyak,
sebagian besar bersifat sosial, bukan medis. Namun, banyak hal yang dapat kita
lakukan untuk mencegah terjadinya “Mental Break Down” tersebut, tetapi jika
telah terjadi gangguan terhadap kesehaan mental ini, kita perlu menyiapkan cara
untuk mengatasinya. Untuk membuat kesetaraan, agar tidak hanya masyarakat
menengah keatas yang dapat memelihara kesehatan mentalnya dengan membayar
psikiater atau psikolog yang mahal, pemerintah telah membuat layanan kesehatan
mental di Puskesmas. Beberapa pusat kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) telah
memberikan fasilitas untuk berkonsultasi dengan seorang psikolog. Ini merupakan
langkah yang sangat baik, karena masyarakat menengah kebawah hingga menengah
dapat tetap berkonsultasi dengan seorang psikolog tanpa harus memikirkan tarif
harga yang mahal karena di Puskesmas, fasilitas ini hanya ditarif dengan harga dua
ribu rupiah saja. Harapan kedepannya agar layanan ini dapat disebarluaskan
terhadap semua puskesmas yang ada di wilayah Indonesia dengan terus
meningkatkan kualitas pelayanannya serta memberikan sosialisasi kepada
masyarakat untuk meingkatkan kepdeulian mengenai kesehatan mentalnya.
Sehingga terwujudlah kesetaraan kesehatan mental masyarakan di Indonesia dan
tentu kita menjadi seorarang pahlawan untuk diri sendiri, orang lain, negara dan
dunia.
DAFTAR PUSTAKA

Gabriel. 2021. “Mental Health In Unequal World”, https://wfmh.global/2021-


world-mental-health-global-awareness-campaign-world-mental-health-
day-theme/ , diakses pada 29 September 2021 pukul 01.32.
Kristiadi, Adi. 2021. “Himpitan Ekonomi Suami Bunuh Istri Lalu Bunuh Diri”,
https://mediaindonesia.com/nusantara/431415/himpitan-ekonomi-suami-
bunuh-istri-lalu-bunuh-diri , diakses pada 29 September 2021 pukul 01.54.
Kumparan. 2018. “Konsultasi dengan Psikolog kini Bisa Dilakukan di
Puskesmas”, https://kumparan.com/kumparanmom/konsultasi-dengan-
psikolog-kini-bisa-dilakukan-di-puskesmas-1535972443199806641/full ,
diakses pada 29 September 2021 pukul 02.13.
Pinvold, Vanessha. 2021. “The Unequal Mental Health toll of The Pandemic”,
https://www.health.org.uk/news-and-comment/blogs/the-unequal-mental-
health-toll-of-the-pandemic , diakses pada 29 September 2021 pukul 01.47.
Pranita, Ellyvon. 2021. “Ahli Sebut Kasus Bunuh Diri di Indonesia Bagaikan
fenomena Gunung Es”,
https://www.kompas.com/sains/read/2021/09/12/130500523/ahli-sebut-
kasus-bunuh-diri-di-indonesia-bagaikan-fenomena-gunung-es?page=all ,
diakses pada 29 September 2021 pukul 02.17.
Wijaya, Callistasi. 2021. “Stress, mudah marah, hingga dugaan bunuh diri’,
persoalan mental murid selama sekolah dari rumah”,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55992502 , diakses pada 29
September 2021 pukul 02.36.

Anda mungkin juga menyukai