Anda di halaman 1dari 77

GLUKOMANNAN DARI ILES-ILES (Amorphophalus oncophylus)

SEBAGAI PENGIKAT AFLATOKSIN PADA


PAKAN AYAM BROILER

AGUS SUSANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi


berjudul Glukomannan dari Iles-Iles (Amorphophalus oncophylus) Sebagai
Pengikat Aflatoksin pada Pakan Ayam Broiler adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutib dari karya
yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Agus Susanto
D162090021
RINGKASAN

AGUS SUSANTO. Glukomannan dari Iles-Iles (Amorphophalus oncophylus)


sebagai Pengikat Aflatoksin pada Pakan Ayam Broiler. Dibimbing oleh ERIKA B.
LACONI, DEWI APRI ASTUTI dan SJAMSUL BAHRI.

Aflatoksin dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada ternak dan


manusia, sebab aflatoksin bersifat karsinogenik kelas I. Pengaruh aflatoksin antara
lain penurunan nafsu makan, pertumbuhan, performen ternak dan penekanan
sistem kekebalan tubuh. Glukomannan menunjukan kemampuan mengikat
aflatoksin. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengekstraksi glukomannan dari
umbi iles-iles (Amorphophallus oncophyllus) dan dilanjutkan pengujian fisika-
kimiawi pada glukomannan yeast product (GYP) dan glukomannan dari proses
ekstrak iles-iles (EI), 2) menguji kemampuan EI sebagai pengikat aflatoksin dan
teori pengikatan kimianya 3) melakukan kajian performa, gambaran hematologi,
berat organ visceral dan pengamatan makroskopik dan mikroskopik hati dan 4)
menentukan dosis EI untuk digunakan sebagai pengikat aflatoksin.
Metode pengujian fisika terdiri dari warna, tekstur, ukuran partikel dan
gross energi. Pengujian kimia terdiri dari uji proksimat, glukosa, mannosa, NDF
(Neutral Detergen Fiber), ADF (Acid Detergen Fiber), pH, Uji NIR (Near Infra
Red) dan FTIR (Fourier Transform Infra Red). Uji in vitro menggunakan cairan
gastointestinal 3% dalam larutan ringer dan aflatoksin (Biopure®) dengan
parameter yang diukur adalah persentase pengikatan aflatoksin. Uji in vivo
menggunakan ayam broiler yang dipelihara selama 35 hari dengan menggunakan
rancangan acak lengkap. Pengamatan pada uji in vivo terdiri dari performa (berat
badan akhir, konsumsi dan efisiensi pakan), hematologi, berat organ dalam (hati,
jantung, limpa dan ginjal) dan pengamatan makroskopik dan mikroskopik hati.
Hasil uji Fisika menunjukan bahwa tekstur dan gross energi GYP dan EI
tidak berbeda nyata (p<0.05.). Hasil uji proksimat menujukan bahwa kadar air,
abu, kadar protein kasar, lemak kasar dan serat kasar pada GYP berbeda nyata
(p<0.05) dengan EI. Kadar air, lemak kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen dan
karbohidrat dalam EI lebih tinggi daripada GYP tetapi kadar abu, protein kasar
dan mannan dalam EI lebih rendah dibanding GYP.
Kandungan glukomannan pada GYP dan EI dibuktikan berdasarkan pada
uji kimiawi dan spectrofotometer-Fourier Transform Infra- Red (FTIR). Secara uji
kimiawi GYP dan EI mengandung mannosa dan glukosa dengan perbandingan
1:1.2 dan 1:1.8 secara berturut-turut. Berdasarkan uji FTIR, GYP dan EI memiliki
bilangan gelombang yang sama yang menunjukan adanya polisakarida (1000 –
700 Cm-1) and ikatan β-1, 4 glucosidic and β-1,4 mannosidic (1300 – 1000 Cm-1).
Perbandingan spektrogram antara GYP dan EI menggunakan Near Infra
Red Reflectance Spectroscopy (NIRS) menunjukan bahwa GYP dan EI memiliki
spektrogram yang lebih mirip jika dibandingkan dengan spektrogram karbon aktif.
Spektrogram dari FTIR, GYP dan EI memiliki gugus aktif yang sama yakni O ̶ H,
C ̶ H2, C ̶ H, C ̶ H3, C ̶ O ̶ C dan ≡C ̶ H, tetapi ada gugus fungsional yang hanya
dimiliki GYP yakni C=O, sedangkan yang hanya dimiliki EI yakni gugus
fungsional N ̶ H (bengkok).
Interaksi GYP dan EI dengan aflatoksin menunjukan perubahan kimia
antara sebelum dan sesudah direaksikan dengan aflatoksin, dengan indikasi dalam
GYP berkurangnya bilangan gelombang untuk gugus fungsional C ̶ H (di luar
bidang), sedangkan dalam EI tidak tampak N ̶ H (regang) dan ditemukan gugus
fungsional baru yaitu C≡C dan C=O. Bilangan gelombang yang diserap OH
setelah berikatan dengan aflatoksin terjadi penurunan bilangan gelombang
(frekuensi), hal ini menunjukan terjadinya ikatan hidrogen. Berdasarkan uji
spektrogram dapat disimpulkan bahwa GYP dan EI mampu mengikat aflatoksin
dengan ikatan hidrogen.
Uji in vitro menggunakan aflatoksin, bahan pengikat (GYP dan EI), cairan
gastro intestinum ayam broiler 3 % dalam larutan ringer. Berat binder adalah
41.05; 82.1; 123.15 dan 164.2 mg dan berat aflatoksin 0.1642 µg di setiap tabung.
Hasil penelitian menunjukan persentase pengikatan aflatoksin meningkat sesuai
dengan bertambahnya berat bahan pengikat baik GYP maupun EI. Persentase
daya ikat aflatoksin GYP adalah 20.08; 21.31; 41.20; 46.34% dan EI adalah 4;
38.12; 40.16 dan 97.61% secara berturut turut. Persamaan regresi GYP adalah
Yp = -6.92 + 12.03x, sedangkan untuk EI adalah Ye = -31.53 + 21.07x.
Uji in vivo yang dilakukan pada ayam broiler berjumlah 63 ekor yang
dibagi sama menjadi 9 kelompok perlakuan yakni: pemberian dengan pakan basal
(kelompok 1), pemberian pakan yang terkontaminasi aflatoksin 50 μg/kg
(kelompok 2) dan pemberian pakan yang terkontaminasi 2 mg/kg (Kelompok 3).
Pemberian pakan yang terkontaminasi aflatoksin 50 μg/kg dan ditambah GYP 1
g/kg, EI 1 g/kg dan EI 2 g/kg secara berturut-turut pada kelompok 4, 5 dan 6.
Pemberian pakan yang terkontaminasi aflatoksin 2 mg/kg dan ditambah GYP 1
g/kg, EI 1 g/kg dan EI 2 g/kg secara berturut-turut pada kelompok 7, 8 dan 9.
Pengujian plasma darah meliputi penghitungan packed cell volume (PCV),
Hemoglobin (Hb) dan Mean Corpusculer Hemoglobin Cell (MCHC), diffrensial
sel darah putih dan glukosa sedangkan serum digunakan untuk pengujian kadar
titer antibodi terhadap ND. Kandungan Hemoglobin, nilai MCHC dan kadar gula
darah tidak berbeda nyata dari 9 kelompok perlakuan. Jumlah sel darah putih
neutrofil, limfosit dan eosinofil dari 9 perlakuan tidak berbeda nyata (p<0,05).
Titer antibodi terhadap ND paling tinggi ditemukan pada kelompok yang
mendapatkan pakan yang tidak terkontaminasi aflatoksin dan paling rendah pada
kelompok yang mendapat perlakuan pada pakannya ditambah aflatoksin 2 mg/kg.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah aflatoksin menyebabkan penurunan
efisiensi pakan, penurunan nilai Packed Cell Volume dan titer antibodi terhadap
New Castle Disease, perubahan warna hati dan mengalami peningkatan berat
relatif organ hati. Pengujian histopatologi menunjukan aflatoksin menyebabkan
organ hati pendarahan dan degenerasi lemak. Glucomannan Yeast Product dan
ekstrak iles-iles mampu mengurangi pengaruh negatif dari aflatoksin. Dosis
ekstrak iles-ilesI 1 g/kg pakan mampu melindungi ayam dari pengaruh negatif
aflatoksin cemaran aflatoksin 50 μg/kg dan 2 mg/kg yaitu penurunan berat akhir
ayam hidup, penurunan jumlah konsumsi pakan, penurunan efisiensi pakan,
anemia, peningkatan berat organ hati, perubahan makroskopis dan mikroskopis
dan penurunan titer antibodi terhadap New Catle Diseases pada cemaran aflatoxin
50 μg/kg, tetapi belum mampu meningkatkan titer antibodi terhadap New Castle
Diseases pada cemaran aflatoksin konsentrasi 2 mg/kg.

Kata kunci: aflatoksin, Amorphophallus oncophylus, ekstraksi, glukomannan


SUMMARY

AGUS SUSANTO, Glucomannan from Iles-Iles (Amorphophalus oncophylus) as


Aflatoxin Binder on Broiler Ration. Supervised by ERIKA B. LACONI, DEWI
APRI ASTUTI and SJAMSUL BAHRI.

Aflatoxin caused health disorders of animal and human, because aflatoxin


was carcinogenic level I. Adverse effects from consumption of feeds containing
aflatoxin include depressed appetite, reduced growth rate, decreased performance,
reduced reproductive function and suppressed immune function. Glucomannan are
shown to have binding potential for aflatoxin. The study has four main objectives
that include the following: (1) to extract glucomannan from Amorphophallus
oncophyllus and to analyze physic and chemical on glucomannan Yeast Product
(GYP) and glucomannan product of A. oncophyllus extraction (GPE), (2) to test
ability of binding aflatoxin (in vitro) and to determine theory of chemical bonding
and 3) to test in vivo GYP and GPE with parameter performance, hematological,
weight of visceral organ, microscopic and macroscopic of hepar and 4) to
determinate dosage GPE for binding aflatoxin in broiler.
Physic testings comprise of colour, texture, size of particel and gross
energy. Chemical analysis consist of proximate, glucose, mannose, NDF (Neutral
Detergen Fiber), ADF (Acid Detergen Fiber), pH, NIR (Near Infra Red) and
FTIR (Fourier Transform Infra Red). In vitro testing used broiler gastro-
intestinum fluid 3% in ringer lactat and aflatoxin (Biopure®). In vivo testing were
applied on broiler chickens which live for 35 days by completely random design.
Observation methode in the in vivo testing consist of performance ( weight of life
bird, consumtion and feed efficiency), hematological, macroscopic of hepar,
weight of visceral organ (hepar, cardiac, spleen and kidney) and microscopic of
hepar.
The Results of physic testing showed that texture and gross energy GPE
were not significant different (p<0.05) with GYP. Result of chemical analysis
showed that moisture, ash, crude protein and crude lipid GYP and GPE were
significant different (p<0.05), but crude fiber was not difference. Moisture, crude
lipid, nitrogen free extracts, carbohidrate and pH in GPE were higher than GYP
but ash, crude protein and mannan in GPE were lower than GYP.
Containing glucomannan in GPE and GYP were proven by chemical
analysis and spectroscopy testing. Chemically, GPE and GYP were contained
mannosa and glucose with ratio 1:1.8 and 1:1.2 respectively. Spectroscopically,
GPE and GYP have similar wavenumber especially polysacharide (1000 – 700
Cm-1) and β-1, 4 glucosidic and β-1,4 mannosidic binding (1300 – 1000 Cm-1).
Study spectroscopy used Near Infra Red Reflectance Spectroscopy (NIRS)
and Fourier Transform Infra Red (FTIR) Spectroscopy. Spectrogram of NIRS in
GPE were similar with GYP but were different of activated carbon. Based on
Spectrogram of FTIR, the GYP and GPE showed have similar functional groups
including O ̶ H, C ̶ H2, C ̶ H, C ̶ H3, C ̶ O ̶ C dan C ̶ H. Funtional group C=O was
only had by GYP and N ̶ H (bend) was only had by GPE.
Interaction of GYP and GPE with aflatoxin resulted chemical changes
because there are changing functional group in GYP and GPE before and after
reacted with aflatoxin. After reacted aflatoxin, in GYP occurred decreasing
wavenumber for functional group C ̶ H (out of plane bend) and GPE disappeared
N ̶ H (bend) and appeared C≡C dan C=O. There is decreasing wavenumber which
is absorbed by OH between before and after reacted aflatoxin. It was concluded
that the changing of the functional groups and decreasing wavenumber
(frequency) showed there is bonding glucomannan-aflatoxin with Hidrogen
bonding.
In vitro testing GYP and GPE can bind to aflatoxin. Weight of binders
were 41.05; 82.1; 123.15 dan 164.2 mg and weight of aflatoxin 0,1642 µg each
tube. The results of study showed that percentage of aflatoxin binding increase
while glucomannan from yeast product and resulted from A. oncophylus
extraction increased too. Percentage of aflatoxin binding with binder of both
glucomannan yeast product was 19.72; 21.51; 42.25; 46.35% dan glucomannan
from A. oncophyllus extraction was 4.08; 28.72; 36.73 and 89.07% consecutively.
There was significant (p<0.05) positive correlation between weight of binder and
percentage of aflatoxin binding (r GYP = 0.9338 and r GPE= 0.9602). In
regression modelling, equation linear of GYP is Yp = -6.92 + 12.03x and GPE is
Ye = -31.53 + 21.07x
In vivo testing were used a total of 63 one day old broiler chicken. They
were assigned to 9 equal groups according to dietary treatment: the control
negative chicken (group 1) received basal feed, group 2, received contaminated 50
μg/kg aflatoxin feed and group 3 received contaminated 2 mg/kg aflatoxin feed.
Groups 4, 5 and 6 received contaminated 50 μg/kg aflatoxin feed and suplemented
GYP 1 g/kg, GPE 1g/kg and GPE 2 g/kg respectively. Groups 7, 8 and 9 received
contaminated 2 mg/kg aflatoxin feed and suplemented GYP 1 g/kg, GPE 1g/kg
and GPE 2 g/kg respectively.
In Vivo testing, analysis of plasma were packed cell volume (PCV),
hemoglobin and mean corpusculer hemoglobin cell (MCHC), concentration of
glucose and differencial of leucocyt. Serum were analized antibody titers against
ND with haemoglutination inhibition test. At the end experiment, chicken
humanely euthanized. Weight of liver, candiac, spleen and kidney were collected.
Haemoglobin, MCHC, concentration of glucose, neutrofil, lymphocyt and
eosinofil were not different significantly (p<0.05) among 9 experimental groups.
Aflatoxin decreased PCV and titer antibody against of ND. GYP and GPE can
increased PCV and titer antibody against ND.
As the conclution, aflatoxin caused decreasing efficiency of feed,
decreasing of Packed Cell Volume and titer antibody against New Castle Disease,
changing of colour of hepar, and increasing weight of liver. The histopathological
signs in hepatic of broilers are characterized by hepatic lesions such as,
hemorhagic and lipid degeneration. Dosage of glucomannan product of A.
oncophyllus extraction 1 g/kg can alleviate detrimental effects of contamination
aflatoxin 50 μg/kg and 2 mg/kg include the following decreasing weight of
chicken, decreasing of feed consumption, decreasing efficiency of feed, anemia,
increasing weight of liver, changing of liver makroscopis and microscopis and
decreasing titer antibody against New Castle disease in aflatoxin 50 μg/kg but it
can not increasing titer antibody against New Castle Diseases in contamination of
aflatoxin 2 mg/kg.

Key words: aflatoxin, Amorphophallus oncophylus, extraction, glucomannan


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

GLUKOMANNAN DARI ILES-ILES (Amorphophalus oncophylus)


SEBAGAI PENGIKAT AFLATOKSIN PADA
PAKAN AYAM BROILER

AGUS SUSANTO

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Ir Ibnu Katsir Amrullah, MS

2. Dr Ir Suryahadi, DEA

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS

2. Dr Ir Maradoli Hutasuhut, MSc, MEc


Judul Disertasi : Glukomannan dari Iles-Iles (Amorphophalus oncophylus)
sebagai Pengikat Aflatoksin pada Pakan Ayam Broiler
Nama : Agus Susanto
NIM : D162090021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Erika B. Laconi, MS


Ketua

Prof Dr Ir Dewi Apri Astuti, MS Prof Dr (R) drh Sjamsul Bahri, MS


Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Nutrisi dan Pakan

Dr Ir Dwierra Evvyernie A.M.S., M Sc Dr Ir Dahrul Syah, M Sc Agr

Tanggal Ujian: 15 Juli 2014 Tanggal Lulus:……………………


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Permasalahan 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Alur Penelitian 4
2 EKSTRAKSI GLUKOMANNAN DARI ILES-ILES (Amorphophallus
oncophylus) DAN PENGUJIAN FISIKA DAN KIMIA
Abstrak 5
Pendahuluan 6
Metode Penelitian 7
Hasil dan Pembahasan 11
Simpulan 25
3 PENGIKATAN AFLATOKSIN OLEH GLUKOMANNAN YEAST
PRODUCT DAN GLUKOMANNAN HASIL EKSTRAKSI ILES-ILES
(Uji In Vitro)
Abstrak 27
Pendahuluan 28
Metode Penelitian 29
Hasil dan Pembahasan 31
Simpulan 34
4 PENGIKATAN AFLATOKSIN OLEH GLUKOMANNAN YEAST
PRODUCT DAN GLUKOMANNAN HASIL EKSTRAKSI ILES-ILES
(Uji In Vivo)
Abstrak 35
Pendahuluan 36
Bahan dan Metode 37
Hasil dan Pembahasan 40
Simpulan 49
5 PEMBAHASAN UMUM 51
6 SIMPULAN UMUM DAN SARAN 55
DAFTAR PUSTAKA 56
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 61
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

1 Hasil rendemen ekstraksi umbi Amorpophalus oncophyllus 11


2 Hasil pemeriksaan dan pengujian fisik 12
3 Hasil uji proksimat Glucomannan Yeast Product (GYP) dan
EkstraksiIles-Iles (EI) dalam persen (%)C 13
4 Hasil pengujian karbohidrat dan pH glukomannan yeast
product (GYP) dengan hasil ekstraksi iles-iles (EI) 15
5 Perbedaan gugus aktif antara GYP dengan EI 19
6 Perbedaan gugus fungsional antara GYP dengan
GYP+Aflatoksin 22
7 Perbedaan gugus fungsi antara ekstrak iles-iles dengan ekstrak 23
iles-iles+Aflatoksin
8 Konsentrasi aflatoksin pada supernatan dan pesentase
aflatoksin terikat 31
9 Perlakuan penambahan aflatoksin, GYP dan EI pada pakan
basal 38
10 Pengaruh pemberian aflatoksin, GYP dan EI terhadap
performen ayam broiler berumur 35 hari 40
11 Pengaruh pemberian aflatoksin pada beberapa parameter darah 42
12 Hasil pengujian titer antibodi terhadap penyakit New Castle
Disease (ND) dan diffrensial leukosit 44
13 Pengaruh pemberian aflatoksin, GYP dan terhadap berat relatif
organ ayam broiler (g/Kg berat hidup) umur 35 hari 46
14 Penilaian pengamatan histopatologi hati pada kontrol dan
perlakuan 48

DAFTAR GAMBAR

1 Proses pengupasan kulit (a), pengirisan umbi (b) dan pengeringan iles-
iles dengan sinar matahari (c) 8
2 Proses pemanasan dengan kompor elektrik (a), pemisahan hasil
ekstraksi (b) dan pengeringan dengan oven (c) 9
3 Hasil mikroskopis glukomannan yeast product (a) dan glukomannan
hasil ekstraksi Iles-Iles (b) 12
4 Komposisi penyusun dinding sel S.cerevisae (Evan dan Dowson, 2007) 15
5 Struktur molekul glukomannan (Sande 2009) 16
6 Spektrum Glukomannan yeast product dengan Near Infra Red 17
7 Spektrum Ekstrak Iles-Iles dengan Near Infra Red 17
8 Spektrum Karbon aktif dengan Near Infra Red 18
9 Spektrum FTIR antara GYP dan EI 18
10 Gugus fungsi dalam senyawa beberapa jenis aflatoksin 21
11 Spektrum FTIR antara GYP sebelum (biru) dan sesudah (merah)
berikatan dengan aflatoksin 22
12 Spektrum FTIR antara ekstraksi iles-iles sebelum (biru) dengan sesudah
(merah) berikatan dengan aflatoksin 23
13 Teori ikatan glukomannan dengan aflatoksin (diolah dengan program
Chem Draw Ultra 8.0) 25
14 Inkubasi in vitro bahan pengikat dengan aflatoksin 30
15 Persentase pengikatan aflatoksin antara GYP dan EI 32
16 Sistem perkandangan sistem baterai, sumber dari Susanto, 2014 39
17 Pengambilan darah melalui Vena Pektoralis, sumber dari Susanto, 2014 39
18 Feses berwarna merah (a) dan tampilan wajah pucat (b) pada ayam yang
mendapat perlakuan pemberian aflatoksin 2 mg/kg 42
19 Bentuk dan warna hati kelompok tanpa aflatoksin (a); penambahan
aflatoksin 50μg/kg dan penambahan aflatoksin 2 mg/kg 45
20 Histopatologi hati menunjukan pendarahan ( ) dan perlemakan
( ) pada kontrol dan penambahan aflatoksin 50 μg/kg dan 2 mg/kg 48
21 Histopatologi hati pada penambahan aflatoksin 50 μg/kg dan
penambahan GYP 1 g/Kg (a), EI 1 g/Kg (b) dan EI 2 g/Kg (c);
penambahan aflatoksin 2 mg/kg dan penambahan GYP 1 g/Kg (d), EI 1
g/Kg (e) dan EI 2 g/Kg (f) 49
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Tema penelitian ini adalah tentang
bahan pengikat aflatoksin, dengan judul Glucomannan dari Iles-Iles
(Amorphophallus oncophylus) Sebagai Pengikat Aflatoksin pada Pakan Ayam
Broiler yang dimulai dari bulan Agustus 2012 sampai Pebruari 2014.
Bagian dari disertasi ini telah dipublikasi lewat Journal Internasional yakni
International Journal of Poultry Science dengan judul “Efficacy of Glucomannan-
Containing Yeast Product and Glucomannan Resulted from Amorphophallus
Oncophyllus Extraction in Protecting Broiler Chicken from Aflatoxin” dan
Journal nasional terakreditasi DIKTI, Media Peternakan dengan judul “In Vitro
Testing to Aflatoxin Binding by Glucomannan Yeast Product and Glucomannan
Extract from Amorphophallus oncophyllus” (tahap telaah penyunting ahli).
Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Erika B Laconi, MS, Prof
Dr Ir Dewi Apri Astuti, MS dan Prof (R) Dr drh Sjamsul Bahri, MS selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan saran. Penulis juga tidak lupa
mengucapkan banyak terimakasih kepada Pimpinan dan staf Laboratorium tempat
penelitian disertasi ini antara lain: Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Pakan
Bekasi, Biofarmaka Bogor, Uji Material Badan Tenaga Nuklir Nasional Serpong
dan Balai Besar Penelitian Veteriner yang telah memberikan fasilitas pengujian
untuk menyelesaikan penelitian ini. Ungkapan terimakasih disampaikan pula
kepada ayah, ibu, isteri dan anak-anak atas doa dan kasih sayangnya.
Harapan sebagai penulis semoga karya ilmiah ini dapat berguna untuk
meningkatkan ketersediaan dan keamanan pakan di Negeri tercinta, Indonesia,
khususnya dalam kemandirian produksi pakan imbuhan (feed additive).

Bogor, Agustus 2014


1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pakan ternak memiliki peran penting karena menentukan produktivitas


ternak maupun keamanan pangan bagi manusia. Pakan yang berkualitas akan
memberikan produk ternak yang berkualitas pula seperti telur, susu, daging dan
wool. Sampai saat ini industri pakan ternak masih berbasis corn-soya. Jagung
merupakan bahan baku pakan sebagai sumber energi dan bungkil kedelai sebagai
sumber protein. Jagung menjadi sumber energi karena kandungan karbohidrat/pati
yang tinggi di dalam jagung (64%). Jagung merupakan salah satu biji-bijian yang
mudah terserang jamur penghasil aflatoksin, sehingga mudah terkontaminasi
aflatoksin. Selain di jagung, aflatoksin dapat ditemukan pada bahan baku pakan
lainnya seperti kacang tanah, bungkil kelapa, biji kapuk, bungkil kedelai, bekatul
dan sebagainya.
Senyawa aflatoksin diketahui dapat menimbulkan gangguan hepatotoksik,
immunosupresif, koagulopathy dan carsinogenik baik pada hewan maupun
manusia. Aflatoksin dapat menekan sistem kekebalan (immunosupresif) pada
beberapa hewan, sehingga menyebabkan penurunan ketahanan tubuh dari infeksi,
kegagalan vaksinasi, mastitis yang persisten dan sebagainya. Oleh karena itu
pengaruh aflatoksin tidak bisa dianggap remeh, karena menimbulkan kerugian
atau kerusakan baik pada ternak maupun manusia. Sifat karsinogenik dari
aflatoksin telah ditetapkan oleh IARC (International Agency Research on Cancer)
pada tahun 1988 bahwa aflatoksin merupakan bahan karsinogenik klas I.
Hewan yang peka terhadap aflatoksin adalah bangsa unggas (aves),
mamalia dan ikan. Bangsa unggas yang peka adalah bebek, ayam, kalkun, dan
burung puyuh, sedangkan bangsa mamalia adalah babi muda, babi bunting, anjing,
kucing, sapi dan domba. Bebek peka terhadap aflatoksin disebabkan di dalam hati
bebek memiliki jenis enzym cytocrom P450s lebih banyak dibanding hewan
lainnya yakni CYP2A6, CYP1A1, CYP3A4 dan CYP1A2, sehingga hasil
metabolit Aflatoksin B1-epoxide 8,9 yang merupakan racun yang bersifat tidak
stabil dan reaktif diproduksi lebih banyak.
Di Indonesia batas maksimal kadar aflatoksin, berdasarkan Standar
Nasional Indonesia (SNI) pada ransum pakan ayam ras petelur batas maksimal
adalah 50 ppb untuk layer starter (anak) dan layer grower (dewasa), 60 ppb pada
layer (masa bertelur). Pada ransum ayam ras pedaging/broiler starter batas
maksimal 50 ppb, dan 60 ppb pada broiler finisher, pada ransum babi batas
maksimalnya 50 ppb, pada pakan puyuh batas maksimalnya 40 ppb, pada pakan
itik batas maksimalnya 20 ppb dan pada pakan konsentrat sapi perah dan sapi
potong batas maksimalnya 200 ppb.
Menurut kebijakan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA 2000)
yang dituangkan dalam Aflatoxin Handbook dan FDA Guidance for Industry
ditetapkan batas maksimal kandungan aflatoksin pada jagung dan biji-bijian
lainnya yang digunakan untuk pakan ternak yang belum dewasa dan ternak perah
adalah 20 ppb, sedangkan untuk jagung dan biji-bijian lainnya yang digunakan
untuk pembibitan sapi pedaging, babi atau unggas dewasa adalah 100 ppb. Jagung
2

dan biji-bijian lainnya yang digunakan untuk penggemukan babi dengan berat
badan 45 Kg atau lebih batas maksimal aflatoksinnya adalah 200 ppb.
Untuk menekan aflatoksin dengan metode dekontaminasi bahan baku pakan
dalam pelaksanaannya kurang praktis, tidak efisien dan membutuhkan biaya yang
tinggi. Oleh karena itu metode pengikatan aflatoksin dalam saluran pencernaan,
supaya tidak terserap dalam tubuh ternak merupakan metode yang lebih efektif,
praktis dan biaya lebih rendah. Bahan pengikat ada yang bisa dikelompokan bahan
organik dan anorganik. Bahan pengikat yang dipakai selama ini dan telah
diperjual belikan yang termasuk bahan organik adalah glucomannan containing
yeast product (Girish dan Devewgoda 2006) dan karbon aktif (Gallo dan Masoero.
2010), sedangkan yang termasuk bahan anorganik adalah hydrated sodium
calcium aluminosilicate (Wang et al. 2006), zeolit (Kaki et al. 2012), bentonit
(Nuryono et al. 2012) dan kaolin (Hesham 2004).
Glukomannan merupakan bahan alam dengan struktur kimia berupa
heteropolimer dari glukosa dan manosa yang memiliki potensial sebagai pengikat
aflatoksin. Selama ini glukomannan yang diproduksi sebagai pengikat adalah
glukomannan dari dinding sel jamur Sacchromyces cereviseae dan sudah terbukti
mampu mengikat aflatoksin (Girish dan Devewgoda 2006). Glukomannan yang
berasal dari tanaman seperti iles-iles (Amorphophalus oncophylus) belum
diujicobakan sebagai pengikat aflatoksin. Tanaman iles-iles merupakan tanaman
yang sangat cocok di lingkungan Indonesia dan selama ini hanya dimanfaatkan
untuk diekspor dalam bentuk keripik (chips). Dengan ekstraksi menggunakan
ethanol diperoleh glukomannan dari iles-iles (EI), walaupun sebenarnya dalam
proses ekstraksi, glukomannan diperoleh dari hasil residu proses ekstraksi karena
glukomannan tidak terlarut dalam fraksi ethanol. Dengan menggunakan ekstraktor
ethanol dapat diperoleh glukomannan 60% dalam bahan kering. Harapan dari
penelitian ini adalah glukomannan yang terkandung dalam iles–iles memiliki
kemampuan mengikat aflatoksin.

Permasalahan

1. Pakan ternak masih berbasis corn-soya, komposisi bahan bakunya didominasi


oleh bungkil kedelai, jagung dan biji-bijian lainnya, yang mudah
terkontaminasi aflatoksin.
2. Data dari survey Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak (2006) diperoleh data
kandungan pakan yang mengandung aflatoksin diatas batas maksimal SNI
yakni di atas 50 ppb terdapat 10%, sedangkan pada jagung yang kadar
aflatoksinnya di atas batas maksimum SNI yakni di atas 50 ppb ada 29%.
3. Aflatoksin bagi ternak menimbulkan gangguan pertumbuhan, gangguan
reproduksi, gangguan pencernaan, gangguan sistem kekebalan dan kematian.
4. Terdapat alternatif dalam pengikatan aflatoksin yaitu menggunakan
glukomannan hasil ekstraksi dari tanaman iles-iles tetapi belum ada pengujian
secara fisika, kimia, in vitro maupun invivo untuk membuktikan kemampuan
pengikatan terhadap aflatoksin.
3

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan glukomannan hasil ekstraksi dari iles-iles (Amorphophallus


oncophylus) dan mengetahui sifat fisika-kimianya.
2. Menguji kemampuan glukomannan hasil ekstraksi iles-iles sebagai
pengikat aflatoksin dalam pakan.
3. Menemukan teori pengikatan glukomannan terhadap aflatoksin.
4. Melakukan kajian performa ternak, gambaran hematologi, berat organ
visceral dan gambaran histopatologi hati dari ayam yang diberi perlakuan
pada pakan ditambah aflatoksin, glukomannan yeast product dan
glukomannan hasil ekstraksi iles-iles.
5. Menentukan dosis pengikat yang tepat dalam ransum pakan yang secara
efektif mampu melindungi ternak dari serangan aflatoksin

Manfaat Penelitian

1. Ditemukannya bahan alternatif lokal dari herbal yang mampu mengikat


aflatoksin pada pakan.
2. Adanya peluang untuk memproduksi imbuhan pakan sebagai pengikat
aflatoksin berbahan baku lokal dalam skala industri.
4

Alur Penelitian

Ekstraksi glukomannan dari iles-


iles (Whistler dan Richards, 1970)
Parameter pengujian:
Fisik: Pemeriksaan, ukuran partikel dan
energi bruto.
Kimia: Proksimat, pH, Karbohidrat, NDF,
Analisa hasil ekstraksi ADF, Glukosa, Manosa, Near Infra
a. Fisik Red (NIR), dan Fourier Transform
b. Kimia Infra red (FTIR)
Uji spektral pengikatan aflatoksin
Analisa Statistik : Deskriptif dan Uji t

Uji in vitro Persentase pengikatan aflatoksin:


ELISA - Enzyme Linked Immunosorbent Assay
(ELISA)
- Analisa Statistik: Deskriptif, korelasi
dan regresi

a. Parameter performa: Berat ayam hidup


Uji in vivo
umur 35 hari, konsumsi pakan, efisiensi
pakan, gangguan kesehatan dan kematian.
a. Pakan dilakukan uji Proksimat
dan aflatoksin. b. Parameter hematologi: Hb, PCV,
differencial leucocyt, gula darah dan
b. Formulasi (basal metabolisme)
antibodi terhadap ND.
c. Uji pada broiler selama 35 hari
c. Parameter berat organ dalam: hati, ginjal,
d. Perlakuan: Pemberian aflatoksin jantung dan limpa
pada 50 ppb dan 2 ppm dan
d. Gambaran histopatologi: organ hati.
Glukomannan yeast Product (1
gram per Kg) dan Glukomannan e. Analisa Statistik: Uji t, Anova dan Uji
hasil ekstraksi iles-iles (1 gram Tukey
per Kg dan 2 gram per Kg)

Glukomannan dari iles-iles mampu mengikat aflatoksin pada pakan unggas


didukung pembuktian baik secara fisik, kimia, in vitro dan invivo
5

2 EKSTRAKSI GLUKOMANNAN DARI ILES-ILES


(AMORPHOPHALLUS ONCOPHYLUS) DAN
PENGUJIAN FISIKA-KIMIA

ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini untuk membandingkan hasil pengujian fisika dan
kimia dari glucomannan yeast product (GYP) dengan glukomannan hasil ekstraksi
A. oncophyllus (EI) dan menemukan teori ikatan glukomannan dengan aflatoksin.
Metode analisa fisika meliputi textur, ukuran partikel dan energi bruto, sedangkan
analisa kimia terdiri dari uji proksimat, Near Infra Red (NIR) dan Fourier
transform Infra Red (FTIR). Hasil uji Fisika menunjukan bahwa tekstur dan energi
bruto GYP dan EI tidak berbeda nyata. Hasil uji proksimat menunjukan bahwa
kadar air, kadar abu, protein kasar dan lemak kasar GYP dan EI berbeda nyata,
tetapi kandungan serat kasar tidak berbeda nyata (p<0.05). Kandungan kadar air,
lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen dan karbohidrat pada EI lebih tinggi
dibandingkan GYP, tetapi kadar abu, protein, glukosa dan manosa EI lebih rendah
dibandingkan dengan GYP. Terdapatnya polisakarida glukomannan pada GYP
dan EI dibuktikan dengan uji kimia dan uji FTIR. Secara pengujian kimia di
dalam GYP dan EI secara berturut turut memiliki perbandingan manosa dan
glukosa 1 : 1,2 dan 1 : 1,8 sedangkan secara spektral ditemukan penyerapan
bilangan gelombang 1000 – 700 Cm-1 ( vibrasi bengkok C-H), 1300 – 1000 Cm-1
(C-O regang pada piranosa) dan 3500-3300 Cm-1 (OH yang dapat membentuk
ikatan Hidrogen). Berdasarkan spektrum Near Infra Red (NIR) bahwa spektrum
GYP dengan EI lebih serupa dibanding GYP dengan karbon aktif. sehingga
sebagai bahan pengikat aflatoksin GYP dan EI merupakan satu kelompok yang
berasal dari bahan organik. Hasil pengujian dengan FTIR antara GYP dan EI
memiliki gugus fungsi yang sama yaitu O ̶ H, C ̶ H 2, C ̶ H, C ̶ H3, C ̶ O ̶ C dan
≡C ̶ H, tetapi ada gugus fungsi yang hanya dimiliki GYP yakni C=O, sedangkan
yang hanya dimiliki EI yakni gugus fungsi N ̶ H (bengkok). Interaksi GYP and EI
dengan aflatoksin menghasilkan perubahan gugus fungsi dan penurunan bilangan
gelombang yang diserap oleh OH. Kesimpulan penelitian ini menunjukan GYP
dan EI mampu mengikat aflatoksin dengan ikatan hidrogen.

Kata kunci : aflatoksin, ekstraksi, gugus fungsi, glukomannan

ABSTRACT
The purpose of the study was to compare result analysis of physics and
chemical glucomannan containing yeast product (GYP) and Glucomannan
Product of Extraction of Iles-Iles (Amorphophalus oncophylus) and to determine
theory of glucomannan and aflatoxin bonding. Methode of physic analysis
comprised texture, size of particle and gross energy, whereas chemical of analysis
comprised proximate, Near Infra Red (NIR) and Fourier transform Infra Red
(FTIR). Analysis of physics showed that texture and gross energy of GYP were
6

not different significantly (p<0.05) with glucomannan product of extraction iles-


iles (GPE). The Results showed analysis of chemical (proximate) moisture, ash,
crude protein and crude lipid GYP and GPE were significant different (p<0.05),
but crude fiber was not difference. Moisture, crude lipid, nitrogen free extracts
and carbohidrat in GPE were higher than GYP but ash, crude protein and mannan
in GPE were lower than GYP. Containing glucomannan in GPE and GYP were
proven by chemical analysis and spectroscopy testing. Chemically, GPE and GYP
were contained mannosa and glucose with ratio 1:1.8 and 1:1.2 respectively.
Spectroscopically, GPE and GYP have similar wavenumber especially
polysacharide 1000 – 700 Cm-1 (bending vibration C-H), 1300 – 1000 Cm-1 (C-O
stretching from piranosa ring) and 3400-2400 Cm-1 (OH can make hidrogen
bonding). Result of Comparation of spectrogram GYP and GPE used Near Infra
Red Reflectance Spectroscopy (NIRS) and Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Spectroscopy that by spectrogram of NIRS in GYP were similar with GPE but
were different of activated carbon. This showed that compounds in GYP and GPE
were more similar than compounds in activated carbon . Based on Spectrogram of
FTIR, the GYP and GPE showed have same similar functional groups including
O ̶ H, C ̶ H2, C ̶ H, C ̶ H3, C ̶ O ̶ C dan C ̶ H. Meanwhile, functional group C=O
was only had by GYP and N ̶ H (bend) was only had by GPE . Interaction of
GYP and GPE with aflatoxin resulted chemical changes and decreasing of
wavenumber absorbtion by OH. It was concluded that GYP and GPE can bind
aflatoxin, with hydrogen bonding.

Key Words : aflatoxin, extraction, functional group, glucomannan

PENDAHULUAN

Untuk mendapatkan bahan glukomannan hasil ekstraksi dari iles-iles,


proses ekstraksi merupakan bagian yang sangat penting. Metode ekstraksi dengan
pendidihan dengan air dan pelarutan dengan alkohol (ethanol). Ethanol dan air
merupakan zat yang termasuk larutan yang bersifat polar sehingga akan lebih
mudah melarutkan zat-zat yang bersifat polar.
Glukomannan hasil ekstraksi iles-iles sebelum dilakukan uji in vitro dan uji
in vivo harus dilakukan uji kimia dan fisika untuk lebih mengenal sifat-sifat kimia
dan fisika dari bahan hasil ekstraksi. Kemampuan daya ikat glukomannan dari
hasil ekstrasi iles-iles dapat dikaji terlebih dahulu dari sifat-sifat kimia dan fisika
bahan. Apabila sifat kimia mendukung teori pengikatan aflatoksin, maka dapat
dilanjutkan uji invitro maupun uji invivo pengikatan glukomannan terhadap
aflatoksin.
Penelitian ini akan memberikan perbandingan hasil analisa fisika dan kimia
glukomannan hasil ekstraksi iles-iles dengan glucomannan yeast product,
termasuk spektrum NIR dan FTIR. Hasil pemeriksaan, pengujian kandungan
nutrisi, energi bruto, pH dan gugus fungsi dari EI dan GYP akan memberikan
gambaran sifat fisika dan kimiawi dari GYP dan EI untuk mendukung analisa
dalam pengikatan aflatoksin. Perubahan gugus fungsi GYP dan EI sebelum dan
7

sesudah bereaksi dengan aflatoksin akan memberikan bukti kemampuannya dalam


mengikat aflatoksin.
Pengujian spektral dengan Near Infra Red (NIR) maupun Fourier
Transform Infra red (FTIR) akan memberikan gambaran susunan kimia baik pada
glucomannan yeast product maupun glucomannan hasil ekstraksi iles-iles
terutama gugus fungsi yang ada. Spektral dari NIR akan memberikan komposisi
molekul, sedangkan spektral FTIR akan memberikan gambaran gugus fungsi yang
ada pada bahan yang diuji. Kedua spektral sangat membantu memberikan
gambaran struktur kimia dari glukomannan yeast product dan glukomannan hasil
ekstraksi dari umbi iles-iles. Pengujian proksimat akan memberikan informasi
kadar nutrisi dari dua bahan glukomannan tersebut secara kuantitatif.
Pengujian kimia dengan mereaksikan aflatoksin dengan bahan glukomanan
yeast product dan glukomannan hasil ekstraski iles-iles kemudian diuji spektral
dengan FTIR untuk mengamati perubahan kimia sebelum dan sesudah
direaksikan. Perubahan kimia yang diamati adalah perubahan gugus fungsi karena
dalam kimia organik, gugus fungsi merupakan bagian yang menentukan sifat dari
senyawa tersebut dan merupakan bagian yang membentuk ikatan dengan molekul
lain atau dengan kata lain melakukan reaksi kimia dengan senyawa lain.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari Agustus 2012 sampai Desember
2013 yang dilaksanakan di Laboratorium Balai Pengujian Mutu Pakan dan
Sertifikasi Pakan Bekasi, Laboratorium Badan Tenaga Atom Nasional dan
Laboratorium Biofarmaka Bogor.
Penelitian yang telah dilaksanakan terdiri dari:
1. Ekstraksi umbi A. oncophyllus dan grinding dengan energi tinggi pada hasil
ekstraksi.
2. Pemeriksaan, pengujian proksimat dan energi bruto hasil ekstraksi iles-iles dan
glukomannan yeast product.
3. Pengujian Near Infra Red system dan Fourier Transform Infra Red ekstraksi
hasil iles-iles dan glukomannan yeast product
4. Pengujian ikatan antara hasil ekstraksi iles-iles dan glukomannan yeast product
dengan aflatoksin menggunakan fourier Transform Infra Red.

Bahan
Umbi A. oncophyllus diperoleh dari desa Grogol, Kecamatan Sambit,
Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Untuk ekstraksi glucomanann bahan
kimia yang dibutuhkan adalah, ethanol dan aquades. Bahan untuk sumber
aflatoksin menggunakan standar aflatoksin dari produksi Biopure®. Untuk
pengujian proksimat bahan kimia yang dibutuhkan H2SO4, NaOH, HCl, HBO3
dan ether, sedangkan peralatan yang dibutuhkan adalah oven, gelas piala, blender,
penangas air, soklet, kjeltec, fibertec, tanur dan sebagainya. Bahan kimia yang
digunakan untuk pengujian glukosa dan manosa adalah HCl, NaOH, CH3COOH,
kalium iodida, Luff Schoorl, phenylhydrazine hidrokloride, sodium acetate dan
aquadestilata.
8

Untuk pengukuran ukuran partikel menggunakan particel size analyzer


Mavlen®. Analisa NIRS menggunakan instumen NIR Buchi® NIRLab N-200
dan analisa FTIR spectroscopy Brucker® Tensor 37 series dengan detektor
DLATGS dan menggunakan software OPUS operating system versi 6.0.

Pelaksanaan Penelitian
Ekstraksi umbi iles-Iles dilakukan di Laboratorium Balai Pengujian Mutu
dan Sertifikasi Pakan di Bekasi. Ukuran partikel hasil ekstraksi dikecilkan supaya
ukuran partikelnya sama dengan glukomannan yeast product menggunakan
grinding energi tinggi. Pengukuran diameter partikel menggunakan alat partikel
size analizer Malvern® dilakukan di Laboratorium Uji Material Badan tenaga
Nuklir Nasional Serpong. Pengujian kimia dan fisika terdiri dari uji proksimat,
pemeriksaan, Energi bruto, Ukuran partikel, pH, Near Infra Red System dan
Pengujian Fourier Transform Infra Red (FTIR). Pengujian kimia dilakukan di
Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Pakan kecuali Pengujian Fourier Transform
Infra red (FTIR) dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Bogor.
Penelitian dilaksanakan mulai Agustus 2012 sampai Oktober 2013.

Ekstraksi Glukomannan dan Analisa Hasil Ekstraksi


Umbi iles-iles dikupas kulitnya dengan menggunakan pisau untuk
dipisahkan bagian kulitnya dengan daging buah, kemudian daging buah diiris-iris
dengan ketebalan 0,5 cm. Irisan diratakan diatas tempat pengering, untuk
dikeringkan dengan panas matahari atau dimasukan dalam oven dengan suhu
80°C selama 8 jam, seperti pada Gambar 1. Setelah kering, irisan umbi tersebut
didinginkan sampai mencapai suhu kamar. Kemudian bahan tersebut digiling
untuk membuat tepung iles-iles menggunakan grinder (Retsch ZM 200®)
kemudian disaring dengan ayakan berukuran 100 mesh.

(a) (b) (c)


Gambar 1 Proses pengupasan kulit (a), pengirisan umbi (b) dan pengeringan iles-
iles dengan sinar matahari (c)

Tepung iles-iles tersebut dimasukkan kedalam gelas piala yang berisi air
dengan perbandingan 30 ml/gr tepung, kemudian dipanaskan menggunakan
pemanas listrik dengan suhu 45oC dengan pengadukan tetap selama 1 jam. Bahan
akan menjadi gel dan didiamkan pada suhu ruang sampai dingin, kemudian
tambahkan ethanol 96% dengan perbandingan 1:2, kemudian diaduk kembali, dan
glukomannan hasil ekstraksi akan terpisah dengan pelarut. Hasil ekstraksi
disaring dengan menggunakan kain saring, kemudian diratakan pada kertas
alumunium foil, kemudian dimasukkan kedalam oven suhu 60oC selama 48 jam
sampai bahan menjadi kering (Gambar 2). Bahan hasil pengeringan tersebut di
9

giling dengan grinder untuk membuat tepung glukomannan. Metode ekstraksi


glukomannan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode Whistler
dan Richards (1970). Untuk mencapai pengecilan partikel yang ukuran partikelnya
sama dengan partikel GYP digunakan sistem milling energi tinggi.

(a) (b) (c)


Gambar 2. Proses pemanasan dengan kompor elektrik (a), pemisahan hasil
ekstraksi (b) dan pengeringan dengan oven (c)
Glukomannan hasil ekstraksi dari iles-iles dan glukomannan dari yeast
produk dianalisa dengan pengujian fisik maupun kimiawi. Pengujian fisik terdiri
dari: warna, tekstur, bahu, ukuran partkel dan energi bruto. Pengujian kimiawi
terdiri dari proksimat, pH (pada konsentrasi tepung 1%), Karbohidrat, Neutral
Detergen Fiber (NDF), Acid Detergen Fiber (ADF) glukosa, mannosa Near Infra
Red (NIR) dan Fourier Transform Infra Red (FTIR).
Pengujian proksimat terdiri dari analisa kadar air, kadar abu, protein kasar,
serat kasar dan lemak kasar. Metode pengujian kadar air menggunakan metode
oven metode 01-2891-1992 butir 5 (SNI 1992). Vochdoos kosong dimasukkan
oven pada suhu 105˚C selama 1 jam kemudian dinginkan dalam desikator dan
ditimbang (W1). Sampel dengan berat 2 gram (W) dimasukkan dalam vochdoos,
dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105˚C selama 3 jam. Sampel dalam
vochdoos didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang sampai berat tetap
(W2). Kadar air ditentukan dengan rumus :
% Kadar air = (W1 + W) – W2 X 100%
W
Pengujian kadar abu dengan metode Tanur metode 01-2891- butir 6 (SNI
1992). Crusibel kosong dimasukkan dalam tanur pada suhu 550˚C selama 1 jam,
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W1). Sampel ditimbang
dengan bobot 2 gram (W) dimasukkan dalam crusibel kosong dan dibakar selama
45 menit, kemudian dimasukkan dalam tanur pada suhu 550˚C selama 4 jam.
Setelah waktu dalam tanur tercapai sampel didinginkan dalam desikator dan
ditimbang (W2).
Kadar abu ditentukan dengan rumus :
% Kadar abu = (W2 – W1) X 100%
W
Pengujian kadar protein kasar dengan metode 2001.11 (AOAC 2005).
Sampel dengan berat 0,5-1 gram dimasukkan dalam tabung destruksi, kemudian
ditambahkan 2 tabelt kjeltab dan H2SO4 pekat sebanyak 15 ml. Tabung destruksi
dimasukan ke dalam block digestor dan dilakukan pemanasan pada suhu 420°C.
Selama 30-45 menit atau hingga larutan berwarna biru kehijauan jernih. Setelah
itu penambahan 75 ml aquades dan NaOH 40% sebanyak 60 ml dan dilakukan
10

destilasi dan hasil destilasi ditangkap oleh H3BO4 25 ml yang diberi 3 tetes mix
indikator. Destilat di titrasi dengan HCl 0,1 N sampai mencapai perubahan warna.
Metode pengujian kadar lemak kasar dengan metode 2003.06 (AOAC
2005). Pengujian lemak kasar menggunakan alat soxlet dan pelarut lemak Ether.
Sampel dengan berat 2 gram dimasukan dalam selongsong ditambah Ether 70 ml
kemudian diekstraksi selama 4-6 jam. Hasil ekstraksi di oven selama 105°C
selama 2 jam, sehingga akan diperoleh kadar lemak yang tertinggal di dalam
selongsong tersebut.
Metode pengujian serat kasar dengan metode 01-2891 (SNI 1992). Sampel
dengan berat 2 gram dimasukan dalam beaker glass untuk dilakukan pelarutan
lemak (defatting) dengan petroleum benzena. Dilakukan penambahan H2SO4
1,25% sebanyak 50 ml, kemudian didihkan di kompor penangas selama 30 menit.
Dilanjutkan penambahan NaOH 3,25% dan didihkan pada kompor penangas
selama 30 menit, kemudian disaring dengan kertas saring dan dibilas dengan
H2SO4 1,25% panas, aquades panas dan ethanol. Sampel dan kertas saring
dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C selama 2 jam dan diulang pengeringan
dengan oven sampai mencapai bobot tetap, pengujian dilanjutkan dengan
pengabuan dengan oven pada suhu 550°C selama 2 jam dan diulang sampai
mencapai bobot tetap. Sampel yang tersaring dan telah diuapkan airnya
merupakan kandungan serat kasar.
Pengujian Karbohidrat menggunakan metode 01-2891-1992 butir 9 (SNI
1992), basis pengujiannya adalah titrimetri. Sampel 5 gram dimasukan dalam
erlenmeyer, kemudian tambahkan 200 ml larutan HCl 3% dan dididihkan selama
3 jam dengan pendingin tegak. Larutan didinginkan dan dinetralkan dengan
larutan NaOH 30% dan ditambah sedikit CH3COOH 3% agar suasana larutan
sedikit asam. Pipet 10 ml larutan ke dalam erlenmeyer 500 ml, tambahkan 25 ml
larutan Luff Schoorl dan 15 ml air suling. Panaskan larutan tersebut dengan nyala
yang tetap, usahakan larutan mendidih dalam waktu 3 menit dan biarkan mendidih
terus selama 10 menit. Setelah dingin tambahkan 15 ml larutan KI 20% dan 25 ml
H2SO4 dan titrasi dengan larutan tio 0,1 N. Perhitungan kandungan karbohidrat
dapat dikonversi dari larutan tio yang digunakan dengan tabel penetapan gula
menurut Luff Schoorl.
Pengujian kadar mannan menggunakan metode Ohtsuki (1968) atau
disebut juga pengujian dengan metode Mannosa Phenylhydrazone, pengujian ini
berbasis gravimetri. Sampel ditimbang 1 gram dan ditambahkan 50 ml HCl 2%
dan didihkan selama 3 jam. Filtrat dinetralkan dengan NaOH dan tambahkan
karbon aktif dan dilanjutkan dengan penyaringan. Filtrat yang diperoleh didestilasi
sampai volume 10 ml, dan ditambahkan 0,4 gram phenylhydrazine hidrokhlorid
dan 0,65 gram Na-asetat dalam 5 ml aquadest. Campuran disimpan di lemari es
selama 24 Jam dan Kristal mannosaphenylhydrazine disaring lalu ditimbang.
Analisa laboratorium pada glukomannan hasil ekstraksi iles-iles juga
dilakukan untuk glukomannan yang berasal dari yeast product, mycosorb®.
Informasi analisa tersebut digunakan sebagai bahan pembandingan, untuk
memperjelas persamaan dan perbedaan dari kedua jenis glukomannan tersebut.
11

Uji Ikatan Aflatoksin


Pembuatan pelarut A yang mengandung aflatoksin 0,821 µg/ml dengan cara
melarutkan standar aflatoksin 1,2753 ml standard aflatoksin (2,06 µg/ml) dengan
acetonitril hingga mencapai 3,2 ml. Bahan bahan pengikat GYP maupun EI
ditimbang 246,3 mg dan dimasukan ke dalam tabung dan ditambah 0,6 ml pelarut
A dan 40 ml aquademineral, tabung digoyang dengan hati hati. Hasil ekstraksi
iles-iles diperlakukan sama dengan GYP. Tabung yang berisi GYP maupun
Ekstrak iles-iles diinkubasi dalam suhu 39°C selama 2 jam. Setelah selesai
diinkubasi, selanjutnya tabung disentrifuse dengan kecepatan 1500 rpm selama
15 menit, presipitat dikumpulkan, kemudian dianalisa dengan Fourier Transform
Infrared (FTIR) Spectroscopy. Hasil spektrum dibandingkan antara spektrum
bahan pengikat baik GYP maupun EI dengan spektrum bahan pengikat setelah
diikatkan dengan aflatoksin. Teori ikatan glukomannan dengan aflatoksin
menggunakan program Chem Draw Ultra versi 8.0.

Analisis Data.
Data hasil pengujian fisika dan kimia antara GYP dan EI dibandingkan
nilai rata-ratanya dengan menggunakan uji-t sampel berpasangan (paired samples-
t test). Untuk analisa hasil pengujian NIRS dan FTIR menggunakan statistik
deskriptif dengan membandingkan gambar spektrumnya maupun tabel untuk
panjang gelombang yang terabsorpsi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Fisik
Proses ekstraksi umbi iles-iles dengan menggunakan pelarut ethanol dan
air. Hasil ekstraksi dari tepung iles-iles dalam penelitian ini mampu menghasilkan
rendemen 74,1%, sebagaimana dipaparkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil rendemen ekstraksi tepung Amorpophalus oncophyllus


Berat tepung A. oncophyllus Berat hasil ekstraksi Persentase Rendemen
sebelum di ekstraksi (gram) (gram) (%)
33,3 25,1 75,4
33,3 24,4 73,3
33,3 24,4 73,9
33,3 24,6 74,5
33,3 25,0 75,0
33,3 24,2 72,7
Rata-rata 74,1

Ethanol merupakan bahan kimia yang bersifat polaritasnya tinggi, sehingga


dalam ekstraksi dapat menarik zat yang diekstrak lebih banyak. Dalam proses
ekstraksi ini Ethanol mampu menarik senyawa selain glukomannan seperti pati,
gula molekul rendah dan lemak (Chua 2012). Rendemen 74,1% lebih tinggi
dibandingkan dari penelitian Fajrien (2001) melaporkan rendemen ekstraksi A.
Oncophylus diperoleh 63,8% dan lebih rendah dibandingkan hasil penelitian
12

Kurniawan et al. (2011) melaporkan rendemen diperoleh antara 78,78 – 82,96%


dengan teknik ekstraksi kering.
Hasil pemeriksaan dan pengujian fisik meliputi uji: warna, tekstur, ukuran
partikel, pH dan energi bruto. Hasil pemeriksaan dan pengujian isik diperoleh
data, sebagaimana pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil pemeriksaan dan pengujian fisik


Glukomannan Yeast Product Ekstrak Iles-Iles
Warna Coklat tua Coklat muda
Tekstur Halus Halus
Bau Harum Spesifik ekstrak
iles-iles
Partikel size analizer 196,0+31,29 150,8+19,07
(d.nm)a
Energi bruto (kkal/kg) 3681,81+172.33 3631,01+105.64
a
d.nm: diameter in nano meter; kkal/kg: Kilo kalori/Kilogram.

Warna antara GYP dan EI mendekati sama yakni warna coklat hanya GYP
lebih coklat tua dibandingkan dengan EI, sebagaimana pada Gambar 3.

(a) (b)
Gambar 3 Hasil mikroskopis glukomannan yeast product (a) dan glukomannan hasil
ekstraksi Iles-Iles (b)
Jenis warna mempengaruhi palatabilitas dari ternak, oleh karena itu dengan
warna yang berdekatan antara GYP dan EI memberikan nilai palatabilitas yang
sama. Penggunaan dari GYP dan EI juga sangat kecil yakni rata-rata 1 Kg/ton,
sehingga warna pakan secara keseluruhan masih ditentukan dengan bahan baku
utama yang lainnya seperti jagung, bungkil kedelai dan lainnya.
Bau juga mempengaruhi palatabilitas ternak, GYP maupun EI tidak
ditemukan bau tengik yang dapat menurunkan palatabilitas ternak. Kedua bahan
tersebut tidak memiliki potensi ketengikan karena kadar lemak yang rendah yakni
di bawah 1%, GYP kadar lemaknya 0,47% sedangkan EI kadar lemaknya 0,74%.
Lemak EI terlarut dalam air pada saat dilakukan ekstraksi sehingga terpisah
dengan glukomannan (Yu et al. 2007). Bau GYP harum spesifik yeast produk,
sedangkan EI tercium bau ekstrak bahan alami dari iles-iles.
Ukuran partikel GYP dan EI diukur dengan metode pengujian struktur dan
komposisi mikro dengan scanning electron microscopy (SEM)/energy dispersive
spectroscopy (EDS). EI sebelum diukur ukuran partikelnya digrinding dengan
13

energi tinggi, sehingga diperoleh ukuran 150,8 nm lebih kecil dibandingkan


ukuran partikel GYP yakni 196 nm. Semakin ukuran partikel kecil memiliki
kemudahan bercampur dengan pakan, sehingga memudahkan homogenitasnya dan
meningkatkan peluang berinteraksi dengan molekul aflatoksin. EI dilakukan
pengecilan partikel karena hasil grinding biasa masih menghasilkan partikel lebih
besar dibandingkan GYP. Untuk membandingkan kemampuan pengikatan
terhadap aflatoksin maka ukuran partikel diusahakan sama. Ukuran partikael EI
sebesar 150,8 nm diperoleh setelah dilakukan grinding energi tinggi selama 7,5
jam. Sebelumnya telah dilakukan perlakuan grinding energi tinggi selama 0,5; 3
dan 5 jam tetapi partikel masih lebih besar daripada GYP, sehingga diperoleh
ukuran partikel EI tersebut paling optimal untuk mencapai ukuran partikel yang
sama dengan ukuran partikel GYP.
Energi kasar yang dihasilkan GYP dan EI tidak berbeda nyata (p< 0.05).
hal ini disebabkan kandungan dari dua bahan tersebut didominasi karbohidrat dan
protein, sebagaimana kita ketahui kandungan energi protein dan karbohidrat
dalam satu gram adalah 4,1 kal/gram. Energi paling tinggi terdapat pada lemak
yakni 9,2 kal/gram. sedangkan kandungan lemak antara GYP dengan EI sama-
sama rendah yakni dibawah 1% sehingga pengaruhnya kecil dalam menetukan
kandungan energi.

Pengujian Proksimat
Hasil pengujian kimia uji proksimat antara GYP dan EI menunjukan
adanya perbedaan hasil pengujian secara signifikan ( p>0.05) , kecuali kandungan
serat kasar tidak berbeda, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4. Serat kasar
menunjukan bagian yang tidak hancur oleh pelarut asam maupun basa, sehingga
dalam saluran pencernaan tidak terserap dan tetap bertahan dalam saluran
pencernaan, bagian yang tetap tertahan dalam saluran pencernaan ini antara GYP
dan EI adalah sama yakni kurang lebih 10%.
Tabel 3 Hasil uji proksimat Glucomannan Yeast Product (GYP) dan Ekstraksi
Iles-Iles (EI) dalam persen (%)c
Kadar Kadar Protein Lemak Serat BETN
Bahan Air abu kasar kasar kasar

GYP 6.11+0,17a 15,7+0.06b 28.63+0.32b 0.47+0.04a 10.66+2.20a 38,45+2.08a


EI 8.01+0,07b 4,33+0.05a 6.96+0.09a 0.74+0.06b 9.98+ 0.52a 69,97+0.58b
c
Banyaknya 6 contoh; a.b dalam satu kolom. huruf yang berbeda menunjukan berbeda secara nyata
pada taraf uji 5% (uji t).; BETN: Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen.

Kadar abu yang tinggi pada GYP yang digunakan, kemungkinan ada
penambahan bahan lain selain bahan utama dari dinding sel S. cerevisae. Untuk
meningkatkan daya pengikat dan murahnya bahan baku dapat ditambahkan
dengan menggunakan bahan pengikat bersumber clay, sehingga hasil pengujian
menunjukan kadar abu tinggi. Hasil pengujian kadar abu pada dinding sel
S.cerevisae kurang lebih 3%, sebagaimana dilaporkan oleh Hisano et al. (2008)
bahwa komposisi proksimat pada dinding sel S.cerevisae adalah kadar abu
(inorganic substances) 3%, hexamine dan khitin 2%, protein 8%, lemak 7%,
glukosa 40% dan mannosa 40% .
14

Kadar air, lemak kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dari EI
lebih besar dibandingkan dengan GYP. Secara kimiawi GYP lebih banyak
mengandung unsur nitrogennya, hal ini dapat dilihat dari kandungan protein kasar
GYP (28.63%) dibandingkan kandungan protein kasar EI (6.96%), sehingga
kandungan BETN EI lebih besar, hal ini didukung oleh hasil pengujian kadar
karbohidrat secara titrasi, EI sebesar 61.67%. sedangkan pada GYP 31.89%,
sebagaimana pada Tabel 3.
Kadar protein EI 6,96% lebih rendah apabila dibandingkan dengan hasil
pengujian protein glukomanan oleh Chua (2012) sebesar 7,5%. Glukomannan
hasil ekstraksi Amorphophallus menurut standar FCC (2003), kandungan protein
glukomannan dari ekstraksi A. konjac maximal 8%, sehingga hasil ekstraksi yang
dilakukan dalam penelitian ini memenuhi persyaratan standar tersebut.

Karbohidrat
BETN merupakan selisih karbohidrat dengan serat kasar. EI mengandung
karbohidrat lebih tinggi dibandingkan dengan GYP, sedangkan kandungan serat
kasar tidak berbeda nyata dengan kandungan serat kasar pada GYP sehingga
BETN EI lebih tinggi dibandingkan GYP. BETN merupakan penilaian kadar
karbohidrat berdasarkan perhitungan (by differance), sedangkan pengujian
karbohidrat berdasarkan pengujian (SNI 01-2891-1992 butir 9 1992) diperoleh
kadar karbohidrat EI lebih besar dibandingkan GYP, jadi hasil perhitungan
bersesuaian dengan pengujian.
Kadar Karbohidrat tinggi pada EI tidak diikuti kandungan mannan yang
tinggi karena kadar mannan pada GYP 25.7% sedangkan EI 15.2% (Tabel 4).
Menurut Ohtsuki (1968) karbohidrat pada umbi iles-iles terdiri dari pati, serat
kasar, mannan, gula bebas dan poliosa. Kadar karbohidrat tinggi pada EI, tersusun
oleh komposisi glukosa dan mannosa. Glukosa dan mannosa merupakan
monosakarida Karbon 6, dalam kelompok yang sama yakni aldoheksosa dan
memiliki rumus kimia yang sama yakni C6H12O6. Kedua monosakarida tersebut
merupakan isomer ruang (stereoisomer) kelompok diasteromer karena yang
membedakan glukosa dan manosa adalah letak gugus –OH pada Karbon ke dua.
Struktur molekul glukosa memiliki gugus OH pada sebelah kanan, sedangkan
pada manosa terletak sebelah kiri (Sumardjo 2009).
Derajat pH antara GYP dan EI adalah suasana asam yakni di bawah 7,
apabila dibandingkan pH GYP lebih asam daripada EI (Tabel 4). Nilai pH
menunjukan kologaritma ion H+ yang terlarut, semakin besar konsentrasi H+ yang
terlarut maka nilai pH semakin kecil, sehingga bersifat asam. Sifat GYP lebih
asam menunjukan konsentrasi H+ yang terlarut lebih besar dibandingkan dari EI.
Menurut teori Arhenius, asam merupakan senyawa yang memberikan proton (H+)
kepada senyawa lain atau menurut teori Lewis asam merupakan senyawa
penerima pasangan elektron dari senyawa basa. Konsep asam-basa ini mendorong
kemampuan ikatan GYP dan EI berikatan dengan aflatoksin yang banyak
memiliki gugus C=O dimana unsur Oksigen masih memiliki pasangan elektron
bebas yang dapat diterima GYP dan EI, sesuai dengan teori Lewis.
15

Tabel 4 Hasil pengujian karbohidrat dan pH glukomannan yeast product (GYP)


dengan hasil ekstraksi iles-iles (EI)C

Glukosa Mannosa NDF ADF pH


Bahan (%) (%) (%) (%)
GYP 31.89+1.89b 25.7+5.4b 7.77+1.86a 4.14+0.37a 5.00+0.05a
EI 27.43+0.06a 15.2+3.1a 31.84+0.81b 14.26+0.96b 5.67+0.05b
C
banyaknya 6 contoh; a.b dalam satu kolom. huruf yang berbeda menunjukan berbeda secara nyata
pada taraf uji 5% (uji t) ; NDF: Neutral Detergen Fiber; ADF: Acid Detergen Fiber; KBHD:
Karbohidrat.

Senyawa protein dan karbohidrat merupakan penyusun dari dinding sel


S.cerevisae sebagaimana dilaporkan oleh Evan dan Dowson (2007) seperti pada
Gambar 4. Karbohidrat di dalam dinding sel S.cerevisae terdiri dari glukosa,
manosa dan N-acetyglucosamine. Glukosa dan manosa adalah gula utama dalam
dinding sel GYP dan EI. Protein memiliki ikatan kuat dengan ß1-4 glukosa-
mannosa dibandingkan protein berikatan dengan xylan, hal ini disebakan affinitas
protein dengan ß1-4 glukosa-mannosa lebih besar dibandingkan dengan xylan.
Ikatan Protein dengan glukomannan membentuk ikatan hydrogen antara gugus
hidroksil (OH) glukomannan dengan O2 atau NH2 pada asam amino dari protein
(Flint et al. 2004).

Gambar 4 Komposisi penyusun dinding sel S.cerevisae (Evan dan Dowson, 2007)

Perbandingan glukosa dengan manosa dalam GYP diperoleh perbandingan


1,2:1 sedangkan pada EI adalah 1.8:1. Perbandingan Glukosa dan Manosa pada
GYP yang mendekati 1: 1 mendukung teori penyusunan dinding sel S.cerevisae
dimana perbandingan Glukosa dengan manosa mendekati sama (Evan dan
Dowson 2007). Glukomannan hasil ekstraksi umbi tanaman keluarga
Amorphophallus merupakan polisakarida yang terikat dengan ikatan ß1-4 D-
glukosa-D-mannosa (Gambar 5) dengan perbandingan manosa dan glukosa
bervariasi tergantung dari jenis dan asal dari Amorphophallus, seperti pada A.
konjac memiliki perbandingan 1,6: 1 (Sande et al. 2009). Perbandingan glukosa
dengan manosa dari EI lebih banyak glukosa dibanding manosa, hal ini
disebabkan bentuk glukosa dan manosa yang disimpan di dalam umbi sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dari pertumbuhan A. oncophylus.
16

Gambar 5 Struktur molekul glukomannan (Sande et al. 2009)

Kandungan NDF dan ADF antara GYP dengan EI berbeda secara signifikan,
tetapi perbandingan ADF/NDF antara GYP dan EI berturut-turut adalah 0.53 dan
0.45. Kandungan ADF kurang lebih separuhnya dari kandungan NDF. Selisih
antara NDF dan ADF menunjukan kadar hemiselulosa. Monomer penyusun
hemiselulosa biasanya adalah rantai D-glukosa, ditambah dengan berbagai bentuk
monosakarida yang terikat pada rantai, baik sebagai cabang atau mata rantai,
seperti D-mannosa, D-galaktosa, atau monomer lainnya, tergantung dari bahan
yang dianalisa.

Spektrum Near Infra Merah


Spektroskopi near infra merah merupakan salah satu alat yang banyak
dipakai untuk mengidentifikasi senyawa baik alami maupun buatan. Bila
gelombang elektromagnetik near infra merah dilewatkan melalui cuplikan
senyawa organik. maka sejumlah energi akan diserap sedang energi yang lain
diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap. Gambaran antara persen absorbansi
atau persen transmitansi lawan panjang gelombang akan menghasilkan suatu
spektrum infra merah. Transisi yang terjadi didalam serapan infra merah berkaitan
dengan perubahan-perubahan vibrasi dalam molekul (Sastrohamidjojo 2001).
Daerah radiasi spektroskopi infra merah berkisar pada bilangan gelombang 12.800
sampai 10 cm-1 atau pada panjang gelombang 0.78-1000 μm (Khopkar 1990).
Bilangan gelombang 4000 – 1400 cm-1 merupakan daerah panjang gelombang
gugus fungsi. sedangkan pada bilangan gelombang 1400 – 400 cm-1 merupakan
daerah sidik jari (finger print) karena pada bilangan gelombang daerah ini
meyebabkan vibrasi molekul secara keseluruhan.
Pengujian dengan NIRS memiliki beberapa keuntungan antara lain tidak
membutuhkan bahan kimia karena sampel hanya digiling dan langsung dapat
diuji, sampel tidak mengalami kerusakan pada saat pengujian, ramah terhadap
lingkungan karena tidak membuang limbah pengujian dan tingkat presisi
pengujian tinggi (Kadim et al. 2005). Setiap atom dan molekul saling
mempengaruhi membentuk pita-pita absorpsi yang khas. Akan jauh lebih sulit
untuk membedakan ikatan-ikatan tertentu dalam area dengan bilangan gelombang
yang lebih besar. Hal penting dalam area sidik jari adalah setiap senyawa yang
berbeda menghasilkan pola lembah yang berbeda-beda pada spektrum bagian ini
(Kusumastuti 2011).
Karbon aktif memiliki kemampuan menyerap aflatoksin. Daya serap karbon
aktif tergantung pada jenis bahan material pembuatan karbon aktif dan sifat fisik-
kimianya seperti luas permukaan dan distribusi dari pori-pori yang terdapat pada
17

karbon aktif. Metode pembuatan dan perlakuan secara kimia terhadap bahan
karbon aktif sangat mempengaruhi karakteristik permukaan karbon aktif yang
berkait langsung dengan kemampuan dalam penyerapan terhadap mikotoksin
(Galvano et al. 2001). GYP, EI dan Karbon aktif dapat mengurangi efek
merugikan dari aflatoksin pada ayam broiler, walaupun secara rumus kimia
ketiganya berbeda.
Dari spektrum Near infra red GYP dan EI memiliki penyerapan pada
beberapa panjang gelombang tertentu. sedangkan pada karbon aktif terjadi
penyerapan terus menerus dari bilangan gelombang 4 500 sampai 9 500 (Gambar
6, 7 dan 8). Hal ini menggambarkan bahwa senyawa penyusun bahan GYP dan EI
memiliki komposisi molekul lebih bervariasi dibandingkan dengan karbon aktif.
Molekul penyusun GYP dengan iles-iles lebih serupa dibanding GYP dengan
karbon aktif maupun EI dengan karbon aktif, sehingga sebagai bahan pengikat
aflatoksin GYP dan EI merupakan satu kelompok yang berasal dari bahan organik
yang terdiri dari berbagai molekul, sedangkan karbon aktif merupakan pengikat
aflatoksin yang tersusun oleh karbon saja. Molekul penyusun GYP dan EI dapat
dibuktikan dengan hasil pengujian kimia dari GYP dan EI yang mengandung
protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat.

Gambar 6 Spektrum glukomannan yeast product dengan Near Infra Red

Gambar 7 Spektrum ekstraksi iles-iles dengan Near Infra Red


18

Absorpsi gelombang elektromagnetik yang terus menerus menunjukan


bahwa karbon aktif mampu melakukan penyerapan (absorpsi) karena karbon aktif
tersusun oleh pori-pori yang banyak. Sistem kerja pengikatan aflatoksin dari
karbon aktif adalah secara fisik yakni dengan absorpsi, hal tersebut sesuai dengan
penelitian sebelumnya (Denli dan Okan 2006) bahwa karbon aktif mampu
mengurangi efek dari racun aflatoksin dengan sistem penyerapan.

Gambar 8 Spektrum Karbon aktif dengan Near Infra Red

GYP, EI dan karbon aktif memberikan gambaran bahwa GYP dan EI


tersusun oleh beberapa molekul, sedangkan pada karbon aktif lebih sederhana
molekul penyusunnya. Gallo dan Masoero (2010) menyatakan bahwa karbon aktif
tersusun oleh unsur Carbon , Oksigen dan Calsium secara berturut-turut: 89.2;
11.1 dan 0.2% . Karbon aktif terdiri dari material karbon yang memiliki banyak
porositas dari permukaan internal dan tidak memiliki formulasi molekul karena
secara kimia disebut karbon (Cuhadaroglu dan Uygun 2008).

Gugus Fungsi
Gugus fungsi dapat diketahui dengan pengujian dengan FTIR, spektrum
FTIR dari GYP dan EI dapat dilihat pada Gambar 9. Secara garis besar GYP dan
EI memiliki puncak dan lembah yang bersesuaian. Gugus fungsi dari suatu
senyawa ditentukan oleh absorbansi bilangan gelombang/frekuensi

Gambar 9 Spektrum FTIR antara GYP (biru) dengan EI (merah).


19

Senyawa organik terdiri dari dua bagian yakni kerangka karbon yang
merupakan ikatan Karbon dengan Karbon atau Hidrogen dan gugus fungsi.
Bagian gugus fungsi merupakan sekelompok atom (dua atau empat atom) dalam
molekul yang bertanggung-jawab terhadap reaksi kimia dan karakteristik molekul
tersebut. Gugus fungsi yang sama akan mengalami reaksi kimia yang sama
apapun bentuk dan jenis kerangka karbonnya akan tetapi reaktivitas relatifnya
dapat dipengaruhi oleh keberadaan gugus fungsi lain di dekatnya. Kelebihan
spektrofotometer FTIR (Fourier Transform Infra Red) adalah mampu memberikan
informasi gugus fungsi secara tepat dan akurat. Untuk lebih mengenal gugus aktif
dari GYP dengan EI dapat diketahui dari Tabel 5.

Tabel 5 Perbedaan gugus fungsi antara GYP dengan EI


GYP EI Acuan Spektrum
Bilangan Inten- Bilangan Inten- Bilangan Gugus
gelombang sitas gelombang sitas gelombang fungsi
terserap terserap terserap
(Cm-1) (Cm-1) (Cm-1)
3416.71 S 3428.87 S 3500 - 3300 O̶H
2924.46 S 2924.01 S 3400 - 2400 C ̶ H2
2136.86 W 2148.18 W 2250-2100 C̶H
1654.83 S - S 1850-1630 C=O
- 1623.13 S 1640 - 1550 N̶H
1406.97 S 1383.19 S 1475 - 1220 C ̶ H3
1321.71 S
1242.49 S 1246.76 S 1300 - 1000 C̶O̶C
1030.97 S 1027.00 S
913.44 M 782.66 M 1000 - 650 ≡C ̶ H
799.42 M
754.50 M
693.92 M
*
Penetapan Gugus fungsi berdasarkan Pavia et.al (2001)
Persentase transmitansi tinggi memiliki makna nilai absorbansi rendah
karena suatu panjang gelombang yang memiliki tranmitansi tinggi, ketika
melewati sampel panjang gelombang tersebut akan melewati sampel, sehingga
panjang gelombang tersebut sedikit yang terserap ke dalam sampel (absorban
rendah). Beberapa penelitian sebelumnya telah mendapatkan hasil bahwa terdapat
penyerapan spesifik pada bilangan gelombang tertentu yang menunjukan senyawa
glukomannan maupun senyawa lainnya (Yu et al. 2007; Goran dan Milorad 2011).
Jenis gugus fungsi yang ditemukan di dalam GYP memiliki kesamaan
dengan yang dimiliki dalam EI. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa GYP
dan EI memiliki 6 gugus fungsi yang sama yakni O ̶ H, C ̶ H2, C ̶ H , C ̶ H3,
C ̶ O ̶ C dan ≡C ̶ H . Gugus fungsi tersebut sesuai dengan gugus fungsi yang
ditemukan pada molekul glukomannan, yang tersusun oleh glukosa dan mannosa.
Kepemilikan gugus fungsi yang sama ini memberikan peluang EI memiliki
kemampuan mengikat aflatoksin seperti GYP yang sudah dilaporkan memiliki
kemampuan mengikat aflatoksin maupun T-2 baik dalam bentuk tunggal ataupun
kombinasi ke dua toksin tersebut, sehingga GYP mampu meningkatkan
20

pertumbuhan berat badan ayam dan titer antibodinya (Girish dan Devegowda
2006).
Dari molekul GYP dan EI terdapat perbedaan gugus fungsi, yakni GYP
menyerap bilangan gelombang 1654.83, bilangan gelombang tersebut menunjukan
daerah serapan 1850-1630 Cm-1 (gugus C=O). Sedangkan pada EI ditemukan
gugus NH tekuk yakni pada bilangan gelombang 1623.13. Gugus NH regang yang
merupakan gugus yang ditemukan pada senyawa protein tidak teridentifikasi
dalam pengujian FTIR baik pada GYP maupun EI, hal ini disebabkan NH regang
(3500-3100) dalam satu area dengan penyerapan OH regang yakni 3 500 – 3 300,
sehingga ketika terjadi penyerapan gugus OH regang yang kuat akan
menyebabkan penyerapan gugus fungsi NH tertutupi, sehingga yang muncul
dalam spektrogram adalah serapan gugus OH.

Spektrum Glukomannan
Glukomannan merupakan polisakarida dengan ikatan lurus dan sedikit
percabangan, dengan komposisi β-(1→4)-linked D-manosa and D-glukosa dengan
perbandingan 1,6:1 (Tien et al. 2009). Perbandingan percabangan kira-kira 8%
pada ikatan β-(1→6)-glucosyl linkages (Zhang et al. 2001). Dari pengujian yang
dilakukan diperoleh perbandingan manosa dan glukosa pada GYP dan EI secara
berturut turut 1 : 1.2 dan 1 : 1.8.
Adanya Polisakarida didukung juga dengan ditemukannya penyerapan
bilangan gelombang antara 1000 – 700 Cm-1 baik di GYP dan EI, penyerapan dari
bilangan gelombang tersebut menunjukan terjadinya vibrasi tekuk γ C-H (Goran
dan Milorad 2011). Vibrasi tekuk C-H menunjukan ikatan glukosidic dan
mannosidic dari glukomannan. Kondisi tersebut bersesuaian dengan pengujian
kimia bahwa GYP dan EI mengandung glukosa dan manosa, zat tersebut
berangkai membentuk heteropolisakarida.
Dari hasil pengujian FTIR baik GYP maupun EI memiliki serapan pada
bilangan gelombang 1030.97 (GYP) dan 1027.00 (EI). Penyerapan di bilangan
gelombang tersebut menunjukan gugus fungsi C-O yang spesifik pada
glukomannan, sebagaimana dilaporkan oleh Chua et al. (2012) yakni penyerapan
bilangan gelombang antara 1000 – 1300 Cm-1 menunjukan C-O-C bentuk regang
dari group ring piranosa yang dimiliki oleh glukomannan.
GYP maupun EI menyerap bilangan gelombang 3416.71 dan 3428.87
secara berturut-turut. Bilangan gelombang tersebut menunjukan gugus fungsi OH,
karena spesifik dengan bentuk serapannya yang kuat dan membentuk . Gugus
fungsi yang mendukung adanya glukomannan baik pada GYP dan EI adalah OH.
Widjonarko et al. (2011) menyampaikan bahwa struktur glukomannan hasil
ekstraksi Amorphophallus konjac adalah ditemukannya gugus hidroksil (OH).
Gugus O-H merupakan gugus yang potensial membentuk ikatan hidrogen dengan
gugus lainnya seperti C=O maupun NH2. Penemuan gugus OH ini bersesuaian
dengan penemuan sebelumnya yang menyatakan bahwa di dalam glukomannan
merupakan heteropolimer dari glukosa dan mannosa, dalam rangkaian polimer
tersebut ditemukan gugus OH (Erikson et al. 1990).
21

Struktur Aflatoksin
Secara kimia, aflatoksin adalah kelompok difuranocoumarin dengan jenis
utama dari aflatoksin adalah aflatoksin B1 (AFB1), aflatoksin B2 (AFB2),
aflatoksin G1 (AFG1) dan aflatoksin G2 (AFG2 (Murphy et al. 2006). Unsur
pembentuk molekul aflatoksin terdiri dari unsur C, H dan O. Struktur kimia
aflatoksin dapat dilihat pada Gambar 10. Nama kimia dari aflatoksin B1 adalah
Cyclopenta [c] furo [3',2':4,5]furo [2,3h][1] benzopyran-1,11-dione,2,3,6a,9a-
tetrahydro-4-methoxy-,(6aR,9aS), Aflatoksin B2 mengalami penambahan 2
Hidrogen (dihydroaflatoksin dari B1), sehingga rumus kimianya untuk B1 adalah
C17H12O6 sedangkan B2 menjadi C17H14O6. Nama kimia dari aflatoksin G1 adalah
1H,12H-Furo [3',2':4,5] furo [2,3-h] pyrano [3,4-c][1] benzopyran-1,12-
dione,3,4,7a,10a-tetrahydro-5-methoxy-,(7aR,10aS)-, G2 merupakan G1 yang
mengalami penambahan 2 hidrogen, sehingga rumus kimia G1 adalah C 17H12O7
sedangkan G2 adalah C17H14O7 (cbinfo.com 2013).
O O
O R4

O O
O O R3
R3
R2
R2
R5

R1 O O R6 R1 O O OCH3

Aflatoksin B dan turunannya Aflatoksin G dan turunannya


Aflatoksin R1 R2 R3 R4 R5 R6 Aflatoksin R1 R2 R3
B1 H H H =O H OCH3 G1 H H H
B2 H2 H2 H =O H OCH3
M1 H H2 OH =O H OCH3
G2 H2 H2 H
M2 H2 H OH =O H OCH G2a OH H2 H
P1 H H2 H =O H OH
GM1 H H OH
Q1 H H H =O OH OCH3

Gambar 10 Gugus fungsi dalam senyawa beberapa jenis aflatoksin

Aflatoksin B dengan G secara rumus kimia yang membedakan adalah


kandungan unsur Oksigen, pada molekul aflatoksin G kandungan Oksigen lebih
banyak 1 buah dibandingkan pada aflatoksin B yakni pada aflatoksin B memiliki
O6, sedangkan pada aflatoksin G memiliki O7. Untuk tipe 1 dan 2 yang
membedakan adalah kandungan unsur H pada tipe 1 jumlah Hidrogen 12 dan dan
tipe 2 jumlah Hidrogennya 14.

Perubahan Gugus Fungsi GYP


Hasil spektrum FTIR GYP tanpa aflatoksin dan GYP sesudah bereaksi
dengan aflatoksin (Gambar 11).
22

Gambar 11 Spektrum FTIR antara GYP sebelum (biru) dan sesudah (merah)
berikatan dengan aflatoksin

Secara lebih rinci perubahan gugus fungsi GYP sebelum dan sesudah
bereaksi dengan aflatoksin dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Perbedaan gugus fungsi antara GYP dengan GYP + Aflatoksin


GYP GYP+AFL Acuan spektrum
Bilangan Inten- Bilangan Inten- Bilangan Gugus fungsi
gelombang sitas gelombang sitas gelombang
terserap terserap terserap
(Cm-1) (Cm-1) (Cm-1)
3416.71 S 3417.59 S 3500 - 3300 O̶H
2924.46 S 2924.38 S 3400 - 2400 C-H2
2136.86 W 2135.28 W 2250-2100 C̶H
1654.83 S 1651.55 S 1850 - 1630 C=O
1406.97 S 1383.81 S 1475 - 1220 C ̶ H3
1242.49 S 1242.43 S 1300 - 1000 C̶O̶C
1030.97 S 1031.90 S
913.44 M - M 1000 - 650 ≡C ̶ H
799.42 M 801.52 M
754.50 M 756.03
693.92 M 694.61
*
Penetapan Gugus fungsi berdasarkan Pavia et.al (2001), S= strong, W=weak dan M=
medium

Jumlah bilangan gelombang yang terserap pada GYP berkurang setelah


direaksikan dengan aflatoksin yakni pada gugus fungsi ≡C ̶ H (di luar bidang)
pada bilangan gelombang 913.44 tidak tampak lagi setelah GYP berikatan dengan
aflatoksin. Perubahan gugus fungsi menunjukan adanya perubahan kimiawi.
Berkurangnya gugus ≡C ̶H memberikan gambaran perubahan dari rantai
glukomannan GYP setelah bereaksi dengan aflatoksin.
23

Perubahan Gugus Fungsi EI


Spektrum EI sebelum dan sesudah berikatan dengan aflatoksin dapat dilihat
pada Gambar 12.

Gambar 12 Spektrum FTIR antara ekstraksi iles-iles sebelum (biru) dengan


sesudah (merah) berikatan dengan aflatoksin

Untuk lebih jelasnya susunan gugus fungsi dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah
ini.

Tabel 7 Perbedaan gugus fungsi antara Ekstraksi iles-iles dengan Ekstraksi Iles-
Iles bereaksi Aflatoksin
EI EI+Aflatoksin Acuan Spektrum
Bilangan Inten- Bilangan Inten- Bilangan Gugus
gelombang sitas gelombang sitas gelombang fungsi
terserap (Cm-1) terserap (Cm-1) terserap (cm-1)
3428.87 S 3428.47 S 3500 - 3300 O̶H
2924.46 S 2924.01 S 3400 - 2400 C ̶ H2
2148.18 W 2138.09 W 2250-2100 C̶H
- - 1917.75 W 2100 - 1850 C≡C
1867.16 W
- - 1646.95 W 1850-1630 C=O

1623.13 S - S 1640-1550 N̶H


1383.19 S 1381.93 S 1475 - 1220 C ̶ H3
1321.71 S 1321.50 S
1246.76 S 1248.29 S 1300 - 1000 C̶ O̶C
1027.00 S 1028.06 S
782.66 M 782.55 W 900-690 ≡C-H
*
Penetapan Gugus fungsi berdasarkanPavia et.al (2001) S= strong, W=weak dan M=
medium
24

Terjadi perubahan penyerapan bilangan gelombang pada ekstrak iles-iles


dalam bentuk tunggal apabila dibandingkan dengan ekstrak iles-iles direaksikan
dengan aflatoksin. Penyerapan bilangan gelombang pada ekstrak iles-iles setelah
bereaksi dengan aflatoksin tampak pada daerah bilangan gelombang tinggi (4000-
3500) dan 2000-1750 Cm-1 dengan intensitas bersifat lemah. EI setelah
direaksikan dengan aflatoksin muncul gugus fungsi, C≡C (1917.75 dan 1867.16)
dan C=O (1646.95) dan hilangnya gugus NH (bengkok).
Terjadinya perubahan kimia, setelah GYP dan EI bereaksi dengan
aflatoksin, hal ini mendukung teori adanya ikatan kimia antara GYP maupun EI
dengan aflatoksin. Hilangnya gugus fungsi N ̶ H, maupun timbulnya gugus C≡C
dan C=O di EI mendukung teori ikatan Hidrogen antara molekul glukomannan
dengan aflatoksin. Senyawa kompleks ikatan glukomannan dan aflatoksin
menyebabkan aflatoksin tidak terserap ke dalam tubuh melalui pembuluh darah
tetapi terbuang bersama feses karena glukomannan merupakan heteropolisakarida
yang tidak terserap dalam sistem pencernaan.

Teori Ikatan Glukomannan dan Aflatoksin


Dalam struktur aflatoksin ditemukan beberapa gugus fungsi, yakni C-H,
C-H2, CH3, C-OH dan C=O. Dari gugus fungsi aflatoksin yang paling reaktif
adalah gugus C=O, yang bersifat pengoksidasi, sedangkan di sisi lain
glukomannan memiliki gugus fungsi –OH yang bersifat pereduksi. Gugus C=O
pada 1 molekul aflatoksin baik tipe B1, B2, G1, G2, M1 dan M2 ditemukan 2
buah. Struktur siklik dari aflatoksin yang terdiri bicoumarin memiliki struktur
yang kuat ikatannya dan sulit untuk dipecah supaya mudah bereaksi dengan
senyawa lain. Struktur siklik inilah memberikan sifat fisik aflatoksin stabil dengan
proses pemanasan dari lingkungannya. Aflatoksin memiliki titik lebur antara 237-
289°C, sehingga jika ingin menghancurkan aflatoksin dengan pemanasan akan
menghancurkan pula nutrisi pada pakan yang dicemari aflatoksin. Salah satu
peluang untuk mengikat aflatoksin adalah pada gugus fungsi carbonil (C=O).
Glukomannan apabila bertemu aflatoksin akan terjadi ikatan Hidrogen
antara gugus –OH pada molekul glukomannan dengan gugus C=O pada molekul
aflatoksin. Terjadinya ikatan Hidrogen dapat dibuktikan dengan penurunan
frekuensi dari gugus OH setelah direaksikan dengan aflatoksin pada EI. Dalam EI
sebelum dan sesudah bereaksi dengan aflatoksin menyerap bilangan gelombang
secara berturut-turut menjadi 3428.87 dan 3428.47. Penurunan penyerapan
bilangan gelombang ini disebabkan ketika gugus OH bebas tidak berikatan maka
energi untuk vibrasi tarik (stretching) lebih besar, bisa lebih panjang posisi
tariknya, karena tidak ada pengaruh dari atom lainnya, baik terhadap atom O
ataupun dengan atom H. Gugus OH setelah bereaksi dengan ikatan hidrogen baik
dengan atom O, N dan F (memiliki elektron bebas) maka ikatan OH akan menjadi
panjang karena tarikan dari pembentukan ikatan hidrogen, sehingga ketika terjadi
penyerapan bilangan gelombang dalam pengujian FTIR akan berkurang frekuensi
gelombang elektromagnetik yang diserap, seperti dalam hasil pengamatan dalam
EI ada penurunan bilangan gelombang 0.40 Cm-1.
Besarnya rata-rata kekuatan ikatan hidrogen adalah 37 kj.mol-1 (Nogrady,
.
1992) Kekuatannya memang tidak sekuat ikatan ionik tetapi ikatan Hidrogen
25

lebih kuat dibanding ikatan dwi kutub (dipole) maupun ikatan Vander waals.
Dengan energi ikatan tersebut mampu untuk mengikat aflatoksin, apalagi
didukung secara sifat fisika dari glukomannan yang berbentuk panjang, bercabang
dengan berat molekul glukomannan dari Amorphophallus 2.508 x105  g/mol
sedangkan aflatoksin hanya antara 312-330, hal ini memudahkan aflatoksin terikat
oleh glukomannan.
Dalam satu molekul glukosa atau manosa memiliki gugus 5–OH, sehingga
potensi mengikat aflatoksin besar. Teori ikatan glukomannan dan aflatoksin yang
kita ajukan ini sesuai dengan pendapat (Andrellos et al. 1964) bahwa aflatoksin
bereaksi lebih kuat dengan gugus fungsi hydroksil (-OH). Ikatan aflatoksin dan
glucomannan menyebabkan membentuk ikatan kompleks polisakarida dengan
aflatoksin sehingga aflatoksin tidak akan terserap dalam tubuh ternak, tetapi akan
terbuang bersama feses. Bentuk ikatan glukomannan dengan aflatoksin, dengan
menggunakan Program Chem Draw Ultra 8.0 dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Teori ikatan glukomannan dengan aflatoksin (diolah dengan program


Chem Draw Ultra 8.0)

SIMPULAN

Hasil uji Fisika menunjukan bahwa tekstur dan energi bruto glukomannan
yeast product dan ekstrak iles-iles tidak berbeda nyata(p<0.05). Hasil uji
proksimat (kadar air. kadar abu. protein kasar. lemak kasar dan serat kasar)
glucomannan yeast product dan ekstraksi iles-iles berbeda nyata, kecuali pada
kandungan serat kasar. Kandungan kadar air, lemak bahan ekstrak tanpa nitrogen
karbohidrat pada ekstrak iles-iles lebih tinggi dibandingkan glukomannan yeast
product, sedangkan kadar abu, protein dan mannan lebih rendah (p<0.05).
Terdapatnya polisakarida glukomannan pada glukomannan yeast product dan
ekstrak iles-iles dibuktikan dengan uji kimia dan uji FTIR. Secara pengujian kimia
di dalam glukomannan yeast product dan ekstrak iles-iles secara berturut turut
memiliki perbandingan manosa dan glukosa 1 : 1.2 dan 1 : 1.8 sedangkan secara
spektral ditemukan penyerapan bilangan gelombang 1000 – 700 Cm-1, 1300–1000
Cm-1 dan 3400-2400 Cm-1. Penyerapan bilangan gelombang 1000 – 700 Cm-1
menunjukan vibrasi tekuk C-H menunjukan ikatan glukosidic dan mannosidic
dari glukomannan, 1300 – 1000 Cm-1 menunjukan gugus C-O bentuk regang dari
26

group ring piranosa yang dimiliki oleh glukomannan dan bilangan gelombang
antara 3400-2400 Cm-1 menunjukan gugus fungsi OH yakni gugus fungsi yang
ditemukan pada glukomannan yang mampu membentuk ikatan Hidrogen.
Spektrum NIR antara glukomannan yeast product dan ekstrak iles-iles
menunjukan bahwa sebagai bahan pengikat aflatoksin kedua bahan pengikat
merupakan satu kelompok yang berasal dari bahan organik. Hasil pengujian
dengan FTIR antara glukomannan yeast product dan ekstrak iles-iles memiliki
gugus fungsi yang sama yakni O ̶ H, C ̶ H 2, C ̶ H, C ̶ H3, C ̶ O ̶ C dan ≡C ̶ H ,
tetapi ada gugus fungsi yang hanya dimiliki GYP yakni C=O dan hanya dimiliki
EI yakni gugus fungsi N ̶ H (bengkok).
Interaksi glukomannan yeast product dan ekstrak iles-iles dengan aflatoksin
menghasilkan perubahan kimia, dengan indikasi perubahan gugus fungsi sebelum
dan sesudah diinteraksikan dengan aflatoksin. Gugus fungsi glukomannan yeast
product berkurang bilangan gelombang pada gugus ≡C ̶ H dan ekstrak iles-iles
tidak nampak N ̶ H (regang) setelah direaksikan dengan aflatoksin. Interaksi
ekstrak iles-iles dan aflatoksin menunjukan adanya gugus fungsi C≡C dan C=O.
Terjadinya perubahan kimia ini menunjukan kemampuan glukomannan yeast
product dan ekstrak iles-iles mampu melakukan pengikatan terhadap aflatoksin.
Teori ikatan glukomannan dari iles-iles dengan aflatoksin adalah ikatan Hidrogen
dengan dibuktikan penurunan frekuensi yang diserap oleh gugus OH setelah
berikatan dengan aflatoksin.
27

3 PENGIKATAN AFLATOKSIN OLEH GLUKOMANNAN


YEAST PRODUCT DAN GLUKOMANNAN
HASIL EKSTRAKSI ILES-ILES
(Uji In Vitro)

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan glukomannan yeast
product (GYP) dan glukomannan hasil ekstraksi dari Amorphophallus oncophylus
(iles-iles) dalam mengikat aflatoksin dengan uji in vitro. Sebelum diuji in vitro
GYP dan glukomannan hasil ekstraksi iles-iles (EI) diuji proksimat, glukosa dan
mannosa. Uji in vitro menggunakan bahan aflatoksin, bahan pengikat (GYP dan
EI), cairan gastro intestinum ayam broiler 3% dalam larutan ringer. Perlakuan dari
pengujian in vitro dilakukan dalam tabung yang diisi cairan gastro intestinal 40
ml, bahan pengikat GYP atau EI dengan berat masing-masing 41.05; 82.1; 123.15
dan 164.2 mg dan berat aflatoksin 0.1642 µg di setiap tabung. Kontrol dari
pengujian menggunakan tabung yang hanya diisi cairan gastro intestinal dan
aflatoksin tanpa bahan pengikat. Tabung dikocok dan disentrifuse, supernatan
yang diperoleh diuji kandungan aflatoksin menggunakan metode ELISA. Hasil
penelitian menunjukan persentase pengikatan aflatoksin meningkat sesuai dengan
bertambahnya berat bahan pengikat baik GYP maupun EI. Persentase daya ikat
aflatoksin GYP adalah 19.72%; 21.51%; 42.25%; 46.35% dan EI adalah 4.08%;
28.72%; 36.73%; dan 89.07% secara berturut turut. Hubungan antara berat GYP
dan EI memiliki korelasi positip yang signifikan (P<0.05) dengan nilai koefisien
korelasi untuk GYP adalah 0.9602 dan EI adalah 0.9338. Persamaan regresi dari
GYP adalah Yp = -6.92 + 12.03X, sedangkan untuk EI adalah Ye = -31.53 +
21.07X. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa secara in vitro glukomannan hasil
ekstraksi iles-iles mampu mengikat aflatoksin, sehingga dapat dilanjutkan ke uji in
vivo.

Kata kunci: Aflatoksin, Pengikatan, Glukomannan, in vitro

ABSTRACT
Aim of research was to test capability of glucomannan yeast product
(GYP) and glucomannan product of Amorphophallus oncophyllus extraction
(GPE) bind to aflatoxin with in vitro testing. Before in vitro testing, both GYP and
GPE analized to containing proximate, glucose and mannose. In vitro testing used
gastro intestinum chicken fluid in ringer solution 3%, binders, and aflatoxin.
Treatments of in vitro testing were conducted by filled gastro intestinum chicken
fluid 40 ml, weight of binders (GYP or GPE) were 41.05; 82.1; 123.15 and 164.2
mg and weight of aflatoxin was 0.1642 µg of each tube. Control samples were
done by filled chicken fluid 40 ml and aflatoxin without binders. Tubes were
shaked and then centrifuged, supernatan were analized containing of aflatoxin
with ELISA. The results of study showed that percentage of aflatoxin binding
increase by increased of weight either glucomannan from yeast product or
glucomannan resulted from A. oncophylus extraction. Percentage of aflatoxin
binding with binder of both glucomannan yeast product was 19.72%; 21.51%;
28

42.25%; 46.35% and glucomannan from A. oncophyllus extraction was 4.08%;


28.72%; 36.73%; and 89.07%, consecutively. There were positive correlation
significantly (p<0.05) between weight of binder and percentage of aflatoxin
binding, with coefficient correlation GYP 0.9602 and GPE 0.9338. In regression
modelling, equation linear of GYP is Yp = -6.92 + 12.03x and GPE is
Ye = -31.53 + 21.07x. It is concluded that in vitro testing glucomannan product
of extraction from A. oncophyllus can bind aflatoxin, so that extract of A.
oncophyllus could be continued in vivo testing.

Key Words : aflatoxin, binding, glucomannan, in vitro

PENDAHULUAN
Setelah komposisi kimia diketahui bahwa antara glukomannan yeast
product dengan glukomannan hasil ekstraksi iles-iles memiliki komposisi kimia
yang bersesuaian, khususnya gugus fungsinya, maka perlu dilanjutkan ke uji in
vitro untuk mengukur kemampuan dalam pengikatan aflatoksin. Pengujian in vitro
merupakan bentuk uji coba awal untuk mengetahui kemampuan pengikatan
terhadap aflatoksin yang tidak menggunakan uji coba pada makhluk hidup, tetapi
hanya menggunakan bagian makhluk hidup seperti cairan saliva, cairan usus dan
sebagainya.
Uji in vitro merupakan uji coba yang dilaksanakan di laboratorium,
walaupun uji in vitro tidak selalu sama dengan uji in vivo, seperti pada pengujian
HSCAS secara in vitro positip mampu mengikat okratoksin tetapi dalam uji in
vivo tidak mampu melindungi dari efek negatif Okratoksin (Plank et al. 1990).
Dengan uji in vitro kita akan mengetahui potensial dari suatu bahan dalam
pengikatan terhadap aflatoksin. Peralatan dan metode pengujian in vitro lebih
sederhana dibandingkan dalam pengujian in vivo. Uji in vitro menggunakan
standar aflatoksin dalam jumlah lebih kecil apabila dibandingkan dengan uji in
vivo karena dalam uji in vitro aflatoksin langsung direaksikan dengan bahan
pengikat di laboratorium.
Metode in vitro yang diambil adalah in vitro sebagai model pada unggas
karena dalam metode ini menggunakan cairan gastrointestinal ayam broiler.
Pemilihan metode ini dengan pertimbangan setelah pengujian in vitro akan
dilanjutkan pada pengujian in vivo pada ayam broiler. Ayam broiler rentan
terhadap serangan aflatoksin dibandingkan pada hewan ruminansia karena
aflatoksin banyak ditemukan pada pakan unggas. Kebutuhan standar aflatoksin
juga lebih sedikit karena konsumsi dari ayam broiler lebih sedikit apabila
dibandingkan dengan ruminansia. Selain itu batas maksimal persyaratan mutu
pakan ayam broiler hanya 50 ppb sedangkan dalam ruminansia seperti sapi perah
sekitar 100 ppb. Standar aflatoksin merupakan bahan kimia yang relatif mahal dan
jumlah ketersediaan di pasar sangat terbatas, sehingga dalam menggunakan harus
efisien dan efektif.
Dengan melakukan uji in vitro dapat dibandingkan kemampuan
glukomannan yeast product dan glukomannan hasil ekstraksi iles-iles dalam
mengikat aflatoksin. Selain itu tingkat hubungan (korelasi) antara faktor berat
29

bahan pengikat dengan persentase aflatoksin yang terikat dapat diketahui dengan
mengukur koefisien korelasi dari kedua faktor. Apabila terdapat hubungan yang
signifikan dapat dilanjutkan dengan pengujian regresi, sehingga diperoleh
persamaan regresi yang dapat digunakan untuk memprediksi berat aflatoksin yang
terikat oleh berat bahan pengikat GYP ataupun EI secara in vitro. Pengujian
secara in vitro dapat digunakan untuk menscreening kemampuan daya ikat dari
glukomannan hasil ekstraksi iles-iles terhadap aflatoksin, apabila memiliki daya
ikat terhadap aflatoksin maka ekstrak iles-iles memiliki potensi sebagai pengikat
aflatoksin dan dapat dilanjutkan dengan uji in vivo, yakni uji coba pada ternak
hidup.

METODE PENELITIAN

Bahan
Bahan yang digunakan untuk uji in vitro antara lain glukomannan yeast
product, glukomannan hasil ekstraksi iles-iles, larutan ringer, larutan
gastrointestinal ayam broiler, standar aflatoksin (@Biopure). Untuk pengujian
aflatoksin disediakan satu kit pengujian Elisa (@R biopharm) yang terdiri dari
conjugat, stop solution, standar aflatoksin, antigen dan antibody. Alat yang
digunakan antara lain sentrifuse dan ELISA reader.

Metode
Pelaksanaan pengujian diawali dengan membuat pelarut A yang
mengandung aflatoksin B1 0.821 µg/ml. Berat bahan pengikat baik GYP dan EI
yang mau diuji adalah 41.05; 82.1; 123.15; 164.2 mg dimasukan dalam tabung
inkubasi (100 ml), kemudian masukan 0.2 ml larutan A dan 40 ml air ringer yang
mengandung 3% larutan gastrointestinal ayam. Perbandingan berat aflatoksin
dengan bahan pengikat (0.1642 : 82.100 µg) dalam penelitian ini, memiliki
perbandingan 1: 500 000 (b/b) sesuai dengan perbandingan yang telah dilakukan
pada penelitian sebelumnya (Moschini et al. 2008). Perbandingan ini dipilih untuk
menggambarkan kondisi di lapangan.
Pada saat menambah larutan sambil digoyang dengan hati-hati supaya
bahan pengikat, aflatoksin dan pelarut bisa bercampur. Pengujian dilakukan duplo
untuk setiap pengujian. Kontrol sampel dibuat dengan memasukan ke dalam
tabung 0.2 ml pelarut A, ditambah 40 ml larutan ringer yang mengandung 3%
gastrointestinal tanpa diberi bahan pengikat mikotoksin. Tabung yang berisi
perlakuan dan kontrol diinkubasi pada waterbath shaker pada suhu 39 °C selama
2 jam sambil digoyang, seperti pada Gambar 14.
30

Gambar 14 Inkubasi in vitro bahan pengikat dengan aflatoksin


Pada akhir inkubasi larutan di sentrifuse (3500xg selama 15 menit)
supernatant yang diperoleh dianalisa kadar aflatoksinnya dengan metode ELISA
(Enzyme Linked Immunosorbent Assay) dan dibaca pada ELISA reader pada
panjang gelombang 450 nm. Test kit Ridascreen yang digunakan dalam pengujian
ELISA adalah model analisa ELISA kompetitif yang termasuk analisa kuantitatif.
Kemampuan mengikat dari bahan pengikat atau disebut persentase aflatoksin
terikat diperoleh dengan menghitung selisih kandungan aflatoksin pada kontrol
(perlakuan tanpa penambahan bahan pengikat) dengan kandungan aflatoksin pada
perlakuan penambahan bahan pengikat yang sedang diukur persentase aflatoksin

Terikat dibagi dengan kadar aflatoksin dalam kontrol, atau dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
% Afl =[ (A-B)/A ] x 100

Keterangan:
% Afl = Persentase aflatoksin yang terikat
A = Konsentrasi aflatoksin supernatan pada kontrol (tanpa bahan pengikat)
B = Konsentrasi aflatoksin supernatan pada sampel perlakuan yang sedang
diukur

Analisa Data
Data persentase aflatoksin terikat yang diperoleh diolah secara statistik
deskriptif dalam bentuk tabel maupun gambar. Untuk analisa korelasi dan regresi
dan pengolahan data menggunakan sidik ragam (ANOVA) menggunakan progam
IBM SPSS versi 19, dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil penelitian
dilaporkan dan dibahas sesuai kaidah penulisan pedoman penyajian karya ilmiah
(IPB 2012).
31

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil kandungan aflatoksin pada supernatan larutan setelah disentrifuse,
menggambarkan kandungan aflatoksin yang tidak terikat oleh bahan pengikat
yang diuji. Aflatoksin yang terikat oleh bahan pengikat akan terikat bersama
bahan GYP atau EI di dalam presipitat, sehingga semakin banyak aflatoksin yang
terikat oleh bahan pengikat maka akan semakin kecil kandungan aflatoksin di
dalam supernatan. Hasil pengujian aflatoksin pada supernatan dan persentase
aflatoksin yang terikat oleh bahan pengikat dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Konsentrasi aflatoksin pada supernatan dan pesentase aflatoksin terikat


Glucomannan Yeast Produt Ekstraksi Iles-Iles
Berat bahan
Konsentrasi Persentase Konsentrasi Persentase
pengikat
aflatoksin dalam aflatoksin aflatoksin dalam aflatoksin
(mg)
supernatan terikat supernatan terikat
(μg/L) (%) (μg/L) (%)
0 7.81+1.14 - 6.86+0.04 -
41.05 6.27+0.07 19.72 6.58+0.28 4.08
82.1 6.13+0.10 21.51 4.89+1.13 28.72
123.15 4.51+0.19 42.25 4.34+0.42 36.73
164.2 4.19+0.21 46.35 0.75+0.16 89.07

Kandungan Aflatoksin pada Supernatan


Uji in vitro dilakukan pada media larutan ringers yang mengandung cairan
gastro intestinal ayam 3% dengan perlakuan berat bahan pengikat pada bobot 0;
41.05; 82.1; 123.15 dan 164.2 mg diuji daya ikat pada aflatoksin B1 dengan
konsentrasi 0.821µg/ml. Larutan A 0.2 mL mengandung aflatoksin 0.821 µg/mL
dimasukan dalam setiap tabung, sehingga setiap tabung pada perlakuan dan
kontrol mengandung 0.1642 µg. Perbandingan berat bahan pengikat (41.05; 82.1;
123.15; and 164.2 mg ) dengan berat aflatoksin adalah: 2.5x105; 5x105; 75x105
and 106 secara berturut-turut.
Persentase daya ikat terhadap aflatoksin antara GYP dan EI mengalami
peningkatan sesuai peningkatan berat bahan pengikat (41.05; 82.1; 123.15
dan 164.2 mg) yakni pada GYP secara berturut-turut adalah 19.72; 21.51; 42.25;
46.35% dan EI adalah 4.08; 28.72; 36.73 dan 89.07%. Semakin bertambah
jumlah berat bahan pengikat maka akan semakin banyak jumlah molekul bahan
pengikat, sehingga semakin besar pula peluang berinteraksi dengan molekul
aflatoksin dan hasilnya aflatoksin dapat diikat dengan GYP maupun EI.
Begitupula, peningkatan jumlah molekul aflatoksin akan mengurangi nilai
persentase daya ikat terhadap aflatoksin, karena bahan pengikat memiliki batas
maksimum daya ikat (Manafi et al. 2009). Hubungan berat bahan pengikat dengan
persentase pengikatan aflatoksin dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 15.
32

Gambar 15 Persentase pengikatan aflatoksin antara GYP dan EI

EI terbukti memiliki kemampuan mengikat aflatoksin sebagaimana GYP.


bahkan daya ikatnya lebih tinggi dibanding GYP. Hasil pengamatan ini sesuai
dengan hasil penelitian sebelumnya (Gallo dan Maesoro 2010) yang menyatakan
bahwa glukomannan yeast produk memiliki daya ikat paling rendah dibandingkan
dengan bahan bahan pengikat lainnya silikat mineral (Calsium, Magnesium dan
Natrium bentonit, Kaolinit, Zeolit dan Clinoptinolit) dan karbon aktif dalam uji
invitro baik simply water model (W), gastro-intestinal stimulating monogastric
model (MM) dan ruminant model (RM).
Bobot bahan pengikat 164 mg mampu mengikat 89.11% sedangkan GYP
hanya 46.38%. Optimalisasi persentase daya ikat terhadap aflatoksin pada EI
sudah dapat tercapai pada penggunaan berat pengikat 164.2 mg atau pada
perbandingan aflatoksin dengan berat bahan pengikat adalah 1: 106. Kebutuhan
bahan pengikat EI yang ditambahkan pada pakan untuk mengikat aflatoksin lebih
kecil dibandingkan dengan GYP.

Kemampuan Mengikat Aflatoksin


GYP dan EI mampu mengikat aflatoksin karena mengandung protein dan
karbohydrat. Fraksi karbohidrat terdiri dari glukosa manosa dan N-
acetyglucosemine. Glukosa dan manosa merupakan bahan utama dari karbohidrat
yang ditemukan di dalam GYP dan EI. Ikatan manosa dalam dinding sel jamur S.
cereviseae bervariasi ukuran dan tersebar di permukaan dinding sel dan berikatan
dengan protein (Evan dan Dawson 2007).
Penelitian in vitro mampu menyeleksi bahan yang potensial mampu
mengikat aflatoksin. Penelitian in vitro harus dilengkapi dengan penelitian secara
in vivo, karena keberhasilan pengikatan aflatoksin harus bisa berproses pada
sistem pencernaan ternak dan memberikan perlindungan tubuh ternak dari efek
negatif dari aflatoksin seperti penurunan pertambahan berat tubuh ternak,
kegagalan vaksinasi dan sebagainya.
33

Uji Regresi
Pengujian in vitro bahan pengikat GYP dan EI dilakukan uji regresi, GYP
maupun EI memiliki korelasi secara signifikan antara berat bahan pengikat dengan
persentase aflatoksin terikat pada tingkat kepercayaan 0.95. Nilai koefisen
korelasi pada bahan pengikat GYP 0.9602 lebih besar dibandingkan dengan bahan
pengikat EI sebesar 0.9338. Hal ini menunjukan ada hubungan korelasi bahwa
semakin bertambah berat bahan pengikat akan menambah persentase pengikatan
aflatoksin, walaupun ada titik jenuhnya. Nilai hubungan antara berat bahan
pengikat dengan persentase aflatoksin terikat lebih kuat hubungannya pada GYP
dibandingkan EI walaupun berat kedua bahan pengikat tersebut memiliki
hubungan yang kuat dengan persentase aflatoksin terikat.
Berat bahan pengikat GYP dan EI memiliki hubungan yang kuat dengan
persentase aflatoksin terikat maka dapat dilanjutkan dengan uji regresi. Persamaan
regresi berdasarkan analisa regresi dengan SPSS dimana, Y adalah persentase
pengikatan aflatoksin (%) dan X adalah berat bahan pengikat (mili gram), maka
persamaan regresi untuk GYP adalah Yp = -6.92 + 12.03x. sedangkan untuk EI
Ye = -31.53 + 21.07x. Koefisien regresi menunjukan pada besarnya perubahan
pada variabel dependen (persentase pengikatan aflatoksin) yang diakibatkan oleh
adanya perubahan pada variabel independen (berat bahan pengikat). Rentang nilai
dependen pada EI lebih lebar yakni 0 sampai 89.07 sedangkan pada GYP 0
sampai 46.35 sehingga koefisien regresi pada EI (21.07) lebih besar daripada GYP
(12.03). Sensitivitas bahan pengikat EI lebih tinggi dibandingkan GYP. hal ini
ditunjukan pula dengan nilai koefisien regresi EI lebih besar dibandingkan GYP.
karena kofisien regresi tinggi berarti dengan perubahan kecil pada berat bahan
pengikat akan memberikan respon yang besar pada persentase daya ikat terhadap
aflatoksin.

Penerapan Ekstrak Iles-Iles


Ekstrak iles-iles mampu mengikat aflatoksin secara in vitro, bahkan
persentase pengikatan aflatoksin lebih tinggi dibandingkan GYP dalam berat
bahan pengikat yang sama. Oleh karena itu EI bisa menjadi feed aditif sebagai
pengikat aflatoksin sebab memenuhi kemampuan daya ikat terhadap aflatoksin
secara in vitro. Uji in vitro hanya menggunakan bagian dari makhluk hidup yakni
larutan gastrointestinal dalam penelitian ini, sehingga EI harus dilanjutkan dalam
uji in vivo yakni diujicobakan pada ternak hidup.
Rekomendasi teknis penggunaan bahan pengikat aflatoksin dari European
Food Safety Authority (EFSA 2010) menyatakan pengujian bahan pengikat
mikotoksin tidak hanya dilakukan dengan uji in vitro saja tetapi juga harus
dilakukan dengan pengujian secara in vivo untuk mengetahui efek dari bahan
tersebut. Titik kritis dari bahan pengikat mikotoksin adalah tidak selektif dalam
pengikatan terhadap mikotoksin, karena bahan pengikat bisa mengikat bahan
nutrisi, obat atau zat lain yang dibutuhkan oleh ternak. Dengan uji in vivo maka
interaksi bahan pengikat mikotoksin dengan zat-zat yang berguna di dalam saluran
pencernaan dapat diketahui dengan mengamati pengaruh pemberian bahan
pengikat dengan perubahan fisiologi pada ternak seperti pertambahan berat badan,
perubahan klinis pada ternak, kandungan nutrisi dalam bagian tubuh ternak,
perubahan histologi dan sebagainya.
34

SIMPULAN
Glukomannan yeast produk dan glukomannan hasil ekstraksi A.
oncophyllus mampu mengikat aflatoksin, secara in vitro. Berat bahan pengikat
41.05; 82.1; 123.15 dan 164.2 mg menghasilkan persentase pengikatan aflatoksin
pada glukomannan yeast produk sebesar 19.72; 21.51; 42.25; 46.35% dan ekstrak
iles-iles adalah 4.08; 28.72; 36.73 dan 89.07% secara berturut turut. Perbandingan
optimum untuk mengikat aflatoksin pada ekstrak iles-iles adalah perbandingan
berat aflatoksin dengan berat bahan pengikat adalah 1 : 106. Persamaan regresi
pada glukomannan yeast product adalah Yp = -6.92 + 12.03x, sedangkan untuk
ekstrak iles-iles adalah Ye = -31.53 + 21.07x. Glukomannan dari A. oncophyllus
memiliki potensi sebagai bahan pengikat aflatoksin dan dapat dilanjutkan dengan
uji in vivo.
35

4 PENGIKATAN AFLATOKSIN OLEH


GLUKOMANNAN YEAST PRODUCT DAN GLUKOMANNAN
HASIL EKSTRAKSI ILES-ILES
(Uji In vivo)
ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini untuk membandingkan kemampuan untuk


mengikat aflatoksin oleh glukomannan yeast product (GYP) dan glukomannan
hasil ekstraksi iles-iles (EI) pada ayam broiler. Ayam dipelihara selama 35 hari
dalam kandang baterai dengan rancangan percobaanya menggunakan rancangan
acak lengkap. Jumlah ayam broiler yang digunakan adalah 63 ekor DOC dan
dibagi sama menjadi 9 grup, sehingga setiap kelompok dilakukan pengulangan 7
ekor. Sembilan kelompok mendapat perlakuan: kelompok kontrol negatif, yakni
diberi pakan basal tanpa penambahan aflatoksin dan bahan pengikat (1),
Kelompok 2 dan kelompok 3 diberi pakan basal yang ditambah aflatoksin
berturut-turut 50 μg/kg dan 2 mg/kg secara berturut-turut, kelompok 4, 5, dan 6
diberi pakan basal yang ditambah aflatoksin 50 μg/kg dan ditambah bahan
pengikat GYP 1 g/kg, EI 1g/kg and EI 2 g/kg secara berturut-turut dan kelompok
7, 8 dan 9 diberi pakan basal yang diberi aflatoksin 2 mg/kg yang ditambah GYP
1 g/kg, EI 1g/kg and EI 2 g/kg secara berturut-turut. Pengukuran berat ayam
hidup, konsumsi dan efisiensi pakan (feed conversion ratio) dilakukan pada semua
ayam yang digunakan untuk penelitian, dan pada akhir penelitian dilakukan
pengambilan darah melalui pembuluh darah vena pektoralis 5 ekor setiap
kelompok. Kesimpulan dari penelitian ini adalah aflatoksin menyebabkan
penurunan efisiensi pakan, penurunan PCV, penurunan titer antibodi terhadap ND,
perubahan warna hati dan peningkatan berat organ hati. Dosis ekstrak iles-iles
1 g/kg pakan mampu melindungi ayam dari pengaruh negatif cemaran aflatoksin
50 μg/kg dan 2 mg/kg yakni penurunan berat akhir ayam hidup, penurunan jumlah
konsumsi pakan, efisiensi pakan, anemia, peningkatan berat organ hati, perubahan
makroskopis, perubahan mikroskopis hati dan penurunan titer antibodi ND pada
cemaran aflatoksin50 μg/kg, tetapi belum mampu meningkatkan titer antibodi
terhadap ND pada cemaran aflatoksin konsentrasi 2 mg/kg.

Kata kunci : aflatoksin, Amorphophallus oncophylus, anemia, glukomannan

ABSTRACT

The objective of study to compare ability of aflatoxin binding between


glucomannan yeast product (GYP) and glucomannan product of Amorphophallus
oncophyllus extraction (GPE) on broiler chicken. A total 63 one day old chicken
were assigned to 9 equal groups according to dietary treatment: the control
negative chicken (group 1) received basal feed, group 2, received contaminated 50
μg/kg aflatoxin feed and group 3 received contaminated 2 mg/kg aflatoxin feed.
Groups 4, 5 and 6 received contaminated 50 μg/kg aflatoxin feed and suplemented
GYP 1 g/kg, GPE 1g/kg and GPE 2 g/kg respectively. Groups 7, 8 and 9 received
contaminated 2 mg/kg aflatoxin feed and suplemented GYP 1 g/kg, GPE 1g/kg
36

and GPE 2 g/kg respectively. Body weight, feed intake and efficiency feed (feed
conversion ratio) were assessed on all birds and at the end of experiment, plasma
parameter (Packed cell volume, Hemoglobin, Mean corpusculler Hemoglobin cell
and glucose), serum parameter (antibody ND). Relative weight of visceral organ
(liver, candiac, spleen and kidney) were determined in 5 chicken from each
experimental group. As conclution of research, aflatoxin caused decreasing
efficiency of feed, decreasing of PCV and titer antibody against ND, changing of
colour of hepar, and increasing weight of liver. The histopathological signs in
hepatic of broilers are characterized by hepatic lesions such as, hemorhagic and
lipid degeneration. Dosage glucomannan product of Amorphophallus oncophyllus
extraction 1 g/kg can alleviate detrimental effects of aflatoxin 50 μg/kg and 2
mg/kg include the following increasing consumption, decreasing of feed
efficiency, anemia, increasing weight of liver, changing of liver makroskopis and
microscopis and decreasing titer antibody against New Castle disease in aflatoxin
50 μg/kg but it can not increase titer antibody against New Castle Diseases in
aflatoxin 2 mg/kg.

Key words: aflatoxin, Amorphophallus oncophylus, anemia, glucomannan,

PENDAHULUAN

Untuk menguji kemampuan pengikatan aflatoksin oleh suatu bahan


pengikat, akhirnya ditentukan oleh pengaruh bahan pengikat tersebut terhadap
efektifitas hasil pengikatan yang ditunjukan dengan terlindunginya ternak dari
pengaruh yang merugikan dari aflatoksin. Ternak yang dalam penelitian ini ayam
broiler digunakan untuk mengetahui apakah bahan pengikat yang kita uji mampu
mengikat aflatoksin dengan baik. Bahan pengikat yang baik tentu saja akan
mampu melindungi ternak dari gangguan aflatoksin, sehingga tidak terjadi
gangguan pada performa, parameter darah, makroskopik dan mikroskopik organ
dalam (hati, jantung, ginjal dan limpa).
Proses metabolik pada tubuh ternak memang kompleks karena di dalam sel
tubuh ternak terjadi proses biokimia yang rumit dan tidak ada dua makhluk hidup
yang identik. Respon makhluk hidup juga bervariasi menghadapi pengaruh dari
lingkungannya. Kondisi ini tetap kita jadikan pertimbangan dalam merancang
percobaan secara in vivo, karena uji coba in vivo menjadi penentu dalam
mengetahui efektifitas pengikatan glukomannan hasil ekstraksi iles-iles terhadap
aflatoksin di tubuh ternak.
Pemilihan uji in vivo menggunakan ternak ayam broiler, karena
mempertimbangkan daging ayam merupakan daging yang paling banyak
dikonsumsi masyarakat dan harganya terjangkau oleh masyarakat luas, sehingga
keberhasilan untuk melindungi ternak dari bahaya mikotoksin, khususnya
aflatoksin mendukung ketersediaan daging yang aman (safety). Isu global dalam
hal pangan adalah tuntutan feed safety to food safety. Mikotoksin merupakan
sumber kontaminasi pada pakan yang dapat menyebabkan ternak yang
memakannya terganggu kesehatannya dan menghasilkan produk pangan asal
hewan yang tidak aman untuk dikonsumsi oleh manusia.
37

Uji in vivo menggunakan ayam broiler sangat sesuai karena pakan unggas
komersial dan ayam broiler cukup sensitif terhadap aflatoksin. Penyediaan standar
Aflatoksin yang digunakan untuk penelitian bukanlah hal yang murah dan mudah
karena aflatoksin termasuk bahan carsinogenik dan dalam pengawasan keamanan
karena dapat menjadi bahan bioterorisme. Penelitian dengan menggunakan ayam
broiler yang diberi pakan yang ditambah aflatoksin hanya membutuhkan standar
aflatoksin yang relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan menggunakan
ternak lainnya seperti sapi, kerbau, ayam petelur dan sebagainya.
Kasus mikotoksikosis pada ayam broiler yang secara akut memang jarang
terjadi tetapi kasus kronis yang menyebabkan penurunan dari pertambahan berat
badan dan antibodi terhadap New Castle Disease (ND) dan penyakit lainnya
sering ditemukan (Afzal dan Zahid 2004). Salah satu penanganan pencemaran
aflatoksin pada pakan dapat menggunakan penambahan bahan pengikat aflatoksin
seperti glukomannan yeast product maupun glukomannan hasil ekstraksi iles-iles
pada pakan.
Melakukan uji in vivo akan memperoleh perbandingan pengaruh GYP dan
EI terhadap performa ayam broiler, parameter darah, pengamatan makroskopik
dan mikroskopik organ dalam (organ hati, limpa, jantung dan ginjal). Selain itu
kita dapat membandingkan kemampuan glukomannan yeast product dan
glukomannan hasil ekstraksi iles-iles dalam pengikatan aflatoksin dalam tubuh
ayam broiler dengan pengamatan berkurangnya pengaruh negatif dari aflatoksin.

BAHAN DAN METODE


Bahan

Glukomannan yeast product (GYP) dan glukomannan hasil ekstraksi iles-


iles (EI), ayam broiler, pakan, aflatoksin dan vaksin ND merupakan bahan yang
digunakan dalam pengujian in vivo. Ayam daily old chicken (DOC) yang
digunakan adalah jenis super broiler-Jumbo 747 produksi PT Cibadak indah Sari
Farm Jakarta. Standar aflatoksin menggunakan aflatoksin produksi dari Balai
Besar Penelitian Veteriner. Pemeliharaan ayam dilaksanakan di kandang
percobaan Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Pakan, Bekasi. Pakan basal yang
digunakan adalah pakan komersial tanpa penambahan antimold dan binder
aflatoksin. Kondisi lingkungan yang digunakan untuk pemeliharaan ayam bersuhu
antara 24 °C sampai 32 °C dan rentang kelembaban antara 61 sampai 80%. Pakan
yang digunakan memiliki kandungan nutrisi sebagai berikut: kadar air 11.02%;
kadar abu 5.14%; protein kasar 19.2%; lemak kasar 4.94%; Calsium 0.92%;
Phospor 0.7% dan energi bruto 4052.74 kkal/kg.
Metode

Produksi Aflatoksin
Aflatoksin yang digunakan dalam penelitian ini merupakan aflatoksin
produksi dari Balai Besar Veteriner, Bogor. Produksi aflatoksin menggunakan
pembiakan Aspergillus flavus pada media potato dextrose broth. Biakan A. flavus
diekstrak secara bertingkat dengan asetonitril, sehingga diperoleh crude aflatoksin.
38

Hasil ekstraksi yang berupa larutan crude aflatoksin difraksinasi dengan sistem
kromatografi kolom, dan dilakukan pengujian kandungan aflatoksin pada
beberapa tabung hasil fraksinasi, untuk mengetahui fraksi kolom yang
mengandung aflatoksin.
Pengujian kandungan aflatoksin menggunakan metode Thin Layer
Cromatografi (Kromatografi lempeng tipis). Fraksi yang mengandung aflatoksin
dipisahkan kandungan aflatoksinnya menggunakan kromatografi lempeng tipis,
bagian silika gel yang mengandung aflatoksin dikerok dan dilarutkan dalam
kloroform untuk di sentrifuse. Supernatan hasil sentrifugasi merupakan bagian
yang mengandung aflatoksin.

Rancangan percobaan
Penelitian dilakukan dengan menggunakan ayam pedaging (broiler) dengan
rancangan percobaan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 7 ulangan. Pakan
basal ditambah aflatoksin maupun bahan pengikat pada setiap kelompok
perlakuan, sebagaimana pada Tabel 9.

Tabel 9 Perlakuan penambahan aflatoksin, GYP dan EI pada pakan basal


Perlakuan
Kelompok Aflatoksin GYP (g/kg) EI (g/kg)
1 - - -
2 50 ppb - -
3 2 ppm - -
4 50 ppb 1 -
5 50 ppb - 1
6 50 ppb - 2
7 2 ppm 1 -
8 2 ppm - 1
9 2 ppm - 2
g/kg: gram/Kilogram; ppb: part per bilyun (μg/kg); ppm: part per milyun (mg/kg).
(-): tidak dilakukan penambahan pada pakan basal.

Pemberian pakan dan minum diberi secara ad libitum. Pakan yang


digunakan adalah pakan komersial yang sudah melakukan pengontrolan
kandungan aflatoksin dan tidak menambahkan bahan pengikat mycotoksin. Ayam
diberi vaksinasi New Castle Disease (ND) secara tetes dan diulang dengan
vaksinasi ND melalui air minum. Sistem perkandangan adalah sistem baterai
seperti pada Gambar 16.
Cara pemberian aflatoksin dengan metode Howell (1983), standar
aflatoksin (produksi Balai Besar Penelitian Veteriner) dicampur secara merata
dalam pakan sesuai konsentrasi yang diharapkan. Pakan dengan berat 1 Kg
diletakan dalam tempat berbahan plastik, kemudian tambah binder sesuai ukuran
dan aduk sampai rata kemudian tambahkan aflatoksin dengan disemprot secara
merata, sesuai ukurannya dan aduk kembali sampai merata. Pakan yang sudah
diberi aflatoksin dibiarkan semalam dalam temperatur kamar agar pelarut
menguap dan aflatoksin bercampur pada pakan secara merata dengan konsentrasi
sesuai yang direncanakan.
39

Gambar 16. Sistem perkandangan sistem baterai, sumber dari Susanto, 2014

Parameter yang diamati adalah berat konsumsi pakan, berat ayam, feed
conversion ratio (FCR), jumlah ternak yang mengalami gangguan kesehatan dan
kematian. Pengambilan darah dilakukan melalui pembuluh darah vena pectoralis
(Gambar 17). Darah ditampung dalam dua tabung yakni tabung yang ditambah
EDTA (plasma darah) dan tabung tanpa EDTA (serum). Parameter pengujian
plasma darah adalah Hb, PCV, diffrensial leucocyt, kadar gula darah, sedangkan
serum darah digunakan untuk pengujian antibodi terhadap ND. Pengujian titer
antibodi ND menggunakan metode HI (Haemoglutination Inhibition ).

Gambar 17 Pengambilan darah melalui vena pectoralis, sumber dari


Susanto, 2014

Pada umur 35 hari dilakukan pemotongan dan pembedahan dan dilakukan


penimbangan berat organ dalam yakni hati, ginjal, jantung dan limpa. Organ
dalam dipotong untuk pembuatan preparat histopatologi. Setiap perlakuan diambil
secara acak ayam 5 ekor untuk pemeriksaan darah dan pengambilan organ dalam.
Model linear dari rancangan percobaannya adalah:
Yijk = μ + αi + βj + (α β)ij + εijk
Yijk = pengamatan pada perlakuan faktor A taraf ke I faktor B taraf ke j dan
ulangan ke k.
μ = rata-rata umum
αi = pengaruh perlakuan faktor A taraf ke-i
40

βj = pengaruh perlakuan faktor B taraf ke-j


(α β)ij = Interaksi dari faktor A dan faktor B
Εijk = Pengaruh acak pada perlakuan A ke-I dan perlakuan B ke-j

Analisa Data
Pengolahan data performa, hasil pengujian darah, berat relatif organ dalam
dibandingkan dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan apabila terdapat
perbedaan dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie 1995). Pengolahan data
menggunakan progam IBM SPSS versi 19, dengan tingkat kepercayaan 95%.
Hasil penelitian dilaporkan dan dibahas sesuai kaidah penulisan pedoman
penyajian karya ilmiah (IPB 2012).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Performa Ternak
Berat pakan yang dikonsumsi dan pertambahan berat badan ayam selama
diberi perlakuan di catat dan diolah menjadi nilai FCR (feed conversion ratio).
Efisiensi pakan dapat dihitung dari nilai FCR, hasil penelitian menunjukan bahwa
pemberian aflatoksin 2 ppm memberikan hasil nilai FCR paling tinggi atau
dengan perkataan lain pakan sangat tidak efisien (Tabel 10). Aflatoksin
menimbulkan gangguan metabolisme di dalam hati, sehingga nutrisi yang diserap
digunakan untuk memperbaiki gangguan metabolisme karena ketika ada gangguan
metabolisme ataupun ada serangan penyakit maka nutrisi akan digunakan terlebih
dahulu untuk memperbaiki gangguan atau mambentuk zat kebal, apabila sudah
dapat diperbaiki gangguan tersebut, baru digunakan untuk pertumbuhan.

Tabel 10 Pengaruh pemberian aflatoksin, GYP dan EI terhadap performa ayam


broiler berumur 35 hari.
Perlakuan Berat ayam hidup Konsumsi FCR
Aflatoksin GYP EI (g) (g/ayam)
(g/kg) (g/kg)
- - - 1508.57+60.27b 2587.74+111.77b 1.77+0.05a
ab ab
50 ppb - - 1244.83+271.51 2217.58+502.26 1.86+0.06abc
2 ppm - - 981.40+49.24a 1959.03+170.32a 2.09+0.18d
b ab
50 ppb 1 - 1318.86+178.19 2316.47+350.55 1.83+0.02abc
b ab
50 ppb - 1 1308.14+136.14 2303.56+253.85 1.83+0.02abc
50 ppb - 2 1318.57+120.54b 2300.35+235.91ab 1.81+0.03ab
2 ppm 1 - 1333.29+198.22b 2494.19+352.507ab 1.94+0.08bc
2 ppm - 1 1310.71+139.50b 2471.43+286.18ab 1.96+0.16cd
2 ppm - 2 1326.29+183.44b 2460.88+358.81ab 1.92+0.05bc
g/kg: gram/Kiolgram; ppb: part per bilyun (μg/kg); ppm: part per milyun (mg/kg). FCR: Feed
Conversion ratio; (-): tidak dilakukan penambahan pada pakan basal.

Berat pakan yang dikonsumsi oleh ayam paling rendah ditemukan pada
kelompok ayam broiler yang diberi aflatoksin 2 mg/kg dan berbeda nyata dengan
kelompok kontrol negatif yakni tanpa penambah aflatoksin secara signifikan
(p<0.05). Aflatoksin menyebabkan penurunan nafsu makan dan penurunan
41

efisiensi (peningkatan nilai FCR) sehingga terjadi penurunan berat akhir ayam
hidup rendah secara signifikan (p<0.05). Berat akhir ayam hidup dari perlakuan
dengan pemberian GYP maupun EI berbeda nyata dengan berat ayam dari
kelompok ayam broiler yang hanya diberi aflatoksin 2 mg/kg saja. Kondisi
tersebut juga dialami dengan parameter efisiensi pakan, Pemberian GYP dan EI
pada dosis 1 g/kg mampu menghasilkan nilai efisiensi pakan seperti pada
kelompok ayam yang tidak diberi aflatoksin (kontrol negatif) pada pencemaran
aflatoksin 50 μg/kg tetapi belum mampu menghasilkan efisiensi pakan yang sama
dengan kelompok kontrol negatif pada tingkat cemaran aflatoksin 2 mg/kg.
Pemberian tambahan GYP dan EI mampu memberikan efisiensi pakan lebih baik
dibandingkan dengan kelompok yang diberi aflatoksin dengan dosis 50 μg/kg
tanpa pemberian bahan pengikat.
Berat badan ayam hidup pada hari ke-35 mengalami penurunan pada
kelompok ayam yang mendapatkan penambahan aflatoksin 2 ppm berbeda secara
nyata dengan kelompok ayam yang tidak diberi tambahan aflatoksin (p<0.05).
Pemberian pakan dengan cemaran aflatoksin 50 μg/kg telah menurunkan berat
badan ayam hidup walaupun memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan
kelompok tanpa pemberian aflatoksin (kontrol), maupun dengan kelompok yang
diberi aflatoksin 2 mg/kg, tetapi tingkat efisiensi pakan pada kelompok yang
diberi cemaran aflatoksin 50 μg/kg lebih baik dibandingkan dengan kelompok
ayam yang diberi cemaran pakan 2 mg/kg pakan. Hal ini sesuai dengan penelitian-
penelitian sebelumnya seperti dilaporkan Kumar dan Balachadran (2004) bahwa
pertambahan berat ayam berkurang secara signifikan (p<0.05) pada kelompok
ayam yang diberi tambahan aflatoksin 1 mg/kg.

Pengamatan Kesehatan
Pengamatan kesehatan ternak menunjukan bahwa kelompok ayam yang
mendapatkan penambahan aflatoksin 2 ppm (kontrol positip) pada minggu ke 3
ditemukan berak darah/merah (Gambar 18). Kondisi tersebut tidak ditemukan
pada kelompok ternak pada perlakuan lainnya. Pendarahan dapat disebabkan
karena aflatoksin mengganggu metabolisme di dalam hati, memberikan pengaruh
penurunan faktor pembeku darah, sehingga pembuluh darah pada saluran
pencernaan mudah mengalami pendarahan. Akibat kondisi tersebut feses ayam
ditemukan lebih encer dan berwarna merah. Pendarahan ini bukan disebabkan
oleh infeksi karena dari hasil pengamatan jumlah sel darah putih tidak terjadi
peningkatan.
Berak darah tidak ditemukan pada ayam yang tidak diberi penambahan
aflatoksin (kontrol negatif), diberi aflatoksin 50 ppb maupun 2 ppm tetapi
ditambah glukomannan yeast product atau glukomannan hasil ekstraksi iles-iles.
Glukomannan dalam GYP dan EI mampu melindungi dari pengaruh negatif
aflatoksin, yakni terjadinya pendarahan lewat feses. Glukomannan mampu
melindungi ayam broiler dari aflatoksin, karena glukomannan mampu mengikat
aflatoksin. Struktur glukomannan tetap utuh di dalam saluran pencernaan karena
gugus asetil pada glukomannan mampu melindungi terbentuknya ikatan hidrogen
antara molekul penyusun glukomannan, menyebabkan bersifat larut dalam air dan
tidak terhidrolisis oleh enzim b-mannanase and b-mannosidase (Sande et al.
2009).
42

(a) (b)
Gambar 18 Feses berwarna merah (a) dan tampilan wajah pucat (b) pada ayam
yang mendapat perlakuan pemberian aflatoksin 2 mg/kg

Hematologi
Hasil pemeriksaan plasma darah diperoleh kadar Packed Cell Volume
(PCV), Hemoglobin (Hb), Mean Corpusculer Haemoglobine Concentration
(MCHC) dan kadar gula darah yang dipaparkan dalam Tabel 11. Hasil pengujian
dengan sidik ragam Hb, MCHC dan gula darah tidak berbeda secara signifikan
(p>0.05) dari sembilan perlakuan, sedangkan PCV berbeda secara signifikan
(p<0.05).

Tabel 11 Pengaruh pemberian aflatoksin pada beberapa parameter darah


Perlakuan PCV (%) Hb (mg%) MCHC Gula darah
Aflatoksin GYP EI (mg/dl)
(g/kg) (g/kg)
- - - 27.75+1.7b 7.50+0.8 25.23+2.57 192+53.33
50 ppb - - 27.75+1.7b 7.50+0.6 27.09+2.55 166+18.92
2 ppm - - 20.50+2.5a 6.00+0.8 26.04+2.08 164.7+86.7
50 ppb 1 - 28.50+4.1b 6.75+1.0 26.08+6.45 189.2+7.14
50 ppb - 1 25.50+1.5ab 6.67+1.2 26.04+3.73 238+11.75
50 ppb - 2 25.25+4.6ab 6.75+1.0 27.79+5.57 243+52.40
2 ppm 1 - 20.96+11.0ab 5.18+2.8 24.04+1.36 184+42.52
2 ppm - 1 28.50+6.6b 6.75+2.6 23.17+7.03 198.5+53.6
2 ppm - 2 27.25+1.0b 7.25+0.5 26.63+3.06 185.7+42.27
g/kg: gram/Kiolgram; mg/dl: miligram/desiliter; PCV: packed cell volume; MCHC: mean
corpuskuler hemoglobin concentration; (-): tidak dilakukan penambahan pada pakan basal.
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (Uji Tukey).

PCV paling rendah ditemukan pada perlakuan pemberian pakan yang


ditambah aflatoksin 2 mg/kg. Pemberian tambahan aflatoksin 50 mg/kg belum
memberikan pengaruh penurunan PCV, hal ini disebabkan tubuh ayam masih
mampu beradaptasi dengan aflatoksin pada konsentrasi tersebut, tetapi jika
konsentrasi aflatoksin naik sampai 2 mg/kg tubuh ternak mengalami penurunan
PCV atau dengan kata lain mengalami anemia.
Perlakuan pada pemberian pakan yang ditambah aflatoksin 2 mg/kg nilai
PCV turun sesuai dengan pengamatan bahwa kelompok ayam yang diberi pakan
43

dengan penambahan aflatoksin 2 mg/kg menunjukan berak darah (berwarna


merah) kondisi tersebut tidak dialami oleh kelompok lainnya. Pendarahan ini
menyebabkan anemia yang ditunjukan dengan penurunan nilai PCV. Pemberian
penambahan EI 1 g/kg maupun 2 g/kg pakan memberikan perbaikan PCV, yakni
jumlah PCV tidak berbeda nyata dengan kelompok ayam yang tidak ditambah
aflatoksin pada pakannya.
Anemia yang disebabkan oleh aflatoksin termasuk kelompok anemia
kehilangan sel darah (blood loss anemia) maupun depression anemia (non
regeneratif anemia). Aflatoksin bersifat coagulopathy, sebagaimana keracunan
coumarin sehingga darah sulit membeku dan mudah terjadi pendarahan seperti
pada pengamatan penelitian ini darah keluar bersama feses dan kondisi tersebut
dialami hanya dalam satu kelompok ayam yang diberi penambahan aflatoksin 2
mg/kg (Gambar 18). Gangguan pembekuan darah karena Aflatoksin menghambat
sintesa faktor II, V dan VII dan menurunkan pembentukan prothrombin dan
fibrinogen (Huff et al. 1983). Kadar Hb dan MCHC tidak berbeda nyata dari 9
perlakuan, sehingga anemia yang disebabkan aflatoksin termasuk anemia
normocitic-normochromic.
Aflatoksin selain menyebabkan coagulopathy, aflatoksin juga memberikan
efek depresi seperti keracunan Plumbum (Pb), karena kurang darah akan
mengakibatkan pucat dan penurunan metabolisme dan suplai oksigen ke dalam
otak maupun saraf lainnya berkurang, sehingga ayam kelihatan pucat dan depresi.
Sifat coagulopathy berkaitan dengan aflatoksin memiliki serangan organ target
hati, sedangkan dalam organ hati terjadi proses pembuatan bahan pembeku darah.
Pendarahan akibat aflatoksin telah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Celik et
al. 2000).
Anemia menyebabkan menurunnya kandungan oksigen dalam darah,
jaringan dan sel, sehingga nutrisi di dalam sel tidak dapat dioksidasi dengan
sempurna dan terjadi penurunan produksi energi. Kondisi ini menyebabkan
gangguan dan inefisiensi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak, dan
mengakibatkan penurunan konsumsi dan efisiensi pakan. Pengamatan ini sesuai
dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa aflatoksin menyebabkan penurunan
nafsu makan (anorexia), anemia dan gangguan fungsi hati (Rosa et al. 2001 and
Campbell 2007).
Kadar gula darah tidak berbeda nyata (p>0.05), walaupun dari rata-rata
kadar gula darah paling rendah ditemukan pada ayam yang diberikan penambahan
aflatoksin 2 ppm. Menurut Basmacioglu et al. (2005) bahwa aflatoksin
menyebabkan penurunan kadar gula darah karena aflatoksin bersifat hepatotoxic
dan menyebabkan gangguan metabolisme karbohidrat dan protein pada hati.

Sistem Kekebalan
Hasil pengujian hematologi pada plasma dan serum darah ayam broiler
terdiri dari titer antibodi ND, dan diffrensial leukosit, sebagaimana Tabel 12. Titer
antibodi terhadap penyakit ND pada perlakuan dengan penambahan aflatoksin 2
mg/kg memiliki kadar paling rendah berbeda nyata secara signifikan dengan kadar
titer antibodi ND pada kelompok ayam broiler yang hanya diberi pakan tanpa
penambahan aflatoksin. Aflatoksin memiliki sifat immunosupresif, sehingga ayam
yang terkena aflatoksin berkurang kemampuannya dalam membentuk antibodi
44

terhadap penyakit New Castle Disease (ND) dan Infectious Bursal Disease (IBD)
telah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Raju dan Devegowda 2002).
Tabel 12 Hasil pengujian titer antibodi terhadap penyakit New Castle Disease
(ND) dan diffrensial leukosit

Perlakuan Titer Diferensial Leukosit (%)


antibodi ND
(2log)
Aflatoksin GYP EI
(g/kg) (g/kg) Neutrofil Limfosit Eosinofil
- - - 8.40+2.97b 16.75+5.38 77.00+8.68 6.25+4.99
50 ppb - - 6.00+2.65ab 26.25+4.50 53.50+33.27 5.25+1.50
2 ppm - - 4.33+0.58a 24.00+2.58 66.00+3.16 10.00+0.82
50 ppb 1 - 5.00+2.65ab 20.75+5.74 73.25+7.68 6.00+2.16
50 ppb - 1 5.25+1.26ab 16.83+4.49 77.16+5.34 6.00+3.16
50 ppb - 2 4.50+0.58a 17.60+4.50 73.00+7.90 9.40+5.50
2 ppm 1 - 4.33+0.58a 22.50+0.71 70.00+4.25 7.50+3.53
2 ppm - 1 4.50+0.71a 22.75+8.38 68.75+9.60 8.75+2.06
2 ppm - 2 6.00+2.00ab 23.83+3.76 68.16+5.45 8.00+3.90
g/kg: gram/Kilogram; ppb: part per bilyun (μg/kg); ppm: part per milyun (mg/kg). ND: New Castle
Disease; (-): tidak dilakukan penambahan pada pakan basal; a Angka-angka pada kolom yang
sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Uji Tukey).

Pemberian GYP dengan dosis 2 g/kg untuk pakan belum mampu


melindungi dari penurunan antibodi yakni memiliki kadar antibodi terhadap ND
seperti pada kelompok yang diberi pakan tanpa penambahan aflatoksin. Walaupun
peningkatan dosis EI dari 1 gram/Kg menjadi 2 g/kg, pada penambahan aflatoksin
2 ppm memberikan peningkatan kadar antibodi terhadap ND. Pemberian GYP 1
gram/Kg pakan belum mampu melindungi dari penurunan titer antibodi terhadap
ND bertentangan dengan hasil penelitian dari Girish dan Devegowda (2006) yang
menyatakan GYP pada dosis 1g/kg mampu melindungi ayam broiler dari
penurunan titer antibodi terhadap ND.
Untuk differensial sel darah putih yakni neutrofil, limphocyt dan Eosinofil
secara pengujian ANOVA tidak terjadi perbedaan signifikan pada setiap
perlakuan. Sel darah putih tidak mengalami peningkatan jumlahnya, sehingga
pendarahan yang terjadi pada kelompok yang diberi pakan yang mengandung
aflatoksin 2 mg/kg disebabkan karena coagulopathy bukan karena infeksi baik
virus maupun bakteri.

Organ dalam
Organ hati dilihat secara makroskopis pada kelompok ayam yang diberi
pakan dengan tambahan aflatoksin 50μg/kg (b) dan 2 mg/kg (c) tampak lebih
gelap, warna tidak kompak ditemukan warna kekuningan, belang kuning putih
dan batas hati tumpul dan terlihat membesar (Gambar 19). Pemberian bahan
pengikat memberikan gambaran makroskopis hati berkurang perubahan warna
menjadi warna kekuningan maupun belang kuning putih pada hati (d-i).
45

a b c

d e f

g h i
Gambar 19 Bentuk dan warna hati kelompok tanpa aflatoksin (a); penambahan
aflatoksin 50μg/kg (b) dan penambahan aflatoksin 2 mg/kg (c);
penambahan aflatoksin 50μg/kg : dan ditambah GYP 1 g/kg (d),
ditambah EI 1 g/kg (e), ditambah EI 2 g/kg (f); penambahan
aflatoksin 2 mg/kg: dan ditambah GYP 1 g/kg (g), ditambah EI 1
g/kg (h) ditambah EI 2 g/kg (i);
Warna kuning pada organ hati menunjukan adanya perlemakan pada organ
tersebut. Warna kuning sangat kelihatan jelas pada hati dari kelompok ayam yang
diberi cemaran aflatoksin 50μg/kg (b) dan 2 mg/kg (c). Aflatoksin masuk di dalam
hati dimetabolisme dengan reaksi oksidasi yang menghasilkan O2°(superoksid),
46

H2O2 (peroksida) dan OH° (radikal hidroksil) yang merupakan racun pada sel hati.
Hati membentuk enzim katalase dan superokside dismutase untuk mengendalikan
racun tersebut tetapi jika induksi aflatoksin itu terus menerus akan menyebabkan
enzim tersebut lumpuh dan menyebabkan stress oksidatif, sebagai tandanya adalah
peningkatan peroksidasi lipid, sehingga terjadi perlemakan hati (Yanwirasti 2006).
Perubahan warna hati dimulai dari coklat pucat kekuningan sampai coklat
kekuningan dengan belang putih. Warna pucat kekuningan disebabkan oleh
karena sel hati mengalami degenerasi, sedangkan warna kuning belang putih
disebabkan karena sel hati mengalami nekrosis. Warna kuning belang putih
terlihat pada gambar b dan c. Warna hati kekuningan dengan belang putih pada
gambar c makin meningkat dibanding gambar b menunjukan semakin
meningkatnya dosis aflatoksin akan semakin banyak sel hati yang mengalami
kerusakan.
Warna merah gelap pada hati disebabkan proses pendarahan yang
disebabkan oleh aflatoksin. Coagulopathy dapat terjadi akibat aflatoksin, sehingga
menyebabkan pendarahan karena terganggunya proses pembekuan darah. Belang
kuning keputihan lebih jelas nampak pada hati yang diberi aflatoksin 2 mg/kg
tanpa ditambah dengan bahan pengikat, karena semakin besar cemaran aflatoksin
pada pakan akan semakin besar pula aflatoksin masuk di dalam hati, sehingga
kerusakan hati bertambah parah. Pemberian bahan pengikat GYP dan EI mampu
mengikat aflatoksin untuk tidak masuk ke dalam organ hati, sehingga mengurangi
kerusakan hati, Bahan pengikat EI 2 g/kg lebih melindungi ayam broiler dari
serangan aflatoksin khususnya untuk kadar aflatoksin tinggi (2 mg/kg)
dibandingkan pemberian 1 g/kg, hal ini dapat dilihat dengan membandingkan
gambar i dan g.
Hasil penimbangan organ dalam yakni hati, limpa, ginjal dan jantung
diperoleh data, seperti pada Tabel 13.

Tabel 13 Pengaruh pemberian aflatoksin, GYP dan EI terhadap berat relatif organ
ayam broiler (g/kg berat hidup) umur 35 hari

Perlakuan Hati Jantung Limpa Ginjal


Aflatoksin GYP EI (g/kg)
(g/kg)
- - - 27,37+4.47a 5.03+0.98 3.16+1.33 9.39+0.73
50 ppb - - 26,15+3,58a 6.05+0.99 2.23+0.44 8.48+1.13
2 ppm - - 39.09+5,48b 4.82+0.77 3.31+0.88 7.90+1.63
50 ppb 1 - 31,28+8,63a 5.49+1.54 3.26+2.00 8.36+1.49
50 ppb - 1 27,59+3,41a 5.09+0.85 2.64+1.09 7.98+1.06
50 ppb - 2 29,96+7,11a 5.00+0.83 3.32+1.19 8.91+1.14
2 ppm 1 - 32,91+5,70ab 4.81+0.45 2.48+1.30 8.17+1.22
2 ppm - 1 33,78+7,39ab 6.35+1.46 7.01+10.32 8.41+1.35
2 ppm - 2 22,14+14,15a 5,82+1.25 7.82+9.24 7.50+0.94
g/kg: gram/Kilogram; ppb: part per bilyun (μg/kg); ppm: part per milyun (mg/kg); (-): tidak
dilakukan penambahan pada pakan basal; a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh
huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (Uji Tukey).

Berat organ hati, jantung, limpa dan ginjal dari 9 perlakuan hanya berat
organ hati yang berbeda secara nyata (p<0.05). Organ hati yang paling berat
ditemukan pada perlakuan pemberian pakan 2 ppm yakni sebesar 39.09 g/kg berat
47

hidup ayam. Proses metabolisme aflatoksin terjadi di organ hati yang terdiri dari
dua fase yakni proses oksidasi-reduksi dan konjugasi yang menghasilkan
metabolit AFB1- 8,9-epoksida, AFMl, AFQl, dan asam mercapturi (Wilson
2008). Pembesaran organ hati menunjukan aktivitas metabolisme di hati yang
meningkat dalam melakukan detoksifikasi racun aflatoksin.
Peningkatan berat organ hati sesuai dengan penelitian sebelumnya (Miazzo
et al. 2000) dan (Denli dan Okan 2006) yang menyatakan organ hati ayam broiler
secara signifikan (p<0.05) pada pemberian pakan yang ditambah aflatoksin B1 80
ppb mengalami peningkatan bobot relatif hati dibandingkan dengan perlakuan
pakan tanpa pemberian aflatoksin atau dengan penambahan aflatoksin yang diberi
HSCAS.
Penelitian Girish dan Devewgoda (2006) menyatakan bahwa berat organ
relatif hati, limpa, ginjal, bursa fabricius dan empedal berbeda nyata secara
signifikan (p<0.05) pada ayam yang diberi pakan tanpa aflatoksin dengan yang
diberi aflatoksin 2 mg/kg. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hanya organ
hati yang beratnya meningkat, hal ini kemungkinan disebakan aflatoksin bukan
agen infeksius tetapi toksin. Organ hati merupakan organ yang bertanggung jawab
terhadap penetralan racun (detoksifikasi). Hasil pengamatan ini sesuai hasil
penelitian Denli et al. (2009) bahwa berat organ hati membesar pada pemberian
aflatoksin 1 mg/kg pakan.
Hasil penelitian ini organ ginjal tidak membesar karena metabolit dari
aflatoksin yang dibuang lewat ginjal sudah di detoksifikasi membentuk asam
merkapturi. Metabolit ini merupakan pembentukan dari AFB1-8,9 epoksida
dihidrolisis oleh enzim epoxy hidrosilase menjadi 8,9 dihydrodiol. Asam
merkapturi merupakan hasil conjugasi 8,9 dihydrodiol dengan gluthathion
(Wilson 2008).
Organ Jantung dan limpa tidak berkait langsung dengan detoksifikasi
aflatoksin karena aflatoksin bukan dikenali sebagai antigen oleh tubuh ternak dan
tidak terjadi pembentukan antibodi yang harus melibatkan sistem kekebalan yakni
limpa, bursa fabrisius dan thymus. Oleh karena itu organ limpa, ginjal dan jantung
tidak mengalami pembengkakan organ.

Histopatologi Hati
Hasil pengambilan jaringan hati dilakukan preparasi histopatologi untuk
mendapatkan gambaran histopatologi jaringan hati. Hasil pengamatan
histopatologi terdapat perbedaan antara perlakuan dan kontrol sebagaimana pada
Tabel 14.
Vakuolar degenerasi pada organ hati dan kerusakan lobus dari sel hati
meningkat dari kelompok ayam tanpa penambahan aflatoksin, penambahan
aflatoksin 50 μg/kg dan 2 mg/kg secara berturut turut. Pada organ hati yang
ditambah aflatoksin 2 mg/kg mengalami vakuolar degenerasi (perlemakan sel
hati) yang sangat hebat dan pendarahan yang mengisi ruang antar sel hati
(sinusoid). Gambaran histologi ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya
(Yildrim et al. 2011) bahwa lesi yang ditemukan pada organ hati yang pakannya
tercemer aflatoksin terdapat degenerasi hepatosit, perlemakan, pendarahan,
fibrosis di pembuluh darah portal dan proliferasi saluran empedu. Cemaran
Aflatoksin 50 μg AFB1/kg menyebabkan degenerasi vakuolar di dalam sel hati
dan proliferasi sel dalam saluran empedu (Eliana et al. 2010). Perlemakan hati
48

terjadi karena Aflatoksin B1 menurunkan aktivitas UDP glucose-glycogen


transglucosylase, sehingga terjadi penurunan kadar glikogen dan peningkatan
penyimpanan lemak dalam hati.

Tabel 14 Penilaian pengamatan histopatologi hati pada kontrol dan


perlakuan
Perlakuan Hati
Aflatoksin GYP EI Vakuolar degenerasi Pendarahan
(g/kg) (g/kg)
- - - (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (+)
50 ppb - - (-) (-) (+) (+) (-) (-) (+) (+)
2 ppm - - (+) (++) (++) (++++) (+++) (+++) (++) (++++)
50 ppb 1 - (+) (-) (-) (+) (+) (-) (+) (-)
50 ppb - 1 (-) (+) (++) (-) (-) (-) (-) (+)
50 ppb - 2 (-) (-) (+) (+) (-) (-) (-) (+)
2 ppm 1 - (-) (+) (-) (++) (++) (+) (+)
2 ppm - 1 (-) (+) (+) (++) (+) (+) (+)
2 ppm - 2 (-) (++) (-) (+) (+) (+) (-) (+)
*(+): ditemukan sedangkan (-): tidak ditemukan

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar histopatologi hati pada Gambar 20
.

Pakan tanpa penambahan Pakan dengan penambahan Pakan dengan penambahan


aflatoksin aflatoksin 50 μg/kg aflatoksin 2 mg/kg

Gambar 20 Histopatologi hati menunjukan pendarahan ( ) dan perlemakan ( ) pada


kontrol dan penambahan aflatoksin 50 μg/kg dan 2 mg/kg

Kejadian pendarahan ini berkaitan dengan pemerikasaan darah sebelumnya


dimana kelompok ayam yang diberi aflatoksin 2 mg/kg terjadi penurunan nilai
PCV. Sifat coagulopathy dari pengaruh aflatoksin memudahkan pendarahan
mudah terjadi termasuk dalam organ hati. Gambar histopatologi hati pada pakan
yang diberi aflatoksin dan GYP atau EI dapat dilihat pada Gambar 21.
49

a b c

d e f
Gambar 21 Histopatologi hati pada penambahan aflatoksin 50 μg/kg dan
penambahan GYP 1 g/kg (a), penambahan aflatoksin 50 μg/kg
ditambah EI 1 g/kg (b) dan penambahan aflatoksin 50 μg/kg
ditambah EI 2 g/kg (c); penambahan aflatoksin 2 mg/kg dan
penambahan GYP 1 g/kg (d), penambahan aflatoksin 2 mg/kg dan
EI 1 g/kg (e) dan penambahan aflatoksin 2 mg/kg dan EI 2 g/kg (f);
pendarahan ( ) granulomatosis ( )

Vakuolar degenerasi lebih tampak jelas pada pemberian EI dengan dosis 1


g/kg pakan daripada 2 g/kg pakan baik pada pakan yang ditambah aflatoksin 50
μg/kg maupun 2 mg/kg. Penggunaan GYP menunjukan pendarahan lebih parah
dibandingkan pada EI baik pada pada pakan yang ditambah aflatoksin 50 μg/kg
maupun 2 mg/kg. Granulomatosis terjadi pada kelompok ayam yang diberi
aflatoksin 2 mg/kg yang diberi GYP, granulomatosis merupakan adanya infeksi
sehingga menimbulkan sel sel radang berkumpul di daerah tersebut membentuk
badan granuloma.

SIMPULAN

Performa ayam dengan penambahan aflatoksin 2 mg/kg akan menurunkan


berat ayam hidup, konsumsi, efisiensi pakan, anemia dan penurunan titer antibodi
terhadap ND, peningkatan berat relatif organ hati, perubahan makroskopis dan
mikroskopis hati, sedangkan pada penambahan aflatoksin 50 μg/kg tidak
menyebabkan anemia tetapi menyebabkan penurunan titer antibodi. Warna hati
50

menjadi warna coklat kekuningan dan belang kuning putih pada kelompok ayam
yang diberi aflatoksin tanpa pemberian bahan pengikat.
Aflatoksin memberikan gambaran histopatologi pendarahan dan vakuolar
degenerasi pada sel hati, semakin tinggi konsentrasi aflatoksin akan menambah
parah pendarahan dan vakuolar degenerasi. Pemberian glukomannan yeast
product atau ekstrak iles-iles mampu mengurangi keparahan vakuoler degenerasi
dan pendarahan pada hati. Dosis ekstrak iles-iles 1 g/kg pakan mampu melindungi
ayam dari pengaruh negatif cemaran aflatoksin 50 μg/kg dan 2 mg/kg yakni
penurunan berat akhir ayam hidup, penurunan jumlah konsumsi pakan, efisiensi
pakan, anemia, peningkatan berat organ hati, perubahan makroskopis, perubahan
mikroskopis hati dan penurunan titer antibodi ND pada cemaran aflatoksin50
μg/kg, tetapi belum mampu meningkatkan titer antibodi terhadap ND pada
cemaran aflatoksin konsentrasi 2 mg/kg.
.
51

5 PEMBAHASAN UMUM
Senyawa aflatoksin diketahui dapat menimbulkan gangguan baik pada
hewan maupun manusia, karena bersifat karsinogenik, teratogenik dan
imunosupresif, sebagaimana telah ditetapkan oleh IARC (International Agency
Research on Cancer) pada tahun 1988 bahwa aflatoksin merupakan bahan
karsinogenik klas I. Aflatoksin merupakan mikotoksin hasil metabolit sekunder
dari jamur Aspergillus flavus dan A.parasiticus. Pakan ayam broiler yang tercemar
oleh aflatoksin dapat menyebabkan pengaruh negatif seperti penurunan
pertambahan berat badan, berkurangnya efisiensi pakan, penurunan nilai packed
cell volume, penurunan kekebalan tubuh (imunosupresif), gangguan hati, bahkan
kematian ayam.
Untuk mencegah pengaruh negatif aflatoksin pada ayam broiler, maka perlu
pengendalian aflatoksin dalam pakan. Penggunaan bahan pengikat maupun
penyerap aflatoksin pada pakan merupakan teknologi pakan untuk melindungi
ayam broiler dari gangguan aflatoksin. Bahan pengikat yang digunakan untuk
mengikat mikotoksin terdapat dua kelompok yakni berbahan non-organik
(mineral) dan bahan organik. Bahan pengikat non organik yang sudah digunakan
antara lain hydrated sodium calsium aluminosilikat, bentonit dan zeolit,
sedangkan yang berbahan organik antara lain glukomannan yang berasal dari
Saccharomyces cerevisae. Dalam penelitian ini bahan organik glukomannan hasil
dari ekstraksi umbi Amorphophalus oncophylus (iles-iles) kita uji coba
kemampuannya dalam mengikat aflatoksin.
Iles-iles (A. oncophylus) merupakan tanaman berbiji tertutup
(Angiospermae) dalam famili Araceae dan kelas monocotiledoneae. Di Indonesia
iles-iles mempunyai nama daerah yang berbeda seperti kerubut (Sumatera), acung
(Sunda), badur, iles-iles dan porang (Jawa), subeg leres, subeg bali (Madura).
Hasil tanaman adalah umbi yang terdapat dalam tanah, mengandung
glukomannan. Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap penelitian yakni
ekstraksi glukomannan dari umbi iles-iles, uji fisik dan kimia dari glukomannan
hasil ekstraksi iles-iles, uji in vitro dan uji in vivo pada ayam broiler.
Senyawa glukomannan merupakan heteropolisakarida non pati yang
memiliki kemampuan mengikat aflatoksin dan mikotoksin lainnya. Glukomannan
tersusun dari D-Manosa dan D-glukosa dengan ikatan β 1,4-glikosida dan β 1,6-
glikosida dengan jumlah percabangan 8% (Zhang et al. 2001). Berat molekul
glukomannan ekstraksi dari Amorphophallus sp. adalah 2 508 x105  g/mol dengan
laser light scattering (LLS) metode tunggal (Xu et al. 2013). Dengan
menggunakan transmission electron microscope (TEM), gambaran bentuk
molekul glukomannan adalah lurus panjang, sedikit percabangan dan ikatannya
bersifat semi-flexibel dalam pelarut aquades (Li 2006).
Ekstraksi umbi iles-iles menggunakan aquadest yang dipanaskan kemudian
ditambah ethanol untuk memisahkan glukomannan dari lemak, gula sederhana dan
pati, hasil rendemen yang dihasilkan dalam penelitian ini 74.1% dari tepung iles-
iles. Glukomannan hasil ekstraksi iles-iles memiliki kesamaan dengan
glukomannan yeast product yakni tidak tengik, textur, kandungan energi bruto dan
serat kasar. Kandungan serat kasar yang tidak berbeda nyata secara signifikan
(p<0.05) dengan glukomannan yeast product, menunjukan komposisi bagian
polisakarida yang sama.
52

Hasil uji proksimat menunjukan bahwa kadar air, kadar abu, protein kasar
dan lemak kasar GYP dan EI berbeda nyata, tetapi kandungan serat kasar tidak
berbeda nyata (p<0.05). Kandungan kadar air, lemak, bahan ekstrak tanpa
nitrogen dan karbohidrat pada glukomannan hasil ekstraksi iles-iles lebih tinggi
dibandingkan glukomannan yeast product tetapi kadar abu, protein, glukosa dan
manosa glukomannan hasil ekstraksi iles-iles lebih rendah dibandingkan dengan
glukomannan yeast product. Kandungan serat kasar yang tidak berbeda nyata
menunjukan kandungan polisacharida yang sama, glukomannan yang merupakan
zat aktif dalam pengikatan aflatoksin merupakan fraksi dari polisakarida non pati.
Terdapatnya polisakarida glukomannan pada GYP dan EI dibuktikan
dengan uji kimia dan uji FTIR. Secara pengujian kimia di dalam GYP dan EI
secara berturut turut memiliki perbandingan manosa dan glukosa 1 : 1.2 dan 1 :
1.8. Secara spektral ditemukan penyerapan bilangan gelombang 1000 – 700 Cm-1,
1300–1000 Cm-1 dan 3400-2400 Cm-1. Penyerapan bilangan gelombang 1000 –
700 Cm-1 menunjukan vibrasi tekuk C-H menunjukan ikatan glukosidic dan
mannosidic dari glukomannan, 1300 – 1000 Cm-1 menunjukan gugus C-O bentuk
regang dari group ring piranosa yang dimiliki oleh glukomannan dan bilangan
gelombang antara 3500-3300 Cm-1 menunjukan gugus fungsi OH yakni gugus
fungsi yang ditemukan pada glukomannan yang mampu membentuk ikatan
Hidrogen. Glukomannan merupakan polisakarida dari glukosa dan mannosa yang
dihubungkan dengan ikatan β-1, 4 glucosidik and β-1,4 mannosidik, dimana
terjadinya vibrasi tekuk pada C-H. Gugus OH dari glukomannan terdapat baik
pada glukosa maupun mannosa (Tien 2009; Goran dan Milorad 2011).
Berdasarkan spektrum Near Infra Red (NIR) bahwa spektrum GYP dengan
EI lebih serupa dibanding GYP dengan karbon aktif. sehingga sebagai bahan
pengikat aflatoksin GYP dan EI merupakan satu kelompok yang berasal dari
bahan organik. Spektrum NIR pada GYP dan EI terjadi penyerapan pada beberapa
bilangan gelombang, sedangkan pada karbon aktif terjadi penyerapan terus
menerus dari bilangan gelombang 4500 sampai 9500. Penyerapan bilangan
gelombang pada NIR menunjukan GYP dan EI tersusun oleh beberapa molekul,
hal ini bersesuaian dengan pengujian kimiawi bahwa GYP dan EI tersusun oleh
lemak, protein, karbohidrat dan senyawa lainnya. Karbon aktif yang menyerap
terus menerus dari bilangan gelombang, menunjukan sifat bahwa karbon aktif
terdiri dari susunan pori-pori, sehingga gelombang elektromagnetik terus
menerusterserap. Mekanisme pengikatan aflatoksin oleh karbon aktif
menggunakan mekanisme penyerapan (absorbsi) pada pori-pori karbon aktif,
bukan dengan cara pengikatan.
Hasil pengujian dengan FTIR, gugus fungsi yang dimiliki oleh GYP
memiliki kesamaan gugus fungsi. Terdapat 6 gugus fungsi yang sama yakni O ̶ H,
C ̶ H2, C ̶ H , C ̶ H3, C ̶ O ̶ C dan ≡C ̶ H, tetapi ada gugus fungsi yang hanya
dimiliki GYP yakni C=O, dan hanya dimiliki EI yakni gugus fungsi N ̶ H
(bengkok). Pengujian kimia menunjukan bahwa GYP dan EI mengandung protein,
gugus N ̶ H (regang) pada protein memiliki serapan bilangan gelombang yang
bersesuaian dengan O ̶ H, sehingga ketika terjadi penyerapan O ̶ H maka gugus
N ̶ H (regang) tidak nampak. Jenis gugus fungsi yang sama antara GYP dan EI
memberikan peluang EI mampu mengikat aflatoksin seperti GYP yang sudah
dilaporkan memiliki kemampuan mengikat aflatoksin maupun T-2 baik dalam
53

bentuk tunggal ataupun kombinasi ke dua toksin tersebut (Girish dan Devegowda
2006).
Antara GYP dan EI memiliki kesamaan mempunyai gugus fungsi OH
(hidroksil), gugus fungsi ini penting karena gugus fungsi OH merupakan bagian
yang mudah bereaksi dengan senyawa lain. Gugus OH mudah bereaksi dengan
gugus C=O pada aflatoksin membentuk ikatan hidrogen, sehingga aflatoksin dapat
diikat oleh glukomannan membentuk senyawa kompleks glukomannan-aflatoksin
yang tidak terserap ke dalam tubuh ternak. Terbentuknya ikatan Hidrogen
ditunjukan dengan penurunan bilangan gelombang OH setelah berikatan dengan
aflatoksin.
Interaksi GYP and EI dengan aflatoksin menghasilkan perubahan kimia,
dengan indikasi perubahan gugus fungsi sebelum dan sesudah diinteraksikan
dengan aflatoksin. Pengujian spektroskopi FTIR pada glukomannan yeast product
dan glukomannan hasil ekstraksi iles-iles sebelum dan sesudah direaksikan
dengan aflatoksin menunjukan perubahan gugus fungsi. Glukomannan hasil
ekstraksi iles-iles setelah bereaksi dengan aflatoksin timbul gugus fungsi C≡C dan
C=O, sedangkan gugus N ̶ H menghilang sedangkan Glukomannan yeast product
setelah bereaksi dengan aflatoksin berkurang bilangan gelombang untuk gugus
≡C ̶H. Perubahan gugus fungsi setelah bereaksi dengan aflatoksin menunjukan
adanya perubahan kimiawi dan terbentuknya senyawa baru. Pengujian
spektroskopi ini memberikan bukti bahwa antara glukomannan yeast product dan
glukomannan hasil ekstraksi iles-iles mampu berikatan dengan aflatoksin dengan
ikatan hidrogen.
Hasil uji in vitro dan in vivo menunjukan bahwa glukomannan hasil
ekstraksi iles-iles mampu mengikat aflatoksin. Pengujian in vitro menunjukan
bahwa semakin berat bahan pengikat baik glukomannan yeast product maupun
glukomannan hasil ekstraksi iles-iles semakin besar pula nilai persentase daya ikat
aflatoksin. Persentase daya ikat aflatoksin dari glukomannan hasil ekstraksi iles-
iles adalah 4.08; 28.72; 36.73 dan 89.07%. pada berat bahan pengikat adalah
41.05; 82.1; 123.15 dan 164.2 mg dan berat aflatoksin 0.1642 µg. Hubungan
antara berat GYP dan EI memiliki korelasi positip yang signifikan (p<0.05)
dengan nilai koefisien korelasi untuk GYP adalah 0.9602 dan EI adalah 0.9338.
Persamaan regresi dari GYP adalah Yp = -6.92+12.03x, sedangkan untuk
persamaan regresi EI adalah Ye = -31.53+21.07x. Penelitian fisika maupun kimia
yang sudah dilaksanakan sebelumnya mendukung uji invitro yang menyatakan
bahwa glukomannan yeast product maupun glukomannan hasil ekstraksi iles-iles
mampu mengikat aflatoksin. GYP dan EI memiliki gugus fungsi OH yang bersifat
negatif akan tarik menarik dengan gugus C=O yang bermuatan positip dari
molekul aflatoksin. Walaupun ikatan hidrogen tidak sekuat dengan ikatan
kovalen, tetapi dalam sistem biologi, ikatan ini akan memberikan efek
metabolisme yang besar.
Uji in vivo memberikan hasil bahwa Aflatoksin menyebabkan penurunan
konsumsi pakan, efisiensi pakan, anemia ditunjukan dengan penurunan nilai
packed cell volume, perubahan warna hati menjadi coklat gelap, coklat kuning
belang putih dan secara mikroskopik di dalam hati ditemukan pendarahan dan
infitrasi lemak. Perubahan warna coklat gelap, coklat kekuningan dan belang
kuning keputihan karena terjadi pendarahan, degenerasi dan nekrosis pada hati.
54

Metabolisme aflatoksin menghasilkan O2°(superoksid), H2O2 (peroksida)


dan OH° (radikal hidroksil) yang merupakan racun pada sel hati. Hati membentuk
enzim katalase dan superokside dismutase untuk mengendalikan racun tersebut
tetapi jika induksi aflatoksin itu terus menerus akan menyebabkan enzim
superokside dismutase tidak mampu menetralisir O2°(superoksid), H2O2
(peroksida)dan OH° (radikal hidroksil) sehingga akan menimbulkan stress
oksidatif, sebagai tandanya adalah peningkatan peroksidasi lipid, sehingga terjadi
perlemakan hati yang menyebakan warna kekuningan dan pertambahan berat
organ hati. Hati yang berwarna coklat gelap disebabkan oleh terjadinya
pendarahan karena aflatoksin menyebabkan kegagalan pembekuan darah
(coagulopathy), kondisi ini sesuai dengan pengujian hematologi bahwa ayam yang
diberi cemaran aflatoksin pada pakan dengan kadar 2 mg/kg mengalami
penurunan jumlah packed cell volume.
Glukomannan hasil ekstraksi iles-iles mampu melindungi hati dari
kerusakan hati karena tidak terbentuk coklat kekuningan, coklat gelap dan belang
kuning putih dalam organ hati. Pemberian EI dengan dosis 2 g/kg pakan lebih
melindungi ayam broiler dari serangan aflatoksin dengan kadar 2 mg/kg,
dibandingkan dengan pemberian EI dosis 1 g/kg. Hal ini dapat dilihat pada
berkurangnya warna belang kuning keputihan pada hati yang diberi EI dengan
dosis 2 g/kg pakan. Gambaran makroskopik dari hati tersebut sesuai dengan
pengamatan mikroskopik, yakni pada organ hati yang hanya diberi aflatoksin
2mg/kg saja memberikan gambaran pendarahan dan perlemakan hati yang besar
tetapi kondisi pendarahan dan perlemakan berkurang pada kelompok ayam yang
diberi pakan aflatoksin 2 mg/kg pakan dan EI 2g/kg dan tingkat pendarahan hati
lebih sedikit pada pemberian EI 2g/kg daripada EI 1 g/kg.
Aflatoksin 2 mg/kg menyebabkan pertambahan berat organ hati, sedangkan
organ ginjal, limpa dan jantung tidak mengalami pertambahan berat organ. Hati
merupakan tempat detoksifikasi dari aflatoksin, sehingga semakin banyak
aflatoksin ke hati akan menambah berat kerja hati dan terjadilah pertambahan sel
hati yang akan menyebabkan pembengkakan organ. Ginjal tidak membengkak
karena aflatoksin dibuang melewati ginjal dalam bentuk asam merkapturi. Organ
Jantung dan limpa tidak berkait langsung dengan detoksifikasi aflatoksin karena
aflatoksin bukan dikenali sebagai antigen oleh tubuh ternak dan tidak terjadi
pembentukan antibodi terhadap terhadap aflatoksin yang harus melibatkan sistem
kekebalan yakni limpa, bursa fabrisius dan thymus.
Pemberian EI dosis 1 g/kg pakan mampu melindungi ayam broiler dari
pengaruh aflatoksin 2 mg/kg dengan indikator meningkatkan berat ayam hidup,
jumlah konsumsi pakan, nilai packed cell volume, mengurangi perubahan bentuk
dan warna hati normal dan menurunkan pembengkakan hati. Secara mikroskopis
pemberian ekstrak iles-iles mampu menurunkan pendarahan dan perlemakan di
hati. Walaupun pemberian EI dengan dosis 1 g/kg dan dosis 2 g/kg pakan belum
mampu melindungi ayam broiler dari cemaran aflatoksin 2 mg/kg dengan
indikator masih rendahnya titer antibodi terhadap ND yang belum sama dengan
titer antibodi terhadap ND pada kontrol. Supaya ayam broiler betul-betul dapat
terlindungi dari cemaran aflatoksin sampai tingkat cemaran aflatoksin 2 mg/kg,
maka EI yang diberikan perlu dikombinasi dengan bahan antioksidan.
Kemampuan EI dalam dosis yang sama yakni 1 g/kg memiliki kemampuan
yang sama dengan GYP dalam dosis 1 g/kg, baik dalam parameter berat ayam
55

hidup, konsumsi pakan, FCR, PCV dan titer antibodi terhadap penyakit New
Castle Disease. Oleh karena itu penggunaan ekstrak iles-iles dapat digunakan
untuk menggantikan bahan pengikat GYP, walaupun untuk meningkatkan
perlindungan terhadap ayam dari cemaran aflatoksin harus ditingkatkan dosisnya.
Secara keseluruhan penelitian baik pengujian fisika-kimia, uji in vitro dan
uji in vivo memberikan bukti ilmiah bahwa glukomannan hasil ekstraksi iles-iles
mampu mengikat aflatoksin dan mengurangi pengaruh negatif aflatoksin. Ketiga
tahap pengujian saling mendukung akan kemampuan glukomannan hasil ekstraksi
iles-iles sebagai bahan pengikat aflatoksin. Dosis Ekstrak Iles-iles 1 g/kg pakan
mampu melindungi ayam dari pengaruh negatif cemaran aflatoksin 50 μg/kg dan 2
mg/kg yakni penurunan berat akhir ayam hidup, penurunan jumlah konsumsi
pakan, efisiensi pakan, anemia, peningkatan berat organ hati, perubahan
makroskopis hati, perubahan mikroskopis hati dan penurunan titer antibodi ND
pada cemaran aflatoksin 50 μg/kg, tetapi belum mampu meningkatkan titer
antibodi terhadap ND pada cemaran aflatoksin konsentrasi 2 mg/kg.

SIMPULAN UMUM DAN SARAN

Simpulan
Hasil ekstraksi umbi A. oncophylus (iles-iles) mengandung glukomannan
yang mampu mengikat aflatoksin dengan ikatan Hidrogen. Ekstrak umbi iles-iles
dapat digunakan sebagai bahan tambahan pada pakan ayam broiler untuk
melindungi dari pengaruh negatif aflatoksin. Dosis ekstrak iles-iles 1 g/kg pakan
mampu melindungi ayam dari pengaruh negatif cemaran aflatoksin 50 μg/kg dan 2
mg/kg yaitu penurunan berat akhir ayam hidup, penurunan jumlah konsumsi
pakan, penurunan efisiensi pakan, anemia, penurunan titer antibodi, peningkatan
berat organ hati, perubahan makroskopis dan mikroskopis tetapi belum mampu
meningkatkan titer antibodi pada cemaran aflatoksin konsentrasi 2 mg/kg.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka iles-iles dapat dikembangkan
menjadi sumber bahan pakan lokal, khususnya sebagai imbuhan pakan (feed
additive) sebagai bahan pengikat aflatoksin. Untuk meningkatkan kemampuan
mengikat terhadap aflatoksin dan menambah daya tahan ternak dari cemaran
aflatoksin maka glukomannan hasil ekstraksi iles-iles dapat dikombinasi dengan
bahan antioksidan ataupun dengan bahan pengikat aflatoksin lainnya.
56

DAFTAR PUSTAKA

Afzal M, Zahid A. 2004. Effect of addition of a mycotoxin detoxifier in poultry


feed containing differentlevels of aflatoxin on the performance of broilers.
Asian-Aust J Anim Sci. 17: 990-994.
Andrellos PJ, Reid GB. 1964. Confirmatory tests for aflatoxin J Assoc Offic
Agric Chemists. 47:801-803.
Aravind KL, Patil VS, Devegowda G, Umakantha B, Ganpule SP. 2003. Efficacy
of esterified glucomannan to counteract mycotoxicosis in naturally
contamined feed on performance and serum biochemical and
hematological parameters in broilers. Poult Sci. 82:571-576.
Basmacioglu H, Oguz H, Ergul M, Col R, Birdane YO. 2005. Effect of Dietary
Esterified Glucomannan on Performance, Serum Biochemistry and
Haematology in Broilers Exposed to Aflatoxin. Czech J Anim Sci 50:31-
39.
Campbell T, Ellis CK. 2007. Avian and Exotic Animal Hematology and Cytology.
3rd ed. Oxford Blackwell pp. 176-198.
Carnaghan RBA, Lewis G, Patterson DSP, Allcroft R. 1966. Biochemical and
pathological aspects of groundnut poisoning in chickens. Pathol Vet. 3:
601-615.
Cbinfo.com [Internet]. 2013; Factsheets on Chemical and biological warfare
agent. 16 Desember 2013; Ohio. USA.
Celik I, Oguz H, Demet O, Donmez HH, Boydak M. 2000. Efficacy of polyvinyl
pyrrolidoine in reducing the immunotoxicity of aflatoxin in growing
broilers. Br Poult Sci. 41:430-439.
Chua M, Chan K, Trevor J, Hocking, Peter A, William, Christopher J, Perry.
2012. Methodologies for the extraction and analysis of konjac
glucomannan from corms of Amorphophallus konjac. Carbohydrate
Polimers 87:2202-2210.
Cuhadaroglu D, Uygun OA. 2008. Production and characterization of activated
karbon from a bituminous coal by chemical activation. Afr. J. Biotechnol.
7(20):3703-3710.
Denli M, Okan F. 2006. Efficacy of different adsorbents in reducing the toxic
effects of aflatoksin B in broiler diets. J Anim. Sci. 36 (4): 222-228.
1
Denli M, Blandon JC, Guynot ME, Salado S, Perez JF. 2009. Effects of dietary
AflaDetox on performance, serum biochemistry, histopathological
changes, and aflatoxin residues in broilers exposed to aflatoxin B1. Oxford
J. 88 (7): 1444-1445.
Devegowda G, Murthy TNK. 2005. Mycotoxins:Their Adverse Effect in Poultry
and Some Practical Solution in the Mycotoxin Blue Book. Ed ke-1
Nottingham: Nottingham Univ Pr. Pp. 25-56.
Donmez N, Donmez HH, Krekin E, Kisadere I. 2012. Effect of aflatoxin on some
haematological parameters and protective effectiveness of esterified
clucomannan in merino rams.The sci. world J. Article ID 342468, 4 pages.
EFSA. (European Food Safety Authority ). 2010. Statement on the establishment
of guidelines for the assessment of additives from the functional group
substances for reduction of the contamination of feed by mycotoxins.
EFSA J. 8, doi:10.2903/j.efsa.2010.1693
57

Eliana NC, Tessari, Kobashigawa E, Cardoso AL, Ledoux D, Rottinghaus G,


Oliveira C. 2010. Effects of aflatoxin B1 and fumonisin B1 on Blood
Biochemical parameters in broilers. Toxins 2(4):453-460.
Evan J, Dawson K. 2007. The Ability of Mycosorb to Bind Toxins Present in
Endophyte-Infected Tall Fescue. North American Biosciences Center,
Alltech, Inc., Nicholasville, Kentucky, USA (Courtesy of Alltech Inc.).
Fajrien E. 2001. Ekstraksi glukomannan dari tepung porang (Amorphophallus
oncopyllus) (kajian konsentrasi alkohol) [Skripsi].Malang (ID). Universitas
Brawijaya.
[FCC] Food Chemical Codex and Food Nutrition Board. 2003. Food Chemical
Codex. Ed ke-5. US: National Academy of Science.
Fessenden R, Fessenden J. 1982. Kimia Organik. Pudjaatmaka A penerjemah;
Pakpahan M, Harianja B, editor. Jakarta (ID); Erlangga. Terjemahan dari:
Organic Chemistry Ed ke-3.
Flint J, Nurizzo D, Harding S, Gideon E, Davies J, Gilbert H, Bolam D. 2004.
Ligand-mediated dimerization of Carbohydrate binding module reveals a
novel mechanism for protein-carbohydrate recognition. J Mol Biol 377:
417-426.
Gallo A, Masoero F. 2010. In vitro models to evaluate the capacity of different
sequestering agents to adsorb aflatoxins. Ital J anim Sci. 9(1):109-116.
Galvano F, Piva A, Ritietioni A, Galvano G. 2001. Dietary strategies to counteract
the effect of mycotoxins: A Review. J. Food Protec. 64(1):120-131.
Garcia J, Cozzolino G. 2006. Use of Near Infrared Reflectance (NIR)
Spectroscopy to Predict Chemical Composition of Forages in Broad-Based
Calibration Models. Agric Técnica 6:41-47.
Girish CK, Devegowda G. 2006. Efficacy of Glucomannan-containing yeast
product (Mycosorb®) and Hydrated Sodium Calsium aluminosilicate in
preventing the individual and combined toxicity of aflatoksin and T-2
Toxin in commercial broilers. Asian-Aust J Anim Sci. 19(6):877-883.
Goran N, Milorad. 2011. Fourier Transform-New Analitycal Approaches and
FTIR Strategies. Croatia: InTech.
Hesham M, Teleb, Hegazy A, Hussein Y. 2004. Efficiency of kaolin and activated
charcoal to reduce the toxicity of low level of aflatoxin in broiler. Sci. J
King Faisal Univ. 5(1):145-160.
Hisano H, Falcon D, Barros M, Pezzato L. 2008. Influence of yeast derivatives on
Growth performance and survival of juvenile prawn. Anim Brasil 9(3):
657-662.
Howel MV. 1983. Methods for determination of aflatoxins, ochratoxin A and
zaralenon in mixed feeds with detection by thin layer chromatography.
Proc. Int. Symp. Mycotoxins National Research Center, Cairo, Egypt.
293-296.
Huff WE, Doerr JA, Wabeck CJ, Chaloupka OW, May JD, Merkley JW. 1983.
Individual and combined effects of aflatoxin and ochratoxin A on bruising
in broiler chickens. Poult Sci. 62:1764-1771.
[IPB] Institut Pertanian Bogor. 2012. Pedoman Penyajian Karya Ilmiah. Ed ke-3.
Bogor: IPB Press.
Kadim IT, Maghroub O, Al Marzooqi W, Annamalai. 2005. Prediction of Crude
Protein, Extractabel Fat, Calcium and Phosphorus content of broiler
58

chicken carcasses using Near-Infrared Reflectance Spectroscopy. Asia-


Aust J Anim Sci. 18(7):1036-1040.
Kaki S, Moeni MM, Cheragi J. 2012. Effects of Zeolite and Mycosorb on serum
biochemical and hematological parameter of broilers chicken aflatoxicosis.
J Blood Lymph. 2:1-4.
Keçeci T, Oguz H, Kurtoglu V, Demet O. 1998. Effects of
polyvinylpolyprolidone, synthetic zeolite and bentonite on serum
biochemical and haematological characters of broiler chickens during
aflatoxicosis. British Poult Sci. 39:452–458.
Khopkar SM. 1990. Dasar-Dasar Kimia Analitik. Jakarta. Universitas Indonesia
Press.
Kumar R, Balachadran C. 2005. Effect of Aflatoxin and cyclopiazonic acid in
feed on the performance of broiler chicken. Indian vet J. 82:1138-1140.
Kurniawan F, Mulyono E, Broto W, Permana A. 2011. Purifikasi tepung Mannan
dari umbi iles-iles (Amorphophallus oncophyllus) secara enzimatis untuk
peningkatan mutu menjadi foodgrade. Di dalam: Richana N, Hidayat T,
Abubakar, Sumangat D, Setyanto H, editor. Peran Teknologi Pasca Panen
dalam Meningkatkan nilai tambah dan Daya Saing Produk Pertanian.
Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pasca Panen Pertanian III; 2011
Nov 17; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian. hlm 166-172.
Kusumastuti A. 2011. Pengenalan Pola Gelombang Khas dengan Interpolasi.
Cauchy J. 2:7-12.
Li B, Xie B, Kennedy JF. 2006. Studies on the Molekuler Chain Morphology of
Konjac Glucomannan. Carbohydrate Polymers 64: 510-515.
Manafi M, Narayanaswamy HD, Pirany D. 2009. In vitro binding ability of binder
in commercial broiler feed. Afric J Agric research. 4(2):141-143.
Miazzo R, Rosa CAR, Quiroz EC, Magnoli C, Chiacchiera SM, Palacio G, Saenz
M, Kikot A, Basaldella A, Dalcero A. 2000. Efficacy of Synthetic Zeolite
to reduce the toxicity of aflatoxin in broiler chicks. Poult Sci. 78:1-6.
Moschini M., Gallo A, Piva G, Masoero F. 2008. The effects of rumen fluid on
the in vitro aflatoxin binding capacity of different sequestering agents and
in vivo release of the sequestered toxin. Anim. Feed Sci.Tech. 147:292-
309.
Murphy PA, Hendrich S, Landgren C, Bryant CM. 2006. Food mycotoxins: an
update. J Food Sci. 71:51-65.
Nogrady T.1992. Kimia Medisinal.Rasyid H,Musaddad A, penerjemah; Mansoor
S, Niksolihin, editor. Bandung (ID): Penerbit ITB, Terjemahan dari:
Medicinal Chemistry. Ed ke-2.
Nuryono, Agus A, Wedhastri S, Maryudhani YMS, Pranowo D, Yunianto, Fazeli
R. 2012. Adsorption of aflatoxin B1 in corn on natural zeolite and
bentonite. Indones J Chem 12(3):279-286.
Oǧuz H, Keçeci T, Birdane YO, Önder F, Kurtoǧlu V. 2000. Effect of
clinoptilolite on serum biochemical and haematological characters of
broiler chickens during aflatoxicosis. Research in Vet Sci. 69(1):89–93.
Ohtsuki T. 1968. Studies on Reserve Carbohydrates of Flour Amorphophallus
Species with Special Reference to Mannan. Botanical Magazine Tokyo.
81: 119 – 126.
59

Pavia DL, Lampman GM, Kriz GS. 2001. Introduction To Spectroscopy.


Washington:Thomson Learning.
Raju MVL, Devegowda G. 2002. Esterifed glucomannan in broiler chicken diets
contaminated with aflatoxin, ochratoxin and T-2 toxin: Evaluation of its
binding ability (in vitro) and Efficacy as immunomodulator. Asian-Aust J
Anim Sci. 15:1051-1056.
Rosa CA, Miazzo R, Magnoli C, Salvano M, Chiac SM, Ferrero S, Saenz M,
Carvalho EC, Dalcero A. 2001. Evaluation of the efficacy of bentonite
from the south of Argentina to ameliorate the toxic effects of aflatoxin in
broilers. Poult Sci. 80: 139–144.
Sande MA, Osorio DT, Lopez R, Alonso MJ. 2009. Glucomannan, a promising
polysaccharide for biopharmaceutical purposes. Europ J Pharm Biopharm.
72:453-462
Sastrohamidjojo. 1991. Kromatografi. Ed Ke-2. Yogyakarta. Liberty Yogyakarta.
Sumardjo D. 2009. Pengantar Kimia:Buku panduan kuliah mahasiswa kedokteran
dan program strata I Fakultas Bioeksakta. Hanif A, Manurung J,
Simanjutak J, editor. Jakarta (ID): EGC.
Teye E, Huang X, Afoakwa N. 2013. Review on the potential use of Near
Infrared Spectroscopy (NIRS) for the measurement of chemical residues in
food. American J Food Sci and Tech. 1:1-8.
Tien N, Thien D, Dong N, Dung P, Du N. 2009. Characterization of
polysaccharide from Amorphophallus paeoniifolius in Vietnam. J Chem.
47(6B):155-159.
[USDA] United Stated Departement of Agricultural. 2000. Aflatoxin Handbook
dan FDA Guidance for Industry [Internet]. [diunduh 2014 Juni 28].
Tersedia pada: http://www.usda.gov/wps/portal/usda/usdahome.
Utami BS, Novriani H. 2009. Komparasi Hemagglutination Inhibition Test
dengan Uji Fokus Dengue IgM/IgG untuk Diagnosis Infeksi Dengue. Maj.
Kedokt.indones. 59(2):46-50.
Wang RJ, Fui SX, Miao CH, Feng DY. 2006. Effect of Different Mycotoxin
adsorbents on Performance, meat characteristics and bloof profiles of
avian broilers fed mold contaminated corn. Asian-Aust J Anim Sci. 19(1):
72-79.
Wang K, He Z. 2002 Alginate-konjac glucomannan-chitosan beads as controled
release matrix. International J Pharmaceutics. 244:117-126.
Widjanarko SB, Nugroho A, Estiasih T. 2011. Functional interactio components
of protein isolates and glucomannan in food bars by FTIR and SEM
studies. Afric J Food Sci. 5(1):12-21.
Wilson C. 2008. Microbial Food Contamination. CRC Press. Florida
Xu, M., Li, D.S., Li, B., Wang, C., Zhu, YP., Ping, W., Xie, B.J. 2013.
Comparative Study on Molecular Weight of Konjac Glucomannan by Gel
Permeation Chromatography-Laser Light Scattering-Refractive Index and
Laser Light-Scattering Methods. J. Spectroscopy. Article ID 685698, 4
pages.
Yanwirasti. 2006. Kontribusi peroksidasi lipid terhadap kerusakan sel hati tikus
putih akibat keracunan aflatoksin B1. J Anatom Indones. 01(2):79-86.
60

Yildrim E, Yalcinka Y, Kanbur M, Cinar M, Oruc E. 2011. Effect of yeast


glucomannan on performance, some biochemical parameters and
pathological changes in experimental aflatoxicosis in broiler chickens.
Revue Méd Vét.162:413-420.
Yousef MI, Salem MH, Kamel K.I, Hassan GA, Nouty FD. 2003. Influence of
ascorbic acid supplementation on the haematological and clinical
biochemistry parameters of male rabbits exposed to aflatoxin B1. J. of
Envir Sci and Health. 38(2):193–209.
Yu H, Huang Y, Ying H, Xiao C. 2007. Preparation and Characterization of a
quaternary ammonium derivative of Konjac glucomannan. Carbohydrate
Polym. 69:29-40.
Zhang H, Yoshimura M, Nishinari K, Williams MAK, Foster TJ, Norton IT. 2001.
Gelation behaviour of konjac glucomannan with different molecular
weight. Biopolymers. 59:38-50.
Zhang Y, Xie B, Gan X, 2005. Advance in application of konjac glucomannan
and its derivatives. Carbohydrate Polimers. 60:27–31.
Zhengquan C, Liu Y, Wang H, Zhu H, Hou Y, Ding B. 2011. The protective
effects of different mycotoxin adsorbents against blood and liver
pathological changes induced by mold-contaminated feed in broilers.
Asian-Aust J Anim Sci. 24(2):250-257.
61

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kulon Progo pada tanggal 1 Pebruari 1971 dari Ibu
Tentrem Rahayu dan ayah Sarbini. Penulis merupakan putera pertama dari tiga
bersaudara. Sekolah dasar dan sekolah menengah pertama diselesaikan di
Kalibawang dan pada tahun 1989 penulis lulus SMA Negeri I Wates dan pada
tahun itu juga lulus ujian Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) masuk
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, lulus S1 tahun 1995 dan
lulus profesi dokter hewan 1997. Menyelesaikan S-2 di Program studi Ilmu
Ternak Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 dan dilanjutkan ke program S-3
pada tahun 2009.
Penulis bekerja di Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan) Kalibawang dari
tahun 1999 sampai 2001 dan mulai tahun 2002 sampai sekarang bekerja di Balai
Pengujian Mutu dan Sertifikasi Pakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Penulis sekarang sebagai Manajer
Mutu dan sebagai Koordinator Pengawas Mutu pakan Balai Pengujian Mutu dan
Sertifikasi Pakan, Bekasi. Selain bekerja di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi
Pakan, penulis juga aktif di Komite Akreditasi Nasional (KAN) sebagai Lead
Asesor untuk ISO 17025.

Anda mungkin juga menyukai