AGUS SUSANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Agus Susanto
D162090021
RINGKASAN
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
AGUS SUSANTO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Ir Ibnu Katsir Amrullah, MS
2. Dr Ir Suryahadi, DEA
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
DAFTAR TABEL x
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Permasalahan 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Alur Penelitian 4
2 EKSTRAKSI GLUKOMANNAN DARI ILES-ILES (Amorphophallus
oncophylus) DAN PENGUJIAN FISIKA DAN KIMIA
Abstrak 5
Pendahuluan 6
Metode Penelitian 7
Hasil dan Pembahasan 11
Simpulan 25
3 PENGIKATAN AFLATOKSIN OLEH GLUKOMANNAN YEAST
PRODUCT DAN GLUKOMANNAN HASIL EKSTRAKSI ILES-ILES
(Uji In Vitro)
Abstrak 27
Pendahuluan 28
Metode Penelitian 29
Hasil dan Pembahasan 31
Simpulan 34
4 PENGIKATAN AFLATOKSIN OLEH GLUKOMANNAN YEAST
PRODUCT DAN GLUKOMANNAN HASIL EKSTRAKSI ILES-ILES
(Uji In Vivo)
Abstrak 35
Pendahuluan 36
Bahan dan Metode 37
Hasil dan Pembahasan 40
Simpulan 49
5 PEMBAHASAN UMUM 51
6 SIMPULAN UMUM DAN SARAN 55
DAFTAR PUSTAKA 56
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 61
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Proses pengupasan kulit (a), pengirisan umbi (b) dan pengeringan iles-
iles dengan sinar matahari (c) 8
2 Proses pemanasan dengan kompor elektrik (a), pemisahan hasil
ekstraksi (b) dan pengeringan dengan oven (c) 9
3 Hasil mikroskopis glukomannan yeast product (a) dan glukomannan
hasil ekstraksi Iles-Iles (b) 12
4 Komposisi penyusun dinding sel S.cerevisae (Evan dan Dowson, 2007) 15
5 Struktur molekul glukomannan (Sande 2009) 16
6 Spektrum Glukomannan yeast product dengan Near Infra Red 17
7 Spektrum Ekstrak Iles-Iles dengan Near Infra Red 17
8 Spektrum Karbon aktif dengan Near Infra Red 18
9 Spektrum FTIR antara GYP dan EI 18
10 Gugus fungsi dalam senyawa beberapa jenis aflatoksin 21
11 Spektrum FTIR antara GYP sebelum (biru) dan sesudah (merah)
berikatan dengan aflatoksin 22
12 Spektrum FTIR antara ekstraksi iles-iles sebelum (biru) dengan sesudah
(merah) berikatan dengan aflatoksin 23
13 Teori ikatan glukomannan dengan aflatoksin (diolah dengan program
Chem Draw Ultra 8.0) 25
14 Inkubasi in vitro bahan pengikat dengan aflatoksin 30
15 Persentase pengikatan aflatoksin antara GYP dan EI 32
16 Sistem perkandangan sistem baterai, sumber dari Susanto, 2014 39
17 Pengambilan darah melalui Vena Pektoralis, sumber dari Susanto, 2014 39
18 Feses berwarna merah (a) dan tampilan wajah pucat (b) pada ayam yang
mendapat perlakuan pemberian aflatoksin 2 mg/kg 42
19 Bentuk dan warna hati kelompok tanpa aflatoksin (a); penambahan
aflatoksin 50μg/kg dan penambahan aflatoksin 2 mg/kg 45
20 Histopatologi hati menunjukan pendarahan ( ) dan perlemakan
( ) pada kontrol dan penambahan aflatoksin 50 μg/kg dan 2 mg/kg 48
21 Histopatologi hati pada penambahan aflatoksin 50 μg/kg dan
penambahan GYP 1 g/Kg (a), EI 1 g/Kg (b) dan EI 2 g/Kg (c);
penambahan aflatoksin 2 mg/kg dan penambahan GYP 1 g/Kg (d), EI 1
g/Kg (e) dan EI 2 g/Kg (f) 49
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Tema penelitian ini adalah tentang
bahan pengikat aflatoksin, dengan judul Glucomannan dari Iles-Iles
(Amorphophallus oncophylus) Sebagai Pengikat Aflatoksin pada Pakan Ayam
Broiler yang dimulai dari bulan Agustus 2012 sampai Pebruari 2014.
Bagian dari disertasi ini telah dipublikasi lewat Journal Internasional yakni
International Journal of Poultry Science dengan judul “Efficacy of Glucomannan-
Containing Yeast Product and Glucomannan Resulted from Amorphophallus
Oncophyllus Extraction in Protecting Broiler Chicken from Aflatoxin” dan
Journal nasional terakreditasi DIKTI, Media Peternakan dengan judul “In Vitro
Testing to Aflatoxin Binding by Glucomannan Yeast Product and Glucomannan
Extract from Amorphophallus oncophyllus” (tahap telaah penyunting ahli).
Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Erika B Laconi, MS, Prof
Dr Ir Dewi Apri Astuti, MS dan Prof (R) Dr drh Sjamsul Bahri, MS selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan saran. Penulis juga tidak lupa
mengucapkan banyak terimakasih kepada Pimpinan dan staf Laboratorium tempat
penelitian disertasi ini antara lain: Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Pakan
Bekasi, Biofarmaka Bogor, Uji Material Badan Tenaga Nuklir Nasional Serpong
dan Balai Besar Penelitian Veteriner yang telah memberikan fasilitas pengujian
untuk menyelesaikan penelitian ini. Ungkapan terimakasih disampaikan pula
kepada ayah, ibu, isteri dan anak-anak atas doa dan kasih sayangnya.
Harapan sebagai penulis semoga karya ilmiah ini dapat berguna untuk
meningkatkan ketersediaan dan keamanan pakan di Negeri tercinta, Indonesia,
khususnya dalam kemandirian produksi pakan imbuhan (feed additive).
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
dan biji-bijian lainnya yang digunakan untuk penggemukan babi dengan berat
badan 45 Kg atau lebih batas maksimal aflatoksinnya adalah 200 ppb.
Untuk menekan aflatoksin dengan metode dekontaminasi bahan baku pakan
dalam pelaksanaannya kurang praktis, tidak efisien dan membutuhkan biaya yang
tinggi. Oleh karena itu metode pengikatan aflatoksin dalam saluran pencernaan,
supaya tidak terserap dalam tubuh ternak merupakan metode yang lebih efektif,
praktis dan biaya lebih rendah. Bahan pengikat ada yang bisa dikelompokan bahan
organik dan anorganik. Bahan pengikat yang dipakai selama ini dan telah
diperjual belikan yang termasuk bahan organik adalah glucomannan containing
yeast product (Girish dan Devewgoda 2006) dan karbon aktif (Gallo dan Masoero.
2010), sedangkan yang termasuk bahan anorganik adalah hydrated sodium
calcium aluminosilicate (Wang et al. 2006), zeolit (Kaki et al. 2012), bentonit
(Nuryono et al. 2012) dan kaolin (Hesham 2004).
Glukomannan merupakan bahan alam dengan struktur kimia berupa
heteropolimer dari glukosa dan manosa yang memiliki potensial sebagai pengikat
aflatoksin. Selama ini glukomannan yang diproduksi sebagai pengikat adalah
glukomannan dari dinding sel jamur Sacchromyces cereviseae dan sudah terbukti
mampu mengikat aflatoksin (Girish dan Devewgoda 2006). Glukomannan yang
berasal dari tanaman seperti iles-iles (Amorphophalus oncophylus) belum
diujicobakan sebagai pengikat aflatoksin. Tanaman iles-iles merupakan tanaman
yang sangat cocok di lingkungan Indonesia dan selama ini hanya dimanfaatkan
untuk diekspor dalam bentuk keripik (chips). Dengan ekstraksi menggunakan
ethanol diperoleh glukomannan dari iles-iles (EI), walaupun sebenarnya dalam
proses ekstraksi, glukomannan diperoleh dari hasil residu proses ekstraksi karena
glukomannan tidak terlarut dalam fraksi ethanol. Dengan menggunakan ekstraktor
ethanol dapat diperoleh glukomannan 60% dalam bahan kering. Harapan dari
penelitian ini adalah glukomannan yang terkandung dalam iles–iles memiliki
kemampuan mengikat aflatoksin.
Permasalahan
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Alur Penelitian
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini untuk membandingkan hasil pengujian fisika dan
kimia dari glucomannan yeast product (GYP) dengan glukomannan hasil ekstraksi
A. oncophyllus (EI) dan menemukan teori ikatan glukomannan dengan aflatoksin.
Metode analisa fisika meliputi textur, ukuran partikel dan energi bruto, sedangkan
analisa kimia terdiri dari uji proksimat, Near Infra Red (NIR) dan Fourier
transform Infra Red (FTIR). Hasil uji Fisika menunjukan bahwa tekstur dan energi
bruto GYP dan EI tidak berbeda nyata. Hasil uji proksimat menunjukan bahwa
kadar air, kadar abu, protein kasar dan lemak kasar GYP dan EI berbeda nyata,
tetapi kandungan serat kasar tidak berbeda nyata (p<0.05). Kandungan kadar air,
lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen dan karbohidrat pada EI lebih tinggi
dibandingkan GYP, tetapi kadar abu, protein, glukosa dan manosa EI lebih rendah
dibandingkan dengan GYP. Terdapatnya polisakarida glukomannan pada GYP
dan EI dibuktikan dengan uji kimia dan uji FTIR. Secara pengujian kimia di
dalam GYP dan EI secara berturut turut memiliki perbandingan manosa dan
glukosa 1 : 1,2 dan 1 : 1,8 sedangkan secara spektral ditemukan penyerapan
bilangan gelombang 1000 – 700 Cm-1 ( vibrasi bengkok C-H), 1300 – 1000 Cm-1
(C-O regang pada piranosa) dan 3500-3300 Cm-1 (OH yang dapat membentuk
ikatan Hidrogen). Berdasarkan spektrum Near Infra Red (NIR) bahwa spektrum
GYP dengan EI lebih serupa dibanding GYP dengan karbon aktif. sehingga
sebagai bahan pengikat aflatoksin GYP dan EI merupakan satu kelompok yang
berasal dari bahan organik. Hasil pengujian dengan FTIR antara GYP dan EI
memiliki gugus fungsi yang sama yaitu O ̶ H, C ̶ H 2, C ̶ H, C ̶ H3, C ̶ O ̶ C dan
≡C ̶ H, tetapi ada gugus fungsi yang hanya dimiliki GYP yakni C=O, sedangkan
yang hanya dimiliki EI yakni gugus fungsi N ̶ H (bengkok). Interaksi GYP and EI
dengan aflatoksin menghasilkan perubahan gugus fungsi dan penurunan bilangan
gelombang yang diserap oleh OH. Kesimpulan penelitian ini menunjukan GYP
dan EI mampu mengikat aflatoksin dengan ikatan hidrogen.
ABSTRACT
The purpose of the study was to compare result analysis of physics and
chemical glucomannan containing yeast product (GYP) and Glucomannan
Product of Extraction of Iles-Iles (Amorphophalus oncophylus) and to determine
theory of glucomannan and aflatoxin bonding. Methode of physic analysis
comprised texture, size of particle and gross energy, whereas chemical of analysis
comprised proximate, Near Infra Red (NIR) and Fourier transform Infra Red
(FTIR). Analysis of physics showed that texture and gross energy of GYP were
6
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari Agustus 2012 sampai Desember
2013 yang dilaksanakan di Laboratorium Balai Pengujian Mutu Pakan dan
Sertifikasi Pakan Bekasi, Laboratorium Badan Tenaga Atom Nasional dan
Laboratorium Biofarmaka Bogor.
Penelitian yang telah dilaksanakan terdiri dari:
1. Ekstraksi umbi A. oncophyllus dan grinding dengan energi tinggi pada hasil
ekstraksi.
2. Pemeriksaan, pengujian proksimat dan energi bruto hasil ekstraksi iles-iles dan
glukomannan yeast product.
3. Pengujian Near Infra Red system dan Fourier Transform Infra Red ekstraksi
hasil iles-iles dan glukomannan yeast product
4. Pengujian ikatan antara hasil ekstraksi iles-iles dan glukomannan yeast product
dengan aflatoksin menggunakan fourier Transform Infra Red.
Bahan
Umbi A. oncophyllus diperoleh dari desa Grogol, Kecamatan Sambit,
Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Untuk ekstraksi glucomanann bahan
kimia yang dibutuhkan adalah, ethanol dan aquades. Bahan untuk sumber
aflatoksin menggunakan standar aflatoksin dari produksi Biopure®. Untuk
pengujian proksimat bahan kimia yang dibutuhkan H2SO4, NaOH, HCl, HBO3
dan ether, sedangkan peralatan yang dibutuhkan adalah oven, gelas piala, blender,
penangas air, soklet, kjeltec, fibertec, tanur dan sebagainya. Bahan kimia yang
digunakan untuk pengujian glukosa dan manosa adalah HCl, NaOH, CH3COOH,
kalium iodida, Luff Schoorl, phenylhydrazine hidrokloride, sodium acetate dan
aquadestilata.
8
Pelaksanaan Penelitian
Ekstraksi umbi iles-Iles dilakukan di Laboratorium Balai Pengujian Mutu
dan Sertifikasi Pakan di Bekasi. Ukuran partikel hasil ekstraksi dikecilkan supaya
ukuran partikelnya sama dengan glukomannan yeast product menggunakan
grinding energi tinggi. Pengukuran diameter partikel menggunakan alat partikel
size analizer Malvern® dilakukan di Laboratorium Uji Material Badan tenaga
Nuklir Nasional Serpong. Pengujian kimia dan fisika terdiri dari uji proksimat,
pemeriksaan, Energi bruto, Ukuran partikel, pH, Near Infra Red System dan
Pengujian Fourier Transform Infra Red (FTIR). Pengujian kimia dilakukan di
Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Pakan kecuali Pengujian Fourier Transform
Infra red (FTIR) dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Bogor.
Penelitian dilaksanakan mulai Agustus 2012 sampai Oktober 2013.
Tepung iles-iles tersebut dimasukkan kedalam gelas piala yang berisi air
dengan perbandingan 30 ml/gr tepung, kemudian dipanaskan menggunakan
pemanas listrik dengan suhu 45oC dengan pengadukan tetap selama 1 jam. Bahan
akan menjadi gel dan didiamkan pada suhu ruang sampai dingin, kemudian
tambahkan ethanol 96% dengan perbandingan 1:2, kemudian diaduk kembali, dan
glukomannan hasil ekstraksi akan terpisah dengan pelarut. Hasil ekstraksi
disaring dengan menggunakan kain saring, kemudian diratakan pada kertas
alumunium foil, kemudian dimasukkan kedalam oven suhu 60oC selama 48 jam
sampai bahan menjadi kering (Gambar 2). Bahan hasil pengeringan tersebut di
9
destilasi dan hasil destilasi ditangkap oleh H3BO4 25 ml yang diberi 3 tetes mix
indikator. Destilat di titrasi dengan HCl 0,1 N sampai mencapai perubahan warna.
Metode pengujian kadar lemak kasar dengan metode 2003.06 (AOAC
2005). Pengujian lemak kasar menggunakan alat soxlet dan pelarut lemak Ether.
Sampel dengan berat 2 gram dimasukan dalam selongsong ditambah Ether 70 ml
kemudian diekstraksi selama 4-6 jam. Hasil ekstraksi di oven selama 105°C
selama 2 jam, sehingga akan diperoleh kadar lemak yang tertinggal di dalam
selongsong tersebut.
Metode pengujian serat kasar dengan metode 01-2891 (SNI 1992). Sampel
dengan berat 2 gram dimasukan dalam beaker glass untuk dilakukan pelarutan
lemak (defatting) dengan petroleum benzena. Dilakukan penambahan H2SO4
1,25% sebanyak 50 ml, kemudian didihkan di kompor penangas selama 30 menit.
Dilanjutkan penambahan NaOH 3,25% dan didihkan pada kompor penangas
selama 30 menit, kemudian disaring dengan kertas saring dan dibilas dengan
H2SO4 1,25% panas, aquades panas dan ethanol. Sampel dan kertas saring
dipanaskan dalam oven pada suhu 105°C selama 2 jam dan diulang pengeringan
dengan oven sampai mencapai bobot tetap, pengujian dilanjutkan dengan
pengabuan dengan oven pada suhu 550°C selama 2 jam dan diulang sampai
mencapai bobot tetap. Sampel yang tersaring dan telah diuapkan airnya
merupakan kandungan serat kasar.
Pengujian Karbohidrat menggunakan metode 01-2891-1992 butir 9 (SNI
1992), basis pengujiannya adalah titrimetri. Sampel 5 gram dimasukan dalam
erlenmeyer, kemudian tambahkan 200 ml larutan HCl 3% dan dididihkan selama
3 jam dengan pendingin tegak. Larutan didinginkan dan dinetralkan dengan
larutan NaOH 30% dan ditambah sedikit CH3COOH 3% agar suasana larutan
sedikit asam. Pipet 10 ml larutan ke dalam erlenmeyer 500 ml, tambahkan 25 ml
larutan Luff Schoorl dan 15 ml air suling. Panaskan larutan tersebut dengan nyala
yang tetap, usahakan larutan mendidih dalam waktu 3 menit dan biarkan mendidih
terus selama 10 menit. Setelah dingin tambahkan 15 ml larutan KI 20% dan 25 ml
H2SO4 dan titrasi dengan larutan tio 0,1 N. Perhitungan kandungan karbohidrat
dapat dikonversi dari larutan tio yang digunakan dengan tabel penetapan gula
menurut Luff Schoorl.
Pengujian kadar mannan menggunakan metode Ohtsuki (1968) atau
disebut juga pengujian dengan metode Mannosa Phenylhydrazone, pengujian ini
berbasis gravimetri. Sampel ditimbang 1 gram dan ditambahkan 50 ml HCl 2%
dan didihkan selama 3 jam. Filtrat dinetralkan dengan NaOH dan tambahkan
karbon aktif dan dilanjutkan dengan penyaringan. Filtrat yang diperoleh didestilasi
sampai volume 10 ml, dan ditambahkan 0,4 gram phenylhydrazine hidrokhlorid
dan 0,65 gram Na-asetat dalam 5 ml aquadest. Campuran disimpan di lemari es
selama 24 Jam dan Kristal mannosaphenylhydrazine disaring lalu ditimbang.
Analisa laboratorium pada glukomannan hasil ekstraksi iles-iles juga
dilakukan untuk glukomannan yang berasal dari yeast product, mycosorb®.
Informasi analisa tersebut digunakan sebagai bahan pembandingan, untuk
memperjelas persamaan dan perbedaan dari kedua jenis glukomannan tersebut.
11
Analisis Data.
Data hasil pengujian fisika dan kimia antara GYP dan EI dibandingkan
nilai rata-ratanya dengan menggunakan uji-t sampel berpasangan (paired samples-
t test). Untuk analisa hasil pengujian NIRS dan FTIR menggunakan statistik
deskriptif dengan membandingkan gambar spektrumnya maupun tabel untuk
panjang gelombang yang terabsorpsi.
Pengujian Fisik
Proses ekstraksi umbi iles-iles dengan menggunakan pelarut ethanol dan
air. Hasil ekstraksi dari tepung iles-iles dalam penelitian ini mampu menghasilkan
rendemen 74,1%, sebagaimana dipaparkan pada Tabel 1.
Warna antara GYP dan EI mendekati sama yakni warna coklat hanya GYP
lebih coklat tua dibandingkan dengan EI, sebagaimana pada Gambar 3.
(a) (b)
Gambar 3 Hasil mikroskopis glukomannan yeast product (a) dan glukomannan hasil
ekstraksi Iles-Iles (b)
Jenis warna mempengaruhi palatabilitas dari ternak, oleh karena itu dengan
warna yang berdekatan antara GYP dan EI memberikan nilai palatabilitas yang
sama. Penggunaan dari GYP dan EI juga sangat kecil yakni rata-rata 1 Kg/ton,
sehingga warna pakan secara keseluruhan masih ditentukan dengan bahan baku
utama yang lainnya seperti jagung, bungkil kedelai dan lainnya.
Bau juga mempengaruhi palatabilitas ternak, GYP maupun EI tidak
ditemukan bau tengik yang dapat menurunkan palatabilitas ternak. Kedua bahan
tersebut tidak memiliki potensi ketengikan karena kadar lemak yang rendah yakni
di bawah 1%, GYP kadar lemaknya 0,47% sedangkan EI kadar lemaknya 0,74%.
Lemak EI terlarut dalam air pada saat dilakukan ekstraksi sehingga terpisah
dengan glukomannan (Yu et al. 2007). Bau GYP harum spesifik yeast produk,
sedangkan EI tercium bau ekstrak bahan alami dari iles-iles.
Ukuran partikel GYP dan EI diukur dengan metode pengujian struktur dan
komposisi mikro dengan scanning electron microscopy (SEM)/energy dispersive
spectroscopy (EDS). EI sebelum diukur ukuran partikelnya digrinding dengan
13
Pengujian Proksimat
Hasil pengujian kimia uji proksimat antara GYP dan EI menunjukan
adanya perbedaan hasil pengujian secara signifikan ( p>0.05) , kecuali kandungan
serat kasar tidak berbeda, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4. Serat kasar
menunjukan bagian yang tidak hancur oleh pelarut asam maupun basa, sehingga
dalam saluran pencernaan tidak terserap dan tetap bertahan dalam saluran
pencernaan, bagian yang tetap tertahan dalam saluran pencernaan ini antara GYP
dan EI adalah sama yakni kurang lebih 10%.
Tabel 3 Hasil uji proksimat Glucomannan Yeast Product (GYP) dan Ekstraksi
Iles-Iles (EI) dalam persen (%)c
Kadar Kadar Protein Lemak Serat BETN
Bahan Air abu kasar kasar kasar
Kadar abu yang tinggi pada GYP yang digunakan, kemungkinan ada
penambahan bahan lain selain bahan utama dari dinding sel S. cerevisae. Untuk
meningkatkan daya pengikat dan murahnya bahan baku dapat ditambahkan
dengan menggunakan bahan pengikat bersumber clay, sehingga hasil pengujian
menunjukan kadar abu tinggi. Hasil pengujian kadar abu pada dinding sel
S.cerevisae kurang lebih 3%, sebagaimana dilaporkan oleh Hisano et al. (2008)
bahwa komposisi proksimat pada dinding sel S.cerevisae adalah kadar abu
(inorganic substances) 3%, hexamine dan khitin 2%, protein 8%, lemak 7%,
glukosa 40% dan mannosa 40% .
14
Kadar air, lemak kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dari EI
lebih besar dibandingkan dengan GYP. Secara kimiawi GYP lebih banyak
mengandung unsur nitrogennya, hal ini dapat dilihat dari kandungan protein kasar
GYP (28.63%) dibandingkan kandungan protein kasar EI (6.96%), sehingga
kandungan BETN EI lebih besar, hal ini didukung oleh hasil pengujian kadar
karbohidrat secara titrasi, EI sebesar 61.67%. sedangkan pada GYP 31.89%,
sebagaimana pada Tabel 3.
Kadar protein EI 6,96% lebih rendah apabila dibandingkan dengan hasil
pengujian protein glukomanan oleh Chua (2012) sebesar 7,5%. Glukomannan
hasil ekstraksi Amorphophallus menurut standar FCC (2003), kandungan protein
glukomannan dari ekstraksi A. konjac maximal 8%, sehingga hasil ekstraksi yang
dilakukan dalam penelitian ini memenuhi persyaratan standar tersebut.
Karbohidrat
BETN merupakan selisih karbohidrat dengan serat kasar. EI mengandung
karbohidrat lebih tinggi dibandingkan dengan GYP, sedangkan kandungan serat
kasar tidak berbeda nyata dengan kandungan serat kasar pada GYP sehingga
BETN EI lebih tinggi dibandingkan GYP. BETN merupakan penilaian kadar
karbohidrat berdasarkan perhitungan (by differance), sedangkan pengujian
karbohidrat berdasarkan pengujian (SNI 01-2891-1992 butir 9 1992) diperoleh
kadar karbohidrat EI lebih besar dibandingkan GYP, jadi hasil perhitungan
bersesuaian dengan pengujian.
Kadar Karbohidrat tinggi pada EI tidak diikuti kandungan mannan yang
tinggi karena kadar mannan pada GYP 25.7% sedangkan EI 15.2% (Tabel 4).
Menurut Ohtsuki (1968) karbohidrat pada umbi iles-iles terdiri dari pati, serat
kasar, mannan, gula bebas dan poliosa. Kadar karbohidrat tinggi pada EI, tersusun
oleh komposisi glukosa dan mannosa. Glukosa dan mannosa merupakan
monosakarida Karbon 6, dalam kelompok yang sama yakni aldoheksosa dan
memiliki rumus kimia yang sama yakni C6H12O6. Kedua monosakarida tersebut
merupakan isomer ruang (stereoisomer) kelompok diasteromer karena yang
membedakan glukosa dan manosa adalah letak gugus –OH pada Karbon ke dua.
Struktur molekul glukosa memiliki gugus OH pada sebelah kanan, sedangkan
pada manosa terletak sebelah kiri (Sumardjo 2009).
Derajat pH antara GYP dan EI adalah suasana asam yakni di bawah 7,
apabila dibandingkan pH GYP lebih asam daripada EI (Tabel 4). Nilai pH
menunjukan kologaritma ion H+ yang terlarut, semakin besar konsentrasi H+ yang
terlarut maka nilai pH semakin kecil, sehingga bersifat asam. Sifat GYP lebih
asam menunjukan konsentrasi H+ yang terlarut lebih besar dibandingkan dari EI.
Menurut teori Arhenius, asam merupakan senyawa yang memberikan proton (H+)
kepada senyawa lain atau menurut teori Lewis asam merupakan senyawa
penerima pasangan elektron dari senyawa basa. Konsep asam-basa ini mendorong
kemampuan ikatan GYP dan EI berikatan dengan aflatoksin yang banyak
memiliki gugus C=O dimana unsur Oksigen masih memiliki pasangan elektron
bebas yang dapat diterima GYP dan EI, sesuai dengan teori Lewis.
15
Gambar 4 Komposisi penyusun dinding sel S.cerevisae (Evan dan Dowson, 2007)
Kandungan NDF dan ADF antara GYP dengan EI berbeda secara signifikan,
tetapi perbandingan ADF/NDF antara GYP dan EI berturut-turut adalah 0.53 dan
0.45. Kandungan ADF kurang lebih separuhnya dari kandungan NDF. Selisih
antara NDF dan ADF menunjukan kadar hemiselulosa. Monomer penyusun
hemiselulosa biasanya adalah rantai D-glukosa, ditambah dengan berbagai bentuk
monosakarida yang terikat pada rantai, baik sebagai cabang atau mata rantai,
seperti D-mannosa, D-galaktosa, atau monomer lainnya, tergantung dari bahan
yang dianalisa.
karbon aktif. Metode pembuatan dan perlakuan secara kimia terhadap bahan
karbon aktif sangat mempengaruhi karakteristik permukaan karbon aktif yang
berkait langsung dengan kemampuan dalam penyerapan terhadap mikotoksin
(Galvano et al. 2001). GYP, EI dan Karbon aktif dapat mengurangi efek
merugikan dari aflatoksin pada ayam broiler, walaupun secara rumus kimia
ketiganya berbeda.
Dari spektrum Near infra red GYP dan EI memiliki penyerapan pada
beberapa panjang gelombang tertentu. sedangkan pada karbon aktif terjadi
penyerapan terus menerus dari bilangan gelombang 4 500 sampai 9 500 (Gambar
6, 7 dan 8). Hal ini menggambarkan bahwa senyawa penyusun bahan GYP dan EI
memiliki komposisi molekul lebih bervariasi dibandingkan dengan karbon aktif.
Molekul penyusun GYP dengan iles-iles lebih serupa dibanding GYP dengan
karbon aktif maupun EI dengan karbon aktif, sehingga sebagai bahan pengikat
aflatoksin GYP dan EI merupakan satu kelompok yang berasal dari bahan organik
yang terdiri dari berbagai molekul, sedangkan karbon aktif merupakan pengikat
aflatoksin yang tersusun oleh karbon saja. Molekul penyusun GYP dan EI dapat
dibuktikan dengan hasil pengujian kimia dari GYP dan EI yang mengandung
protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat.
Gugus Fungsi
Gugus fungsi dapat diketahui dengan pengujian dengan FTIR, spektrum
FTIR dari GYP dan EI dapat dilihat pada Gambar 9. Secara garis besar GYP dan
EI memiliki puncak dan lembah yang bersesuaian. Gugus fungsi dari suatu
senyawa ditentukan oleh absorbansi bilangan gelombang/frekuensi
Senyawa organik terdiri dari dua bagian yakni kerangka karbon yang
merupakan ikatan Karbon dengan Karbon atau Hidrogen dan gugus fungsi.
Bagian gugus fungsi merupakan sekelompok atom (dua atau empat atom) dalam
molekul yang bertanggung-jawab terhadap reaksi kimia dan karakteristik molekul
tersebut. Gugus fungsi yang sama akan mengalami reaksi kimia yang sama
apapun bentuk dan jenis kerangka karbonnya akan tetapi reaktivitas relatifnya
dapat dipengaruhi oleh keberadaan gugus fungsi lain di dekatnya. Kelebihan
spektrofotometer FTIR (Fourier Transform Infra Red) adalah mampu memberikan
informasi gugus fungsi secara tepat dan akurat. Untuk lebih mengenal gugus aktif
dari GYP dengan EI dapat diketahui dari Tabel 5.
pertumbuhan berat badan ayam dan titer antibodinya (Girish dan Devegowda
2006).
Dari molekul GYP dan EI terdapat perbedaan gugus fungsi, yakni GYP
menyerap bilangan gelombang 1654.83, bilangan gelombang tersebut menunjukan
daerah serapan 1850-1630 Cm-1 (gugus C=O). Sedangkan pada EI ditemukan
gugus NH tekuk yakni pada bilangan gelombang 1623.13. Gugus NH regang yang
merupakan gugus yang ditemukan pada senyawa protein tidak teridentifikasi
dalam pengujian FTIR baik pada GYP maupun EI, hal ini disebabkan NH regang
(3500-3100) dalam satu area dengan penyerapan OH regang yakni 3 500 – 3 300,
sehingga ketika terjadi penyerapan gugus OH regang yang kuat akan
menyebabkan penyerapan gugus fungsi NH tertutupi, sehingga yang muncul
dalam spektrogram adalah serapan gugus OH.
Spektrum Glukomannan
Glukomannan merupakan polisakarida dengan ikatan lurus dan sedikit
percabangan, dengan komposisi β-(1→4)-linked D-manosa and D-glukosa dengan
perbandingan 1,6:1 (Tien et al. 2009). Perbandingan percabangan kira-kira 8%
pada ikatan β-(1→6)-glucosyl linkages (Zhang et al. 2001). Dari pengujian yang
dilakukan diperoleh perbandingan manosa dan glukosa pada GYP dan EI secara
berturut turut 1 : 1.2 dan 1 : 1.8.
Adanya Polisakarida didukung juga dengan ditemukannya penyerapan
bilangan gelombang antara 1000 – 700 Cm-1 baik di GYP dan EI, penyerapan dari
bilangan gelombang tersebut menunjukan terjadinya vibrasi tekuk γ C-H (Goran
dan Milorad 2011). Vibrasi tekuk C-H menunjukan ikatan glukosidic dan
mannosidic dari glukomannan. Kondisi tersebut bersesuaian dengan pengujian
kimia bahwa GYP dan EI mengandung glukosa dan manosa, zat tersebut
berangkai membentuk heteropolisakarida.
Dari hasil pengujian FTIR baik GYP maupun EI memiliki serapan pada
bilangan gelombang 1030.97 (GYP) dan 1027.00 (EI). Penyerapan di bilangan
gelombang tersebut menunjukan gugus fungsi C-O yang spesifik pada
glukomannan, sebagaimana dilaporkan oleh Chua et al. (2012) yakni penyerapan
bilangan gelombang antara 1000 – 1300 Cm-1 menunjukan C-O-C bentuk regang
dari group ring piranosa yang dimiliki oleh glukomannan.
GYP maupun EI menyerap bilangan gelombang 3416.71 dan 3428.87
secara berturut-turut. Bilangan gelombang tersebut menunjukan gugus fungsi OH,
karena spesifik dengan bentuk serapannya yang kuat dan membentuk . Gugus
fungsi yang mendukung adanya glukomannan baik pada GYP dan EI adalah OH.
Widjonarko et al. (2011) menyampaikan bahwa struktur glukomannan hasil
ekstraksi Amorphophallus konjac adalah ditemukannya gugus hidroksil (OH).
Gugus O-H merupakan gugus yang potensial membentuk ikatan hidrogen dengan
gugus lainnya seperti C=O maupun NH2. Penemuan gugus OH ini bersesuaian
dengan penemuan sebelumnya yang menyatakan bahwa di dalam glukomannan
merupakan heteropolimer dari glukosa dan mannosa, dalam rangkaian polimer
tersebut ditemukan gugus OH (Erikson et al. 1990).
21
Struktur Aflatoksin
Secara kimia, aflatoksin adalah kelompok difuranocoumarin dengan jenis
utama dari aflatoksin adalah aflatoksin B1 (AFB1), aflatoksin B2 (AFB2),
aflatoksin G1 (AFG1) dan aflatoksin G2 (AFG2 (Murphy et al. 2006). Unsur
pembentuk molekul aflatoksin terdiri dari unsur C, H dan O. Struktur kimia
aflatoksin dapat dilihat pada Gambar 10. Nama kimia dari aflatoksin B1 adalah
Cyclopenta [c] furo [3',2':4,5]furo [2,3h][1] benzopyran-1,11-dione,2,3,6a,9a-
tetrahydro-4-methoxy-,(6aR,9aS), Aflatoksin B2 mengalami penambahan 2
Hidrogen (dihydroaflatoksin dari B1), sehingga rumus kimianya untuk B1 adalah
C17H12O6 sedangkan B2 menjadi C17H14O6. Nama kimia dari aflatoksin G1 adalah
1H,12H-Furo [3',2':4,5] furo [2,3-h] pyrano [3,4-c][1] benzopyran-1,12-
dione,3,4,7a,10a-tetrahydro-5-methoxy-,(7aR,10aS)-, G2 merupakan G1 yang
mengalami penambahan 2 hidrogen, sehingga rumus kimia G1 adalah C 17H12O7
sedangkan G2 adalah C17H14O7 (cbinfo.com 2013).
O O
O R4
O O
O O R3
R3
R2
R2
R5
R1 O O R6 R1 O O OCH3
Gambar 11 Spektrum FTIR antara GYP sebelum (biru) dan sesudah (merah)
berikatan dengan aflatoksin
Secara lebih rinci perubahan gugus fungsi GYP sebelum dan sesudah
bereaksi dengan aflatoksin dapat dilihat pada Tabel 6.
Untuk lebih jelasnya susunan gugus fungsi dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah
ini.
Tabel 7 Perbedaan gugus fungsi antara Ekstraksi iles-iles dengan Ekstraksi Iles-
Iles bereaksi Aflatoksin
EI EI+Aflatoksin Acuan Spektrum
Bilangan Inten- Bilangan Inten- Bilangan Gugus
gelombang sitas gelombang sitas gelombang fungsi
terserap (Cm-1) terserap (Cm-1) terserap (cm-1)
3428.87 S 3428.47 S 3500 - 3300 O̶H
2924.46 S 2924.01 S 3400 - 2400 C ̶ H2
2148.18 W 2138.09 W 2250-2100 C̶H
- - 1917.75 W 2100 - 1850 C≡C
1867.16 W
- - 1646.95 W 1850-1630 C=O
lebih kuat dibanding ikatan dwi kutub (dipole) maupun ikatan Vander waals.
Dengan energi ikatan tersebut mampu untuk mengikat aflatoksin, apalagi
didukung secara sifat fisika dari glukomannan yang berbentuk panjang, bercabang
dengan berat molekul glukomannan dari Amorphophallus 2.508 x105 g/mol
sedangkan aflatoksin hanya antara 312-330, hal ini memudahkan aflatoksin terikat
oleh glukomannan.
Dalam satu molekul glukosa atau manosa memiliki gugus 5–OH, sehingga
potensi mengikat aflatoksin besar. Teori ikatan glukomannan dan aflatoksin yang
kita ajukan ini sesuai dengan pendapat (Andrellos et al. 1964) bahwa aflatoksin
bereaksi lebih kuat dengan gugus fungsi hydroksil (-OH). Ikatan aflatoksin dan
glucomannan menyebabkan membentuk ikatan kompleks polisakarida dengan
aflatoksin sehingga aflatoksin tidak akan terserap dalam tubuh ternak, tetapi akan
terbuang bersama feses. Bentuk ikatan glukomannan dengan aflatoksin, dengan
menggunakan Program Chem Draw Ultra 8.0 dapat dilihat pada Gambar 13.
SIMPULAN
Hasil uji Fisika menunjukan bahwa tekstur dan energi bruto glukomannan
yeast product dan ekstrak iles-iles tidak berbeda nyata(p<0.05). Hasil uji
proksimat (kadar air. kadar abu. protein kasar. lemak kasar dan serat kasar)
glucomannan yeast product dan ekstraksi iles-iles berbeda nyata, kecuali pada
kandungan serat kasar. Kandungan kadar air, lemak bahan ekstrak tanpa nitrogen
karbohidrat pada ekstrak iles-iles lebih tinggi dibandingkan glukomannan yeast
product, sedangkan kadar abu, protein dan mannan lebih rendah (p<0.05).
Terdapatnya polisakarida glukomannan pada glukomannan yeast product dan
ekstrak iles-iles dibuktikan dengan uji kimia dan uji FTIR. Secara pengujian kimia
di dalam glukomannan yeast product dan ekstrak iles-iles secara berturut turut
memiliki perbandingan manosa dan glukosa 1 : 1.2 dan 1 : 1.8 sedangkan secara
spektral ditemukan penyerapan bilangan gelombang 1000 – 700 Cm-1, 1300–1000
Cm-1 dan 3400-2400 Cm-1. Penyerapan bilangan gelombang 1000 – 700 Cm-1
menunjukan vibrasi tekuk C-H menunjukan ikatan glukosidic dan mannosidic
dari glukomannan, 1300 – 1000 Cm-1 menunjukan gugus C-O bentuk regang dari
26
group ring piranosa yang dimiliki oleh glukomannan dan bilangan gelombang
antara 3400-2400 Cm-1 menunjukan gugus fungsi OH yakni gugus fungsi yang
ditemukan pada glukomannan yang mampu membentuk ikatan Hidrogen.
Spektrum NIR antara glukomannan yeast product dan ekstrak iles-iles
menunjukan bahwa sebagai bahan pengikat aflatoksin kedua bahan pengikat
merupakan satu kelompok yang berasal dari bahan organik. Hasil pengujian
dengan FTIR antara glukomannan yeast product dan ekstrak iles-iles memiliki
gugus fungsi yang sama yakni O ̶ H, C ̶ H 2, C ̶ H, C ̶ H3, C ̶ O ̶ C dan ≡C ̶ H ,
tetapi ada gugus fungsi yang hanya dimiliki GYP yakni C=O dan hanya dimiliki
EI yakni gugus fungsi N ̶ H (bengkok).
Interaksi glukomannan yeast product dan ekstrak iles-iles dengan aflatoksin
menghasilkan perubahan kimia, dengan indikasi perubahan gugus fungsi sebelum
dan sesudah diinteraksikan dengan aflatoksin. Gugus fungsi glukomannan yeast
product berkurang bilangan gelombang pada gugus ≡C ̶ H dan ekstrak iles-iles
tidak nampak N ̶ H (regang) setelah direaksikan dengan aflatoksin. Interaksi
ekstrak iles-iles dan aflatoksin menunjukan adanya gugus fungsi C≡C dan C=O.
Terjadinya perubahan kimia ini menunjukan kemampuan glukomannan yeast
product dan ekstrak iles-iles mampu melakukan pengikatan terhadap aflatoksin.
Teori ikatan glukomannan dari iles-iles dengan aflatoksin adalah ikatan Hidrogen
dengan dibuktikan penurunan frekuensi yang diserap oleh gugus OH setelah
berikatan dengan aflatoksin.
27
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan glukomannan yeast
product (GYP) dan glukomannan hasil ekstraksi dari Amorphophallus oncophylus
(iles-iles) dalam mengikat aflatoksin dengan uji in vitro. Sebelum diuji in vitro
GYP dan glukomannan hasil ekstraksi iles-iles (EI) diuji proksimat, glukosa dan
mannosa. Uji in vitro menggunakan bahan aflatoksin, bahan pengikat (GYP dan
EI), cairan gastro intestinum ayam broiler 3% dalam larutan ringer. Perlakuan dari
pengujian in vitro dilakukan dalam tabung yang diisi cairan gastro intestinal 40
ml, bahan pengikat GYP atau EI dengan berat masing-masing 41.05; 82.1; 123.15
dan 164.2 mg dan berat aflatoksin 0.1642 µg di setiap tabung. Kontrol dari
pengujian menggunakan tabung yang hanya diisi cairan gastro intestinal dan
aflatoksin tanpa bahan pengikat. Tabung dikocok dan disentrifuse, supernatan
yang diperoleh diuji kandungan aflatoksin menggunakan metode ELISA. Hasil
penelitian menunjukan persentase pengikatan aflatoksin meningkat sesuai dengan
bertambahnya berat bahan pengikat baik GYP maupun EI. Persentase daya ikat
aflatoksin GYP adalah 19.72%; 21.51%; 42.25%; 46.35% dan EI adalah 4.08%;
28.72%; 36.73%; dan 89.07% secara berturut turut. Hubungan antara berat GYP
dan EI memiliki korelasi positip yang signifikan (P<0.05) dengan nilai koefisien
korelasi untuk GYP adalah 0.9602 dan EI adalah 0.9338. Persamaan regresi dari
GYP adalah Yp = -6.92 + 12.03X, sedangkan untuk EI adalah Ye = -31.53 +
21.07X. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa secara in vitro glukomannan hasil
ekstraksi iles-iles mampu mengikat aflatoksin, sehingga dapat dilanjutkan ke uji in
vivo.
ABSTRACT
Aim of research was to test capability of glucomannan yeast product
(GYP) and glucomannan product of Amorphophallus oncophyllus extraction
(GPE) bind to aflatoxin with in vitro testing. Before in vitro testing, both GYP and
GPE analized to containing proximate, glucose and mannose. In vitro testing used
gastro intestinum chicken fluid in ringer solution 3%, binders, and aflatoxin.
Treatments of in vitro testing were conducted by filled gastro intestinum chicken
fluid 40 ml, weight of binders (GYP or GPE) were 41.05; 82.1; 123.15 and 164.2
mg and weight of aflatoxin was 0.1642 µg of each tube. Control samples were
done by filled chicken fluid 40 ml and aflatoxin without binders. Tubes were
shaked and then centrifuged, supernatan were analized containing of aflatoxin
with ELISA. The results of study showed that percentage of aflatoxin binding
increase by increased of weight either glucomannan from yeast product or
glucomannan resulted from A. oncophylus extraction. Percentage of aflatoxin
binding with binder of both glucomannan yeast product was 19.72%; 21.51%;
28
PENDAHULUAN
Setelah komposisi kimia diketahui bahwa antara glukomannan yeast
product dengan glukomannan hasil ekstraksi iles-iles memiliki komposisi kimia
yang bersesuaian, khususnya gugus fungsinya, maka perlu dilanjutkan ke uji in
vitro untuk mengukur kemampuan dalam pengikatan aflatoksin. Pengujian in vitro
merupakan bentuk uji coba awal untuk mengetahui kemampuan pengikatan
terhadap aflatoksin yang tidak menggunakan uji coba pada makhluk hidup, tetapi
hanya menggunakan bagian makhluk hidup seperti cairan saliva, cairan usus dan
sebagainya.
Uji in vitro merupakan uji coba yang dilaksanakan di laboratorium,
walaupun uji in vitro tidak selalu sama dengan uji in vivo, seperti pada pengujian
HSCAS secara in vitro positip mampu mengikat okratoksin tetapi dalam uji in
vivo tidak mampu melindungi dari efek negatif Okratoksin (Plank et al. 1990).
Dengan uji in vitro kita akan mengetahui potensial dari suatu bahan dalam
pengikatan terhadap aflatoksin. Peralatan dan metode pengujian in vitro lebih
sederhana dibandingkan dalam pengujian in vivo. Uji in vitro menggunakan
standar aflatoksin dalam jumlah lebih kecil apabila dibandingkan dengan uji in
vivo karena dalam uji in vitro aflatoksin langsung direaksikan dengan bahan
pengikat di laboratorium.
Metode in vitro yang diambil adalah in vitro sebagai model pada unggas
karena dalam metode ini menggunakan cairan gastrointestinal ayam broiler.
Pemilihan metode ini dengan pertimbangan setelah pengujian in vitro akan
dilanjutkan pada pengujian in vivo pada ayam broiler. Ayam broiler rentan
terhadap serangan aflatoksin dibandingkan pada hewan ruminansia karena
aflatoksin banyak ditemukan pada pakan unggas. Kebutuhan standar aflatoksin
juga lebih sedikit karena konsumsi dari ayam broiler lebih sedikit apabila
dibandingkan dengan ruminansia. Selain itu batas maksimal persyaratan mutu
pakan ayam broiler hanya 50 ppb sedangkan dalam ruminansia seperti sapi perah
sekitar 100 ppb. Standar aflatoksin merupakan bahan kimia yang relatif mahal dan
jumlah ketersediaan di pasar sangat terbatas, sehingga dalam menggunakan harus
efisien dan efektif.
Dengan melakukan uji in vitro dapat dibandingkan kemampuan
glukomannan yeast product dan glukomannan hasil ekstraksi iles-iles dalam
mengikat aflatoksin. Selain itu tingkat hubungan (korelasi) antara faktor berat
29
bahan pengikat dengan persentase aflatoksin yang terikat dapat diketahui dengan
mengukur koefisien korelasi dari kedua faktor. Apabila terdapat hubungan yang
signifikan dapat dilanjutkan dengan pengujian regresi, sehingga diperoleh
persamaan regresi yang dapat digunakan untuk memprediksi berat aflatoksin yang
terikat oleh berat bahan pengikat GYP ataupun EI secara in vitro. Pengujian
secara in vitro dapat digunakan untuk menscreening kemampuan daya ikat dari
glukomannan hasil ekstraksi iles-iles terhadap aflatoksin, apabila memiliki daya
ikat terhadap aflatoksin maka ekstrak iles-iles memiliki potensi sebagai pengikat
aflatoksin dan dapat dilanjutkan dengan uji in vivo, yakni uji coba pada ternak
hidup.
METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan untuk uji in vitro antara lain glukomannan yeast
product, glukomannan hasil ekstraksi iles-iles, larutan ringer, larutan
gastrointestinal ayam broiler, standar aflatoksin (@Biopure). Untuk pengujian
aflatoksin disediakan satu kit pengujian Elisa (@R biopharm) yang terdiri dari
conjugat, stop solution, standar aflatoksin, antigen dan antibody. Alat yang
digunakan antara lain sentrifuse dan ELISA reader.
Metode
Pelaksanaan pengujian diawali dengan membuat pelarut A yang
mengandung aflatoksin B1 0.821 µg/ml. Berat bahan pengikat baik GYP dan EI
yang mau diuji adalah 41.05; 82.1; 123.15; 164.2 mg dimasukan dalam tabung
inkubasi (100 ml), kemudian masukan 0.2 ml larutan A dan 40 ml air ringer yang
mengandung 3% larutan gastrointestinal ayam. Perbandingan berat aflatoksin
dengan bahan pengikat (0.1642 : 82.100 µg) dalam penelitian ini, memiliki
perbandingan 1: 500 000 (b/b) sesuai dengan perbandingan yang telah dilakukan
pada penelitian sebelumnya (Moschini et al. 2008). Perbandingan ini dipilih untuk
menggambarkan kondisi di lapangan.
Pada saat menambah larutan sambil digoyang dengan hati-hati supaya
bahan pengikat, aflatoksin dan pelarut bisa bercampur. Pengujian dilakukan duplo
untuk setiap pengujian. Kontrol sampel dibuat dengan memasukan ke dalam
tabung 0.2 ml pelarut A, ditambah 40 ml larutan ringer yang mengandung 3%
gastrointestinal tanpa diberi bahan pengikat mikotoksin. Tabung yang berisi
perlakuan dan kontrol diinkubasi pada waterbath shaker pada suhu 39 °C selama
2 jam sambil digoyang, seperti pada Gambar 14.
30
Terikat dibagi dengan kadar aflatoksin dalam kontrol, atau dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
% Afl =[ (A-B)/A ] x 100
Keterangan:
% Afl = Persentase aflatoksin yang terikat
A = Konsentrasi aflatoksin supernatan pada kontrol (tanpa bahan pengikat)
B = Konsentrasi aflatoksin supernatan pada sampel perlakuan yang sedang
diukur
Analisa Data
Data persentase aflatoksin terikat yang diperoleh diolah secara statistik
deskriptif dalam bentuk tabel maupun gambar. Untuk analisa korelasi dan regresi
dan pengolahan data menggunakan sidik ragam (ANOVA) menggunakan progam
IBM SPSS versi 19, dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil penelitian
dilaporkan dan dibahas sesuai kaidah penulisan pedoman penyajian karya ilmiah
(IPB 2012).
31
Uji Regresi
Pengujian in vitro bahan pengikat GYP dan EI dilakukan uji regresi, GYP
maupun EI memiliki korelasi secara signifikan antara berat bahan pengikat dengan
persentase aflatoksin terikat pada tingkat kepercayaan 0.95. Nilai koefisen
korelasi pada bahan pengikat GYP 0.9602 lebih besar dibandingkan dengan bahan
pengikat EI sebesar 0.9338. Hal ini menunjukan ada hubungan korelasi bahwa
semakin bertambah berat bahan pengikat akan menambah persentase pengikatan
aflatoksin, walaupun ada titik jenuhnya. Nilai hubungan antara berat bahan
pengikat dengan persentase aflatoksin terikat lebih kuat hubungannya pada GYP
dibandingkan EI walaupun berat kedua bahan pengikat tersebut memiliki
hubungan yang kuat dengan persentase aflatoksin terikat.
Berat bahan pengikat GYP dan EI memiliki hubungan yang kuat dengan
persentase aflatoksin terikat maka dapat dilanjutkan dengan uji regresi. Persamaan
regresi berdasarkan analisa regresi dengan SPSS dimana, Y adalah persentase
pengikatan aflatoksin (%) dan X adalah berat bahan pengikat (mili gram), maka
persamaan regresi untuk GYP adalah Yp = -6.92 + 12.03x. sedangkan untuk EI
Ye = -31.53 + 21.07x. Koefisien regresi menunjukan pada besarnya perubahan
pada variabel dependen (persentase pengikatan aflatoksin) yang diakibatkan oleh
adanya perubahan pada variabel independen (berat bahan pengikat). Rentang nilai
dependen pada EI lebih lebar yakni 0 sampai 89.07 sedangkan pada GYP 0
sampai 46.35 sehingga koefisien regresi pada EI (21.07) lebih besar daripada GYP
(12.03). Sensitivitas bahan pengikat EI lebih tinggi dibandingkan GYP. hal ini
ditunjukan pula dengan nilai koefisien regresi EI lebih besar dibandingkan GYP.
karena kofisien regresi tinggi berarti dengan perubahan kecil pada berat bahan
pengikat akan memberikan respon yang besar pada persentase daya ikat terhadap
aflatoksin.
SIMPULAN
Glukomannan yeast produk dan glukomannan hasil ekstraksi A.
oncophyllus mampu mengikat aflatoksin, secara in vitro. Berat bahan pengikat
41.05; 82.1; 123.15 dan 164.2 mg menghasilkan persentase pengikatan aflatoksin
pada glukomannan yeast produk sebesar 19.72; 21.51; 42.25; 46.35% dan ekstrak
iles-iles adalah 4.08; 28.72; 36.73 dan 89.07% secara berturut turut. Perbandingan
optimum untuk mengikat aflatoksin pada ekstrak iles-iles adalah perbandingan
berat aflatoksin dengan berat bahan pengikat adalah 1 : 106. Persamaan regresi
pada glukomannan yeast product adalah Yp = -6.92 + 12.03x, sedangkan untuk
ekstrak iles-iles adalah Ye = -31.53 + 21.07x. Glukomannan dari A. oncophyllus
memiliki potensi sebagai bahan pengikat aflatoksin dan dapat dilanjutkan dengan
uji in vivo.
35
ABSTRACT
and GPE 2 g/kg respectively. Body weight, feed intake and efficiency feed (feed
conversion ratio) were assessed on all birds and at the end of experiment, plasma
parameter (Packed cell volume, Hemoglobin, Mean corpusculler Hemoglobin cell
and glucose), serum parameter (antibody ND). Relative weight of visceral organ
(liver, candiac, spleen and kidney) were determined in 5 chicken from each
experimental group. As conclution of research, aflatoxin caused decreasing
efficiency of feed, decreasing of PCV and titer antibody against ND, changing of
colour of hepar, and increasing weight of liver. The histopathological signs in
hepatic of broilers are characterized by hepatic lesions such as, hemorhagic and
lipid degeneration. Dosage glucomannan product of Amorphophallus oncophyllus
extraction 1 g/kg can alleviate detrimental effects of aflatoxin 50 μg/kg and 2
mg/kg include the following increasing consumption, decreasing of feed
efficiency, anemia, increasing weight of liver, changing of liver makroskopis and
microscopis and decreasing titer antibody against New Castle disease in aflatoxin
50 μg/kg but it can not increase titer antibody against New Castle Diseases in
aflatoxin 2 mg/kg.
PENDAHULUAN
Uji in vivo menggunakan ayam broiler sangat sesuai karena pakan unggas
komersial dan ayam broiler cukup sensitif terhadap aflatoksin. Penyediaan standar
Aflatoksin yang digunakan untuk penelitian bukanlah hal yang murah dan mudah
karena aflatoksin termasuk bahan carsinogenik dan dalam pengawasan keamanan
karena dapat menjadi bahan bioterorisme. Penelitian dengan menggunakan ayam
broiler yang diberi pakan yang ditambah aflatoksin hanya membutuhkan standar
aflatoksin yang relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan menggunakan
ternak lainnya seperti sapi, kerbau, ayam petelur dan sebagainya.
Kasus mikotoksikosis pada ayam broiler yang secara akut memang jarang
terjadi tetapi kasus kronis yang menyebabkan penurunan dari pertambahan berat
badan dan antibodi terhadap New Castle Disease (ND) dan penyakit lainnya
sering ditemukan (Afzal dan Zahid 2004). Salah satu penanganan pencemaran
aflatoksin pada pakan dapat menggunakan penambahan bahan pengikat aflatoksin
seperti glukomannan yeast product maupun glukomannan hasil ekstraksi iles-iles
pada pakan.
Melakukan uji in vivo akan memperoleh perbandingan pengaruh GYP dan
EI terhadap performa ayam broiler, parameter darah, pengamatan makroskopik
dan mikroskopik organ dalam (organ hati, limpa, jantung dan ginjal). Selain itu
kita dapat membandingkan kemampuan glukomannan yeast product dan
glukomannan hasil ekstraksi iles-iles dalam pengikatan aflatoksin dalam tubuh
ayam broiler dengan pengamatan berkurangnya pengaruh negatif dari aflatoksin.
Produksi Aflatoksin
Aflatoksin yang digunakan dalam penelitian ini merupakan aflatoksin
produksi dari Balai Besar Veteriner, Bogor. Produksi aflatoksin menggunakan
pembiakan Aspergillus flavus pada media potato dextrose broth. Biakan A. flavus
diekstrak secara bertingkat dengan asetonitril, sehingga diperoleh crude aflatoksin.
38
Hasil ekstraksi yang berupa larutan crude aflatoksin difraksinasi dengan sistem
kromatografi kolom, dan dilakukan pengujian kandungan aflatoksin pada
beberapa tabung hasil fraksinasi, untuk mengetahui fraksi kolom yang
mengandung aflatoksin.
Pengujian kandungan aflatoksin menggunakan metode Thin Layer
Cromatografi (Kromatografi lempeng tipis). Fraksi yang mengandung aflatoksin
dipisahkan kandungan aflatoksinnya menggunakan kromatografi lempeng tipis,
bagian silika gel yang mengandung aflatoksin dikerok dan dilarutkan dalam
kloroform untuk di sentrifuse. Supernatan hasil sentrifugasi merupakan bagian
yang mengandung aflatoksin.
Rancangan percobaan
Penelitian dilakukan dengan menggunakan ayam pedaging (broiler) dengan
rancangan percobaan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 7 ulangan. Pakan
basal ditambah aflatoksin maupun bahan pengikat pada setiap kelompok
perlakuan, sebagaimana pada Tabel 9.
Gambar 16. Sistem perkandangan sistem baterai, sumber dari Susanto, 2014
Parameter yang diamati adalah berat konsumsi pakan, berat ayam, feed
conversion ratio (FCR), jumlah ternak yang mengalami gangguan kesehatan dan
kematian. Pengambilan darah dilakukan melalui pembuluh darah vena pectoralis
(Gambar 17). Darah ditampung dalam dua tabung yakni tabung yang ditambah
EDTA (plasma darah) dan tabung tanpa EDTA (serum). Parameter pengujian
plasma darah adalah Hb, PCV, diffrensial leucocyt, kadar gula darah, sedangkan
serum darah digunakan untuk pengujian antibodi terhadap ND. Pengujian titer
antibodi ND menggunakan metode HI (Haemoglutination Inhibition ).
Analisa Data
Pengolahan data performa, hasil pengujian darah, berat relatif organ dalam
dibandingkan dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan apabila terdapat
perbedaan dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie 1995). Pengolahan data
menggunakan progam IBM SPSS versi 19, dengan tingkat kepercayaan 95%.
Hasil penelitian dilaporkan dan dibahas sesuai kaidah penulisan pedoman
penyajian karya ilmiah (IPB 2012).
Performa Ternak
Berat pakan yang dikonsumsi dan pertambahan berat badan ayam selama
diberi perlakuan di catat dan diolah menjadi nilai FCR (feed conversion ratio).
Efisiensi pakan dapat dihitung dari nilai FCR, hasil penelitian menunjukan bahwa
pemberian aflatoksin 2 ppm memberikan hasil nilai FCR paling tinggi atau
dengan perkataan lain pakan sangat tidak efisien (Tabel 10). Aflatoksin
menimbulkan gangguan metabolisme di dalam hati, sehingga nutrisi yang diserap
digunakan untuk memperbaiki gangguan metabolisme karena ketika ada gangguan
metabolisme ataupun ada serangan penyakit maka nutrisi akan digunakan terlebih
dahulu untuk memperbaiki gangguan atau mambentuk zat kebal, apabila sudah
dapat diperbaiki gangguan tersebut, baru digunakan untuk pertumbuhan.
Berat pakan yang dikonsumsi oleh ayam paling rendah ditemukan pada
kelompok ayam broiler yang diberi aflatoksin 2 mg/kg dan berbeda nyata dengan
kelompok kontrol negatif yakni tanpa penambah aflatoksin secara signifikan
(p<0.05). Aflatoksin menyebabkan penurunan nafsu makan dan penurunan
41
efisiensi (peningkatan nilai FCR) sehingga terjadi penurunan berat akhir ayam
hidup rendah secara signifikan (p<0.05). Berat akhir ayam hidup dari perlakuan
dengan pemberian GYP maupun EI berbeda nyata dengan berat ayam dari
kelompok ayam broiler yang hanya diberi aflatoksin 2 mg/kg saja. Kondisi
tersebut juga dialami dengan parameter efisiensi pakan, Pemberian GYP dan EI
pada dosis 1 g/kg mampu menghasilkan nilai efisiensi pakan seperti pada
kelompok ayam yang tidak diberi aflatoksin (kontrol negatif) pada pencemaran
aflatoksin 50 μg/kg tetapi belum mampu menghasilkan efisiensi pakan yang sama
dengan kelompok kontrol negatif pada tingkat cemaran aflatoksin 2 mg/kg.
Pemberian tambahan GYP dan EI mampu memberikan efisiensi pakan lebih baik
dibandingkan dengan kelompok yang diberi aflatoksin dengan dosis 50 μg/kg
tanpa pemberian bahan pengikat.
Berat badan ayam hidup pada hari ke-35 mengalami penurunan pada
kelompok ayam yang mendapatkan penambahan aflatoksin 2 ppm berbeda secara
nyata dengan kelompok ayam yang tidak diberi tambahan aflatoksin (p<0.05).
Pemberian pakan dengan cemaran aflatoksin 50 μg/kg telah menurunkan berat
badan ayam hidup walaupun memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan
kelompok tanpa pemberian aflatoksin (kontrol), maupun dengan kelompok yang
diberi aflatoksin 2 mg/kg, tetapi tingkat efisiensi pakan pada kelompok yang
diberi cemaran aflatoksin 50 μg/kg lebih baik dibandingkan dengan kelompok
ayam yang diberi cemaran pakan 2 mg/kg pakan. Hal ini sesuai dengan penelitian-
penelitian sebelumnya seperti dilaporkan Kumar dan Balachadran (2004) bahwa
pertambahan berat ayam berkurang secara signifikan (p<0.05) pada kelompok
ayam yang diberi tambahan aflatoksin 1 mg/kg.
Pengamatan Kesehatan
Pengamatan kesehatan ternak menunjukan bahwa kelompok ayam yang
mendapatkan penambahan aflatoksin 2 ppm (kontrol positip) pada minggu ke 3
ditemukan berak darah/merah (Gambar 18). Kondisi tersebut tidak ditemukan
pada kelompok ternak pada perlakuan lainnya. Pendarahan dapat disebabkan
karena aflatoksin mengganggu metabolisme di dalam hati, memberikan pengaruh
penurunan faktor pembeku darah, sehingga pembuluh darah pada saluran
pencernaan mudah mengalami pendarahan. Akibat kondisi tersebut feses ayam
ditemukan lebih encer dan berwarna merah. Pendarahan ini bukan disebabkan
oleh infeksi karena dari hasil pengamatan jumlah sel darah putih tidak terjadi
peningkatan.
Berak darah tidak ditemukan pada ayam yang tidak diberi penambahan
aflatoksin (kontrol negatif), diberi aflatoksin 50 ppb maupun 2 ppm tetapi
ditambah glukomannan yeast product atau glukomannan hasil ekstraksi iles-iles.
Glukomannan dalam GYP dan EI mampu melindungi dari pengaruh negatif
aflatoksin, yakni terjadinya pendarahan lewat feses. Glukomannan mampu
melindungi ayam broiler dari aflatoksin, karena glukomannan mampu mengikat
aflatoksin. Struktur glukomannan tetap utuh di dalam saluran pencernaan karena
gugus asetil pada glukomannan mampu melindungi terbentuknya ikatan hidrogen
antara molekul penyusun glukomannan, menyebabkan bersifat larut dalam air dan
tidak terhidrolisis oleh enzim b-mannanase and b-mannosidase (Sande et al.
2009).
42
(a) (b)
Gambar 18 Feses berwarna merah (a) dan tampilan wajah pucat (b) pada ayam
yang mendapat perlakuan pemberian aflatoksin 2 mg/kg
Hematologi
Hasil pemeriksaan plasma darah diperoleh kadar Packed Cell Volume
(PCV), Hemoglobin (Hb), Mean Corpusculer Haemoglobine Concentration
(MCHC) dan kadar gula darah yang dipaparkan dalam Tabel 11. Hasil pengujian
dengan sidik ragam Hb, MCHC dan gula darah tidak berbeda secara signifikan
(p>0.05) dari sembilan perlakuan, sedangkan PCV berbeda secara signifikan
(p<0.05).
Sistem Kekebalan
Hasil pengujian hematologi pada plasma dan serum darah ayam broiler
terdiri dari titer antibodi ND, dan diffrensial leukosit, sebagaimana Tabel 12. Titer
antibodi terhadap penyakit ND pada perlakuan dengan penambahan aflatoksin 2
mg/kg memiliki kadar paling rendah berbeda nyata secara signifikan dengan kadar
titer antibodi ND pada kelompok ayam broiler yang hanya diberi pakan tanpa
penambahan aflatoksin. Aflatoksin memiliki sifat immunosupresif, sehingga ayam
yang terkena aflatoksin berkurang kemampuannya dalam membentuk antibodi
44
terhadap penyakit New Castle Disease (ND) dan Infectious Bursal Disease (IBD)
telah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Raju dan Devegowda 2002).
Tabel 12 Hasil pengujian titer antibodi terhadap penyakit New Castle Disease
(ND) dan diffrensial leukosit
Organ dalam
Organ hati dilihat secara makroskopis pada kelompok ayam yang diberi
pakan dengan tambahan aflatoksin 50μg/kg (b) dan 2 mg/kg (c) tampak lebih
gelap, warna tidak kompak ditemukan warna kekuningan, belang kuning putih
dan batas hati tumpul dan terlihat membesar (Gambar 19). Pemberian bahan
pengikat memberikan gambaran makroskopis hati berkurang perubahan warna
menjadi warna kekuningan maupun belang kuning putih pada hati (d-i).
45
a b c
d e f
g h i
Gambar 19 Bentuk dan warna hati kelompok tanpa aflatoksin (a); penambahan
aflatoksin 50μg/kg (b) dan penambahan aflatoksin 2 mg/kg (c);
penambahan aflatoksin 50μg/kg : dan ditambah GYP 1 g/kg (d),
ditambah EI 1 g/kg (e), ditambah EI 2 g/kg (f); penambahan
aflatoksin 2 mg/kg: dan ditambah GYP 1 g/kg (g), ditambah EI 1
g/kg (h) ditambah EI 2 g/kg (i);
Warna kuning pada organ hati menunjukan adanya perlemakan pada organ
tersebut. Warna kuning sangat kelihatan jelas pada hati dari kelompok ayam yang
diberi cemaran aflatoksin 50μg/kg (b) dan 2 mg/kg (c). Aflatoksin masuk di dalam
hati dimetabolisme dengan reaksi oksidasi yang menghasilkan O2°(superoksid),
46
H2O2 (peroksida) dan OH° (radikal hidroksil) yang merupakan racun pada sel hati.
Hati membentuk enzim katalase dan superokside dismutase untuk mengendalikan
racun tersebut tetapi jika induksi aflatoksin itu terus menerus akan menyebabkan
enzim tersebut lumpuh dan menyebabkan stress oksidatif, sebagai tandanya adalah
peningkatan peroksidasi lipid, sehingga terjadi perlemakan hati (Yanwirasti 2006).
Perubahan warna hati dimulai dari coklat pucat kekuningan sampai coklat
kekuningan dengan belang putih. Warna pucat kekuningan disebabkan oleh
karena sel hati mengalami degenerasi, sedangkan warna kuning belang putih
disebabkan karena sel hati mengalami nekrosis. Warna kuning belang putih
terlihat pada gambar b dan c. Warna hati kekuningan dengan belang putih pada
gambar c makin meningkat dibanding gambar b menunjukan semakin
meningkatnya dosis aflatoksin akan semakin banyak sel hati yang mengalami
kerusakan.
Warna merah gelap pada hati disebabkan proses pendarahan yang
disebabkan oleh aflatoksin. Coagulopathy dapat terjadi akibat aflatoksin, sehingga
menyebabkan pendarahan karena terganggunya proses pembekuan darah. Belang
kuning keputihan lebih jelas nampak pada hati yang diberi aflatoksin 2 mg/kg
tanpa ditambah dengan bahan pengikat, karena semakin besar cemaran aflatoksin
pada pakan akan semakin besar pula aflatoksin masuk di dalam hati, sehingga
kerusakan hati bertambah parah. Pemberian bahan pengikat GYP dan EI mampu
mengikat aflatoksin untuk tidak masuk ke dalam organ hati, sehingga mengurangi
kerusakan hati, Bahan pengikat EI 2 g/kg lebih melindungi ayam broiler dari
serangan aflatoksin khususnya untuk kadar aflatoksin tinggi (2 mg/kg)
dibandingkan pemberian 1 g/kg, hal ini dapat dilihat dengan membandingkan
gambar i dan g.
Hasil penimbangan organ dalam yakni hati, limpa, ginjal dan jantung
diperoleh data, seperti pada Tabel 13.
Tabel 13 Pengaruh pemberian aflatoksin, GYP dan EI terhadap berat relatif organ
ayam broiler (g/kg berat hidup) umur 35 hari
Berat organ hati, jantung, limpa dan ginjal dari 9 perlakuan hanya berat
organ hati yang berbeda secara nyata (p<0.05). Organ hati yang paling berat
ditemukan pada perlakuan pemberian pakan 2 ppm yakni sebesar 39.09 g/kg berat
47
hidup ayam. Proses metabolisme aflatoksin terjadi di organ hati yang terdiri dari
dua fase yakni proses oksidasi-reduksi dan konjugasi yang menghasilkan
metabolit AFB1- 8,9-epoksida, AFMl, AFQl, dan asam mercapturi (Wilson
2008). Pembesaran organ hati menunjukan aktivitas metabolisme di hati yang
meningkat dalam melakukan detoksifikasi racun aflatoksin.
Peningkatan berat organ hati sesuai dengan penelitian sebelumnya (Miazzo
et al. 2000) dan (Denli dan Okan 2006) yang menyatakan organ hati ayam broiler
secara signifikan (p<0.05) pada pemberian pakan yang ditambah aflatoksin B1 80
ppb mengalami peningkatan bobot relatif hati dibandingkan dengan perlakuan
pakan tanpa pemberian aflatoksin atau dengan penambahan aflatoksin yang diberi
HSCAS.
Penelitian Girish dan Devewgoda (2006) menyatakan bahwa berat organ
relatif hati, limpa, ginjal, bursa fabricius dan empedal berbeda nyata secara
signifikan (p<0.05) pada ayam yang diberi pakan tanpa aflatoksin dengan yang
diberi aflatoksin 2 mg/kg. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hanya organ
hati yang beratnya meningkat, hal ini kemungkinan disebakan aflatoksin bukan
agen infeksius tetapi toksin. Organ hati merupakan organ yang bertanggung jawab
terhadap penetralan racun (detoksifikasi). Hasil pengamatan ini sesuai hasil
penelitian Denli et al. (2009) bahwa berat organ hati membesar pada pemberian
aflatoksin 1 mg/kg pakan.
Hasil penelitian ini organ ginjal tidak membesar karena metabolit dari
aflatoksin yang dibuang lewat ginjal sudah di detoksifikasi membentuk asam
merkapturi. Metabolit ini merupakan pembentukan dari AFB1-8,9 epoksida
dihidrolisis oleh enzim epoxy hidrosilase menjadi 8,9 dihydrodiol. Asam
merkapturi merupakan hasil conjugasi 8,9 dihydrodiol dengan gluthathion
(Wilson 2008).
Organ Jantung dan limpa tidak berkait langsung dengan detoksifikasi
aflatoksin karena aflatoksin bukan dikenali sebagai antigen oleh tubuh ternak dan
tidak terjadi pembentukan antibodi yang harus melibatkan sistem kekebalan yakni
limpa, bursa fabrisius dan thymus. Oleh karena itu organ limpa, ginjal dan jantung
tidak mengalami pembengkakan organ.
Histopatologi Hati
Hasil pengambilan jaringan hati dilakukan preparasi histopatologi untuk
mendapatkan gambaran histopatologi jaringan hati. Hasil pengamatan
histopatologi terdapat perbedaan antara perlakuan dan kontrol sebagaimana pada
Tabel 14.
Vakuolar degenerasi pada organ hati dan kerusakan lobus dari sel hati
meningkat dari kelompok ayam tanpa penambahan aflatoksin, penambahan
aflatoksin 50 μg/kg dan 2 mg/kg secara berturut turut. Pada organ hati yang
ditambah aflatoksin 2 mg/kg mengalami vakuolar degenerasi (perlemakan sel
hati) yang sangat hebat dan pendarahan yang mengisi ruang antar sel hati
(sinusoid). Gambaran histologi ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya
(Yildrim et al. 2011) bahwa lesi yang ditemukan pada organ hati yang pakannya
tercemer aflatoksin terdapat degenerasi hepatosit, perlemakan, pendarahan,
fibrosis di pembuluh darah portal dan proliferasi saluran empedu. Cemaran
Aflatoksin 50 μg AFB1/kg menyebabkan degenerasi vakuolar di dalam sel hati
dan proliferasi sel dalam saluran empedu (Eliana et al. 2010). Perlemakan hati
48
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar histopatologi hati pada Gambar 20
.
a b c
d e f
Gambar 21 Histopatologi hati pada penambahan aflatoksin 50 μg/kg dan
penambahan GYP 1 g/kg (a), penambahan aflatoksin 50 μg/kg
ditambah EI 1 g/kg (b) dan penambahan aflatoksin 50 μg/kg
ditambah EI 2 g/kg (c); penambahan aflatoksin 2 mg/kg dan
penambahan GYP 1 g/kg (d), penambahan aflatoksin 2 mg/kg dan
EI 1 g/kg (e) dan penambahan aflatoksin 2 mg/kg dan EI 2 g/kg (f);
pendarahan ( ) granulomatosis ( )
SIMPULAN
menjadi warna coklat kekuningan dan belang kuning putih pada kelompok ayam
yang diberi aflatoksin tanpa pemberian bahan pengikat.
Aflatoksin memberikan gambaran histopatologi pendarahan dan vakuolar
degenerasi pada sel hati, semakin tinggi konsentrasi aflatoksin akan menambah
parah pendarahan dan vakuolar degenerasi. Pemberian glukomannan yeast
product atau ekstrak iles-iles mampu mengurangi keparahan vakuoler degenerasi
dan pendarahan pada hati. Dosis ekstrak iles-iles 1 g/kg pakan mampu melindungi
ayam dari pengaruh negatif cemaran aflatoksin 50 μg/kg dan 2 mg/kg yakni
penurunan berat akhir ayam hidup, penurunan jumlah konsumsi pakan, efisiensi
pakan, anemia, peningkatan berat organ hati, perubahan makroskopis, perubahan
mikroskopis hati dan penurunan titer antibodi ND pada cemaran aflatoksin50
μg/kg, tetapi belum mampu meningkatkan titer antibodi terhadap ND pada
cemaran aflatoksin konsentrasi 2 mg/kg.
.
51
5 PEMBAHASAN UMUM
Senyawa aflatoksin diketahui dapat menimbulkan gangguan baik pada
hewan maupun manusia, karena bersifat karsinogenik, teratogenik dan
imunosupresif, sebagaimana telah ditetapkan oleh IARC (International Agency
Research on Cancer) pada tahun 1988 bahwa aflatoksin merupakan bahan
karsinogenik klas I. Aflatoksin merupakan mikotoksin hasil metabolit sekunder
dari jamur Aspergillus flavus dan A.parasiticus. Pakan ayam broiler yang tercemar
oleh aflatoksin dapat menyebabkan pengaruh negatif seperti penurunan
pertambahan berat badan, berkurangnya efisiensi pakan, penurunan nilai packed
cell volume, penurunan kekebalan tubuh (imunosupresif), gangguan hati, bahkan
kematian ayam.
Untuk mencegah pengaruh negatif aflatoksin pada ayam broiler, maka perlu
pengendalian aflatoksin dalam pakan. Penggunaan bahan pengikat maupun
penyerap aflatoksin pada pakan merupakan teknologi pakan untuk melindungi
ayam broiler dari gangguan aflatoksin. Bahan pengikat yang digunakan untuk
mengikat mikotoksin terdapat dua kelompok yakni berbahan non-organik
(mineral) dan bahan organik. Bahan pengikat non organik yang sudah digunakan
antara lain hydrated sodium calsium aluminosilikat, bentonit dan zeolit,
sedangkan yang berbahan organik antara lain glukomannan yang berasal dari
Saccharomyces cerevisae. Dalam penelitian ini bahan organik glukomannan hasil
dari ekstraksi umbi Amorphophalus oncophylus (iles-iles) kita uji coba
kemampuannya dalam mengikat aflatoksin.
Iles-iles (A. oncophylus) merupakan tanaman berbiji tertutup
(Angiospermae) dalam famili Araceae dan kelas monocotiledoneae. Di Indonesia
iles-iles mempunyai nama daerah yang berbeda seperti kerubut (Sumatera), acung
(Sunda), badur, iles-iles dan porang (Jawa), subeg leres, subeg bali (Madura).
Hasil tanaman adalah umbi yang terdapat dalam tanah, mengandung
glukomannan. Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap penelitian yakni
ekstraksi glukomannan dari umbi iles-iles, uji fisik dan kimia dari glukomannan
hasil ekstraksi iles-iles, uji in vitro dan uji in vivo pada ayam broiler.
Senyawa glukomannan merupakan heteropolisakarida non pati yang
memiliki kemampuan mengikat aflatoksin dan mikotoksin lainnya. Glukomannan
tersusun dari D-Manosa dan D-glukosa dengan ikatan β 1,4-glikosida dan β 1,6-
glikosida dengan jumlah percabangan 8% (Zhang et al. 2001). Berat molekul
glukomannan ekstraksi dari Amorphophallus sp. adalah 2 508 x105 g/mol dengan
laser light scattering (LLS) metode tunggal (Xu et al. 2013). Dengan
menggunakan transmission electron microscope (TEM), gambaran bentuk
molekul glukomannan adalah lurus panjang, sedikit percabangan dan ikatannya
bersifat semi-flexibel dalam pelarut aquades (Li 2006).
Ekstraksi umbi iles-iles menggunakan aquadest yang dipanaskan kemudian
ditambah ethanol untuk memisahkan glukomannan dari lemak, gula sederhana dan
pati, hasil rendemen yang dihasilkan dalam penelitian ini 74.1% dari tepung iles-
iles. Glukomannan hasil ekstraksi iles-iles memiliki kesamaan dengan
glukomannan yeast product yakni tidak tengik, textur, kandungan energi bruto dan
serat kasar. Kandungan serat kasar yang tidak berbeda nyata secara signifikan
(p<0.05) dengan glukomannan yeast product, menunjukan komposisi bagian
polisakarida yang sama.
52
Hasil uji proksimat menunjukan bahwa kadar air, kadar abu, protein kasar
dan lemak kasar GYP dan EI berbeda nyata, tetapi kandungan serat kasar tidak
berbeda nyata (p<0.05). Kandungan kadar air, lemak, bahan ekstrak tanpa
nitrogen dan karbohidrat pada glukomannan hasil ekstraksi iles-iles lebih tinggi
dibandingkan glukomannan yeast product tetapi kadar abu, protein, glukosa dan
manosa glukomannan hasil ekstraksi iles-iles lebih rendah dibandingkan dengan
glukomannan yeast product. Kandungan serat kasar yang tidak berbeda nyata
menunjukan kandungan polisacharida yang sama, glukomannan yang merupakan
zat aktif dalam pengikatan aflatoksin merupakan fraksi dari polisakarida non pati.
Terdapatnya polisakarida glukomannan pada GYP dan EI dibuktikan
dengan uji kimia dan uji FTIR. Secara pengujian kimia di dalam GYP dan EI
secara berturut turut memiliki perbandingan manosa dan glukosa 1 : 1.2 dan 1 :
1.8. Secara spektral ditemukan penyerapan bilangan gelombang 1000 – 700 Cm-1,
1300–1000 Cm-1 dan 3400-2400 Cm-1. Penyerapan bilangan gelombang 1000 –
700 Cm-1 menunjukan vibrasi tekuk C-H menunjukan ikatan glukosidic dan
mannosidic dari glukomannan, 1300 – 1000 Cm-1 menunjukan gugus C-O bentuk
regang dari group ring piranosa yang dimiliki oleh glukomannan dan bilangan
gelombang antara 3500-3300 Cm-1 menunjukan gugus fungsi OH yakni gugus
fungsi yang ditemukan pada glukomannan yang mampu membentuk ikatan
Hidrogen. Glukomannan merupakan polisakarida dari glukosa dan mannosa yang
dihubungkan dengan ikatan β-1, 4 glucosidik and β-1,4 mannosidik, dimana
terjadinya vibrasi tekuk pada C-H. Gugus OH dari glukomannan terdapat baik
pada glukosa maupun mannosa (Tien 2009; Goran dan Milorad 2011).
Berdasarkan spektrum Near Infra Red (NIR) bahwa spektrum GYP dengan
EI lebih serupa dibanding GYP dengan karbon aktif. sehingga sebagai bahan
pengikat aflatoksin GYP dan EI merupakan satu kelompok yang berasal dari
bahan organik. Spektrum NIR pada GYP dan EI terjadi penyerapan pada beberapa
bilangan gelombang, sedangkan pada karbon aktif terjadi penyerapan terus
menerus dari bilangan gelombang 4500 sampai 9500. Penyerapan bilangan
gelombang pada NIR menunjukan GYP dan EI tersusun oleh beberapa molekul,
hal ini bersesuaian dengan pengujian kimiawi bahwa GYP dan EI tersusun oleh
lemak, protein, karbohidrat dan senyawa lainnya. Karbon aktif yang menyerap
terus menerus dari bilangan gelombang, menunjukan sifat bahwa karbon aktif
terdiri dari susunan pori-pori, sehingga gelombang elektromagnetik terus
menerusterserap. Mekanisme pengikatan aflatoksin oleh karbon aktif
menggunakan mekanisme penyerapan (absorbsi) pada pori-pori karbon aktif,
bukan dengan cara pengikatan.
Hasil pengujian dengan FTIR, gugus fungsi yang dimiliki oleh GYP
memiliki kesamaan gugus fungsi. Terdapat 6 gugus fungsi yang sama yakni O ̶ H,
C ̶ H2, C ̶ H , C ̶ H3, C ̶ O ̶ C dan ≡C ̶ H, tetapi ada gugus fungsi yang hanya
dimiliki GYP yakni C=O, dan hanya dimiliki EI yakni gugus fungsi N ̶ H
(bengkok). Pengujian kimia menunjukan bahwa GYP dan EI mengandung protein,
gugus N ̶ H (regang) pada protein memiliki serapan bilangan gelombang yang
bersesuaian dengan O ̶ H, sehingga ketika terjadi penyerapan O ̶ H maka gugus
N ̶ H (regang) tidak nampak. Jenis gugus fungsi yang sama antara GYP dan EI
memberikan peluang EI mampu mengikat aflatoksin seperti GYP yang sudah
dilaporkan memiliki kemampuan mengikat aflatoksin maupun T-2 baik dalam
53
bentuk tunggal ataupun kombinasi ke dua toksin tersebut (Girish dan Devegowda
2006).
Antara GYP dan EI memiliki kesamaan mempunyai gugus fungsi OH
(hidroksil), gugus fungsi ini penting karena gugus fungsi OH merupakan bagian
yang mudah bereaksi dengan senyawa lain. Gugus OH mudah bereaksi dengan
gugus C=O pada aflatoksin membentuk ikatan hidrogen, sehingga aflatoksin dapat
diikat oleh glukomannan membentuk senyawa kompleks glukomannan-aflatoksin
yang tidak terserap ke dalam tubuh ternak. Terbentuknya ikatan Hidrogen
ditunjukan dengan penurunan bilangan gelombang OH setelah berikatan dengan
aflatoksin.
Interaksi GYP and EI dengan aflatoksin menghasilkan perubahan kimia,
dengan indikasi perubahan gugus fungsi sebelum dan sesudah diinteraksikan
dengan aflatoksin. Pengujian spektroskopi FTIR pada glukomannan yeast product
dan glukomannan hasil ekstraksi iles-iles sebelum dan sesudah direaksikan
dengan aflatoksin menunjukan perubahan gugus fungsi. Glukomannan hasil
ekstraksi iles-iles setelah bereaksi dengan aflatoksin timbul gugus fungsi C≡C dan
C=O, sedangkan gugus N ̶ H menghilang sedangkan Glukomannan yeast product
setelah bereaksi dengan aflatoksin berkurang bilangan gelombang untuk gugus
≡C ̶H. Perubahan gugus fungsi setelah bereaksi dengan aflatoksin menunjukan
adanya perubahan kimiawi dan terbentuknya senyawa baru. Pengujian
spektroskopi ini memberikan bukti bahwa antara glukomannan yeast product dan
glukomannan hasil ekstraksi iles-iles mampu berikatan dengan aflatoksin dengan
ikatan hidrogen.
Hasil uji in vitro dan in vivo menunjukan bahwa glukomannan hasil
ekstraksi iles-iles mampu mengikat aflatoksin. Pengujian in vitro menunjukan
bahwa semakin berat bahan pengikat baik glukomannan yeast product maupun
glukomannan hasil ekstraksi iles-iles semakin besar pula nilai persentase daya ikat
aflatoksin. Persentase daya ikat aflatoksin dari glukomannan hasil ekstraksi iles-
iles adalah 4.08; 28.72; 36.73 dan 89.07%. pada berat bahan pengikat adalah
41.05; 82.1; 123.15 dan 164.2 mg dan berat aflatoksin 0.1642 µg. Hubungan
antara berat GYP dan EI memiliki korelasi positip yang signifikan (p<0.05)
dengan nilai koefisien korelasi untuk GYP adalah 0.9602 dan EI adalah 0.9338.
Persamaan regresi dari GYP adalah Yp = -6.92+12.03x, sedangkan untuk
persamaan regresi EI adalah Ye = -31.53+21.07x. Penelitian fisika maupun kimia
yang sudah dilaksanakan sebelumnya mendukung uji invitro yang menyatakan
bahwa glukomannan yeast product maupun glukomannan hasil ekstraksi iles-iles
mampu mengikat aflatoksin. GYP dan EI memiliki gugus fungsi OH yang bersifat
negatif akan tarik menarik dengan gugus C=O yang bermuatan positip dari
molekul aflatoksin. Walaupun ikatan hidrogen tidak sekuat dengan ikatan
kovalen, tetapi dalam sistem biologi, ikatan ini akan memberikan efek
metabolisme yang besar.
Uji in vivo memberikan hasil bahwa Aflatoksin menyebabkan penurunan
konsumsi pakan, efisiensi pakan, anemia ditunjukan dengan penurunan nilai
packed cell volume, perubahan warna hati menjadi coklat gelap, coklat kuning
belang putih dan secara mikroskopik di dalam hati ditemukan pendarahan dan
infitrasi lemak. Perubahan warna coklat gelap, coklat kekuningan dan belang
kuning keputihan karena terjadi pendarahan, degenerasi dan nekrosis pada hati.
54
hidup, konsumsi pakan, FCR, PCV dan titer antibodi terhadap penyakit New
Castle Disease. Oleh karena itu penggunaan ekstrak iles-iles dapat digunakan
untuk menggantikan bahan pengikat GYP, walaupun untuk meningkatkan
perlindungan terhadap ayam dari cemaran aflatoksin harus ditingkatkan dosisnya.
Secara keseluruhan penelitian baik pengujian fisika-kimia, uji in vitro dan
uji in vivo memberikan bukti ilmiah bahwa glukomannan hasil ekstraksi iles-iles
mampu mengikat aflatoksin dan mengurangi pengaruh negatif aflatoksin. Ketiga
tahap pengujian saling mendukung akan kemampuan glukomannan hasil ekstraksi
iles-iles sebagai bahan pengikat aflatoksin. Dosis Ekstrak Iles-iles 1 g/kg pakan
mampu melindungi ayam dari pengaruh negatif cemaran aflatoksin 50 μg/kg dan 2
mg/kg yakni penurunan berat akhir ayam hidup, penurunan jumlah konsumsi
pakan, efisiensi pakan, anemia, peningkatan berat organ hati, perubahan
makroskopis hati, perubahan mikroskopis hati dan penurunan titer antibodi ND
pada cemaran aflatoksin 50 μg/kg, tetapi belum mampu meningkatkan titer
antibodi terhadap ND pada cemaran aflatoksin konsentrasi 2 mg/kg.
Simpulan
Hasil ekstraksi umbi A. oncophylus (iles-iles) mengandung glukomannan
yang mampu mengikat aflatoksin dengan ikatan Hidrogen. Ekstrak umbi iles-iles
dapat digunakan sebagai bahan tambahan pada pakan ayam broiler untuk
melindungi dari pengaruh negatif aflatoksin. Dosis ekstrak iles-iles 1 g/kg pakan
mampu melindungi ayam dari pengaruh negatif cemaran aflatoksin 50 μg/kg dan 2
mg/kg yaitu penurunan berat akhir ayam hidup, penurunan jumlah konsumsi
pakan, penurunan efisiensi pakan, anemia, penurunan titer antibodi, peningkatan
berat organ hati, perubahan makroskopis dan mikroskopis tetapi belum mampu
meningkatkan titer antibodi pada cemaran aflatoksin konsentrasi 2 mg/kg.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka iles-iles dapat dikembangkan
menjadi sumber bahan pakan lokal, khususnya sebagai imbuhan pakan (feed
additive) sebagai bahan pengikat aflatoksin. Untuk meningkatkan kemampuan
mengikat terhadap aflatoksin dan menambah daya tahan ternak dari cemaran
aflatoksin maka glukomannan hasil ekstraksi iles-iles dapat dikombinasi dengan
bahan antioksidan ataupun dengan bahan pengikat aflatoksin lainnya.
56
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kulon Progo pada tanggal 1 Pebruari 1971 dari Ibu
Tentrem Rahayu dan ayah Sarbini. Penulis merupakan putera pertama dari tiga
bersaudara. Sekolah dasar dan sekolah menengah pertama diselesaikan di
Kalibawang dan pada tahun 1989 penulis lulus SMA Negeri I Wates dan pada
tahun itu juga lulus ujian Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) masuk
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, lulus S1 tahun 1995 dan
lulus profesi dokter hewan 1997. Menyelesaikan S-2 di Program studi Ilmu
Ternak Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 dan dilanjutkan ke program S-3
pada tahun 2009.
Penulis bekerja di Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan) Kalibawang dari
tahun 1999 sampai 2001 dan mulai tahun 2002 sampai sekarang bekerja di Balai
Pengujian Mutu dan Sertifikasi Pakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Penulis sekarang sebagai Manajer
Mutu dan sebagai Koordinator Pengawas Mutu pakan Balai Pengujian Mutu dan
Sertifikasi Pakan, Bekasi. Selain bekerja di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi
Pakan, penulis juga aktif di Komite Akreditasi Nasional (KAN) sebagai Lead
Asesor untuk ISO 17025.