Anda di halaman 1dari 111

KANDUNGAN GIZI DAN DAYA TERIMA BAKSO IKAN NILA (Oreochromis

niloticus) DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG LABU KUNING (Cucurbita moschata)

SKRIPSI

OLEH

VICKY LUVITASARI LUMBAN GAOL

NIM. 121000394

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KANDUNGAN GIZI DAN DAYA TERIMA BAKSO IKAN NILA (Oreochromis
niloticus) DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG LABU KUNING (Cucurbita moschata)

Skripsi ini diajukan sebagai


Salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH

VICKY LUVITASARI LUMBAN GAOL

NIM. 121000394

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul

“KANDUNGAN GIZI DAN DAYA TERIMA BAKSO IKAN NILA

(Oreochromis niloticus) DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG LABU

KUNING (Cucurbita moschata)” ini beserta seluruh isinya adalah benar hasil

karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau mengutip dengan

cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat

keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanski yang

dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap

etika keilmuan dalam karya saya ini atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian

karya saya ini.

Medan, Februari 2017


Yang membuat pernyataan,

Vicky Luvitasari Lumban Gaol

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRAK

Labu kuning (Cucurbita moschata) merupakan tanaman menjalar yang


berfungsi sebagai sumber provitamin A dan antioksidan bagi tubuh. Ikan nila
(Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan air tawar yang pertumbuhannya
cepat dan memiliki kandungan protein tinggi. Kedua bahan pangan ini dapat
diolah menjadi produk pangan, salah satunya bakso ikan yang dapat memberikan
dan memenuhi kebutuhan zat gizi tinggi bagi masyarakat. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui kandungan gizi dan daya terima bakso ikan dengan
penambahan tepung labu kuning berdasarkan analisis organoleptik meliputi
warna, aroma, rasa dan tekstur.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen pembuatan bakso ikan nila
dengan kombinasi tepung labu kuning dan tepung tapioka dengan tiga perlakuan
yaitu A1 (5%:10%), A2 (7,5%:7,5%) dan A3 (10%:5%). Panelis dalam penelitian
ini adalah mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
sebanyak 30 orang dan data uji daya terima dianalisa dengan uji Kruskal Wallis.
Hasil penelitian uji organoleptik diperoleh bakso ikan A2 lebih disukai
dari segi aroma, rasa dan tekstur dan bakso ikan A1 lebih disukai dari warna.
Berdasarkan analisis uji Kruskal Wallis dengan interval kepercayaan 95%
diketahui bahwa tidak ada perbedaan pengaruh daya terima panelis terhadap
warna, aroma, rasa dan tekstur pada ketiga perlakuan bakso ikan. Hasil uji
kandungan gizi bakso ikan A3 dengan penambahan tepung labu kuning 10 gram
memiliki kadar protein 12,3%, fosfor 29%, kalsium 390,7mg dan 92,45 ppm
betakaroten dalam 100 gram. Bakso ikan penelitian ini disarankan dapat menjadi
sumber makanan bergizi pada balita.

Kata kunci : bakso ikan nila, tepung labu kuning, uji daya terima

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRACT

Pumpkin (Cucurbita moschata) is the vines that serve as a source of


provitamin A and antioxidants to the body. Tilapia fish (Oreochromis niloticus) is
a freshwater fish that grow faster and have a high protein content.Both of these
foodstuffs can be processed into food products one fish meatball that can provide
and meet the nutritional needs the society. The purpose of this study was to
determine the nutrient content and acceptance of fish meatballs with pumpkin
flour substitution by oranoleptic analysis include color, flavor, taste and texture.
This study was an experimental research making tilapia meatballs with a
combination of pumpkin flour and tapioca flour with three treatment A1
(5%:10%), A2 (7,5%:7,5%) and A3 (10%:5%). Panelists in this study was 30
students of Public Health Faculty in Sumatera Utara University and acceptance
of test data were analyzed by Kruskal Wallis test.
Organoleptic test research results obtained fish balls A2 preferably in
terms of flavor, taste and texture, and fish meatballs A1 prefer from color. Based
on analysis of Kruskal Wallis test with 95% confidence interval is known that
there is no difference in the effect of acceptance panelist for color, flavor, taste
and texture on third treatment fish meatball. The result of the nutrient content of
fish meatball A3 with the addition of 10 grams of pumpkin flour has protein
12,3%, 29% phosporus, 390,7mg calcium and 92,45 ppm betacaroten in 100
grams.This research recommended fish meatballs into a source of nutritious food
on toddler.

Keywords: tilapia meatballs, pumpkin flour, acceptance test

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada-Mu, Allah Bapa dan Tuhan

Yesus Kristus karena berkatnya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

penyusunan skripsi ini yang berjudul “Kandungan Gizi dan Daya Terima

Bakso Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dengan Penambahan Tepung Labu

Kuning (Cucurbita moschata)” yang merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini mulai dari

awal hingga akhir penulis banyak memperoleh bimbingan, dukungan, bantuan,

saran dan kritik dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Ir.Etti Sudaryati, MKM, PhD selaku dosen pembimbing I yang telah

memberikan arahan, bimbingan, dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dr.Ir.Zulhaida Lubis, M.Kes selaku dosen pembimbing II yang telah banyak

meluangkan waktu, memberikan bimbingan, pengarahan dan saran sehingga

skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6. Dra.Jumirah,Apt, M.Kes selaku dosen penguji I yang telah memberikan

masukan, nasehat, kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

7. Ernawati Nasution, SKM, M.Kes selaku dosen penguji II yang telah

meluangkan waktu, memberikan saran dan arahan dalam penyelesaian skripsi

dengan baik.

8. Dra. Lina Tarigan,Apt.,MS selaku dosen Penasehat Akademik.

9. Marihot Oloan Samosir, ST yang telah membantu memberikan saran-saran

serta membantu penulis dalam segala urusan administrasi.

10. Seluruh dosen dan staf FKM USU yang telah membimbing dan membantu

selama perkuliahan.

11. Teristimewa untuk kedua orang tua saya tercinta, bapak Gaol dan ibu Juntak

terima kasih yang tak terhingga atas segala doa, dukungan, semangat dan

kasih sayang yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Daniel Pranatha, adikku Gebby Trisha dan Ady Fradikta tersayang yang telah

memberikan motivasi dan doa kepada penulis untuk menyelesaikan

pendidikan.

13. Terima kasih kepada Michael Predly S yang selalu memberikan semangat,

dorongan,perhatian, kasih sayang dan doa serta selalu siap dalam memberikan

waktu dan pertolongan.

14. Sahabat-sahabat penulis seperjuangan selama kuliah Mayfitriana, Violent

Andary, Putri Meidianasari, Vicky Rahmita, dan Sri Wahyuni yang telah

memberikan saran, perhatian, dukungan dan kasih sayang.

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15. Sahabat-sahabatku terkasih Pricella, Maria, Dian, Eka, Tika, Asrika, Tanti,

Dini dan Riswanti yang memberikan, semangat, perhatian dan waktu curcol.

16. Teman-teman PBL FKM USU 2016 di Desa Kutambelin Tiga Panah

Kabupaten Karo bang Santri, Firda, Jessy, Ester, Rahmi, Gratia, Elsa dan

Margareth. Sahabat Latihan Kerja Peminatan (LKP) di Dinas Kesehatan Kota

Medan Festi, Retno dan Nia yang memberikan semangat dukungan dalam

penyelesaian skripsi ini.

17. Kawan seperjuangan dalam menunggu dosen Dedek, Ruth, Denima, kak

Mawa dan kak Erfina. Sahabat peminatan gizi kesehatan masyarakat Rebeka,

Indah, Debora serta seluruh anak peminatan gizi kesehatan masyarakat 2012

yang telah memberikan bantuan, dukungan serta kritikan penulis

mengucapkan terimakasih.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna.

Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari

semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi kita semua.

Medan, Februari 2017

Penulis

Vicky Luvitasari Lumban Gaol

vii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI......................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... ii
ABSTRAK............................................................................................................. iii
ABSTRACT............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR........................................................................................... v
DAFTAR ISI........................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xi
RIWAYAT HIDUP............................................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 8
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................. 8
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................ 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Labu Kuning (Cucurbita moschata)..................................................... 9
2.1.1 Varietas Labu Kuning (Cucurbita moschata)........................... 11
2.1.2 Kandungan Gizi Labu Kuning................................................. 11
2.1.3 Manfaat Tanaman Labu Kuning............................................... 15
2.1.4 Tepung Labu Kuning................................................................ 16
2.2 Ikan Nila............................................................................................. 18
2.2.1 Kandungan Gizi Ikan Nila........................................................ 21
2.3 Bakso Ikan.......................................................................................... 22
2.3.1 Komposisi Bakso Ikan.............................................................. 24
2.3.2 Bahan Pembuatan Bakso Ikan.................................................. 25
2.4 Uji Organoleptik................................................................................ 30
2.5 Panelis................................................................................................ 31
2.6 Kerangka Konsep Penelitian.............................................................. 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian.......................................................... 35
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian...................................................................... 36
3.2.2 Waktu Penelitian....................................................................... 36
3.3 Objek Penelitian.................................................................................. 36
3.4 Defenisi Operasional........................................................................... 36
3.5 Alat dan Bahan
3.5.1 Alat Penelitian.................................................................................. 37
3.5.2 Bahan Penelitian.............................................................................. 37
3.6 TahapanPenelitian
3.6.1 Proses Pembuatan Tepung Labu Kuning......................................... 39

viii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.6.2 Proses Penghalusan Bumbu-Bumbu................................................ 40
3.6.3 Proses Penghalusan Ikan Nila.......................................................... 41
3.6.4 Proses Pembuatan Bakso Ikan Nila dengan Tepung Labu
Kuning dan Tepung Tapioka........................................................... 42
3.7 Uji Daya Terima................................................................................ 43
3.8 Analisis Kandungan Gizi
3.8.1 Analisis Kadar Protein..................................................................... 45
3.8.2 Analisis Kadar Fosfor...................................................................... 45
3.8.3 Analisis Kadar Kalsium................................................................... 46
3.8.4 Analisis Kadar Betakaroten Metode HPLC................................... 47
3.9 Pengolahan dan Analisa Data........................................................... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN


4.1 Karakteristik Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata)................ 51
4.2 Karakteristik Bakso Ikan Nila dari Tepung Labu Kuning.................. 52
4.3 Analisis Organoleptik Bakso Ikan Nila dari Tepung
Labu Kuning
4.3.1 Analisis Organoleptik Warna Bakso Ikan................................. 54
4.3.2 Analisis Organoleptik Aroma Bakso Ikan................................ 55
4.3.3 Analisis Organoleptik Rasa Bakso Ikan.................................... 56
4.3.4 Analisis Organoleptik Tekstur Bakso Ikan............................... 57
4.4 Analisis Kandungan Gizi Bakso Ikan Nila dari Tepung
Labu Kuning...................................................................................... 58

BAB V PEMBAHASAN
5.1 Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata)..................................... 60
5.2 Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Warna Bakso
Ikan Nila dari TepungLabu Kuning................................................... 61
5.3 Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Aroma Bakso
Ikan Nila dari TepungLabu Kuning................................................... 62
5.4 Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Rasa Bakso
Ikan Nila dari TepungLabu Kuning................................................... 64
5.5 Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Tekstur Bakso
Ikan Nila dari TepungLabu Kuning................................................... 66
5.6 Analisis Kandungan Protein, Fosfor, Kalsium dan Betakaroten
Bakso Ikan Nila dengan Penambahan Tepung Labu Kuning............ 67
5.7 Nilai Ekonomis dan Asupan Gizi Bakso Ikan.................................... 73

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan.......................................................................................... 75
6.2 Saran.................................................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN

ix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Labu Kuning Segar per 100 gram bahan................ 12
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Vitamin A yang Dianjurkan.................................. 14
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Aneka Tepung
Umbi-Umbian dan Buah-Buahan......................................................... 18
Tabel 2.4 Hasil Pengujian Proksimat Tepung Labu Kuning................................ 18
Tabel 2.5 Kandungan Gizi Ikan Nila Mentah per 100 gram bahan..................... 22
Tabel 2.6 Syarat Mutu Bakso Ikan Menurut SNI 7266-2014.............................. 24
Tabel 2.7 Kriteria Mutu Sensoris Bakso.............................................................. 24
Tabel 2.8 Komposisi Kimia Bakso Ikan Nila....................................................... 25
Tabel 2.9 Komposisi Kimia Tepung Tapioka dalam 100 gram bahan................. 27
Tabel 3.1 Rincian Perlakuan pada Pembuatan Bakso Ikan Nila........................... 35
Tabel 3.2 Jenis dan Ukuran Bahan Bahan Pembuatan Bakso Ikan
Nila dengan Tepung Labu Kuning dan Tepung Tapioka
Hasil Modifikasi Resep....................................................................... 38
Tabel 3.3 Tingkat Penerimaan Panelis pada Uji Hedonik................................... 43
Tabel 3.4 Interval Presentase dan Kriteria Kesukaan.......................................... 50
Tabel 4.1 Karakteristik Bakso Ikan Hasil Eksperimen......................................... 52
Tabel 4.2 Hasil Analisis Organoleptik Warna Bakso Ikan.................................. 54
Tabel 4.3 Hasil Analisis Organoleptik Aroma Bakso Ikan.................................. 55
Tabel 4.4 Hasil Analisis Organoleptik Rasa Bakso Ikan..................................... 56
Tabel 4.5 Hasil Analisis Organoleptik Tekstur Bakso Ikan................................. 57
Tabel 4.6 Hasil Analisis Kandungan Gizi Bakso Ikan Nila dari
Tepung Labu Kuning dalam 100 gram................................................. 58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Labu Kuning atau Waluh.................................................................. 10


Gambar 2.2 Ikan Nila............................................................................................ 21
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian............................................................. 34
Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Labu Kuning.................... 39
Gambar 3.2 Diagram Alir Penghalusan Bumbu-Bumbu...................................... 40
Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Adonan Ikan Nila..................................... 41
Gambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Bakso Ikan Nila........................................ 42
Gambar 4.1 Tepung Labu Kuning........................................................................ 51
Gambar 4.2 Karakteristik Bakso Ikan dengan Penambahan Tepung
Labu Kuning...................................................................................... 53

xi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Vicky Luvitasari Lumban Gaol

Tempat Lahir : Air Molek

Tanggal Lahir : 02 Februari 1993

Suku Bangsa : Batak Toba

Agama : Kristen Protestan

Nama Ayah : Hamonangan Lumban Gaol

Suku Bangsa Ayah : Batak Toba

Nama Ibu : Junita Simanjuntak

Suku Bangsa Ibu : Batak Toba

Pendidikan Formal

1. SD/Tamat tahun : SD Santa Theresia Air Molek/2005


2. SLTP/Tamat tahun : SLTP Santa Theresia Air Molek/2008
3. SLTA/Tamat tahun : SMA Santo Thomas 2 Medan/2011
4. Lama studi di FKM USU : 2012-2017

xii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis yang dikenal mempunyai

keanekaragaman sumber daya hayati dan hewani sebagai sumber pangan manusia.

Berbagai jenis sumber daya hayati dapat dikembangkan dan dimanfaatkan lebih

baik sebagai pengganti ragam makanan. Makanan merupakan hasil pengolahan

bahan makanan yang menjadi kebutuhan utama manusia dalam pemenuhan

kebutuhan gizi. Zaman yang semakin modern dan masyarakat yang semakin sibuk

terutama dikota besar, menyebakan semakin sedikit waktu untuk mempersiapkan

makanan dengan proses yang panjang dan memakan waktu serta gaya hidup yang

praktis dan instan. Oleh karena itu, kita perlu mengenalkan makanan jajanan yang

mengandung gizi, bersih dan aman dikonsumsi sehingga memberi pengaruh

terhadap kebutuhan zat-zat esensial yang dibutuhkan tubuh.

Disisi lain, wawasan masyarakat semakin terbuka terhadap makanan yang

sehat dan bergizi tinggi, namun dapat disajikan dengan cepat contohnya bakso.

Bakso merupakan makanan yang banyak digemari masyarakat dan sangat populer

di Indonesia karena dari segi ekonomis bakso masih bisa dijangkau oleh semua

kalangan. Banyak orang yang menyukai bakso mulai dari anak-anak hingga orang

dewasa.

Bakso merupakan salah satu produk olahan daging, dimana daging

tersebut dihaluskan terlebih dahulu dan dicampur dengan bumbu-bumbu, tepung,

kemudian dibentuk seperti bola-bola kecil lalu direbus dalam air panas. Bakso

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2

dapat dibuat dari daging sapi, ayam, ikan maupun udang. Bahan tambahan lain

yang penting dalam pembuatan bakso adalah tepung, pati, air es serta lemak atau

minyak. Pada umumnya bakso di Indonesia dibuat dengan cara menambahkan

tepung untuk memperbaiki tekstur. Tepung yang umum digunakan dalam

pembuatan bakso adalah tapioka, tetapi dapat digantikan dengan pati dan tepung

lainnya yang memiliki fungsi yang sama dalam pembuatan bakso.

Bakso dibuat dari campuran daging tidak kurang dari 50% dan pati atau

tepung serealia, dengan atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan.

Umumnya bakso berbentuk bulat. Pada prinsipnya, pembuatan bakso terdiri atas

empat tahap, yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan bakso

dan pemasakan. Pada proses penggilingan daging, suhu akan meningkat akibat

panas saat penggilingan. Suhu yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas

emulsi adalah kurang dari 20°C. Bakso dicetak secara manual atau dengan alat

cetak bakso, lalu direbus dalam air mendidih atau dikukus. Cara tersebut akan

menghasilkan bakso yang sehat, bergizi, dan aman dikonsumsi (Usmiati, 2009).

Bila ditinjau dari upaya kecukupan gizi masyarakat, bakso dapat dijadikan

sebagai sarana yang tepat karena produk ini bernilai gizi tinggi dan disukai oleh

semua lapisan masyarakat. Hampir disetiap tempat kita dapat menjumpai para

pedagang-pedagang bakso seperti di warung-warung, pedagang-pedagang yang

menjajakan jualan dengan gerobak di pinggir jalan hingga di restaurant

menyajikan bakso. Oleh karena itu, diperlukan suatu inovasi untuk menciptakan

produk bakso yang bernilai gizi tinggi dan layak untuk dikonsumsi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

Salah satu sumber pangan yang potensial untuk dikembangkan adalah labu

kuning. Labu kuning atau waluh merupakan tanaman pangan yang mudah

tumbuh, tidak sulit dalam perawatan dan memiliki daya awet yang tinggi sehingga

dapat dikembangkan besar-besaran di Indonesia. Labu kuning mudah dijumpai

baik di pasar tradisional maupun modern. Jumlah produksi labu kuning cukup

melimpah setiap tahunnya, pada tahun 2000 produksi labu kuning 83,333 ton,

pada 2001 naik menjadi 96,667 ton, 103.451 ton pada tahun 2003 dan 212.697 ton

pada tahun 2006. Jumlah produksi labu kuning tahun 2010 yang tercatat dalam

BPS mencapai 369.846 ton (Santoso, 2013).

Labu kuning merupakan sumber bahan pangan yang memiliki kandungan

nutrisi yang cukup lengkap. Dalam 100 gram labu kuning mengandung energi 51

kkal, protein 1,7 gram, lemak 0,5 gram, karbohidrat 10 gram, serat 2,7 gram,

kalsium 40 mg, fosfor 180 mg, besi 1,4 mg, vitamin A 180 SI, vitamin B1 0,9 mg,

vitamin C 52 mg, β-karoten 1569 μg dan air 86,8 gram (Depkes RI, 2001). Cita

rasa yang khas dan warnanya yang menarik, merupakan sumber provitamin A

yang kaya akan beta-karoten sehingga dapat menjadi sumber alternatif vitamin A

selain wortel dan ubi jalar.

Sayuran dan buah-buhan merupakan sumber karotenoid utama yang biasa

dikonsumsi masyarakat. Kandungan karotenoid yang terdapat pada labu kuning

antara lain lutein, zeaxanthin, β-karoten dan α-karoten yang memberi warna

kuning orange pada labu kuning. Senyawa karotenoid yang terdapat pada buah

labu kuning merupakan sumber antioksidan yang berfungsi menjaga kesehatan

tubuh, mencegah penyakit kanker dan tumor, penyempitan pembuluh darah, dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

menghambat proses penuaan dini. Betakaroten merupakan prekursor vitamin A

yang secara enzimatis akan berubah menjadi retinol, zat aktif vitamin A didalam

tubuh. Betakaroten bermanfaat dalam membantu pertumbuhan dan pembentukan

jaringan tubuh, pembentukan tulang dan gigi, daya tahan tubuh serta membentuk

jaringan mata. Peran β-karoten adalah dapat meningkatkan efikasi terapi

kemoterapi dan radiasi pada kultur sel kanker pada manusia ataupun pada hewan

percobaan. Mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran yang mengandung β-karoten

tinggi, memiliki resiko rendah terserang penyakit kanker dan penyakit

kardiovaskular. Fungsi betakaroten sebagai antioksidan dan penangkal radikal

bebas sangat dibutuhkan masyarakat yang banyak terpapar polusi dan melakukan

aktivitas diluar rumah. Berdasarkan angka kecukupan gizi perhari anak muda

sangat membutuhkan asupan vitamin A yang dapat menunjang kesehatan dan

produktivitas.

Meskipun daya simpan labu kuning cukup lama namun mudah rusak

dalam pengangkutan. Tingginya produksi labu kuning di Indonesia belum

berimbang dengan pemanfaatan dari labu kuning tersebut. Selama ini labu kuning

hanya dimanfaatkan untuk dibuat kolak, dodol, kue basah atau hanya dikonsumsi

sebagai sayuran dan distribusinya masih terbatas. Oleh karena itu, perlu adanya

produk olahan labu kuning yang lebih bervariasi dan dapat diterima serta

dikonsumsi masyarakat namun tetap mempertahankan nilai gizi yang terkandung

di dalam labu kuning tersebut.

Tepung dapat menjadi salah satu alternatif olahan dari labu kuning.

Pembuatan tepung labu kuning akan menguntungkan karena pemanfaatannya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

lebih luas sebagai campuran makanan dan mempunyai daya simpan yang tinggi

serta mudah dibentuk, diperkaya zat gizi, lebih cepat masak sesuai tuntutan

kehidupan modern yang serba praktis. Tepung labu kuning dapat digunakan pada

beberapa produk pangan misalnya mie, roti, es krim, biskuit, bakso, cake dan lain-

lain. Hasil penelitian Nuraeni,dkk (2013), menghasilkan 9,62 gram rendemen

tepung labu kuning diperoleh kadar protein 10,93%, kadar lemak 1,99%, kadar

serat kasar 5,56%, kadar air 11,51%, kadar abu 3,37% dan kadar betakaroten

0,76%. Melihat kandungan gizi yang cukup lengkap maka tepung labu kuning

dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam industri makanan untuk

mengurangi penggunaan tepung terigu.

Kebutuhan manusia akan zat mineral memiliki peranan penting dalam

pemeliharaan fungsi tubuh seperti untuk pengaturan kerja enzim-enzim,

pemeliharaan keseimbangan asam-basa, pembentukan ikatan haemoglobin. Fosfor

merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan tubuh yang mempunyai peranan

dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Sebagai fosfolipid, fosfor

merupakan komponen essensial bagi banyak sel dan merupakan alat transport

asam lemak. Selain fosfor, kalsium juga merupakan mineral mikro yang banyak

dibutuhkan semua jaringan tubuh, khususnya tulang. Asupan kalsium yang cukup

dapat membantu melindungi tulang, proses pembekuan darah, menstabilkan

tekanan darah, membantu proses kontraksi otot dan lain-lain.

Mengingat jumlah potensi perairan Indonesia sangat besar, maka

optimalisasi dapat melalui pengembangan produk bernilai tambah dalam bentuk

diversifikasi olahan yaitu bakso ikan. Salah satu syarat mutu bakso ikan adalah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

warnanya, yaitu putih bersih, tanpa kotoran sehingga jenis ikan menentukan mutu

bakso yang dihasilkan. Penelitian ini menggunakan ikan nila sebagai sumber

protein hewani. Ikan nila yang memiliki nama ilmiah Oreochromis niloticus

merupakan jenis ikan air tawar yang berdaging tebal dan bewarna putih. Banyak

keunggulan yang dimiliki ikan nila diantaranya dagingnya cukup tebal dan

rasanya gurih, tidak memiliki tulang-tulang halus pada dagingnya sehingga mudah

untuk dikonsumsi, reproduksi dan pertumbuhannya lebih cepat daripada ikan

lainnya , rendah lemak serta harganya pun terjangkau. Selain dipasarkan sebagai

ikan segar, ikan nila juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pengolahan

ikan nila, contohnya adalah sebagai bahan pembuatan bakso ikan, tepung ikan,

abon ikan, fillet ikan, dan lain sebagainya.

Pertumbuhan ikan nila yang sangat cepat dan tanpa perawatan khusus

sangat memungkinkan pemeliharaan ikan nila untuk skala rumah tangga.

Sehingga ikan nila sangat berpotensi untuk meningkatkan kecukupan pangan di

Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Budidaya Perikanan (2013),

peningkatan produksi ikan nila cukup signifikan dari tahun 2010 sampai 2013

dengan rata-rata kenaikan 34,85%. Tingkat produksi ikan nila cukup tinggi dapat

dilihat dari angka produksi ikan nila di Indonesia pada tahun 2010 sebesar

464.191 ton. Kemudian meningkat pada tahun 2011 menjadi 567.078 ton, terus

meningkat pada tahun 2012 menjadi 695.063 ton dan pada tahun 2013 mencapai

1.110.810 ton.

Ikan nila merupakan salah satu bahan pangan bergizi yang mudah

didapatkan dan dihidangkan sebagai lauk. Menurut Sabaruddin (2006), mutu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

protein ikan setingkat dengan mutu protein daging yaitu sebesar 16-22%, sedikit

dibawah mutu protein telur sebagai standar dan diberi nilai maksimal 100, dan

diatas protein serealia dan kacang-kacangan sebesar 12%. Ikan nila memiliki

kandungan protein tinggi dan lemak yang rendah sehingga sangat potensial

sebagai bahan baku bakso ikan. Menurut Samsudin dalam Abdillah (2006), ikan

nila mengandung air 83,99%, abu 0,78%, protein 13,40% dan lemak 1,03% dalam

100 gram daging. Selain itu, daging ikan nila mengandung kalsium, fosfor,

kalium, zat besi, magnesium, vitamin D dan vitamin lainnya.

Hasil penelitian Wibowo (2015) dalam pembuatan bakso ikan nila

menggunakan tepung tapioka menjadi acuan dalam penelitian ini. Pembuatan

bakso ikan menggunakan 15% tepung tapioka dari berat daging yang memiliki

komposisi kimiawi yaitu kadar protein 18,95%, lemak 7,05%, karbohidrat 13,40%

dan kadar abu 5,11%. Kandungan protein pada bakso ikan nila lebih tinggi

daripada kandungan protein seperti bakso daging yang dijual dipinggir jalan

sebesar 6% dan bakso daging di restauran sebesar 11,57%. Hal ini menunjukkan,

bahwa mengkonsumsi bakso ikan nila dengan pengkayaan tepung labu kuning

menjadi sumber makanan sehat yang dibutuhkan manusia saat ini.

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk memanfaatkan labu

kuning sebagai inovasi makanan baru dengan cara mengolahnya menjadi tepung

yang digunakan untuk pembuatan bakso ikan. Hal ini menarik untuk diteliti dalam

sebuah penelitian yang berjudul “Kandungan Gizi dan Daya Terima Bakso Ikan

Nila (Oreochromis niloticus) dengan Penambahan Tepung Labu Kuning

(Cucurbita moschata)”.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kandungan gizi

dan daya terima bakso ikan nila dengan penambahan tepung labu kuning.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan gizi (protein, fosfor,

kadar kalsium dan betakaroten) dan daya terima masyarakat terhadap warna,

aroma, rasa dan tekstur bakso ikan nila dengan penambahan tepung labu kuning.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Memperkenalkan variasi bakso berbahan dasar ikan nila dan tepung

labu kuning.

2. Sebagai alternatif mengurangi pemakaian tepung tapioka sebagai bahan

dasar pembuatan bakso.

3. Menghasilkan produk bakso yang bernilai gizi tinggi sehingga dapat

meningkatkan mutu pangan dan bermanfaat bagi kesehatan.

4. Memberi informasi mengenai pembuatan dan pengetahuan nilai gizi

dari bakso ikan nila yang dimodifikasi dengan tepung labu kuning.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Labu Kuning (Cucurbita moschata)

Tanaman labu kuning merupakan suatu jenis tanaman sayuran menjalar

dari famili Cucurbitaceae, yang tergolong dalam jenis tanaman semusim yang

setelah berbuah akan langsung mati. Tanaman labu kuning ini telah banyak

dibudidayakan di negara-negara Afrika, Amerika, India, dan Cina. Tanaman ini

dapat tumbuh didataran rendah maupun dataran tinggi. Adapun ketinggian tempat

yang ideal adalah antara 0–1500 m di atas permukaan laut. Batang labu kuning

menjalar cukup kuat, bercabang banyak, berbulu tajam dan daun labu kuning

berwarna hijau keabu-abuan. Lebar dengan garis tengah daun mencapai 20 cm,

ujung agang runcing, tulang daun tampak jelas, berbulu agak halus dan lembek

sehingga bila terkena sinar matahari akan menjadi layu (Hendrasty, 2003).

Tanaman labu kuning merupakan famili Cucurbitaceae memiliki

taksonomi sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Cucurbitales

Famili : Cucurbitacea

Genus : Cucurbita

Spesies : Cucurbita Moschata Durch

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

Bunganya berwarna hijau muda atau kuning dan berbentuk terompet serta

termasuk tanaman menjalar. Buah labu kuning mempunyai berat rata-rata 2-3 kg.

Ukuran pertumbuhan sangat cepat yaitu dapat mencapai 350 gram per hari.

(Wirakusumah, 2000). Buah labu kuning sering juga disebut dengan waluh (Jawa

Tengah), ataupun pumpkin (Inggris), merupakan salah satu sayuran yang

berbentuk bulat sampai lonjong dan berwarna kuning kemerahan. Pada bagian

tengah buah labu kuning terdapat biji yang diselimuti lendir dan serat. Biji

berbentuk pipih dengan kedua ujungnya runcing. Buah labu kuning dapat dipanen

pada umur 3-4 bulan (Hendrasty, 2003).

Labu kuning (Cucurbita moschata Durch) adalah salah satu tanaman yang

banyak tumbuh di Indonesia, yang penanamannya tidak sulit, baik pembibitannya,

perawatannya dan hasilnya cukup memberikan nilai ekonomis untuk masyarakat.

Tanaman ini dapat ditanam di lahan pertanian, halaman rumah atau tanah

pekarangan yang kosong dapat dimanfaatkan. Intinya tanaman ini dapat ditanam

di daerah tropis maupun sub tropis. Biasanya masyarakat memanfaatkan labu

kuning menjadi sayur, kolak, dodol dan sebagainya.

Gambar 2.1 Labu Kuning atau waluh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

2.1.1 Varietas Labu Kuning (Cucurbita moschata)

Di negara Indonesia sudah terdapat beberapa jenis dan varietas waluh

antara lain varietas lokal yang sering ditanam oleh para petani adalah sebagai

berikut:

a. Jenis bokor atau creme

Ciri-ciri buahnya adalah sebagai berikut terdapat alur, berbentuk bulat pipih,

batang bersulur panjang (3-5 m), warna daging buah kuning, tebal, rasanya

gurih, manis, berdaging halus dan padat, beratnya mencapai 4-5 kg atau lebih.

b. Jenis kelenting

Jenis waluh ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut buah berbentuk lonjong

oval, memanjang, kulitnya berwarna kuning, daging buah juga berwarna

kuning, beratnya 2-5 kg/buah, panjang sulur (3-5 meter), masa panennya

mencapai 4,5-6 bulan.

c. Jenis ular

Waluh jenis ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: buahnya panjang ramping,

warna daging buah kuning, beratnya 1-3 kg/buah, kadang-kadang buahnya

kasar dan rasanya tidak enak (Sudarto, 2000).

2.1.2 Kandungan Gizi Labu Kuning

Labu kuning merupakan buah yang masih jarang dimanfaatkan oleh

industri pangan. Padahal labu kuning sangat kaya dengan kandungan gizinya

seperti vitamin C, serat, dan karbohidrat. Labu kuning juga merupakan sumber

vitamin A dengan kandungan betakaroten yang sangat tinggi yaitu 180,00 SI atau

sekitar 1.000 - 1.300 IU/100 gr bahan (Muzaifa dkk,2012).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12

Labu kuning (Cucurbita moschata) atau waluh merupakan sumber vitamin

A, vitamin B1 (tiamin) dan Vitamin C yang baik. Setiap 100 g labu kuning

mengandung 29 kalori. Biji labu kuning mengandung alkaloid, saponin, steroid,

lesitin, resin dan stearin (Latief, 2014). Hasil analisis kandungan gizi labu kuning

menunjukkan kandungan protein labu kuning cenderung mengalami penurunan

selama proses pematangan buah (1,27-0,81%), sedangkan kadar lemak dan serat

kasar mengalami peningkatan (0,20-0,43%) dan kadar pati selama proses

pematangan cenderung mengalami penurunan (21,63-10,56%). Hal ini disebabkan

karena terjadi peningkatan aktivitas enzim α-amilase yang menghidrolisis pati

menjadi bentuk lebih sederhana. Kadar pektin selama proses pematangan ternyata

tidak mengalami perubahan yang berarti (±6,90%). Hasil analisis terhadap

kandungan vitamin A menunjukkan bahwa kadar vitamin A selama proses

pematangan mengalami peningkatan 435-992 IU per 100 gram (Balai Besar

Penelitian dan Pascapanen Pertanian, 2004).

Labu kuning mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi, terutama

sangat potensial digunakan sebagai salah satu sumber provitamin. Labu kuning

merupakan sumber karotenoid non enzimatis yang larut di dalam lemak.

Karotenoid dapat meredam radikal bebas, karena karotenoid merupakan kelompok

pigmen dan antioksidan alami yang menyebabkan warna kuning orange dan

merah pada labu kuning. Senyawa karotenoid yang terdapat pada buah labu

kuning merupakan sumber antioksidan yang berfungsi menjaga kesehatan tubuh,

mencegah penyakit kanker dan tumor, penyempitan pembuluh darah, dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

menghambat proses penuaan dini (Sayuti dan Yenrina, 2015). Kandungan vitamin

A dan betakaroten yang cukup tinggi dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Labu Kuning Segar per 100 gram bahan
Kandungan Gizi Kadar
Air (g) 91,60
Energi (kkal) 26,00
Protein (g) 1,00
Lemak total (g) 0,10
Abu (g) 0,80
Karbohidrat (g) 6,50
Serat (g) 0,50
Total gula (g) 2,76
Kalsium (mg) 21,00
Besi (mg) 0,80
Magnesium (mg) 12,00
Fosfor (mg) 44,00
Kalium (mg) 340,00
Natrium (mg) 1,00
Zink (mg) 0,32
Tembaga (mg) 0,13
Mangan (mg) 0,12
Selenium (µg) 0,30
Vitamin C total asam askorbat (mg) 9,00
Thiamin (mg) 0,05
Riboflavin (mg) 0,11
Niasin (mg) 0,60
Asam Pantotenat (mg) 0,29
Vitamin B-6 (mg) 0,06
Total folat (µg) 16,00
Choline, total (mg) 8,20
Vitamin A, RAE (µg) 426,00
Vitamin A (IU) 8513
Alpha karoten (µg) 4016
Beta karoten (µg) 3100
Lutein + zeaxanthin (µg) 1500
Vitamin E (alpha-tocopherol) (mg) 1,06
Vitamin K (phylloquinone) (µg) 1,10
Sumber : USDA National Nutrient for Standard Reference, (2016)

Beta karoten merupakan karotenoid, salah satu pigmen tanaman yang

dikenal memiliki sifat antioksidan dan efek lainnya. Zat ini cepat dikonversi oleh

tubuh menjadi vitamin A (Harnowo 2011). Menurut Fennema (1996), sekitar 25%

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

dari beta karoten yang diabsorbsi pada mukosa usus tetap dalam bentuk utuh,

sedangkan 75% sisanya diubah menjadi vitamin A (retinol dengan bantuan

enzim).

Kandungan beta-karoten pada bahan pangan alami dapat mengurangi

resiko terjadinya stroke. Hal tersebut disebabkan oleh aktifitasbeta karoten yang

dapat mencegah terjadinya plak atau timbunan kolesterol di dalam pembuluh

darah. Pertumbuhan dan perkembangan tubuh sangat memerlukan vitamin A

sebagai fungsi sistem imun dan proses penglihatan. Adapun aktivitas vitamin A

beta-karoten adalah 1 ½ retinol, sedangkan aktivitas vitamin A alfa karoten dan

alfa-kriptosantin masing-masing adalah 1/24 retinol (Sayuti dan Yenrina, 2015).

Kebutuhan Vitamin A bervariasi untuk setiap orang tergantung usia, jenis

kelamin, eksresi urin dan golongan umur. Menkes RI (2013), membagi kecukupan

vitamin A berdasarkan golongan umur dan jenis kelamin untuk orang Indonesia

dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Vitamin A yang Dianjurkan (perorang perhari)


Kelompok umur Vitamin A (µg) Kelompok umur Vitamin A (µg)
Bayi/Anak Perempuan
0-6 bulan 375 10-12 tahun 600
7-11 bulan 400 13-15 tahun 600
1-3 tahun 400 16-18 tahun 600
4-6 tahun 450 19-29 tahun 500
7-9 tahun 500 30-49 tahun 500
Laki-laki 50-64 tahun 500
10-12 tahun 600 65-80 tahun 500
13-15 tahun 600 80+ tahun 500
16-18 tahun 600 Hamil
19-29 tahun 600 Trimester 1 +300
30-49 tahun 600 Trimester 2 +300
50-64 tahun 600 Trimester 3 +350
65-80 tahun 600 Menyusui 6 bln pertama +350
80+ tahun 600 6 bulan kedua +350
Sumber : Menkes RI, (2013)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

Warna kuning, merah kekuning-kuningan dan warna merah merupakan

pigmen tanaman penyusun vitamin A yang banyak terkandung dalam ubi-ubian,

seperti pada ubi jalar dan wortel. Dewasa ini β-karoten banyak diproduksi karena

merupakan zat pewarna alami yang banyak dibutuhkan untuk pewarna bahan

makanan, seperti mentega, margarine, saus, dan minuman ringan. Selain sebagai

pewarna yang tidak mempunyai dampak negatif, β-karoten juga mempunyai

banyak manfaat antara lain sebagai mikro nutrient yang dapat mengatasi dan

menyembuhkan penyakit kanker jenis tertentu, mencegah pertumbuhan yang

terhambat, dan mencegah kerusakan mata (Santoso,2013).

2.1.3 Manfaat Tanaman Labu Kuning

Menurut Wijayakusuma (2000), labu kuning mempunyai efek vernicidal

yaitu memperaktif produksi insulin alam tubuh sehingga sangat baik dikonsumsi

oleh penderita diabetes. Labu kuning mengandung molybdenum yang berefek

memusnahkan karsinogen (penyebab kanker) dan mengaktifkan daya regenerasi

sel-sel hati dan ginjal.

Sejak dulu labu kuning diketahui banyak sekali kegunaannya diantaranya adalah :

1. Sari buah labu kuning dapat memperbaiki tekanan darah tinggi, sakit

kepala, meransang proses pencernaan dan perlindungan anti bodi.

Caranya yaitu dengan minum segelas sari buah labu kuning sehari sekali,

yang dapat mengganti kekurangan cairan dan meringankan kerja ginjal

yang akan berpengaruh pada tekanan darah. Disamping itu sari buahnya

dapat memperbaiki kulit kusam dengan mengkompreskan sari buah hangat

pada wajah selama 15 menit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

2. Daging buah labu kuning dapat dikonsumsi sebagai sayuran maupun

dijadikan makanan sehat. Selain itu labu kuning dapat menghilangkan flek

hitam dengan penambahan cuka beras putih dan dikonsumsi sebagai

sayuran serta dapat membantu penyakit maag (Wijayakusuma,2000).

3. Biji labu kuning sebagai cemilan yaitu kuaci, selain itu biji labu yang

dihaluskan dapat mengobati gangguan kandung kemih yaitu buang air

kecil tersendat-sendat. Dapat mengobati saluran pencernaan, edema, batu

ginjal, saluran prostat dengan meminum air rebusan biji labu kuning yang

telah dihancurkan (Wirakusumah, 2000).

4. Getah labu kuning dapat digunakan sebagai penawar racun.

2.1.4 Tepung Labu Kuning

Tepung labu kuning adalah tepung dengan butiran halus lolos ayakan 60

mesh, berwarna putih kekuningan, berbau khas labu kuning dengan kadar air

±13%. Protein tepung labu mengandung protein jenis gluten yang cukup tinggi

sehingga mampu membentuk jaringan tiga dimensi yang kohesif dan elastis. Sifat

ini akan sangat berfungsi pada pengembangan volume roti dan produk makanan

lain. Tepung waluh atau labu kuning mempunyai sifat gelatinisasi yang baik

sehingga dengan demikian dapat membentuk adonan yang konsisten, kekenyalan,

viskositas maupun elastisitas yang baik sehingga produk makanan yang dihasilkan

akan berkualitas baik. Karena sifatnya yang higrokopis dalam penyimpanannya,

tepung labu kuning harus dilakukan sedemikian rupa, diusahakan agar udara dan

sinar tidak menembus wadah. Jenis kemasan yang cocok untuk tepung labu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

kuning yaitu plastik yang dilapisi aluminium foil. Dengan penyimpanan ditempat

yang kering tepung labu akan tahan selama dua bulan (Hendrasty,2003).

Proses pembuatan tepung labu kuning meliputi pengupasan dan

pembuangan bagian yang tidak dibutuhkan, pencucian, pengecilan ukuran,

pengeringan, penepungan dan pengayakan. Salah satu masalah yang dihadapi

dalam pembuatan tepung labu kuning adalah terjadinya browning menyebabkan

tepung menjadi warna kecoklatan dan kurang diminati masyarakat. Salah satu cara

untuk mencegah terjadinya perubahan warna tepung dilakukan perlakuan

pendahuluan pada labu kuning berupa blanching. Dimana blanching dilakukan

untuk inaktivasi enzim sehingga reaksi pencoklatan dapat terhambat (Purwanto

dkk, 2013).

Tepung labu kuning mempunyai sifat spesifik dengan aroma khas. Secara

umum, tepung tersebut berpotensi sebagai pendamping terigu dan tepung beras

dalam berbagai produk olahan pangan. Produk olahan dari tepung labu kuning

mempunyai warna dan rasa yang spesifik, sehingga lebih disukai oleh konsumen.

Teknologi pembuatan tepung merupakan salah satu proses alternatif produk

setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur

(dibuat komposit), dibentuk, diperkaya zat gizi, dan lebih cepat dimasak sesuai

tuntutan kehidupan modern yang serba praktis. Dari segi proses, pembuatan

tepung hanya membutuhkan air relatif sedikit dan ramah lingkungan

dibandingkan dengan pembuatan pati (Hendrasty, 2003).

Tepung labu kuning mengandung 77,65% karbohidrat, 0,08% lemak,

5,04% protein, 11,14% air, dan 5,89% abu. Tabel 2.3 menunjukkan bahwa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

kandungan protein tepung labu kuning lebih tinggi dari tepung pisang, tepung

sukun, tepung ubi kayu dan tepung ubi jalar.

Tabel 2.3 Komposisi Kimia Aneka Tepung Umbi-Umbian dan Buah-Buahan


Kadar
Komoditas
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Pisang 10,11 2,66 3,05 0,28 84,01
Sukun 9,09 2,83 3,64 0,41 84,03
Labu kuning 11,14 5,89 5,04 0,08 77,65
Ubi Kayu 7,80 2,22 1,60 0,51 87,87
Ubi Jalar 7,80 2,16 2,16 0,83 86,95
Sumber: Widowati,dkk (2001)

Hasil penelitian Nuraeni, dkk (2013), menghasilkan rendemen 0,962 gram

tepung labu kuning yang diuji kadar proksimatnya dapat dilihat pada tabel 2.4

berikut ini.

Tabel 2.4 Hasil Pengujian Proksimat Tepung Labu Kuning


Komponen yang Dianalisis Kadar
Air (%) 11,513
Abu (%) 3,37
Lemak (%) 1,99
Protein (%) 10,938
Pati (%) 23,74
Serat kasar (%) 5,56
Beta karoten (%) 0,76
Vitamin C (mg/g) 2,134
Tiamin (ppm) 0,408
Zat besi (ppm) 0,682
Kalsium (%) 0,0137
Kalium (ppm) 63,00
Natrium (ppm) 8,89
Sumber : Nuraeni,dkk (2013)

2.2 Ikan Nila

Ikan nila berasal dari wilayah suhu tropis dan subtropis di Afrika dan

Timur tengah. Tersebar luas di lembah sungai Nil dan sungai Niger dan di danau

Tanganyika, Albert, Edward dan George serta danau lainnya di wilayah timur dan

barat Afrika. Ikan nila merupakan jenis ikan herbivora dan ikan bersirip yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

dapat hidup pada air tawar dimana penyebarannya sudah mendunia. Ikan nila

disebut juga sebagai ayam perairan (aquatic chicken) karena pertumbuhan yang

cepat, daging yang berkualitas tinggi, tahan terhadap penyakit, dapat beradaptasi

pada suhu tropis dan mampu tumbuh dan berkembangbiak dalam penangkaran

(African Union, 2015).

Klasifikasi ikan nila (Oreochromis nilotica), menurut Nelson (1984) dalam

Ningrum (2012) adalah sebagai berikut :

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Osteichthyes

Ordo : Perchomorphy

Famili : Cichilidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Ikan nila didatangkan dari Taiwan ke Indonesia pada tahun 1969 diteliti

dan dikembangbiakan kemudian disebarluaskan ke berbagai provinsi di seluruh

Indonesia. Jenis ikan lain yang telah ada di Indonesia sejak tahun 1939 adalah

ikan mujair. Walaupun mirip ikan mujair, ikan nila mudah dibedakan dari bentuk

sirip ekor ikan nila yang mempunyai garis-garis tegak dan pada sirip

punggungnya terdapat gari-garis miring (Evy, 2001).

Perbandingan panjang total dan tinggi badan tubuh ikan nila adalah 3 : 1.

Selain itu, terlihat adanya pola garis-garis vertikal yang terlihat sangat jelas di

sirip ekor dan sirip punggung ikan nila. Jumlah garis vertikal di sirip ekor ada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


20

enam buah dan sirip pungung ada delapan buah. Garis dengan pola yang sama

(garis vertikal) juga terdapat dikedua sisi tubuh ikan nila dengan jumlah delapan

buah. Ikan nila memiliki lima buah sirip yakni sirip punggung (dorsal fin), sirip

dada (Pectoral fin), sirip perut (venteral fin), sirip anus (anal fin), dan sirip ekor

(caudal fin). Sirip punggung memanjang, dari bagian atas tutup insang hingga

pada bagian sirip ekor. Ada sepasang sirip dada dan sirip ekor yang berukuran

yang lebih kecil. Sirip anus hanya ada satu buah dan berbentuk agak panjang.

Sirip ekor berbentuk bulat dan hanya berjumlah satu buah.

Ikan nila yang ukurannya masih kecil belum menampakkan perbedaan alat

kelamin. Setelah mencapai bobot 50 - 60 gram perbedaan kelamin sudah mulai

dapat terlihat. Perbedaan berdasarkan jenis kelaminnya, ikan nila jantan memiliki

ukuran sisik yang lebih besar dari pada ikan nila betina dan memiliki warna lebih

cerah. Alat kelamin ikan nila jantan berupa tonjolan yang agak runcing yang

berfungsi sebagai muara saluran urin dan saluran sperma yang terletak di depan

anus. Jika diurut, perut ikan nila jantan akan mengeluarkan cairan bening.

Sedangkan ikan nila betina mempunyai lubang genital terpisah dengan lubang

saluran urin yang terletak di depan anus (Suharti, 2011).

Masa perkawinan ikan nila berlangsung sepanjang tahun tetapi tidak

sesering ikan mujair. Pertumbuhan nila jantan lebih cepat dibanding nila betina.

Dikolam pemeliharaan ikan nila dapat berkembangbiak tanpa perawatan khusus.

Pertumbuhan individu ikan nila lebih cepat dibanding ikan mujair sehingga dapat

menggeser kedudukan ikan mujair yang dipelihara di kolam-kolam.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

Ada beberapa jenis ikan nila yang berasal dari habitatnya antara lain

Oreochromis niloticus baringoensis, Oreochromis niloticus cancellatus,

Oreochromis niloticus eduardianus, Oreochromis niloticus filoa, Oreochromis

niloticus niloticus, Oreochromis niloticus sugutae, Oreohromis niloticus tana dan

Oreohromis niloticus vulcani (FWS, 2015). Jenis ikan nila yang banyak digemari

petani dan konsumen antara lain nila GIFT, nila BEST, nila GESIT, nila JICA,

nila NIFI, nila Nirwana, nila hitam, nila cangkringan dan nila larasati

(Wiryanta,dkk 2010). Hingga saat ini masih banyak ditemukan variasi ikan nila

lainnya karena penelitian perkembangbiakan dan pembudidayaan ikan terus

berkembang.

Gambar 2.2 Ikan Nila

2.2.1 Kandungan Gizi Ikan Nila

Air merupakan komponen daging ikan yang terbanyak, kadarnya antara 65

dan 80 %. Ikan berlemak rendah kadar air pada dagingnya tinggi, sedangkan ikan

berlemak rendah kadar air dagingnya rendah. Makin segar daging ikan, makin

tinggi daya ikat airnya. Kandungan protein kasar pada daging ikan sekitar 17-

20%, sedangkan kandungan lemak dan airnya bervariasi tergantung jenis ikannya

(Nugraheni, 2012). Kandungan gizi ikan nila dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut

ini

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22

Tabel 2.5 Kandungan Gizi Ikan Nila Mentah per 100 gram bahan
Kandungan Gizi Kadar
Air (g) 78,08
Energi (kal) 96,00
Protein (g) 20,08
Lemak total (g) 1,70
Kalsium (mg) 10,00
Besi (mg) 0,56
Magnesium(mg) 27,00
Fosfor (mg) 170,00
Kalium (mg) 302,00
Natrium (mg) 52,00
Zink (mg) 0,33
Tembaga (mg) 0,127
Thiamin (mg) 0,05
Riboflavin (mg) 0,048
Niasin (mg) 4,527
Vitamin B-6 (mg) 0,162
Folat (µg) 24,00
Vitamin B12 (µg) 1,58
Vitamin E (alpha-tocopherol) (mg) 0,40
Vitamin D IU 124,00
Vitamin K (phylloquinone) (µg) 1,40
Kolesterol (mg) 50,00
Sumber : USDA National Nutrient for Standard Reference, (2016)

Menurut hasil penelitian Saidin (1999), kandungan kolesterol ikan air

tawar pada umumnya lebih rendah daripada ikan air laut. Daging ikan nila yang

termasuk jenis ikan air tawar yang memiliki kandungan kolesterol 90 mg dalam

100 g bahan basah. Sedangkan dalam 100 gram, udang besar mengandung 179 mg

kolesterol sehingga tidak disarankan mengkonsumsi udang secara berlebihan yang

akan menyebabkan penyakit.

2.3 Bakso Ikan

Pada umumnya bakso dibuat dari daging sapi, tetapi akhir-akhir ini banyak

dijumpai di pasaran bakso dibuat dari daging ikan. Hampir semua jenis ikan dapat

dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan bakso, terutama ikan yang berdaging

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


23

tebal dan mempunyai daya elastisitas seperti tenggiri, kakap, nila, lele dan lain-

lain. Selain bahan baku dari ikan segar, bakso juga dapat dibuat dari produk yang

sudah setengah jadi yang dikenal dengan nama Surimi (daging ikan lumat).

Bakso ikan yang bermutu tinggi dapat diperoleh dari penanganan bahan baku

yang baik, hingga ke pemasaran.

Berdasarkan SNI 7266:2014 bakso ikan adalah produk olahan hasil

perikanan yang menggunakan lumatan daging ikan atau surimi minimun 40%

dicampur tepung, dan bahan-bahan lainnya bila diperlukan, yang mengalami

pembentukan dan pemasakan (BSN, 2014). Bakso ikan merupakan salah satu

bentuk pengolahan yang menggunakan daging ikan sebagai bahan dasarnya

dengan tambahan tepung tapioka dan bumbu dengan bentuk bulat halus dengan

tekstur kompak, elastis, dan kenyal.

Bakso dibuat dari daging giling dengan bahan tambahan utama, garam

dapur, tepung tapioka, dan bumbu, berbentuk bulat seperti kelereng dengan berat

25-30 g per butir. Setelah dimasak bakso memiliki tekstur yang kenyal sebagai

ciri spesifiknya. Kualitas bakso sangat bervariasi karena perbedaan bahan baku

dan bahan tambahan yang digunakan, proporsi daging dengan tepung dan proses

pembuatannya (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Bahan lain yang diperlukan dalam pembuatan bakso adalah tapioka. Untuk

menghasilkan bakso daging yang lezat dan bermutu tinggi jumlah tepung yang

digunakan sekitar 10-15% dari berat daging. Idealnya, tepung tapioka yang

ditambahkan sebanyak 10% dari berat daging. Memang sering dijumpai terutama

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


24

yang dijajakan dijalanan, bakso yang tepungnya mencapai 30-40% dari berat

daging. Bakso seperti ini rasa dan mutunya kurang bagus (Wibowo, 2015).

2.3.1 Komposisi dan Mutu Bakso Ikan

Bakso ikan yang dihasilkan harus memenuhi syarat mutu yang telah

ditetapkan agar aman untuk dikonsumsi. Syarat mutu bakso ikan yang berlaku

secara umum di Indonesia yaitu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI

7266-2014 seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 2.6 Syarat Mutu Bakso Ikan Menurut SNI 7266-2014


Kriteria Uji Persyaratan
Kadar air (%) Maksimum 65
Kadar abu (%) Maksimum 2,0
Kadar protein (%) Minimum 7
Sumber : Badan Standar Nasional, (2014)

Menghasilkan produk bakso yang sehat tidak terlepas dari mutu, sanitasi

dan higienisnya yang dapat dinilai dari mutu sensoris atau mutu organoleptiknya.

Kriteria mutu sensoris bakso ikan dapat dilihat pada tabel 2.7 berikut ini.

Tabel 2.7 Kriteria Mutu Sensoris Bakso


Parameter Bakso Ikan
Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih
dan cemerlang, serta tidak kusam.
Warna Putih merata tanpa warna asing lain
Aroma Aroma khas ikan segar rebus dominan sesuai
jenis ikan yang digunakan dan aroma bumbu
tajam. Tidak terdapat bau mengganggu, amis,
tengik, masam, basi atau busuk.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa ikan dominan, rasa
bumbu cukup menonjol tetapi tidak berlebihan.
Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu
dan tidak terlalu asin.
Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal, tetapi tidak
liat, tidak ada serat daging, tanpa duri dan
tulang, tidak lembek, tidak basah berair dan
tidak rapuh.
Sumber : Wibowo, (2015)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

Menurut Wibowo (2015), bakso ikan nila memiliki komposisi zat gizi

yang cukup baik yang dapat dilihat pada tabel 2.8 berikut ini.

Tabel 2.8 Komposisi Kimia Bakso Ikan Nila


Komposisi Kadar
Air (%) 59,55
Protein (%) 18,95
Lemak (%) 7,05
Karbohidrat (%) 13,40
Abu (%) 5,11
Sumber : Wibowo, (2015)

2.3.2 Bahan Pembuatan Bakso Ikan

Kualitas bakso dipengaruhi oleh proporsi bahan utama (daging ikan,

tepung) dan bahan pendamping (es batu, putih telur, merica, bawang putih,

bawang merah dan garam) serta proses pembuatan bakso ikan. Menurut Wibowo

(2015), menggunakan tepung tapioka idealnya 10% dari berat daging agar

menghasilkan bakso yang lezat dan bermutu tinggi. Resep dasar dalam

pengolahan bakso ikan menggunakan satu kilogram daging ikan, 150 g tepung

tapioka, 25 g garam dapur, 15 g bawang putih, 15 gram bawang merah, 5 butir

putih telur, 5 g merica dan 200 g es batu. Berikut merupakan bahan utama dan

bahan pendamping yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan.

a. Daging Ikan

Ikan merupakan bahan baku yang baik untuk membuat bakso. Pembuatan

bakso ikan dapat menggunakan semua jenis ikan asalkan bemutu baik. Bagian

ikan yang digunakan untuk membuat bakso adalah fillet ikan atau daging ikan

cacah tanpa tulang. Ikan yang dapat digunakan adalah ikan yang memiliki tulang

di bagian tengah agar fillet ikan yang dihasilkan bagus (Yuyun, 2012). Jenis ikan

yang digunakan untuk bakso akan menentukan tekstur dan rendemen bakso yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

diperoleh. Ikan yang baik digunakan adalah ikan segar, berdaging tebal, warnanya

cerah dan tidak banyak tulang.

Jenis ikan yang baik untuk membuat bakso adalah ikan berdaging putih

dan berlemak rendah. Selain menghasilkan bakso yang berwarna putih bersih,

ikan mengandung aktin dan miosin sehingga tekstur bakso yang dihasilkan

menjadi kenyal dan kompak. Selain ikan laut, ikan air tawar bisa digunakan

seperti gurami, mas, nila, lele dan mujair. Kurang disarankan ikan bertulang

banyak seperti bandeng karena menyulitkan proses pembuatan dan ikan berdaging

merah yang menghasilkan bakso kurang menarik dan tidak elastis (Sutomo,2013).

b. Tepung Tapioka

Tepung tapioka adalah pati dari umbi singkong yang dikeringkan dan

dihaluskan. Tepung tapioka dibuat secara langsung dari singkong segar. Tepung

tapioka yang dibuat dari singkong segar berwarna putih atau pun kuning akan

menghasilkan tepung berwarna putih lembut dan licin. Tepung tapioka dapat

dimanfaatkan sebagai bahan baku ataupun campuran pada berbagai macam

produk antara lain kerupuk, biskuit atau kue kering, jajanan atau kue tradisional,

misalnya cendil, klanthing, opak atau semprong, wadah es krim, kacang shanghai,

pilus, ladu, bahan baku produk biji mutiara, sirup cair, dekstrin, alkohol, dan lem.

Selain itu tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengental (thickener),

bahan pemadat dan pengisi, bahan pengikat pada industri makanan olahan, dan

juga sebagai bahan penguat benang (warp seizing) pada industri tekstil (Suprapti,

2005).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

Tepung tapioka memiliki fungsi sebagai perekat. Selain itu dapat

menghasilkan bakso dengan tekstur stabil dan kenyal, tepung tapioka memberikan

volume pada bakso sehingga tekstur lebih padat dan bakso yang dihasilkan lebih

banyak. Pemakaian tepung tapioka baru sangat disarankan dalam pembuatan

bakso. Ciri-ciri tepung baru, antara lain putih bersih, tidak terdapat kotoran

ataupun kutu, tidak bergumpal dan beraroma segar khas (Sutomo,2013).

Pati adalah karbohidrat kompleks yang tersimpan dalam organ tanaman

dalam bentuk granul yang terdapat pada umbi. Pati berwarna putih, tawar dan

tidak berbau. Pati tersusun dari dua macam karbohidrat yaitu amilosa dan

amilopektin dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat

keras sedangkan amilopektin bersifat lengket (Cakrawati, 2012). Komposisi

kimia tepung tapioka dapat dilihat pada tabel 2.9 berikut.

Tabel 2.9 Komposisi Kimia Tepung Tapioka dalam 100 gram bahan
Komposisi Kadar
Kalori (kal) 362,00
Protein (gr) 0,50
Lemak (gr) 0,30
Karbohidrat (gr) 86,90
Kalsium (mg) 0,50
Fosfor (mg) 0,30
Serat (%) 0,20
Vitamin B1 (mg) 0,07
Air (gr) 12,00
Sumber : Departemen Kesehatan R.I., (1996).

Kandungan pati yang tinggi pada tepung membuat bahan pengisi mampu

mengikat air tetapi tidak dapat mengemiulsi lemak. Pati dalam air panas dapat

membentuk gel yang kental. Pati terdiri dari dua fraksi yang tidak dapat

dipisahkan, yaitu fraksi terlarut (amilosa) dan fraksi tidak terlarut (amilopektin).

Amilosa bersifat higroskopis (mudah menyerap air) sehingga mudah membentuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


28

gel. Proporsi kandungan amilosa dan amilopektin dalam pati menentukan sifat

produk olahan, makin sedikit kandungan amilosa makin lekat produk olahannya

(Usmiati, 2009).

Tepung tapioka dibuat dari pati singkong, nyaris tidak mengandung

protein dan gluten. Tepung tapioka sering digunakan pengentalan pada tumisan

karena efeknya bening dan kental saat dipanaskan. Tidak cocok untuk gorengan

karena menyerap minyak dan mengeras setelah dingin beberapa lama. Selain

pengentalan, juga dapat dipakai untuk mengenyalkan bakso, pengganti sagu pada

empek-empek dan juga sebagai bahan baku kerupuk. Ada juga membuat cendol

berbahan tepung tapioka pada skala industri, tepung tapioka termodifikasi dipakai

untuk pengentalan atau sebagai penstabil pada aneka saos (Lia, 2006).

c. Es Batu

Penggunaan es batu sangat penting dalam pembentukan tekstur bakso.

Selain sebagai pendingin adonan, es batu membuat bakteri tidak mudah

berkembangbiak dan daging tetap segar sampai tahap pembentukan dan

perebusan. Saat digiling, sol di dalam daging giling tidak segera berubah menjadi

gel. Untuk menghasilkan bakso daging yang lezat dan bermutu tinggi, umumnya

pemberian es batu sekitar 10-30% dari berat daging. Es batu membantu proses

pembentukan dan penyebaran bumbu dan tepung tercampur lebih merata di

dalam adonan (Wibowo, 2015).

d. Putih Telur

Penggunaan putih telur sebaiknya dua sampai tiga butir putih telur untuk

setiap satu kilogram daging. Selain mengilapkan adonan bakso menjadi lebih

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

menarik, putih telur membua tekstur bakso yang kompak dan kenyal. Protein

dalam putih telur meningkatkan mutu bakso. Kuning telur tidak ditambahkan

dalam adonan bakso karena akan beraroma amis (Sutomo, 2013).

e. Bumbu-bumbu

Selain bahan yang telah disebutkan, digunakan juga bumbu-bumbu.

Seperti garam dapur halus dan bumbu penyedap yang dibuat dari campuran

bawang putih, dan merica. Sebaiknya tidak menggunakan penyedap masakan

monosodium glutamat atau vetsin.

1. Bawang Merah ( Allium cepa L.)

Bawang merah sebagian besar terdiri dari protein 1,5 gram, lemak 0,2

gram, dan karbohidrat 8,5 gram. Biasanya bawang merah digunakan sebagai

bumbu dan sebagai obat - obatan tradisional. Bawang merah banyak di

manfaatkan sebagai bumbu penyedap rasa pada setiap jenis makanan. Bawang

merah dapat menurunkan kadar lemak darah, mencegah penggumpalan darah dan

menurunkan tekanan darah (Wirakusumah, 2000).

2. Bawang Putih (Allium Sativun L.)

Bawang putih mempunyai jenis yang cukup banyak tetapi tidak ada

perbedaan yang menyolok kecuali pada bentuk umbinya. Senyawa allicin pada

bawang putih merupakan penyebab timbulnya bau yang sangat tajam. Bawang

putih penting untuk mencegah therosklerosis dan penyakit jantung. Bawang putih

merupakan yodium yang tinggi dan banyak mengandung sulfur (Wirakusumah,

2000).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

3. Lada (Piper nigrum L.)

Lada atau merica (Piper nigrum Linn) adalah tumbuhan penghasil rempah-

rempah yang berasal dari bijinya. Lada sangat penting dalam komponen masakan-

masakan dunia. Di Indonesia lada terutama dihasilkan di Pulau Bangka. Lada

merupakan tanaman serba guna dimana buahnya dapat dimanfaatkan sebagai

bumbu dalam berbagai macam masakan. Lada merupakan bumbu yang khas.

Tujuan penambahan lada pada bahan pangan adalah sebagaipemberi aroma sedap,

dan menambah kelezatan, serta memperpanjang daya awet pada makanan.

4. Garam dapur (NaCl)

Garam berfungsi untuk mengetahui citarasa, melarutkan protein, dan

sebagai pengawet. Konsentrasi garam yang digunakan mempunyai batasan yang

pasti. Hal ini banyak tergantung pada faktor-faktor luar, dalam lingkungan, pH,

dan suhu. Garam menjadi efektif pada suhu rendah dan kondisi lebih asam. Garam

digunakan sebagai pengawet alami, bakteri tidak bertahan hidup serta mengalami

dehidrasi dan mati. Garam dapur biasanya digunakan 2,5% dari berat daging dan

ditambahkan 2-3 siung bumbu bawang merah dan bawang putih untuk setiap satu

kilogram daging ikan (Sutomo, 2013).

2.4 Uji Organoleptik

Penilaian organoleptik disebut juga dengan penilaian indera atau penilaian

sensorik yang merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif atau sudah

lama dikenal. Penilaian organoleptik sangat banyak digunakan untuk menilai

mutu dalam industri pangan dan industri hasil pertanian lainnya. Kadang-kadang

penilaian ini dapat memberikan hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif

(Susiwi, 2009). Menurut Rahayu (1998), sistem penilaian organoleptik telah

dibakukan dan dijadikan alat penilaian di dalam Laboratorium. Penilaian

organoleptik juga telah digunakan sebagai metode dalam penelitian dan

pengembangan produk. Dalam hal ini prosedur penilaian memerlukan pembakuan

yang baik dalam cara penginderaan maupun dalam melakukan analisa data. Indera

yang berperan dalam uji organoleptik adalah indera penglihatan, penciuman,

pencicipan, peraba dan pendengaran.

Panelis diperlukan untuk melaksanakan penilaian organoleptik dalam

penilaian mutu atau sifat-sifat sensorik suatu komoditi, panel bertindak sebagi

instrumen atau alat. Panel ini terdiri atas orang atau kelompok yang bertugas

menilai sifat dari suatu komoditi. Orang yang menjadi anggota panel disebut

panelis. Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan salah satu jenis uji penerimaan.

Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang

kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan, di samping itu mereka juga

mengemukakan tingkat kesukaan/ketidaksukaan. Tingkat-tingkat kesukaan ini

disebut orang skala hedonik, misalnya amat sangat suka, sangat suka, suka, agak

suka, netral, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan amat sangat tidak

suka. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan sesuai yang diinginkan

peneliti (Rahayu, 1998).

2.5. Panelis

Menurut Rahayu (1998), dalam penilaian organoleptik dikenal tujuh

macam panel, yaitu panel perseorangan, panel terbatas, panel terlatih, panel agak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


32

terlatih, panel tidak terlatih, panel konsumen dan panel anak-anak. Perbedaan

ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian dalam melakukan penilaian

organoleptik.

1. Panel Perseorangan

Panel perseorangan adalah orang yang sangat ahli dengan kepekaan

spesifik yang sangat tinggi yang diperoleh karena bakat atau latihan-latihan yang

sangat intensif. Panel perseorangan sangat mengenal sifat, peranan dan cara

pengolahan bahan yang akan dinilai dan menguasai metode-metode analisa

organoleptik dengan sangat baik. Keuntungan menggunakan panelis ini adalah

kepekaan tinggi, bias dapat dihindari, penilaian efisien. Panel perseorangan

biasanya digunakan untuk mendeteksi penyimpangan yang tidak terlalu banyak

dan mengenali penyebabnya.

2. Panel Terbatas

Panel terbatas terdiri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi

sehingga bias lebih dapat dihindari. Panelis ini mengenal dengan baik faktor-

faktor dalam penilaian organoleptik dan mengetahui cara pengolahan dan

pengaruh bahan baku terhadap hasil akhir.

3. Panel Terlatih

Panel terlatih terdiri dari 15-25 orang yang mempunyai kepekaan cukup

baik. Untuk menjadi panelis terlatih perlu didahului dengan seleksi dan latihan-

latihan. Panelis ini dapat menilai beberapa rangsangan sehingga tidak terlampau

spesifik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


33

4. Panel Agak Terlatih

Panel agak terlatih terdiri dari 15-25 orang yang sebelumya dilatih untuk

mengetahui sifat-sifat tertentu. Panel agak terlatih dapat dipilih dari kalangan

terbatas dengan menguji datanya terlebih dahulu. Sedangkan data yang sangat

menyimpang boleh tidak digunakan dalam keputusannya.

5. Panel Tidak Terlatih

Panel tidak terlatih terdiri dari 25 orang awam yang dapat dipilih

berdasarkan jenis suku-suku bangsa, tingkat sosial dan pendidikan. Panel tidak

terlatih hanya diperbolehkan menilai sifat-sifat organoleptik yang sederhana

seperti sifat kesukaan, tetapi tidak boleh digunakan dalam uji pembedaan. Panel

tidak terlatih biasanya terdiri dari orang dewasa dengan komposisi panelis pria

sama dengan panelis wanita.

6. Panel Konsumen

Panel konsumen terdiri dari 30 hingga 100 orang yang tergantung pada

target pemasaran komoditi. Panel ini mempunyai sifat yang sangat umum dan

dapat ditentukan berdasarkan perorangan atau kelompok tertentu.

7. Panel Anak-anak

Panel yang khas adalah panel yang menggunakan anak-anak berusia 3-10

tahun. Biasanya anak-anak digunakan sebagai panelis dalam penilaian produk-

produk pangan yang disukai anak-anak seperti permen, es krim dan sebagainya.

Cara penggunaan panelis anak-anak harus bertahap yaitu dengan pemberitahuan

atau dengan bermain bersama, kemudian dipanggil untuk diminta responnya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


34

terhadap produk yang dinilai dengan alat bantu gambar seperti boneka snoopy

yang sedang sedih, biasa atau tertawa.

2.6 Kerangka Konsep Penelitian

Daya terima terhadap


bakso ikan nila (aroma,
rasa, warna dan tekstur)
Pemanfaatan tepung labu kuning
dalam pembuatan bakso ikan nila

Kandungan zat gizi bakso


ikan nila

Gambar 2.3 Kerangka konsep penelitian

Bagan di atas menunjukkan bagaimana bakso ikan nila yang dibuat dari

penambahan tepung buah labu kuning akan mempengaruhi daya terima meliputi

warna, aroma, tekstur, dan rasa dan diuji berdasarkan kandungan nilai gizi bakso

ikan nila.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen.

Menggunakan rancangan penelitian acak lengkap (RAL) yang hanya terdiri dari

dua faktor yaitu tepung labu kuning dan tepung tapioka dengan 3 perlakuan.

Perbandingan tepung labu kuning dan tepung tapioka yaitu 5%:10%, 7,5%:7,5%

dan 10%:5% dengan simbol A1, A2, dan A3 dan berat total bahan utama 200

gram. Penggunaan tepung tapioka yang merupakan bahan dasar pembuatan bakso

dapat memberikan kekenyalan pada bakso ikan yang akan dihasilkan.

Tabel 3.1 Rincian Perlakuan Pada Pembuatan Bakso Ikan Nila


Rasio Penggunaan
Perlakuan Tepung Labu
Tepung Tapioka Ikan Nila
Kuning
A1 5% 10% 85%
A2 7,5% 7,5% 85%
A3 10% 5% 85%
Keterangan :
A1 : Bakso dengan penggunaan tepung labu kuning 5%, tepung tapioka 10% dan
ikan nila 85%
A2 : Bakso dengan penggunaan tepung labu kuning 7,5%, tepung tapioka 7,5%
dan ikan nila 85%
A3 : Bakso dengan penggunaan tepung labu kuning 10%, tepung tapioka 5% dan
ikan nila 85%

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


36

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Pembuatan tepung labu kuning dan pelaksanaan uji daya terima bakso

ikan nila dari tepung labu kuning dilakukan di Laboratorium Gizi FKM USU.

Proses pembuatan bakso ikan dilakukan di rumah peneliti. Pengujian zat gizi

protein, fosfor, dan kalsium dilakukan di Balai Riset Standarisasi Industri Medan

dan betakaroten dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini di lakukan bulan Juli sampai Desember 2016.

3.3 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah bakso ikan nila dengan modifikasi tepung labu

kuning dan tepung tapioka sebesar : (5% : 10%), (7,5% : 7,5%) dan (10% : 5%)

dari berat total bahan utama 200 gram.

3.4 Definisi Operasional

1. Tepung labu kuning adalah tepung yang diperoleh dari buah labu kuning,

yang dikupas, dicuci bersih, di iris-iris potongan kecil, dikeringkan dan

dihaluskan menjadi tepung labu kuning.

2. Bakso ikan nila adalah produk olahan ikan nila yang berbentuk bulatan, yang

proses pembuatannya dengan cara daging ikan nila dipisahkan dari kulit dan

tulangnya, dihaluskan dengan menambahkan es batu, kemudian ditambah

tepung labu kuning dan tepung tapioka, putih telur, garam, bawang merah,

bawang putih, dan lada diaduk hingga adonan homogen. Adonan dibentuk

bulat-bulatan, kemudian direbus dalam air panas.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


37

3. Daya terima adalah tingkat kesukaan panelis terhadap bakso ikan nila yang
dimodifikasi dengan menambahkan tepung labu kuning dalam pembuatan

bakso ikan nila yang meliputi indikator warna, tekstur, aroma, dan rasa yang

dilakukan pada mahasiswa.

4. Warna, rasa, aroma dan tekstur merupakan bagian dari organoleptik yang

ditimbulkan oleh bakso ikan nila dengan penambahan tepung labu kuning dan

tepung tapioka yang dapat dirasakan oleh indera.

5. Kandungan gizi adalah zat gizi (kadar protein, kadar fosfor, kadar kalsium dan

kadar betakaroten) yang terdapat dalam bakso ikan nila dengan penambahan

tepung labu kuning.

3.5 Alat dan Bahan

3.5.1 Alat

Alat - alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah baskom plastik,

kompor gas, panci, pisau, sendok , saringan tepung, timbangan analitik, blender,

Food processor, dan oven.

3.5.2 Bahan

Bahan - bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah labu

kuning, tepung tapioka, daging ikan nila, bawang merah, bawang putih, garam,

lada, putih telur, es batu. Buah labu kuning dan tepung tapioka dibeli di Pajak

Sore Padang Bulan dan daging ikan nila dibeli di Pajak Pagi Setia Budi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


38

Bahan utama dalam pembuatan bakso ikan yaitu daging ikan nila, tepung

labu kuning dan tepung tapioka. Jenis dan ukuran bahan pembuatan bakso ikan

nila dengan tepung labu kuning dan tepung tapioka hasil modifikasi resep dapat

dilihat pada tabel 3.2 berikut.

Tabel 3.2 Jenis dan ukuran bahan pembuatan bakso ikan nila dengan tepung labu
kuning dan tepung tapioka hasil modifikasi resep
Perbandingan
Jenis Bahan A1 A2 A3
5%:10% 7,5%:7,5% 10%:5%
Daging ikan nila 170 gram 170 gram 170 gram
Tepung labu kuning 10 gram 15 gram 20 gram
Tepung tapioka 20 gram 15 gram 10 gram
Putih telur 2 sdm 2 sdm 2 sdm
Bawang merah 1 siung 1 siung 1 siung
Bawang putih 1 siung 1 siung 1 siung
Lada ¼ sdt ¼ sdt ¼ sdt
Garam ½ sdt ½ sdt ½ sdt
Es batu 45 gram 45 gram 45 gram
Keterangan :
Berat total dari bahan utama = 200 gram
Daging ikan nila 85% = 85% x 200 gram = 170 gram
A1 : tepung labu kuning 5% = 5% x 200 gram = 10 gram
tepung tapioka 10% = 10% x 200 gram = 20 gram
A2 : tepung labu kuning 7,5% = 7,5%x 200 gram = 15 gram
tepung tapioka 7,5% = 7,5%x 200 gram = 15 gram
A3 : tepung labu kuning 10% = 10% x 200 gram = 20 gram
tepung tapioka 5% = 5% x 200 gram = 10 gram

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


39

3.6 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian terdiri dari 3 tahap yaitu: proses pembuatan tepung

labu kuning, proses penghalusan ikan nila, proses pembuatan bakso ikan nila.

3.6.1 Proses Pembuatan Tepung Labu Kuning

Tahapan pembuatan tepung labu kuning dapat dilihat pada gambar 3.1

berikut ini:
Buah labu kuning

Pengupasan

Pencucian dengan 2x pencucian

Pengirisan kecil-kecil atau


pemarutan ketebalan 1-3 mm

Pengeringan dengan oven dengan suhu


70ºC selama ± 8 jam

Penghalusan dengan di blender

Diayak dengan ayakan 60 mesh

Tepung labu kuning

Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Labu Kuning

Bagan di atas menjelaskan bahwa pembuatan tepung labu kuning

dilakukan dengan mengupas kulit, kemudian pencucian labu kuning, pemarutan

dengan ketebalan 1-3mm, pengeringan dengan oven suhu 70ºC selama ± 8 jam,

lalu diblender sampai halus dan di ayak dengan ayakan 60 mesh maka terbentuk

tepung labu kuning.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


40

3.6.2 Proses Penghalusan Bumbu-Bumbu

Tahapan penghalusan bumbu-bumbu dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut ini

Bawang merah 1 siung Bawang putih 1 siung

Dikupas dan dicuci

Ditambahkan lada ¼ sdt

Dihaluskan

Bumbu yang telah dihaluskan


Gambar 3.2 Diagram Alir Penghalusan Bumbu-Bumbu

Bagan diatas menunjukkan proses penghalusan bumbu yang digunakan

dalam pembuatan bakso ikan, bawang merah dan bawang putih dikupas dan

dicuci. Kemudian ditambahkan lada ¼ sdt dan dihaluskan sampai kalis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


41

3.6.3 Proses Penghalusan Ikan Nila

Tahapan penghalusan ikan nila dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut ini:

Daging ikan nila 170 gram

Pencucian dengan 2x pencucian

Dipotong kecil-kecil

Ditambahkan es batu 45 gram

Penghalusan dengan food

processor

Adonan ikan nila

Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Adonan ikan nila

Bagan di atas menjelaskan bahwa pembuatan adonan daging ikan nila

tanpa tulang dan kulit dilakukan dengan mencuci ikan nila dengan air mengalir ,

kemudian daging ikan potong-potong kecil, ditambahkan es batu 45 gram dan

dihaluskan dengan food processor sehingga terbentuk adonan ikan nila.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


42

3.6.3 Proses Pembuatan Bakso Ikan Nila dengan Tepung Labu Kuning dan
Tepung Tapioka

Tahapan pembuatan bakso ikan nila dengan tepung labu kuning dan

tepung tapioka dapat dilihat pada diagram 3.3 dibawah ini.

Adonan ikan nila 215 gr

Kemudian ditambahkan : Kemudian ditambahkan : Kemudian ditambahkan :

Tepung labu kuning 10 gr Tepung labu kuning 15 gr Tepung labu kuning 20 gr


Tepung tapioka 20 gr Tepung tapioka 15 gr Tepung tapioka 10 gr
Putih telur 2 sdm Putih telur 2 sdm Putih telur 2 sdm
Garam ½ sdt Garam ½ sdt Garam ½ sdt
Bumbu halus Bumbu halus Bumbu halus

Pengadukan dilakukan sampai

terbentuk adonan yang rata

Dicetak

Direbus pada suhu 80-90ºC selama 15 menit

Bakso ikan

Gambar 3.4 Diagram alir pembuatan bakso ikan nila


Bagan diatas menjelaskan tahapan pembuatan bakso yaitu ikan nila yang

dihaluskan kembali digiling dengan menambahkan tepung labu kuning, tepung

tapioka, putih telur, garam dan bumbu yang sudah dihaluskan sesuai masing-

masing perlakuan kemudian diaduk hingga terbentuk adonan yang kalis, lalu

dicetak bulat-bulat dan direbus pada suhu 80-90ºC selama 15 menit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


43

3.7 Uji Daya Terima

Penilaian secara subjektif dilakukan dengan uji organoleptik. Uji

organoleptik adalah penilaian yang menggunakan indera. Jenis uji organoleptik

yang digunakan adalah uji kesukaan (hedonik) menyatakan suka atau tidaknya

terhadap suatu produk.

Uji hedonik adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat

daya terima konsumen dengan mempergunakan skala hedonik. Sembilan titik

sebagai acuan, namun mempermudah penelis dan peneliti skala ini diperkecil

menjadi 3 tingkatan dengan skor yang paling rendah adalah 1 dan skor yang

paling tinggi adalah 3. Berdasarkan tingkatannya, tingkat penerimaan konsumen

dapat diketahui sesuai dengan tabel 3.3 berikut :

Tabel 3.3 Tingkat Penerimaan Panelis Pada Uji Hedonik


Organoleptik Skala Hedonik Skala Numerik
Warna Suka 3
Kurang suka 2
Tidak suka 1
Aroma Suka 3
Kurang suka 2
Tidak suka 1
Rasa Suka 3
Kurang suka 2
Tidak suka 1
Tekstur Suka 3
Kurang suka 2
Tidak suka 1

1. Panelis

Jenis panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih yang dipilih dari

mahasiswa/i Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

sebanyak 30 orang. Umur panelis berkisar 19-25 tahun. Panelis dalam penelitian ini

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


44

adalah seseorang panelis yang tidak sakit, tidak lelah, tidak perokok dan bisa

bekerja sama.

2. Pelaksanaan Penilaian

a. Waktu dan tempat

Penilaian uji daya terima terhadap bakso ikan nila dari tepung labu kuning

dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB dan dilakukan di Laboratorium Gizi Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

b. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah bakso ikan nila dengan variasi perbandingan

tepung labu kuning, tepung tapioka dan ikan nila masing-masing : 5%:10%:85%,

7,5%:7,5%:85%, dan 10%:5%:85%. Sedangkan alat yang digunakan adalah

formulir penilaian, alat tulis dan air minum dalam kemasan.

3. Langkah-langkah Pada Uji Daya Terima

a. Menyediakan sampel dengan kode variasi, air minum kemasan, formulir

penilaian dan alat tulis.

b. Pembagian panelis dalam enam gelombang

c. Memberikan penjelasan kepada panelis dalam pengisian formulir.

d. Mempersilahkan panelis untuk duduk di ruangan yang telah disediakan

berdasarkan urutan gelombang.

e. Memberikan kesempatan kepada panelis untuk memulai dan menuliskan

penilaian pada lembar fomulir penilaian.

f. Mengumpulkan formulir yang telah diisi oleh panelis.

g. Setelah formulir penilaian dikumpulkan kemudian data dianalisis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


45

3.8 Analisis Kandungan Gizi

3.8.1 Analisis Kadar Protein

Menurut AOAC dalam Abdillah (2006), pengukuran kadar protein

dilakukan dengan metode Kjedahl. Sampel sebanyak 1.0 - 2.0 gram dimasukkan

ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 1.0 gram K2SO4, 40 mg HgO

dan 2.0 ml H2SO4 pekat. Setelah itu didestruksi sampai cairan berwarna hijau

jernih. Biarkan dingin, lalu ditambahkan sedikit air suling dan 10 ml 60 % NaOH,

5% Na2S2O3 lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlemeyer

yang berisi 5 ml H3B03 dan 2-4 tetes indikator merah metil serta metil biru

hingga diperoleh sekitar 15 ml destilat. Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi

dengan HCl 0.02 N standar hingga titik akhir.

( )
% N (bb) = x 100%
( )

3.8.2 Analisis Kadar Fosfor

Penentuan kadar posfor dilakukan dengan menggunakan metode SSA

(Spektrofotometri Serapan Atom). Prinsip metode SSA adalah kelarutan logam

akan mencapai kondisi maksimum pada derajat keasaman yang tinggi, hal ini

akan dicapai pada pH 2-4. Kelarutan logam tersebut dapat diperbesar sehingga

menaikkan temperatur. Larutan bahan disemprotkan melalui aspirator ke dalam

nyala pada alat SSA, akan mengalami proses penguapan-pelarut, sublimasi akan

menyerap sejumlah sinar. Jumlah sinar diserap akan sebanding dengan

konsentrasi unsur yang dianalisis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


46

Cara kerja dalam menentukan kadar fosfor :

1. Bahan ditimbang 5 gram sampel

2. Kemudian diabukan, sampai terbentuk abu putih

3. Lalu abu ditambahkan dengan pereaksi amonium

4. Setelah itu ditambahkan larutan standar fosfor dan diamkan selama 10 menit

sampai pengembangan warna terjadi

5. Lalu, intensitas warna diukur dengan spektropotometer pada panjang

gelombang 420 nm.

6. Kemudian dibuat kurva standar dan dihitung kadar fosfor

Perhitungan :
Kadar Fosfor = x 100%
Keterangan :
O = berat fosfor dari pembacaan kurva, yang dinyatakan dalam mg
P = faktor pengenceran
W = berat sampel

3.8.3 Analisis Kadar Kalsium

Pengamatan secara objektif dalam penentuan kadar kalsium dilakukan

dengan menggunakan metode SSA (Spektrofotometri Serapan Atom). Prinsip

metode SSA adalah kelarutan logam akan mencapai kondisi maksimum pada

derajat keasaman yang tinggi, hal ini akan dicapai pada pH 2-4. Kelarutan logam

tersebut dapat diperbesar sehingga menaikkan temperatur. Larutan bahan

disemprotkan melalui aspirator ke dalam nyala pada alat SSA, akan mengalami

proses penguapan-pelarut, sublimasi akan menyerap sejumlah sinar. Jumlah sinar

diserap akan sebanding dengan konsentrasi unsur yang dianalisis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


47

Cara kerja dalam menentukan kadar kalsium :

1. Bahan ditimbang 5 gram sampel

2. Kemudian diabukan, sampai terbentuk abu putih

3. Kemudian, abu ditambahkan dengan campuran larutan standart Ca dan Mg

ke dalam tabung kimia.

4. Setelah itu, ditambahkan larutan Cl

5. Sampel dianalisis dengan SSA

Perhitungan :

Kadar setara Ca = x 100% = x 100%

3.8.4 Analisis Kadar Betakaroten Metode HPLC

Menurut Parker dalam Abdillah (2006), pengukuran kadar β-karoten

dilakukan dengan metode High Performance Liquid Chromatographi (HPLC).

Sampel sekitar 0.1 gram diblender 15-20 menit kemudian diekstrak dengan heksan

dan aseton (1:1) dan disaring menggunakan corong Buchner dalam kondisi vakum.

Filtrat yang dihasilkan dimasukkan kedalam tabung reaksi untuk dikeringkan dengan

gas N2 atau di freez dryer. Filtrat yang sudah kering ditambah 4 ml KOH 5 % dalam

metanol. Selanjutnya filtrat dikocok satu menit dan diaerasi selama 30 menit. Ekstrak

dipanaskan dalam penangas air suhu 60ºC selama 30 menit. Ekstrak dikocok kembali

satu menit. Lapisan atas ekstrak diambil dan dikumpulkan. Filtrat hasil pengumpulan

disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm sehingga terpisah. Fase organik yang

terbentuk dikumpulkan dan ditambah 3 ml asam asetat 5 % dalam air bebas ion,

dikocok. Selanjutnya fase organik yang telah ditambah asam asetat dan air bebas ion

disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit. Fase organik dipindahkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


48

dan dikeringkan dengan N2 (freezdryer). Residu kering ditambah 5 ml CHCl3 5 %

dalam metanol. Selanjutnya dikeringkan dan diaerasi selama 30 menit. Ekstrak

didiamkan dalam pendingin suhu -20ºC selama 12 jam. Selanjutnya ekstrak

dikeringkan dengan N2. Residu kering ditambah 2 ml metanol, asetonitril dan NHCl3,

sebagai fase gerak (48.5 %, 48.5 %, 3 %).

Standar β-karoten dicampurkan dalam petroleum eter, dievaporasi dan

dicampurkan dengan diklorometan. Konsentrasi standar ditunjukkan secara

spektrofotomketrik menggunakan koefisien ekstensi molar E tem 1% = 2530.

Konsentrasi yang berbeda digunakan untuk analisa HPLC dan memplot grafik

standar. Koefisien korelasi dihitung untuk menaksir kelinieran diantara konsentrasi

standar dan puncak area grafik. Sampel diencerkan untuk diinjeksikan dan pemisahan

analisa dihubungkan dengan rata-rata aliran pelarut pada 1,5 ml per menit dengan

sensitifitas detector (AUFS) 0,02 dan standar lebar gelombang 450 nm. Konsentrasi

β-karoten dihitung dengan grafik standar menggunakan rumus :

Kadar β-karoten (ppm) = x konsentrasi standar x FP

Keterangan : FP = faktor pengenceran = 4

3.9 Pengolahan dan Analisa Data

Data yang sudah dikumpulkan, diolah secara manual kemudian dianalisis

dengan menggunakan analisis deskriptif persentase. Analisis deskriptif persentase

ini digunakan untuk mengkaji reaksi panelis terhadap suatu bahan yang diujikan.

Untuk mengetahui tigkat kesukaan dari panelis dilakukan analisis deskriptif

kualitatif persentase yaitu kualitatif yang diperoleh dari panelis harus dianalisi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


49

dahulu untuk dijadikan data kuantitatif. Skor nilai untuk mendapatkan persentase

dirumuskan sebagai berikut:

%= x 100

Keterangan :
% = skor presentase
n = jumlah skor yang diperoleh
N = skor ideal (skor tertinggi x jumlah panelis

Untuk mengubah data skor persentase menjadi nilai kesukaan konsumen,

analisanya sama dengan analisis kualitatif dengan nilai yang berbeda, yaitu

sebagai berikut :

Nilai tertinggi = 3 (suka)

Nilai terendah = 1 (tidak suka)

Jumlah kriteria yang ditentukan = 3 kriteria

Jumlah panelis = 30 orang

a. Skor maksimum = jumlah panelis x nilai tertinggi

= 30 x 3 = 90
b. Skor minimum = jumlah panelis x nilai terendah

= 30 x 1 = 30

c. Persentase maksimum = x 100%

= x 100% = 100%

d. Persentase Minimum = x 100%

= x 100% = 33,3%

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


50

e. Rentangan = Persentase maximum – Persentase minimum

= 100% - 33,3% = 66,7%

f. Interval presentase = Rentangan : Jumlah kriteria

= 66,7% : 3 = 22,2% ~ 22%

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut maka dapat dibuat interval persentase dan

kriteria kesukaan sebagai berikut :

Tabel 3.4. Interval Persentase Dan Kriteria Kesukaan


Persentase (%) Tingkat kesukaan
78 - 100 Suka
56 – 77,99 Kurang suka
34 – 55,99 Tidak suka

Setelah mengetahui bagaimana penerimaan panelis terhadap bakso ikan

yang dihasilkan, langkah selanjutnya adalah mengetahui ada atau tidaknya

perbedaan pada organoleptik bakso ikan nila dengan berbagai perlakuan jumlah

penambahan tepung labu kuning, maka dapat dilakukan beberapa tahap uji, yaitu :

1. Uji normalitas.

2. Uji Anova atau analisis varian, merupakan metode analisis data yang digunakan

untuk mengetahui perbedaan terhadap dua kelompok atau lebih yang tidak

berpasangan dengan dua variabel atau lebih. Jenis analisis varian yang

digunakan adalah uji ANOVA jika data tidak berdistribusi normal dilanjutkan

menggunakan uji Kruskall Wallis sebagai alternatif.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Tepung Buah Labu Kuning (Cucurbita moschata)

Proses pembuatan tepung labu kuning dimulai dari pemilihan labu kuning

yang masih mengkal, tidak terlalu matang (kulit labu berwarna hijau kekuningan),

tidak busuk dan segar. Kemudian kulit labu dikupas, biji dibuang, dicuci bersih,

diparut dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 70°C selama 8 jam. Setelah

kering, labu kuning dihaluskan menggunakan blender, kemudian diayak

menggunakan ayakan 60 mesh hingga didapatkan partikel kecil yang disebut

tepung labu kuning.

Data yang diperoleh berdasarkan pengukuran berat labu kuning sebelum

dikupas kulitnya seberat 4.830 gram dan setelah dikupas beratnya menjadi 2.630

gram. Kemudian dalam proses pembuatan tepung labu kuning dihasilkan tepung

seberat 310 gram. Hasil tersebut dipengaruhi oleh pengurangan kadar air,

pelepasan kulit labu kuning yang tebal dan bijinya. Dengan demikian rendemen

pada tepung labu kuning dari buah labu kuning adalah berkisar 11,78%.

Gambar 4.1 Tepung buah labu kuning (Cucurbita moschata)

51
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52

Berdasarkan gambar 4.1 dapat dilihat tepung yang dihasilkan dari buah

labu kuning memiliki warna kuning kecoklatan. Selain itu, tepung labu kuning

yang dihasilkan juga memiliki struktur halus dan beraroma khas labu kuning.

4.2 Karakteristik Bakso Ikan Nila dari Tepung Labu Kuning

Karakteristik yang dihasilkan oleh ketiga bakso ikan hasil eksperimen

tepung labu kuning (Cucurbita moschata) dan ikan nila (Niloticus tilapia) dapat

dilihat dalam tabel 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1 Karakteristik Bakso Ikan Hasil Eksperimen


Bakso
Karakteristik
A1 A2 A3
Warna Putih Putih kekuningan Putih kekuningan
Khas ikan dan labu Khas ikan dan labu
Aroma Khas ikan
kuning kuning
Rasa Bakso ikan Bakso ikan Bakso ikan dan sedikit
manis
Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal

Berdasarkan tabel 4.1 karakteristik yang dihasilkan dari tiga sampel bakso

memiliki perbedaan warna yang tidak terlalu menonjol. Sampel bakso ikan A1

memiliki warna yang berbeda dibandingkan dengan sampel bakso ikan A2 dan

A3. Sampel bakso ikan A1 memiliki warna putih, sedangkan bakso ikan A2 dan

A3 memiliki warna yang sama yaitu berwarna putih kekuningan. Hal ini

dikarenakan penambahan tepung labu kuning yang semakin meningkat dan

penurunan penggunaan tepung tapioka. Ketiga aroma bakso memiliki kesamaan

secara keseluruhan yang tercium dengan indera pembau, yaitu beraroma gurih

khas daging ikan. Aroma tepung labu kuning secara nyata dapat tercium,

meskipun konsentrasi tepung labu kuning berbeda setiap perlakuan bakso ikan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


53

Karakteristik rasa bakso yang dihasilkan secara keseluruhan hampir sama,

namun yang membedakan pada bakso ikan A3 berasa sedikit manis. Hal ini

dipengaruhi oleh penggunaan tepung labu kuning yang lebih banyak dan rasa

labu kuning yang manis. Rasa juga dapat dipengaruhi oleh banyaknya bumbu-

bumbu yang digunakan. Tekstur bakso ikan secara keseluruhan kenyal seperti

bakso pada umumnya, apabila tepung labu kuning yang digunakan cukup banyak

akan mempengaruhi tekstur bakso menjadi lembek, mengingat labu kuning

banyak mengandung kadar air. Berat bakso yang dihasilkan berkisar 15-17 gram

per butir.

(a) (b) (c)


Gambar 4.2 Karakteristik bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning
(a) bakso ikan 1, (b) bakso ikan 2, (c) bakso ikan 3

Pada gambar 4.2 dapat dilihat bahwa pada bakso ikan A1 memiliki warna

bakso yang lebih putih, sedangkan pada bakso ikan A2 dan bakso ikan A3

memiliki warna sedikit lebih kuning namun bakso A3 memiliki warna yang lebih

cerah dibanding A2.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


54

4.3 Analisis Organoleptik Bakso Ikan Nila dari Tepung Labu Kuning
4.3.1 Analisis Organoleptik Warna Bakso Ikan

Hasil analisis organoleptik warna bakso ikan dengan skala hedonik dapat

dilihat pada tabel 4.2 berikut ini :

Tabel 4.2 Hasil Analisis Organoleptik Warna Bakso Ikan


Bakso Ikan Tepung Labu Kuning
Warna
A1 A2 A3
Kriteria Panelis Skor % Panelis Skor % Panelis Skor %
Suka 15 45 50 14 42 46,7 16 48 53,3
Kurang suka 14 28 31,1 14 28 31,1 14 28 31,1
Tidak suka 1 1 1,1 2 2 2,2 0 0 0
Total 30 74 82,2 30 72 80 30 76 84,4
Keterangan :
A1 : Ikan nila 85% + tepung labu kuning 5% + tepung tapioka 10%
A2 : Ikan nila 85% + tepung labu kuning 7,5% + tepung tapioka 7,5%
A3 : Ikan nila 85% + tepung labu kuning 10% + tepung tapioka 5%

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa total skor tertinggi dalam uji

organoleptik terhadap warna bakso ikan adalah perlakuan dengan penambahan

tepung labu kuning 10% dan tepung tapioka 5% yaitu 76 (84,4%). Sedangkan

total skor terendah dalam uji organoleptik terhadap warna bakso ikan adalah

perlakuan dengan penambahan tepung labu kuning 7,5% dan tepung tapioka 7,5%

yaitu 72 (80%). Apabila dilihat dari kriteria kesukaan, ketiga sampel memiliki

kriteria suka.

Berdasarkan hasil uji normalitas menunjukkan bahwa ketiga perlakuan

memiliki data yang tidak normal (nilai p < 0,05) (Lampiran 13) sehingga

dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis. Hasil analisis uji Kruskal Wallis dengan

tingkat signifikansi (α) 0,05 (Lampiran 13) diperoleh nilai p sebesar (0,760) >

0,05 artinya tidak ada perbedaan daya terima yang signifikan terhadap warna pada

ketiga perlakuan bakso ikan yang dihasilkan. Dengan kata lain, ketiga warna

bakso ikan sama-sama disukai oleh panelis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


55

4.3.2 Analisis Organoleptik Aroma Bakso Ikan

Hasil analisis organoleptik aroma bakso ikan dengan skala hedonik dapat

dilihat pada tabel 4.3 berikut ini :

Tabel 4.3 Hasil Analisis Organoleptik Aroma Bakso Ikan


Bakso Ikan Tepung Labu Kuning
Aroma
A1 A2 A3
Kriteria Panelis Skor % Panelis Skor % Panelis Skor %
Suka 13 39 43,3 14 42 46,7 9 27 30
Kurang suka 15 30 33,3 15 30 33,3 18 36 40
Tidak suka 2 2 2,2 1 1 1,1 3 3 3,3
Total 30 71 78,8 30 73 81,1 30 66 73,3
Keterangan :
A1 : Ikan nila 85% + tepung labu kuning 5% + tepung tapioka 10%
A2 : Ikan nila 85% + tepung labu kuning 7,5% + tepung tapioka 7,5%
A3 : Ikan nila 85% + tepung labu kuning 10% + tepung tapioka 5%

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa total skor tertinggi dalam uji

organoleptik terhadap aroma bakso ikan adalah perlakuan dengan penambahan

tepung labu kuning 7,5% dan tepung tapioka 7,5% yaitu 73 (81,1%) yang

memiliki kriteria kesukaan adalah suka. Sedangkan total skor terendah dalam uji

organoleptik terhadap aroma bakso ikan adalah perlakuan dengan penambahan

tepung labu kuning 10% dan tepung tapioka 5% yaitu 66 (73,3%) dan memiliki

kriteria kurang suka.

Berdasarkan hasil uji normalitas menunjukkan bahwa ketiga perlakuan

memiliki data yang tidak normal (nilai p < 0,05) (Lampiran 14) sehingga

dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis. Hasil analisis uji Kruskal Wallis dengan

tingkat signifikansi (α) sebesar 0,05 (Lampiran 14) diperoleh nilai p sebesar

(0,311) > 0,05 artinya tidak ada perbedaan daya terima terhadap aroma pada

ketiga perlakuan bakso ikan yang dihasilkan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


56

4.3.3 Analisis Organoleptik Rasa Bakso Ikan

Rasa dalam suatu makanan merupakan gabungan dari beberapa rasa dari

bahan-bahan pembentuk. Hasil analisis organoleptik rasa bakso ikan dengan skala

hedonik dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini :

Tabel 4.4 Hasil Analisis Organoleptik Rasa Bakso Ikan


Bakso Ikan Tepung Labu Kuning
Rasa
A1 A2 A3
Kriteria Panelis Skor % Panelis Skor % Panelis Skor %
Suka 12 36 40 14 42 46,7 14 42 46,7
Kurang suka 15 30 33,3 14 28 31,1 9 18 20
Tidak suka 3 3 3,3 2 2 2,2 7 7 7,8
Total 30 72 76,6 30 72 80 30 67 74,5
Keterangan :
A1 : Ikan nila 85% + tepung labu kuning 5% + tepung tapioka 10%
A2 : Ikan nila 85% + tepung labu kuning 7,5% + tepung tapioka 7,5%
A3 : Ikan nila 85% + tepung labu kuning 10% + tepung tapioka 5%

Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa total skor tertinggi dalam uji

organoleptik terhadap rasa bakso ikan adalah perlakuan dengan penambahan

tepung labu kuning 7,5% dan tepung tapioka 7,5% yaitu 72 (80%). Sedangkan

total skor terendah dalam uji organoleptik terhadap rasa bakso ikan adalah

perlakuan dengan penambahan tepung labu kuning 10% dan tepung tapioka 5%

yaitu 67 (74,5%). Apabila dilihat dari kriteria kesukaan, sampel A2 memiliki

kriteria suka dan sampel A1 dan A3 memiliki kriteria kurang suka.

Berdasarkan hasil uji normalitas menunjukkan bahwa ketiga perlakuan

memiliki data yang tidak normal (nilai p < 0,05) (Lampiran 15) sehingga

dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis. Hasil analisis uji Kruskal Wallis dengan

tingkat signifikansi (α) sebesar 0,05 (Lampiran 15) diperoleh nilai p sebesar

(0,880) >0,05 artinya tidak ada perbedaan daya terima terhadap rasa pada ketiga

perlakuan bakso ikan yang dihasilkan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


57

4.3.4 Analisis Organoleptik Tekstur Bakso Ikan

Hasil analisis organoleptik tekstur bakso ikan dengan skala hedonik dapat

dilihat pada tabel 4.5 berikut ini :

Tabel 4.5 Hasil Analisis Organoleptik Tekstur Bakso Ikan


Bakso Ikan Tepung Labu Kuning
Tekstur
A1 A2 A3
Kriteria Panelis Skor % Panelis Skor % Panelis Skor %
Suka 21 63 70 20 60 66,7 20 60 66,7
Kurang suka 6 12 13,3 10 20 22,2 8 16 17,7
Tidak suka 3 3 3,3 0 0 0 2 2 2,2
Total 30 78 86,6 30 80 88,9 30 78 86,6
Keterangan :
A1 : Ikan nila 85% + tepung labu kuning 5% + tepung tapioka 10%
A2 : Ikan nila 85% + tepung labu kuning 7,5% + tepung tapioka 7,5%
A3 : Ikan nila 85% + tepung labu kuning 10% + tepung tapioka 5%

Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa total skor tertinggi dalam uji

organoleptik terhadap tekstur bakso ikan adalah perlakuan dengan penambahan

tepung labu kuning 7,5% dan tepung tapioka 7,5% yaitu 80 (88,9%). Sedangkan

total skor rendah dalam uji organoleptik terhadap tekstur bakso ikan adalah

perlakuan A1 dengan penambahan tepung labu kuning 5% dan tepung tapioka

10% dan A3 dengan penambahan tepung labu kuning 10% dan tepung tapioka 5%

sama-sama memiliki total skor yaitu 78 (86,6%). Apabila dilihat dari kriteria

kesukaan, ketiga sampel memiliki kriteria suka yang berarti sebagian besar

panelis menyukai tekstur ketiga bakso ikan dengan penambahan tepung labu

kuning.

Berdasarkan hasil uji normalitas menunjukkan bahwa ketiga perlakuan

memiliki data yang tidak normal (nilai p < 0,05) (Lampiran 16) sehingga

dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis. Hasil analisis uji Kruskal Wallis dengan

tingkat signifikansi (α) sebesar 0,05 (Lampiran 16) diperoleh nilai p sebesar

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


58

(0,980) > 0,05 artinya tidak ada perbedaan daya terima terhadap tekstur pada

ketiga perlakuan bakso ikan yang dihasilkan.

4.4 Analisis Kandungan Gizi Bakso Ikan Nila dari Tepung Labu Kuning

Hasil analisis kandungan protein, fosfor dan kalsium yang telah dilakukan

di Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan dan kadar

betakaroten yang telah dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan pada

bakso ikan nila dari tepung labu kuning dengan tiga perlakuan dapat dilihat pada

tabel berikut ini.

Tabel 4.7 Hasil Analisis Kandungan Gizi Bakso Ikan Nila dari Tepung Labu
Kuning dalam 100 gram
Hasil Kandungan Gizi
Parameter
A1 A2 A3
Protein (g) 11,00 12,20 12,30
Fosfor (mg) 250,00 270,00 290,00
Kalsium (mg) 369,10 381,20 390,70
Betakaroten (ppm) 57,73 79,00 92,45

Berdasarkan tabel 4.7 dapat dilihat hasil dari kandungan gizi bakso ikan

menunjukkan adanya peningkatan nilai gizi seiring penambahan tepung labu

kuning. Bakso ikan A1 dengan penambahan tepung labu kuning 5% dalam tiap

100 gram memiliki kandungan protein sebesar 11 g, kandungan fosfor sebesar 250

mg, kandungan kalsium sebesar 369,1 mg dan memiliki kandungan betakaroten

sebesar 57,73 ppm. Bakso ikan A2 dengan penambahan tepung labu kuning 7,5%

memiliki kandungan protein sebesar 12,2 g, fosfor sebesar 270 mg, kandungan

kalsium sebesar 381,2 mg, dan kandungan betakaroten sebesar 79 ppm. Bakso

ikan A3 dengan penambahan tepung labu kuning 10% memiliki kandungan

protein sebesar 12,3 g, kandungan fosfor sebesar 290 mg, kandungan kalsium

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


59

sebesar 390,7 mg dan kandungan betakaroten sebesar 92,45 ppm. Hal ini

menunjukkan adanya perbedaan kandungan gizi antara ketiga perlakuan. Dilihat

dari hasil kadar protein, fosfor, kalsium dan betakaroten yang meningkat pada

bakso ikan A3 dengan semakin tingginya penambahan tepung labu kuning yang

digunakan pada pembuatan bakso ikan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata)

Tepung labu kuning didapatkan dengan cara menimbang berat akhir bahan

yang dihasilkan dari proses yang dibandingkan dengan berat bahan awal sebelum

mengalami proses. Labu kuning yang digunakan untuk dibuat menjadi tepung

adalah labu kuning yang tidak terlalu matang dan kulit labu kuning berwarna hijau

kekuningan. Kemudian dikupas dan dicuci dengan air mengalir,diparut dan

dikeringkan dalam oven dengan suhu 70°C selama ± 8 jam, dihaluskan dan

ditutup rapat. Mengingat kadar air pada buah labu kuning cukup tinggi, maka

sangat diperhatikan tempat penyimpanan tepung.

Tepung yang dihasilkan selama proses pembuatan dan pengamatan

berdasarkan beberapa faktor mempengaruhi hasil rendemen tepung. Buah labu

kuning yang telah matang menghasilkan tepung yang lebih sedikit dan

menghasilkan warna yang lebih cokelat karena buah yang telah matang

mengandung kadar gula dan kadar air yang lebih tinggi sehingga terjadi

karamelisasi pada saat pengeringan di oven. Buah labu kuning yang tidak terlalu

matang dan tidar berair menghasilkan tepung yang lebih banyak dan warna

kuning yang menarik.

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


61

5.2 Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Warna Bakso Ikan dari Tepung
Labu Kuning

Warna dapat menandakan rasa suatu makanan. Bila suatu makanan

menyimpang dari warna yang umumnya berlaku, makanan tersebut pastinya tidak

akan dipilih oleh konsumen. Meskipun sesungguhnya makanan tersebut masih

baik kondisinya. Meskipun demikian warna juga tidak selalu identik dengan suatu

rasa tertentu (Astawan, 2008).

Warna menjadi salah satu parameter yang sangat menentukan kesukaan

konsumen terhadap suatu produk. Warna yang menarik dapat menimbulkan rasa

suka terlebih dahulu sebelum konsumen tersebut mengkonsumsi makanan

tersebut. Berdasarkan pada gambar 4.2 dapat dilihat bahwa bakso ikan dengan

penambahan tepung labu kuning 5% memiliki warna bakso yang lebih putih,

sedangkan pada bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning 7,5% dan

bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning 10% memiliki warna sedikit

lebih kuning namun bakso dengan penambahan tepung labu kuning 10% memiliki

warna yang lebih cerah dibanding dengan penambahan tepung labu kuning 7,5%.

Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsentrasi tepung labu kuning dan tepung

tapioka yang digunakan pada setiap perlakuan bakso ikan.

Menurut Anam dan Handajani (2010), waluh (Curcurbita moschata durch)

atau sering disebut labu kuning tidak hanya menjadi salah satu bahan alternatif

untuk substitusi tepung terigu, tetapi dapat juga menjadi bahan pewarna alami,

karena labu kuning merupakan salah satu jenis buah yang mengandung karotenoid

tinggi. Sehingga makanan yang dihasilkan memiliki warna yang menarik sebagai

pewarna alami buah labu kuning yang merupakan pengganti pewarna sintetis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


62

Pengujian organoleptik terhadap warna bakso ikan pada tabel 4.2

menunjukkan bahwa persentase tertinggi terdapat pada bakso ikan dengan

penambahan tepung labu kuning 10% dan total skor 76 (84,4%) dengan kriteria

kesukaan adalah suka. Kemudian pada bakso ikan dengan penambahan tepung

labu kuning 5% memiliki presentase sebesar 82,2% dan bakso ikan dengan

penambahan tepung labu kuning 7,5% sebesar 80% dengan kriteria kesukaan juga

disukai oleh panelis. Hal ini sejalan dengan penelitian Manurung,dkk (2015),

semakin tinggi penambahan bubur labu kuning pada bakso ayam semakin tinggi

pula tingkat penerimaan panelis dan lebih menyukai warna dari labu kuning.

Berdasarkan hasil analisis uji daya terima melalui uji Kruskal Wallis

terhadap warna bakso ikan dengan tingkat signifikansi (α) 0,05 menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan daya terima warna pada ketiga perlakuan bakso

ikan yang ditunjukkan dari nilai p (0,760) > α (0,05). Ketiga perlakuan bakso ikan

tidak memiliki perbedaan warna terhadap daya terima panelis dan memiliki

kriteria kesukaan adalah suka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga

perlakuan bakso ikan memiliki perbedaan taraf kesukaan yang sama terhadap

warna bakso ikan.

5.3 Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Aroma Bakso Ikan dari Tepung
Labu Kuning

Aroma merupakan salah satu parameter yang menentukan rasa enak dari

suatu produk bahan pangan. Dalam industri bahan pangan, pengujian terhadap

aroma sangat penting, karena dengan cepat dapat memberikan penilaian terhadap

hasil industrinya, apakah produknya disukai atau tidak disukai oleh konsumen

(Soekarto, 1990).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


63

Aroma yang terbentuk pada bakso ikan disebabkan oleh adanya

penambahan bumbu-bumbu seperti lada, bawang putih, bawang merah, tepung

labu kuning serta daging ikan itu sendiri. Semakin banyak bumbu yang

ditambahkan maka semakin kuat aroma yang ditimbulkan. Pada tabel 4.3

menunjukkan bahwa persentase tertinggi dalam uji organoleptik terhadap aroma

adalah bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning 7,5% dengan

penambahan tepung labu kuning 7,5% dengan total skor 73 (81,1%) dengan

kriteria kesukaan adalah suka kemudian diikuti bakso ikan dengan penambahan

tepung labu kuning 5% yang juga memiliki kriteria suka sebesar 78,8%.

Sedangkan bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning 10% memiliki

total skor 66 (73,3%) dengan kriteria kurang disukai oleh panelis.

Hal ini terjadi karena bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning

7,5% memiliki aroma labu kuning yang tidak terlalu menyengat, berbeda dengan

sampel bakso dengan penambahan tepung labu kuning 10% memiliki aroma khas

labu kuning yang lebih menyengat. Hal ini sejalan dengan penelitian Isnaini

(2016), tentang penggunaan buah labu kuning menyatakan bahwa tepung labu

kuning memiliki aroma yang khas, hal ini mengakibatkan aroma yang dihasilkan

menjadi khas labu kuning. Semakin banyak tepung labu kuning yang digunakan

maka aroma khas labu kuning semakin nyata.

Berdasarkan hasil analisis uji daya terima melalui uji Kruskal Wallis

(lampiran 14) terhadap aroma bakso ikan dengan tingkat signifikansi (α) 0,05

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan daya terima aroma pada ketiga

perlakuan bakso ikan yang ditunjukkan dari nilai p (0,311) > α (0,05). Aroma

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


64

bakso ikan pada ketiga perlakuan, berdasarkan uji Kruskal Wallis menunjukkan

tidak adanya perbedaan aroma yang bermakna antar sampel. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa ketiga perlakuan bakso ikan tidak memiliki perbedaan yang

signifikan dalam uji daya terima. Selain memiliki aroma khas labu kuning, setiap

perlakuan bakso ikan memiliki aroma khas lain yaitu aroma khas ikan. Hal ini

disebabkan aroma khas ikan nila cukup kuat serta dipengaruhi oleh bumbu-bumbu

yang ditambahkan (Sukmana, 2012).

5.4 Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Rasa Bakso Ikan dari Tepung Labu
Kuning

Rasa merupakan faktor yang penting dalam menentukan keputusan bagi

konsumen untuk menerima atau menolak suatu produk. Produk yang memiliki

rasa yang enak dan menarik akan disukai oleh panelis. Rasa merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap makanan. Penerimaan

panelis terhadap rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain senyawa kimia,

konsentrasi, suhu, dan interaksi komponen rasa yang lain (Winarno, 2004).

Perbedaan rasa bakso ikan disebabkan oleh adanya penambahan bumbu-

bumbu seperti lada, bawang putih, bawang merah, garam, tepung labu kuning

serta daging ikan itu sendiri. Pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa persentase

tertinggi dalam uji organoleptik terhadap rasa adalah bakso ikan dengan

penambahan tepung labu kuning 7,5% dengan total skor 72 (80%) yaitu kriteria

kesukaan adalah suka. Sedangkan hasil penilaian bakso ikan dengan penambahan

tepung labu kuning 5% memiliki presentase skor adalah 76,6% dan bakso ikan

dengan penambahan tepung labu kuning 10% adalah 74,5% dengan kriteria

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


65

kurang disukai. Hasil penilaian menunjukkan rasa bakso ikan penambahan tepung

labu kuning sebesar 7,5% lebih disukai dibandingkan dengan perlakuan lain.

Secara nyata perbedaan konsentrasi tepung labu kuning pada setiap

perlakuan memberikan pengaruh terhadap rasa bakso ikan. Hal ini ditunjukkan

pada tabel 4.1 dimana karakteristik rasa bakso ikan berbeda antara ketiga

perlakuan. Pada perlakuan dengan penambahan tepung labu kuning 10% rasa khas

bakso ikan sedikit manis dibandingkan perlakuan lain. Hal ini disebabkan oleh

tingginya kadar karbohidrat dalam tepung labu kuning sebesar 77,65%

(Widowati,dkk 2001).

Berdasarkan hasil analisis uji daya terima melalui uji Kruskal Wallis

(lampiran 15) terhadap rasa pada bakso ikan dengan tingkat signifikansi (α) 0,05

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan hasil daya terima rasa pada ketiga

perlakuan bakso ikan yang ditunjukkan dari nilai p (0,880) > α (0,05). Rasa bakso

ikan pada ketiga perlakuan, berdasarkan uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak

adanya perbedaan rasa yang bermakna antar sampel. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa ketiga perlakuan bakso ikan tidak memiliki perbedaan yang signifikan

dalam uji daya terima rasa bakso ikan.

Ketertarikkan terhadap makanan dapat dipengaruhi oleh warna, suhu dan

teksturnya. Sesungguhnya yang lebih penting lagi adalah aroma makanan. Banyak

dari apa yang kita sebut sebagai cita rasa sebetulnya merupakan bau dari gas yang

dilepaskan oleh makanan yang diletakkan didalam mulut (Wade dan Tavris,

2008).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


66

5.5 Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Tekstur Bakso Ikan dari Tepung
Labu Kuning

Tekstur adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan panelis

terhadap suatu produk pangan. Tekstur merupakan sekelompok sifat fisik yang

ditimbulkan oleh elemen struktural bahan pangan yang dapat dirasa oleh indera

peraba (Soekarto, 1990).

Karakteristik tekstur ketiga bakso ikan pada penelitian ini memiliki tekstur

yang kenyal. Pada tabel 4.5 menunjukkan bahwa persentase tertinggi dalam uji

organoleptik terhadap tekstur adalah bakso ikan dengan penambahan tepung labu

kuning 7,5% dan total skor 80 (88,9%) memiliki kriteria kesukaan adalah suka.

Kemudian pada bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning 5% dan

bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning 10% memiliki presentase

sebesar 86,6% dengan kriteria kesukaan adalah disukai panelis.

Bakso yang disukai panelis adalah bakso ikan yang kenyal. Bakso yang

kenyal dan elastis dihasilkan dari protein daging sebagai emulsifier. Dalam

penelitian ini protein berasal dari daging ikan nila yang cukup tinggi. Kemudian

tekstur bakso yang kompak dipengaruhi oleh kadar amilopektin pada tepung

tapioka dan tepung labu kuning. Penambahan tepung pada pembuatan bakso

berfungsi untuk menambah volume (substitusi daging), sehingga meningkatkan

daya ikat air dan memperkecil penyusutan (Basuki,dkk 2013).

Berdasarkan hasil analisis uji daya terima melalui uji Kruskal Wallis

terhadap tekstur pada bakso ikan dengan tingkat signifikansi (α) 0,05

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan hasil daya terima rasa pada ketiga

perlakuan bakso ikan yang ditunjukkan dari nilai p (0,980) > α (0,05). Tekstur

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


67

bakso ikan pada ketiga perlakuan menunjukkan tidak adanya perbedaan tekstur

yang bermakna antar sampel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga perlakuan

bakso ikan memiliki perbedaan taraf kesukaan yang sama terhadap rasa bakso

ikan.

5.6 Analisis Kandungan Protein, Fosfor, Kalsium dan Betakaroten Bakso


Ikan dengan Penambahan Tepung Labu Kuning

Hasil analisis kandungan protein, fosfor, kalsium dan betakaroten pada

bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning yang ditunjukkan pada tabel

4.7 menunjukkan peningkatan nilai gizi yang signifikan dan peningkatan tersebut

terjadi seiring dengan penambahan tepung labu kuning. Bakso ikan nila dengan

penambahan tepung labu kuning pada penelitian ini menghasilkan enam biji bakso

dengan berat perbiji bakso ±17gram dalam 100 gram. Hal ini sesuai dengan

ukuran rumah tangga (URT) bakso ikan yaitu enam biji sedang berat 100 gram

(Depkes RI, 2000).

Hasil laboratorium di Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan, dapat

dilihat perbedaan kandungan protein dalam bakso ikan dengan penambahan

tepung labu kuning 5%, bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning 7,5%

dan bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning 10%. Dimana dapat

dilihat pada tabel 4.7 kandungan protein pada bakso ikan dengan penambahan

tepung labu kuning 5% mengandung 11 g, bakso ikan dengan penambahan tepung

labu kuning 7,5% mengandung 12,2 g dan bakso ikan dengan penambahan tepung

labu kuning 10% mengandung protein tertinggi sebesar 12,3 g dalam 100 gram.

Semakin tinggi konsentrasi tepung labu kuning yang ditambahkan maka semakin

tinggi kadar protein dalam bakso ikan. Hal ini sesuai dengan penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


68

Prayitno,dkk (2009) yakni semakin tinggi level substitusi filler tepung labu

kuning semakin meningkatkan nilai kadar protein. Hal ini disebabkan karena

kadar protein tepung labu kuning lebih tinggi dibandingkan tepung tapioka.

Kandungan protein bakso ikan yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih

tinggi dari kandungan protein pada bakso daging sapi menggunakan tepung

tapioka sebesar 7,24 gram (Cahyono,2013) dan lebih tinggi dari bakso daging

belut dengan tepung tapioka 50% memiliki kandungan protein sebesar 7,29 gr

(Suryani, 2006). Berdasarkan syarat mutu bakso ikan (SNI 7266:2014) standar

kadar protein dalam bakso ikan adalah minimum 7, dengan demikian kadar

protein bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning sudah memenuhi

standar syarat mutu yang diizinkan.

Kebutuhan protein sebagai zat pembangun tubuh juga menentukan

pertumbuhan pada anak. Protein berperan dalam pembentukan dan pemeliharaan

jaringan tubuh termasuk pembentukan enzim, hormon dan antibodi. Berdasarkan

angka kecukupan gizi (Menkes RI, 2013) kebutuhan protein pada kelompok umur

balita (1-5 tahun) 26-35 gram dan anak usia sekolah (7-12 tahun) 49-56 gram.

Berdasarkan data diatas kontribusi protein bakso ikan dengan penambahan tepung

labu kuning 10% terhadap kebutuhan protein kelompok umur balita sebesar

47,3%-35,1% dan kelompok anak usia sekolah 25,1%-21,9% per 100 gram bakso

ikan dalam enam biji ukuran rumah tangga. Hasil ini menunjukkan bakso ikan

berpotensi sebagai makanan alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein balita

dan sebagai sumber protein untuk anak sekolah. Panelis pada penelitian ini

termasuk pada kelompok umur 19-25 tahun yang memiliki angka kecukupan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


69

protein sebanyak 62 gram per hari. Sehingga mengkonsumsi bakso ikan dengan

penambahan tepung labu kuning 10% sebanyak 100 gram bakso ikan dalam enam

biji ukuran rumah tangga dapat memenuhi 19,8% kebutuhan protein per hari.

Oleh karena itu, bakso ikan hasil penambahan tepung labu kuning dapat menjadi

salah satu sumber protein bagi kelompok usia dewasa.

Kadar fosfor terdapat di dalam semua makanan, terutama makanan kaya

protein seperti daging, ayam, ikan, telur, susu, kacang-kacangan serta serealia

(Almatsier, 2004). Fosfor berfungsi dalam proses metabolisme karbohidrat dan

lemak, menjaga kesehatan tulang, gigi dan gusi, membantu penyerapan kalsium.

Pada balita yang mengalami kekurangan fosfor pertumbuhannya akan terhambat,

kesehatan tulang dan gigi terganggu dan nafsu makan berkurang. Pemenuhan

kebutuhan fosfor akan tercukupi bila kebutuhan protein juga tercukupi (Sutomo

dan Yanti, 2010). Berdasarkan hasil laboratorium di Balai Riset dan Standarisasi

Industri Medan, pada tabel 4.7 dapat dilihat kandungan fosfor pada bakso ikan

dengan penambahan tepung labu kuninf 5% sebesar 250 mg, bakso ikan 2 sebesar

270 mg, dan bakso ikan 3 sebesar 290 mg dalam 100 gram. Berdasarkan hasil

analisis tersebut, kadar fosfor basko ikan nila dengan penambahan tepung labu

kuning lebih tinggi dibandingkan dengan kadar fosfor pada bakso belut sebesar

185 mg dalam 100 g yang menggunakan tepung tapioka (Rahmawati, 2013).

Berdasarkan angka kecukupan gizi (Menkes RI, 2013) kebutuhan fosfor

pada kelompok umur balita (1-5 tahun) 500 mg dan anak usia sekolah (7-12

tahun) 500-1200 mg. Berdasarkan data diatas kontribusi fosfor bakso ikan dengan

penambahan tepung labu kuning 10% terhadap kebutuhan fosfor kelompok umur

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


70

balita (1-5 tahun) sebesar 58% dan kelompok anak usia sekolah (7-9 tahun) 58%-

24,2% per 100 gram bakso ikan dalam enam biji ukuran rumah tangga. Hasil ini

menunjukkan bakso ikan tersebut berpotensi sebagai makanan alternatif untuk

memenuhi kebutuhan fosfor balita dan anak sekolah. Panelis pada penelitian ini

termasuk pada kelompok umur 19-25 tahun yang memiliki angka kecukupan

fosfor sebesar 700 mg per hari. Sehingga mengkonsumsi bakso ikan dengan

penambahan tepung labu kuning 10%, sebanyak enam biji ukuran rumah tangga

dapat memenuhi 41,42% kebutuhan fosfor per hari. Oleh karena itu, bakso ikan

hasil penambahan tepung labu kuning dapat menjadi makanan alternatif untuk

memenuhi kebutuhan fosfor bagi kelompok usia dewasa.

Kalsium merupakan makromolekul yang penting dalam pertumbuhan dan

perkembangan tulang dan gigi. Pada pertumbuhan tulang dan gigi mencapai

ukuran maksimal sehingga dapat mencegah pengeroposan tulang dan gigi pada

usia dewasa. Kalsium juga diperlukan dalam mekanisme pembekuan darah.

Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan

pertumbuhan, tulang kurang kuat, mudah bengkok dan rapuh (Almatsier,2004).

Berdasarkan hasil Laboratorium di Balai Riset dan Standarisasi Industri

Medan, dapat dilihat perbedaan kandungan gizi kalsium. Pada tabel 4.7 dapat

dilihat kandungan kalsium pada bakso ikan dengan penambahan tepung labu

kuning 5% sebesar 369,1 mg, bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning

7,5% sebesar 381,2 mg, dan bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning

10% sebesar 390,7 mg dalam 100 gram. Kandungan kalsium pada penelitian ini

lebih tinggi dibanding dengan bakso daging sapi yang memiliki kadar kalsium

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


71

sebesar 60 mg dan bakso daging sapi dengan penambahan jamur tiram 60%

sebesar 111,67 mg (Takarina, 2013).

Berdasarkan angka kecukupan gizi (Menkes RI, 2013) kebutuhan kalsium

pada kelompok umur balita (1-5 tahun) 650-1000 mg dan anak usia sekolah (7-12

tahun) 1000-1200 mg. Berdasarkan data diatas kontribusi kalsium bakso ikan

dengan penambahan tepung labu kuning 10% terhadap kebutuhan kalsium

kelompok umur balita sebesar 60,1%-39,1% dan kelompok anak usia sekolah

39,1%-32,5% per 100 gram bakso ikan dalam enam biji ukuran rumah tangga.

Hasil ini menunjukkan bakso ikan tersebut berpotensi sebagai makanan alternatif

untuk memenuhi kebutuhan kalsium balita dan anak sekolah. Panelis pada

penelitian ini termasuk pada kelompok umur 19-25 tahun yang memiliki angka

kecukupan kalsium sebanyak 1100 mg per hari. Sehingga mengkonsumsi bakso

ikan dengan penambahan tepung labu kuning 10% sebanyak 100 gram bakso ikan

dalam enam biji ukuran rumah tangga dapat memenuhi 35,51% kebutuhan

kalsium per hari. Oleh karena itu, bakso ikan hasil penambahan tepung labu

kuning dapat menjadi salah satu sumber kalsium bagi kelompok usia dewasa.

Nilai kadar betakroten bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning

yang disajikan pada tabel 4.7 dapat dilihat bahwa hasil analisis di laboratorium

Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan berkisar 57,73 ppm atau 5.773 µg per 100

gram sampai 92,45 atau 9.245 µg per 100 gram. Semakin tinggi penambahan

tepung labu kuning semakin meningkatkan nilai kadar beta karoten bakso ikan.

Hal ini disebabkan karena kadar β-caroten tepung labu kuning lebih tinggi

dibandingkan tepung tapioka (Prayitno,dkk, 2009). Kandungan betakaroten yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


72

tinggi sesuai dengan hasil penelitian Nuraeni,dkk (2013) yang menghasilkan

0,76% kadar betakaroten dalam 0,962 gram tepung labu kuning.

Berdasarkan BPOM RI (2016), 1 µg vitamin A sama dengan 12 µg dietary

all trans β-caroten. Dari hasil konversi pada bakso ikan yang memiliki kandungan

betakaroten 9.245 didapatkan vitamin A sebesar 770,41 µg per 100 gram bakso

ikan dalam enam biji ukuran rumah tangga. Menurut Menkes RI (2013), angka

kecukupan gizi kebutuhan vitamin A pada kelompok umur balita (1-5 tahun) 450

µg dan anak usia sekolah (7-12 tahun) 500-600 µg. Berdasarkan data diatas

kontribusi betakaroten bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning 10%

terhadap kebutuhan vitamin A kelompok umur balita sebesar 171,2% dan

kelompok anak usia sekolah 154%-128,4% per 100 gram bakso ikan dalam enam

biji ukuran rumah tangga. Hasil ini menunjukkan bakso ikan tersebut berpotensi

sebagai makanan alternatif untuk memenuhi kebutuhan vitamin A balita dan anak

sekolah. Panelis pada penelitian ini termasuk pada kelompok umur 19-25 tahun

yang memiliki angka kecukupan vitamin A sebanyak 600 µg per hari. Sehingga

mengkonsumsi bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning 10%

sebanyak 100 gram bakso ikan dalam enam biji ukuran rumah tangga dapat

memenuhi 128,4%. Oleh karena itu, bakso ikan hasil penambahan tepung labu

kuning dapat menjadi salah satu sumber vitamin A bagi kelompok usia dewasa.

Kandungan betakaroten pada bakso ikan dalam penelitian ini cukup tinggi

dibandingkan dengan bakso ikan berbahan dasar ikan tuna dan tepung tapioka

dengan penambahan jamur merang dan wortel 40% yang menghasilkan 489 µg

betakaroten (Trisnaningsih, 2014). Sedangkan dalam penelitian ini bakso ikan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


73

dengan penambahan tepung labu kuning 10% saja dapat memenuhi kebutuhan

vitamin A seseorang per hari dan sebagai pengganti sumber vitamin A lainnya.

Selain kandungan gizi yang diteliti diatas ada banyak mineral lain yang

terkandung pada bahan baku penelitian ini. Salah satunya yaitu kalium yang

bermanfaat bagi tubuh kita yaitu berfungsi untuk mengendalikan tekanan darah,

terapi darah tinggi, serta membersihkan karbondioksida di dalam darah.

Kekurangan kalium dapat berefek buruk dalam tubuh karena mengakibatkan

hipokalemian yang menyebabkan frekuensi denyut jantung melambat. Sedangkan

untuk kelebihan kalium mengakibatkan hiperkalemia yang menyebabkan aritmia

jantung, konsentrasi yang lebih tinggi lagi yang dapat menimbulkan henti jantung

atau fibrilasi jantung (Yaswir dan Ferawati. 2012).

5.7 Nilai Ekonomis dan Asupan Gizi Bakso Ikan

Bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning 7,5% dan 7,5%

tepung tapioka merupakan bakso ikan dengan tingkat kesukaan tertinggi dari

perlakuan bakso lainnya. Perolehan bahan baku buah labu kuning dengan harga

Rp. 6000,- per kilogram dengan rendemen tepung labu kuning diperoleh 11,78%.

Tepung labu kuning yang digunakan dalam penelitian sebesar 15 gram dengan

bahan tambahan lain menghasilkan 12 biji bakso dengan rerata berat 17 gram per

biji dengan biaya sekitar Rp.14.500,-. Biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan

enam biji bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning yang berkualitas

gizi tinggi sebesar Rp7.250,- Dibandingkan dengan bakso dipasaranyang banyak

dijual seperti bakso aci dan kualitas daging rendah, dijual dengan harga

Rp.9.000,- maka bakso ikan hasil eksperimen memiliki mutu bakso berkualitas

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


74

dan nilai yang lebih ekonomis. Oleh karena itu, pemilihan bakso ikan hasil

eksperimen sebagai makanan alternatif memiliki nilai lebih dibandingkan jenis

bakso popular di masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan gizi penting

seseorang serta memiliki harga yang ekonomis.

Berdasarkan pada pemenuhan gizi menurut Angka Kecukupan Gizi

(PERMENKES RI NO. 75 Tahun 2013) konsumsi bakso ikan yang dapat

dianjurkan per hari pada kelompok usia balita (1-5 tahun) dibutuhkan sebanyak

13-18 biji agar mencukupi kebutuhan protein, kebutuhan fosfor sebanyak sebelas

biji, kebtuhan kalsium sebanyak 10-16 biji bakso dan dibutuhkan empat biji

pemenuhan vitamin A. Pada usia anak sekolah (7-12 tahun) dibutuhkan sebanyak

24-28 biji bakso untuk kadar protetin, kebutuhan fosfor sebanyak 11-27 biji,

kebutuhan kalsium sebanyak 16-19 biji dan vitamin A sebanyak 5-6 biji bakso

ikan. Pada kelompok usia dewasa (19-29 tahun) agar mencukupi kebutuhan

protein dikonsumsi sebanyak 30 biji bakso, kebutuhan fosfor sebanyak 16 biji,

kalsium 17 biji dan kebutuhan vitamin sebanyak enam biji bakso ikan serta pada

kelompok lansia (50-64 tahun) untuk memenuhi kebutuhan protein sebanyak 27

biji, kebutuhan fosfor dan kalsium sebanyak 16 biji bakso serta kebutuhan vitamin

A sebanyak enam biji bakso ikan.

Produk makanan yang dihasilkan dalam penelitian ini mampu memenuhi


kebutuhan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh per hari. Mengkonsumsi satu porsi
bakso ikan tepung labu kuning dapat memenuhi dan menggantikan sumber
pangan vitamin A lainnya seperti wortel karena bakso ikan ini dapat disebut juga
sebagai fortifikasi vitamin A. Selain itu, bakso ikan tanpa bahan pengawet ini
dapat sebagai variasi makanan bagi anak-anak serta harganya ekonomis untuk
semua kalangan masyarakat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan

sebagai berikut :

1. Hasil uji daya terima oleh panelis secara statistik menunjukkan bahwa tidak

ada perbedaan daya terima terhadap warna dan ketiga perlakuan bakso ikan

memiliki kriteria suka. Hasil statistik terhadap aroma bahwa tidak ada

perbedaan daya terima pada ketiga perlakuan bakso ikan dan perlakuan

penambahan tepung labu kuning 7,5% yang memiliki nilai kesukaan lebih

besar. Hasil statistik terhadap rasa bahwa tidak adanya perbedaan daya terima

pada ketiga perlakuan namun hanya bakso penambahan tepung labu kuning 5%

yang memiliki kriteria disukai oleh panelis. Sedangkan hasil statisktik terhadap

tekstur menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan daya terima pada ketiga

perlakuan bakso ikan dan ketiganya memiliki kriteria disukai oleh panelis.

2. Penambahan konsentrasi tepung labu kuning dalam pembuatan bakso ikan

berpengaruh terhadap kenaikan kandungan gizi dalam bakso yang dapat dilihat

bahwa bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning 10% memiliki

kandungan protein, fosfor, kalsium dan betakaroten yang lebih besar dari

dengan perlakuan tepung labu kuning 5% dan 7,5%.

3. Bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning pada penelitian ini sangat

cocok dikonsumsi oleh kelompok usia balita sebagai makanan alternatif dan

sumber pemenuhan gizi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4. Kandungan betakaroten yang tinggi bakso ikan pada penelitian ini yang

membedakan dengan bakso pada umunya. Selain itu, bakso ikan dapat

memenuhi kebutuhan vitamin A dari kelompok usia balita hingga dewasa

bahkan melebihi angka kecukupan gizi yang dianjurkan per hari serta memiliki

harga yang lebih ekonomis dibandingkan bakso yang dijual dipasaran.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, hal yang dapat

disarankan sebagai berikut :

1. Bakso ikan dengan penggunaan tepung labu kuning 7,5% dan tepung

tapioka 7,5% merupakan bakso ikan terbaik dengan nilai gizi yang dapat

memenuhi kebutuhan gizi dengan nilai ekonomis disarankan menjadi

pilihan makanan alternatif untuk masyarakat.

2. Disarankan bakso ikan dengan penambahan tepung labu kuning

dikonsumsi oleh kelompok usia balita.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan gizi

lain pada bakso ikan seperti kadar kalium, kadar vitamin A dan kadar zat

gizi mikro lainnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Fatimah. 2006. Penambahan Tepung Wortel dan Karagenan untuk


Meningkatkan Kadar Serat Pangan pada Nugget Ikan Nila (Oreochromis
sp). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
African Union, Interafrican Bureau For Animal Resources. 2015. The Nile
Tilapia. Diakses 30 Agustus 2016. www.au-ibar.org.
Almatsier, S, 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Umum.
Jakarta.
Anam, Choiroel dan Handajani, S. 2010. Mie Kering Waluh (Cucurbita
moschata) dengan Antioksidan dan Pewarna Alami. Jurrnal. Fakultas
Pertanian. Universitas Sebelas Maret.
Astawan, M. 2008. Khasiat Warna Warni Makanan. Jakarta. PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 2004. Laporan
Tahunan `2004. Diakses 3 September 2016.
http://www.pascapanenlitbang.pertanian.go.id.
Badan Standarisasi Nasional. 2014. SNI Bakso Ikan. Jakarta.

Basuki, Enny., Latifa dan Wulandari, Ika. 2013. Kajian Penambahan Tepung
Tapioka dan Kuning Telur pada Pembuatan Bakso Daging Sapi.Teknik
Pangan. Universitas Veteran. Jawa Timur.
Cahyono, Agung. 2013. Kadar Protein dan Uji Organoleptik Bakso Berbahan
Dasar Komposisi Daging Sapi dan Jamur Merang (Volvariella volvaceae)
yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Cakrawati, Dewi. 2012. Bahan Pangan Gizi dan Kesehatan. Alfabeta. Bandung.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1996. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Bhratara Niaga Media. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Bhratara Niaga Media. Jakarta.
Direktori Jenderal Perikanan Budidaya. 2013. Laporan Tahunan Direktorat
Produksi Tahun 2013. Diakses 30 Agustus 2016.
http://www.djbp.kk.go.id.

Evy, R., Mujiutami, E., dan Sujono. 2001. Usaha Perikanan di Indonesia. Mutiara
Sumber Widya. Jakarta.
Fenema, O. 1996. Food Chemistry. Third Edition. Marcel Dekker Inc. New York.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Fish and Wildlife Service. 2015. Nile Tilapia (Oreochromis niloticus). Diakses 20
September 2016. http://www.fws.gov.
Harnowo, P. A. 2011. Betakaroten, Vitamin untuk Kesehatan Mata. Diakses 3
Maret 2017. http://health.detik.com.
Hendrasty, H. K. 2003. Tepung Labu Kuning Pembuatan dan Pemanfaatannya.
Kanisius. Yogyakarta.
Isnaini, Aan. 2016. Pengaruh Substitusi Tepung Labu Kuning (Cucurbita
moschata) dalam Pembuatan Pancake Terhadap Kadar Beta Karoten dan
Daya Terima. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhamadiyah
Surakarta.
Lia. 2006. Macam - Macam Tepung. Diakses 30 Agustus 2016.
http://www.abanaicha.blogsome.com.
Manurung, Herwin, Mandey, dkk. 2015. Pengaruh Substitusi Bubur Labu Kuning
(Cucurbita moschata) terhadap Kualitas Bakso Ayam. Jurnal. Teknologi
Pangan. Universitas Sam Ratulangi.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Angka Kecukupan Gizi yang
Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Diakses 21 Oktober 2016.
http://www.Gizi.depkes.go.id.
Muzaifa, M., Rozali, Z. F., dan Radiansyah. 2012. Produksi Roti Tawar dari Labu
Kuning dengan Presentase Subtitusi Tepung Terigu dan Konsentrasi
Emulsifier yang Berbeda. Jurnal. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian.
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Ningrum, N.E.P. 2012. Kerangan Petumbuhan Ikan Nila Best (Oreochromis
niloticus) Hasil Seleksi F3, F4 dan Nila Lokal. Skripsi. Jurusan Biologi.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas
Maret. Surakarta.
Nuraeni, F., Aminingsih, T.,dan Miranti, M. 2013. Potensi Antioksidan Labu
Kuning (Cucurbita moschata) pada Berbagai Pelarut. Fakultas Matematika
dan Pengetahuan Alam. Universitas Pakuan Bogor. Bogor.
Purwanto, Chatrine., Ishartani. D, dan Rahardian, D. 2013. Kajian Sifat Fisik dan
Kimia Tepung Labu Kuning dengan Perlakuan Blanching dan Perendaman
Natrium Metabisulfat (Na2s2O5). Jurnal. Teknologi Hasil Pertanian.
Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Prayitno, Agus., Miskiyah, Firdha, Soeparno, dkk. 2009. Karakteristik Sosis
dengan Fortifikasi β-caroten dari Labu Kuning. Buletin Peternakan Vol.33.
Fakultas Peternakan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Rahayu, W. P. 1998. Diktat Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Fakultas
Teknologi Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahmawati, Lusi Anindia. 2013. Pemanfaatan Belut (Monoptherus albus Zuieuw)
dalam Pembuatan Bakso. Skripsi. Fakultas Gizi Masyarakat. Institut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pertanian Bogor. Bogor.

Ripi, V.I. 2011. Pembuatan dan Analisis Kandungan Gizi Tepung Labu Kuning
(Cucurbita moschata). Skripsi. Fakultas Teknologi Industri. Universitas
Pembangunan Nasional. Jawa Timur.

Rosmalina, Y dan Permaesih, D. 1997. Hasil Analisis Vitamin A dan β-Karoten


Bahan Makanan Sumber Vitamin A dan Karoten Metode HPLC. Diakses
19 September 2016. http://www.litbang.depkes.go.id.
Sabaruddin, E.E. 2006. Pemanfaatan Ikan Nila Hitam (Orechromis niloticus)
sebagai Makanan Ringan (Camilan). Skripsi. Fakultan Ilmu Perikanan dan
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Saidin, Muhammad. 1999. Kandungan Kolesterol dalam Berbagai Bahan
Makanan Hewani. Buletin Penelitian Kesehatan.
Samsudin, R. 2003. Pengaruh Penggorengan terhadap Kualitas Protein Beberapa
Jenis Ikan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Santoso, E. B. 2013. Pengaruh Penambahan Berbagai Jenis Susu Terhadap Sifat
Sensoris dan Fisikokimia Puree Labu Kuning (Cucurbita moschata).
Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Sayuti, K dan Yenrina, R. (2015). Antioksidan Alami dan Sintetik. Andalas
Universitas Press. Padang.
Soekarto, S. T. 1990. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Bharata Karya Aksara. Jakarta.
Sudarto, Yudo. 2000. Budidaya Waluh. Kanisius. Yogyakarta.
Suharti, Ratna. 2011. Budidaya Ikan Nila (Orechromis niloticus). Diakses 4
September 2016. http://www.pusluh.kkp.go.id.
Sukmana, Idris. 2012. Pemanfaatan Surimi Ikan Nila Merah (Oreochromis sp)
dalam Isolat Protein Kedelai. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suprapti, Lies. 2005. Tepung Tapioka Pembuatan dan Pemanfaatannya. Kanisius.
Jakarta.
Suryani, Yoni. 2006. Kandungan Vitamin A dan Protein pada Produk Bakso
Daging Belut yang Paling Disukai. Jurnal. Fakultas Matematika dan
Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Susiwi, S. 2009. Penilaian Organoleptik. Jurusan Pendidikan Kimia. Universitas
Pendidikan Indonesia. Bandung.
Sutomo, B dan Yanti, Dwi. 2010. Menu Sehat Alami untuk Balita dan Batita.
Demedia. Jakarta.
Sutomo, Budi. 2013. Sukses Bisnis Bakso. Kriya Pustaka. Depok.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Takarina, Handy Luksita. 2013. Kandungan Kalsium dan Karbohidrat Bakso
Daging Sapi dengan Penambahan Jamur Tiram (Pleurotus sp). Skripsi.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Trianingsih, Desti. 2004. Kadar Protein dan Betakaroten Bakso Ikan Tuna yang
Diperkaya Jamur Merang (Volvariella volvaceae) dan Umbi Wortel.
Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
USDA. 2016. National Nutrient Database for Standard Reference. Amerika
Serikat.
Usmiati, Sri. 2009. Bakso Sehat. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian. Bogor.
Wade, C dan Tavris, C. 2008. Psikologi. Edisi IX. Erlangga. Jakarta.
Wibowo, S. 2015. 50 Jenis Bakso Sehat dan Enak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Widowati, S., Richana, N., Suarni, Raharto, P., dan Sarasutha, I.G.P. 2001. Studi
Potensi dan Peningkatan Daya Guna Sumber Pangan Lokal untuk
Penganekaragaman Pangan di Sulawesi Selatan. Laporan Hasil Penelitian
Puslitbangtan. Bogor.
Widyaningsih, T. D dan E. S. Murtini. 2006. Alternatif Pengganti Formalin pada
Produk Pangan. Tribus Agrisarana. Surabaya.
Wijayakusuma, H. M. 2000. Potensi Tumbuhan Obat Asli Indonesia sebagai
Produk Kesehatan. Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi. Diakses 20 Agustus 2016.
http://www.ansn.bapeten.go.id.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi, PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Wirakusumah, Emma. 2000. Buah dan Sayur untuk Terapi. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Wiryanta, B.T.W, Sunaryo, Astuti, dan M.B. Kurniawan. 2010. Budidaya dan
Bisnis Ikan Nila. PT Agro Media Pustaka. Jakarta.
Yuyun. 2012. Panduan Sukses Berbisnis Bakso. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Yaswir, R., & Ferawati, I. (2012). Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan
Natrium, Kalium dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal
Kesehatan Andalas. Padang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


LAMPIRAN

Lampiran 1. Formulir Uji Organoleptik Skala Hedonik

FORMULIR
UJI TINGKAT KESUKAAN (UJI HEDONIK)

Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :

Petunjuk Penilaian
Ujilah sampel satu persatu dengan sebaik-baiknya dan nyatakan pendapat anda tentang apa
yang dirasakan oleh indera dengan mengisi tabel dibawah ini dengan skor berikut:
• Suka :3
• Kurang suka :2
• Tidak suka :1

Sampel
Indikator
A1 A2 A3
Rasa
Aroma
Warna
Tekstur

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 13

Hasil Uji Statistik Penilaian Organoleptik terhadap Warna Bakso Ikan Nila dari
Tepung Labu Kuning

Hasil uji warna bakso ikan A1,A2 dan A3

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Penilaian warna bakso ikan
.325 30 .000 .717 30 .000
A1
Penilaian warna bakso ikan
.300 30 .000 .749 30 .000
A2
Penilaian warna bakso ikan
.354 30 .000 .637 30 .000
A3
a. Lilliefors Significance Correction

Hasil Uji Kruskall Wallis

Test Statisticsb,c
Penilaian warna
bakso ikan
Chi-Square .550
df 2
Asymp. Sig. .760
Monte Carlo Sig. .763a
Sig. 95% Confidence Lower
.755
Interval Bound
Upper Bound .772
a. Based on 10000 sampled tables with starting seed 299883525.
b. Kruskal Wallis Test
c. Grouping Variable: perlakuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran 14

Hasil Uji Statistik Penilaian Organoleptik terhadap Aroma Bakso Ikan Nila dari
Tepung Labu Kuning

Hasil uji aroma bakso ikan A1,A2 dan A3

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Penilaian aroma bakso ikan A1 .291 30 .000 .753 30 .000
Penilaian aroma bakso ikan A2 .310 30 .000 .720 30 .000
Penilaian aroma bakso ikan A3 .328 30 .000 .765 30 .000
a. Lilliefors Significance Correction

Hasil Uji Kruskall Wallis

Test Statisticsb,c
Penilaian aroma
bakso ikan
Chi-Square 2.335
df 2
Asymp. Sig. .311
Monte Carlo Sig. .324a
Sig. 95% Confidence Lower
.314
Interval Bound
Upper Bound .333
a. Based on 10000 sampled tables with starting seed 926214481.
b. Kruskal Wallis Test
c. Grouping Variable: perlakuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran 15

Hasil Uji Statistik Penilaian Organoleptik terhadap Rasa Bakso Ikan Nila dari Tepung
Labu Kuning

Hasil uji rasa bakso ikan A1,A2 dan A3

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Penilaian rasa bakso ikan A1 .300 30 .000 .749 30 .000
Penilaian rasa bakso ikan A2 .277 30 .000 .774 30 .000
Penilaian rasa bakso ikan A3 .293 30 .000 .769 30 .000
a. Lilliefors Significance Correction

Hasil Uji Kruskall Wallis

Test Statisticsb,c
Penilaian rasa
bakso ikan
Chi-Square .256
df 2
Asymp. Sig. .880
Monte Carlo Sig. .875a
Sig. 95% Confidence Lower
.869
Interval Bound
Upper Bound .882
a. Based on 10000 sampled tables with starting seed 1314643744.
b. Kruskal Wallis Test
c. Grouping Variable: perlakuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran 16
Hasil Uji Statistik Penilaian Organoleptik terhadap Tekstur Bakso Ikan Nila dari
Tepung Labu Kuning

Hasil uji tekstur bakso ikan A1, A2 dan A3

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Penilaian tekstur bakso ikan A1 .423 30 .000 .626 30 .000
Penilaian tekstur bakso ikan A2 .423 30 .000 .597 30 .000
Penilaian tekstur bakso ikan A3 .407 30 .000 .656 30 .000
a. Lilliefors Significance Correction

Hasil uji Kruskall Wallis


Test Statisticsb,c
Penilaian tekstur
bakso ikan
Chi-Square .040
df 2
Asymp. Sig. .980
Monte Carlo Sig. .988a
Sig. 95% Confidence Lower
.986
Interval Bound
Upper Bound .990
a. Based on 10000 sampled tables with starting seed 624387341.
b. Kruskal Wallis Test
c. Grouping Variable: perlakuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lampiran 17
Dokumentasi Penelitian

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 1. (a) Labu kuning (b) Labu kuning yang sudah dikupas
(c) ikan nila (d) fillet ikan nila

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(a) (b)
Gambar 2. (a) Labu kuning parut sebelum dikeringkan (b) Labu kuning yang sudah kering

Gambar 3. Penghalusan labu kuning menjadi tepung labu kuning menggunakan blender

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4. (a) Sampel dan perlengkapan uji hedonik (b) Memberikan pengarahan kepada
panelis (c) dan (d) Panelis memberikan penilaian terhadap ketiga sampel

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai