Anda di halaman 1dari 22

DINAMIKA ISLAM INDONESIA DI ERA SARACEN

Oleh: Anas Shafwan Khalid


NIM: 31171200000049
Email: anassafwankhalid@gmail.com

Abstrak:
Kajian kawasanislamdi dunia sudahberkembang. Namun, Indonesia
belummenjadikajianserius, selainmenjadibagiandari Islam Asia
Tenggara. Makalahinimenyajikandinamikaislam di Indonesia, yang
dikenaldenganIslam Nusantara atau Islam Berkemajuan,
dalammenghadapiinfiltrasiideologiradikaldalamkonstalasipolitikPilkada
Jakarta 2017. Dalampandanganpenulis,
dinamikapolitikislaminisekaligusmenandaifasebarubagiislam
Nusantara.Kemajuanteknologiinformasimenjadipeluangsekaligustantan
ganbagieksistensi Islam Nusantara yang moderat,
ramahdanmengafirmasikehidupan multicultural.

Kata kunci: Islam Nusantara, MUI, Pilkada DKI, Saracen

A. Pendahuluan
Islam merupakan agama rah}matan li al-‘a>lami>n, agama
yang selalu s}a>lih} li kulli zama>n wamaka>n[relevan sampai kapan
pun dan di mana pun]. Bahkan, syariatnya meliputi berbagai lini
kehidupan, mulai dari tata cara makan hingga tata pemerintahan,
tentang praktik ekonomi individual hingga ke level nasional dan
internasional. Dari kenyataan itu, sejarah mencatat banyak teori lahir
bahkan menjadi disiplin ilmu secara tersendiri. Sejarah pun mencatat
kegemilangan Islamdalam membangun peradaban.1
Relasi Islam dan kehidupan sosial masyarakat menjadi tak
terpisahkan. Terutama di Indonesia yang mayoritas rakyatnya beragama
Islam.Budaya dan nilai-nilai Islam mengakar dan terserap dalam
budaya daerah dan budaya nasional. Sejarah perjuangan dan
kemerdekaan bangsa Indonesia pun tidak lepas dari kiprah pejuang

KH.
1
SaifuddinZuhri, Sejarah Kebangkitan Islam
danPerkembangannya di Indonesia, Bandung: Penerbit PT Al-Ma’arif, 1981,
hal. 8
muslim, baik dalam sejarah perjuangan daerah,seperti perang Aceh,
Perang Jawa dan lain-lain, maupun dalam lingkup sejarah nasional. 2
Dalam bidang politik, sejarah mencatat perumusan landasan
bernegara dalam Sidang BPUPKI maupun PPKI, yang berisi
perdebatan antara kelompok muslim dan kelompok nasionalis non-
muslim, di mana kelompok pertama menginginkan Islam sebagai dasar
negara, dan kelompok kedua menginginkan Pancasila, sebuah dasar
negara yang dianggap “sekuler.” 3 Perdebatan itu berlanjut pada dekade
berikutnya, yaitu melalui sidang Badan Konstituante, di mana tidak
diperoleh kata sepakat oleh kedua belah pihak sehingga mendorong Ir.
Soekarno menetapkan Dekrit Presiden pada 1959, yang memunculkan
sikap pro dan kontra dari kalangan muslim.4
Tidak saja melalui perdebatan dan adu argumentasi di
parlemen, perbedaan pendapat antara kelompok muslim dan nasionalis
juga mewujud dalam gerakan bersenjata, di mana DI/TII, dan sejumlah
partai muslim seperti Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia
menggencarkan pemberontakan melalui PRRI dan PERMESTA pada
1958-1959, yang berujung pada penangkapan sejumlah tokoh seperti
Kartosuwiryo dan M. Natsir, dan berbuntut pembubaran partai
Masyumi dan semua yang terlibat dalam upaya makar tersebut. 5
Demikian pengalaman Indonesia pada dekade 50-an.
Meski tidak sampai mengangkat senjata melawan pemerintahan
yang sah, fenomena gerakan Islam Politik yang berskala nasional, yaitu
Aksi Bela Islam I, II dan III di akhir 2016 dan awal tahun 2017, seakan
mengulangi logika partai-partai Islam pada dekade 50-an; di mana
sekelompok umat Islam berkeberatan atas pencalonan seorang Non-
2
KH. SaifuddinZuhri, Almaghfurlah KH. Abdul Wahab Chasbullah:
BapakdanPendiriNahdlatul Ulama, Jakarta: PenerbitYamunu, 1972, hal. 39
3
KH. SaifuddinZuhri, Almaghfurlah KH. Abdul Wahab Chasbullah,
hal. 71
4
Anas Shafwan Khalid, KritikNalarFiqhSiyasah: Kontribusi KH.
Abdul Wahab ChasbullahdalamSidangKonstituante 1956-1959, Jakarta:
Impressa Publishing, 2013, hal. 155.
5
DeliarNoer, Partai Islam di Pentas Nasional, Jakarta: Grafiti Press,
1987, hal. 362. Adu argument dalam Badan Konstituante tidak hanya
menampilkan pandangan kaum sekuler melawan kaum muslim, tetapi juga
antar kelompok Islam tradisional versus Islam modernis. Dalamhalinipolitik
Islam sangat kental dengan fiqh siyasah, baikdalam pengertian politik oleh
umat Islam, sekaligus sebagai politik yang didasarkan pada nash-nash Al-
Quran dan hadits. Hal itu terlihat dalam pandangan Moh.
NatsirdanbeberapatokohmuslimutamanyadariPartaiMasjumidanPartai NU.
Baca juga Anas Shafwan Khalid, KritikNalarFiqhSiyasah,hal. 175.

1
Muslim sebagai Gubernur DKI Jakarta. 6 Tentu yang menarik bukan
soal siapa yang diterima dan ditolak atau siapa yang menang dan kalah
dalam kontestasi politik tersebut. Melainkan jargon-jargon politik serta
argumen-argumen yang diusung, yaitu bahwa syarat seorang pemimpin
adalah harus seorang muslim. Tak pelak, QS. Al-Ma’idah: 51 menjadi
dalil politik yang menggerakkan ribuan bahkan jutaan umat Islam
bergerak ke Ibu Kota dalam aksi damai yang berjilid-jilid, terhitung
sejak akhir tahun 2016 hingga Maret 2017.7
Menurut M. AS. Hikam, gelombang aksi damai tersebut
merupakan aspirasi politik umat Islam, namun mengarah pada
mobokrasi, yang berarti memaksakan pendapat dengan mengerahkan
massa ke jalanan sehingga memengaruhi proses hukum bahkan
mengabaikan demokrasi.8 Jika pergerakan tahun 1950-an menekan
dengan membangun kekuatan politik dan militer di wilayah pinggiran,
Sumatera dan Sulawesi, maka Aksi Bela Islam justru menekan
langsung di jantung pemerintahan, Jakarta.
Tulisan ini akan menjadikan fenomena aksi bela Islam sebagai
cermin dinamika Islam di Indonesia. Sekalipun penulis sangat
menyadari bahwa dinamika Islam sebagai totalitas kehidupan beragama
tidak dapat dikerutkan pada aspek politik kekuasaan semata. Namun,
gerakan Islam politik yang berhasil menumbangkan petahana Gubernur
DKI ini bisa memberikan gambaran tentang 1) pemahaman masyarakat
tentang doktrin agama, khususnya dalam bidang politik; 2) pengaruh
perkembangan teknologi informasi bagi mobilisasi agama untuk
kepentingan politik; dan 3) tentang pergeseran karakteristik Islam
politik di Indonesia.

6
Peristiwadankasuspolitikinibermulaketika Basuki TjahjaPurnama
yang menjabatGubernur DKI Jakarta waktuitumenyinggung QS. Al-Maidah:
51 yang kerapdigunakansebagaidaliltentangpemilihanpemimpinmuslim.
Dalilini juga dikemukakanoleh M. Natsirdalamsidangkonstituante.
Mengingatdirinyasebagai non-muslim, Basuki dipandangmenistakan Al-
Quran. Namun, kasusiniberkembangsebagaiperistiwapolitik, tentang larangan
memilih pemimpindarikelompok non-muslim,
danbahwasyaratseoangpemimpindalamfiqhsiyasahharusseorangmuslim.
7
Aksidamai yang tergolongbesardalamkasusiniadalahperistiwa 411 (4
November 2016), 212 (2 Desember 2016) dan 313 (3 Maret 2017). Aksi-
aksidamai yang
bergelombangtersebutmemperolehkontekspolitiknyakarenadilaksanakanmenyo
ngsongpemilihanGubernur DKI pada 15 Februari 2017 dan 19 April 2017.
8
As-Hikam:Demokrasi Yes Mobokrasi No dalam
Politik.rmol.co/read/2016/11/29/270398/As-Hikam:Demokrasi-Yes-
Mobokrasi-No!- diaksespada 2 Juli 2017

2
B. Pergeseran Lanskap Muslim Indonesia
Realitas politik dalam negeri, khususnya politik umat Islam,
menandakan adanya pergeseran tipologi dan klasifikasi tentang Islam
politik. Jika sebelumnya umat Islam digolongkan menjadi kelompok
modernis-reformis berhadapan dengan kubu tradisional 9, sekarang
klasifikasi yang muncul adalah 1) kubu reformis yang diwakili oleh
FUI dan MUI; 2) kubu Refolusioner yang diwakili MMI dan KPPSI
(Komite Persiapan Penerapan Syariat Islam) dan PKS; 3) kubu
revolusioner yang diwakili HTI, KMII dan FPI 10. Artinya pergeseran ini
mengindikasikan gerakan IslamPolitik di Indonesia semakin bergerak
ke arah Islam garis keras.
Dalam pengamatan Moh Nor Ichwan (2017), pergeseran ini
ditandai dengan masuknya beberapa unsur Islam radikal ke dalam
tubuh MUI, sebuah lembaga peninggalan Orde Baru yang menjadi
muara bagi organisasi-organisasi kemasyarakatan muslim, yang kala itu
menjadi badan legalisasi bagi ide-ide
pembangunandankebijakanRezimSoeharto. Masuknya KH. A. Cholil
Ridwan (DDII), Adian Husaini (KISDI), Muhammad al-Khattat (FUI),
Bachtiar Nasir, Lc, Dr. Adnin Arnas, dan Dr. Zaitun Rasmin (MIUMI),
serta beberapa unsur dari HTI, mempertegas watak MUI yang
“mengeraskan yang terlalu lunak.11”
Bahkan, meski di dalamnya masih terdapat tokoh-tokoh
progresif seperti Azyumardi Azra dan Nazaruddin Syamsudin, Moqsith
Ghazali, Zastrow al-Ngatawi dan Khamami Zada, di saat bersamaan
dimunculkan fatwa tentang keharaman sepilis (sekularisme, pluralisme
dan liberalisme) yang secara tidak langsung merontokkan otoritas
tokoh-tokoh progresif ini dari status ke-MUI-annya. Singkat kata, fatwa
tentang sepilis ini melemahkan fungsi MUI sebagai “melunakkan yang
terlalu keras.”
9
Lili Romli, “Partai Islam danPemilih Islam di Indonesia,”
JurnalPenelitianPolitik, Vol.l No. 1 2004, hal. 29-48. Baca juga
YusrilIhzaMahendra yang menjelaskan Masyumi dan Partai Jama’at al-Islami
selalu dalam bingkai perbandingan dengan partai-partai Islam tradisional.
YusrilIhzaMahendra, ModernismedanFundamentalismedalamPolitik Islam
(PerbandinganPartaiMasyumi Indonesia danPartaiJama’at al-Islami
Pakistan), (Bandung: Mizan, 1998) hal. 52.
10
Mohammad Iqbal Ahnaf, “TigaJalan Islam Politik di Indonesia:
Reformasi, RefolusidanRevolusi,” dalamWawasan: JurnalIlmiah Agama
danSosialBudaya 1, 2 (Juli) 2016: 127-140.
11
Moch Nur Ichwan, “MUI, Gerakan Islamis dan Umat
Mengambang,” dalam Maarif Vol. 11, No. 2 – Desember 2016. Hal. 91-92.

3
Keberadaan KH. Ma’ruf Amin, sebagai Ketua Umum MUI,
sekaligus Rais Am PBNU, yang mana secara institusional melarang
keterlibatan jamaahnya, baik secara personal maupun secara
kelembagaan, dalam gelombang aksi damai, pun tidak mampu menolak
“laporan dan desakan” dari “masyarakat.” 12 Artinya, peranan NU dan
Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia telah
dimatikan geraknya oleh kelompok-kelompok reformis-refolusioner
dan revolusioner dengan beragam cara.
Akibatnya radikalisme politik Islam tidak dipandang lagi
sebagai sebuah tabu, apalagi dipahami sebagai makar terhadap
kepemimpinan yang sah, justru sebaliknya diposisikan sebagai aksi
heroik, menjadi pop culture bagi keberislaman di Indonesia dewasa ini.
Lebih dari itu, sikap apa pun dan oleh siapa pun yang bertentangan
dengan mainstream baru ini, akan dikecam sebagai anti Islam. NU
diasosiasikan dengan syi’ah,13tokoh Muhammadiyah dengan sebutan
penjilat14dan pemerintah dengan kepemimpinan yang thaghut dan
despotis.15
12
Tidak mengherankan jika fatwa MUI yang dikawal oleh GNPF pada
dasarnya bertolak belakang dengan sikap NU yang dipimpin oleh KH. Ma’ruf
Amin. Mengingat fatwa tersebut merupakan produk lembaga, yang meski
bersifat pendapat namun dinilai lebih kuat dari sekadar fatwa.
www.tabloidbintang.com/articles/berita/peristiwa/59261-sidang-ahok-ini-
kesaksian-keua-muimaruf-amin&ei=7kb-Jmib&lc (diakses pada 11 Oktober
2017) baca juga Moch Nur Ichwan, “MUI, Gerakan Islamis dan Umat
Mengambang, hal. 96.
13
Dalam pandangan Habib Luthfi bin Yahya, Ketua Jam’iyyah Ahlth
Thoriqoh Al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah (JATMAN), identifikasi NU sebagai
syi’ah dikarenakan para ulama (Kiai) NU merupakan keturunan Walisongo
yang secara nasab bersambung dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib KW
(pemimpin syi’ah). Tujuannya agar orang tidak lagi percaya kepada ulama dan
walisongo, sehingga ada penggalan sejarahnya yang hilang. Dengan demikian
akan mudah dihancurkan. Selain itu, isu syi’ah ini digencakan dalam rangka
memecah persatuan para kiai dan habaib. www.nu.or.id/post/read/72474/
kenapa-isu-syiah-disebar-inilah-penjelasan-habib-luthfi (diakses pada 11
Oktober 2017).
14
“baru diajak makan malam saja sudah ngeloyor” begitu ungkapan
yang dialamatkan kepada Buya A. Syafii Maarif saat menyebut bahwa Ahok
tidak bersalah. Baca: Ahmad Syafii Maarif, “Tidak Mengutuk, Malah dikutuk”
Republika, 25 Oktober 2016.
15
Selain Jokowi disebut sebagai amirul musyrikin (pemimpin orang-
orang musyrik) Pancasila dan UUD 1945 disebut sebagai thaghut akbar.
https://Justpaste.it/IS_VS_NKRI. Diakses pada 11 Oktober 2017. Selain itu,
kedekatan Jokowi dengan Ahok yang berasal dari etnis Tionghoa dikaitkan

4
Meski beberapa pengamat menyatakan bahwa Islam Indonesia
(Islam Nusantara versi NU atau Islam Berkemajuan versi
Muhammadiyah) yang menekankan bentuk keislaman yang ramah dan
moderat terlalu besar untuk dikalahkan oleh kepentingan politik
praktis.16Namun, bukan tidak mungkin logika dan strategi politik
wacana seperti aksi bela Islam ini dipelihara dan dikembangkan di
berbagai kontestasi politik di masa-masa mendatang (pilpres 2019,
misalnya).
Dalam pandangan penulis, meski lanskap muslim tidak banyak
berubah, namun reputasi radikalisme dan radikalisasi agama merebut
opini publik sebagai sesuatu yang heroik dan menjadi alternatif saat
mengalami kebuntuan dalam perdebatan di parlemen. 17Dengan kata
lain, radikalismedanradikalisasimenjadibahayalaten yang
padasaatnyaakanmembahayakan, atausaatmenemukan momentum
serupaPilkada DKI 2017, bisamengancampluralisme di Indonesia.

Saracen: Public Culture dan Oligarki Kekuasaan


Kasus penistaan agama yang melatarbelakangi peristiwa Aksi
Bela Islam I, II dan III tidak akan pernah terjadi tanpa keterlibatan Buni
Yani yang mengedit video pidato Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dalam
sosialisasi pemberdayaan ikan kerapu di Kepulauan Seribu. 18 Hasil
editan itu kemudian mendapat respon yang tak terkira, hingga
melahirkan sebuah gerakan, baik di dunia nyata berupa Aksi Bela Islam

dengan kerjasama RI dan Republik Rakyat Tiongkok yang menganut paham


komunisme. Ari Ganjar Herdiansah, Junaidi, dan Heni Ismiati, “Pembelahan
Ideologi, Kontestasi Pemilu, Dan Persepsi Ancaman Keamanan Nasional:
Spektrum Politik Indonesia Pasca 2014?” dalam Jurnal Wacana Politik Vol. 2,
No. 1, Maret 2017: 61 - 73
16
Mohammad Iqbal Ahnaf, “Aksi Bela Islam,” Akankah Mengubah
Lanskap Muslim Indonesia?’ Dalam Maarif Vol. 11, No. 2 – Desember 2016.
Hal. 30
17
Kesimpulan ini sejalan dengan pertimbangan Muhammad AS
Hikam, menurutnya, kendati belum mengkristal menjadi kekuatan politik yang
riil, kecenderungan garis keras ini telah berhasil melakukan konsolidasi dan
mobilisasi politik dalam bentuk-bentuk penyebaran visi primordialisme,
sektarianisme dan aksi-aksi massa, dan tentu sasaran utamanya adalah Pilpres
2019. Baca: https://mobile.facebook.com/story.php?story_fbid=10210767328
683061&id=1345432199&_rdc=1&_rdr# (diakses pada 1 November 2017)
18
Ahmad Najib Burhani, “Aksi Bela Islam: Konservatisme dan
Fragmentasi Otoritas Keagamaan” dalam Maarif Vol. 11, No. 2 – Desember
2016. Hal. 17.

5
yang berjilid-jilid, maupun gerakan dunia maya, berupa perang wacana
antara “Teman Ahok” dan lawan politiknya.
Kenyataan ini jelas menggambarkan bahwa dinamika sosial-
politik dan keagamaan saat ini tidak lepas dari peran media cetak dan
media sosial, yang memberikan penekanan-penekanan pada beberapa
kasus sesuai dengan kepentingan pemilik media. 19 Bahkan, di saat
teknologi informasi mengalami kemajuan yang sangat pesat seperti saat
ini, demokrasi merambah ke dunia maya. Semua orang berhak
berbicara, semuanya berhak menjadi narasumber dan mewartakan
berita, terlebih melalui beragam media sosial.
Berita-berita yang disampaikan di media sosial tidaklah sama
dengan berita media massa. Tidak ada aturan jurnalistik, sehingga
berita yang disampaikan tidak selalu menyampaikan fakta, dan berhenti
pada sebatas opini, analisa atau yang disebut sebagai news in making.20
Di satu sisi, perkembangan dunia informasi seperti ini bisa dihargai
sebagai media alternatif yang menyediakan beberapa sudut pandang
yang tidak mainstream, tapi di saat bersamaan menjadi cikal bakal dari
berita-berita palsu atau hoax.
Pertumbuhan media-media indi ini ternyata tidak saja menjadi
fenomena dalam dunia teknologi informasi dan jurnalistik, melainkan
menjadi bisnis yang kemudian mendapatkan pasarnya sendiri, menjadi
sebuah industri berita palsu, atau sindikat penebar kepalsuan. Saracen, 21
yang sudah terendus oleh pihak kepolisian, hanya satu dari beberapa
sindikat serupa.

19
Handy Martinus, “Analisis Perilaku Pemilih Pada Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta Periode 2012-2017” dalam HUMANIORA Vol.4 No.1
April 2013: 58-70
20
Dalam idealisme kompasiana, jurnalisme mestinya tidak menjadi
dominasi para jurnalis, yang menyorot peristiwa hanya dari aspek jurnalistik
atau setidaknya satu disiplin keilmuan yang menjadi spesialisasinya.
Menurutnya, Kompasiana merupakan media alternatif yang memungkinkan
keterlibatan banyak pihak, berbagai perspektif dan beberapa model
pengungkapan. Pepih Nugraha, Kompasiana, Etalase Warga Biasa, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2013), hal. 56.
21
Padamulanya, Kata Saracen berasaldari Bahasa arab, syarqiyyin
(orang Timur) yang digunakanRomawiKunosebagaisuku Arab di Semenanjung
Sinai. Pada masa berikutnya, Saracen digunakanuntukmenyebut orang Arab
secarakeseluruhan. Sedangdalammakalahini, Saracen
digunakandalamartisindikatpenebarberitapalsu (hoax) dalamkonteksPilkada
DKI 2017. http://banjarmasin.tribunnews.com/2017/08/26/inilah-arti-dan-
sejarah-kata-saracen-sesungguhnya (diaksespada 12 Desember 2017)

6
Lebih jauh tentang Saracen, sindikat ini memiliki lebih dari 800
ribu akun dari beberapa media sosial dalam menyebarkan ujaran
kebencian kepada lawan politik atau kepentingan para pemesan. 22
Bisnis berita palsu dan ujaran kebencian ini cukup menjanjikan, dengan
rata-rata tarif 75-100 juta rupiah per berita. 23
Berkaitan dengan kasus pilkada DKI, keterlibatan sindikat
serupa ini memberikan efek luar biasa bagi eskalasi gerakan yang
mampu menghadirkan ratusan ribu bahkan jutaan umat Islam, dari
dalam dan luar Jakarta. 24 Efek kebencian itu lebih besar dari persona
seorang Habib Rizieq Syihab atau tokoh-tokoh penggerak Aksi Bela
Islam lainnya. Artinya, jika ditanya alasan datang ke Jakarta, mereka
akan menjawab, bukan karena faktor Habib Rizieq, melainkan faktor
kebencian kepada sang penista agama.25

22
Menurut Mentri Komunikasi dan Informatika, ujaran-ujaran
kebencian yang diviralkan oleh Saracen lebih dari sekedar hoax atau berita
palsu. Sebab, hoax berarti hanya menyebarkan berita yang tidak sesuai dengan
kenyataan. Sementara perbuatan sindikat Saracen ini menyisipkan tujuan untuk
mengadu domba suatu pihak dengan pihak lain melalui pemberitaan palsu
tersebut. Jadi tidak sekadar hoax. Kompas.com/read/2017/08/29/09125541/
mengapa-saracen-dinilai-lebih-dari-sekadar-penyebar-hoaks&ei=en-ID&s=
1&m=569 (diakses pada 11 Oktober 2017)
23
m.liputan6.com/amp/3073763/begini-pengakuan-ketua-saracen-
soal-tarif-ujian-kebencian (diakses pada 11 Oktober 2017)
24
Terbuktidaritemuantimbareskrimpolri, salah seorangpengelola
Saracen, Abdullah Harsono, menyimpan 2.800 foto yang
menyudutkanPresiden Jokowi. Iamengakugencarmengelolanyasejak 2015.
Selainmenyimpan, ia juga aktifmenyebarkan meme yang
sudahdieditdandiberitulisan yang menyudutkankebeberapaakunfacebook yang
iatangani. Di antaragrupituadalahKoalisi Merah Putih Indonesia Hebatdengan
89 ribupengikutdangrupAnies Sandi for DKI dengan 26 ribupengikut.
www.infopresiden.com (diakses 16 November 2017)
25
Kasus ini serupa dengan pengalaman di Pakistan tahun 2011, di
mana seorang Salman Taseer, Gubernur Provinsi Punjab, yang menentang
hukum penistaan agama dan akhirnya dibunuh. Kasusnya dilatarbelakangi oleh
hukuman mati terhadap seorang Asia Bibi, buruh batu bata beragama kristen
yang tidak sengaja minum dari gelas yang dipakai buruh muslim [warga
kristen dipandang kotor dan tidak sederajat]. Percekcokan yang bermuatan sara
ini membawa Asia Bibi ke hukuman mati. Namun, Salman Taseer menuntut
agara Bibi dibebaskan. Kemudian Taseer dibunuh oleh ajudannya sendiri,
Malik Mumtaz Qadri, yang kesal akan sikap Taseer, dengan 27 kali tembakan.
Atas peristiwa itu, Qadri dikenakan hukuman mati pada 29 Februari 2014.
Yang menarik adalah, prosesi pemakan Qadri dihadiri oleh ratusan ribu
peziarah. Ratusan ribu petakziyah ini tidak terdorong oleh kecintaan kepada

7
Kenyataan seperti ini tentu menjadi momentum bagi aktor-
aktor politik untuk memuluskan langkahnya, dengan melakukan
pembusukan terhadap lawan politiknya. Perhatikan khutbah Amien
Rais berikut: “Pernyataan Ahok tentang Al-Maidah ayat 51 itu adalah
‘momentum yang diberikan Allah kepada umat Islam’ untuk
mengalahkannya dalam Pilkada dan momentum kebangkitan umat
Islam.”26
Bukan hal yang mencengangkan jika berkembang isu bahwa
aksi-aksi bela Islam ini memiliki dua arah sekaligus, yaitu
menggagalkan Ahok dalam Pilkada DKI 2017 sekaligus sebagai upaya
merongrong kekuasaan Jokowi dari kursi Kepresidenan. Logika politik
kemudian bergulir bahwa aksi-aksi ini melibatkan lawan-lawan politik
Jokowi, mengarah pada elit-elit politik seperti Keluarga Cendana,
Keluara Cikeas atau justru kompetitor Jokowi dalam Pilpres 2014
silam, Prabowo Subiantoro.27
Logika hate speech yang digencarkan sindikat berita palsu
seperti Saracen ini bisa dikiaskan dalam kasus radikalisasi pemahaman
agama masyarakat melalui media sosial. Bukan hal yang tidak mungkin
ormas-ormas radikal yang disebut di atas memiliki tim cyber yang
menyasar generasi y dan z, yang lazim disebut warga dunia maya atau
generasi dunia maya (net gen). 28
Generasi net gen inilah yang melahirkan era mass self-mobile
communication. Jika pada era sebelumnya masyarakat hanya berskap
pasif dalam menerima pesan politik dari elite politik, maka di era
cybernet ini mereka mampu menyatakan pandangan, pernyataan dan

yang meninggal, tapi lebih karena kebencian kepada yang dibunuh


[“motivated not by love for the man who was dead but by hatred for the man
he killed”]. Made Supriyatna, “Mobilisasi Kebencian,” dalam
https://mojok.com/made-supriatna/esai/ mobilisasi-kebencian/ (diakses pada
11 Oktober 2017)
26
Ahmad Najib Burhani, “Aksi Bela Islam: Konservatisme dan
Fragmentasi Otoritas Keagamaan” hal. 19-20.
27
Tentang isu cairan dana dari keluarga Cendana baca tautan berikut:
http://www.infomenia.net/2016/12/terungkap-aktor-penyandang-utama-dana.
html (diakses 22 November 2017). Sedang terkait isu pendanaan aksi dari
keluarga Cikeas periksa tautan berikut: https://tirto.id/manuver-politik-di-
balik-aksi-demo-4-november-b1NX dan tentang keterlibatan Prabowo baca
tautan berikut https://tirto.id/investigasi-allan-nairn-ahok-hanyalah-dalih-
untuk-makar-cm2X
28
John L. Sullivan, Media Audiences Effects, Users, Institutions, and
Power. (USA: Sage, 2013).

8
sikap politik mereka secara bebas melalui media sosial. 29 Tentu saja
kebebasan ini akan menimbulkan efek negatif jika masyarakatnya
belum memiliki kemampuan literasi media yang baik, seperti terjadi di
Indonesia.
Menariknya, wacana yang berkembang dalam kisaran waktu
Oktober 2016 hingga Maret-April 2014 tidak hanya berfokus pada
ujaran kebencian kepada “common enemy” umat Islam, tetapi juga
tentang teologi kepemimpinan, diskursus fiqh tentang pemimpin non-
muslim, tafsir QS. Al-Maidah: 51, penghormatan kepada ulama dan
pengarusutamaan pada kedudukan keturunan Rasulullah Saw.
Persilangan wacana politik dan agama ini pada gilirannya
berhasil mengubah tradisi literasi menjadi penerimaan doktrin yang
sudah mengalami radikalisasi. Tidak menjadi soal apakah logika yang
berkembang benar atau salah, selagi sejalan dengan “hatred for the
man he killed” itulah yang diterima.Kemudian wacana menunggal,
tentang: pemimpin harus muslim; penolakan terhadap kaum minoritas,
dan otoritas keislaman yang diidentikkan dengan fundamentalisme-
radikal. Tentu hal ini menyalahi nilai-nilai kultural yang berlaku di
Nusantara selama berabad-abad.30
Sampai di sini, kita dapat merumuskan bahwa aksi bela Islam
mencerminkan dinamika sosial-politik-religius umat Islam sangat kuat
dipengaruhi oleh strategi perang media yang bermuara pada kekuasaan,
baik dalam tataran politik-praktis maupun dalam tataran kesadaran
kolektif tentang Islam Indonesia.

IslamIndonesia: Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan


Diskursus tentang Islam Indonesia atau lebih banyak dikenal
dengan Islam nusantara kembali mengemuka pada pertengahan 2015,
melalui acara peringatan Isra’ dan Mikraj, yang menampilkan
pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa. 31 Sebagian kalangan
protes mengingat Islam memiliki perangkat tentang tatacara dan
tatakrama pelafalan ayat-ayat Al-Quran, dan bahwa langgam Jawa

29
Arifina, Anisa Setya. (2015). Konstruksi Citra
PemimpinPolitikDalamSeniFotoKolaseDi Instagram. Tesis. Universitas
Indonesia. Hal. 3
30
Politik Islam Nusantara tidak mengenal dikotomi mayoritas-
minoritas maupun pribumi dan non-pribumi. Ahmad Baso, Pesantren Studies
4a: KhittahRepublikKaumSantridanKaderisasiRatu Adil
JuzPertamaTradisiIlmuPolitikPesantren, JaringandanPergerakannya se-
Nusantara, (Tangerang Selatan: PustakaAfid, 2013) hal. 217.
31
https://www.youtube.com/watch?v=pH_0ltT71tE

9
memberi kesan desakralisasi terhadap Al-Quran. 32 Sedang sebagian
lain, menganggap langgam itu merupakan warna dari keberislaman
yang khas nusantara.33
Istilah IslamNusantara juga menggema saat NU
mengangkatnya sebagai tema Muktamar ke-33 di Jombang pada
Agustus 2015. KH. Said Aqiel Siradj menjelaskan, istilah Islam
Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di
wilayahNusantara melalui pendekatan budaya, tidak dengan doktrin
yang kakudan keras.Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul
budaya, melestarikan budaya, menghormatibudaya, tidak malah
memberangus budaya. Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan
toleran. Dari pijakan sejarah itulah, NU akan terus mempertahankan
karakter Islam. Menurut Kiai Said, yang paling berkewajiban
mengawal Islam Nusantara adalah NU.34
Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1933, NU menggelar
Muktamar ke-11 di Banjarmasin yang menetapkan bahwa Indonesia
merupakan Da>r Sala>m(negeri damai),35sebuah istilah yang berbeda
32
Wakil Sekretariat Jendral Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku
Zulkarnaen mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal ganjil
terhadap nilai-nilai agama Islam. Apalagi, keganjilan itu membuat onar dan
melahirkan keresahan bagi masyarakat. Tengku menyarankan agar masyarakat
mengikuti pakem yang telah ada ketika membaca Alquran. Terkait dengan
keganjilan, Ia menerangkan nabi pernah berfirman terhadap hal tersebut.
“Barang siapa yang ganjil, maka nanti masuk neraka. Karena neraka khusus
untuk orang-orang yang ganjil.” https://www.dakwatuna.com/2015/05/18/
68773/baca-alquran-langgam-jawa-mui-jangannekat/#ixzz4z2wFQInf (diakses
pada 20 November 2017)
33
Dalam hal ini Prof. Dr. Quraysh Shihab berpendapat bahwa jika
qari dari Mesir membaca dengan cara yang berbeda dengan nada dan langgam
qari dari Saudi atau Sudan, maka qari dari Indonesia membacanya dengan
langgam yang berbeda, selama ketentuan tajwidnya telah terpenuhi? Sebab
Nabi saw. menganjurkan agar al-Qur’an dibaca dengan suara merdu dan
langgam yang baik, tanpa menentukan langgam tertentu? Jika langgam Jawa
dinilai baik dan menyentuh bagi orang Jawa atau Bugis bagi orang Bugis, dan
lain-lain, maka bukankah itu lebih baik selama ketentuan bacaan telah
terpenuhi? https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-kata-quraish-shihab-
tentang-baca-alquran-pakai-langgam-jawa.html
34
Heyder AffanWartawan BBC Indonesia, “Polemik di balik istiIah
'Islam Nusantara”
dalamhttp://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015
/06/150614_indonesia_islam_nusantara(diakses pada 1 November 2017)
35
Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan
Fiqh dalam Politik (Jakarta: Gramedia, 1994), 109-110.

10
dari istilah-istilah teknis dalam fiqh siyasah yang sangat identik dengan
sistem kekhilafahan:da>r Isla>mvs da>r al-h}arb.
Lebih jauh ke belakang, pada tahun 1871, Syeikh Ibrahim bin
Husen Buengcala (Kuta Baro, Aceh) meramalkan:

“Negeri Bawah Angin [Nusantara] istimewanya akan lepas


daripada tangan Holanda [Belanda], sesudah Cina bangsa lukid
[mata sipit, maksudnya bangsa Jepang] masuk. Maka Insya
Allah Ta’ala pada tahun Hijrah 1365 [yakni tahun 1945
Masehi] lahir satu kerajaan yang adil-bijaksana dinamakan
kerajaan al-jumhuriyyah al-Indunesia yang sah...” 36

Ramalan ulama Aceh ini merupakan visi politik Islam


nusantara, yaitu terbentuknya sebuah republik Indonesia, bukan
kesultanan ataupun negara Islam yang diidealkan oleh kelompok garis
keras. Bagi Ahmad Baso, kedua fakta sejarah ini merupakan dalil yang
melegitimasi Islam Nusantara, berupa ijtihad dan ijma’ ulama. 37
Menurutnya, Islam Nusantara bukan sekadar nama bagi kawasan Islam.
Islam Nusantara memiliki basis epistemologis yang jelas, sumber yang
jelas bersambung kepada Rasulullah dan memiliki manhajyang
memungkinkannya bersifat fleksibel dan mampu menampilkan Islam
yang ramah.
Fleksibilitas itu dibangun dari prinsip ‫الح‬Z‫ديم الص‬ZZ‫ة على الق‬ZZ‫المحافظ‬
(melestarikantradisi yang relevan) dan‫لح‬ZZZZZZ‫د األص‬ZZZZZZ‫ذ بالجدي‬ZZZZZZ‫األخ‬
(mengadopsinilaibaru yang lebihproduktif)
keduaprinsipinimembuatwajahIslam Indonesia berbedadariwajahIslam
Arab, baikdalambidangpolitik, ekonomi,
budayatermasukdalamperkembangandiskursuskeagamaannya.
Atasdasarperbedaanini, sebagiangolonganmenyebutIslam Nusantara
sebagaiIslamhistorisdalampengertianbukanIslam yang kaafah. Namun,
bagisebagianlainnya, historisitasitujustrumenandakandialektika nilai-

36
Dikutip dalam Ahmad Baso, Islam Nusantara Iijtihad Jenius &
Ijma’ Ulama Indonesia, Jilid 1 (Dialog-dialog Santri-Kiai tentang Studi Islam
dan kajian ke-Indonesia-an dari PBNU [Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika,
NKRI dan UUD 1945] untuk Dunia) (Tangerang: Pustaka Afid, 2015), 250-
251.
37
Meski tidak berdalil Al-Quran dan Sunnah, Ijma’ juga merupakan
dalil dan sumber ajaran islam. Menurutnya, Ijtihad dan Ijma Ulama Nusantara
ini merupakan legitimasi bagi keberadaan dan perkembangan Islam Nusantara.
Ahmad Baso, Islam Nusantara, 9

11
nilai islam dengan nilai-nilai kultural yang mengakar di tengah
masyarakat.38
Prinsipkeduainilah yang mempertemukan NU dan
Muhammadiyah, yang
mengusungIslamBerkemajuan.39TitiktemuinimenekankanpadawajahIsla
m yang progresif, dinamisdanselalukontekstual. Kedua ormas ini
meyakini, meskibentuknyatidaksama, nafasdanruhnyamasihtetapIslam.
Justeru, dengantampilanbaruini, Islam Indonesia
lebihmampumenampilkanIslam yang
rahmatanlilalamin.Makaberlakukaidah‫ائل حكم المقاصد‬ZZZZZ‫للوس‬bahwabentuk-
bentuk “historis” inisamakualitasnyadenganbentukmulanya, di Arab.
Paling kurang terdapat dua peran yang bisa dimainkan oleh
Islam Indonesia.Jika Gus Dur mencirikan “Kawasan Islam” sebagai
proses saling mengambil antara ajaran-ajaran formal agama dengan
aspek-aspek kehidupan budaya,40 maka IslamIndonesia sudah
mencukupi syarat terminologis untuk kategori kawasan Islam. Ini
menjadi peran pertama Islam Indonesia, sebagai alternatif model
keislaman.41
38
Dalam pandangan KH Mustofa Bishri, istilah Islam Indonesia sama
polanya dengan “air gelas,” maknanya air yang di gelas, bukan air dari gelas,
atau gelas dari air. Jadi, Islam Nusantara adalah Islam yang ada di Indonesia
dari dulu hingga sekarang yang diajarkan Walisongo. Walisongo memiliki
ajaran-ajaran Islam yang mereka pahami secara betul dari ajaran Kanjeng Nabi
Muhammad SAW. Walisongo tidak hanya mengajak bil lisan, tapi juga bil hal,
tidak mementingkan formalitas, tetapi inti dari ajaran Islam,” http://www.
sarkub.com/penjelasan-kh-mustofa-bishri-mengenai-islam-nusantara/
39
Tema Islam Berkemajuan juga muncul sebagai tema Muktamar,
yang digelar oleh PP Muhammadiyah di Makassar pada tanggal 3-7 Agustus
2015. Dengan mengusung tema Muktamar, Gerakan Perubahan Menuju
Indonesia Berkemajuan. Saiful Mustofa, “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk
Islam Berkemajuan;Melacak Akar Epistemologis dan Historis Islam (di)
Nusantara,” dalam Epistemé, Vol. 10, No. 2, Desember 2015, 410
40
Gus Dur menyebutkan beberapa kawasan Islam yang patut dikaji,
dan bahwa seharusnya kajian keislaman diorientasikan pada kajian kawasan
(area studies). Kawasan-kawasan itu antara lain: Kawasan Islam Afrika Utara
dan negara-negara Arab, kawasan Islam Afrika Hitam, Kawasan Islam Turki-
Persia-Afghanistan, Kawasan Islam Asia Selatan, Kawasan Islam Asia
Tenggara, dan Kawasan Masyarakat minoritas Islam berindustri maju.
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Agama Masyarakat
Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006) 264.
41
MujamilQomar, “Islam Nusantara: SebuahAlternatif Model
Pemikiran, Pemahaman, danPengamalan Islam,” dalamel Harakah Vol.17
No.2 Tahun 2015.

12
Karakter Islamnusantara sebagai Islam yang moderat, yang
tercermin pada berkembangnya pluralisme mazhab, gairah ijtihad qawli
dan manhaji, didukung oleh Pancasila yang memungkinkan keberadaan
dan pertumbuhan keragaman nilai42; membuat Islam Indonesia terlepas
dari konflik yang melanda Timur Tengah dan imun terhadap bahaya
radikalisasi. Kenyataan ini membuktikanbahwa Islam di Indonesia
layak menjadi objek kajian tersendiri, baik secara ontologis,
epistemologis maupun epistemologis.
Peran kedua, menempatkan Islam Indonesia sebagai aktor
utama dalam persilangan budaya di era dunia global. Meminjam istilah
Daud Joesof, it is not our human nature that is universal, but capacity
to create cultural realities, and then to act in terms of
them.43BagiDaudJoesoefgeokulturmerupakan salah
satudayatahannasionaldarigempuran era globalisasidalamsegalabidang.
Berdasarkanlogikaitu, posisi kultur keislaman
[dialektikanilaikeislamandan kultur Indonesia,
dalambentukIslamnusantaradanIslamberkemajuan] akan lebih produktif
jika dijadikansebagaibasis pengembanganaspek-
aspekkehidupanmasyarakat, misalnyageopolitik, georeligius,
geoekonomidansebagainya.Bukantidakmungkininimerupakan faktor
utama yang menyebabkan Indonesia, denganjumlahmuslimterbesar di
dunia, jutsrujauhdarikonflikatasnama agama, sepertiterjadi di Timur
Tengah.
Contoh historis disposisi Islam Nusantara sebagai aktor utama
dalam dinamika sosial, adalah ijtihad ulama NU pada 1933 yang
menyebut Indonesia sebagai da>r sala>mdan menganugerahkan gelar
waliy al-amri al-d}aru>ri> bi al-shawkahkepada Presiden
Soekarnopada tahun 1953.44 Keduanya bukan hanya bentuk kejeniusan
para ulama yang turut mewarnai dunia keislaman. Ijtihad tersebut
sekaligus menjadi upaya men-counter masuknya ideologi Islam garis
keras yang hendak memaksakan syariat Islam sebagai dasar
negara,45seperti mengemuka dalam sidang konstituante dan diwujudkan
42
Muhammad Guntur Romli, Islam Kita Islam Nusantara, Lima Nilai
Dasar Islam Nusantara, (Tangerang Selatan: Ciputat School, 2016) 75-140.
43
Daud Joesoef, Studi Strategi, Logika Ketahanan dan Pembangunan
Nasional, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2014) 48
44
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967, terj.
Farid Wajidi, cet. III (Yogyakarta, LkiS, 2007), hal. 182.
45
Logika yang dibangun oleh kelompok radikal ini tidak jauh berbeda
dari logika yang mengemuka pada pilkada DKI Jakarta 2017. Yakni, klaim
kebenaran dan bahwa kelompok yang anti diposisikan sebagai anti-islam. Baca
misalnya, ulasan pidato M. Natsir, Isa Anshari, dan Zainul Abidin Sjoe’aib

13
secara nyata dalam bentuk gerakan bersenjata, bahkan dengan
mendirikan negara tandingan.46
Untuk itu, penyebutan da>r isla>m bersifat sangat strategis,
pertama, sebagai legitimasi Islam Nusantara untuk menolak gerakan
separatis yang mengatasnamakan Islam, bahwa Indonesia tidak bisa
menerima ideologi ekstrimis, lebih-lebih sebagai dasar negara. Kedua,
legitimasi itu berasal dari argumen ijtihad yang tidak kalah islami-nya
dibanding logika keislaman yang dikemukakan oleh kaum separatis.
Demikian pula penganugrahan gelar kepada Bung Karno
merupakan langkah strategis. Pertama, untuk menyebut pemerintahan
yang resmi berhaluan Islam Nusantara, mengingat gelar waliyy al-
amridiberikan tidak dalam konteks negara Islam (da>r isla>m). Kedua,
di lain pihak Islam Nusantara berhadapan dengan komunisme yang saat
itu berpotensi menunggangi pemerintahan untuk menggebuk kaum
separatis berkedok Islam, sehingga memunculkan kesan bahwa
komunisme merupakan rezim yang sah, memberi sanksi kepada umat
Islam yang bersikap makar.47
Namun, pengalaman di atas terjadi pada dasawarsa 30-an dan
50-an.Meski motif, teknis dan tujuannya sama dengan radikalisasi pada
akhir tahun lalu, namun strategi untuk menghadapinya sama sekali
tidak bisa disamakan. Pertumbuhan teknologi dan media komunikasi
tidak bisa diabaikan. Bahkan organisasi masyarakat yang menjadi
representasi Islam Indonesia (NU-Muhammadiyah) dibunuh
karakternya dan dibuat kewalahan menghadapi kelompok minoritas
radikal.

dalam Anas Shafwan Khalid, Kritik Nalar Fiqh Siyasah, 136-149.


46
Yang menarik adalah, selain memiliki presiden tandingan, yaitu
Syafrudin Prawiranegara, PRI juga memiliki asas konstitusi layaknya
Pancasila yang terdiri dari: 1) Keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa
sebagai tali pengikat; 2) Melindungi dan menghormati hak-hak asasi
mannusia; 3) Pemerintahan diselenggarakan secara musyawarah dan
demokrasi; 4) Bentuk masyarakat secara federasi; 5) Solidaritas dengan
sesama bangsa di dunia. Baca: Badruzzaman Busyairi, Boerhanoeddin
Harahap, Pilar Demokrasi (Jakarta: Bulan Bintang, 1989) 153-155, baca juga
Siliars Harvaey, Pemberontakan Kahar Muzakkar, Dari Tradisi ke DI/TII,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989) 260-278.
47
Perhatikan pandangan KH. Idham Chalid (Ketua PBNU waktu itu
sekaligus Wakil Perdana Mentri bagian Keamanan) dalam Arief Mudatsir
Mandan (Ed.), KH. Idham Chalid, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid
Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu,
2008), 166-167.

14
IslamIndonesia dan Literasi Media
Menyebut NU dan Muhammadiyah tidak membela Islam,
menghambat atau melarang warganya ikut aksi bela islam memiliki dua
arah sekaligus, yaitu melucuti otoritas keduanya sebagai ormas yang
berdasarkan islam, kedua meneguhkan otoritas penyelenggara,
pembakar semangat dan pemimpin aksi bela islam sebagai Pembela
Islam, imam besar umat Islam dan sebagainya. Inilah yang dimaksud
dua sisi demonisasi dan glorifikasi. 48
Strategi itu berjalan mulus. Meski secaa kelembagaan, baik NU
maupun Muhammadiyah mampu meredam sebagian besar warganya
tidak terlibat dalam aksi radikal Bela Islam, namun ada beberapa
kelompok semisal JMNU (Jaringan Muda NU) 49 dan Kokam (Komando
Kawal Al-Maidah).50Tentu kenyataan ini tidak berarti bahwa mereka
tidak tunduk kepada instruksi pimpinan mereka (PBNU dan PP
Muhammadiyah), sebab yang dilarang adalah membawa atribut
organisasi. Namun, itu berarti kultur islam damai yang dikampanyekan
oleh kedua ormas itu, atau Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan
kalah menarik dengan jargon Islam Berkeadilan yang dikampanyekan
oleh kelompok radikal.51
Selain glorifikasi dan demonisasi, dinamika Islam di Indonesia
juga menghadapi problem berita-berita palsu (hoax), berupa informasi
yang masih sumir namun dipoles, diplintir dan dikemas dalam redaksi
yang meyakinkan, seakan-akan informasi itu mewakili kenyataan yang
sebenarnya.52 Padahal, informasi-informasi itu hanyalah opini,
penilaian subjektif, yang diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi
secara massif oleh masyarakat secondary orality (masyarakat dengan
tradisi lisan sekunder).53
Revolusi informatika yang demikian cepat melahirkan cultural
shock. Masyarakat belum terbiasa dengan ledakan informasi, yang tidak
48
Glorifikasi berarti melebih-lebihkan sesuatu agar tampak hebat,
mulia dan sempurna. Sedangkan demonisasi berarti mempersepsikan sesuatu
seburuk mungkin seolah tanpa ada kebaikannya sedikit pun. Lukman Hakim
Saifuddin, Hoax yang Merusak Umat, Republika, 4 Januari 2017
49
http://www.aktual.com/jaringan-muda-nu-putuskan-ikut-demo-bela-
islam-iii/(diakses pada 26 November 2017)
50
https://nasional.tempo.co/read/844801/sejumlah-warga-muham-
madiyah-bersikeras-ikut-aksi-112(diakses pada 26 November 2017)
51
http://www.acehtrend.co/aksi-bela-islam-dan-runtuhnya-elit-ormas-
islam-nu-dan-muhammadiyah/(diakses pada 26 November 2017)
52
Lukman Hakim Saifuddin, Hoax yang Merusak Umat,
53
Ahmad Sihabudin, “Literasi Media dengan Memberdayakan
Kearifan Lokal”, dalam Jurnal Communication Vol. 4 No.2 Oktober 2013, hal

15
melulu berasal dari media mainstream, tapi dari media-media indi,
opini publik bahkan perspektif awam. Kenyataan ini beriringan dengan
tradisi baca, nalar kritis yang tidak kunjung tumbuh dalam masyarakat
yang masih secondary orality. Itu di satu sisi.
Sementara di sisi lain, sesuai penelitian yang dikembangkan
oleh Paul Zak, kecenderungan merespon informasi, dalam bentuk apa
pun, di media sosial memberikan kompensasi psikologis bagi
masyarakat seperti di atas. Digambarkan bahwa hormon axitocyn sang
responden meningkat 13,2% sementara hormon stres berkurang 14,9%,
sama seperti dialami seseorang yang akan menikah, atau balita yang
berhenti menangis karena mendapatkan kehangatan pelukan dari orang
tuanya.54
Dengan analisis dua sisi di atas, penulis dapat menemukan
rasionalisasi perang wacana di penghujung tahun 2016 hingga
pertengahan tahun 2017. Rakyat Indonesia dengan daya literasinya
yang lemah menjadi sasaran empuk bagi politik wacana yang
berbalutkan isu SARA demi pemenangan politik tertentu.Isu yang
sensitif, kepuasan bagi pihak komentator dan penyalur isu, serta
lemahnya daya literasi, dan kepentingan politik tertentu. Ditambah lagi
dengan faktor Saracen dan sindikat serupa yang mengakselerasi
ledakan opini menjadi sedemikian rupa.
Pada titik inilah dibutuhkan literasi media, kemampuan untuk
memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. 55
Tentu hal ini membutuhkan peningkatan kualitas masyarakat dari
secondary orality menuju masyarakat teks, yang memiliki kegemaran
membaca dan dibekali daya kritis dalam membaca. Kritisisme dalam
membaca sangat dibutuhkan, mengingat teks tidak lahir dari motivasi,
konteks sosial dan kecenderungan politis tertentu.
Posisi Islam Indonesia (Islam Nusantara maupun Islam
Berkemajuan)terletak pada penekanan corak Islam yang berkearifan
lokal. Islam Nusantara adalah Islam timur yang menekankan
kesantunan, keramahan dan sikap moderat. Penekanan watak

54
Vidi Sukmayadi, Literasi Media Sosial Berkelanjutan, Pikian
Rakyat, 20 Februari 2016, hal. 26
55
Ahmad Sihabudin, Literasi Media, hal. 4

16
kultural56ini merupakan salah satu langkah untuk membendung
radikalisasi dan radikalisme melalui pemberitaan hoax.
Seperti ditekankan oleh KH. Said Aqil Siradj dalam Pidato
Pembukaan Munas NU di Lombok, radikalisme merupakan ancaman
utama bagi keutuhan NKRI. Penekanan serupa ini harus
dikampanyekan secara lebih masif dalam media sosial, sebagai anti-
kampanye kelompok radikal. Penekanan pada kultur dan corak
keberislaman nusantara menjadi tema andalan bagi NU yang bercorak
tradisionalis.
Sementara, Muhammadiyah perlu menggalakkan ideologi al-
Ma’un sebagai gerakan sosial Islam yang fokus pada pengentasan
kemiskinan, pemerataan kesejahteraan, penggalakan pendidikan dan
sebagainya. Bahwa itulah hakikat jihad islam, bukan penekanan pada
formalisme Islam, lebih-lebih radikalisme Islam.
Salah satu prinsip yang juga patut dikemukakan dari kultur
keislaman adalah “orang yang menyampaikan semua yang ia dengar
adalah orang munafik,” yang tidak dapat dipercaya informasi dan
kesaksiannya. Prinsip ini dikembangkan oleh para ulama hadis dalam
menyeleksi hadis-hadis yang memiliki jalur periwayatan yang kuat dari
hadis-hadis yang lemah atau palsu.
Dengan demikian, indoktrinasi tentang menghindari sikap
munafik dapat diwujudkan dengan bersikap lebih kritis dalam
meresepsi lebih-lebih meredistribusi, men-share berita-berita yang
diperoleh dari media.

56
Tidak hanya ditekankan pada pemahaman akan nilai kultural,
kesadaran menjadi anggota sebuah komunitas juga bisa dikategori dalam
pemaknaan ini. Literasi media model ini diwujudkan dalam bentuk aturan
tentang batasan penggunaan media sosial, rekam jejak dalam penggunaanya
yang diawasi oleh komunitas kerja, institusi pendidikan atau komunitas-
komunitas sejenis. Hal ini yang disebut sebagai literasi media berkelanjutan.
Baca, Vidi Sukmayadi, Literasi Media Sosial Berkelanjutan, hal 26.

17
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Arifina, Anisa Setya. (2015). Konstruksi Citra
PemimpinPolitikDalamSeniFotoKolaseDi Instagram. Tesis.
Universitas Indonesia
Baso, Ahmad, Islam Nusantara Iijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia,
Jilid 1 (Dialog-dialog Santri-Kiai tentang Studi Islam dan kajian ke-
Indonesia-an dari PBNU [Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI
dan UUD 1945] untuk Dunia) Tangerang: Pustaka Afid, 2015
Baso, Ahmad, Pesantren Studies 4a:
KhittahRepublikKaumSantridanKaderisasiRatu Adil
JuzPertamaTradisiIlmuPolitikPesantren, JaringandanPergerakannya
se-Nusantara, (Tangerang Selatan: PustakaAfid, 2013
Busyairi, Badruzzaman, Boerhanoeddin Harahap, Pilar Demokrasi
Jakarta: Bulan Bintang, 1989
Fealy, Greg, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967, terj. Farid
Wajidi, cet. III Yogyakarta, LkiS, 2007
Haidar, Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fiqh
dalam Politik Jakarta: Gramedia, 1994.
Harvaey, Siliars, Pemberontakan Kahar Muzakkar, Dari Tradisi ke
DI/TII, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989
Joesoef, Daud, Studi Strategi, Logika Ketahanan dan Pembangunan
Nasional, Jakarta: Penerbit Kompas, 2014.
Khalid, Anas Shafwan, KritikNalarFiqhSiyasah: Kontribusi KH. Abdul
Wahab ChasbullahdalamSidangKonstituante 1956-1959, Jakarta:
Impressa Publishing, 2013.
Mahendra, YusrilIhza, ModernismedanFundamentalismedalamPolitik
Islam (PerbandinganPartaiMasyumi Indonesia danPartaiJama’at al-
Islami Pakistan), Bandung: Mizan, 1998
Mandan, Arief Mudatsir (Ed.), KH. Idham Chalid, Napak Tilas
Pengabdian Idham Chalid Tanggung Jawab Politik NU dalam
Sejarah, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2008
Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional, Jakarta: Grafiti Press, 1987
Nugraha, Pepih, Kompasiana, Etalase Warga Biasa, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2013
Romli, Muhammad Guntur, Islam Kita Islam Nusantara, Lima Nilai
Dasar Islam Nusantara, Tangerang Selatan: Ciputat School, 2016.
Sullivan, John L., Media Audiences Effects, Users, Institutions, and
Power. USA: Sage, 2013.
Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Agama
Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006
Zuhri, KH. Saifuddin, Almaghfurlah KH. Abdul Wahab Chasbullah:
BapakdanPendiriNahdlatul Ulama, Jakarta: PenerbitYamunu, 1972
Zuhri, KH. Saifuddin, Sejarah Kebangkitan Islam danPerkembangannya
di Indonesia, Bandung: Penerbit PT Al-Ma’arif, 1981

18
19
2. Jurnal dan Tesis-Disertasi
Ahmad Najib Burhani, “Aksi Bela Islam: Konservatisme dan Fragmentasi
Otoritas Keagamaan” dalam Maarif Vol. 11, No. 2 – Desember 2016.
Hal. 17.
Ahmad Sihabudin, “Literasi Media dengan Memberdayakan Kearifan
Lokal”, dalam Jurnal Communication Vol. 4 No.2 Oktober 2013, hal
Ahmad Syafii Maarif, “Tidak Mengutuk, Malah dikutuk” Republika, 25
Oktober 2016.
Ari Ganjar Herdiansah, Junaidi, dan Heni Ismiati, “Pembelahan Ideologi,
Kontestasi Pemilu, Dan Persepsi Ancaman Keamanan Nasional:
Spektrum Politik Indonesia Pasca 2014?” dalam Jurnal Wacana
Politik Vol. 2, No. 1, Maret 2017: 61 - 73
Handy Martinus, “Analisis Perilaku Pemilih Pada Pemilihan Gubernur
DKI Jakarta Periode 2012-2017” dalam HUMANIORA Vol.4 No.1
April 2013: 58-70
Lili Romli, “Partai Islam danPemilih Islam di Indonesia,”
JurnalPenelitianPolitik, Vol.l No. 1 2004, hal. 29-48.
Moch Nur Ichwan, “MUI, Gerakan Islamis dan Umat Mengambang,”
dalam Maarif Vol. 11, No. 2 – Desember 2016. Hal. 91-92.
Mohammad Iqbal Ahnaf, “Aksi Bela Islam,” Akankah Mengubah
Lanskap Muslim Indonesia?’ Dalam Maarif Vol. 11, No. 2 –
Desember 2016. Hal. 30
Mohammad Iqbal Ahnaf, “TigaJalan Islam Politik di Indonesia:
Reformasi, RefolusidanRevolusi,” dalamWawasan: JurnalIlmiah
Agama danSosialBudaya 1, 2 (Juli) 2016: 127-140.
MujamilQomar, “Islam Nusantara: SebuahAlternatif Model Pemikiran,
Pemahaman, danPengamalan Islam,” dalamel Harakah Vol.17 No.2
Tahun 2015.
Saiful Mustofa, “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Islam
Berkemajuan;Melacak Akar Epistemologis dan Historis Islam (di)
Nusantara,” dalam Epistemé, Vol. 10, No. 2, Desember 2015, 410

3. Koran dan Laman internet


As-Hikam:Demokrasi Yes Mobokrasi No dalam
Politik.rmol.co/read/2016/11/29/270398/
As-Hikam:Demokrasi-Yes-Mobokrasi-No!- diaksespada 2 Juli 2017
Heyder AffanWartawan BBC Indonesia, “Polemik di balik istiIah 'Islam
Nusantara”
dalamhttp://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015
/06/150614_indonesia_islam_nusantara(diakses pada 1
November 2017)
http://www.acehtrend.co/aksi-bela-islam-dan-runtuhnya-elit-ormas-islam-
nu-dan-muhammadiyah/
http://www.aktual.com/jaringan-muda-nu-putuskan-ikut-demo-bela-islam-
iii/

20
http://banjarmasin.tribunnews.com/2017/08/26/inilah-arti-dan-sejarah-
kata-saracen-sesungguhnya
http://www.infomenia.net/2016/12/terungkap-aktor-penyandang-utama-
dana. html (diakses 22 November 2017).
http://www.sarkub.com/penjelasan-kh-mustofa-bishri-mengenai-islam-
nusantara/
https://mobile.facebook.com/story.php?story_fbid=10210767328
683061&id=1345432199&_rdc=1&_rdr# (diakses pada 1
November 2017)
https://mojok.com/made-supriatna/esai/ mobilisasi-kebencian/ (diakses
pada 11 Oktober 2017)
https://nasional.tempo.co/read/844801/sejumlah-warga-muham-madiyah-
bersikeras-ikut-aksi-112https://tirto.id/investigasi-allan-nairn-
ahok-hanyalah-dalih-untuk-makar-cm2X (diakses 22 November
2017).
https://tirto.id/manuver-politik-di-balik-aksi-demo-4-november-b1NX
(diakses 22 November 2017).
https://www.dakwatuna.com/2015/05/18/ 68773/baca-alquran-langgam-
jawa-mui-jangannekat/#ixzz4z2wFQInf (diakses pada 20
November 2017)
https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-kata-quraish-shihab-tentang-
baca-alquran-pakai-langgam-jawa.html
https://www.youtube.com/watch?v=pH_0ltT71Te(diakses 22 November
2017).
Kompas.com/read/2017/08/29/09125541/ mengapa-saracen-dinilai-lebih-
dari-sekadar-penyebar-hoaks&ei=en-ID&s= 1&m=569 (diakses
pada 11 Oktober 2017)
Lukman Hakim Saifuddin, Hoax yang Merusak Umat, Republika, 4
Januari 2017
m.liputan6.com/amp/3073763/begini-pengakuan-ketua-saracen-soal-tarif-
ujian-kebencian (diakses pada 11 Oktober 2017)
Vidi Sukmayadi, Literasi Media Sosial Berkelanjutan, Pikian Rakyat, 20
Februari 2016, hal. 26
www.infopresiden.com (diakses 16 November 2017)
www.nu.or.id/post/read/72474/kenapa-isu-syiah-disebar-inilah-enjelasan-
habib-luthfi (diakses pada 11 Oktober 2017).
www.tabloidbintang.com/articles/berita/peristiwa/59261-sidang-ahok-ini-
kesaksian-keua-muimaruf-amin&ei=7kb-Jmib&lc (diakses pada
11 Oktober 2017)

21

Anda mungkin juga menyukai