Anda di halaman 1dari 98

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN

VONIS TERHADAP PELAKU PENGGUNA ALAT TANGKAP IKAN


ILEGAL (STUDI PUTUSAN NOMOR 309/Pid.Sus/2019/PN Sbg)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

ELSYA DWI KURNIA


160200189

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Elsya Dwi Kurnia

NIM : 160200189

Judul : Analisis Yuridis Putusan Hakim dalam Menjatuhkan Vonis Terhadap

Pelaku pengguna Alat Tangkap Ikan Ilegal (Studi Putusan Nomor

309/Pid.Sus/2019/PN Sbg)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saja buat adalah murni hasil

karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuat oleh

orang lain.

Apabila dikemudian hari terbukti saya melakukan pelanggaran

sebagaimana tersebut di atas, saya bersedia mempertanggungjawabkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku termasuk menerima sanksi pencabutan gelar

sarjana yang telah saya peroleh.

Demikian surat pernyataan ini saya perbuat. Atas perhatiannya saya

ucapkan terima kasih.

Medan¸ Februari 2021

Hormat Saya,

Elsya Dwi Kurnia


160200189

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
Elsya Dwi Kurnia*
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H.,M.Hum**
Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum ***

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah


pulau sebanyak 17.508 pulau, serta pantai sepanjang 81.000 km, dan luas lautan
5,8 juta km (75% dari total luas wilayah Indonesia). Sebagai negara kepulauan
yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, Indonesia memiliki potensi
perikanan yang sangat besar dan beragam. Tindak pidana di bidang perikanan
mempunyai ancaman keseriusan yang sama dengan tindak pidana di sektor lain.
Untuk itu Adapun rumusan masalah yang diangkat adalah Bagaimana pengaturan
hukum pidana terhadap tindak pidana perikanan dan Bagaimana analisis
mengenai putusan hakim terhadap pengguna alat tangkap ikan illegal (Studi
Putusan Nomor 309/Pid.Sus/2019/PN Sbg).
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu
Penelitian Yuridis Normatif dimana penulisan ini akan meneliti bahan pustaka
atau data sekunder sebagai bahan dasar, maka teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah Studi Kepustakaan (Library Research). Selanjutnya setelah
data-data yang diperlukan terkumpul maka penulis melakukan analisis terhadap
kasus yang berkaitan dengan materi skripsi ini.
Pengaturan mengenai tindak pidana perikanan telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang periknan. Secara lebih khusus untuk mengatur
tindak pidana perikanan jenis penggunaan alat tangkap ikan yang dilarang,
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia telah menerbitkan Pertauran
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 71/PERMEN-
KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan
di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Sehingga tindak
pidana di bidang perikanan dapat diminimalisir. Namun masih banyak masyrakat
yang menghiraukan aturan tersebut dengan alasan untuk mencukupi
perekonomian.
Kata Kunci : Tindak Pidana Perikanan, pertanggungjawaban pidana
*Mahasiswa Fakultas Hukum
**Dosen Pembimbing I
***Dosen Pembimbing II

ii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah

memberikan nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan karya tulis ini di waktu yang tepat.

Shalawat beriringkan salam penulis panjatkan atas junjungan kita Nabi

Besar Muhammad SAW. yang telah membawa dunia dari zaman jahiliyah ke

zaman yang penuh akan nikmat ilmu pengetahuan seperti yang dapat kita semua

rasakan seperti sekarang ini.

Sudah menjadi kewajiban sebagai seorang mahasiswa untuk

menyelasaikan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun

skripsi tersebut penulis beri judul “ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM

DALAM MENJATUHKAN VONIS TERHADAP PELAKU PENGGUNA

ALAT TANGKAP IKAN ILEGAL (STUDI PUTUSAN 309/PID.SUS/2019/PN

SBG). Skripsi tersebut guna memenuhi syarat untuk dapat menempuh ujian

Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam pengerjaan skripsi ini banyak pihak yang terlibat selama masa

pembuatannya. Pada kesempatan kali ini izinkan penulis menyampaikan rasa

terima kasih penulis yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H.,M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

iii

Universitas Sumatera Utara


3. Puspa Melati Hasibuan, S.H.,M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Dr. Jelly Leviza, S.H.,M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

5. Liza Erwina, S.H.,M.Hum Atas Nama Ketua Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I

penulis

7. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II penulis

8. Dr. Faisal Akbar, S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik

penulis.

9. Terima Kasih kepada kedua orang tua penulis Safaruddin dan Elinda

Sitianur dan orang tua susu penulis Mawarni dan Misno serta saudara

kandung penulis Utama Pribadi dan Tri Sakti Nugraha yang telah

memberikan kasih sayangnya kepada penulis.

10. Terima kasih kepada teman terbaik penulis Randy Hidayat Tambunan yang

telah membantu, mendukung penulis dimasa-masa sulit penulis

11. Terima kasih kepada teman-teman terbaik penulis sejak Sekolah Menengah

Pertama Maidian Suci dan Rani Rahayu yang telah mendukung penulis

12. Terima kasih kepada teman-teman terbaik penulis sejak hari pertama duduk

di bangku Perguruan Tinggi (Beby, Dita, Aca, Bila, Nurul dan Abdilla)

yang telah membantu dan mendengarkan segala cerita penulis.

iv

Universitas Sumatera Utara


13. Terima kasih kepada Rekan-Rekan Presidium Himpunan Mahasiswa Islam

Komisariat Fakultas Hukum USU Periode 2019-2020 terkhusus Rekan-

Rekan HMI-Wati penulis (Hanako, Helnia, Justira, Ainaya, Nia Fitriya)

yang telah banyak membantu penulis kapanpun dan dimanapun selama

masa perkuliahan

14. Terima kasih adik-adik Pengurus HMI Komisariat Fakultas Hukum USU

stambuk 2017, 2018, 2019 (Dinda, Divia, Pristina, Nurul, Icak, Bila, Fitri,

Nisa, Marta, Ria, Alya, Zahra, Ika, dll) yang selalu membantu penulis.

15. Terima kasih kepada rekan-rekan Purna Paskibraka Indonesia Kota Medan

(Gigih, Azfar, Imelda, Riyanti, Dirga, Dini, Gita) yang telah memberikan

dukungan kepada penulis

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Namun penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat untuk banyak pihak

terkhusus penulis sendiri.

Medan, 19 Januari 2020

Hormat Penulis,

Elsya Dwi Kurnia


NIM: 160200189

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................i

ABSTRAK ............................................................................................................. ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ..........................................................................................................vi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................1


B. Rumusan Masalah ..........................................................................10
C. Tujuan Penulisan ............................................................................11
D. Manfaat Penulisan ..........................................................................11
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................12
F. Metode Penelitian...........................................................................22
G. Keaslian Penulisan .........................................................................26
H. Sistematika Penulisan ....................................................................27

BAB II : PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK


PIDANA PERIKANAN DI INDONESIA
A. Jenis-Jenis Perbuatan Pidana dalam Tindak Pidana Perikanan di
Indonesia ........................................................................................29
B. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Perikanan .....44
C. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perikanan Menurut
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan ........53

BAB III : PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA


ALAT TANGKAP IKAN ILEGAL (Studi Putusan Nomor :
309/Pid.Sus/2019/PN Sbg)
A. Putusan PN Sibolga Nomor 309/Pid.Sus/2019/PN Sbg.................62
1. Kronologi Kasus ......................................................................62
2. Dakwaan...................................................................................64

vi

Universitas Sumatera Utara


3. Fakta Hukum ............................................................................64
4. Tuntutan ...................................................................................67
5. Pertimbangan Hakim................................................................68
6. Putusan .....................................................................................73
B. Analisa Putusan Hakim ..................................................................75

BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................80
B. Saran...............................................................................................81

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................82

vii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau

sebanyak 17.508 pulau, serta pantai sepanjang 81.000 km, dan luas lautan 5,8 juta

km (75% dari total luas wilayah Indonesia). Di wilayah daratan terdapat perairan

umum (sungai, rawa, danau, waduk, dan genangan air lainnya) seluas 54 juta ha atau

0,54% juta km² (27% dari total wilayah daratan Indonesia). Dengan demikian

Indonesia adalah sebuah negara yang dikelilingi oleh air. Luas Indonesia dengan

lautnya sama dengan Amerika Serikat dan lebih luas dari Uni Eropa. Perbedaannya,

Indonesia terdiri atas puluhan ribu pulau di sebuah wilayah lautan yang sangat luas,

sementara Amerika Serikat adalah sebuah negara daratan dan Eropa terdiri atas

banyak negara daratan.1

Sebagai negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut,

Indonesia memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Potensi

perikanan yang dimiliki merupakan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk

masa depan bangsa, sebagai salah satu tulang punggung pembangunan nasional.

Pemanfaatan secara optimal diarahkan pada penyalahgunaan sumber daya ikan

dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestariannya untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan

1
M. Ghufran & H. Kordi K, Ekosistem Lamun (Seagrass), Jakarta, Rineka Cipta, 2011,
hlm. 1

Universitas Sumatera Utara


2

pembudidaya ikan kecil.2

Sumber daya hayati dengan segala keanekaragamannya mempunyai

perananan yang besar dalam menjamin kelestarian peradaban suatu bangsa.

Kemampuan mengelola pengeksploitasinya secara berkelanjutan, juga kemahiran

dalam mendapatkan alternatif bagi suatu komoditas, kekayaan alam Indonesia

meliputi:

Pertama, sumber daya yang tak terhabiskan (terus menerus ada), misalnya sinar

surya, angin, dan arus laut. Kedua, sumber daya alam tak terpulihkan (tidak dapat

diperbaharui) misalnya minyak, mineral, dan gas. Ketiga, sumber daya alam

terpulihkan (dapat diperbaharui), misalnya air, hutan, dan teknologi, serta sumber

daya manusia yang menguasainya. Kesemuanya merupakan unsur pembentukan

lingkungan hidup yang melahirkan gejala fenomena alam berupa ekosistem yang

unik, tetapi beraneka ragam. Keanekaragaman alam dalam bentuk inilah yang

tersedia bagi bangsa Indonesia untuk dimanfaatkan secara bijaksana, guna

menunjang kehidupan Bangsa dan Negara.3

Namun sangat disayangkan, apa yang dimiliki Indonesia ini belum bisa

dimanfaatkan dengan baik bagi kesejahteraan bangsa dan negara, buktinya bahwa

dibidang kelautan merupakan sektor yang tertinggal. Diperhatikan dari pemanfaatan

sumber daya, teknologi, serta tingkat kemiskinan dan keterbelakangan nelayan

2
Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2013,
hlm. 13

3
Bahaking Rama, dkk, Pengetahuan Lingkungan, Makassar, Alauddin press, 2009, hlm.
41

Universitas Sumatera Utara


3

dibanding sektor lainnya yang disebabkan adanya persoalan yang bersifat struktural,

terutama kecenderungan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi nonkelautan.4

Pemanfaatan sumber daya alam di wilayah pesisir yang tidak terkendali

dapat menyebabkan kerusakan sumber daya alam itu sendiri. Ada berapa aktivitas

manusia yang diketahui sangat berpotensi menyebabkan kerusakan di lingkungan

wilayah pesisir dan laut. Aktivitas-aktivitas manusia tersebut dapat dikelompokkan

menjadi beberapa macam, yaitu pemukiman, pertanian, perikanan, industri

pariwisata (bahari), perusakan transportasi laut (termasuk pelabuhan), pertambangan

dan energi. Aktivitas-aktivitas ini ada yang bersifat langsung, yaitu langsung

merusak ekosistem sumber daya alam di wilayah pesisir, misalnya penangkapan ikan

dengan menggunakan bahan peledak, pengerukan dasar alur pelayaran,

pembuangan sauh (jangkar) perahu-perahu di daerah-daerah karang, pengambilan

karang untuk bahan bangunan dan atau hiasan akuarium (aquariumtrade), dan tidak

langsung, yaitu melalui limbah bahan sisa produksi yang dibuang di wilayah pesisir.

Limbah bahan tersebut dapat mencemari lingkungan sumber daya alam, khususnya

hayati, di wilayah pesisir.5

aktivitas perikanan di Indonesia belum menunjukkan kinerja yang

berkelanjutan. Hal ini, dapat dilihat dengan masih belum banyaknya jumlah usaha

perikanan di Indonesia yang berjalan langgeng (bertahan dalam jangka panjang).

4
Tridoyo Kusumastanto, Ocean Policy Dalam Membangun Negeri Bahari di Era otonomi
Daerah, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 6
5
Supriharyono, Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati, Cet. ke-1,Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2009, hlm. 13

Universitas Sumatera Utara


4

Selain itu, sektor perikanan nasional juga masih cukup banyak menghadapi kendala

atau permasalahan yang cukup kompleks. Permasalahan paling utama yang menjadi

penyebab perikanan di Indonesia belum berjalan secara berkelanjutan adalah masih

lemahnya sistem pengelolaan perikanan (fisheries management system), baik untuk

perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.6

Upaya memanfaatkan sumber daya ikan secara optimal, berkelanjutan, dan

lestari merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesarnya-besarnya

kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan

pembudidaya ikan, pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, memperluas lapangan

kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatan ekspor untuk menghasilkan devisa

negara. Berdasarkan hal ini, guna memberikan manfaat yang maksimal bagi

masyarakat dan negara Indonesia serta menjamin keberlangsungan usaha perikanan

itu sendiri, maka sudah seharusnya pembangunan dan aktivitas perikanan nasional

secepatnya diarahkan untuk menerapkan kaidah-kaidah perikanan berkelanjutan.7

Berdasarkan data dari FAO (2000) menyatakan bahwa saat ini ikan

menyumbang sekitar 13,8–16,5% terhadap asupan protein hewani manusia.

Sementara pertumbuhan suplai ikan dunia untuk konsumsi pangan sebesar 3,6% per

tahun. Walaupun ikan dunia yang dipasarkan sebesar 79,60% untuk konsumsi

pangan (food) dan sisanya (20,40%) untuk konsumsi non pangan, tetapi

kecenderungan kebutuhan ikan untuk konsumsi pangan mengalami peningkatan.

6
Kementerian PPN/BAPPENAS Direktorat Kelautan dan Perikanan 2014 “Kajian
Stratergi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan” hlm. 5, diakses pada 24 Juli 2020 pukul 21.08
7
Ibid. hlm. 1

Universitas Sumatera Utara


5

Tidak hanya untuk mencukupi pertumbuhan penduduk dunia yang meningkat sebesar

1,8% per tahun, tetapi juga untuk meningkatkan konsumsi ikan per kapita sebesar 15

kg/kap/tahun yang dianggap masih rendah.8

Menurut laporan FAO (2001, 47), hampir 40 persen produksi ikan dunia

diperdagangkan secara global dan jauh lebih besar dibandingkan bahan pokok

lainnya seperti gandum (20 persen) dan beras (5 persen). Oleh karena itu, dalam

perdagangan internasional ikan dan produk perikanan dapat dikatakan merupakan

komoditas perdagangan yang sangat prospektif.9

Menurut dokumen yang dirilis oleh Kementerian kelautan dan Perikanan

diketahui produksi perikanan di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 20,8 juta ton

dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 19.4 juta ton meningkat sebesar 7.35%

dibanding tahun 2013. Kecenderungan produksi perikanan Indonesia mengalami

peningkatan sejak tahun 2010, kenaikan rata-rata tahun 2010-2014 sebesar 15.80%

dengan rata-rata produksi sebesar 16.2 juta ton, standart deviasi 3.8 juta ton, dengan

95% Convident Interval (CI) antara 11.4 juta – 21.0 juta.10

Para nelayan di Indonesia, dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan,

selalu berinovasi dalam membuat dan menggunakan alat penangkap ikan, terutama

bertujuan untuk mendapatkan ikan dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang

8
Apridar, Daya Saing Ekspor Ikan Tuna Indonesia, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2014, hlm. 1
9
Ibid.
10
Krisna Fery Rahmantya, dkk., Kelautan dan Perikanan dalam Angka Waktu 2015
(Marine and Figures 2015), Jakarta, Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan
Perikanan, 2015, hlm. 23

Universitas Sumatera Utara


6

relatif cepat dan murah. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan

penangkapan ikan (Pasal 1 angka 10 UU No. 45 Tahun 2009). Meningkatnya

permintaan masyarakat akan ikan, baik di dalam maupun luar negeri, serta

tersedianya ikan di wilayah laut Indonesia, membuat para nelayan berupaya untuk

menangkap ikan dengan cara yang mudah dan menghasilkan tangkapan ikan yang

banyak, seringkali tidak mempertimbangkan kerusakan ekosistem dan lingkungan,

serta keberlanjutan ketersediaan ikan di laut.11

Meningkatnya jumlah permintaan ikan baik di pasar nasional dan di pasar

internasional dan ditambah dengan ketidakmampuan Indonesia dalam mengelola dan

memajukan sektor kelautan membuat laut Indonesia yang kaya akan sumber daya

alam khususnya ikan, dilirik oleh negara-negara lain untuk dimanfaatkan

demi kepentingan pribadi. Hal itulah yang memicu banyaknya kasus pencurian ikan

di wilayah laut Indonesia.

Tindak pidana di bidang perikanan mempunyai ancaman keseriusan yang

sama dengan tindak pidana di sektor lain, karena selain merusak sumber daya alam

yang terkandung di dalamnya seperti ikan dan terumbu karang, juga mengancam

kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab itulah yang mengharuskan

pemerintah Indonesia yang kini dipandang masih kurang memberikan perhatian

terhadap tindak pidana di bidang perikanan, harus lebih memperhatikan bidang

perikanan ini.

11
Sri Untari Indah Artati, “Regulasi Larangan Penggunaan Cantrang Untuk
Penangkapan Ikan Bagi Nelayan Kecil”, Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum, Vol. 1 No. 1,
Jakarta, 2018, hlm. 1

Universitas Sumatera Utara


7

Aktivitas penangkapan ikan di Indonesia telah mendekati kondisi kritis,

akibat tekanan penangkapan dan tingginya kompetisi antar alat tangkap dan telah

menyebabkan menipisnya stok sumber daya ikan. Sehingga nelayan mulai

melakukan modifikasi alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang

maksimal termasuk menggunakan teknologi penangkapan yang merusak (destructive

fishing) atau tidak ramah lingkungan.12 Beberapa penyimpangan yang sering terjadi

antara lain:

a. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan beracun.

b. penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai, misalnya pukat harimau dengan

ukuran mata jaring yang terlalu kecil dan terlebih dengan dilakukan pada

daerah- daerah tangkap yang telah rawan kualitasnya banyak menimbulkan

masalah kelestarian sumber daya hayati.13

Penggunaan bahan kimia, biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,

dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian

sumber daya ikan dan lingkungannya yang tidak saja mematikan ikan secara

langsung, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan manusia dan merugikan

nelayan serta pembudidaya ikan. Apabila terjadi kerusakan sebagai akibat

penggunaan bahan dan alat yang dimaksud, pengambilan keadaan semula akan

12
Husain Latuconsina, “Identifikasi Alat Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan Di
Kawasan Konservasi Laut Pulau Pombo Provinsi Maluku”, Agrikan UMMU Ternate, Vol. 3 Edisi
2, Ternate, 2010, hlm. 1
13
Dian Saptarini, dkk, “Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Wilaya Pesisir”,
Kerjasama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 1996, hlm. 3

Universitas Sumatera Utara


8

membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin mengakibatkan kepunahan.14

Penggunaan alat penangkap ikan yang tidak sesuai dan yang sesuai dengan

syarat atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu oleh negara termasuk juga

di dalamnya alat penangkapan ikan yang dilarang oleh negara. Pelarangan

penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan diperlukan

untuk menghindari adanya penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang

dapat merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal itu dilakukan

mengingat wilayah pengelolaan perikanan Indonesia sangat rentan terhadap

penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta

kenyataan terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang sangat

bervariasi, menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan menjadi target

penangkapan.15

Beberapa alat penangkap ikan yang dilarang oleh pemerintah Republik

Indonesia karena dapat merusak adalah pukat cantrang, pukat lampara dasar, pukat

hela (trawl), pukat udang, dan lain-lain.

Pukat Hela (trawl) adalah sebuah jaring yang berbentuk kantong dengan

mata jaring yang kecil dan memiliki bobot berat, pukat ini biasanya ditarik oleh satu

atau dua kapal. Pukat Hela (trawl) ini merupakan salah satu pukat yang banyak

14
Suharto, Limbah Kimia dalam Pencemaran Udara dan Air, Ed.Pertama, Yogyakarta,
Andi Offset, 2011, hlm. 61
15
Kusnadi, Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekosistem Pesisir, cet. ke-1,
Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2009, hlm. 37

Universitas Sumatera Utara


9

digunakan karena dianggap efisien oleh nelayan-nelayan nakal yang hendak

mendapatkan ikan tangkapan dengan hasil yang banyak, karena pukat hela (trawl)

ini akan menjerat semua yang dilewatinya. Hal inilah yang menjadi permasalahan

utama mengapa pemerintah sampai melarang penggunaan pukat hela (trawl) ini,

karena pukat ini juga akan menangkap ikan-ikan kecil yang belum layak di

konsumsi atau diangkat ke daratan sehingga dikhawatirkan akan mengganggu

ekosistem kehidupan laut, dan selain itu juga pukat hela ini akan merusak

kehidupan terumbu karang di dasar laut karena terumbu karang yang dilewatinya

akan hancur.

Selain itu beberapa modus/jenis kegiatan ilegal yang sering dilakukan

warga negara Indonesia, antara lain: penangkapan ikan tanpa izin, memiliki izin tapi

melanggar ketentuan sebagaimana ditetapkan oleh perundang-undangan yang

berkaitan dengan perikanan, pemalsuan/manipulasi dokumen, transshipment di laut,

tidak mengaktifkan transmitter, dan penggunaan bangunan yang membahayakan

melestarikan sumber daya ikan.16

Tingginya angka tindak pidana perikanan menunjukkan masih rendahnya

kontrol dan pengawasan pemerintah dalam menjaga sumber daya dan kedaulatan laut

Republik Indonesia. Padahal jika dilihat dari segi hukum, banyak produk hukum

yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberantas tindak pidana perikanan,

seperti Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan, Undang-Undang

16
Rohmin Dahuri, Aspek Hukum Penanganan Tindak Pidana Perikanan, Makalah Diklat
Teknis Penanganan Tindak Pidana Perikanan Angkatan II, Pusdiklat Kejagung RI, 2013, hlm. 2

Universitas Sumatera Utara


10

No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,

Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan,

Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan

Pengembangan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.

PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Bidang

Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.15/MEN/2005

tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidayaan Ikan di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Republik Indonesia yang Bukan untuk Tujuan Komersil, dan Peraturan

Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan

Tangkap.

Berdasarkan hal tersebut di atas yang melatarbelakangi penulis tertarik

menulis skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Putusan Hakim dalam

Menjatuhkan Vonis Terhadap Pelaku Pengguna Alat Tangkap Ikan Ilegal

(Studi Putusan Nomor 309/Pid.Sus/2019/PN Sbg)”

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah penulis kemukakan, maka yang

menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini yakni:

1. Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana perikanan?

2. Bagaimana analisis mengenai putusan hakim terhadap pengguna alat

tangkap ikan illegal (Studi Putusan Nomor 309/Pid.Sus/2019/PN Sbg)?

Universitas Sumatera Utara


11

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, adapun tujuan yang ingin penulis

capai dalam penulisan skripsi ini, yakni:

1. Untuk mengetahui bagaimana hukum positif Indonesia mengatur tindak

pidana perikanan di wilayah perairan Indonesia

2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pertimbangan hukum

hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap kasus dengan nomor perkara

309/Pid.Sus/2019/PN Sbg.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

a. Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian ilmu

pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum pidana mengenai sejauh mana

Indonesia telah mengatur hukum tindak pidana perikanan pada umumnya, dan

mengatur penggunaan alat tangkap ikan pada khususnya.

b. penulisan ini diharapkan mampu membuka khasanah cakrawala berfikir

penulis dan rekan-rekan mahasiswa yang sedang mengikuti pendidikan Strata

Satu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Secara Praktis

Secara praktis penulisan ini diharapkan sebagai bahan masukan kepada

aparat penegak hukum yang menjadi pioner dalam pemberantasan penggunaan alat

Universitas Sumatera Utara


12

tangkap ikan ilegal.

E. Tinjauan Pustaka

Adapun judul yang dikemukakan penulis adalah “Analisis Yuridis

Putusan Hakim dalam Menjatuhkan Vonis Terhadap Pelaku Pengguna Alat

Tangkap Ikan Ilegal (Studi Putusan Nomor 309/Pid.Sus/2019/PN Sbg)”, maka

sebelum diuraikan lebih lanjut terlebih dahulu Penulis akan memberikan penjelasan

tentang judul dengan maksud untuk menghindarkan dari kesalahpahaman dan

memberikan batasan yang jelas serta penulis mencari landasan teoritis dari

permasalahan penelitian sehingga penelitian yang dilakukan bukanlah aktifitas yang

bersifat “trial and error”.

1. Pengertian Hukum Pidana

Hukum Pidana dalam pengertian menurut Mezger adalah aturan-aturan

hukum yang mengikat pada suatu perubahan tertentu yang memenuhi syarat-syarat

tertentu suatu akibat yang berupa pidana.17

Menurut Moeljatno, Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan

hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-

aturan untuk:

a. Menentukan perbuatan-perbuatan yang mana tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi

barang siapa melanggar tersebut.

17
Extrix Mangkepriyanto, Hukum Pidana dan Krimonologi, Cibubur, Guepedia, 2019, hlm.
19

Universitas Sumatera Utara


13

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar

larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang

telah diancam.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan

apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.18

Menurut Simons, hukum pidana merupakan:

a. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa

yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati,

b. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana,

dan

c. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan

pidana.19

Van Hamel memberikan batasan bahwa hukum pidana merupakan

keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh Negara dalam kewajibannya untuk

menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum

(onrecht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar

larangan tersebut.20

2. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk Undang-Undang dalam berbagai perundang-undangan

18
Didik Endro Purwoleksono, Hukum Pidana, Surabaya, Airlangga University Press, 2016,
hlm. 3
19
Ibid. hlm. 4
20
Ibid. hlm. 4

Universitas Sumatera Utara


14

menggunakan perkataan “tindak pidana” sebagai terjemahan dari “strafbaar feit”

tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud

dengan perkataan “tindak pidana” tersebut. Secara harfiah perkataan “tindak pidana”

dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.

Akan tetapi, diketahui bahwa yang dapat dihukum sebenarnya adalah manusia

sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.

Untuk istilah “tindak” memang telah lazim digunakan dalam peraturan

perundang-undangan kita walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya.

Tindak menunjuk pada kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan

tidak termasuk kelakuan mausia yang pasif atau negatif (nalaten). Padahal pengertian

yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun

pasif tersebut.21

Straftbaarfeit menurut pompe adalah suatu pelanggaran norma (ganggu

terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan

oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah

perlu demi terpeliharanya tertib hukum.22

Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang

telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang

dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah

21
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan &
Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 70
22
Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana, Yogyakarta, Deepublish, 2019, hlm. 7

Universitas Sumatera Utara


15

dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan seperti ini,

maka menurut simons, untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur

sebagai berikut; 23

a. Perbuatan manusia, baik dalam pengertian arti perbuatan positif (berbuat)

maupun negatif (tidak berbuat).

b. Diancam dengan pidana

c. Melawan hukum

d. Dilakukan dengan kesalahan

e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab

Para sarjana Indonesia mengistilahkan strafbaarfeit itu dalam arti yang

berbeda, diantaranya Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman

sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa larangan tersebut.24

3. Jenis-Jenis Pidana

Pemerintah Indonesia telah membagi jenis-jenis pidana yang berlaku di

Indonesia dan telah dituangkan ke dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP). Jenis Pidana terbagi atas pidana pokok dan pidana tambahan.

Pidana Pokok Terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana

denda, dan pidana tutupan. Sedangkan Pidana Tambahan terdiri atas pencabutan hak-

23
Tongat, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
Malang, UMM Press, hlm. 105
24
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta, Pradnya
Paramita, 2004, hlm. 54

Universitas Sumatera Utara


16

hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.

4. Sumber Daya Alam

Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang bersumber dari alam yang

dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh manusia untuk menunjang keberlanjutan hidup

manusia.

Menurut Walter Isard (1972), pengertian sumber daya alam merupakan

keadaan lingkungan dan bahan-bahan mentah yang dapat dimanfaatkan manusia

demi memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan.25

Sumber daya alam dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yakni:26

a. Berdasarkan Sumbernya

 Sumber daya Alam Hayati/Biotik

Sumber daya alam hayati adalah sumber daya alam yang berasal dari

komponen biotik, meliputi seluruh makhluk hidup yang ada di bumi. Contoh

sumber daya alam hayati/biotik adalah tumbuhan, hewan, dan mikro organisme.

 Sumber daya Alam Non Hayati/Abiotik

Sumber daya alam non hayati merupakan sumber daya alam yang

bersumber dari komponen abiotik atau benda mati meliputi seluruh unsur yang

25
https://rimbakita.com/sumber-daya-alam/ diakses pada 25 Juli 2020 pukul 20.11 Wib
26
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


17

tidak bernyawa. Contohnya adalah udara, air, tanah, sinar matahari, batuan,

mineral, bahan pertambangan dan lain-lain.

b. Berdasarkan sifatnya

 Sumber Daya Alam Dapat Diperbaharui (Renewable)

Sumber daya alam yang dapat diperbaharui merupakan sumber daya yang

berasal dari alam dan dapat digunakan berkali-kali tanpa khawatir akan

ketersediaannya karena tidak akan habis serta diperbaharui oleh alam terus

menerus. Penggunaan sumber daya alam harus dilakukan secara bijaksana agar

kelestariannya teap terjaga.

 Sumber Daya Alam Tidak Dapat Diperbaharui (Non Renewable)

Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui adalah sumber daya yang

berasal dari alam dalam jumlah terbatas, sehingga bila digunakan secara terus

menerus akan habis atau punah. Penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat

diperbaharui harus dilakukan secara tepat guna, misalnya produk pertambangan.

c. Berdasarkan kegunaannya

 Sumber daya Alam Penghasil Energi

Sumber daya alam penghasil energi adalah seluruh kekayaan alam yang

dapat menghasilkan energi untuk kebutuhan manusia. Contoh sumber daya alam

yang memproduksi energi adalah: Air (sungai, bendungan, waduk), Sinar

Matahari, Angin atau Udara, Gas Bumi, Ombak atau Gelombang Laut.

Universitas Sumatera Utara


18

 Sumber daya Alam Penghasil Bahan Baku

Sumber daya alam penghasil bahan baku adalah seluruh kekayaan alam

yang dapat digunakan untuk menghasilkan produk atau barang yang mempunyai

nilai jual atau nilai guna. Contoh sumber daya alam yang memproduksi bahan

baku antara lain:

 Hasil Pertanian (padi, jagung, kedelai, gandum)

 Hasil Perkebunan (buah-buahan, kopi)

 Hasil Hutan (kayu dan non kayu)

 Hasil Pertambangan (logam, batuan)

d. Berdasarkan pembentukannya

 Sumber daya Alam Materi

Sumber daya alam materi merupakan benda mati dan dapat diperoleh secara

langsung dari alam maupun melalui proses penambangan dan pengolahaan yang

bermafaat bagi kelangsungan hidup manusia.

 Sumber Daya Alam Energi

Sumber daya alam energi adalah sumber daya yang mampu menghasilkan

energi dan bisa dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan manusia. Contohnya

adalah minyak bumi, gas bumi, batu bara, air, udara dan sinar matahari.

 Sumber Daya Alam Ruang

Sumber daya alam ruang merupakan sumber daya yang keberadaannya

bersarkan waktu dan musim. Contohnya adalah ketersediaan air ketika musim

Universitas Sumatera Utara


19

kemarau yang sulit ditemukan, akan tetapi ketika musim hujan jumlahnya

berlimpah.

e. Berdasarkan daya pakai dan nilai ekonomisnya

 Sumber Daya Alam Ekonomis

Sumber daya alam ekonomis adalah sumber daya alam yang memiliki nilai

ekonomi atau nilau jual, seperti logam mulia (emas, perak), minyak bumi, batu

bara, dan sebagainya.

 Sumber Daya Alam Non Ekonomis

Sumber daya alam non ekonomis adalah sumber daya alam yang tidak

memiliki nilai ekonomi karena dapat diperoleh secara langsung dari alam tanpa

melalui proses apapun, contohnya adalah udara dan sinar matahari.

f. Berdasarkan lokasinya

 Sumber Daya Alam Akuatik

Sumber daya alam akuatik adalah sumber daya yang hanya ada di wilayah

perairan, seperti ikan, rumput laut, udang, terumbu karang, kepiting dan lainnya.

 Sumber daya Alam Terrestrial

Sumber daya alam terrestrial adalah sumber daya yang hanya ada di wilayah

daratan, seperti kekayaan hutan, aneka tambang dan sebagainya.

5. Tindak Pidana Perikanan

Sektor perikanan memang unik, beberapa karakteristik yang melekat di

dalamnya tidak memiliki oleh sektor–sektor lain seperti pertanian ataupun

Universitas Sumatera Utara


20

pertambangan. Tidaklah mengherankan jika kemudian penanganan masalah di sektor

ini memerlukan pendekatan sendiri. Selain berhadapan dengan sumber daya yang

bergerak terus dan kompleksitas biologi dan fisik perairan, pengelolaan sumber daya

perikanan juga dihadapkan pada masalah peliknya hak kepemilikan. Interaksi faktor

ini kemudian melahirkan eksternalitas yang berakibat pada terjadinya penangkapan

ikan yang berlebihan yang kemudian menyebabkan menurunnya stok sumber daya.27

Upaya penanggulangan illegal fishing telah dilakukan dengan melahirkan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (UU Perikanan pada

tanggal 6 Oktober 2004 yang pokoknya mengatur tentang pengelolaan perikanan

untuk meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-

besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip

kelenstarian sumber daya iakn dan lingkungannya seta kesinambungan pembangunan

perikanan nasional. Penggunaan sarana pidana dalam undang-undang ini dilakukan

dengan terlebih dahulu membentuk pengadilan perikanan pada lima pengadilan

negeri, yaitu Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual paling lambat pada

tanggal 6 Oktober 2006, namun berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang No. 2 Tahun 2006 pembentukan pengandilan perikanan telah

ditangguhkan menjadi paling lambat sampai dengan 6 Oktober 2007.28

Sebagai undang-undang yang bersifat khusus, dalam undang-undang ini

27
Akhmad Fauzi, Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2005, hlm. 5
28
https://pn-tilamuta.go.id/2016/05/23/hukum-acara-pengadilan-perikanan-dan-tindak-
pidana-perikanan/ diakses pada 25 Juli 2020 pukul 21.49 Wib.

Universitas Sumatera Utara


21

diatur beberapa ketentuan yang merupakan pengecualian dari KUHAP,

diantaranya:29

1. Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penyidik pegawai

negeri sipil, perikanan perwira TNI AL dan Pejabat polisi Negara Republik

Indonesia.

2. Selain penyidik TNI AL, penyidik pegawai negeri sipil perikanan berwenang

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di

ZEEI.

3. Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan

perikanan, diutamakan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil perikanan.

4. Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum paling

lama 7 (tujuh) hari sejak ditemukan adanya tindak pidana di bidang perikanan.

5. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut dapat melakukan penahanan

untuk paling lama 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut

umum untuk paling lama 10 (sepuluh) hari setelah waktu 30 (tuga puluh) hari

tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

6. Penuntutan terhadap tindak pidana perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang

ditetapkan oleh Jaksa Agung dan/atau pejabat yang ditunjuk.

Beberapa Tindak Pidana di bidang perikanan antara lain memakai Surat

Penangkapan Ikan (SPI) palsu, tidak dilengkapi dengan Surat Izin Penangkapan Ikan

29
Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus: Memahami Delik-Delik diluar KUHP,
Jakarta, Kencana, 2016, hlm 169

Universitas Sumatera Utara


22

(SIPI), isi dokumen tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya,

menangkapa jenis dan ukuran ikan yang dilarang, serta kegiatan penangkapan ikan

secara illegal di perairan wilayah ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) suatu negara dengan

tidak memiliki izin dari negara pantai, transshipment di laut, tidak mengaktifkan

transmitter, dan penggunaan bangunan yang membahayakan melestarikan sumber

daya ikan.

Dalam hukum pidana Indonesia terdapat asas lex specialis derogate legi

generalis, yang berarti peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan yang

umum. Asas ini memiliki apabila undang-undang telah mengatur tentang suatu

tindak pidana maka tidak perlu menggunakan aturan yang ada dalam KUHP.

Sehingga dalam perkara tindak pidana perikan yang menggunakan alat penangkap

ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak

keberlanjutan sumber daya ikan akan digunakan Undang-Undang Nomor 45 Tahun

2009 Tentang Perikanan.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan

masalah. Selain itu, penelitian juga digunakan untuk menentukan, mengembangkan

dan menguji kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh

pemecahan masalah atau mendapat jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang

dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis metodologi yang

merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya

pada saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan

Universitas Sumatera Utara


23

yang menjadi induknya.30

Metode Penelitian secara umum dapat diartikan sebagai cara ilmiah yang

digunakan untuk mengumpulkan dengan tujuan tertentu. Dalam penulisan skripsi ini

penjelasan yang akan penulis uraikan meliputi: Jenis Penelitian, Data dan Sumber

Data, Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data.

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu Penelitian

Yuridis Normatif dimana penulisan ini akan meneliti bahan pustaka atau data

sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran

terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti.31Dalam penelitian hukum normatif ini mencakup

beberapa hal yaitu:

a. Penelitian terhadap azas-azas hukum;

b. Penelitian terhadap sistematika hukum;

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;

d. Penelitian sejarah hukum;32

2. Data dan Sumber Data

Penilitian Normatif dilakukan dengan pustaka, yaitu penelitian yang

30
Sri Mulyati Tri Subari dan Ascaraya, Kebijakan Sistem Pembayaran di Indonesia,
Jakarta, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan,Bank Indonesia, 2003, hlm. 2
31
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Jakarta, Rajawali Pers,2001, hlm. 13-14.
32
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia (UI
Press), 1986, hlm. 12

Universitas Sumatera Utara


24

dipelajari dan dikutip dari bahan-bahan pustaka atau data sekunder. Data sekunder

diperoleh dari:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua peraturan yang diterapkan oleh pemerintah,

yakni berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan

(Yurisprudensi). Peraturan Perundang-undangan yang akan digunakan antara lain

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan

Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara

Republik Indoneisa, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 06 Tahun

2010 tentang Alat Penangkapan Ikan di Wilayah engelolaan Perikanan Negara

Republik Indonesia, dan lain-lain.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku, karya ilmiah, pendapat para

sarjana/doktrin yang dimuat dalam artikel dan yang berhubungan dengan skripsi

ini.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk

dari bahan hukum primer dan bahan sekunder seperti kamus dan ensiklopedia

yang berhubungan dengan skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara


25

3. Teknik Pengumpulan Data

Agar Penulisan skripsi ini lebih terarah dan mampu dipertanggungjawabkan

dan mengingat jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data

sekunder, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Studi Kepustakaan

(Library Research).

Studi kepustakaan (Library Research) adalah metode mempelajari sumber

atau bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Sumber

atau bahan tersebut dapat berupa peraturan perundang- undangan, buku, karya tulis,

dan data yang didapat dari halaman internet (webpage). Kegiatan studi pustaka

tersebut dilakukan dengan mengikuti tahap-tahap sebagai berikut:

a. Penentuan sumber data sekunder.

b. Identifikasi data sekunder yang diperlukan, yaitu proses mencari dan mengenai

badan hukum.

c. Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah, dengan cara pengutipan

dan pencatatan

d. Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan

kebutuhan dan rumusan masalah.

4. Analisis Data

Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka

biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya.33 Analisis data

33
Ibid., hlm. 69

Universitas Sumatera Utara


26

dilakukan dengan:

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang di

teliti.

b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian.

c. Mensistematiskan kaidah-kaidah hukum, azas atau doktrin.

d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin

yang ada.

e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan dedukatif sehingga akan dapat

merangkum dari jawaban terhadap permasalahan yang telah disusun.34

G. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya pada perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa skripsi dengan judul ”Analisis

Yuridis Putusan Hakim Dalam Menjatuhkan Vonis Terhadap Pelaku Pengguna

Alat Tangkap Ikan Ilegal (Studi Putusan Nomor 309/Pid.Sus/2019/PN Sbg)”,

belum pernah ditulis ataupun diteliti sebelumnya.

Bilamana terdapat kutipan atau pendapat yang sama dalam penulisan ini,

semata-mata sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam usaha menyusun dan

menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan sempurna. Karena pada dasarnya dalam

penulisan skripsi ini, penulis mengutip dari berbagai literatur yang ada seperti dari

perpustakaan, media cetak, media elektronik serta pemikiran penulis.


34
Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Research (Pengantar Metodologi Ilmiah),
Bandung, Tarsito, 1982, hlm. 131.

Universitas Sumatera Utara


27

Dengan demikian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan

keasliannya baik judul maupun uraian pembahasannya berdasarkan Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudan penjelasan dan penjabaran penulisan skripsi ini, maka

diperlukan adanya sistematika penulisan. Sistematika penulisan adalah runtutan

kerangka penulisan skripsi yang akan dijabarkan secara singkat dari awal hingga

akhir, sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara pembahasan yang satu dengan

yang lain. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan dan saling

berhubungan antara yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, secara sistematis

pembahasan pada skripsi ini terbagi menjadi 4 (empat) bab. Adapun rinciannya

sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, keaslian

penulisan, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN PENANGKAPAN IKAN DI INDONESIA

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pengertian pemidanaan,

jenis dan unsur-unsur pemidanaan, pengaturan jalur penangkapan ikan,

pengertian dan jenis illegal fishing, ketentuann pengunaan alat tangkap

ikan yang dboleh digunakan dan tidak boleh digunakan, serta sanksi

pidana yang dikenakan terhadap pengguna alat tangkap ikan ilegal

Universitas Sumatera Utara


28

menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

BAB III ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGGUNAL ALAT

TANGKAP IKAN ILEGAL (Studi Putusan Nomor :

309/Pid.Sus/2019/PN Sbg)

Pada bab ini penulis akan menganalisis putusan hakim dalam

menjatuhkan hukuman terhadap pengguna alat tangkap ikan ilegal

diawali dengan menjabarkan kronologi kasus, dilanjutkan dengan

dakwaan, tuntutan dan putusan serta diakhiri dengan analisis.

BAB IV PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran dimana penulis akan menjelaskan

kesimpulan dari penulisan skripsi ini serta saran-saran penulis untuk

permasalahan perikanan yang terjadi baik sekarang dan masa depan.

Universitas Sumatera Utara


BAB II
PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
PERIKANAN DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA

A. Jenis-Jenis Perbuatan Pidana dalam Tindak Pidana Perikanan di

Wilayah Perairan Indonesia

Menurut Prof. Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana

tertentu bagi mereka yang melanggar aturan tersebut.

Pada dasarnya perbuatan pidana di bidang perikanan adalah kegiatan

penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan lokal maupun asing yang

dilakukan dengan cara melawan hukum.

Adapun yang termasuk ke dalam perbuatan pidana dalam tindak pidana

perikanan antara lain:

1. Menggunakan Bahan Kimia, Bahan Biologis dan/atau Bahan Peledak

penggunaan bahan kimia, bahan biologis dan/atau bahan peledak adalah

kegiatan penangkapan ikan yang dilarang dan diatur dalam Pasal 8 Undang-

Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31

tahun 2004 tentang perikanan. Adapun Pasal 8 tersebut berbunyi:

(1) Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau

pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,

bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan

dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

29

Universitas Sumatera Utara


30

(2) Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak

buah kapal yang melakukan penangkapan ikan dilarang menggunakan

bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau

bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian

sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia.

(3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggungjawab

perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan dilarang

menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau

cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan

kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

(4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan

pembudidayaan ikan, dan/atau penanggungjawab perusahaan

pembudidayaan ikan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan dilarang

menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau

cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan

kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

(5) Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,

dan/atau bangunan untuk penangkapan ikan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), diperoleh hanya untuk penelitan.

Universitas Sumatera Utara


31

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahan kimia, bahan biologis,

bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan sebagaimana

dimaksud pada ayah (5), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dapat diketahui dari Pasal 9 tersebut bahwa setiap orang dilarang

menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,

dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian

sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia.

Salah satu bahan kimia yang banyak digunakan nelayan untuk

penangkapan ikan adalah potasium sianida atau yang biasa disebut juga dengan

KCN adalah salah satu senyawa anorganik paling beracun, tampilannya berbentuk

kristal yang mirip dengan gula tak berwarna dan mudah sekali larut dalam air.35

Karena penggunaannya yang disemprotkan ke arah terumbu karang tempat ikan

bersembunyi, maka dampak dari penggunaannya adalah terumbu karang tersebut

akan memutih dan mati sehingga tidak dapat dihuni lagi oleh ikan.

Sebenarnya Potassium Sianida diciptakan untuk pertambangan,

electroplating, dan fotografi. KCN sering juga digunakan sebagai insektisida.

Selain dimanfaatkan untuk pertambangan, KCN juga digunakan untuk gasoline,

produk pelorus rambutm cairan pemutih, pembersih toilet, serta biasa digunakan

untuk dicampurkan sebagai alat pembersih emas.36

Sedangkan penggunakan bom atau alat peledak menurut sejarah dimulai

pada waktu perang Permesta pada tahun 1957-1959, ketika itu tentara dari pusat
35
Fatimah Syahra Lubis, Skripsi, Tinjauan Kriminologi Terhadap Penggunaan Bahan
Kimia dalam Penangkapan Ikan, Medan, UMSU, 2019, hlm. 26
36
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


32

didatangkan ke Sulawesi Utara. Untuk memberi makan pasukan yang besar

dibutuhkan ikan dengan jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan lauk-pauk,

maka seorang koki (juru masak) tentara mengajak beberapa nelayan penangkap

ikan dengan menggunakan granat tangan yang dia miliki dan ternyata cara itu

berhasil mendapatkan ikan yang banyak dalam waktu yang singkat. Setelah itu ia

mengajarkan cara penggunaannya dan membagikannya kepada nelayan. Sejak

saat itu mulailah dikenal oleh nelayan cara menangkap ikan dengan bom.37

Tahun 1979 Indonesia sudah aman, warga sipil dilarang menyimpan

senjata api atau bom dan sekaligus pemerintah melarang penangkapan ikan

dengan bom atau sejenisnya. Tetapi nelayan berupaya merakit bom sendiri dengan

cara memotong sisa peluru yang tidak terpakai untuk diambil mesiunya lalu

dijadikan bom ikan yang dimasukkan ke dalam botol.

Saat ini pembuatan bom ikan telah mengalami modifikasi, kalau dulu

menggunakan mesiu dari peluru, maka sekarang nelayan menggunakan bahan-

bahan sebagai berikut: botol coca-cola, pupuk urea cap Matahari atau obor cap

minyak tanah, korek api, sandal bekas, kantong plastik, kertas timah, kertas

kalender, kertas pasir, gunting, benang dan lilin.38

Bagi Indonesia, terumbu karang merupakan aset negara yang sangat

tinggi nilainya, bukan secara ekonomis melainkan dilihat dari nilai estetikanya,

karena terumbu karang merupakan salah satu faktor yang meningkatkan

pengembangan industri pariwisata. Selain itu terumbu karang merupakan tempat

hidup bagi beberapa biota laut seperti ikan.


37
Oetnil Pontoh, “Penangkapan Ikan dengan Bom di Daerah Terumbu Karang Desa
Arakan dan Wawontulap”, Vol. VII No. 1, Manado, 2011, hlm. 57
38
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


33

Kegiatan pengeboman ikan merupakan penyebab terbesar bagi kerusakan

ekosistem terumbu karang. Bahan peledak seberat 0,5 Kg yang diledakkan pada

dasar terumbu karang dapat menyebabkan ujung-ujung cabang karang yang

berada pada radius tiga meter menjadi patah-patah. Sedangkan ikan-ikan yang

berada pada radius 5 meter dari pusat ledakan akan langsung mati karena bagian

tubuh pecah, pada radius 15-20 meter ikan akan hilang keseimbangan, berenang

dengan cepat dan tidak terarah. Ikan yang terkena ledakan pada radius seperti ini

akan mengapung kepermukaan, diperkirakan sebanyak 40% sisanya tenggelam

dan jatuh di dasar perairan.

Tidak semua ikan yang berada diantara sela-sela karang dapat diambil

dan diperkirakan sisa yang tertinggal sekitar 20% dan merupakan potensi yang

terbuang percuma. Ikan yang berada agak jauh dari pusat ledakan, biasanya

terlihat tanpa adanya kerusakan fisik tetapi jika dilihat secara seksama ikan

tersebut terasa menjadi lebih lemas dan lentur karena hampir seluruh tulangnya

menjadi remuk.39

Jenis ikan yang sering tertangkap dengan menggunakan bom adalah

jenis-jenis ikan di perairan karang, seperti: ikan gerpuh/kampuik (caranx

sexfaciatus), ikan kerapu (epinephelu s), ikan gembung (rastrelliger sp), ikan

jumbo ekor kuning (caesio sp), ikan baronang (siganus sp).

Ciri-ciri ikan hasil pengeboman, yaitu dagingnya sudah lembek dan

kelihatan tidak segar karena tulangnya sudah hancur akibat ledakan bom dan ikan-

ikan tersebut mudah membusuk. Jumlah ikan yang didapat tergantung hasil laut
39
Haryono Somun, “Tinjauan Kriminologis Penggunaan Bahan Peledak Dalam
Penangkapan Ikan di Desa Kalupapi Kecamatan Bangkurung Kabupaten Bangkep”, Jurnal Ilmu
Hukum Legal Opinion, Vol. 3 No. 2, Sulawesi Utara, 2014, hlm. 3

Universitas Sumatera Utara


34

dan kekuatan bom yang digunakan. Cara ini digunakan nelayan karena hasil yang

diperoleh relatif banyak dalam waktu yang singkat dan biaya operasional

tergolong murah.40

Adapun dampak atau efek samping dari penggunaan bahan kimia dan

bahan peledak untuk menangkap ikan, antara lain:

a) Rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi

b) Rusaknya biota laut lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan

c) Menimbulkan kerusakan dan terganggunya ekosistem yang ada di bawah laut

d) Merugikan perekonomian Negara Republik Indonesia

e) Menyangkut kedaulatan dan kehormatan Negara Republik Indonesia karena

banyaknya kapal nelayan negara asing yang melakukan Tindakan kejahatan di

wilayah pengelolaan perikanan Indonesia

f) Industri perikanan di dalam negeri mengalami kekurangan bahan baku.

2. Perizinan Ilegal

Di Indonesia dalam melakukan kegiatan perikanan setiap orang

diwajibkan memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan

Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).

Kewajiban memiliki SIUP telah diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang

Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, dimana bunyi Pasal 26 ayat (1) adalah

“Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,

pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIUP (Surat Izin

40
Op.Cit. Oetnil Pontoh, hlm. 58

Universitas Sumatera Utara


35

Usaha Perikanan)”. Dan dilanjut dengan ayat (2) yang mengatur tentang orang-

orang yang tidak wajib memiliki SIUP, yang berbunyi “Kewajiban memiliki SIUP

sebagaimana maksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau

pembudidaya ikan kecil”.

Selanjutnya, pengaturan mengenai SIPI telah diatur dalam Pasal 27

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Dalam pasal 27

disebutkan bahwa setiap kapal baik yang berbendera Indonesia maupun yang

berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di wilayah ZEEI harus

memiliki SIPI dan harus membawa SIPI asli ketika melakukan sedang melakukan

penangkapan ikan. Namun dalam pasal 27 ayat (5) disebutkan bahwa hal tersebut

tidak berlaku bagi nelayan kecil. Masa berlaku SIPI adalah 3 Tahun.

Dan pengaturan mengenai SIKPI telah diatur dalam Pasal 28 Undang-

Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Dalam pasal 28 disebutkan

bahwa setiap kapal pengangkut ikan yang menggunakan bendera Indonesia

maupun asing harus memiliki SIKPI dan turut membawa SIKPI asli ketika sedang

melakukan pengangkutan ikan di wilayah ZEEI. Namun dalam pasal 28 ayat (4)

disebutkan bahwa hal tersebut tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau

pembudidaya ikan kecil.

Namun dewasa ini, semakin banyak nelayan-nelayan Indonesia maupun

asing yang tidak memiliki ketiga dokumen penting yang wajib dimiliki nelayan

pada saat melakukan pengolahan dan penangkapan ikan di wilayah laut Indonesia.

Menurut data dari Direktorat Jendral Perikanan Tangkap (DJPT)

Kementerian Kelautan dan Perikanan sebanyak 2.183 unit izin kapal perikanan

Universitas Sumatera Utara


36

yang berukuran diatas 30 gross ton belum memperpanjang izin penangkapan

dan/atau pengangkutan ikan di Indonesia sampai dengan 22 Juli 2019.41 Mayoritas

nelayan-nelayan tersebut belum memperpanjangan izinnya dikarenakan lamanya

waktu yang diperlukan untuk mengurus izin penangkapan dan/atau pengangkutan

ikan tersebut. Untuk itu Kementerian Kelautan dan Perikanan memangkas waktu

pembuatan izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang semula 14 hari

menjadi 1 jam.

Bentuk perizinan ilegal lainnya adalah pemalsuan dokumen penangkapan

ikan berupa Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Usaha Perikanan

(SIUP), dan Surat Izin Kapal Penangkut Ikan (SIKPI). Hal ini diatur dalam Pasal

28A Undang-Undang Perikanan yang bunyinya:

Setiap orang dilarang:

a. Memalsukan SIUP, SIPI, dan SIKPI; dan/atau

b. Menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu.

Agar dapat menangkap ikan di perairan Indonesia, para pengusaha asing

membeli kapal-kapal penangkap ikan di Indonesia dengan menggandeng

penduduk lokal dengan modus impor kapal. Sehingga pengusaha asing tersebut

tetap sebagai pemilik kapal walaupun kapal tersebut berbendera Indonesia. 42 Hal

tersebut yang membuat banyaknya beredar surat izin ilegal.

41
http://samudranesia.id/inilah-daftar-2-183-kapal-ikan-yang-belum-perpanjang-izin/
diakses pada 28 September 2020, pukul 20.21
42
https://bisnis.tempo.co/read/372585/kongkalikong-izin-penangkapan-ikan-terendus-
polisi/full&view=ok, diakses pada 24 Desember 2020, pukul 19.43 WIB

Universitas Sumatera Utara


37

Pada tahun 2011 ada 6.000 SIPI palsu yang beredar di Indonesia, artinya

ada sekitar 6.000 kapal baru milik asing yang beroperasi di perairan nusantara

yang hasilnya tidak dinikmati oleh nelayan dan masyarakat Indonesia.43

3. Menggunakan Alat Tangkap yang Dilarang

Hal ini telah diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 45 Tahun

2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

perikanan. Adapun bunyi dalam Pasal 9 tersebut adalah:

(1) Setiap orang dilarag memiliki, menguasai, membawa, dan/atau

menggunakan alat penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak

keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah

pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.

(2) Ketentuan mengenai alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan

ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan

sebagaimana dimaksud pada ayat 91) diatur dengan Peraturan Menteri.

Seperti yang disebutkan dalam Pasal 9 Ayat (2), Jenis-jenis alat tangkap

yang dilarang penggunaannya di wilayah perairan Republik Indonesia telah diatur

dalam Pasal 21 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Nomor 71/PERMEN-KP/2016, yang antara lain:44

a. Pukat Hela

Kata “trawl” berasal dari Bahasa Perancis “troler” dan dari kata

“trailing” dama Bahasa Inggris, dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia

43
Ibid.
44
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia

Universitas Sumatera Utara


38

dengan kata “tarik” atapun “mengelilingi seraya menarik” dan ada juga yang

menerjemahkan “trawl” dengan “jaring Tarik”. 45

Dari kata “trawl” lahir kata “trawling” yang berari kerja melakukan

operasi penangkapan ikan dengan trawl, dan kata “trawler” yang berarti kapal

yang melakukan trawling. 46

Pukat Hela (trawls) atau yang biasa juga dikenal dengan pukat harimau

adalah kelompok alat penangkapan ikan yang penggunaannya dilarang di seluruh

jalur WPPNRI karena sifatnya yang merusak biota bawah laut dan sangat

mencemarkan lingkungan.

Pukat hela (trawls) terbuat dari jaring yang memiliki bentuk seperti

kantong yang dilengkapi dengan atau tanpa alat pembuka mulut jaring yang

terbuat dari bahan besi, kayu, dan lainnya untuk menangkap ikan, udan dan jenis

demersal lainnya. Pukat hela (trawls) diopeerasikan pada perairan dangkal dan

dalam pada bagian kolom maupun dasar perairan dan pengoperasiaan pukat hela

(trawls) ini dilakukan dengan cara pukat yang telah di pasang pada bagian sisi

kapal ataupun belakang kapal dihela di dasar atau kolom perairan sesuai dengan

jenis pukat hela yang digunakan lalu ditarik dengan menggunakan kapal yang

sedang bergerak.

Meskipun penggunaan pukat hela (trawls) ini telah dilarang

penggunaannya oleh pemerintah, namun pada faktanya pukat inilah salah satu alat

45
Arisandi, Inkonsistensi Kebijakan Penggunaan Jaring Trawl (Studi Kasus
Penggunaan Jaring Trawl oleh Nelayan Wilayah Perairan Gresik”, Jurnal Kebijakan dana
Manajemen Publik, Vol. 4 No. 1, Surabaya, 2016, hlm. 7
46
Ibid. hlm. 8

Universitas Sumatera Utara


39

penangkapan ikan yang masih banyak digunakan oleh nelayan-nelayan yang tidak

bertanggung jawab.

Pukat hela (trawls) terbagi atas beberapa jenis, yakni:47

1) Pukat Hela Dasar (Bottom Trawls), jenis ini terbagi atas:

a) Pukat Hela Dasar Berpalang (beam trawls)

b) Pukat Hela Dasar Berpapan (otter trawls)

c) Pukat Hela Dasar Dua Kapal (Pair Trawls)

d) Nephrops Trawls

e) Pukat Hela dasar Udang (Shrimp Trawls)

2) Pukat Hela Pertengahan (Midwater Trawls)

a) Pukat Hela Pertengahan Berpapan

b) Pukat Hela Pertengahan Dua Kapal

c) Pukat Hela Pertengahan Udang

3) Pukat Hela Kembar Berpapan

4) Pukat Dorong

b. Pukat Tarik (Seine Nets)

Alat penangkap ikat jenis pukat tarik (Seine Nets) merupakan kelompok

jenis alat tangkap ikan yang berbahan dasar jaring dan berbentuk kantong (cod-

end) yang tidak memiliki alat pembuka mulut jaring, dengan cara

pengoperasiannya adalah melingkari gerombolan (scholling) ikan pelagis atau

ikan demersal kemudian menariknya ke kapal yang dalam keadaan

berhenti/berlabuh jangkar atau ke darat/pantai melalui kedua bagian sayap dan tali
47
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
KEP.06/MEN/2010 tentang Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia

Universitas Sumatera Utara


40

selambar. Pengoperasian pukat Tarik (seine netss) ini dapat dilakukan di

permukaan, kolom maupun dasar perairan berdasarkan jenis pukat Tarik (seine

nets) yang digunakan.48

Pukat Tarik (Seine Nets) terbagi atas beberapa jenis, antara lain:49

1) Pukat Tarik pantai (Beach Seines)

2) Pukat Tarik berkapal (boat or Vessel Seines)

a) Dogol (Danish Seines)

b) Scottish Seines

c) Pair Seines

d) Payang

e) Cantrang

f) Lampara Dasar

c. Perangkap (traps)

Alat penangkap ikan jenis perangkap ini adalah kelompok alat penangkap

ikan yang terbuat dari jaring, dan/atau besi, kayu, bambu yang berbentuk silinder

atau trapesium dan bentuk lainnya yang dioperasikan secara pasif pada dasar atau

permukaan perairan, dengan dilengkapi atau tanpa umpan. 50

Namun diantara jenis-jenis alat tangkap perangkap yang dilarang, hanya

penggunaan perangkap ikan peloncat (aerial traps) dan Muroami yang dilarang

penggunaannya oleh pemerintah Negara Republik Indonesia.

Muroami atau dengan nama lain pukat ikan karang adalah alat tangkap

ikan yang terbuat dari jaring dengan dilengkapi pelampung yang dipasang pada
48
Ibid. hlm. 6
49
Ibid. hlm. 6
50
Ibid. hlm. 20

Universitas Sumatera Utara


41

bagian atas tali ris, dan juga dilengkapi dengan pemberat yang dipasang pada

bagian bawah yang tebuat dari batu. Muroami dibuat memiliki bagian sayap dan

kantong. Cara pengoperasian alat tangkap muroami adalah dengan melakukan

penggiringan ikan-ikan yang telah dijadikan target penangkapan agar masuk ke

bagian kantong jaring.

Jenis perangkap muroami dilarang penggunaannya dikarenakan alat

tangkap ini tidak selektif sehingga dapat mengancam keberlangsungan siklus

hidup ikan. Jenis ikan yang menjadi target perangkap muroami adalah ikan ekor

kuning atau pisang-pisang dimana jenis ikan ini merupakan kelompok ikan karang

yang membetuk kelompok yang relatif besar sehingga dapat dengan mudah

dieksploitasi.51

Begitupun dengan jenis perangkap ikan peloncat, jenis perangkap ini

dilarang karena tidak selektif dalam hal ukuran ikan yang dijadikan target

penangkapan.

4. Pencurian Ikan

Salah satu penyebab utama pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia ialah lemahnya

pengawasan akibat rendahnya integritas moral serta kurangnya sarana dan

prasarana yang memadai. Tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia oleh

nelayan asing menurut audit BPK mencapai 30 trilyun rupiah pertahun. Menarik

pula, pelaku tindak pidana pencurian ikan yang dilakukan nelayan asing di
51
Mokhammad Dahri Iskandar, Konstruksi Alat Tangkap Muroami dan Metode
Pengoperasiannya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jurnal Mangrove dan Pesisir, Vol. 10
No. 1, Jakarta, 2009, hlm. 29

Universitas Sumatera Utara


42

perairan Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh dijatuhi pidana penjara selama

belum ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah

Negara yang bersangkutan.52

Kegiatan pencurian ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara

Republik Indonesia (WPPNRI) semakin meningkat dan semakin mencemaskan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia mecatat kerugian negara

akibat pencurian ikan mencapai 25% dari total potensi perikanan Indonesia.53

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan merupakan pengaturan

mengenai pencurian ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik

Indonesia. Sehingga bagi kapal berbendera asing yang tidak dilengkapi SIPI maka

kapal tersebut melakukan pencurian ikan di wilayah ZEEI.

Namun, dalam ketentuan Pasal 62 Ayat (3) dan (4) Konvensi Hukum

Laut Tahun 1982 mengharuskan negara pantai untuk memberikan hak akses

kepada negara lain untuk mengeksploitasi kekayaan hayati di wilayah Zona

Ekonomi Ekslusif negara pantai apabila terjadi surplus dalam hal pemanfaatan

sumber daya hayati oleh negara pantai. 54

Kapal-kapal ikan asing yang mempunyai hak akses pada zona ekonomi

ekslusif suatu negara pantai harus menaati peraturan perundang-undangan negara

pantai yang bersangkutan, yang dapat berisikan kewajiban-kewajiban dan

52
Marudut Hutajulu, Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan Di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (Studi Putusan
No: 03/Pid.Sus.P/2012/PN.Mdn), USU Law Journal, Medan, 2014, hlm. 231
53
Mohammad Maulidan, Penegakan Hukum Pencurian Ikan di Wilayah Zona Ekonomi
Ekslusif Indonesia (ZEEI), Jurnal Jurist-Diction, Vol. 1 No. 2, Surabaya, 2018, hlm. 611
54
Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut,
Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1994, hlm. 36

Universitas Sumatera Utara


43

persyaratan-persyaratan mengenai berbagai macam hal, seperti perizinan, imbalan

keuangan, kuota, Tindakan-tindakan konservasi, informasi, riset, peninjauan,

pendaratan tangkapan, persetujuan-persetujuan kerja sama, dan lain sebagainya.55

Cara atau aksi yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam

mengantisipasi dan memberikan efek jera kepada dunia internasional yang hendak

dan telah melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia. Hal ini sudah

dilakukan pernah dilakukan tahun 2003 yang menenggelamkan Kapal Motor

berbendera Filipina yang mencuri ikan di perairan Sulawesi Utara dan terakhir

tahun 2004 menenggelamkan Kapal Motor berbendera Thailand yang mencuri

ikan di Selat Gelasa, Bangka Belitung.

Namun sejak penenggelaman terakhir, Kementerian Kelautan dan

Perikanan Republik Indonesia baru kembali menenggelamkan kapal pencuri ikan

pada tahun 2014 dengan Menteri Susi Pudjiastuti. Sejak Oktober 2014 hingga

Oktober 2019, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menenggelamkan 556

Kapal pencuri ikan dengan rincian 321 kapal Vietnam, 91 kapal Filipina, 83 kapal

Malaysia, 24 kapal Thailand, 2 kapal Papua Nugini, 3 kapal RRT, 1 kapal Nigeria,

1 kapal Beliza, dan 26 kapal Indonesia.56

Luasnya wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Republik Indonesia

merupakan salah satu kendala yang menyebabkan masih banyaknya pencurian

ikan yang dilakukan oleh kapal berbendera asing.

55
Ibid,
56
https://kkp.go.id/artikel/14331-dari-natuna-menteri-susi-pimpin-penenggelaman-19-
kapal-ilegal-di-3-kota, diakses pada 24 Desember 2020, Pukul 22.17 WIB

Universitas Sumatera Utara


44

B. Pertangggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Perikanan

Dalam istilah asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada apakah

seorang pelaku tindak pidana dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana

atau tidak. Konsep pertanggungjawaban pidana ini semata-mata bukan hanya

menyangkut persoalan hukum, namun juga menyangkut perihal nilai-nilai moral

atau kesusilaan umum yang terdapat dalam suatu kelompok masyarakat. Hal ini

dilakukan agar pertanggungjawaban pidana dapat memenuhi keadilan.57

Menurut Roeslan Saleh pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai

diteruskannya celanaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara

subjektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatan itu.58 Celaan

objektif adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang memang merupakan

suatu perbuatan yang dilarang. Indikatornya adalah perbuatan tersebut melawan

hukum baik dalam arti melawan hukum formil maupun melawan hukum materiil.

Sedangkan maksud celaan subjektif menunjuk kepada orang yang melakukan

perbuatan yang dilarang tadi. Sekalipun perbuatan yang dilarang telah dilakukan

oleh seseorang, namun jika orang tersebut tidak dapat dicela karena pada dirinya

tidak terdapat kesalahan, maka pertanggungjawaban pidana tidak mungkin ada.59

Dalam pertanggungjawaban pidana maka pertanggungjawaban

dibebankan kepada pelaku pelanggaran tindak pidana berkaitan dengan dasar

57
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Cet. Pertama,
Jakarta, Rajawali Pers, 2015, hlm. 16
58
Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Cet. Pertama,
Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 33
59
Op.Cit. Hanafi, Mahrus, hlm. 21

Universitas Sumatera Utara


45

untuk menjatuhkan sanksi pidana. Dasar seseorang dapat dipidana karena adanya

kesalahan.60

Seseorang dapat diminta pertanggungjawabannya jika terdapat unsur

kesalahan. Dalam hukum pidana kesalahan terbagi atas:

1. Kesengajaan

Wirjono Prodjodikoro menerangkan bahwa Sebagian besar tindak pidana

mempunyai unsur kesengajaan atau opzet bukan culpa.61 KitabMengenai unsur

kesalahan yang disengaja tidak perlu dibuktikan bahwa pelaku mengetahui bahwa

perbuatannya diancam oleh undang-undang. Sudah cukup dengan membuktikan

bahwa pelaku menghendaki perbuatannya tersebut dan mengetahui konsekuensi

atas perbuatannya.

Terdapat 2 teori kesengajaan yang dikenal dalam hukum pidana di

Indonesia yaitu:

a. Teori Kehendak (Wils-theorie)

Teori ini dikemukakan oleh Von Hippel, dimana dikatakan bahwa

sengaja berarti akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat

sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dikehendaki dan akibat

perbuatan benar-benar menjadi maksud dari perbuatan yang dilakukan.62

Dalam Memorie van Toelichting (MvT) „menghendaki‟ diartikan sebagai

kehendak untuk melakukan suatu perbuatanntertentu, dan wetens atau

60
Chairul Huda, Dari Tindak Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawab Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Kedua, Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 68
61
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Refika
Aditama, 2003, hlm. 65
62
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi RevisiI, Jakarta, Rineka Cipta, 2008,
hlm. 148

Universitas Sumatera Utara


46

„mengetahui‟ diartikan sebagai mengetahui atau dapat mengetahui bahwa

perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat sebagaimana yang dia kehendaki.63

b. Teori Membayangkan (voorstelling theorie)

Teori ini dikemukan oleh Frank, yang menyatakan bahwa secara

psikologis tidak mungkin suatu akibat dapat dikehendaki. Manusia hany dapat

membayangkan , mengingini, mengharapkan, atau membayangkan adanya suatu

akibat.64 Penganut teori ini adalah Van Hamel dan Frank.

Dalam hukum pidana terdapat 3 bentuk kesengajaan:

a) Sengaja sebagai maksud (Opzet Als Oogmerk)

Sengaja sebagai maksud artinya dalam kejahatan ini pelaku benar-benar

menghendaki (willness) dan mengetahui (wetens) atas perbuatan dan akibat dari

perbuatan pelaku.65 Perbuatan pelaku tersebut dilakukan untuk mendapatkan apa

yang diinginkannya dengan cara melawan hukum.

seseorang mampu bertanggung iawab jika jiwanya sehat yakni apabila

orang tersebut mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya

bertentangan dengan hukum, dan apabila orang tersebut dapat menentukan

kehendaknya sesuai dengan kesadaran.

Contohnya ialah A menyiram air keras kewajah B dengan tujuan agar

wajah B rusak akibat siraman air keras tersebut. Sehingga ketika A menyiram air

keras tersebut, A sudah tau akibat dari perbuatannya.

63
Muntaha, Hukum Pidana Malapraktik: Pertanggungjawaban dan Pengahpusan
Pidana, Jakarta, Sinar Grafika 2019, hlm. 234
64
Loc.Cit. Andhi Hamzah
65
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta, Raja
grafindo Persada, 2012, hlm. 85

Universitas Sumatera Utara


47

b) Sengaja sebagai suatu keharusan (Opzet bij zekerheids bewustzijn)

Kesengajaan semacam ini terjadi apabila pelaku kejahatan tersebut

dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat dari perbuatannya,

tetapi pelaku melakukan perbuatan tersebut sebagai keharusan untuk mencapai

tujuan yang lain. Artinya, pelaku menyadari perbuatan yang ia lakukan namun

pelaku tidak menghendaki akibat dari perbuatan yang telah ia perbuat.66

Contohnya seperti A ingin membalas dendam kepada B dengan cara

menabrak B dengan sebuah sepeda motor dengan kecepatan tertentu. A sudah

mengetahui bahwa akibatnya adalah kaki B diamputasi. Namun pada saat A

menjalankan niat tersebut, B ternyata meninggal dunia. Hal tersebut bukanlah

akibat yang ingin dicapai oleh A.

c) Sengaja sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn)

Dalam hal ini seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk

menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi pelaku tersebut menyadari bahwa

perbuatannya tersebut memungkinkan akan timbul akibat lain yang akibatnya

tersebut juga dilarang dan diancam oleh undang-undang.67

Contohnya adalah A mengasah sebuah pisau dengan tujuan untuk

mencelakai B, namun pada saat akan melakukan perbuatannya tersebut A sudah

mengetahui akibat lain dari perbuatannya tersebut yakni B bisa saja mati akibat

dari tusukan yang akan dilakukan A.

66
Ibid. hlm. 122
67
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2012,
hlm. 18

Universitas Sumatera Utara


48

2. Kealpaan (Culpa)

Jan Remmelink dalam bukunya mengatakan bahwa kealpaan (culpa)

mencakup kurang cerman berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang

terarah. Menurutnya, ihwal culpa di sini jelas merujuk pada kemampuan psikis

seseorang dan karena itu dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang

menduga secara nyata akibat dari Tindakan orang tersebut.68

Pada hakikatnya, antara kesengajaan dengan kealpaan (kelalaian) hanya

berbeda bentuk. Pada kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan,

sedangkan dalam kealpaan, orang kurang mengindahkan larangan sehingga tidak

berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan yang objektif, yang pada akhitnya

kuasa menimbulkan keadaan yang dilarang.69

Dalam culpa , sikap batin mempunyai peran yang sangat penting untuk

menentukan terwujudnya suatu perbuatan. Sikap batin lalai terhadap sifat

melawan hukumnya perbuatan, adalah sikap batin yang seharusnya menyadari

tentang terlarang atau dilarangnya suatu perbuata.70

Leden Marpaung dalam bukunya membagi kealpaan menjadi 2 bentuk,

yakni:71

a) Kealpaan dengan Kesadaran (Culpa Lata)

Dalam hal ini pelaku membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu

akibat, walaupun pelaku berusaha untuk mencegah, namun akibatnya tidak dapat

dielakkan.

68
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm.
177
69
Op.Cit. Muntaha, hlm. 246
70
Ibid.
71
Op.Cit. Leden Marpaung

Universitas Sumatera Utara


49

Menurut Moeljatno, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai culpa lata

sekurang-kurangnya harus mengandung syarat berikut:72

1. Tidak mengadakan dugaan-dugaan sebagaimana diharuskan oleh hukum

2. Tidakan mengadakan kehati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum

Untuk membuktikan adanya dolus atau culpa ata sangatlah sulit sehingga

di dalam system peradilan pidana digunakan system objective culpa, atau

kelalailan yang diobjektifkan. Cara yang digunakan ialah dengan menganalisis

perbuatan yang berbahaya yang dilakukan oleh tersangka. Dengan cara demikian,

hakim dapat menarik kesimpulan terdakwa dengan perbuatan berbahayanya

mempunyai kealpaan atau kelalaian.73

b) Kealpaan Tanpa Kesadaran (Culpa Levis)

Dalam hal ini, pelaku tidak dapat membayangkan atau menduga suatu

akibat yang dilarang atau diancam hukuman oleh undang-undang, sedangkan ia

harus memerhitungkan akan timbulnya suatu akibat.

Seseorang memiliki kemampuan bertanggung jawab dalam keadaan

normalitas psikis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 (tiga)

kemampuan yakni:74

1. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri.

2. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan

masyarakat tidak diperbolehkan.

3. Mampu untuk menentukan kehendaknya atras perbuatanperbuatannya itu.

72
Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika, 2007, hlm. 332
73
Op.Cit. Muntaha, hlm. 245
74
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana, Dua Pengertian
Dasar Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Aksara Baru, 1983, hlm. 80

Universitas Sumatera Utara


50

Menurut Wolter, mampu bertanggung jawab adalah mampu untuk

menginsyafi sifat melawan perbuatan hukumnya dan sesuai dengan keinsyafan itu

mampu untuk menentukan kehendaknya.75

Pertanggungjawaban pidana hanya akan dijatuhkan kepada pelaku tindak

pidana, Pelaku menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yakni:76

1. Orang yang melakukan tindak pidana itu sendiri (pleger)

2. Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger)

3. Orang yang turut serta melakukan (medepleger)

4. Orang yang membantu melakukan (Medeplichtige)

5. Penganjur (Uitlokker)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak menyebutkan secara jelas

mengenai sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut. Beberapa Pasal dalam

KUHP sering menyebutkan kesalahan baik berupa kesengajaan ataupun kealpaan,

namun sayangnya mengenai pengertian kesalahan, kesengajaan maupun kealpaan

tidak dijelaskan pengertiannya oleh Undang-Undang.

Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar

bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada pelaku atau

terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak

pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana.

Berdasarkan kamus besar bahasa indonesia dinyatakan bahwa alasan

penghapus pidana merupakan terjemahan dari istilah belanda

75
Ridwan Rangkuti, Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Tindak Pidana
Lingkungan Hidup Menurut Undang– Undang Nomor 23 Tahun 1997, Jurnal Justisia, Vol 1 No. 1,
Padang Sidempuan, 2018, hlm. 262
76
Lihat pada pasal 55-57 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Universitas Sumatera Utara


51

strafuitsluitingsgrond, yang dapat diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus

dikemukakan tetapi tidak dibuktikan oleh terdakwa) yang meskipun terhadap

semua unsur delik tertulis telah dipenuhi namun pelaku tidak dapat dijatuhi

hukuman pidana.77

Dalam hukum pidana di Indonesia dikenal sebuah alasan yang dapat

menghapuskan kesalahan terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh

terdakwa, yakni alasan tersebut dikenal dengan alasan pemaaf yaitu alasan yang

menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap

bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ada alasan

yang menghapuskan kesalahan terdakwa sehingga tidak mungkin ada

pemidanaan. Alasan pemaaf yangterdapat dalam KUHP antara lain:

a) Pasal 44 mengenai seseorang tidak mampu bertanggungjawab karena jiwanya

cacat, baik karena disebabkan oleh gangguan psikis maupun gangguan fisik.

Namun hakim dapat menetapkan bahwa orang tersebut untuk dirawat di rumah

sakit.

b) Pasal 49 Ayat (2) mengenai pembelaan terpaksa yang melampaui batas karena

adanya goncangan jiwa. Unsur utama dari pasal ini yaitu adanya goncangan

jiwa yang hebat akibat adanya ancaman atau serangan, sehingga terdakwa

melakukan perbuatan melawan hukum.

c) pasal 51 Ayat (2) mengenai dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan

yang tidak sah.78 Unsur terpenting dari pasal ini yakni bahwa terdakwa tidak

mengetahui bahwa perintah tersebut bukanlah dari orang yang berwenang


77
Narindri Intan Ardina, Tindakan Perawat Dalam Keadaan Keterbatasan Tertentu
Sebagai Alasan Penghapus Pidana, Jurist Diction, Vol 2 No. 1, Surabaya, 2019, hlm. 247
78
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981, hlm. 47

Universitas Sumatera Utara


52

sehingga pada saat terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum tersebut

terdakwa mengira bahwa perintah tersebut sah dan masih dalam lingkungan

pekerjaannya.

Dalam tindak pidana perikanan yang dapat bertanggung jawab sesuai

dengan yang telah dimuat dalam Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 45

Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan adalah bahwa yang bertanggung jawab terhadap tindak pidana

perikanan adalah setiap orang. Setiap orang disini adalah orang perorangan

(individu) maupun korporasi.

Sehingga oleh karena itu Undang-Undang ini memberlakukan

peraturannya terhadap warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum

Indonesia dan badan hukum asing yang melakukan kegiatan di bidang

penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perairan Republik Indonesia. Bahkan

secara lebih spesifik Undang-Undang menyebutkan bahwa orang perorangan yang

dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya termasuk juga nahkoda, anak buah

kapal (ABK), pemilik kapal perikanan, dan pemilik perusahaan perikanan.

Tindak pidana ini tergolong ke dalam delik dolus, karena perbuatannya

harus dilakukan dengan sengaja, setiap orang dianggap tahu mengenai larangan

tersebut, karena sejak Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan

atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ini diumumkan

Universitas Sumatera Utara


53

dalam lembaran negara Republik Indonesia, maka setiap orang dipandang sudah

mengetahui peraturan tersebut.79

C. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perikanan Menurut

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

Dalam Black’s Law Dictionary Henry Campbell Black memberikan

pengertian sanksi pidana sebagai punishment attached to conviction at crimes

such fines, probation and sentences (suatu pidana yang dijatuhkan untuk

menghukum suatu penjahat (kejahatan) seperti dengan pidana denda, pidana

pengawasan dan pidana penjara).80

Berdasarkan deskripsi pengertian sanksi pidana di atas dapat

disimpulkan, bahwa pada dasarnya sanksi pidana merupakan suatu pengenaan

suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu

kejahatan (perbuatan pidana) melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh

kekuasaan (hukum) yang secara khusus diberikan untuk hal itu, yang dengan

pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak melakukan tindak

pidana lagi.81

singkatnya sanksi pidana merupakan suatu penjamin untuk merehabilitasi

perilaku dari pelaku kejahatan itu sendiri, namun tidak jarang bahwa sanksi

pidana diciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri.

79
Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika,
2011, hlm. 451
80
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm.195
81
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


54

Pasal 10 KUHP membedakan sanksi-sanksi pidana menjadi dua

klasifikasi, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Kedua klasifikasi sanksi

pidana tersebut menjadi pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan jenis pidana

kepada terdakwa yang terbukti bersalah melanggar delik. Adapun jenis sanksi

pidana menurut Pasal 10 KUHP antara lain:

1. Pidana Pokok meliputi:

a) Pidana Mati

Pidana mati merupakan sanksi pidana paling berat dalam hukum positif

Indonesia. Kehidupan merupakan hak dasar yang dimiliki setiap manusia yang

lahir ke dunia, namun hak tersebut dapat dibatasi oleh instrument undang-undang.

Terdapat pro dan kontra terhadap sanksi pidana ini. Diantara keberatan-

keberatannya yaitu pidana ini tidak dapat ditarik atau dicabut kembali apabila

terdapat kekeliruan dalam penjatuhan vonisnya.

Beberapa metode dalam penjatuhan pidana mati diberbagai negara antara

lain:

1) Suntik Mati

2) Hukum Pancung

3) Hukum Gantung

4) Kursi Listrik

5) Kamar Gas

6) Hukum Cambuk

7) Hukum Tembak, dan

8) Rajam

Universitas Sumatera Utara


55

Indonesia sendiri dalam penerapan hukuman mati menggunakan metode

hukum tembak dimana terpidana ditutup matanya lalu dihadapkan dihadapan regu

Indonesia sendiri dalam penerapan hukuman mati menggunakan metode hukum

tembak dimana terpidana ditutup matanya lalu dihadapkan dihadapan regu tembak

yang diantara regu tembak tersebut hanya 1 orang yang mempunyai peluru dan

mereka tidak mengetahui diantara mereka senapan siapa yang berisi peluru.

b) Pidana Penjara

Menurut P.A.F. Lamintang, bentuk pidana penjara merupakan suatu

pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang

dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah Lembaga

pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan tata

tertib yang berlaku di dalam Lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan

suatu Tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.82

c) Pidana Kurungan

Walaupun dengan cara pemisahan pergaulan hidup dari masyarakat,

namun pidana kurungan sifatnya lebih ringan dibanding pidana penjara. Lebih

ringan yang dimaksud antara lain, seorang yang dijatuhi pidana kurungan

diperbolehkan membawa peralatan pribadi yang dibutuhkannya seperti selimut.

Selain itu juga pekerjaan yang dilakukan oleh orang yang dijatuhi pidana penjara

lebih berat dibanding orang yang dijatuhi pidana kurungan. Pidana kurungan

dapat dijatuhi sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya satu tahun, dan

82
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier di Indonesia, Bandung, Armico, 1984, hlm.69

Universitas Sumatera Utara


56

dapat dijatuhi selama satu tahun 4 bulan jika terdapat pemberatan pidana yang

disebabkan gabungan atau pengulangan pidana atau karena ketentuan pasal 52.83

d) Pidana Denda

Pidana denda dijalankan dengan cara membayar sejumlah nominal yang

ditetapkan oleh Pengadilan. Dalam pidana denda terdapat keringanan yang dapat

dilakukan oleh si terpidana seperti:

1) Pidana denda dapat dibayarkan oleh orang selain terpidana atas nama

terpidana.

2) Apabila terpidana tidak mampu membayar denda yang telah ditetapkan oleh

Pengadilan, maka terpidana dapat mengganti pidana denda dengan pidana

kurungan.

e) Pidana Tutupan

Pidana tutupan itu sebenarnya telah dimaksudkan oleh pembentuk

Undang-undang untuk menggantikan pidana penjara yang sebenarnya dapat

dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku dari sesuatu kejahatan, atas dasar bahwa

kejahatan tersebut oleh pelakunya telah dilakukan karena terdorong oleh maksud

yang patut dihormati.84

Penerapan pidana tutupan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor

20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan yang ditetapkan pada tanggal 31 Oktober

1946 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 November 1946.

Diadakannya pidana tutupan ini karena situasi yang terjadi pada masa

perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang terdapat upaya percobaan

83
Lihat pada Kitab-Undang Hukum Pidana Pasal 18 Ayat (1) dan (2)
84
Loc.Cit. P.A.F. Lamintang, hlm. 147

Universitas Sumatera Utara


57

perebutaan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak oposisi terhadap cabinet Sjahrir

II. Peristiwa tersebut dikenal dengan “Peristiwa 3 Juli 1946”.

Tujuan terpidana tutupan dipisahkan dan diasingkan dengan terpidana

biasa adalah untuk menegaskan bahwa terpidana tutupan berbeda dengan tepidana

biasa, selain itu agar terpidana tutupan tidak terpengaruh oleh pikiran-pikiran

terpidana biasa. Pelaksanaan pidana tutupan diatur oleh Peraturan Pemerintah

Nomor 8 Tahun 1948 Tentang Rumah Tutupan.

Selain Pidana pokok, Pasal 10 KUHP juga mengatur mengenai Pidana

tambahan antara lain:

1. Pencabutan hak-hak tertentu;

2. Perampasan barang-barang tertentu;

2. Pengumuman putusan hakim;

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan

atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, adapun sanksi

yang diberikan kepada pelaku tindak pidana di bidang perikanan adalah sanksi

administratif, pidana penjara dan pidana denda.

Dalam Undang-Undang tersebut adapun tindak pidana di bidang

perikanan terbagi atas:

1. Pengguna bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,

dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian

sumber daya ikan dan/atau lingkungannya

2. Pengguna alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang

tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, tidak sesuai dengan persyaratan

Universitas Sumatera Utara


58

atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu, dan atau alat penangkap

ikan yang dilarang

3. Pencurian ikan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Republik Indonesia,

dan

4. Perizinan illegal

Sanksi administratif dijatuhkan apabila seseorang melakukan

pelanggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun

sanksi administratif yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun

2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan berupa:

1. Peringatan;
2. Pembekuan izin; atau
3. Pencabutan izin
Sedangkan bagi pelaku tindak pidana, seseorang tidak lagi dikenai sanksi

administratif melainkan sudah dikenai sanksi pidana yang sudah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Adapun sanksi pidana yang akan

dikenakan terhadap pelaku tindak pidana dibidang perikanan yakni pidana penjara

dan pidana denda.

Adapun yang dapat dijatuhkan sanksi pidana di bidang perikanan

menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tetang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan antara lain:

1. Setiap orang baik orang perorangan maupun korporasi;

Universitas Sumatera Utara


59

2. Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan

anak buah kapal;

3. Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan,

penanggungjawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal

perikanan; dan

4. Pemilik perusaaan pembudidyaan ikan, kuasa pemilik perusahaan

pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan

pembudidayaan ikan.

Hal ini diatur dalam BAB XV mengenai Ketentuan Pidana dari Pasal 84

sampai dengan Pasal 100C Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tetang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam

pasal pasal diatas juga terdapat perbedaan antara beratnya hukuman setiap pihak

yang dapat dijatuhkan sanksi pidana. Seperti contoh yang terdapat dalam Pasal 84

yang bunyinya Pasal 84 ayat (1), “Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau

pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan

peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau

membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.200.000.000,00 (satu

miliar dua ratus juta rupiah)”.

Pasal 84 Ayat (2), “Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli

penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang sengaja menggunakan di wilayah

Universitas Sumatera Utara


60

pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,

dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian

sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8

ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah)”.

Pasal 84 Ayat (3), “Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan

perikanan, penanggungjawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal

perikanan, yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia,

bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat

merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dipidana dengan

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan

pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan

ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan

biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat

merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau

lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), dipidana dengan

Universitas Sumatera Utara


61

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp2.000.000.000.00 (dua miliar rupiah).

Meskipun tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tergolong sebagai

tindak pidana di bidang perikanan, namun karena perbuatan tersebut berkaitan

dengan pencemaran/kerusakan lingkungan hidup, tidak tertutup kemungkinan

pelaku tersebut dituntut berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat

UU PPLH). Untuk dapat dituntut dengan UU PPLH tersebut, maka perbuatan

pelaku harus memenuhi unsur pencemaran lingkungan hidup

Universitas Sumatera Utara


BAB III
PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TERHADAP
PENGGUNA ALAT TANGKAP IKAN ILEGAL
(STUDI PUTUSAN NOMOR : 309/PID.SUS/2019/PN SBG)

A. Posisi Kasus

1. Kronologi Kasus

Terdakwa dengan nama Balga Hatop Marbun pada hari Selasa tanggal 23

Juli 2019 sekira pukul 10.00 WIB atau setidak-tidaknya pada bulan Juli 2019,

bertempat di perairan Sorkam pada posisi 01050’373”U dan 098032’589”T

tepatnya di perairan Sorkam atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang

termasuk dalam wilayah Hukum Pengadilan Negeri Sibolga, dengan sengaja

memiliki, menguasai, membawa dan/atau menggunakan alat penangkap ikan

dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak

keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Republik Indonesia, perbuatan mana dilakukan Terdakwa

dengan cara sebagai berikut:

Pada waktu dan tempat sebagaimana yang sudah disebutkan di atas,

awalnya Terdakwa selaku Nahkoda85 KM. Qolit berangkat ke laut pada hari Senin

tanggal 22 Juli 2019 sekitar pukul 10.00 WIB dari tangkahan TPI menuju perairan

Pulau Mursala, di perairan karang bungkuk KM. Qolit melakukan penangkapan

ikan menggunakan jaring Hela (trawl mini) sebanyak 4 kali dengan cara jaring

pukat pertama-tama dibuang kemudian ditarik sambil kapal melaju dengan

kecepatan 2 (dua) knot, selanjutnya kira-kira 4 (empat) jam Terdakwa dan ABK

85
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nahkoda adalah Juragan (pemimpin)
perahu (kapal), Perwira Laut yang memegang komando tertinggi di atas kapal niaga, kapten kapal.

62

Universitas Sumatera Utara


63

kapal mengangkat jaring tersebut dengan cara ditarik dengan menggunakan

tangan kemudian mengangkat jaring yang telah berisi ikan ke atas kapal.

Kemudian pada tanggal 23 Juli 2019 sekira pukul 06.00 WIB KM. Qolit

bertolak dari tangkahan TPI ke laut untuk menangkap ikan dengan ABK 3 (tiga)

orang, setelah sampai di perairan Pulau Mursala KM. Qolit menurunkan jaring

Pukat Hela (trawl mini) sambil melaju dengan kecepatan +2 (lebih dari dua) knot.

Sekira pukul 10.00 WIB, KAL I-2-04/Mansalar mendapat informasi dari nelayan

sekitar pulau Mursala bahwa ada nelayan yang sedang melaksanakan menarik

jaring pukat hela (trawl mini) di Pulau Mursala tersebut. Kemudian KAL I-2-

04/Mansalar langsung menuju ke pantai pulau Mursala menyisir pantai.

Kemudian pihak KAL I-2-04/Mansalar menemukan Terdakwa dan saat

itu diketahui bahwa Terdakwa adalah Nahkoda KM. Qolit, selanjutnya atas

perintah Komandan KAL I-2-04/Mansalar, pihak KAL I-2-04/Mansalar

melaksanakan pemeriksaan terhadap kapal tersebut dan ternyata mereka

menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang yaitu 1 (satu) set

jaring Hela (pukat trawl mini) dan barang bukti lain berupa 1 (satu) set fiber ikan,

1 (satu) set drum plastik, 2 (dua) set fiber kecil dengan hasil tangkapan +70 kg

ikan campur, 1 (satu) lembar bukti pencatatan Kapal Perikanan berlaku s.d 3

September 2019, 1 (satu) lembar Surat Keterangan Data Ukuran dan Tonase

kapal, 1 (satu) lembar Lampiran PAS kecil, dari hasil pemeriksaan kapal bernama

KM. Qlit. Nahkoda, telah selesai melaksanakan pemeriksaan dokumen kapal dan

Universitas Sumatera Utara


64

alat tangkap, atas perintah komandan KAL I-2-04/Mansalar di kawal menuju

Mako Lanal Sibolga untuk proses hukum lebih lanjut.

2. Dakwaan

Bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan

tunggal86 dan perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

Pasal 85 Undang-Undang RI No. 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang berbunyi “setiap

orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa dan/atau

menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang

mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap

ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah)”.

3. Fakta Hukum

Fakta hukum adalah fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan

yang berupa Alat Bukti87 dan Barang Bukti88. Dalam Pasal 184 Ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimaksud dengan alat

bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan

86
Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat
Dakwaan “Dalam surat dakwaan tunggal hanysa satu tindak pidana saja yang didakwakan, karena
tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya.”
87
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia¸Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hlm 254
“Alat Bukti adalah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai
membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang pengadilan”
88
Ibid. “Barang Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil,
pendirian, atau dakwaan.”

Universitas Sumatera Utara


65

keterangan terdakwa.89 Dalam sistem pembuktian hukum pidana Indonesia yang

dapat dipergunakan sebagai pembuktian adalah alat-alat bukti yang sah menurut

Undang-Undang.

Adapun fakta hukum yang diperoleh dari persidangan yakni:

1. Keterangan saksi90 yang disampaikan oleh Riwanto Turni dan Edy Santoso

yang bertugas sebagai Anggota TNI AL;

2. Adapun dalam keterangannya Saksi Riwanto Turnip dan Edy Santoso

memberikan pernyataan sebagai berikut:

a. Saksi telah diperiksa di penyidik dan telah memberikan keterangan yang

benar sehingga saksi sudah menandatangi berita acara pemeriksaan.

b. Penangkapan berawal pada pukul 10.00 WIB, ketika itu TNI AL sedang

melakukan patroli di pulau Mursala, kemudian TNI AL mendapat

informasi bahwa ada nelayan yang sedang melakukan penangkapan ikan

dengan menggunakan pukat hela (trawl mini). Saksi dengan jelas melihat

dengan pukat hela (trawl mini). Kemudian TNI AL melakukan

penyisiran di sekitar pantai pulau Mursala. Saksi secara langsung melihat

bahwa KM. Qolit sedang melakukan penangkapan ikan dengan alat

tangkap yang dilarang.

c. Saksi mengungkapkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan terhadap

dokumen kapal, dokumen tersebut tidak lengkap. Kapal tersebut tidak

memiliki izin berlayar.

89
Lihat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 184 Ayat (1)
90
Pasal 1 Angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana “Saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

Universitas Sumatera Utara


66

d. Saksi mengatakan bahwa barang bukti ikan sudah dimusnahkan karena

sudah rusak.

3. Pernyataan saksi dikuatkan oleh keterangan Terdakwa91 dimana dalam

keterangannya Terdakwa mengatakan;

a. Terdakwa mengetahui bahwa penggunaan alat tangkap yang ia gunakan

dilarang penggunaannya oleh pemerintah. Namun penggunaan pukat

trawl mini sudah menjadi suatu tradisi nelayan Sorkam untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari.

b. Ketika Terdakwa melihat TNI AL yang sedang berpatroli, Terdakwa

menyuruh anak buahnya untuk segera mengangkat Pukat Hela yang

mereka gunakan.

c. Terdakwa baru membawa KM. Qolit kurang lebih selama 3 bulan dan

sebelum berlayar surat-surat sudah diserahkan kepada Terdakwa.

4. Adapun barang bukti yang didapat dari perbuatan terdakwa adalah:

a. 1 (satu) set pukat hela (trawl mini)

b. ±70 kg ikan campur

c. 1 (satu) unit KM. Qolit terbuat dari kayu

d. 1 (satu) set drum plastik

e. 1 (satu) buah fiber ikan

f. 2 (dua) set fiber kecil

g. Dokumen 1 (satu) lembar Bukti Pencatatan Kapal Perikanan berlaku s.d.

3 September 2019
91
Pasal 189 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana “Keterangan
terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang
ia ketahui sendiri atau alami sendiri”

Universitas Sumatera Utara


67

h. 1 (satu) lembar Surat Keterangan Data Ukuran dan Tonase kapal

i. dan 1 (satu) lembar lampiran PAS kecil;

4. Tuntutan

Adapun tuntutan92 Penuntut Umum terhadap tindak pidana yang telah

dilakukan Terdakwa adalah:

a) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Balga Hatop Marbun berupa

pidana penjara selama 2 (dua) tahun penjara dikurangi selama

Terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar Rp250.000.000

(dua ratus lima puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan;

b) Menyatakan barang bukti berupa:

1) 1 (satu) unit KM. Qolit;

2) 1 (satu) set Jaring Trawl mini (pukat hela);

3) 1 (satu) set pukat udang;

4) 2 (dua) buah drum plastik;

5) 3 (tiga) set fiber ikan;

Dirampas untuk dimusnahkan:

1) 1 (satu) bundle dokumen;

2) +70 (dua puluh) Kg ikan campur (dalam keadaan busuk) dan telah

dimusnahkan sesuai dengan Berita Acara Pemusnahan Barang

Bukti Ikan;

92
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
“Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang
dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh hakim di siding dalam hal dan cara yang telah
diatur dalam Hukum Acara Pidana.”

Universitas Sumatera Utara


68

c) Menetapkan agar Terdakwa Balga Hatop Marbun dibebani dengan

membayar biaya perkara sebesar Rp5.000 (lima ribu rupiah);

5. Pertimbangan Hakim

Berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah terungkap di persidangan,

Adapun pertimbangan hakim yang meyakinkan Majelis Hakim bahwa Terdakwa

secara sah dan terbukti melanggar Pasal 85 Undang-Undang RI No. 45 Tahun

2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2004 Tentang

Perikanan dengan unsur-unsur sebagai berikut:

a) Setiap orang

berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang

Perikanan, yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan atau

korporasi.

orang perseorangan atau korporasi yang dimaksud dalam pasal tersebut

adalah yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa dan/atau

menggunakan alat penangkap ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan

sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan

Negara Republik Indonesia;

b) Dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa dan/atau menggunakan

alat penangkap ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan

sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 9;

Universitas Sumatera Utara


69

menurut sifatnya, terdapat 2 (dua) kesengajaan. Pertama adalah “dolus

malus” yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak pidana, tidak saja ia

hanya menghendaki tindakannya itu tetapi juga menginsyafi bahwa tindakannya

itu dilarang oleh undang-undang dan diancam pidana. Kedua, dalam hal seseorang

melakukan suatu tindak pidana tertentu, cukuplah ia hanya menghendaki

tindakannya itu. Artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaan (bathin) dengan

tindakannya itu, tidak disyaratkan apakah ia menginsyafi bahwa tindakannya itu

dilarang atau diancam dengan pidana oleh undang-undang. Undang-undang

hukum pidana menentukan, untuk dapat dipidananya seseorang pelaku tindak

pidana, tidak tergantung dari keinsyafan, apakah suatu Tindakan dilarang dan

diancam dengan pidana.

berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang

Perikanan, yang dimaksud dengan ikan adalah segala jenis organisme yang

seluruh atau Sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan

berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan,

menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa

dan/atau menggunakan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia:

Universitas Sumatera Utara


70

1. Alat penangkapan ikan93 dan/atau alat bantu penangkapan ikan94 yang tidak

sesuai dengan ukuran yang ditetapkan;

2. Alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan atau standar yang

ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang

terlarang;

Berdasarkan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

adalah memiliki, menguasai, membawa dan/atau menggunakan alat penangkap

ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal

penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia,

dimana Tindakan tersebut harus dilakukan dengan sengaja. Tindakan atau

perbuatan yang dilarang tersebut meliputi memiliki, menguasai, membawa

dan/atau menggunakan alat penangkap ikan, sebagaimana tersebut diatas bersifat

alternatif dan bukan kumulatif. Sehingga apabila salah satu tindakan yang

dilarang tersebut telah terpenuhi dalam perbuatan Terdakwa, maka keseluruhan

Tindakan yang dimaksud telah terpenuhi pula;

Yang dimaksud dengan menguasai adalah berkuasa atas sesuatu,

memegang kekuasaan, mengurus, wewenang atas sesuatu yang menentukan. Yang

dimaksud dengan membawa adalah memegang atau mengangkat sesuatu sambal

berjalan atau bergerak dari satu tempat ke tempat lain, mengangkut, memuat,

93
Op.Cit. Peraturan Menteri KP Nomor 71/PERMEN-KP/2016 Pasal 1 Angka 2 “Alat
Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut API, adalah saran dan perlengkapan atau benda-benda
lainnya yag dipergunakan untuk menangkap ikan.”
94
Op.Cit. Peraturan Menteri KP Nomor 71/PERMEN-KP/2016 Pasal 1 Angka 3 “Alat
Bantu penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut ABPI, adalah alat yang digunakan untuk
mengumpulkan ikan dalam kegiatan penangkapan ikan.”

Universitas Sumatera Utara


71

memindahkan, mengirimkan, menarik, atau melibatkan. Sedangkan yang

dimaksud dengan menggunakan adalah memakai, mengambil manfaatnya,

melakukan sesuatu;

Pasal 2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indoensia

Nomor 2/PERMEN-KP/2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkap

Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Negara Republik Indonesia disebutkan setiap orang dilarang

menggunakan alat penangkap ikan pukat hela (Trawl) dan alat penangkapan ikan

pukat Tarik (Seine Nets) diseluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara

Republik Indonesia;

c) Dilakukan oleh Nelayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil;

Dalam Pasal 1 poin 11 telah dijelaskan yang dimaksud dengan Nelayan

kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan

berukuran 5 (lima) gross ton (GT);

Dari ketentuan yang diuraikan di atas maka berdasarkan fakta

persidangan, diketahui bahwa benar KM. Qolit yang di nahkodai oleh Terdakwa

tersebut adalah kapal perikanan berukuran 5 (lima) Gross Ton sebagaimana bukti

Surat Pencatatan Kapal Perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah denga Nomor

Register 036/BPKP/DPMPPTSPI/IX/2018, dan Surat Keterangan Data Ukuran

dan Tonase kapal No. DU.001/120/6/KSOP.Sbg 2018, maka dengan demikian

Terdakwa Bersama Anak Buah Kapalnya yang ditangkap oleh Saksi Riwanto

Universitas Sumatera Utara


72

Turnip dan Edy Santoso (anggota TNI AL) adalah termasuk dalam kategori

nelayan kecil;

Berdasarkan pertimbangan yang telah diuraikan di atas, maka unsur

ketiga haruslah dinyatakan telah terpenuhi menurut hukum terhadap perbuatan

Terdakwa;

Sebelum memutus suatu perkara tindak pidana maka Majelis Hakim

harus memberikan pertimbangan-pertimbangan yang akan menjadi landasan

Majelis Hakim dalam menjatuhkan vonis. Adapun pertimbangan hakim dalam

kasus ini antara lain:

a) Saksi Riwanto Turnip dan Saksi Edy Santoso (anggota TNI AL) bersana

timnya telah menemukan fiber yang berisikan ikan hasil tangkapan yang

dilakukan oleh Terdakwa bersama ABKnya, yang diketahui berjumla ±70

(kurang lebih tujuh puluh) kilogram dengan jenis ikan campur, dan hal tersebut

dibenarkan oleh Terdakwa dalam keterangannya yang mengatakann bahwa

ikan-ikan yang ditemukan tersebut merupakan hasil tangkapannya dengan

menggunakan jaring pukat hampara dasar sejenis trawl mini;

b) Terdakwa terbukti dengan sengaja menggunakan alat penangkap ikan yang

dilarang pemerintah, karena Terdakwa telah mengetahui hal tersebut;

c) barang bukti berupa 1 (satu) set jaring trawl, adalah alat yang dipergunakan

oleh Terdakwa untuk mekakukan kejahatannya sehingga dikhawatirkan akan

dipergunakan kembali, dan lagi pula jaring trawl tersebut adalah alat

penangkap ikan yang dilarang oleh pemerintah, sehingga barang bukti tersebut

haruslah dimusnahkan;

Universitas Sumatera Utara


73

d) selama persidangan Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat

menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar

dan/atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya;

e) Karena terdakwa mampu bertanggung jawab maka harus dinyatakan bersalah

dan dijatuhi pidana;

f) Karena Terdakwa dijatuhi pidana, maka haruslah dibebani pula untuk

membayar biaya perkara;

6. Putusan Hakim

Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, maka

perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang

meringankan Terdakwa;

Keadaan yang memberatkan perbuatan Terdakwa yakni Terdakwa tidak

mendukung program pemerintah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan

penggunaan jarring Trawl. Sedangkan keadaan yang meringankan Terdakwa yaitu

Terdakwa merasa bersalah dan mengakui terus terang perbuatannya

Memperhatikan Pasal 85 Jo Pasal 9 Ayat 1 Jo Pasal 100B Undang-Undang

Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31

Thaun 2004 Tentang Perikanan, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981, serta

ketentuan lain yang berkenaan dengan perkara ini;

MENGADILI:

1. Menyatakan Terdakwa Balga Hatop Marbun tersebut diatas terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja

Universitas Sumatera Utara


74

menggunakan alat penangkap ikan yang mengganggu dan merusak

keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah

pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dalam

dakwaan tunggal;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara

selama 1 (satu) bulan dan denda sejumlah Rp50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan

pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;

3. Menetapkan barang bukti berupa:

a. 1 (satu) unit KM. Qolit 5 GT;

b. 1 (satu) set drum plastik;

c. 1 (satu) buah fiber ikan;

d. 2 (dua) set fiber kecil;

e. Dokumen yang terdiri dari 1 (satu) lembar Bukti Pencatatan Kapal Perikanan

berlaku s.d 3 September 2019, 1 (satu) lembar Surat Keterangan Data Ukuran

dan Tonase Kapal dan 1 (satu lembar lampiran PAS kecil;

Dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak melalui Terdakwa;

a. 1 (satu) set jaring trawl mini (pukat hela)

Dimusnahkan;

a. Barang butki berupa 70 (tujuh puluh) kilogram ikan campur yang sudah

membusuk Nomor BA/17/VII/2019 tanggal 27 bulan Juli 2019 (Berita Acara

Pemusnahan terlampir dalam berkas perkara);

Universitas Sumatera Utara


75

4. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumla Rp5.000,00

(lima ribu rupiah);

B. Analisa Putusan Hakim

Berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang bunyinya bahwa jika

pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindakan pidana

yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Sehingga

ketika Majelis Hakim hendak mengambil keputusan harus dibuktikan bahwa

semua unsur pidana yang didakwakan terbukti.

Dalam Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa Hakim tidak boleh

menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dari Pasal tersebut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sibolga berkeyakinan untuk

menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Balga Hatop Marbun dimana dalam

kasus ini alat bukti yang sah yang sudah terpenuhi adalah keterangan saksi (Edy

Santoso dan Riwanto Turnip) dan keterangan Terdakwa (Balga Hatop Marbun).

Pada dasarnya hukuman dijatuhkan harus memenuhi unsur Yuridis

(Kepastian Hukum), Sosiologis (Kemanfaatan), dan Filosofis (Keadilan). Hal itu

dikarenakan untuk mencapai keseimbangan dan ketentraman dalam

bermasyarakat.

Adapun setelah penulis mengetahui fakta-fakta hukum yang terjadi

selama persidangan, dakwaan yang dijatuhkan oleh penuntut umum telah sesuai

dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh Terdakwa. Dalam kasus ini Penuntut

Universitas Sumatera Utara


76

Umum mendakwakan Terdakwa dengan Pasal 85 Undang-Undang RI No. 45

Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2004

Tentang Perikanan yang berbunyi “setiap orang yang dengan sengaja memiliki,

menguasai, membawa dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat

bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber

daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000

(dua miliar rupiah)”.

Berdasarkan unsur-unsur pasal tersebut di atas jika dikaitkan dengan

fakta hukum yang ada maka Terdakwa terbukti melakukan perbuatan tindak

pidana tersebut. Hal tersebut didukung oleh fakta hukum yang ada yakni yang

terdapat dalam keterangan saksi dimana saksi melihat secara langsung bahwa

Terdakwa melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan pukat hela (trawl

mini), yang dalam pasal 85 bahwa pukat hela termasuk alat penangkapan yang

dilarang karena sifatnya yang dapat merusak dan mengganggu keberlangsungan

sumber daya ikan.

Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan

perundang-undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap

tahu (presumption iures de iure) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat

sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat

Universitas Sumatera Utara


77

membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non

excusat). 95

Dalam Pasal 1 ayat (14) disebutkan bahwa yang bertanggung jawab

terhadap tindak pidana perikanan adalah setiap orang. Sehingga Majelis Hakim

telah sesuai menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa. Sebab Terdakwa terbukti

secara sengaja dalam melakukan perbuatan tindak pidana tersebut. Bentuk

kesengajaan yang dilakukan Terdakwa adalah sengaja sebagai maksud sebab

Terdakwa benar-benar menghendaki dan mengetahui atas perbuatan dan akibat

dari perbuatan Terdakwa dan perbuatan Terdakwa tersebut dilakukan untuk

mendapatkan apa yang diinginkannya dengan cara melawan hukum.

Setelah semua unsur dalam dakwaan terpenuhi dan setelah melihat dan

mendengar fakta-fakta hukum yang ada, selanjutnya Majelis Hakim menjatuhkan

vonis terhadap Terdakwa dimana dalam vonisnya hakim menjatuhkan Terdakwa

dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan dan pidana denda sebesar

Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak

dibayar maka dapat diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan serta

mengembalikan barang bukti berupa 1 (satu) set jaring hela yang digunakan

Terdakwa kepada pemiliknya.

Terhadap vonis Majelis Hakim yang menjatuhkan vonis selama 1 bulan

pidana penjara penulis tidak sepakat karena menurut penulis pidana penjara 1

(satu) bulan dikhawatirkan tidak akan memberikan efek jera terhadap pelaku

maupun terhadap pelaku kejahatan pengguna alat tangkap ikan ilegal lainnya.

95
https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php/beranda/kegiatan/9-kegiatan/139-pener-
apan-asas-fiksi-hukum-dalam-perma, diakses pada 30 Januari 2021, Pukul 21.38 WIB

Universitas Sumatera Utara


78

Kemudian dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyebutkan bahwa

barang bukti berupa 1 (satu) set jaring trawl mini haruslah dimusnahkan karena

alat penangkap ikan tersebut merupakan alat penangkap ikan yang dilarang

pemerintah dan dikhawatirkan akan dipergunakan kembali. Namun pada

putusannya Majelis Hakim mengembalikan Jaring trawl mini kepada pemiliknya

yang berhak melalui Terdakwa. Menurut penulis, Majelis Hakim haruslah

memberikan putusan sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah

disebutkan. Pertimbangan Majelis Hakim menurut penulis sudah tepat untuk

diterapkan dikarenakan apabila jaring trawl mini tersebut dikembalikan

memungkinkan jaring trawl mini tersebut untuk dipergunakan kembali.

Vonis Majelis Hakim lainnya menurut penulis tidak tepat adalah pidana

denda sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila

denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu)

bulan. Karena pidana pengganti berupa pidana kurungan selema 1 (satu) bulan

tidak setimpal terhadap perbuatan Terdakwa yang telah melakukan penangkapan

dengan jaring trawl mini dimana jaring tersebut menyebabkan rusaknya biota laut

sekitar pantai pulau Mursala dan seperti yang diketahui bahwa dasar laut sekitar

pulau Mursala kaya akan terumbu karang dan biota laut lainnya.

Penulis berpendapat bahwa sanksi yang dituntutkan oleh Penuntut

Umum telah sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh Terdakwa atau

minimal Majelis Hakim menjatuhkan vonis pidana penjara selama 1 (satu) tahun

dan pidana denda sebesar Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan

apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6

Universitas Sumatera Utara


79

(enam) bulan. Alasan tersebut sema-mata untuk memberikan efek jera terhadap

Terdakwa dan para pelaku pengguna alat tangkap ikan ilegal lainnya.

Pendapat ini penulis kemukakan berdasarkan pertimbangan teori

pemidanaan deterrence atau teori pencegahan dimana menurut teori ini terdapat

dua prevensi yang menjadi tujuan pemidanaan yaitu prevensi umum dimana

prevensi ini diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak

melakukan kejahatan, sedangkan untuk prevensi khusus dimaksudkan untuk

memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana sehingga tidak mengulangi

perbuatannya kembali.96

96
Resi Maldini, Skripsi, Perbandingan Sistem Pemidanaan di Belanda dengan di
Indonesia dalam Upaya Penanggulangan Over Capacity Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di
Indonesia, UNPAS, Bandung, 2019, hlm. 35

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas adapun

kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan ini yakni:

1. Pengaturan hukum pidana mengenai tindak pidana perikanan di Indonesia telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Adapun jenis-jenis

tindak pidana di bidang perikanan di wilayah perairan Indoneisa, antara lain:

a) Pengguna bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,

dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan

kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya

b) Pengguna alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang

tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, tidak sesuai dengan persyaratan

atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu, dan atau alat

penangkap ikan yang dilarang

c) Pencurian ikan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Republik

Indonesia, dan

d) Perizinan illegal

2. Analisis penulis terhadap Putusan dengan nomor perkara 309/Pid.Sus/209/PN

Sbg yang telah dinyatakan bersalah dan dituntut dengan Pasal 85 Ayat (9) Jo

Pasal 100B Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan oleh Pengadilan

80

Universitas Sumatera Utara


81

3. Negeri Sibolga, dinilai kurang efektif dalam memberikan efek jera baik

terhadap pelaku maupun masyarakat yang menggunakan alat tangkap ikan

ilegal khususnya pengguna alat tangkap pukat hela (trawl). Dan terlebih

terdapat putusan hakim yang tidak sesuai dengan pertimbangan hakim yaitu

terhadap pengembalian barang bukti berupa 1 (satu) set pukat hela mini (trawls

mini) yang digunakan pelaku untuk menangkap ikan di sekitar pantai Pulau

Mursala.

B. Saran

1. Untuk memastikan bahwa Peraturan Perundang-undangan yang telah ada

dijalankan dengan baik, untuk itu perlu untuk diperbanyaknya sumber daya

manusia dan diperbaikinya sarana dan prasarana untuk dilakukannya patroli

rutin di wilayah perairan negara Republik Indonesia, sebab hal tersebut juga

termasuk untuk menjaga kedaulatan negara Republik Indonesia.

2. Pemerintah perlu untuk lebih aktif dalam memberikan sosialisasi terhadap

masyarakat mengenai efek dari tindak pidana di bidang perikanan

khususnya terhadap penggunaan bahan kimia, bom, dan penggunaan alat

tangkap ikan illegal lainnya.

3. Terhadap penjatuhan sanksi pidana, aparat penegak hukum perlu lebih

memberikan efek jera dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak

pidana di bidang perikanan agar pelanggaran dan kejahatan di bidang

perikanan dapat diminimalisir.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Ali, Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2011.

Amrani, Hanafi dan Mahrus Ali. Sistem Pertanggungjawaban Pidana,

Cet. Pertama, Jakarta, Rajawali Pers, 2015.

Apridar. Daya Saing Ekspor Ikan Tuna Indonesia, Yogyakarta, Graha

Ilmu, 2014.

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Teori-Teori

Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta, PT. Raja Grafindo

Persada, 2005.

Farid, Andi Zainal Abidin. Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika,

2007.

Fauzi, Akhmad. Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Jakarta, PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Ghufran, M. dan H. Kordi K. Ekosistem Lamun (Seagrass), Jakarta,

Rineka Cipta, 2011.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia¸Jakarta, Sinar Grafika,

2006

Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana Edisi RevisiI, Jakarta, Rineka

Cipta, 2008.

Huda, Chairul. Dari Tindak Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada

Tiada Pertanggungjawab Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Kedua, Jakarta,

Kencana, 2006.

82

Universitas Sumatera Utara


83

Jhonson, Alvin S. Sosiologi Hukum, Cet. Ketiga, Jakarta, Asdi

mahastya, 2006.

Kansil, Christine S.T. Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta, Pradnya

Paramita, 2004.

Koers, Albert W. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum

Laut, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1994.

Kusnadi. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekosistem Pesisir, cet.

ke-1, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2009.

Kusumastanto, Tridoyo. Ocean Policy Dalam Membangun Negeri

Bahari di Era otonomi Daerah, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Lamintang, P.A.F. Hukum Penitensier di Indonesia, Bandung, Armico,

1984.

Mangkepriyanto, Extrix. Hukum Pidana dan Krimonologi, Cibubur,

Guepedia, 2019.

Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,

Jakarta, Raja grafindo Persada, 2012.

Marpaung, Leden. Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika,

2012.

Muntaha. Hukum Pidana Malapraktik: Pertanggungjawaban dan

Pengahpusan Pidana, Jakarta, Sinar Grafika 2019.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,

Bandung, Refika Aditama, 2003.

Universitas Sumatera Utara


84

Purwoleksono, Didik Endro. Hukum Pidana, Surabaya, Airlangga

University Press, 2016.

Rahmantya, Krisna Fery, dkk. Kelautan dan Perikanan dalam Angka

Waktu 2015 (Marine and Figures 2015), Jakarta, Pusat Data Statistik dan

Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2015, hlm. 23s

Rama, Bahaking, dkk. Pengetahuan Lingkungan, Makassar, Alauddin

press, 2009.

Remmelink, Jan. Hukum Pidana, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama,

2003

Renggong, Ruslan. Hukum Pidana Khusus: Memahami Delik-Delik

diluar KUHP, Jakarta, Kencana, 2016.

Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana,

Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Aksara Baru, 1983.

Saleh, Roeslan. Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana,

Cet. Pertama, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982.

Saptarini, Dian, dkk. Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Wilaya

Pesisir, Kerjasama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 1996.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas

Indonesia (UI Press), 1986.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu

Tinjauan Singkat), Jakarta, Rajawali Pers, 2001.

Universitas Sumatera Utara


85

Subari, Sri Mulyati Tri dan Ascaraya. Kebijakan Sistem Pembayaran di

Indonesia, Jakarta, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan,Bank Indonesia,

2003.

Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981.

Suharto. Limbah Kimia dalam Pencemaran Udara dan Air, Ed.Pertama,

Yogyakarta, Andi Offset, 2011.

Supriadi dan Alimuddin. Hukum Perikanan di Indonesia, Jakarta, Sinar

Grafika, 2011.

Supriharyono. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati, Cet. ke-

1,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009.

Surachmad, Winarno. Dasar dan Teknik Research (Pengantar

Metodologi Ilmiah), Bandung, Tarsito, 1982.

Tomalili, Rahmanuddin. Hukum Pidana, Yogyakarta, Deepublish, 2019.

Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif

Pembaharuan, Malang, UMM Press, 2008.

Tribawono, Djoko. Hukum Perikanan Indonesia, Bandung, PT. Citra

Aditya Bakti, 2013.

Sumber Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Universitas Sumatera Utara


86

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor

71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat

Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor

KEP.06/MEN/2010 tentang Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Negara Republik Indonesia

Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang

Pembuatan Surat Dakwaan

Sumber Jurnal, Makalah dan Skripsi:

Ardina, Narindri Intan. Tindakan Perawat Dalam Keadaan Keterbatasan

Tertentu Sebagai Alasan Penghapus Pidana, Jurist Diction, Vol 2 No. 1,

Surabaya, 2019, hlm. 247

Arisandi. Inkonsistensi Kebijakan Penggunaan Jaring Trawl (Studi

Kasus Penggunaan Jaring Trawl oleh Nelayan Wilayah Perairan Gresik, Jurnal

Kebijakan dana Manajemen Publik, Vol. 4 No. 1, Surabaya, 2016, hlm. 7

Artati, Sri Untari Indah. Regulasi Larangan Penggunaan Cantrang

Untuk Penangkapan Ikan Bagi Nelayan Kecil, Hukum Pidana dan

Pembangunan Hukum, Vol. 1 No. 1, Jakarta, 2018, hlm. 1

Dahuri, Rohmin. Aspek Hukum Penanganan Tindak Pidana Perikanan,

Makalah Diklat Teknis Penanganan Tindak Pidana Perikanan Angkatan II,

Pusdiklat Kejagung RI, 2013, hlm. 2

Hutajulu, Marudut. Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan Di

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik

Universitas Sumatera Utara


87

Indonesia (Studi Putusan No: 03/Pid.Sus.P/2012/PN.Mdn), USU Law Journal,

Medan, 2014, hlm. 231

Iskandar, Mokhammad Dahri. Konstruksi Alat Tangkap Muroami dan

Metode Pengoperasiannya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jurnal

Mangrove dan Pesisir, Vol. 10 No. 1, Jakarta, 2009, hlm. 29

Latuconsina, Husain. Identifikasi Alat Penangkapan Ikan Ramah

Lingkungan Di Kawasan Konservasi Laut Pulau Pombo Provinsi Maluku,

Agrikan UMMU Ternate, Vol. 3 Edisi 2, Ternate, 2010, hlm. 1

Kementerian PPN/BAPPENAS Direktorat Kelautan dan Perikanan,

Kajian Stratergi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan, Jakarta, 2014, hlm. 5.

Lubis, Fatimah Syahra. Skripsi, Tinjauan Kriminologi Terhadap

Penggunaan Bahan Kimia dalam Penangkapan Ikan, Medan, UMSU, 2019, hlm.

Somun, Haryono. Tinjauan Kriminologis Penggunaan Bahan Peledak Dalam

Penangkapan Ikan di Desa Kalupapi Kecamatan Bangkurung Kabupaten

Bangkep, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 3 No. 2, Sulawesi Utara, 2014,

hlm. 3

Lubis, Rahmat Mahdi. Skripsi, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap

Nelayan yang Menggunakan Alat Tangkap yang Mengganggu dan Merusak

Keberlanjutan Sumber Daya Ikan Berdasarkan Undang-Undang RI No. 31 Tahun

2004 Jo Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan (Studi Putusan

No. 11/Pid.Sus-PRK/2016/PN.Mdn), Medan, USU, 2018, hlm. 69

Universitas Sumatera Utara


88

Maldini, Resi. Skripsi, Perbandingan Sistem Pemidanaan di Belanda

dengan di Indonesia dalam Upaya Penanggulangan Over Capacity Lembaga

Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia, Bandung, UNPAS, 2019, hlm. 35

Maulidan, Mohammad, Penegakan Hukum Pencurian Ikan di Wilayah

Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI), Jurnal Jurist-Diction, Vol. 1 No. 2,

Surabaya, 2018, hlm. 611

Pontoh, Oetnil. Penangkapan Ikan dengan Bom di Daerah Terumbu

Karang Desa Arakan dan Wawontulap, Vol. 7 No. 1, Manado, 2011, hlm. 57

Rangkuti, Ridwan. Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Tindak

Pidana Lingkungan Hidup Menurut Undang– Undang Nomor 23 Tahun 1997,

Jurnal Justisia, Vol 1 No. 1, Padang Sidempuan, 2018, hlm. 262

Sulardi dan Yohana. Kepastian Hukum, Kemanfaatann, dan Keadilan

Terhadap Perkara Pidana Anak, Jurnal Yudisial, Vol. 8 No. 3, Malang, 2015,

hlm. 12

Sumber Internet

Artikel, Sumber Daya Alam – Pengertian, Jenis, Manfaat, Contoh &

Sebaran di Indonesia dalam https://rimbakita.com/sumber-daya-alam/ diakses

pada 25 Juli 2020 pukul 20.11 WIB

Chandra, Bobby. Artikel, Kongkalikong Izin Penangkapan Ikan

Terendus Polisi dalam https://bisnis.tempo.co/read/372585/kongkalikong-izin-

penangkapan-ikan-terendus- polisi/full&view=ok, diakses pada 24 Desember

2020, pukul 19.43 WIB

Universitas Sumatera Utara


89

Hasanudin. Artikel, Hukum Acara Pengadilan Perikanan Dan Tindak

Pidana Perikanan dalam https://pn-tilamuta.go.id/2016/05/23/hukum-acara-

pengadilan-perikanan-dan-tindak-pidana-perikanan/ diakses pada 25 Juli 2020

pukul 21.49 WIB

Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 30 Januari 2021, pukul

21.34 WIB

Pregiwati, Lilly Aprilya. Artikel, Dari Natuna, Menteri Susi Pimpin

Penenggelaman 19 Kapal Ilegal di 3 Kota dalam https://kkp.go.id/artikel/14331-

dari-natuna-menteri-susi-pimpin-penenggelaman-19-kapal-ilegal-di-3-kota,

diakses pada 24 Desember 2020, Pukul 22.17 WIB

Rahardjo, Wiko. Artikel, Inilah Daftar 2.183 Kapal Ikan yang Belum

Perpanjang Izin dalam http://samudranesia.id/inilah-daftar-2-183-kapal-ikan-

yang-belum-perpanjang-izin/ diakses pada 28 September 2020, pukul 20.21 WIB

Waruwu, Riki Perdana Raya. Artikel, Penerarapan Asas Fiksi Hukum

dalam PERMA dalam https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php/beranda/

kegiatan/9-kegiatan/139-penerapan-asas-fiksi-hukum-dalam-perma, diakses pada

30 Januari 2021, Pukul 21.38 WIB

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai