Al-Kisah Haji Agus Salim
Al-Kisah Haji Agus Salim
Di tengah lawatannya ke Amerika Serikat, George mempertemukan Agus Salim dengan Ngo
Dinh Diem. Ia adalah Calon Perdana Menteri Vietnam Selatan. Pertemuan berlangsung
setahun sebelum Diem diangkat sebagai perdana menteri. Kala itu Diem datang ke Cornell
dalam rangka keliling Amerika Serikat untuk mencari dukungan bagi negaranya yang masih
akan dibentuk. Pada saat itu Diem adalah orang yang terkenal pintar bicara. Tiap-tiap diskusi
dan berdebat Diem selalu merajai percakapan. Saking pintarnya, lawan bicara Diem selalu
kalah dan hanya bicara satu dua patah kata. Kemudian George berinisiatif mempertemukan
Agus Salim dengan Diem di Ruang Pertemuan Tenaga Pengajar. Acara dikemas dengan
santap makan malam. Sambil makan malam, George begitu terperangah ketika Agus Salim
dan Diem berbicara bahasa Prancis.
Selama ini Diem dikenal orang Asia yang mahir berbicara bahasa Prancis. Rupanya,
kefasihan Diem berbicara bahasa Prancis tak membuat Agus Salim terdiam. Justru yang
membuat George kaget adalah dalam percakapan itu Agus Salim lebih mendominasi. Agus
Salim malah lebih menguasai pembicaraan hingga tak memberi kesempatan pada Diem untuk
bicara. Agus Salim ternyata lebih mahir berbicara bahasa Prancis. Selama ini Agus Salim
memang dikenal banyak menguasai bahasa asing. Selain Inggris, Agus Salim juga fasih
berbicara bahasa Arab, Prancis dan Jerman. Delapan tahun kemudian, George berada di
Saigon, sebuah kota di Vietnam. Di sana ia kembali bertemu dengan Diem. Dalam
wawancaranya selama empat jam, George mengaku kalah bicara dengan Diem. Ini yang
membuat George kesal. Saking kesalnya tiba-tiba ia teriangat Agus Salim. "Coba bila ada
hadir Pak Salim, yang menjijikkan Diem itu sebelum saya mewancarainya." kenang George.
Pengalaman George ini kemudian ditulis dalam buku "Seratus Tahun Haji Agus Salim" yang
diterbitkan oleh Sinar Harapan.
Salah satu "kelebihan" Haji Agus Salim"
dibandingkan para Bapak Bangsa lainnya
adalah menjadi pemimpin yang tidak pernah
dipenjarakan atau dibuang oleh penjajah. Ini
tentu berbeda dengan yang pernah dialami
misalnya oleh Soekarno maupun Mohammad
Hatta yang pernah dipenjara atau dibuang
penguasa kolonial.
Inilah rahasia yang dinilai mencerminkan kecerdikan khas Minang yang dimilikinya.
Tapi benarkah Haji Agus Salim tidak pernah ditahan? Anak ketiga Haji Agus Salim, Violet
Hanifah biasa dipanggil Jojet punya cerita bahwa Haji Agus Salim sebenarnya pernah
mendekam di penjara. Berapa lama? Hanya dua hari. Ya, dua hari. Itupun dengan penyesalan
dari pihak yang menahannya.
Begini cerita Jojet dikutip dari buku Seratus Tahun Haji Agus Salim. Waktu itu Jepang baru
beberapa hari menduduki Indonesia. Seorang pejabat Kempetai datang ke rumah Haji Agus
Salim memintanya datang ke kantor.
Pada hari yang ditentukan, Haji Agus Salim datang ke kantor Kempetai tetapi tidak
menemukan pejabat yang datang ke rumahnya. Kata petugas, pejabat itu sedang ke
Sukabumi.
Petugas pun bertanya apa keperluan Haji Agus Salim datang ke kantor. Haji Agus Salim
menjawab tak tahu karena dia hanya dipanggil.
Petugas bingung apa yang harus dilakukan kepada Haji Agus Salim. Setelah berunding,
akhirnya mereka sepakat untuk menahan Haji Agus Salim sebagai tindakan jaga-jaga. Di
dalam tahanan, Haji Agus Salim tetap mengumandangkan azan di tempat yang semula
banyak orang takut akan memancing kemarahan Jepang.
Habib Ali (Sayid Ali Alhabsy) dari Kwitang nyeletuk. "Tuh Pak Haji memanggil Tuhannya."
Pejabat yang memanggil Haji Agus Salim kemudian kembali dan terkejut mendengar
tamunya ditahan. Buru-buru ia perintahkan Haji Agus Salim dikeluarkan dari sel.
Pejabat itu lantas minta maaf dengan sangat kepada Haji Agus Salim. Dia lupa berpesan
kepada anak buahnya agar meminta Haji Agus Salim pulang saja kalau dia sedang ke
Sukabumi.
Pejabat itu mengaku hanya ingin berbincang dengan Haji Agus Salim tentang berbagai
persoalan. Akhirnya, setelah dua hari di tahanan Haji Agus Salim dipersilakan pulang.
Sesampai di rumah, keluarga pun bahagia menyambut. Begitu juga para sahabat seperti M
Hatta dan M Roem yang kebingungan Haji Agus Salim hilang selama dua hari.
Menurut R. Brash, saat penobatan ratu itu, setiap hari dipenuhi dengan aneka acara. Sri Ratu
sendiri mengadakan santapan resmi serta resepsi, dan selain itu diadakan beraneka resepsi
lainnya, antara lain oleh Perdana Menteri Sir Winston Churcill. Memang seminggu itu penuh
dengan beraneka acara dan pengaturan serta ketetapan waktu adalah sangat penting. Menurut
Brash, Haji Agus Salim sungguh-sungguh menikmati segala itu. K
R Brash selalu bertugas mengiringi Haji Agus Salim pada upacara di Westminster Abbey.
Mereka harus siap dini hari untuk menyertai iringan mobil para perutusan negara.
Nah, kebiasaan merokok Haji Agus Salim juga disiasati oleh R Brash. "Karena beliau
merokok kretek secara bersambung-sambung, saya minta ia berjanji bahwa beliau boleh
merokok sepuas hati selama di mobil, namun harus berhenti merokok sebelum memasuki
gedung Westminster Abbey itu. Tidak pernah kami mengalami kesulitan untuk tiba pada
tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat. Beliau nampaknya tidak pernah lelah,
sekalipun sudah agak lanjut usia," ujar R Brash.
Bila diwajibkan mengenakan pakaian nasional, Haji Agus Salim mengenakan busana gaya
Minang. Seingat dia, Haji Agus Salim terutama menyenangi setiap resepsi di mana beliau
sempat berjumpa dengan utusan-utusan dari daerah yang kelak dijadikan negara Malaysia,
dan bercakap-cakap dengan mereka soal keadaan di Asia Tenggara.
Soal kebiasaan merokok ini, ada cerita yang unik. Soal ini diceritakan oleh Jojet, anak ketiga
Haji Agus Salim dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim.
"Walaupun sudah beberapa kali diceritakan dalam buku, majalah dan koran-koran, namun
karena rasanya penyajiannya kurang tepat menggambarkan konteks ceritanya, ingin juga saya
kisahkan sekali lagi hikayat rokok kretek Paatje di Buckingham Palace pada resepsi yang
diadakan sehubungan dengan penobatan Ratu Elizabeth II dalam tahun 1953 itu," tulis Jojet.
Menurut Jojet, ketika Haji Agus Salim melihat Pangeran Philip yang masih muda belia (32
tahun) waktu itu agak canggung menghadapi khalayak ramai yang hadir, masih tak terbiasa
menempatkan diri sekadar sebagai "pasangan" Ratu yang berperan. Demikian canggung
sehingga lalai meladeni tamu-tamu asing yang datang dari jauh menghormati peristiwa
penobatan.
Guna sekadar melepas ketegangan sang Pangeran, Haji Agus Salim menghampirinya seraya
mengayun-ayunkan rokok kreteknya sekitar hidung sang pangeran itu sambil menanya,
"Paduka (Your Highness), adakah Paduka mengenali aroma (bau) rokok ini?" Dengan
menghirup-hirup secara ragu-ragu sang Pangeran mengakui tidak mengenal aroma rokok
tersebut. Paatje pun dengan senyum mengatakan: "Inilah sebabnya 300 atau 400 tahun yang
lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi negeri saya".
Sang Pangeran pun tersenyum dan dengan lebih luwes bergerak dan "meladeni" tamu-
tamunya dari jauh.
Agus Salim adalah seorang agamis yang berpikiran luas lagi moderat. Sejarawan kelahiran
Sumatra Barat, Taufik Abdullah, menyebut gerakan politik Agus Salim dengan nama “politik
jalan melingkar”. Gaya politik seperti ini, sebut Taufik Abdullah, identik dengan manuver
yang elastis namun efektif. Metode awal gerakan Agus Salim cenderung kooperatif, akan
tetapi kemudian menjadi agak radikal, sebelum kemudian kembali melunak lagi. Ciri aksi
“politik jalan melingkar” ini dilakukan Agus Salim karena pergaulannya yang sangat luas.
Agus Salim dekat dengan segala kalangan, bahkan dengan kelompok orang Belanda
sekalipun. Lama menggauli kebiasaan Belanda membuat Agus Salim tidak pernah minder
berinteraksi dengan bangsa yang mengklaim dirinya ras paling unggul itu, juga pada bangsa
asing lainnya. Dengan menguasai banyak bahasa, Agus Salim mewujud menjadi seorang
diplomat ulung. Tutur katanya yang khas itu senantiasa membawa keberhasilan dalam setiap
misi diplomasi yang diemban Agus Salim
Peran Agus Salim sebagai bapak bangsa Indonesia tidak terbantahkan lagi. Tidak terhitung
orang-orang besar yang menyanjung empunya orang besar ini. “The Grand Old Man Haji
Agus Salim adalah seorang ulama dan intelek. Saya pernah meneguk air yang diberikan oleh
Haji Agus Salim, sambil duduk ngelesot di bawah kakinya,” demikian Sukarno mengakui
kebesaran gurunya itu.
Puja-puji senada juga disematkan para tokoh bangsa lainnya kepada Agus Salim. “Sikapnya
yang tangkas itu memberikan garam dalam ucapannya. Biasanya terdapat dalam perdebatan
atau tulisan yang menangkis serangan lawan atau dalam pertukaran pikiran yang berisikan
lelucon. Di situlah terdapat apa yang dikatakan orang dalam bahasa Belanda: Salim op zijn
best,” sanjung Mohammad Hatta terhadap seniornya itu.
Buya Hamka mengalungkan segenap rasa takjub terhadap Agus Salim. Sastrawan, ulama,
sekaligus aktivis politik, ini mengatakan, “Bila kita membicarakan manusia Agus Salim, kita
teringat seorang pujangga, seorang filosof, seorang wartawan, seorang orator, seorang
politikus, seorang pemimpin rakyat, seorang ulama. Jarang-jarang Tuhan memberikan
manusia semacam itu ke dalam alam ini, apalagi kepada suatu bangsa.”
Paus sastra Indonesia, H.B. Jassin, tidak mau ketinggalan dan angkat topi terhadap pemikiran
Agus Salim, “Dia ternyata tidak hanya membaca buku-buku politik dan agama saja,
melainkan juga buku-buku sastra dan filsafat. Adalah aneh, seorang tokoh agama seperti dia
menyenangi buku-buku Nietzsche, filsuf Jerman yang dianggap atheis itu.”
Dengan demikian jelaslah sudah, Agus Salim merupakan gurunya kaum guru, pemimpinnya
para pemimpin, serta bapak negaranya kalangan negarawan. Agus Salim adalah putra
kebanggaan Melayu yang dengan sadar merintis dan mengajarkan tradisi diplomasi demi
tegaknya nama Indonesia di lingkungan peradaban dunia. Dari ranah Minang, Agus Salim
merangkul alam raya.
Sumber: http://www.kaskus.co.id