Anda di halaman 1dari 3

Ilmu Hukum Adalah Ilmu Yang Berdiri Sendiri

Oleh : Erix Dwui Yanto

Selalu menjadi perdebatan terhadap pembahasan tentang hakikat sebenarnya tentang


ilmu hukum. Apakah ilmu hukum merupakan bagian dari ilmu sosial atau ilmu hukum
merupakan ilmu yang berdiri sendiri?. dan tidak bisa dipungkiri pula ilmu hukum
memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan ilmu sosial dalam membangun sebuah
sistem pemerintahan agar tujuan dari hukum yakni mencapai kemanfaatan hukum bisa
diraih. Bahkan Prof Yuzuru Shimada PhD seorang guru besar dijepang dan juga ahli
dalam hukum Indonesia berpendapat “Ilmu hukum itu tidak bisa berdiri sendiri dalam
pembangunan maupun pengembangannya, karena pencapaian tujuan hukum itu
memerlukan kerja sama dengan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ekonomi, politik, adat dan
lainnya. Bahkan, ilmu lainnnya itu sangat diperlukan agar hukum bisa dibuat dan
diterapkan dengan efektif”1. lalu apakah hakikat sebenarnya dari ilmu hukum tersebut,
apakah bagian dari ilmu sosial atau malah cabang ilmu yang berdiri sendiri? Melalui
tulisan kali ini kita akan membuktikan hakikat dari ilmu hukum

Dalam buku dari Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
beberapa ahli menyatakan berkembangnya ilmu hukum dengan menggunakan format
ilmu sosial yang mengunakan metode empiris.Beberapa ilmuan hukum merasa lebih
percaya diri apabila menggunakan pendekatan sosial empiris.Penggunaan format metode
empiris dinilai lebih ilmiah karena dapat dikuantifikasi dan digunaknnya rumus-rumus
ilmu pasti (ilmu eksakta) untuk menjamin pembuktian ilmiah dari segi empiris2. Dalam
hal ini para ahli tersebut sepakat untuk menggunakan metode ilmu sosial dalam
mempelajari ilmu hukum, dan secara tidak langsung mereka menggolongkan ilmu
hukum sebagai bagian dari ilmu sosial. Namun dalam kenyataanya,positivisme hukum
justru menunjukkan pola berpikir yang bertolak belakang sama sekali, yaitu dengan
menggunakan logika deduktif atau pendekatan doktrinalbersumber kepada norma positif
dalam sistem perundang-undangan yang dipandang benar secara self evident. Ilmu
hukum adalah “SUI GENERIS” yang berarti ilmu hukum merupakan ilmu yang jenis
sendiri. Ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas dan sistem ilmiah yang berbeda
karena memiliki obyek kajian yang berbeda.

Karakter “SUI GENERIS” menunjukan bahwa dalam ilmu hukum jangan pernah
-tidak dapat- menyampingkan karateristik normatifnya, yakni pada saat ilmu hukum
memiliki sifat empiris anatilisnya. Keberadaan sifat empiris analitisnya karena Ilmu
hukum merupakan “Ilmu Praktis yang bersifat normologis”. Ilmu Praktis Nomologis,
berusaha memperoleh pengetahuan faktual-empiris. Yakni pengetahuan tentang
hubungan yang ajeg yang berlaku antara dua hal atau lebih berdasarkan asas kausalitas
deterministik. Contoh: Jika A (ada atau terjadi), maka B (ada atau terjadi). Selain itu,
Ilmu Praktis Normologis disebut ilmu normatif, berusaha menemukan hubungan antara
dua hal atau lebih berdasarkan asas imputasi. Asas Imputasi adalah (menautkan
1
Edi,Yakub.Prof Yuzuru Beri Nilai 50 untuk Hukum di Indonesia. Diakses dari
http://onmedia.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2015/09/Antara-Jatim-14-Sept-2015-Prof-Yuzuru-Beri-
Nilai-50-untuk-Hukum-di-Indonesia.pdf. pada tanggal 4 Februari 2018
2
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, 2007, hlm. 88-89
tanggungjawab/kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban
subyek tertentu dalam situasi konkrit tertentu, sehubungan tela terjadi perbuatan atau
pristiwa atau keadaan tertentu, namum dalam kenyataan apa yang seharusnya terjadi
tidak niscahaya dengan sedirinya terjadi. Contoh: Jika A (terjadi atau ada) maka
seyogyanya B (terjadi). Ilmu hukum mengarah pada refleksi pemecahan masalah-
masalah konkrit dalam masyarakat. 3

Dan hal tersebut juga disepakati oleh Prof. Peter Mahmud Marzuki. Seperti yang
dijelaskan dalam bukunya Prof. Peter Mahmud Marzuki yang berjudul Penelitian
Hukum, . Setidaknya ada tiga karakteristik Ilmu Hukum yang secara eksplisit disebutkan
dalam buku tersebut. Ketiga karakteristik Ilmu Hukum tersebut tidak jauh berbeda
dengan pandangan teori tradisional. Pertama, Ilmu Hukum adalah ilmu yang sui
generis atau berdiri sendiri. Ilmu hukum dipandang sebagai sebuah cabang ilmu yang
tidak terikat pada cabang-cabang ilmu lainnya. Teori tersebut menjelaskan bahwa ilmu
hukum bukan merupakan bagian dari ilmu sosial, dan juga bukan pecahan dari ilmu
eksakt (alam). Tetapi, ilmu hukum adalah ilmu yang berdiri sendiri. Dalam hal ini, Ilmu
Hukum dipandang berada dalam posisi yang netral. Artinya bahwa Ilmu Hukum menolak
untuk menggunakan pendekatan sosial dalam mengamati obyeknya. Kedua, Teori Sui
Generis menganggap bahwa obyek pengamatan Ilmu Hukum berbeda dari ilmu sosial
atau ilmu alam. Teori ini menempatkan norma (kaidah) sebagai obyek pengamatan.
Dengan sendirinya, masyarakat sosial bukan dianggap sebagai obyek dari Ilmu Hukum.
Ketiga, Ilmu Hukum mempunyai metodologi sendiri yang berbeda dengan metodologi
dari Ilmu Sosial, dan menekankan pentingnya metodelogi dalam sebuah penelitian
hukum.4

 Oleh karena ilmu hukum merupakan studi tentang hukum itu sendiri, ilmu hukum
tidak tepat jika diklasifikasikan ke dalam ilmu sosial yang bidang kajian bersifat
empiris. Ilmu sosial tidak dapat memberi ruang untuk menciptakan konsep hukum. Studi
sosial hanya berkaitan dengan implementasi konsep hukum dan acap kali hanya memberi
perhatian terhadap kepatuhan individu terhadap hukum.Tidak berbeda halnya dengan
humaniora. Humaniora tidak memberikan tempat untuk mempelajari hukum sebagai
aturan tingkah laku sosial. Dalam studi humaniora, hukum dipelajari dalam kaitannya
dengan etika dan moralitas. Tidak dapat disangkal bahwa keadilan merupakan isu dalam
ruang lingkup filsafat. Keadilan itu sendiri merupakan unsur esensial dalam hukum.
Akan tetapi, filsafat tidak berkaitan dengan pelaksanaan keadilan saja.

Merupakan tugas ilmu hukum untuk membahas hukum dari semua aspek. Baik ilmu
sosial maupun ilmu humaniora memandang hukum dari sudut pandang keilmuannya
sendiri. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengklasifikasikan ilmu hukum kedalam ilmu
sosial maupun humaniora. Dalam hal demikian, sangat berguna untuk menengok pada
pandangan Meuwissenvtentang ilmu hukum. Meskipun ia membuat klasifikasi ilmu
hukum dogmatik dan ilmu hukum empiris, Meuwissen menempatkan ilmu hukum
dogmatik sebagai sesuatu yang bersifat sui generis, artinya tidak ada bentuk ilmu lain
3
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, 2007, hlm. 50
4
Johan avie, kritik terhadap ilmu hukum yang sui generis. Diakses dari
https://www.kompasiana.com/komengavie/kritik-terhadap-ilmu-hukum-yang-sui-
generis_550b07a1a33311cf1c2e3c11 pada tanggal 4 januari 2018
yang dapat dibandingkan dengan ilmu hukum. Selanjutnya, Meuwissen menyatakan
bahwa ilmu hukum dogmatik yang mempunyai posisi sentral dalam pendidikan di
universitas. Sui generismerupakan bahasa Latin yang artinya hanya satu untuk jenisnya
sendiri.
Apa yang dikemukakan oleh Meuwissen memang tidak dapat disangkal, bahwa ilmu
hukum bukan merupakan bagian dari ilmu sosial maupun humaniora melainkan ilmu
tersendiri. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Jan Gijssels dan Mark van Hoeck
terdapat tiga tingkatan ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat
hukum. Ini berarti bahwa kedudukan sui generis tersebut berlaku ketiga tingkatan itu.5

5
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/umum/259-ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern.html
diakses pada 4 januari 2018

Anda mungkin juga menyukai