Anda di halaman 1dari 10

Munculnya Aliran Kepercayaan/Agama Baru di

Indonesia Sebagai Hak Memilih Keyakinan Dalam


Perspektif HAM
(Kasus Munculnya Ajaran Kepercayaan Salamullah / Komunitas Eden Oleh Lia Eden)

Kelompok 5 (TIM PRO)

Shella Agustia Putri

Puteri Indahsyah Fitri

Yossi Asna Safitri

Seli Kayu Wangi

Nouval Dhia

Helfrisya Hatta

Muhammad Rafi

Rama Husnayanti

Zaghlul Achyar

Said Hidayatullah

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama adalah persoalan keyakinan yang dipercaya mampu membawa kemaslahatan dan
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Masalah yang berhubungan dengan agama terkadang
menimbulkan konflik antar pemeluk agama. Apalagi jika agamanya dibandingkan dengan
agama lainnya dan jika berkaitan dengan masalah keyakinan. Karena, beragama sudah
menjadi darah dan daging di dalam jiwa dan raga yang melekat erat dalam kehidupannya.
Kebebasan beragama merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus didapatkan oleh
masing-masing individu dalam fitrahnya sebagai manusia. Dalam pelaksanaannya, jaminan
atas kebebasan beragama telah mendapat pengakuan dalam hukum internasional. Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama; hak ini
termasuk kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan,baik sendiri atau
dalam komunitas dengan orang lain dan di depan umum atau pribadi, untuk memanifestasi
kanagamanya atau keyakinan dalam mengajar, mengamalkan, beribadah dan ketaatan.”

Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan
pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
mengandung makna bahwa negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan
atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan
Yang Maha Esa.

Dalam bidang sosiologi, kata “agama” bersama dengan kata “budaya” merupakan istilah
yang paling sulit didefinisikan. Apalagi hal “agama” di Indonesia ini merupakan masalah
yang sensitif bagi masyarakat. Penyusunan kriteria ini tentu akan bertabrakan dengan
berbagai perspektif masyarakat tentang agama yang dianutnya, lengkap dengan kepentingan
masing-masing baik yang laten maupun yang manifes. Indonesia merupakan bangsa yang
memiliki pluralitas agama. Tidak hanya enam agama yang dianut oleh penduduk Indonesia,
tetapi juga ada agama-agama lainnya baik yang bersifat universal (dianut oleh masyarakat di
berbagai negara lain di dunia) maupun kepercayaan yang berasal dan dianut oleh masyarakat
secara terbatas di lokal-lokal wilayah tertentu di Tanah Air ini.

Munculnya berbagai aliran keagamaan di Indonesia di berbagai daerah, dalam


perkembangannya telah menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam hubungan antar
pemeluk agama, khususnya dalam agama Islam. Selain itu, di masyarakat juga terjadi
kontroversi terhadap fatwa sesat oleh MUI terhadap kelompok kelompok agama tersebut.
MUI sendiri pernah mengeluarkan daftar sembilan aliran kepercayaan yang dianggap
menyesatkan sejak tahun 1989. Sembilan aliran yang dianggap menyesatkan tersebut, yaitu
Islam Jamaah, Ahmadiyah, Ingkar Sunah, Qur’an Suci, Sholat Dua Bahasa dan Lia Eden
(Harahab dan Supriyadi, 2008:513).

Salah satu aliran kepercayaan yang dianggap menyesatkan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) adalah Aliran kepercayaan Lia Eden, aliran kepercayaan ini diprotes oleh masyarakat
yang oleh Majelis Ulama Indonesia telah dinyatakan sebagai ajaran sesat. Komunitas Eden
lahir tahun 1997 dari kelompok kajian Islam yang bermarkas di rumah pribadi Lia
Aminuddin di Jalan Mahoni 30, Senen, Jakarta Pusat.

Dalam perkembangannya, Lia mengaku merasakan mendapat petunjuk dari Jibril,


bahkan kemudian dirinya mengaku sebagai Jibril. Dia menyampaikan pengalaman hidupnya
kepada rekan-rekannya dan dapat memperoleh pengikut sebanyak 48 0rang, 15 di antaranya
adalah anak-anak. Sejak kelahirannya, komunitas itu tak putus dirundung teror. Pada bulan
Mei 2001, sekelompok orang merusak dan mengusir komunitas itu sewaktu bertempat di
Mega Mendung, Bogor. Pada 28 Desember 2005, massa kembali mengepung Komunitas
Eden. Dan akhirnya anggota komunitas itu dievakuasi secara paksa oleh polisi.

Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Firman Gani mengatakan bahwa polisi hanya
menetapkan Lia Aminudin sebagai tersangka tunggal dalam kasus penodaan agama. Lia
bersikukuh bahwa ajaran yang dianut dan dikembangkannya benar Menurut pengacara
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu, persidangan kasus Lia Eden menjadi ujian bagi
Indonesia dalam menerapkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang
sudah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Ketua Majelis Hakim Lief Sufijullah yang membacakan putusan di Pengadilan Negeri
(PN) Jakarta Pusat, Kamis, menyatakan Lia Eden terbukti melakukan perbuatan menodai
salah satu ajaran agama yang dilindungi di Indonesia sebagaimana dakwaan pertama Jaksa
Penuntut Umum (JPU) dan melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan sebagaimana
dakwaan ketiga JPU.

Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
sebagai berikut:

(1) Bagaimana konsep kebebasan berkeyakinan dilihat dari perspektif HAM?

(2) Bagaimanakah negara dalam pelaksanaan kebebasan?

(3) Bagaimana negara menghadapi aliran kepercayaan yang berbeda dari kelompok
mainstream, apakah fatwa sesat MUI itu bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep kebebasan berkeyakinan/beragama dalam perspektif HAM

Kebebasan beragama merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus didapatkan
oleh masing-masing individu dalam fitrahnya sebagai manusia. Dalam pelaksanaannya,
jaminan atas kebebasan beragama telah mendapat pengakuan dalam hukum internasional.
Artikel 18 The Universal Declaration of Human Rights menyebutkan bahwa:“ Setiap orang
berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama; hak ini termasuk kebebasan untuk
berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan,baik sendiri atau dalam komunitas dengan
orang lain dan di depan umum atau pribadi, untuk memanifestasi kanagamanya atau
keyakinan dalam mengajar, mengamalkan, beribadah dan ketaatan.” Ketentuan tersebut
memberikan penegasan bahwa kebebasan beragama tidak boleh dimaknai sebatas kebebasan
untuk memeluk suatu agama tertentu, namun termasuk juga jaminan untuk dapat beribadah
serta menjalankan ketentuan agamanya masing-masing.

HAM dimaknai sebagai hak asasi yang melekat (in heren) pada diri manusia karena
eksistensinya sebagai manusia, sehingga HAM harus dihormati karena diberikan oleh Tuhan
bukan diberikan oleh negara. Menurut aliran naturalis, HAM didefinisikan sebagai hak-hak
yang dimiliki seluruh manusia di setiap saat dan di setiap tempat semenjak lahir menjadi
manusia. Keberadaan hak ini tidak membutuhkan pengakuan baik dari pemerintah maupun
dari sistem hukum manapun karena hak-hak tersebut bersifat universal dan harus diakui
karena keberadaannya sebagai manusia (kodrati).

Kebebasan beragama ini dijamin dalam UUD Tahun 1945, terutama dalam Pasal 28E dan
29. Pasal 28E ayat (1) menyatakan ”setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya,...”. Pasal 28E ayat (2) menyatakan ”setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
Sedangkan Pasal 29 ayat (1) menyatakan ”Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Ayat (2) menyatakan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.

UUD Tahun 1945, menentukan bahwa hak kebebasan beragama bukan pemberian negara
atau bukan pemberian golongan. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu
berdasarkan keyakinan, hingga tidak dapat dipaksakan dan memang agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri tidak memaksakan setiap manusia untuk memeluk
dan menganutnya.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa


”Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar
manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia
yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan”. Pasal 4 Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 menyatakan bahwa: ”hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dan oleh siapa pun”.

Pasal 22 yang menyatakan bahwa ayat (1) ”setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, ayat (2)
”negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Di dalam penjelasan Pasal 22 ayat (1)
juga dikatakan bahwa ”yang dimaksud dengan hak untuk bebas memeluk agamanya dan
kepercayaannya adalah hak setiap orang untuk beragama menurut kepercayaannya sendiri,
tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.”

Kovenan hak sipol melarang adanya diskriminasi atas dasar ras, agama, gender, dan
status lainnya (pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Sipil), Komite HAM PBB mendefinisikan
diskriminasi sebagai pembedaan (distinction), eklusi (exclusion), pembatasan (restriction)
atau pilihan (preference) yang mempunyai maksud atau efek untuk meniadakan atau
mengurangi setiap orang untuk menikmati dan melaksanakan hak sipol. Prinsip non-
diskriminasi diperlebar masuk ke wilayah persamaan di depan hukum dan persamaan
perlindungan hukum di mana setiap orang dijamin dan dilindungi secara efektif dan setara
terhadap paktek-praktek diskriminasi.

Apa saja elemen dari hak atas kebebasan beragama :

1. Pertama adalah hak untuk pindah agama (right to change and maintain religion)—private
intervirum—(internal religious freedom). Diasumsikan bahwa intervensi dari luar adalah
tidak hanya illegitimate tetapi juga tidak mungkin. Right to change/manifest religion itu tidak
ada batasan. Misalkan, seseorang dipaksa untuk keluar agama atau seseorang dihalang-
halangi untuk keluar agama, ini merupakan pelanggaran atas pasal 18 Kovenan Sipol.
Kemudian tidak boleh ada paksaan yang akan melanggar right to change/manifest religion.
Inti dari paksaan adalah adanya batasan right to change/manifest religion;

2. Kedua adalah hak menanifestasikan agama di dalam hal pengajaran, praktek, beribadah
dan melaksanakan ibadah.

B. Sikap negara terhadap kebebasan beragama

Salah satu fenomena yang dirasa penting pada tahun-tahun belakangan ini adalah isu
pelayanan negara terhadap umat beragama. Catatan penting dalam konteks keagamaan di
Indonesia, antara lain:

1. Negara memberikan jaminan kebebasan beragama dalam konstitusi, yakni dalam Pasal 29
UUD 1945.
2. Negara atau pemerintah tidak berada dalam posisi mengakui atau tidak mengakui agama-
agama yang dianut oleh bangsa Indonesia.

3. Bangsa Indonesia secara faktual menganut berbagai agama dan kepercayaan, di mana
agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia adalah agama Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, dan Khonghucu.

4. Agama-agama selain yang disebutkan tersebut bukan berarti tidak diakui negara.

5. Beberapa bentuk keagamaan dan kepercayaan di beberapa wilayah di Indonesia yang


secara terbatas dianut oleh masyarakat menuntut untuk diakui sebagai agama tersendiri dan
menuntut pula pelayanan negara terhadapnya.

6. Negara wajib melakukan pelayanan terhadap agama dan umat beragama yang ada di
Indonesia sebagai bentuk pelaksanaan amanat konstitusi dalam Pasal 29 UUD 1945 tersebut.

Mahfud MD mencoba menjelaskannya melalui konsepsi prismatik, bahwa Indonesia


merupakan negara Pancasila, artinya bukan sebagai negara agama tetapi juga bukan negara
sekuler. Negara Pancasila adalah sebuah religious nation state yakni sebuah negara
kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama
yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing.
Berangkat dari konsepsi tersebut, maka adalah suatu keniscayaan bahwa negara mempunyai
kewajiban konstitusional (constitutional obligation) untuk melindungi kebebasan beragama
bagi setiap warga negaranya.

Pelayanan pemerintah terkait dengan agama yang ada di Indonesia menganut politik
pembedaan, sebagaimana tercermin dalam Penjelasan Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 jo.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. Pada PNPS tersebut, pemerintah membedakan antara
agama-agama yang dianut oleh hampir seluruh penduduk Indonesia, yakni Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Cu (Confusius/ Khonghucu), dan agama-agama lain di
luar enam agama tersebut. Perlakukan pemerintah terhadap enam agama yang dianut hampir
seluruh penduduk Indonesia, pemerintah memberikan jaminan, bantuan-bantuan, dan
perlindungan. Adapun perlakukan pemerintah terhadap agama-agama di luar enam agama
adalah mereka mendapatkan jaminan dan dibiarkan adanya.

Adapun pelayanan pemerintah terhadap agama-agama di luar enam agama tersebut tidak
dilakukan secara khusus. Pemerintah tetap melakukan pelayanan terhadap umat-umat agama
di luar enam agama tersebut sebagai mana pelayanan terhadap warga secara umum. Namun
demikian, dalam praktiknya ternyata pelayanan-pelayanan terhadap warga negara yang
beragama selain enam agama tersebut terdapat persoalan-persoalan. Secara umum, pelayanan
negara terhadap warga negara yang berkaitan dengan identitas agama adalah menyangkut
administrasi kependudukan seperti akte perkawinan, akte kelahiran, Kartu Tanda Penduduk
(KTP), dan Pendidikan agama. Pelayanan-pelayanan dalam bidang-bidang tersebut masih
bermasalah karena warga negara yang memeluk agama di luar enam agama, termasuk
penganut aliran kepercayaan, tidak dapat dilakukan sebagaimana terhadap warga negara umat
dari 6 agama tersebut.
C. Analisis Sikap Negara dan Fatwa MUI terhadap Kasus Lia Eden

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) telah memutus dua perkara yang
berhubungan dengan pelanggaran pasal 156 a KUHP. Hakim PN Jakpus telah memutus
bahwa Lia Eden terbukti melanggar pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama, dengan
alasan Lia Eden terbukti mengajarkan hal di luar kaidah Islam. Hakim mendefinisikan
penodaan agama sebagai mengajarkan hal di luar kaidah Islam, dan hakim melakukan
penekanan terhadap pengajaran dan kaidah Islam (mainsteam).

Pengajaran agama memang menjadi obyek pembatasan (pasal 18 ayat (3) Kovenan Hak
Sipol, akan tetapi pasal 156 a KUHP tidak memberikan penjelasan atas dasar apa pembatasan
tersebut. Walaupun pasal 156 a KUHP berada di bawah bab ketertiban umum. Selanjutnya,
paragraph ke dua Komentar Umum No.22 atas pasal 18 Kovenan Hak Sipol menjelaskan
bahwa istilah-istilah agama dan kepercayaan harus diterjemahkan secara meluas.

Walaupun suatu ajaran agama baru didirikan satu hari, tidak boleh ada diskriminasi
terhadap agama tersebut. Putusan hakim tersebut menafsirkan agama secara menyempit
(stricto senso) yaitu mengajarkan ajaran agama di luar Islam (padahal Lia Eden sendiri
mengaku bukan Islam). Artinya, hakim tidak mengakui pengajaran agama lain selain Islam
Putusan Hakim Jakpus mempersempit pengertian agama, ini akan membahayakan kebebasan
beragama di Indonesia di mana putusan ini menjadi preseden tidak baik.

Penegak hukum akan dengan mudah mempidanakan orang-orang yang mengajarkan atau
menyebarkan ajaran agama yang tidak sesuai dengan ajaran mainnstream agama. Paragraph 8
Komentar Umum No.22 atas pasal 18 Kovenan Hak Sipol menyatakan bahwa pembatasan
harus ditafsirkan stricto sensu agar ada kepastian hukum, dengan putusan hakim tersebut
mengakibatkan penafsiran penodaan agama menjadi meluas.

Dalam kaitan ini, ada beberapa catatan penting yang perlu diberikan. Pertama, kasus-
kasus penodaan agama senantiasa terkait dengan agama apa/siapa yang dinodai. Siapa yang
berhak mengatakan agama tertentu telah dinodai atau tidak. Hal ini sangat mendasar dalam
masalah ini. Secara yuridis formal, tentu saja pengambil keputusan pada akhirnya adalah
hakim.

Namun semua orang tahu bahwa hukum dan hakim tidak berbicara dengan dirinya
sendiri. Apalagi dalam masalah agama, hakim seringkali merasa tidak punya “otoritas” dalam
bersikap dan membuat penafsiran.

Kedua, karena masalah di atas, maka suara mainstream seringkali diambil sebagai
referensi kebenaran.

Ketiga, karena itu, kasus pengadilan penodaan agama senantiasa melibatkan massa.
Pengerahan massa dilakukan bukan saja untuk menyuarakan aspirasi, tapi untuk
menimbulkan kesan bahwa apa yang disuarakan adalah pendapat mayoritas. Tekanan ini pada
akhirnya diharapkan mempengaruhi keputusan hakim. Akhirnya, klaim penodaan agama
bukanlah masalah hakikat dari kebenaran itu sendiri, tapi lebih karena tekanan massa,
masalah mayoritas-minoritas, yang dibungkus dengan otoritas penafsiran agama.
Perumusan ketentuan delik penodaan terhadap agama dalam Kitab UndangUndang
Hukum Pidana (KUHP) dimasukkan dalam kelompok kejahatan penghinaan, karena
penodaan disini mengandung sifat penghinaan, melecehkan, meremehkan dari suatu agama.
Karena itu menyakitkan perasaan bagi umat pemeluk agama yang bersangkutan, sehingga
unsur hal ini memenuhi unsur yang ada dalam ketentuan Pasal 156a KUHPidana yang terdiri
dari: (1) Melakukan perbuatan mengeluarkan perasaan dan melakukan perbuatan, dan (2) di
muka umum.

Dalam praktek peradilan terkait dengan delik penodaan terhadap agama yang sering
menjadi kesulitan adalah istilah penodaan terhadap agama sesungguhnya sangat abstrak
sehingga bisa digunakan oleh kelompok tertentu, terutama kelompok mainstream yang
menuduh kelompok lain telah menodai agama dengan keyakinan dan praktik agamanya.
Dalam praktiknya pasal tentang penodaan agama menjadi pasal yang bisa dipahami secara
sepihak. Hal ini juga harus diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan mana yang
termasuk delik penodaan terhadap agama dan sebaliknya.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Agama dalam konteks realitas sosial dan regulasi terdapat kesenjangan konsep. Hal
ini menyebabkan munculnya persoalan pelayanan terhadap warga negara yang
berkaitan dengan identitas agama. Regulasi yang ada, semisal UU No. 5 Tahun 1969
tentang PNPS No. 1 Tahun 1965, dalam penjelasannya menyebutkan terdapat enam
agama (Islam, Kristen, Katolik, HIndu, Budha, dan Khonghucu) yang dipeluk oleh
hampir seluruh penduduk Indonesia, dan agama lainnya yang juga dijamin oleh UUD
1945. Namun undang-undang ini secara politis dijadikan landasan bahwa negara
hanya mengakui enam agama itu saja. Sebagaimana disebutkan ditegaskan pula dalam
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
2. UU No.11/PNPS/1965 yang mengakui hanya enam agama resmi di Indonesia,
walaupun di dalam penjelasan UU tersebut tidak tertutup kemungkinan dikemudian
hari ada pengakuan agamaagama yang lain, merupakan bentuk pelanggaran atas pasal
18 ayat (1) dan (3) Kovenan Hak Sipol. Ada pengakuan enam agama merupakan
bentuk campu rtangan negara ke dalam ruang privat individu (right to maintain).
Paragraph pertama Komentar Umum No.22 atas pasal 18 Kovenan Hak Sipol
menjelaskan bahwa hak atas kebebasan beragama (right to maintain) merupakan hak
yang tidak bisa dibatasi bahkan ketika negara berada dalam emergency (gawat
darurat). UU No.1/PNPS/1965 telah melampaui pembatasan yang disyaratkan oleh
pasal 18 ayat (3) KUHP yaitu juga membatasi right to maintain.
3. Mereka (Komunitas Lia Eden) yang membentuk aliran dalam suatu agama, sekalipun
mempunyai keyakinan yang berbeda dengan mayoritas, tidak bisa dikriminalisasikan
telah melakukan penodaan agama. Kelompok kelompok seperti Ajaran Kepercayaan
Lia membangun keyakinannya sendiri dengan metode penafsirannya sendiri dan
untuk kepentingan alirannya sendiri.
4. Konsekensi dari pengakuan enam agama tersebut, maka agama-agama dan
kepercayaan yang tidak diakui oleh UU No.11/PNPS/1965 adalah tidak resmi, UU ini
juga secara langsung menerapkan cara-cara yang diskirminatif di mana negara
membuat/menciptakan kondisi yang mengakibatkan perbedaan yang meniadakan hak
untuk menikmati kebebasan beragama di Indonesia. Ini jelas melanggar pasal 2, 3 dan
26 Kovenan Hak Sipol. Bentuk diskriminasi ini sangat dirasakan oleh agama-agama
minoritas dan penganut kepercayaan, di mana mereka tidak bisa menikmati hak atas
kebebasan beragama di Indonesia karena negara tidak mengakui keberadaan agama-
agama minoritas dan penganut kepercayaan.
DAFTAR PUSTAKA

Haryanto, Joko Tri. 2018. Negara Melayani Agama dan Kepercayaan. Jakarta : Litbangdiklat
Press.

Lembaga Studi dan Administrasi Masyarakat. Hak Atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan


di Dalam Perspektif HAM : Teori Dan Praktek https://referensi.elsam.or.id/wp-
content/uploads/2014/09/18.-Hak-Atas-Kebebasan-Beragama-atau-Berkeyakinan-di-Dalam-
Perspektif-HAM_Teori-dan-Praktik.pdf

Maziyah, Dania Shofi. Skripsi. Universitas Airlangga.


http://repository.unair.ac.id/93567/4/4.%20BAB%20I.pdf

Rohidin. 2011. Perspektif Hukum dan HAM terhadap Eksistensi Aliran Keagamaan di
Indonesia. Pandecta, Volume 6 Nomor 1.

Sodikin. 2013. Hukum dan Hak Kebebasan Beragama. Jurnal Cita Hukum. Vol. 1 No. 2.

Tobroni, Faiq. 2010. Keterlibatan Negara dalam Mengawal Kebebasan Beragama/


Berkeyakinan (Komentar Akademik atas Judicial Review UU No.1/PNPS/1965). Jurnal
Konstitusi, Volume 7 Nomor 6.

Wibisono, M.Yusuf, Adeng M. Ghozali, Siti Nurhasanah. Keberadaan Agama Lokal di


Indonesia Dalam Perspektif Moderasi. http://digilib.uinsgd.ac.id/30632/1/Final%20Template
%20Artikel%20Karya%20Ilmiah-Yusuf%20Wibisono.pdf

Wungkana, Leonardo Reynold. 2017. Tindak Pidana Penodaan Agama Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 156a. Lex Crimen Vol. VI/No. 8.

Anda mungkin juga menyukai