Anda di halaman 1dari 6

Mengatasi Budaya Menyimpang

Oleh : Ubaydillah, AN

Ada satu hal yang menarik ketika berbicara budaya kerja. Apa yang menarik?
Sepertinya ada kesimpulan internasional yang senada atau sama seputar budaya
kerja. Budaya kerja adalah sesuatu yang invisible (tak kelihatan) yang paling
terkait dengan soal kinerja atau performansi. Kesimpulan ini memang tidak
dibikin secara mengada-ada. Sudah banyak fakta atau bukti yang memperkuat
kesimpulan itu.

Kekuatan Budaya Kerja


Soal korupsi di Indonesia pun kerap dikaitkan dengan masalah budaya. "Apa coba
kalau bukan masalah budaya? Agama? Kita negara yang mewajibkan agama.
Sampai Pancasila pun menomersatukan Tuhan. Undang-undang? Hukum? Secara
konsep, ini semua sudah "beres" di kita." Kira-kira begitu opini nara sumber
dalam debat publik di stasiun teve.

Baru-baru ini saya membaca tulisan milik William E. Schneider, Ph.D. (Focus on
Change Management:1998). Ada satu pertanyaan yang menurut saya perlu
dijadikan refleksi oleh para pemimpin organisasi di situ. Pertanyaan itu begini:
"Why Good Management Ideas Fail?" Secara ringkas di situ dijawab rahasianya
adalah budaya kerja.

Menurut hasil penelitian Prof. Yu She Wei di Cina, seperti dikutip Pak Sartono
(Five Actions To Drive Change On Demand: 2006), budaya kerja ternyata punya
kontribusi besar terhadap peningkatan produktivitas organisasi. Ketika organisasi
A ingin meningkatkan produktivitasnya dan yang dilirik hanya pada faktor
peningkatan keahlian orang-orangnya saja, hasilnya baru 1. Jika ditambah dengan
perbaikan SOP, hasilnya 10. Tetapi, jika ditambah dengan perbaikan budaya kerja
(disatukan), hasilnya menjadi 100. Fantastis, kan?

Apa itu budaya kerja? Konon, di dunia ini ada lebih dari seratus definisi budaya
kerja. Satu yang menurut saya paling "tangible" adalah definisi yang mengatakan
bahwa budaya kerja adalah bagaimana suatu organisasi (dari owner sampai
seluruh karyawan) biasa "bekerja" untuk meraih kesuksesan yang diinginkan.

Tentang bagaimana asal-usulnya budaya kerja itu lahir, ada yang menjelaskan
bahwa budaya kerja itu lahir dari nilai-nilai, asumsi, pengetahuan, keyakinan atau
pengalaman para pendiri perusahaan (individu atau kelompok). "Elemen-elemen
intangible" itu kemudian "ter-transferkan" melalui apa yang disebut saluran
budaya. Oleh Nigel MacLennan (Awesome Purpose:1999)dikatakan saluran
budaya itu ada empat.
Simbol
Termasuk dalam pengertian simbol ini misalnya logo, atribut eksternal organisasi,
konstruksi material organisasi, dan lain-lain. Biasanya, logo atau penjelasan
filosofi logo itu mencerminkan nilai-nilai dasar yang dianut oleh para pendiri atau
para senior.

1. Imitasi (duplikasi)

Orang-orang dalam organisasi biasanya meniru para seniornya: pola pikir, asumsi,
keyakinan, perilaku atau kebiasaan yang kemudian menjelma menjadi budaya

2. Edukasi (pendidikan)

Pendidikan dalam arti yang luas pun bisa disebut sebagai saluran budaya kerja.
Pendidikan di sini termasuk: training, pembelajaran, peraturan, sistem kerja,
norma kerja, on job coaching, teaching, dan lain-lain.
3. Eksperiensi (pengalaman)

Pengalaman organisasi dalam mengatasi masalah atau dalam merealisasikan


gagasan pun bisa menjadi saluran budaya. Pengalaman itu biasanya menjadi
semacam prosedur tak tertulis atau hukum tertulis yang memformat pola prilaku
atau pola kebiasaan.
Budaya Menyimpang

Dalam prakteknya, yang menjadi masalah bagi banyak orang sepertinya bukan
budaya itu punya kontribusi besar atau kecil atas peningkatan kinerja. Soal
kontribusi ini sepertinya sudah bisa diamini. Yang menjadi masalah adalah adanya
pola-pola praktek atau kebiasaan atau budaya kerja yang menyimpang.

Menyimpang dari apa? Tentu, menyimpang dari nilai-nilai dasar, menyimpang


dari asumsi-asumsi logis atau menyimpang dari keyakinan atau menyimpang dari
prosedur / pelajaran tertentu yang kita peroleh dari pengalaman. Satu dari
penyimpangan itu, misalnya, para pendiri sudah menggariskan nilai-nilai dasar
yang super fantastis luhurnya, seperti: kejujuran, tanggung jawab, peduli
pelanggan, dan lain-lain, tetapi prakteknya adalah ketidakjujuran, lari dari
tanggung jawab atau ketidakpedulian. Pendeknya: lain di konsep, lain di praktek.

Adanya penyimpangan yang kerap terjadi itulah yang oleh para ahli dikatakan
bahwa budaya itu bukan pernyataan nilai-nilai yang kita tulis di tembok
organisasi, bukan kalimat yang kita cantumkan di bawah logo, bukan jargon yang
kita ucapkan di dalam rapat, tetapi yang kita buktikan dalam praktek atau "How
we do things around here".

"An organisation s true culture is reflected in how its people behave, not on what
is written on a value statement on the wall."
Bagaimana penyimpangan itu bisa terjadi? Masalah penyimpangan antara konsep
yang kita nyatakan dengan praktek yang kita buktikan ini memang masalah klasik
manusia. Meski begitu, ia tak pernah basi untuk diperbincangkan. Terkait dengan
soal penyimpangan budaya ini, saya yakin setiap orang punya pandangan yang
spesifik berdasarkan kasus di lapangan yang dihadapinya. Di sini saya hanya ingin
menambahkan sedikit sebagai bahan untuk melakukan audit:

1. Kurang Keteladanan
Mentransfer pemahaman, nilai-nilai atau asumsi yang kita pedomani kepada orang
lain (dalam bentuk orang banyak), itu sama pengertiannya dengan mendidik
manusia (educating people). Dengan nilai-nilai yang kita pedomani itu kita ingin
orang lain mempraktekkannya. Bukan begitu?

Nah, ketika sudah bicara pendidikan ini, maka peranan keteladanan sudah tidak
bisa ditawar-tawar lagi. Katanya, keteladanan itu bukanlah salah satu teori
pendidikan, melainkan satu-satunya teori. Mendidik manusia memang tidak cukup
dengan hanya memberi teladan, tetapi ruh pendidikan akan mati suri apabila
keteladanan ini sudah hilang.

Kita bisa ambil contoh bagaimana keteladanan ini bekerja dalam lembaga
pendidikan: universitas, akademi, pesantren, kursus, atau apa saja. Pada tingkat
yang paling umum, kita bisa mengatakan semua lembaga pendidikan itu sama.
Sama dalam arti pasti mengajak orang untuk menjadi yang lebih baik, dengan
seperangkat peraturan, norma, kurikulum yang dibuat masing-masing lembaga.

Namun begitu, yang menjadi masalah di lapangan kerapkali bukan itu.


Masalahnya adalah: ada lembaga pendidikan yang berwibawa dan ada yang tidak.
Ada lembaga yang memang benar-benar terasa miliu edukasinya, tetapi ada yang
sama sekali tidak terasa. Kurikulum sama. Peraturan sama. Keinginan sama. Tapi,
kenapa wibawanya berbeda? Salah satu jawabnya adalah keteladanan. Saya kira
inipun terjadi dalam perusahaan atau organisasi usaha.
2. Belum dijadikan pemahaman bersama

Selain karena faktor keteladanan, penyimpangan juga bisa terjadi karena nilai-
nilai, asumsi, keyakinan, atau pengalaman sang pimpinan itu belum dijadikan
materi yang "teacheable", sehingga bisa dijadikan pemahaman bersama. Namanya
orang di dalam organisasi itu bermacam-macam. Ada yang sudah tersentuh
dengan keteladanan tetapi ada yang sama sekali tidak tersentuh. Bahkan ada yang
baru tersentuh setelah dikeluarkan SP.

Pengalaman saya ini mungkin juga pernah Anda saksikan. Ada suatu perusahaan
di mana pimpinannya itu sangat disiplin, tidak banyak ngomong, dan jarang
marah. Kalau menegur, selalu pakai bahasa kiasan yang menghibur. Orang luar
mengenalnya dia adalah sosok yang sangat bijak. Tapi apa yang terjadi pada
karyawannya? Sebagian karyawan yang mengerti akan malu kalau sedikit berbuat
indisipliner. Tapi sebaliknya, karyawan yang ‘ndablek’ (low sensitivity),
justru malah memanfatkan kepemimpinan yang "nyaman" itu. Kelemahlembutan
sang pimpinan itu malah dimanfaatkan, bukan dihormati atau diteladani.

3. Kurang tangkas dalam menerapkan wewenang dan kekuasaan


Organisasi atau perusahaan jelas punya banyak kekuasaan. Power yang dimiliki
perusahaan atas karyawannya tak cukup didetailkan dengan penjelasan Charles
Handy. Intinya, dalam pengertian yang sangat luas, perusahaan memiliki banyak
kekuasaan dan kewenangan dengan kemampuannya dalam memberi reward atau
punishment sebagai tool untuk mendorong orang mengikuti nilai-nilai yang
digariskan.

Yang ingin saya soroti secara spesifik berkaitan dengan kekuasaan ini adalah
ketidaktangkasan perusahaan untuk memainkan reward dan punishment kepada
orang yang mendukung dan kepada orang yang menyimpang. Perusahaan tidak
memberikan reward yang lebih kepada orang yang sudah berbuat baik, pun juga
tidak memberi hukuman kepada orang yang menyimpang atau melanggar. Di sini
benih-benih chaos dan demotivator sosial muncul.

Saya pernah bertanya kepada seorang karyawati seputar hal ini. Katanya: "Di sini
Pak, tak ada bedanya kita kerja jungkir balik dengan yang leha-leha. Gajinya sama
saja. Bahkan kalau kita menunjukkan kelebihan, malah akan diperas. Malah akan
disuruh menangani yang macam-macam". Saya menduga jawaban itu keluar
sebagai respon atas kekurang-sensitif-an manajemen. Manajemen tidak peduli
dengan orang yang sungguh-sungguh ingin berbuat baik, pun juga kurang
memperhatikan orang yang sungguh-sungguh menyimpang atau berperilaku tidak
supportif. Padahal, manajemen pasti punya kekuasan dan kewenangan untuk itu
namun tidak digunakan dengan baik dan benar.

Mengatasi Penyimpangan

Mengatasi Saya yakin masalah penyimpangan budaya ini tidak bisa diselesaikan
semudah membalik tangan. Namun begitu, bukan berarti tidak bisa diselesaikan.
Cuma, pasti tidak ada solusi yang sifatnya one-off. Solusi itu berbentuk resep
yang perlu dijalankan atau proses yang terus menerus. Nah, untuk sebagian kita
yang sedang menghadapi masalah penyimpangan ini, saya ingin mengusulkan
beberapa resep-berproses seperti di bawah ini:

1. Prioritas pada masalah


Penyimpangan seperti apa yang benar-benar mengancam? Penyimpangan seperti
apa yang sudah benar-benar bertentangan dengan nilai-nilai, asumsi, keyakinan
atau pengalaman hidup kita. Karena penyimpangan itu pasti banyak kalau dicari
apalagi dicari-cari, maka sebaiknya kita perlu membuat prioritas penyelesaian
penyimpangan.

Apa manfaatnya kita perlu berangkat dari prioritas penyimpangan? Ini untuk
menghindari keinginan-keinginan yang ditunggangi dorongan keinginan atau
mood sesaat. Terkadang, kita menginginkan situasi atau kondisi yang langsung
baik dan sempurna dari seluruh segi yang sama persis seperti firman kitab suci,
sama persis seperti saran konsultan, atau sama persis seperti khutbah para pakar
manajemen di buku-buku. Padahal, secara resource, kita belum mampu ke sana.
Kesempurnaan itu adalah upaya untuk selalu menyempurnakan kekurangan /
penyimpangan.

Selain itu, memutuskan perbaikan yang dasarnya masalah, akan membuat


keputusan kita lebih membumi, lebih memfokus, lebih riil sasarannya. Para
motivator sering mengatakan pikiran ini akan bekerja lebih bagus kalau diberi
sasaran yang lebih jelas, lebih spesifik, atau lebih terukur. Sebaliknya, ia akan
"bingung" kalau disuruh memikirkan sasaran yang tidak jelas, terlalu normatif,
atau terlalu abstrak.

2. Konseptualisasi
Seperti yang saya katakan di atas, agar kemauan kita itu menjadi pemahaman
bersama, kita perlu mengkonsepkannya, menyatakannya dalam bentuk pedoman
yang bisa dipahami orang lain. Beberapa organisasi memang telah memiliki
rumusan tertulis dari nilai-nilai yang diinginkan untuk terwujud dalam praktek.
Tetapi ini masih banyak juga yang belum memiliki.

Selain bisa menjadi instrumen pemahaman bersama, rumusan tertulis juga akan
menjadi pedoman perlakuan. Ini supaya jangan sampai kita tidak care terhadap
penyimpangan dan tidak care pula terhadap prestasi atau performansi kerja
sebagian orang. Jangan sampai karyawan memendam kesimpulan: "Biar
gimanapun ujung-ujungnya sama saja."

Mestinya, kalau kita menginginkan budaya yang positif dan lingkungan kerja
yang mendukung, kita pun perlu mendukung (memberi reward) orang-orang yang
sudah menunjukkan dukungannya. Dan pada saat yang sama, kita pun perlu
memberikan punishment kepada orang yang terbukti menunjukkan
penyimpangannya. Kelemahan kita, terkadang, kita menginginkan kebaikan,
tetapi kurang appreciate pada orang yang baik dan lemah ATAU ignorance (tidak
peduli / acuh tak acuh) menghadapi orang yang tidak baik.
3. Membuka fasilitas dan peluang pembelajaran

Pengalaman kita bersama menunjukkan bahwa untuk membuat orang melakukan


sesuatu, ini membutuhkan effort yang jauh lebih banyak dibanding dengan
membuat orang yang tidak tahu menjadi tahu. Yang terakhir ini cukup dengan
diberi tahu melalui mulut atau tulisan. Adapun untuk yang pertama, apalagi jika
yang kita inginkan menjadi budaya, pasti tidak cukup dengan identikasi masalah
prioritas dan konseptualisasi keinginan.

Budaya menyimpang, perlu diluruskan melalui proses belajar yang benar agar
hasilnya benar. Esensi mendasar dari prinsip pembelajaran ini adalah
memperbaiki keadaan (mengubah ke arah yang lebih baik) dengan cara
melakukan sesuatu (proses) berdasarkan masalah yang muncul dengan berbagai
cara yang mungkin. Intinya, kita tidak melihat penyimpangan budaya yang terjadi
sebagai sebuah kesimpulan akhir, melainkan sebagai sebuah proses untuk
diperbaiki. Kita tidak melihat penyimpangan sebagai penyimpangan tetapi sebagai
isyarat untuk melakukan perubahan dan pengembangan.Titik.

Adapun bentuk fasilitas itu bisa kita sesuaikan berdasarkan keadaan, kemampuan
dan keinginan. Pokoknya, apapun fasilitas yang bisa menyentuh orang untuk
terdorong memperbaiki keadaan (dirinya, orang lain, dan lingkungan), itu perlu
kita buka, dari mulai yang paling mahal sampai yang paling gratis menurut ukuran
kita. Ini misalnya saja, training, konseling, coaching, teaching, dialog, pertemuan
rutin, pengawasan langsung, pengarahan, dan lain-lain. Semua orang bisa
menjalani kegiatan ini, disesuaikan dengan konteks, keadaan, kemampuan,
kesempatan dan kesulitan yang dihadapi. Tidak ada kata "buntu", tidak ada kata
"tak ada jalan keluar"...semua pasti ada jalan keluar, asal mau belajar....Semoga
bermanfaat !

Anda mungkin juga menyukai