Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN ACUTE CORONARY SYNDROME

(ACS) PADA Tn. N DI RUANGAN INSTALASI GAWAT


DARURAT (IGD) RSUD TORA BELO SIGI

DI SUSUN OLEH :
PUTRI RESTU NIRWANA PILONGO
2020032072

PROGRAM STUDI NERS PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU
2021
A. Konsep Teoritis
1. Definisi
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung
dengan manifestasi klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai
akibat iskemia miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil,
infarct myocard acute (IMA) yang disertai elevasi segmen ST. Penderita
dengan infark miokardium tanpa elevasi ST. SKA ditetapkan sebagai
manifestasi klinis penyakit arteri koroner. Penyakit jantung koroner (PJK)
merupakan manifestasi utama proses aterosklerosis (Tresnia Vicki et al,
2016).
Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah gejala yang disebabkan
adanya penyempitan atau tersumbatnya pembuluh darah arteri jantung baik
sebagian atau total yang disebut pembuluh darah koroner. Jantung akan
bekerja baik jika terdapat keseimbangan antara pasokan dan pengeluaran
suplai oksigen, jika pembuluh darah koroner tersumbat atau menyempit,
maka pasokan oksigen kejantung akan berkurang (Aspiani Yuli & Praptiani
Wuri , 2017).
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan kejadian kegawatan pada
pembuluh darah koroner, sindrom ini juga merupakan suatu fase akut dari
angina pectoris tidak stabil (APTS) yang disertai infark miokard akut (IMA)
gelombang Q dengan peningkatan non ST atau tanpa gelombang Q dengan
peningkatan ST yang terjadi akibat adanya thrombosis akibat rupture plak
aterosklerosis yang tidak stabil (Aspiani Yuli & Praptiani Wuri, 2017).
SKA merupakan penumpukan plaque baik total maupun sebagian yang
disebabkan oleh terbentuknya bekuan darah yang menutupi dinding
pembuluh darah yang sudah pecah, plaque ini mengurangi ruang gerak dari
aliran darah. Hal ini tidak lepas dari aktivitas otot jantung lapisan tengah dari
jaringan otot yang tebal, dan bertanggung jawab untuk kegiatan utama
pemompaan ventrikel, indikator yang terlihat meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi dan gambaran EKG (Badriyah Lailatul Fatin dkk, 2015).
2. Anatomi fisiologi

Jantung merupakan salah satu organ tubuh yang sangat vital yang
bertugas untuk memompa darah ke seluruh jaringan tubuh. Untuk itu apabila
jantung mengalami gangguan dan mempunyai kelainan yang bia di deteksi
dengan menggunakan EKG( Lumbantoruan Pirton, 2014).
Fungsi utama jantung adalah memompa darah ke pembuluh darah
dengan kontraksi ritmik dan berulang. Jantung normal terdiri dari empat
ruang, 2 ruang jantung atas dinamakan atrium dan 2 ruang jantung di
bawahnya dinamakan ventrikel, yang berfungsi sebagai pompa. Dinding yang
memisahkan kedua atrium dan ventrikel menjadi bagian kanan dan kiri
dinamakan septum. Batas-batas jantung:
a. Kanan : vena cava superior (VCS), atrium kanan, vena cava inferior
b. (VCI)
1) Kiri : ujung ventrikel kiri
2) Anterior : atrium kanan, ventrikel kanan, sebagian kecil ventrikel kiri
3) Posterior : atrium kiri, 4 vena pulmonalis
4) Inferior : ventrikel kanan yang terletak hampir horizontal sepanjang
c. Diafragma sampai apeks jantung
1) Superior : apendiks atrium kiri Darah dipompakan melalui semua
ruang jantung dengan bantuan keempat katup yang mencegah agar
darah tidak kembali ke belakang dan menjaga agar darah tersebut
mengalir ke tempat yang dituju. Keempat katup ini adalah katup
trikuspid yang terletak di antara atrium kanan dan ventrikel kanan,
katup pulmonal, terletak di antara ventrikel kanan dan arteri
pulmonal, katup mitral yang terletak di antara atrium kiri dan
ventrikel kiri dan katup aorta, terletak di antara ventrikel kiri dan
aorta. Katup mitral memiliki 2 daun (leaflet), yaitu leaflet anterior dan
posterior. Katup lainnya memiliki tiga daun (leaflet) . Jantung
dipersarafi aferen dan eferen yang keduanya sistem saraf simpatis dan
parasimpatis. Saraf parasimpatis berasal dari saraf vagus melalui
preksus jantung. Serabut post ganglion pendek melewati nodus SA
dan AV, serta hanya sedikit menyebar pada ventrikel. Saraf simpatis
berasal dari trunkus toraksik dan servikal atas, mensuplai kedua
atrium dan ventrikel. Walaupun jantung tidak mempunyai persarafan
somatik, stimulasi aferen vagal dapat mencapai tingkat kesadaran dan
dipersepsi sebagai nyeri.
Suplai darah jantung berasal dari arteri koronaria. Arteri
koroner kanan berasal dari sinus aorta anterior, melewati diantara
trunkus pulmonalis dan apendiks atrium kanan, turun ke lekukan A-V
kanan sampai mencapai lekukan interventrikuler posterior. Pada 85%
pasien arteri berlanjut sebagai arteri posterior desenden/ posterior
decendens artery (PDA) disebut dominan kanan. Arteri koroner kiri
berasal dari sinus aorta posterior kiri dan terbagi menjadi arteri
anterior desenden kiri/ left anterior descenden (LAD) interventrikuler
dan sirkumfleks. LAD turun di anterior dan inferior ke apeks jantung.
Mayoritas darah vena terdrainase melalui sinus koronarius ke
atrium kanan. Sinus koronarius bermuara ke sinus venosus sistemik
pada atrium kanan, secara morfologi berhubungan dengna atrium kiri,
berjalan dalam celah atrioventrikuler. Jantung dapat dianggap sebagai
2 bagian pompa yang terpisah terkait fungsinya sebagai pompa darah.
Masing-masing terdiri dari satu atrium-ventrikel kiri dan kanan.
Berdasarkan sirkulasi dari kedua bagian pompa jantung tersebut,
pompa kanan berfungsi untuk sirkulasi paru sedangkan bagian pompa
jantung yang kiri berperan dalam sirkulasi sistemik untuk seluruh
tubuh. Kedua jenis sirkulasi yang dilakukan oleh jantung ini adalah
suatu proses yang berkesinambungan dan berkaitan sangat erat untuk
asupan oksigen manusia demi kelangsungan hidupnya. Ada 5
pembuluh darah mayor yang mengalirkan darah dari dan ke jantung.
Vena cava inferior dan vena cava superior mengumpulkan darah dari
sirkulasi vena (disebut darah biru) dan mengalirkan darah biru
tersebut ke jantung sebelah kanan. Darah masuk ke atrium kanan, dan
melalui katup trikuspid menuju ventrikel kanan, kemudian ke paru-
paru melalui katup pulmonal.
Darah yang biru tersebut melepaskan karbondioksida,
mengalami oksigenasi di paru-paru, selanjutnya darah ini menjadi
berwarna merah. Darah merah ini kemudian menuju atrium kiri
melalui keempat vena pulmonalis. Dari atrium kiri, darah mengalir ke
ventrikel kiri melalui katup mitral dan selanjutnya dipompakan ke
aorta.
Tekanan arteri yang dihasilkan dari kontraksi ventrikel kiri,
dinamakan tekanan darah sistolik. Setelah ventrikel kiri berkontraksi
maksimal, ventrikel ini mulai mengalami relaksasi dan darah dari
atrium kiri akan mengalir ke ventrikel ini. Tekanan dalam arteri akan
segera turun saat ventrikel terisi darah. Tekanan ini selanjutnya
dinamakan tekanan darah diastolik. Kedua atrium berkontraksi secara
bersamaan, begitu pula dengan kedua ventrikel.

3. Etiologi
a. Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat
konsumsi
b. kolesterol tinggi.
c. Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).
d. Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang
terus menerus.
e. Infeksi pada pembuluh darah.
f. Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)
g. Stress emosi, terkejut
h. Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan
peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat,
frekuensi debar jantung meningkat, dan kontraktilitas jantung meningkat
(Tresnia Vicki et al, 2016).
Menurut Hartono dalam Buku Saku Patofisiologi Menjadi Sangat Mudah
Edisi 2, Adapun faktor-faktor resiko pada penyakit Sindrom Koroner Akut
adalah:
a. Diabetes
b. Riwayat keluarga menderita penyakit jantung
c. Diet tinggi lemak, tinggi karbohidrat
d. Hiperlipoproteinemia
e. Hipertensi
f. Menopouse
g. Obesitas, gaya hidup kurang gerak
h. Merokok
i. Stress
4. Patofisiologi
Sindrom Koroner Akut (SKA) dimulai dengan adanya ruptur plak
arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan
trombus, serta aliran darah koroner yang mendadak berkurang. Hal ini terjadi
pada plak koroner yang kaya lipid dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable
plaque). Ini disebut fase plaque disruption ‗disrupsi plak‘. Setelah plak
mengalami ruptur maka faktor jaringan (tissue factor) dikeluarkan dan
bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa complex mengaktifkan
faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi trombin
yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan
pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut fase acute thrombosis
‗trombosis akut‘. Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage dan
sel T limfosit, proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta
trombosis tersebut. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap
destabilisasi plak melalui perubahan dalam antiadesif dan antikoagulan
menjadi prokoagulan sel endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan dalam
monosit sehingga menyebabkan ruptur plak. Oleh karena itu, adanya
leukositosis dan peningkatan kadar CRP merupakan petanda inflamasi pada
kejadian koroner akut (IMA) dan mempunyai nilai prognostic. Pada 15%
pasien IMA didapatkan kenaikan CRP meskipun troponin-T negatif.
Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang memproduksi
berbagai zat vasokonstriktor maupun vasodilator lokal. Jika mengalami
aterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel (bahkan sebelum
terjadinya plak).
Disfungsi endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit
oksid (NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase,
NADH/ NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan
endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap
dapat terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok,
hipertensi, dan gagal jantung. Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat
dalam produk radikal pada dinding pembuluh darah, misalnya
lipooxygenases dan P450-monooxygenases. Angiotensin II juga merupakan
aktivator NADPH oxidase yang poten. Ia dapat meningkatkan inflamasi
dinding pembuluh darah melalui pengerahan makrofage yang menghasilkan
monocyte chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh darah sebagai
aterogenesis yang esensial.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat
disfungsi endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada
keadaan disfungsi endotel, faktor konstriktor lebih dominan (yakni endotelin-
1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor relaksator (yakni
nitrit oksid dan prostasiklin). Nitrit Oksid secara langsung menghambat
proliferasi sel otot polos dan migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi
platelet dan sebagai proatherogenic. Melalui efek melawan, TXA2 juga
menghambat agregasi platelet dan menurunkan kontraktilitas miokard,
dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark. Sindrom
koroner akut yang diteliti secara angiografi 60—70% menunjukkan obstruksi
plak aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi
plak karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi
inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik.
Adapun mulai terjadinya sindrom koroner akut, khususnya IMA, dipengaruhi
oleh beberapa keadaan, yakni aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak
terkondisikan), stress emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus
harian (pagi hari), dan hari dari suatu mingguan (Senin). Keadaan-keadaan
tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga
tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, kontraktilitas
jantung meningkat, dan aliran koroner juga meningkat. Dari mekanisme
inilah beta blocker mendapat tempat sebagai pencegahan dan terapi (Tresnia
Vicki et al, 2016).
5. Manifestasi klinik
Gejala sindrom koroner akut berupa keluhan nyeri ditengah dada,
seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher, lengan kiri dan
kanan, serta ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin,
dan keluhan nyeri ini bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau kiri,
bahu,serta punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada
ulu hati seperti masuk angin atau maag. (Tresnia Vicki et al, 2016).
Menurut Yuli Aspiani (2017: 98) adapun manifestasi klinis dari
Sindrom Koroner Akut (SKA) yaitu:
a. Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot
jantung dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati
b. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada
(angina). Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan
berlangsung selama lebih dari 20 menit.
c. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah, leher, bahu dan lengan
serta ke punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini
dapat pula timbul pada penderita yang sebelumnya belum pernah
mengalami hal ini atau pada penderita yang pernah mengalami angina,
namun pada kali ini pola serangannya menjadi lebih berat atau lebih
sering.
d. Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya
mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang
terasa di ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai dengan sesak, muntah
atau keringat dingin

7. Pemeriksaan penunjang
a. Sakit dada
b. Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa
gelombang Q patologik
c. Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas
normal), terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih
spesifik untuk nekrosis miokard. Nilainormal troponin ialah 0,1-- 0,2
ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl ( Yuli Aspiani, 2017).
8. Penatalaksanaan
Tahap awal dan cepat pengobatan pasien sindrom koroner akut (SKA)
adalah:
a. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi
kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta
menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan
pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/ menit secara kanul
hidung.
b. Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi.
Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol
spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit
dilanjutkan dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih
200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100
mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke
miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di miokard;
menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan
dinding ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki
aliran kolateral; serta menghambat agregasi platelet (masih
menjadi pertanyaan).
c. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan
kegelisahan mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan
venous capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik;
serta nadi menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga
preload dan after load menurun, beban miokard berkurang, pasien
tenang tidak kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena sambil
memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi
pernapasan.
d. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner
akut jika tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial).
Efeknya ialah menghambat siklooksigenase –1 dalam platelet dan
mencegah pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut
menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.
e. Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival)
menyatakan bahwa Aspirin menurunkan mortalitas sebanyak
19%, sedangkan "The Antiplatelet Trialists Colaboration"
melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA risiko
tinggi dari 14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30%.
Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan absorpsinya
lebih baik "chewable" dari pada tablet, terutama pada stadium
awal 3,4. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada
pasien yang mual atau muntah 4. Aspirin boleh diberikan bersama
atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned
heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan kematian, infark
miokard, dan berulangnya angina pectoris.
f. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin
ini menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu
perdarahan, dan menurunkan viskositas darah dengan cara
menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor
platelet. sehingga menurunkan kejadian iskemi. Ticlopidin
bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan
nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk
prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah
mengalami implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent
koroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah
dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama
Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil
yang baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5%
menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–
16% menjadi 0,2– 5,5%21. Namun, perlu diamati efek samping
netropenia dan trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan
dapat terjadi purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu
evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu II – III.
Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi
dengan Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan
lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila dibanding
Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan.
Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel,
6 orang membutuhkan tranfusi darah 17,22. Clopidogrel 1 x 75
mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai
antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40–
60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari. Penelitian CAPRIE
(Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events )
menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif
daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah
(IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph New
Plavix).

Adapun penanganan Sindrom Koroner Akut (SKA) meliputi:

a. Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada


preparatpreparat baru yang lebih aman (tanpa efek samping
trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya (tanpa aPTT).
Heparin mempunyai efek menghambat tidak langsung pada
pembentukan trombin, namun dapat merangsang aktivasi platelet.
Dosis UFH yang dianjurkan terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus,
dilanjutkan dengan infus 12 ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000
ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien dengan berat badan < 70
kg.
b. Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH): Diberikan pada
APTS atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai
kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh
lebih lama; high bioavailability; dose – independent clearance;
mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi platelet;
tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand;
kejadian trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan
aPTT ; rasio antifaktor Xa / IIa lebih tinggi; lebih banyak
menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek hambatan
dalam pembentukan trombi dan aktivitasnya. Termasuk dalam
preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis
Fraxiparin untuk APTS dan NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena
bersama Aspirin (maksimum 325 mg) kemudian 85 iu antiXa/kg
subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of
Fraxiparin . Sanofi – Synthelabo).
c. Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran
bahwa pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek
antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan antara pemberian
Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS
Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan
Asparin.
d. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan
pada NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya
dengan intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI, bila
diberikan bersama trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi
(studi GUSTO V dan ASSENT-3). GUSTO V membandingkan
Reteplase dengan Reteplase dan Abciximab (GPIIb/IIIa-I) pada IMA,
sedangkan ASSENT–3 membandingkan antara Tenecteplase
kombinasi dengan Enoxaparin atau Abciximab dengan Tenecteplase
kombinasi UFH pada IMA , yang ternyata tak ada perbedaan pada
mortalitas 4. Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet
tersebut dan cukup kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin,
ADP, kolagen, dan serotonin 17. Ada 3 perparat, yaitu Abciximab,
Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara intravena. Ada juga
secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban.
GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian koroner
dengan segera, namun pemberian peroral jangka lama tidak
menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas. Secara
invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan dapat digunakan
untuk mengurangi akibat disrupsi plak. Banyak penelitian besar telah
dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan
Aspirin, Heparin, maupun pada saat tindakan angioplasty dengan
hasil cukup baik. Namun, tetap perlu diamati komplikasi
perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet (trombositopenia)
meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat bila
jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta dkk. (2000) meneliti
efek trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi
pada Eptifibatide atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas.
Diduga karena Abciximab menyebabkan respons antibodi yang
merangsang kombinasi platelet meningkat dan menyokong terjadinya
trombositopenia. Penelitian TARGET menunjukkan superioritas
Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan antara
intergillin dengan derivate yang lain. Penelitian ESPRIT
memprogram untuk persiapan IKP, ternyata hanya menguntungkan
pada grup APTS.
e. Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang
berisi 65 asam amino polipeptida yang mengikat langsung trombin.
GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap 12.142 pasien
APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan perbedaan
yang bermakna terhadap mortalitas 17,28.
f. Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch
block (LBBB) baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu
pendek sebesar 18% 29, namun tidak menguntungkan bagi kasus
APTS dan NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen activator (t-PA)
kombinasi dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari
Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah
infark selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang
diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri koroner dan mortalitas
ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena
mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2
penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA,
namun ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama
saja.
g. Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik
kateterisasi jantung saat ini juga semakin maju. Tindakan
memperdarahi (melalui pembuluh darah) daerah yang kekurangan
atau bahkan tidak memperoleh darah bisa dilaksanakan dengan
membuka sumbatan pembuluh darah koroner dengan balon dan lalu
dipasang alat yang disebut stent.Dengan demikian aliran darah akan
dengan segera dapat kembali mengalir menjadi normal (Tresnia Vicki
et al, 2016).
9. Komplikasi
Menurut Hartono, Buku Saku Patofisiologi Menjadi Sangat Mudah (2013:7),
Komplikasi pada Sindrom Koroner Akut yaitu:
a. Serangan jantung 2
b. Kematian karena jantung secara mendadak
c. Angina tak stabil

B. Konsep dasar keperawatan


1. Pengkajian
Menurut Tresnia Vicki et al (2016), Pengkajian Keperawatan pada
pasien Sindrom Koroner Akut sebagai berikut:
a. Identitas
i. Identitas Pasien
Umumnya jenis kelamin laki-laki dan usia > 50 tahun
b. Status kesehatan saat ini
1) Keluhan utama Nyeri dada, Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat ,
terasa panas, di dada retro sternal menyebar ke lengan kiri dan
punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-10), nyeri berlangsung •> 10
menit.
c. Riwayat penyakit sekarang
Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat , terasa panas, di dada retro
sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-
10), nyeri berlangsung > 10 menit.
d. Riwayat penyakit terdahulu DM, hipertensi, kebiasaan merokok,
pekerjaan, stress.
e. Riwayat penyakit keluarga (jantung, DM, hipertensi, ginjal
f. Pemeriksaan fisik
1) B1( Sistem Pencernaan ): dispneu (+), diberikan O2 tambahan
2) B2 (Sistem Kardiovaskular): suara jantung murmur (+), chest pain
(+), crt 2 dtk, akral dingin
3) B3 (Sistem Indra): pupil isokor, reflek cahaya (+), reflek fisiologis (+)
4) (Sistem Perkemihan): oliguria
5) B5 (Sistem Pencernaan): penurunan nafsu makan, mual (-), muntah
(-)
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Perubahan EKG (berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau
tanpa gelombang Q patologik
2) Enzim jantung (meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas
normal, terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih
spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2
ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl).
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Tresnia Vicki et al 2016, ada 3 diagnosa keperawatan pada
Sindrom Koroner Akut sebagai berikut:
a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia miocard akibat sumbatan arteri
coroner
b. Pola napas tidak efektif
c. Resiko ketidakseimbangan elektrolit

3. Intervensi Keperawatan

Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


No Diagnosa keperawatan
NOC NIC
1. Nyeri Akut NOC NIC
Definisi : penglaman Melaporkan nyeri yang Pain Management
sensori dan emosional terkontrol Keterangan : 1. Lakukan pengkajian
yang tidakmenyenangkan 1. Tidak pernah menunjukkan nyeri secara
yang muncul akibat 2. Jarang menunjukkan konprehensif termasuk
kerusakan jaringan yang 3. Kadang-kadang lokasi, karakteristik,
aktual atau potensial atau menunjukkan durasi, frekuensi,
digambarkan dalam hal 4. Sering menunjukkan kualitas dan faktor
kerusakan sedemikian rupa 5. Secara konsisten presipitasi
( international Assoiation menunjukkan 2. Observasi reaksi non
for the study of pain ) : verbal dari
awitan yang tiba-tiba atau ketidaknyamanan
lambat dari intensitas 3. Gunakan tehnik
ringan hingga berat dengan komunikasi terapeutik
akhir yang dapat untuk mengetahui
diantisipasi atau diprediksi pengalaman nyeri
dan berlangsung pasien
Batasan karakteristik : 4. Kaji kultur yang
1. Perubahan selera mempengaruhi respon
makan nyeri
2. Perubahan tekanan 5. Evaluasi mengalaman
darah nyeri masa lampau
3. Perubahan frekuensi 6. Evaluasi bersama
jantung pasien dan tim
4. Perubahan frekuensi kesehatan lain tentang
pernafasan ketidakefektifan
5. Laporan isyarat kontrol nyeri masa
6. Diaforesis lampau
7. Perilaku distraksi 7. Bantu pasien dan
(mis.,berjalan mondar - keluarga untuk mencari
mandir menari orang dan menemukan
lain dan atau aktivitas dukungan
lain, aktivitas yang 8. Kontrol lingkungan
berulang yang dapat
8. Mengekspresikan mempengaruhi nyeri
perilaku (mis.,gelisah, seperti suhu ruangan,
merengek, menangis ) pencahayaan, dan
9. Masker wajah kebisingan
( mis.,mata kurang 9. Kurangi faktor
bercahaya, tampak presipitasi nyeri
kacau, gerakan mata 10. Pilih dan lakukan
berpancar atau tetap penanganan nyeri
pada satu fokus (farmakologi,
meringis ) nonfarmakologi dan
10. Sikap melindungi area interpersonal)
nyeri 11. Kaji tipe dan sumber
11. Fokus menyempit nyeri untuk
( mis.,gangguan menentukan intervensi
persepsi nyeri, 12. Ajarkan tentang tehnik
hambatan proses nonfarmakologi
berfikir, penurunan 13. Berikan analgetik
interaksi dengan orang untuk mengurangi
dan lingkungan ) nyeri
12. Indikasi nyeri yang 14. Evaluasi keefektifan
dapat diamati kontrol nyeri
13. Perubahan posisi untuk 15. Tinggkatkan istirahat
menghindari nyeri 16. Kolaborasikan dengan
14. Sikap tubuh dokter jika ada keluhan
melindungi dan tindakan nyeri
15. Dilatasi pupil tidak berhasil
16. Melaporkan nyeri 17. Monitor penerimaan
seara verbal pasien tentang
17. Gangguan tidur manajement nyeri
a. Faktor yang Analgesic
berhubungan Agen administration
cedera 1. Tentukan lokasi
(mis.,biologis, zat karakteristik, kualitas,
kimia, fisik, dan derajat nyeri
psikologis sebelum pemberian
obat
2. Cek instruksi dokter
tentang jenis obat,
dosis, frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang
diperlukan kombinasi
dari analgesik ketika
pemberian lebih dari
satu
5. Tentukan pilihan
analgesik
6. Tergantung tipe dan
beratnya nyeri
7. Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
8. Prute pemberian secara
IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secacra teratur.
9. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
2. Ketidakefektifan Pola NOC Airway Management
Napas Defenisi:inspirasi 1. Dispnea saat istirahat tidak 1. Buka jalan napas,
dan/ atau ekspirasi yang ada (skala 5) gunakan teknik chin lift
tidak memberi ventilasi 2. Suara napas tambahan tidak atau jaw thrust bila
pernapasan Batasan ada (skala 5) perlu
Karakteristik: 3. Penggunaan otot bantu 2. Posisikan klien untuk
1. Perubahan kedalaman pernapasan tidak ada (skala memaksimalkan
pernapasan 5) ventilasi
2. Perubahan ekskursi 4. Akumulasi sputum tidak 3. Identifikasi klien
dada ada (skala 5) perlunya pemasangan
3. Mengambil posisi tiga Keterangan: alat jalan napas buatan.
titik 1. sangat berat 4. Pasang mayo bila perlu
4. Bradipnea 2. Berat 5. Lakukan fisioterapi
5. Penurunan tekanan 3. Cukup dada jika perlu.
ekspirasi 4. Ringan 6. Keluarkan sekret
6. Penurunan tekanan 5. Tidak ada dengan batuk atau
inspirasi suction.
7. Penurunan ventilasi 7. Auskultasi suara napas,
semenit catat adanya suara
8. Penurunan kapasitas tambahan.
vital 8. Lakukan suction pada
9. Dispnea mayo.
10. Peningkatan diame-ter 9. Berikan Bronkodilator
anterior posterior bila perlu.
Pernapasan cuping 10. Berikan pelembab
hidung udara kassa basal NaCl
11. Atur intake untuk
cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan
status Oksigen (O2).
13. Monitor pola napas
14. Monitor kecepatan,
irama, kedalaman, dan
keuslitan bernafas
15. Monitor keluhan sesak
napas klien, termasuk
kegiatan yang
meningkatkan atau
memperburuk sesak
tersebut.
16. Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
3. Resiko NOC NIC
Ketidakseimbangan 1. Fluid balance Fluid management
Elektrolit 2. Hydration 1. Timbang
Definisi : Berisiko 3. Nutritional Status : Food popok/pembalut jika
mengalami perubahan and Fluid 4 Intake diperlukan
kadar elektrolít serum Kriteria Hasil : 2. Pertahankan catatan
yang dapat mengganggu 1. Mempertahankan urine intake dan output yang
kesehatan Faktor Risiko : output sesuai dengan usia akurat
1. Defisiensi volume dan BB, BJ urine normal, 3. Monitor status hidrasi
cairan HT normal (kelembaban membran
2. Diare 2. Tekanan darah, nadi, suhu mukosa, nadi adekuat,
3. Disfungsi endokrin tubuh dalam batas normal tekanan darah
4. Kelebihan volume 3. Tidak ada tanda tanda ortostatik ), jika
cairan dehidrasi diperlukan
5. Gangguan mekanisme 4. Elastisitas turgor kulit baik, 4. Monitor vital sign
regulasi (mis.,diabetes, membran mukosa lembab, 5. Monitor masukan
isipidus, sindrom tidak ada rasa haus yang makanan / cairan dan
ketidaktepatan sekresi berlebihan hitung intake kalori
hormon antidiuretik) harian
6. Disfungsi ginjal 6. Kolaborasikan
7. Efek samping obat pemberian cairan IV
(mis, medikasi, drain) 7. Monitor status nutrisi
8. Muntah 8. Berikan cairan IV pada
suhu ruangan
9. Dorong masukan oral
10. Berikan penggantian
nesogatrik sesuai
output
11. Dorong keluarga untuk
membantu pasien
makan
12. Tawarkan snack (jus
buah, buah segar)
13. Kolaborasi dokter jika
tanda cairan berlebih
muncul memburuk
14. Atur kemungkinan
tranfusi persiapan
untuk tranfusi
Hypovolemia
Management
1. Monitor status cairan
termasuk intake dan
output cairan
2. Pelihara IV line
3. Monitor tingkat Hb
dan hematocrit
4. Monitor tanda vital
5. Monitor respon pasien
terhadap penambahan
cairan
6. Monitor berat badan
7. Dorong pasien untuk
menambah intake oral
8. Pemberian cairan
9. Monitor adanya tanda
dan gejala kelebihan
volume cairan
10. Monitor adanya tanda
gagal ginjal
DAFTAR PUSTAKA
Vicki.T.et al. (2016). Asuhan Keperawatan Sindrom Kororner Akut (SKA).
Makalah
Keperawatan Gawat Darurat. Di Publikasikan 26 Oktober 2016
Yuli Aspiani Reni. (2017). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan
Kardiovaskular Aplikasi NIC & NOC. Jakarta :EGC.
Badriyah Lailatul Fatin dkk. (2015). Latihan Fisik Terarah Penderita Post Sindrom
Koroner Akut Dalam Memperbaiki Otot Jantung Kajian Terhadap
Rehabilitasi Jantung/Latihan Fisik Terarah Dalam Menormalkan
Hemodinamik (Tensi,Nadi) Dan Gambaran Konduksi EKG Di Lokasi
Inferior, Anterior, Antero Septal Dan Lateral Tinggi. Muhammadiyah Journal
of Nursing. pp 29-30
Irman Ode dkk. (2017). Hubungan Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan Dan
Jenis Transportasi Dengan Waktu Keterlambatan Penanganan Sebelum Masuk
Ke Rumah Sakit Pada Pasien Sindrom Koroner Akut Di Igd Rsud Dr.Tc.
Hillers Maumere. NurseLine Journal Vol. 2 No. 2 Nopember 2017 p-ISSN
2540.

Vania. (2013). Karya Tulis Ilmiah Angina Pektoris. Universitas Andalas.

Lumbantoruan Pirton. 2014. EKG Dasar.CV Sagung Seto: Jakarta.


6. Pathway Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai