Anda di halaman 1dari 43

Laporan kasus

INFARK MIOKARD AKUT

Pembimbing :

dr. Nur Ikhwani

Disusun Oleh :

dr. Jessy Latni Gusniarta

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KEC. MANDAU

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

2019

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut WHO (2008), penyakit infark miokard akut merupakan penyebab


kematian utama di dunia. Terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%) kematian terjadi
akibat penyakit infark miokard akut di seluruh dunia. Penyakit infark miokard
akut adalah penyebab utama kematian pada orang dewasa. Infark miokard akut
adalah penyebab kematian nomor dua di negara berpenghasilan rendah, dengan
angka mortalitas 2.470.000 (9,4%). Di Indonesia pada tahun 2008 penyakit infark
miokard akut merupakan penyebab kematian pertama dengan angka mortalitas
220.000 (14%).1

Infark miokard akut (IMA) didefinisikan sebagai nekrosis miokard yang


disebabkan oleh tidak adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut arteri
koroner.2 Hal ini biasanya menyebabkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen, yang mana paling sering disebabkan oleh rupturnya plak dan
pembentukan trombus pada pembuluh darah koroner, sehingga terjadi penurunan
suplai darah ke miokardium.3 Infark miokard akut merupakan bagian dari
spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tidak
stabil, IMA tanpa elevasi (NSTEMI) dan IMA dengan ST elevasi (STEMI). 4
Aterosklerosis adalah penyebab utama yang bertanggungjawab untuk sebagian
besar kasus sindrom koroner akut. Tetapi selain itu, terdapat juga penyebab lain
dari IMA antara lain oklusi koroner akibat vaskulitis, hipertrofi ventrikel
(hipertrofi ventrikel kiri, idiopathic hypertrophic subaortic stenosis [IHSS],
penyakit jantung katup, emboli arteri koroner, yang diakibatkan oleh kolesterol
atau udara, anomali koroner kongenital, dan lain sebagainya.3,4
Untuk menurunkan angka kematian akibat penyakit ini, kesadaran
masyarakat segera mengenali gejala-gejala infark miokard akut dan kesigapan
segera membawa penderita ke fasilitas kesehatan terdekat perlu ditingkatkan.2

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. EPIDEMIOLOGI
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan
Republik Indonesia menyatakan bahwa peringkat penyakit kardiovaskular sebagai
penyebab kematian semakin meningkat. Pada tahun 1972, penyakit
kardiovaskular berada di urutan ke-11 sebagai penyebab kematian, dan pada tahun
1986 berubah menjadi urutan ke-3. Persentase kematian akibat penyakit
kardiovaskular di tahun 1998 sekitar 24,4%. P ada tahun 2012 penyakit infark
miokard akut merupakan penyebab kematian pertama dengan angka mortalitas
220.000 (14%).5

Penyakit Jantung Koroner (PJK) umumnya terjadi pada pasien dengan usia
diatas 40 tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga
menderita penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan
usia 40-45 tahun untuk mendefenisikan pasien usia muda dengan penyakit jantung
koroner atau infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai insidensi yang rendah
pada usia muda. Persentase penderita IMA dengan usia di bawah 40 tahun adalah
2-8% dari seluruh penderita IMA dan sekitar 10% pada penderita dengan usia di
bawah 46 tahun. 5
Berdasarkan data rekam medis Pusat Jantung Nasional Harapan Kita
(PJNHK), penderita IMA yang berusia di bawah 45 tahun sejumlah 92 orang dari
962 penderita IMA di tahun 2006, atau 10,1%. Di tahun 2007 angka ini menjadi
10,7% (117 penderita IMA usia muda dari 1096 seluruh penderita IMA).
Sedangkan di tahun 2008 menjadi 10,1% (108 penderita IMA usia muda dari
1065 seluruh penderita IMA). 5

2.2. DEFINISI
Infark miokard adalah nekrosis otot jantung yang bersifat ireversibel, dan
merupakan akibat dari iskemik yang berkepanjangan. Hal ini biasanya terjadi
akibat ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen, yang mana paling sering

3
disebabkan oleh rupturnya plak dan pembentukan trombus pada pembuluh darah
koroner, sehingga terjadi penurunan suplai darah ke miokardium.2,3,4
Sindrom koroner akut (SKA) sudah berperan sebagai terminologi
operasional yang bermanfaat sebagai rujukan dari segala bentuk gejala klinis,
yang sesuai dengan iskemia miokard akut. Terminologi baru ini lebih akurat
membagi SKA sewaktu datang pertama kali sebagai infark miokard dengan
elevasi segmen ST (STEMI) dan IMA tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)
daripada dibagi atas infark miokard akut gelombang Q (IMAQ. QwMI) dan infark
miokard akut tanpa gelombang Q (IMAnQ, non Q MI), demikian juga dengan
angina pektoris tidak stabil (UAP) (gambar 1).6

Gambar 1. Spektrum Sindrom Koroner Akut6

2.3 FAKTOR RISIKO


Faktor risiko terjadinya aterosklerosis yang tidak dapat dimodifikasi antara
lain: 2,3
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Riwayat keluarga yang mengalami penyakit jantung koroner pada usia
muda (<55 tahun untuk pria dan < 65 tahun untuk wanita)

4
Faktor risiko terjadinya aterosklerosis yang dapat dimodifikasi antara lain:
1. Merokok atau penggunaan tembakau lainnya
2. Diabetes mellitus
3. Hipertensi
4. Hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia, termasuk kadar lipoprotein
tinggi yang diturunkan
5. Dyslipidemia
6. Gaya hidup yang santai atau kurang aktivitas fisik
7. Stress psikososial

2.4 ETIOLOGI
Aterosklerosis adalah penyakit utama yang bertanggungjawab untuk
sebagian besar kasus sindrom koroner akut. Rata-rata 90% infark miokard
disebabkan trombus akut menyumbat arteri koroner yang aterosklerotik. Ruptur
plak dan erosi diperkirakan menjadi pemicu utama terjadinya trombosis koroner.3
Penyebab infark miokard selain aterosklerosis antara lain:3
1. Oklusi koroner akibat vaskulitis
2. Hipertrofi ventrikel (hipertrofi ventrikel kiri, idiopathic hypertrophic
subaortic stenosis (IHSS),penyakit jantung katup)
3. Emboli arteri koroner, yang diakibatkan oleh kolesterol, udara
4. Anomali koroner kongenital
5. Trauma koroner
6. Vasospasme koroner primer (angina varian)
7. Penggunaan obat (kokain, amfetamin, efedrin)
8. Arteritis
9. Anomali koroner, termasuk aneurisma arteri koroner
10. Faktor yang menyebabkan konsumsi oksigen meningkat seperti latihan
fisik yang berat, demam, hipertiroidisme
11. Faktor yang menyababkan penyampaian oksigen menurun, seperti
hipoksemia karena anemia berat
12. Disseksi aorta, dengan keterlibatan retrograd arteri koroner

5
13. Infeksi katup jantung melalui patent foramen ovale (PFO)

2.4. PATOFISIOLOGI
Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh
penurunan suplai oksigen atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang
diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau
proses vasokonstriksi koroner.3 Trombosis akut pada arteri koroner diawali
dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya
mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap
yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung
ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi lemak tak jenuh
yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T
yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin
proinflamasi seperti TNF α, dan IL-6.4
ST elevation myocardial infarction (STEMI) umumnya terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak
aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI juga terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor sperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. 4
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yag tipis dan
inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri
dari fibrin rich red trombus, yang dipercayai menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respon terhadap terapi trmbolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur
plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin dan serotonin) memicu aktivasi
trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2
(vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu

6
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi
fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada
proterin adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi. Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen, menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri
dari trombosit dan fibrin.4

Gambar 2. Penyakit yang disebabkan aterosklerosis dan trombosis 7

7
Gambar 3. Kaskade pembentukan trombus 7

2.5. DIAGNOSIS
2.5.1. Gejala klinis
Riwayat pasien merupakan hal yang sangat penting dalam mendiagnosis
infark miokard dan terkadang dapat menjadi satu-satunya petunjuk yang
mengarah ke diagnosis pada fase awal gejala pasien.3
Pasien dengan infark miokard yang tipikal dapat mengalami gejala
prodromal seperti kelelahan, rasa tidak nyaman pada dada, atau malaise dalam
beberapa hari sebelumnya; selain itu STEMI yang tipikal dapat muncul tiba-tiba
tanpa peringatan terlebih dahulu.2,3
Nyeri dada pada infark miokard akut biasanya berlangsung lebih dari 20
menit, retrosternal, berlokasi di tengah atau dada kiri; menjalar ke rahang,
punggung atau lengan kiri.4 Rasa nyeri ini dapat digambarkan oleh penderita
sebagai perasaan seperti tertekan benda berat, seperti diremas-remas, seperti
terbakar atau seperti ditusuk-tusuk. Kadangkala rasa nyeri ini dirasakan di daerah
epigastrium sehingga sering disalah interpretasikan sebagai dispepsia. Gejala
nyeri dada ini seringkali diikuti keringat dingin, rasa mual dan muntah, rasa
lemas, pusing, perasaaan melayang dan pingsan.8

8
Pada penderita yang sudah diketahui menderita PJK, peningkatan kualitas
nyeri dada merupakan indikasi adanya plak ateroma yang tidak stabil yang dapat
memburuk menjadi infark miokard akut.2 Walaupun demikian gejala yang atipikal
juga tidak jarang terjadi seperti pada penderita DM, penderita usia lanjut (>75
tahun), wanita, penderita gagal ginjal kronik, atau dementia, nyeri dada yang
dirasakan mungkin tidak bersifat khas. Pada penderita-penderita ini keluhan yang
sering diutarakan adalah sesak nafas dan nyeri dada atipikal.10
Infark miokard pada umumnya sering muncul pada pagi hari,
kemungkinan hal ini sebagian disebabkan peningkatan agregasi platelet yang
diinduksi oleh katekolamin dan peningkatan konsentrasi plasminogen activator
inhibitor -1 (PAI-1) dalam serum yang terjadi pada saat bangun pagi. Secara
keseluruhan, onset tidak secara langsung berkaitan dengan latihan fisik yang
berat.3

2.5.2. Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan fisik pada penderita infark miokard bisa bervariasi, pada
pasien tertentu dapat ditemukan keadaannya tenang, dengan hasil pemeriksaan
fisik yang normal, sedangkan penderita lainnya merasakan nyeri yang hebat,
dengan distress pernapasan yang signifikan dan membutuhkan ventilator.3
Tujuan penting dari pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah untuk
menyingkirkan penyebab nyeri dada non-kardiak dan gangguan jantung non-
iskemik (antara lain: emboli paru, disseksi aorta, perikarditis, penyakit jantung
katup) atau penyebab ekstrakardiak yang potensial seperti penyakit paru akut
(seperti: pneuomotoraks, pneumonia, atau effusi pleura).4,10
Pasien dengan gejala yang sedang berlangsung biasanya terbaring dengan
tampilan pucat dan diaphoresis. Hipertensi dapat memicu infark miokard, atau
merupakan refleksi adanya kenaikan katekolamin karena kecemasan, nyeri, atau
simpatomimetik eksogen. Hipotensi dapat mengindikasikan disfungsi ventrikel
karena iskemia. Hipotensi pada keadaan infark miokard biasanya
mengindikasikan adanya infark miokard yang luas baik yang disebabkan oleh
penurunan kontraktilitas jantung secara global atau karena infark ventrikel kanan.
Tanda lain pada disfungsi ventrikel adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas

9
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara
karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Disfungsi
katup jantung biasanya akibat infark yang melibatkan otot papillary. Regurgitasi
mitral karena iskemia otot papillary atau nekrosis bisa terjadi.3,4 Peningkatan suhu
sampai 38°C dijumpai pada minggu pertama pasca STEMI.4

2.5.3. Elektrokardiografi (EKG)


Elektrokardiografi (EKG) memberi bantuan untuk diagnosis dan
prognosis. Rekaman yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat.
EKG sebaiknya dilakukan dalam 10 menit setelah kontak pertama dengan tenaga
medis atau saat kedatangan di IGD.11
Gambaran diagnosis EKG pada NTSEMI antara lain:
1. Depresi segmen ST >0,05 mV
2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang
simetris di sandapan prekordial
Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia
jantung, terutama sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya
perubahan segmen ST. Namun EKG yang normal pun tidak dapat menyingkirkan
diagnosis Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS)/NSTEMI. 12 Apabila pada pada
pemeriksaan EKG yang pertama tidak menunjukkan kelainan, pemeriksaan EKG
harus dilakukan kembali apabila pasien tetap mengalami gejala dan harus
dibandingkan dengan rekaman EKG saat tidak mengalami gejala. Perbandingan
dengan rekaman EKG yang sebelumnya, cukup bermanfaat terutama pada pasien
dengan penyakit jantung yang mendasari seperti hipertrofi ventrikel kiri atau
sudah pernah mengalami infark miokard. Rekaman EKG harus diulang paling
tidak 3 atau 6-9 jam dan 24 jam setelah timbul gejala pertama kali, dan sesegera
mungkin pada kasus gejala nyeri dada yang berulang. Pemeriksaan EKG sebelum
pasien dipulangkan juga disarankan.
Pada hasil rekaman EKG yang normal, kemungkinan adanya NSTEMI-ACS
belum bisa disingkirkan. Pada kasus tertentu, iskemik pada area arteri sirkumfleks
atau iskemik ventrikel terisolasi seringkali terlewatkan dari EKG 12 sandapan,

10
tetapi dapat dideteksi pada sandapan V7–V9 dan pada sandapan V3R DAN V4R.
Pemeriksaan EKG standar pada saat istirahat tidak secara adekuat merefleksikan
gambaran trombosis koroner dan iskemik miokard. Sekitar dua pertiga dari semua
episode iskemik pada fase yang tidak stabil biasanya secara klinis tidak tampak
(silent), sehingga tidak terdeteksi pada pemeriksaan EKG ynag konvensional.
Oleh karena itu, rekaman online continuous computer-assisted 12-lead ST segmen
juga merupakan diagnostik yang bernilai.10

Gambar 4 . gambaran NSTEMI pada EKG13

Perubahan EKG pada infark miokard akut (IMA) meliputi hiperakut T, ST


elevasi yang diikuti terbentuknya gelombang Q patologis, kembalinya segmen ST
pada garis isoelektrik dan inversi gelombang T. Cut off point elevasi segmen ST
adalah 0,01 mm. Perubahan ini harus ditemui minimal pada 2 sandapan yang
berdekatan. Terbentuknya bundle branch block baru atau yang dianggap baru,
yang menyertai nyeri dada yang khas merupakan juga kriteria diagnostik IMA.2

11
Kriteria diagnostik untuk infark lama meliputi gelombang QR pada
sandapan V1-V3 yang melebihi 30 msec (0,03 sec) atau gelombang Q pada
sandapan I,II,aVL,aVF, V4-V6 yang ditemukan pada minimal 2 sandapan yang
berdekatan dengan kedalaman minimal 1 mm.2

Gambar 5. ST elevasi pada sandapan II, III, Avf, V5, dan V6 serta depresi ST
pada prekordial13

Untuk menentukan lokasi iskemia atau infark miokard serta predileksi


pembuluh koroner mana yang terlibat, diperlukan dua atau lebih sadapan yang
berhubungan yang menujukkan gambaran anatomi daerah jantug yang sama dan
dapat ditentukan sebagai berikut :

Gelombang Q/elevasi ST
Lokasi Infark Arteri koroner
(sadapan)

Antero-septal V1, V2, V3, V4 Arteri coroner kiri

12
Cabang LAD diagonal
Cabang LAD septal

Arteri coroner kiri


Anterior V3 dan V4
Cabang LAD diagonal

Arteri coroner kiri


Lateral V5 dan V6 Cabang LAD diagonal
Cabang sirkumflex

Arteri coroner kiri


Anterior Ekstensif I, aVL, V2 – V6
Maksimal LAD

Arteri coroner kiri


Antero lateral I, aVL, V3, V4, V5, V6 Cabang LAD diagonal
Cabang sirkumflex

Arteri koroner kiri


Septal V1, V2
Cabang LAD septal

Arteri coroner kanan


Posterior V7 – V9 (V1 V2)
Sirkumfleks

Arteri coroner kanan


Inferior II, III dan aVF Cabang desendens posterior
Cabang arteri coroner kiri

Arteri coroner kanan bagian


Right ventrikel V3R – V4R proksimal

2.5.4. Petanda (Biomarker) kerusakan jantung


Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK)MB dan cardiac
spesific Troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus
digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien untuk pasien STEMI yang
disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti
kenaikan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA terapi reperfusi
diberikan segera mungkin dan tidak bergantung pada pemeriksaan biomarker.4,12

13
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan
adanya nekrosis jantung (infark miokard). 4,12
 CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardoversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
 cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2
jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan
cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-
10 hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu: 4,12


 Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4-8 jam.
 Creatinin Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard
dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4
hari.
 Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

2.5.5. Pencitraan non-invasif


Di antara pencitraan non-invasif, ekokardiografi adalah modalitas yang
paling penting pada kejadian akut karena dapat digunakan dengan cepat dan sudah
banyak tersedia (pada sentra tertentu). Fungsi sistolik ventrikel kiri adalah
variabel prognostik yang penting pada pasien penyakit jantung koroner dan dapat
dinilai secara mudah dan akurat dengan ekokardiografi. Oleh tenaga medis yang
berpangalaman, hipokinesia atau akinesia dapat dideteksi ketika iskemik
berlangsung. Lebih jauh lagi, diagnosis banding seperti disseksi aorta, emboli
pulmonum, stenosis aorta, kardiomiopati hipertropik, atau effusi perikardial dapat
diidentifikasi. Dengan demikian, sebaiknya ekokardiografi secara rutin tersedia di
instalasi gawat darurat atau unit nyeri dada, dan digunakan pada semua pasien.
Pada pasien dengan hasil EKG 12 sandapan tidak diagnostik dan biomarker
jantung negatif tetapi disangkakan ACS, pencitraan stress (stress imaging) dapat

14
dilakukan, pada saat pasien bebas dari nyeri dada. Berbagai studi telah
menggunakan stress echocardiography, menunjukkan negative predictive values
yang tinggi dan/atau outcome yang baik pada hasil stress echocardiogram yang
normal.4
Cardiac magnetic resonance (CMR) dapat mengintegrasikan penilaian
fungsi dan perfusi, dan deteksi jaringan parut pada satu sesi, tetapi teknik
pencitraan ini tidak tersedia secara luas. Berbagai studi menunjukkan kegunaan
MRI untuk menyingkirkan atau mendeteksi ACS. Demikian juga pada pencitraan
dengan nuclear myocardial perfusion imaging yang dinilai cukup bermanfaat,
tetapi juga tidak tersedia luas. Multidetector computed tomography (CT) tidak
sering digunakan dalam mendeteksi iskemik, tetapi dapat menunjukkan visualisasi
langsung dari arteri koroner. Dengan demikian, teknik ini memiliki potensi untuk
menyingkirkan kemungkinan penyakit jantung koroner. 4

2.6. DIAGNOSIS BANDING


Beberapa kondisi kardiak dan non kardiak dapat menyerupai NSTEMI.
Kondisi kronis yang mendasari seperti kardiomiopati hipertropik dan penyakit
katup jantung (contoh: stenosis aorta atau aorta regurgitasi) dapat berkaitan
dengan gejala tipikal NSTEMI, peningkatan biomarker jantung, dan perbahan
EKG. Terkadang atrial fibrilasi paroksismal (AF) menyerupai ACS. Dikarenakan
beberapa pasien juga menderita penyakit jantung koroner, proses diagnosis bisa
menjadi sulit. Miokarditis, perikarditis, atau mioperikarditis yang disebabkan
etiologi yang berbeda dapat menimbulkan nyeri dada yang menyerupai angina
tipikal pada NSTEMI, dan dapat menyebabkan peningkatan level biomarker
jantung, perbahan EKG, dan kelainan gerakan dinding jantung. Kondisi demam,
gejala flu (gejalan saluran nafas) sering mendahului atau menyertai kondisi ini.
Disseksi aorta merupakan kondisi lain yang dapat menjadi diagnosis banding.
NSTEMI bisa merupakan komplikasi disseksi aorta ketika disseksi melibatkan
arteri koroner. Selain itu, stroke dapat disertai perubahan EKG, kelainan gerakan
dinding jantung, dan peningkatan level biomarker jantung. Gejala atipikal seperti

15
nyeri kepala dan vertigo pada beberapa kasus walaupun jarang dapat menjadi
gejala iskemik miokard.10

Gambar 6. Kelainan kardiak dan non kardiak yang menyerupai NSTEMI10

2.7. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari tatalaksana infark miokard akut adalah diagnosis yang
cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,
pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi infark miokard akut.4,8

16
Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan Sindroma Koroner Akut11

2.7.1. Tatalaksana STEMI


2.7.1.1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok
komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik
(pump failure).4,8
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan
adnya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam
pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama.

17
Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai
STEMI antara lain: 9
 Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
 Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
 Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih
 Melakukan terapi perfusi
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya
bukan selama transportasi ke rumah sakit melainkan karena lama waktu mulai
onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan pertama.
Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga
profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini. 8,9
Pemberian fibrinolitik prahospital hanya bisa dikerjakan jika ada
paramedis di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan
tatalaksana STEMI dan kendali komando medis online yang bertanggungjawab
pada pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian trombolitik pra hospital
belum bisa dilakukan. 8,9

Gambar 8 . Pilihan transportasi pasien dengan STEMI dan terapi reperfusi awal9

18
2.7.1.2. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan
kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat
di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI. 4,8,9
1. Tatalaksana umum
 Tirah baring total dilakukan minimal 12 jam.2
 Oksigen
Suplemen oksigen harus segera diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen arteri < 90%. Pada pasien dengan STEMI tanpa kompilkasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama. oksigen 2-4 liter/menit biasanya
cukup mempertahankan saturasi oksigen > 95%.2,4
 Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri
dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan
menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan
cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau miokard
dengan cara dilatasi pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung
dapat diberikan NTG intravena. NTG intravena juga diberikan untuk
mengendalikan hipertensi atau edema paru. Preparat nitrat lainnya seperti
ISDN sublingual 2,5-10 mg, atau intravena 1,25 -5,0 mg/jam juga dapat
digunakan. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah
sistolik < 90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel
kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih, dan
hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan
phospodiesterase- 5 inhibitor sildenafil dalam 24 jm sebelumnya karena
dapat memicu efek hipotensi. 2
 Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Hal ini sangat penting, karena nyeri dada dikaitkan dengan aktivasi saraf
simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban
jantung. 2,4

19
 Morfin
Morfin sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada STEMI. Morfin diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai
dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian
morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis.
Sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan
tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elvasi tungkai
dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl
0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi terutama pasien dengan infark
posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg
IV. 2,4
 Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien dengan STEMI dan
efektif pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenasi
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dengan absorpsi
aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya
aspirin diberikan oral dengan dosis 75-160 mg. 2,4
 Penyekat beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan
adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan
syarat frekuensi jantung > 60x/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg,
interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma.
Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol
pral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg
tiap 12 jam. 2,4
Penggunaan beta blocker dan dosisnya :
Beta blocker Dosis
Metoprolol 25-200mg/12 jam
Atenolol 25-200mg/24 jam
Esmolol 50-300mg/kg/menit(iv)

20
Betanolol 5-20 mg/24 jam
Bisoprolol 5-20 mg/24 jam
Acebutolol 200-600mg/12 jam

 Antikoagulan
Pada infark miokard akut yang ST elevasi > 12 jam diberikan heparin
bolus iv 5000 unit dilanjutkan drip 10000 IU /12 jam dengan infus selama
rata-rata 5 hari dengan menyesuaikan aPTT 1,5-2× nilai kontrol.
Antikoagulan oral diberikan 3 bulan.

 Terapi reperfusi
Reperfusi akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan
pasien STEMI berkembang menjadi gagal pompa atau takiaritmia
ventrikular yang maligna. 2,4
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau
medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat
dicapai dalam 30 menit atau door-to-baloon (medical contact –to-baloon)
time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. 2,4
2. Seleksi Strategi Reperfusi
Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara
lain: 4
 Waktu onset gejala
Waktu onset dejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam
menghancurkan trombus sangat tergantung dengan waktu. Terapi
fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam
pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis
menurunkan angka kematian. Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri
yang mengalami infark menjadi paten, kurang banyak tergantung pada
lama gejala pasien yang menjalani PCI.
 Risiko STEMI

21
Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada
pasien dengan renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI
lebih baik.
 Risiko perdarahan
Jika terapi reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin
tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan
untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi
farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.
 Waktu yang dibutuhkan untuk transport ke laboratorium PCI
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah
PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI
penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis.

Langkah-langkah penilaian dalam memilih terapi reperfusi pada pasien


STEMI :4,9
Langkah 1. Nilai waktu dan risiko
 Waktu sejak onset gejala
 Risiko STEMI
 Risiko fibrinolisis
 Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI yang
mampu
Langkah 2. Tentukan apakah fibrinolisis atau strategi invasif lebih disukai.
Jika presentasi kurang dari 3 jam dan tidak ada keterlambatan untuk
strategi invasif, tidak ada preferensi untuk strategi lain.
Fibrinolisis umumya lebih disukai jika:
 Presentasi awal < 3 jam atau kurang dari onset gejala dan
keterlambatan ke strategi invasif
 Strategi invasif bukan merupakan pilihan
 Laboratorium kateterisasi belum tersedia
 Kesulitan akses vaskular
 Tidak ada akses ke laboratorium PCI yang mampu
 Terlambat untuk strategi invasif:

22
- Transpor jauh
- (door-to-baloon)- (door-to-needle) time lebih dari 1 jam
- Medical contact-to-baloon atau door-to-baloon time lebih dari
90 menit
Strategi invasif umumnya lebih disukai jika:
 Laboratorium PCI yang mampu tersedia backup surgical medical
contact-to-baloon atau door-to-baloon time < 90 menit. (Door-to-
baloon)-(door-to-needle) time < 1 jam.
 Risiko tinggi STEMI
- Syok kardiogenik
- Klas Killip lebih atau sama 3
 Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk meningkatnya risiko
perdarahan dan perdarahan intrakranial.
 Presentasi terlambat (onset gejala > 3 jam yang lalu)
 Diagnosis STEMI tidak yakin

3. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)


Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa
didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis
dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome
klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Namun PCI lebih mahal
dalam hal personil dan fasilitas dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya
sarana hanya di beberapa di rumah sakit.4

4. Reperfusi Farmakologis
Fibrinolisis

23
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam
30 menit sejak masuk (door-to-needle time < 30 menit). Tujuan utama fibrinolisis
adalah restorasi cepat patensi arteri koroner.8,9
Indikasi terapi fibrinolitik :2
1. Gejala yag sesuai dengan infark miokard akut
2. Perubahan EKG :
ST elevasi > 0,1 mm pada minimal 2 sandapan yang berdekatan
Gambaran bundle branch block baru atau diduga baru
3. Onset nyeri dada:
< 6 jam : sangat bermanfaat
6-12 jam : bermanfaat
>12 jam : tidak bermanfaat kecuali pada penderita dengan iskemia
yang berlanjut, yang terbukti dari berlanjutnya nyeri dada dan ST elevasi
pada EKG.
Pemberian terapi fibrinolitik jangan menunggu hasil pemeriksaan enzim
jantung, karena penundaan yang tidak perlu ini dapat mengurangi miokardium
yang seharusnya dapat terselamatkan. Jika keluhan pasien sesuai dengan infark
miokard akut dan kadar enzim meningkat, namun tidak terdapat ST elevasi pada
EKG, maka diagnosisnya adalah infark non-ST elevasi. Pasien ini harus mendapat
terapi heparin, aspirin, dan obat-obat anti-angina. Terapi fibrinolitik/trombolitik
tidak boleh diberikan pada NSTEMI. 2
Kontraindikasi absolut terapi fibrinolitik:2,4
1. Stroke hemoragik, kapanpun terjadinya atau stroke jenis lain yang terjadi
dalam 1 tahun terakhir ini.
2. Neoplasma intrakranial
3. Perdarahan internal aktif (tidak termasuk menstruasi)
4. Suspek diseksi aorta
Kontraindikasi relatif terapi fibrinolitik:2,4
1. Hipertensi berat (tekanan darah >180/110)
2. Riwayat kejadian serebrovaskular atau kelainan intraserebral
3. Penggunaan antikoagulan dalam dosis terapi (INR 2-3)

24
4. Trauma yang baru terjadi (dalam 2-4 minggu), termasuk cedera kepala
atau resusitasi jantung > 10 menit atau operasi besar < 3 minggu
5. Pungsi pembuluh darah yang tidak dapat dikompresi
6. Perdarahan internal dalam 2-4 minggu terakhir
7. Penggunaan streptokinase sebelumnya (terutama 5 hari sampai 2 tahun)
atau riwayat alergi terhadap streptokinase
8. Kehamilan
9. Tukak lambung
10. Riwayat hipertensi kronik yang berat
Jenis-jenis obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK), dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja
dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya
melisiskan trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan spesifik fibrin
seperti tPA dan non spesifik fibrin seperti streptokinase.2,4

Terapi awal Antitrombin terapi Kontraindikasi


spesifik
Streptokinase (SK) 1,5 juta unit 100 Dengan atau Riwayat SK atau
ml D5% atau tanpa heparin iv anistreplase
NaCl 0,9 % selama 24-48 jam
selama 30 – 60
menit
Alteplase(tPA) 15 mg iv bolus Heparin iv selama
0,75 mg/ kgBB 24-48 jam
selama 30 menit
kemudian 0,5
mg/kgBB selama
60 menit iv.
Dosis total tidak
melebihi 100 mg.

5. Tatalaksana di Rumah Sakit 4

25
ICCU
 Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
 Diet : karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah segera
setelah infark miokard, pasien harus puasa atau hanya minum cair dengna
mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak < 30 % kalori total
dan kandungan kolesterol <300 mg/hari. Menu harus diperkaya dengan
makanan yang kaya serat, kalium, magnesium, dan rendah natrium.
 Bowels : istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik
untuk menghilangkan dan nyeri sering mengakibatkan konstipasi. Diet
tinggi serat dan penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl
sodium sulfosuksinat (200 mg/hari).
 Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5 mg,
oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-30 mg, atau lorazepam 0,5-2
mg, diberikan 3-4 kali sehari biasanya efektif.

Terapi Farmakologis
1. Antitrombotik
Penggunaan antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI
berdasarkan bukti klinis dan laboratoris bahwa trombosis mempunyai peran
penting dalam patogenesis. Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan
dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder
adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan
antiplatelet standar STEMI.4,8,9
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan plasebo dan stenting. Hasilnya
menunjukkan penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20
hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stent. 4,8,9
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
unfractinated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi
regimen aspirin dan trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan

26
memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang
direkomendasikan adalah 60 U/kg (maksimum 4000 U) dilanjutkan infus inisial
12 U/kg per jam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial thromboplastin
selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali. Antikoagulan alternatif
pada pasien STEMI adalah low-molecular-weight heparin (LMWH). 4,8,9
2. Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang
terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yag diberikan dalam jangka
panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian
penyekat beta akut IV memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen
miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko
aritmia ventrikel yang serius. 4,8,9
3. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap
mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Manfaat
maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark
anterior, riwayat infark sebelumnya, dan/atau fungsi ventrikel kiri menurun
global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor
ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI
pasien dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg. Mekanisme yang melibatkan
penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan menurunkan risiko gagal
jantung. Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada psien yang mendapat
inhibitor ACE menahun pasca infark. 4,8,9
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI.
Penelitian klinis mengenai gagal jantung menyatakan penggunaan Angiotensin
Receptor Blocker (ARB) pada pasien yang intoleran dengan penggunaan inhibitor
ACE. 4,8,9

27
Gambar 9. Jalur Iskemia Akut4

4. Tatalaksana Predischarge dan Pencegahan Sekunder


Tatalaksana terhadap faktor risiko antara lain mencapai berat badan yang
optimal, nasihat diet, menghentikan merokok, olahraga, pengontrolan hipertensi
dan tatalaksana intensif diabetes melitus dan deteksi adanya diabetes yang tidak
dikenali sebelumnya. 4

2.8. KOMPLIKASI3,4
Komplikasi yang dapat terjadi pada SKA adalah :
1. Disfungsi ventrikular
2. Hipotensi
3. Gangguan haemodinamik seperti kongesti paru
4. Syok kardiogenik
5. Infark ventrikel kanan
6. Aritmia pasca STEMI
7. Ekstrasistol ventrikel
8. Takikardi dan fibrilasi ventrikel

28
9. Takikardia ventrikel
10. Fibrilasi ventrikel
11. Fibrilasi atrium
12. Aritmia supraventrikular
13. Asistol ventrikel
14. Bradiaritmia dan blok
15. Komplikasi mekanik (Ruptur musculus papillaris, ruptur septum ventrikel,
ruptur dinding ventrikel).

2.9. PROGNOSIS 4
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca infark
miokard akut:
Tabel 2.1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Kelas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal 6
jantung kongestif
II + S3 dan/atau ronki basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80

Tabel 2.2. Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut


Kelas Indeks Kardiak PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
(L/min/m2)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51
PCWP : Pulmonary capilary wedge pressure

29
Pada 25% episode IMA kematian terjadi mendadak dalam beberapa menit
setelah serangan, karena itu banyak yang tidak sampai ke rumah sakit. Mortalitas
keseluruhan 15 – 30%. Risiko kematian tergantung pada faktor: usia1 penderita,
riwayat penyakit jantung koroner, adanya penyakit lain – lain dan luasnya infark.
Mortalitas serangan akut naik dengan meningkatnya umur. Kematian kira – kira
10 – 20 % pada usia di bawah 50 tahun dan 20% pada usia lanjut.13

30
BAB III

ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien

Nama : Tn. M

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 66 tahun

Alamat : Jl. Pulau Halang

Tanggal Masuk RS : 13 Februari 2019

ANAMNESIS (Autoanamnesis)

Keluhan Utama

Nyeri dada sejak 1 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit (SMRS).

Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 1 hari yang lalu SMRS pasien mengeluhkan Nyeri dada. Nyeri
dirasakan dengan durasi kurang lebih 30 menit. Nyeri dirasakan bertambah berat
SMRS. Nyeri dirasakan seperti dihimpit benda berat dan rasa tertusuk – tusuk
serta dijumpai penjalaran sampai ke punggung dan lengan kiri, nyeri hilang timbul
dengan intensitas tetap. Nyeri tidak dipengaruhi oleh aktifitas dan tidak
dipengaruhi dengan perubahan posisi tubuh. Nyeri dirasakan Os hilang pada saat
istirahat. Nyeri di sertai keringat dingin (+). Riwayat jantung berdebar-debar (-).
Sesak nafas tidak ada, mual muntah tidak ada.

31
Riwayat Penyakit Dahulu

 Tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya


 Riwayat hipertensi tidak diketahui
 Diabetes mellitus tidak diketahui (pasien tidak pernah memeriksakan
kadar gula darahnya)
 Riwayat hiperkolesterol tidak ada
 Riwayat asma (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat penyakit ginjal (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

 Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita keluhan yang sama
 Penyakit jantung (-)
 Hipertensi (-)
 DM (-)
 Asma (-)

Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan dan Sosial Ekonomi

 Riwayat Os pernah merokok sejak 29 tahun yang lalu sebanyak 2


bungkus/hari jenis filter dengan hisapan dalam.
 Kebiasaan konsumsi alkohol (-),
 Pasien jarang berolahraga (-), pasien selalu konsumsi makanan berlemak
dan bersantan

PEMERIKSAAN UMUM

 Keadaan umum : Tampak sakit sedang


 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda-tanda vital : Tekanan darah: 1/60 mmHg
Nadi : 82x/menit (teratur, kuat,
pengisian cukup)

32
Nafas : 18x/menit
Suhu : 37,0°C

Pemeriksaan fisik

Kepala dan leher

 Kulit dan wajah : Pucat (-), jaundice (-)


 Mata : Edema periorbital (-), Konjungtiva anemis (-/-),
sclera tidak ikterik, pupil bulat, isokor dengan
diameter 3/3 mm, reflek cahaya (+/+), mata
cekung (-), eksoftalmus (-), retraksi palpebra(-)
 Mulut : Sianosis (-), faring hiperemis (-)
 Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran tiroid (-),
pembesaran KGB (-)

Thorak

Paru

 Inspeksi : Pengembangan dada simetris kiri dan kanan,


gerak nafas simetris, tidak ada bagian yang
tertinggal.
 Palpasi : Vokal fremitus kanan = kiri
 Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
 Auskultasi : Vesikuler kedua lapangan paru, ronki (-/-),
wheezing (-/-)

Jantung

 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat


 Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIK V, 1 jari lateral dari
garis linea midclavicula sinistra.
 Perkusi :
o Batas jantung kiri atas : SIK III garis parasternal
sinistra

33
o Batas jantung kiri bawah : SIK V 1 jari lateral dari garis
linea midclavicularis sinistra
o Batas jantung kanan atas : SIK III garis sternalis dextra
o Batas jantung kanan bawah : SIK V garis sternalis dextra
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, gallop (-), murmur (-).

Abdomen

 Inspeksi : Perut datar, venektasi (-), asites (-)


 Auskultasi : Bising usus (+), bunyi tambahan (-)
 Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba
 Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), hepar dalam batas
normal.

Ektremitas

Akral hangat, capillary refilling time < 2 detik, edema ekstremitas bawah (-),
clubbing finger (-)

DIAGNOSIS KERJA

Angina pectoris unstable

Diagnosis Banding : infark miokard akut STEMI

Infark miokard akut NSTEMI

RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Darah rutin
 Elektrokardiografi (EKG)
 Rontgen thoraks
 Kimia darah, Gula darah sewaktu, Elektrolit
 Enzim Jantung (CK, CK-MB, Troponin I )

34
Pemeriksaan laboratorium

Darah rutin (13/02/2019) :

 Hemoglobin : 12,1 gr/dl


 Hematokrit : 34,7 %
 Leukosit : 11.640/mm3
 Trombosit : 261.000/mm3

Kimia darah (13/02/2019) :

 Glukosa : 154 mg/dl


 Ureum : 55 mg/dl
 Creatinin : 1,07 mg/dl

Elektrolit:

Na+ : 138 mmol/L


K+ : 3,79 mmol/L
Cl- : 112 mmol/L

35
Rontgen thorak (13/02/2019):

Kesan : Tidak ditemukan kelainan, CTR ≤ 50%

Elektrokardiografi (13/02/2019):

 EKG

36
Irama sinus, HR: 67 bpm, normoaxis, P 2 kotak kecil, PR interval 4 kotak
kecil, QRS 2 kotak kecil, Segmen ST : ST elevasi lead II,III avF,

Kesan : infark inferior

RESUME

Tn.M 66 tahun, mengeluhkan Nyeri dada sejak 1 hari yang lalu SMRS
pasien. Nyeri dirasakan dengan durasi kurang lebih 30 menit. Nyeri dirasakan

37
bertambah berat SMRS. Nyeri dirasakan seperti dihimpit benda berat dan rasa
tertusuk – tusuk serta dijumpai penjalaran sampai ke punggung dan lengan kiri,
nyeri hilang timbul dengan intensitas tetap. Nyeri tidak dipengaruhi oleh aktifitas
dan tidak dipengaruhi dengan perubahan posisi tubuh. Nyeri dirasakan Os hilang
pada saat istirahat. Nyeri di sertai keringat dingin (+). Memiliki kebiasaan makan
makanan berlemak dan bersantan
Dari pemeriksaan fisik dalam batas normal. Dari pemeriksaan penunjang
seperti EKG didapatkan adanya gambaran ST elevasi pada lead II, III dan AVF.
Pada rontgen thorak dan laboratorium tidak ditemukan kelainan.

DIAGNOSIS AKHIR

Infark miokard akut STEMI inferior

Penatalaksanaan
Non Farmakologi :
 Hindari makanan berlemak, bersantan
 O2 3 Liter per menit
 EKG per 24 jam

Farmakologi (IGD)
 IVFD RL 16 tpm
 Loading dose Clopidogrel 300 mg (4 tablet )
 Loading dose Aspilet 160 mg (2 tablet)
 ISDN 5 mg sublingual , dapat diulangi 3x jarak 10 menit jika nyeri
 Jika masih nyeri berikan morfin 2mg IV, diencerkan jadi 10 cc,
 Aspilet 1x80 mg
 Clopidogrel 1x75mg
 Inj Arixtra
 Bisoprolol 1x2,5 mg

38
 Captopril 3x25 mg
 Simvastatin 1x40 mg
 Injeksi ranitidin 2x1
 Rawat HCU

Follow up
Tanggal S O A P

14 Feb 2019  Nyeri dada T: 120/80 mmHg IMA  Aspilet 1x80 mg


(-) STEMI  Clopidogrel
N: 80 x/menit
 Sesak nafas inferior 1x75mg
(-), nyeri S: 37° C  Inj Arixtra 1x1amp
perut (+),  Bisoprolol 1x2,5
P: 20 x/menit
tidak ada mg
BAB sejak Thoraks : ves +/+  Captopril 3x25 mg
2 hari rh -/- wh -/-
 Simvastatin 1x40
Abdomen : Bu + mg
normal, nyeri tekan  Injeksi pantoprazol
epiagstrium (+) 1x1
 Injeksi furosemid
1x 40 mg
 laxadin syr 3x cth
1

15 Feb 2019  Nyeri dada T: 110/70 mmHg IMA  Aspilet 1x80 mg


(-) STEMI  Clopidogrel
N: 80 x/menit
 Sesak nafas inferior 1x75mg
(-), nyeri S: 37° C  Inj Arixtra 1x1amp
perut (-)  Bisoprolol 1x2,5
P: 20 x/menit
mg

39
Thoraks : ves +/+  Captopril 3x25 mg
rh -/- wh -/-  Simvastatin 1x40
mg
Abdomen : Bu +
 Injeksi pantoprazol
normal, nyeri tekan
1x1
epiagstrium (-)
 Injeksi furosemid
1x 40 mg

16 Feb 2019  Nyeri dada T: 110/70 mmHg IMA  Aspilet 1x80 mg


(-) STEMI  Clopidogrel
N: 80 x/menit
 Sesak nafas inferior 1x75mg
(-), nyeri S: 37° C  Inj Arixtra 1x1amp
perut (-)  Bisoprolol 1x2,5
P: 20 x/menit
mg
Thoraks : ves +/+
 Captopril 3x25 mg
rh +/+ wh -/-
 Simvastatin 1x40
Abdomen : Bu + mg
normal, nyeri tekan  Injeksi pantoprazol
epiagstrium (-) 1x1
 Injeksi furosemid
1x 40 mg

40
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan


dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini mengalami penyakit akut MCI inferior.
Hal ini berdasarkan dari anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan nyeri dada
seperti dihimpit benda berat dan diperkuat dari pemeriksaan EKG didapatkan
infark inferior (ST elevasi pada lead II,III dan aVF ).

Masalah pada pasien adalah nyeri dada dan hipotensi. Berdasarkan


kepustakaan diketahui bahwa manifestasi klinis akut MCI inferior adalah nyeri
dada seperti dihimpit benda berat dikarenakan nekrosis miokard akibat aliran
darah ke otot jantung terganggu sehingga jantung tidak mampu memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan sehingga berakibat adanya
gangguan pada organ-organ tubuh. Penatalaksaan pada pasien ini adalah dengan
pemberian obat ISDN 3 × 10 mg, Clopidogrel 1 x 75 mg, Aspilet 1 x 80 mg,
Bisoprolol 1 x 2,5 mg, Ramipril 1 x 2,5 mg, Simvastatin 1 x 20 mg.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Sulastomo, H. 2010. Sindroma Koroner Akut dengan Gangguan


Metabolik. Diunduh dari: http://www.kardiologi-ui.com/newsread.id=355
2. Kalim, H., dkk. 2015. Pedoman Perhimpunan Kardiovaskular Indonesia:
Tatalaksana Sindroma Koroner Akut Dengan ST-Elevasi. Jakarta: PERKI.
3. Zafari, A.M., et al. 2012. Myocardial Infarction. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/155919-overview
4. Sudoyo, A.W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi
ke-IV. Jakarta: Balai penerbitan FK UI.
5. Rilantono, L.I., dkk. 2012. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta Balai penerbitan
FK UI. 173-178
6. Kalim, H., dkk. 2015. Pedoman Perhimpunan Kardiovaskular Indonesia:
Tatalaksana Sindroma Koroner Akut Tanpa ST-Elevasi. Jakarta: PERKI.
7. Stary, H.C., et al. 2012. Update on the Medical Management of Acute
Coronary Syndrome.
8. O’Connor, et al. 2010. Circulation Journal of American Heart Association:
Part 10: Acute Coronary Syndromes : 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care.
9. Antman, A. M., et al. 2004. Circulation Journal of American Heart
Association: ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With
ST-Elevation Myocardial Infarction Executive Summary. Diunduh dari:
http://circ.ahajournals.org/content/110/5/588.full.pdf+html
10. Antman, A. M., et al. 2008. Circulation Journal of American Heart
Association: 2007 Focused Update of the ACC/AHA 2004 Guidelines for

42
the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction.
Diunduh dari: http://circ.ahajournals.org/content/123/18/2022.full.pdf
11. Hamn, C.W., et al. 2011. European Heart Journal : ESC Guidelines for the
management of acute coronary syndromes in patients presenting without
persistent ST-segment elevation. Diunduhdari:
http://www.escardio.org/guidelinessurveys/escguidelines/GuidelinesDocu
ments/Guidelines- NSTE-ACS-FT.pdf
12. Tobing, D. 2006. ECG Changes In Ischemia, Injury and Infarction.
Department Of Cardiology and Vascular Medicine Faculty of Medicine
University of Indonesia National Cardiovascular Center Harapan Kita.
13. Price S. A. Patofisiology : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta EGC 2005. Hal 580-595

43

Anda mungkin juga menyukai