Anda di halaman 1dari 9

UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA PADA KELOMPOK RENTAN

Juli Sapitri Siregar, Adik Wibowo


Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

E-mail: openmydoorsky@gmail.com

Abstrak

Pengurangan Risiko Bencana telah menjadi fokus dalam penanganan bencana secara
global. Manajemen risiko bencana difokuskan untuk mencegah munculnya risiko baru dan
mengurangi risiko yang ada. Kelompok rentan yang merupakan kelompok dengan risiko paling
tinggi terhadap bencana selama ini dipandang hanya sebagai korban yang butuh penanganan
dan perhatian khusus. Pengurangan risiko terhadap kelompok rentan harus melibatkan kelompok
itu sendiri karena melalui partisipasi mereka kebutuhan dan arah kebijakan pengurangan risiko
bencana dapat dirumuskan dengan lebih tepat dan sesuai dengan kebutuhannya. Pemberdayaan
dan partisipasi kelompok rentan dalam pengurangan risiko bencana dapat mengurangi kerentanan
dan menguatkan ketahanan masyarakat.

Kata Kunci : Kelompok kerentanan, Pengurangan Risiko Bencana, Partisipasi Anak, Orang
Lanjut Usia.

Abstract

Disaster Risk Reduction has become the focus in handling disasters globally. Disaster risk
management is focused on preventing new risks and reducing existing risks. Vulnerable groups
which are the group with the highest risk of disaster have been seen as only victims who need
special care and attention. Risk reduction for vulnerable groups must involve the group itself
because through their participation the needs and direction of disaster risk reduction policies
are formulated more precisely and according to their needs. Empowerment and participation of
vulnerable groups in disaster risk reduction can reduce vulnerability and strengthen community
resilience.

Keywords : Vulnerability group, Disaster Risk Reduction, Children Participation, Older People.

1. PENDAHULUAN memperkuat ketangguhan. Implementasi


Sendai Framework for Disaster Risk Reduction
1.1. Latar Belakang 2015-2030 dilakukan berdasarkan empat
prioritas aksi, yaitu 1) Memahami risiko bencana
Sejak disahkannya Sendai Framework 2) Memperkuat tata kelola risiko bencana
for Disaster Risk Reduction 2015-2030 terjadi untuk mengelola risiko 3) Berinvestasi dalam
perubahan fokus dalam penanganan bencana, pengurangan risiko bencana 4) Meningkatkan
dari manajemen bencana berubah menjadi kesiapsiagaan bencana untuk respon yang
manajemen risiko bencana. Fokus ditujukan efektif. Dengan adanya Sendai Framework
pada pencegahan munculnya risiko baru for Disaster Risk Reduction 2015-2030 maka
dan mengurangi risiko yang sudah ada serta program pengurangan risiko bencana secara

30 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 10, No. 1 Tahun 2019 Hal. 30-38
global akan mengacu pada kerangka tersebut, Upaya pengurangan risiko bencana pada
tidak terkecuali juga dengan Indonesia. (SFDR, kelompok rentan dapat dilakukan dengan
2015) pengelolaan risiko yang ada pada kelompok
Upaya mengurangi risiko bencana yang rentan tersebut. Mengelola risiko yang ada
sudah ada maupun mencegah terjadinya risiko pada kelompok rentan akan lebih efektif
baru dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan melibatkan mereka kedalam kegiatan
ketangguhan masyarakat. Masyarakat pengurangan risiko bencana karena akan
sebagai korban terdampak bencana memiliki lebih mau menggali kebutuhan mereka
risiko yang dapat berupa kematian, luka, secara mendalam sehingga kebijakan dan
sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, aksi pengurangan risiko bencana dapat
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, diselenggarakan tanpa mengabaikan
dan gangguan kegiatan masyarakat risiko kebutuhan kelompok rentan tersebut.
tersebut dapat dikurangi ataupun dicegah
apabila ketangguhan telah terbentuk dalam 1.2. Tujuan
diri masyarakat (Kemenkes, 2017). Sejalan
dengan langkah prioritas Sendai Framework Tujuan dari penulisan ini adalah
for Disaster Risk Reduction 2015-2030 memaparkan upaya yang dapat dilakukan
masyarakat yang tangguh dapat terbentuk dalam rangka pengurangan risiko pada
apabila telah memahami risiko bencana serta kelompok rentan dengan melibatkan kelompok
mampu mengelola risiko yang terdapat didalam rentan itu sendiri .
diri dan lingkungannya.
Salah satu risiko yang paling tinggi 2. METODE
didalam masyarakat yang perlu dikelola
adalah kelompok rentan. Kelompok rentan Artikel ini disusun dengan menggunakan
merupakan merupakan Kelompok masyarakat studi literatur dan dokumen, yaitu literatur
berisiko tinggi, karena berada dalam situasi barupa buku-buku, jurnal, peraturan hukum,
dan kondisi yang kurang memiliki kemampuan ataupun jenis tulisan lainnya dan juga kajian
mempersiapkan diri dalam menghadapi risiko terhadap berbagai macam dokumen yang
bencana atau ancaman bencana. Kelompok terkait dengan topik kelompok rentan pada
ini berisiko tinggi karena pada saat bencana bencana. Penulis melakukan ekstraksi data dan
terjadi akan merasakan dampak yang lebih melakukan analisis secara tematik, selanjutnya
besar daripada kelompok masyarakat lainnya. data disusun sesuai dengan analisis tema dan
Undang-undang Nomor 24 Tahun disusun dalam bentuk makalah yang naratif .
2007 menyebutkan bahwa salah satu
penyelenggaraan penanggulangan bencana 3. HASIL DAN PEMBAHASAN.
pada saat tanggap darurat adalah perlindungan
terhadap kelompok rentan. Kelompok rentan 3.1
.
Populasi Kelompok Rentan
bencana menurut Undang-undang ini adalah di Indonesia
bayi, balita, dan anak-anak, ibu yang sedang
mengandung atau menyusui, penyandang Populasi kelompok rentan di Indonesia
cacat dan orang lanjut usia. Perlindungan yang terdiri dari bayi, balita, dan anak-anak,
terhadap kelompok rentan dilakukan dengan ibu yang sedang mengandung atau menyusui
memberikan prioritas kepada kelompok rentan dan lansia menurut data profil kesehatan
berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, Indonesia digambarkan pada tabel. Dari
pelayanan kesehatan, dan psikososial data tersebut dapat dilihat bahwa kelompok
(UU No 24,2007). Perlindungan terhadap rentan terbesar di Indonesia adalah anak-
kelompok rentan tersebut masih terfokus pada anak dan diurutan kedua adalah lansia.
penanganan saat terjadi bencana atau masa Anak-anak merupakan segmen terbesar dari
tanggap darurat saja. populasi negara berkembang dan seringkali

Upaya Pengurangan Risiko Bencana... (Juli Sapitri Siregar, Adik Wibowo) 31


menjadi korban pertama pada saat bencana 8,56 persen penduduk yang memiliki disabilitas,
(Martin,2010 dalam Muzenda, 2016). di mana tiga provinsi dengan penyandang
Seiring dengan keberhasilan disabilitas terbanyak adalah Sulawesi Utara,
pembangunan diberbagai bidang terutama Gorontalo, dan Sulawesi Tengah. Sementara
bidang kesehatan juga berdampak pada tiga provinsi dengan penyandang disabilitas
meningkatnya usia harapan hidup di dunia paling sedikit adalah Banten, Kalimantan Timur,
termasuk di Indonesia. Usia harapan hidup dan Kepulauan Riau.
Tabel 1. Jumlah Kelok Rentan di Indonesia Tahun 2017.
Kelompok Umur/
No Kelompok Rentan Jumlah
Formulasi
1 Bayi 0 Tahun 4.746.438
2 Anak Balita 1 – 4 Tahun 19.101.845
3 Pra Sekolah 5 – 6 Tahun 9.647.997
4 Anak Usia SD/Setingkat 7 – 12 Tahun 27.843.336
5 Penduduk Usia Lanjut ≥ 60 Tahun 23.658.214
6 Penduduk Usia Lanjut Risiko Tinggi ≥ 70 Tahun 8.752.308
7 Ibu Hamil 1,1 X lahir hidup 5.324.562
8 Ibu Bersalin/Nifas 1,05 X lahir hidup 5.082.537

Keterangan: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2017, Hasil Estimasi Data
Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan Tahun 2015-2019.

merupakan salah satu indikator keberhasilan 3.2. Karakteristik Kelompok Rentan


pembangunan kesehatan yang ditandai
dengan semakin besarnya usia harapan Kelompok rentan dikatakan rentan
hidup penduduknya. Dibalik keberhasilan karena Kelompok rentan dikatakan rentan
meningkatkan usia harapan hidup tersebut karena kelompok ini memiliki keterbatasan
terdapat tantangan berupa angka beban dan kebutuhan khusus sehingga berisiko tinggi
tanggungan hidup semakin besar, serta terhadap bencana atau ancaman bencana.
populasi kelompok rentan yang juga meningkat Kelompok rentan membutuhkan perlakuan dan
(Kemenkes,). perlindungan khusus supaya bisa bertahan
WHO dalam 10 facts on ageing and menghadapi situasi pascabencana, karena
the life course menjelaskan perkembangan kelompok ini merupakan kelompok yang paling
kelompok lanjut usia bahwa jumlah orang besar menanggung dampak bencana . Menurut
berusia 60 tahun akan naik dari 900 juta menjadi Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
2 miliar antara tahun 2015-2050. Peningkatan penanggulangan bencana pada pasal 55
jumlah lansia yang bermakna peningkatan menyebutkan bahwa yang termasuk kedalam
kelompok rentan ini harus diatasi dengan kelompok rentan adalah bayi, balita, dan anak-
mengelola risiko kerentanan yang ada sehingga anak, ibu yang sedang mengandung atau
mengurangi beban negara (WHO,2012). menyusui, penyandang cacat dan orang lanjut
Populasi penyandang cacat menurut usia.
data disabilitas dari hasil SUPAS 2015 Meski sama-sama dikategorikan
dikategorikan meliputi kesulitan melihat, kelompok rentan, namun karakteristik dan
mendengar, menggunakan tangan/ jari, kebutuhan masing-masing dari kelompok rentan
mengingat/ berkonsentrasi, gangguan perilaku/ ini berbeda, sehingga untuk memberi intervensi
emosional, berbicara, serta mengurus diri yang sesuai harus disesuaikan dengan
sendiri. Menurut data SUPAS 2015 terdapat kebutuhan dan karakteristik masing-masing.

32 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 10, No. 1 Tahun 2019 Hal. 30-38
3.2.1. Anak-anak pada ibu hamil dan menyusui saja. Defenisi
Ibu hamil menurut Kemenkes adalah ibu yang
Anak menurut psikologi perkembangan mengandung sampai usia kehamilan 42 minggu.
adalah periode perkembangan yang merentang Perempuan menjadi bagian dari kelompok
dari masa bayi hingga usia lima atau enam rentan karena memerlukan pemulihan yang
tahun, periode ini biasanya disebut dengan lebih lama dan menghadapi masa yang lebih
periode pra sekolah. Sedangkan menurut sulit pascabencana dari pada laki-laki. Stress
kemenkes kelompok anak meliputi bayi, balita, yang meningkat pada masa bencana menjadi
anak, prasekolah dan anak usia sekolah SD penyebab gangguan kehamilan, melahirkan,
atau setingkat (Wibowo, 2014). Anak memiliki dan produksi ASI pada masa bencana. Hal
karakteristik yang membedakannya dengan ini jelas berdampak pada janin, bayi, ataupun
orang dewasa yakni : usia, harapan, kebutuhan, anak yang sedang diasuh ibu. Anak-anak
pendidikan, ketrampilan, pengalaman hidup, banyak mengalami malnutrisi karena ibunya
tekanan sosial yang berbeda, kerentanan, juga mengalami malnutrisi akibat kurangnya
peluang dipekerjakan, tanggung jawab, asupan makanan bergizi pada masa bencana.
masalah kesehatan, hak dan perlindungan Perempuan memiliki kerentanan yang tinggi
hukum, otoritas dalam membuat keputusan, bukan hanya pada ibu hamil dan menyusui saja,
kemampuan untuk melindungi diri, risiko namun setiap perempuan selalu menjadi lebih
kecelakaan, kemampuan fisik yang berbeda, dirugikan dan lebih merasakan dampak dari
pengelolaan emosi, kebutuhan akan cinta bencana dibandingkan lelaki. Dampak langsung
dan perhatian, risiko terhadap kurang gizi dan dari bencana dapat dilihat dari kecenderungan
berisiko terhadap tindak kekerasan (Reachout, wanita umumnya paling banyak menjadi korban
2005). yang butuh perawatan di fasilitas kesehatan,
Pada kondisi bencana anak-anak dengan jumlah korban meninggal akibat bencana
karakteristiknya menjadi rentan terhadap juga lebih banyak perempuan, menjadi cacat
dampak yang ditimbulkan oleh bencana. akibat terluka. Bencana menyebabkan banyak
Anak-anak seringkali menjadi korban terbesar perempuan menjadi miskin , perempuan juga
dalam setiap kejadian bencana karena mengalami marjinalisasi dalam penanganan
ketidakmampuannya melindungi diri dan berada bencana. Perempuan dikonstruksi sebagai
diluar jangkauan pengawasan orangtuanya. kelompok tersubordinasi oleh laki-laki
Pada saat terjadi bencana anak-anak juga sehingga perempuan mengalami kesulitan
rentan terhadap penyakit yang muncul saat untuk akses terhadap informasi ketika
bencana karena daya tahan tubuh mereka yang terjadi bencana maupun pada saat mitigasi.
lemah serta asupan gizi yang buruk pada masa Perempuan juga memiliki keterbatasan akses
bencana. Anak-anak seringkali berhadapan terhadap sumberdaya seperti jaringan sosial,
dengan dampak dari kerusakan seperti sulitnya transportasi, informasi, ketrampilan, kontrol
akses terhadap makanan, tempat penampungan sumberdaya alam dan ekonomi, mobilitas
sementara, hilangnya dukungan sosial, akses individu, tempat tinggal dan pekerjaan. (Hastuti,
terhadap pelayanan kesehatan. Anak-anak juga 2016)
dapat menjadi ketakutan atau trauma, anak-anak
juga berisiko terpisah dari keluarganya, tanpa 3.2.3. Penyandang Cacat / Disabilitas
identitas yang jelas, dan berpotensi menjadi
korban kekerasan dan kejahatan (Babugara , Penyandang cacat menurut Undang-
2008 Taylor 2014, Muzenda 2016). undang No.4 Tahun 1997 adalah setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang
3.2.2. Perempuan dapat mengganggu atau merupakan rintangan
dan hambatan baginya untuk melakukan secara
Undang-undang No.24 Tahun 2007 selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat
membatasi kelompok rentan perempuan hanya fisik, penyandang cacat mental, penyandang

Upaya Pengurangan Risiko Bencana... (Juli Sapitri Siregar, Adik Wibowo) 33


cacat fisik dan mental. Jenis kecacatan terdiri merasa kehilangan tempat tinggalnya dan
dari Tunanetra (buta), Tunarungu (Tuli), Tuna komunitasnya sama saja seperti kehilangan
Wicara (Bisu), Cacat anggota gerak, Lumpuh, dirinya (Yotsui et al, 2015).
Cacat Mental. Anggapan yang berkembang
di masyarakat pada umumnya menempatkan 3.3. Intervensi Terhadap Kelompok Rentan
penyandang cacat sebagai orang yang lemah
dan perlu dikasihani, secara tidak langsung Kelompok rentan pada saat terjadi
anggapan tersebut membentuk sebagian besar bencana menjadi prioritas karena dianggap
penyandang cacat tidak mampu hidup secara sebagai korban yang sangat lemah dan tidak
mandiri dan menjadi tidak produktif. berdaya, dan perlu dilindungi. Undang-undang
No.24 Tahun 2007 menekankan perlindungan
3.2.4. Lanjut Usia (Lansia) kelompok rentan hanya pada saat terjadi
bencana. Mengingat fokus dari penanggulangan
Lanjut usia menurut Undang-Undang bencana secara global berdasarkan kerangka
No.13 Tahun 1998 adalah seseorang yang telah kerja Sendai adalah pengurangan risiko
mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas . bencana, sudah seharusnya risiko yang tinggi
Kemenkes mengklasifikasikan lansia kedalam pada kelompok rentan dikelola sehingga dapat
dua kategori, penduduk usia lanjut berumur ≥ 60 mengurangi risiko dan melindungi kelompok
tahun dan penduduk usia lanjut dengan risiko rentan. Salah satu prinsip dari kerangka kerja
tinggi ≥ 70 tahun (Kemenkes, 2017). Sebagian Sendai menyatakan bahwa pengurangan
besar dari kelompok lanjut usia tidak dapat risiko bencana membutuhkan keterlibatan dan
hidup secara mandiri karena keterbatasan kemitraan semua lapisan masyarakat, juga
mobilitas, lemah atau masalah kesehatan fisik membutuhkan pemberdayaan dan partisipasi
dan mental sehingga membutuhkan pelayanan inklusif, mudah diakses dan non diskriminatif,
dan perlindungan khusus (Wibowo, 2018). memberikan perhatian khusus pada orang-orang
Lansia mengalami penurunan sistem yang secara tidak proporsional terkena dampak
tubuh yang meliputi perubahan fisik, mental dan bencana, terutama dari lapisan masyarakat
psikososial (Nugroho dalam Wibowo,2014). yang paling miskin. Perspektif gender, usia,
Perubahan fisik mencakup perubahan sel, orang-orang yang berkebutuhan khusus dan
sistem persarafan, sistem pendengaran, sistem budaya harus diintegrasikan dalam semua
penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem kebijakan dan praktik, serta kepemimpinan oleh
pengaturan suhu tubuh, sistem pernafasan, perempuan dan pemuda harus dipromosikan(
sistem gastrointestinal, sistem genitourinaria, SFDR, 2015).
sistem endokrin, sistem integumen, dan sistem Mengacu pada prinsip tersebut, sudut
muskulosketal. Perubahan mental dipengaruh pandang terhadap kelompok rentan yang
oleh perubahan fisik, kesehatan umum, selama ini lebih sering dipandang sebagai
tingkat pendidikan, keturunan, lingkungan, objek harus diubah menjadi subjek yang perlu
tingkat kecerdasan dan kenangan. Perubahan dilibatkan dalam setiap aktivitas bencana,
psikososial umumnya timbul karena lansia baik pada saat prabencana, tanggap darurat,
dianggap sudah tidak produktif lagi sehingga maupun pascabencana. Kelompok rentan
sebagian besar pensiun dari pekerjaannya dapat diberdayakan dan berpartisipasi dalam
(Wibowo,2014). pengurangan risiko bencana. Pengurangan
Lansia seringkali tinggal sendiri sehingga risiko bencana pada kelompok rentan dengan
semakin memperbesar risiko lansia terdampak mengelola risiko yang ada sehingga dapat
bencana, karena keterbatasan fisiknya dan menurunkan kerentanan serta memperkuat
tidak adanya bantuan dari anggota keluarga. ketahanan. Strategi pengurangan risiko
Pada saat terjadi bencana yang mengharuskan terhadap kelompok rentan disesuaikan dengan
lansia mengungsi akan menimbulkan karakter dan kebutuhan masing-masing
perasaan tidak nyaman pada lansia karena kelompok rentan.

34 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 10, No. 1 Tahun 2019 Hal. 30-38
3.3.1. Partisipasi Anak-anak dalam pengurangan risiko bencana. Namun terdapat
Pengurangan Risiko Bencana kekurangan dalam pengetahuan anak terhadap
pengurangan risiko bencana walaupun mereka
United Nations Convention on the Rights merasa telah memahami bahaya disekitarnya
of the Child (UNCRC, 1989) menyebutkan dan merasa mampu untuk menyelamatkan
terdapat empat area yang menjadi hak anak diri. Ketertarikan anak-anak ini terhadap
yang harus ditegakkan, yakni kelangsungan pengurangan risiko bencana ditunjukkan
hidup, pertumbuhan, perlindungan dan dengan ketertarikan mereka untuk mempelajari
partisipasi. Partisipasi anak merupakan hak pengurangan risiko bencana dan kesediaan
yang seringkali tidak mendapatkan dukungan mereka untuk membantu memastikan sekolah
dibandingkan tiga hak lainnya, padahal anak- maupun rumah mereka aman dari bencana
anak dapat diberdayakan sebagai penyampai (Amri et al, 2017).
informasi ditengah-tengah masyarakat. Pendidikan bencana telah menjadi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prioritas komitmen global dalam upaya
melibatkan anak dalam pengurangan risiko pengurangan risiko bencana yang dituangkan
bencana dapat mengurangi dampak bencana dalam kerangka kerja Sendai. Upaya
dan juga meningkatkan ketahanan masyarakat. membekali anak-anak dengan pengetahuan
Selama ini anak-anak dianggap dan ketrampilan terhadap pengurangan
sebagai korban yang tidak berdaya pada saat risiko bencana dapat dilakukan dengan
terjadi bencana. Dalam lapisan masyarakat mengintegrasikannya kedalam kurikulum
anak-anak merupakan anggota masyarakat pendidikan. Pendidikan pengurangan risiko
yang paling terakhir didengar dan dimintai bencana di sekolah dapat meningkatkan kedua
pendapatnya serta jarang diberi kesempatan hak anak untuk selamat dan turut berpartisipasi.
untuk didengar terkait kekhawatiran dan
pengalaman mereka terkait bencana (Jabry, 3.3.2. Penguatan Peran Perempuan dalam
2005, Babugura, 2008 dalam Muzenda et al, Mitigasi Bencana
2016). Padahal anak-anak mempunyai potensi
untuk dilibatkan dalam mitigasi bencana Perempuan merupakan kelompok
dan kesiapsiagaan. Keterlibatan anak-anak yang paling rentan dan yang paling dirugikan
dalam pengurangan risiko bencana akan selama terjadi bencana sejak itu juga beban
menjamin keselamatan mereka. Anak-anak mereka meningkat, kebutuhan perempuan
sebagai kelompok yang paling rentan perlu jarang disediakan, kapasitas mereka seringkali
didorong dan dimotivasi untuk menciptakan diabaikan dan partisipasi mereka didalam
dunia sebagai tempat yang aman untuk hidup. bagian dari pembuat keputusan tidak diminta.
Anak-anak merupakan agen pembaharuan Perempuan tidak memiliki kemampuan untuk
yang membawa perubahan jika mereka menikmati haknya secara penuh, pembatasan
dilibatkan. Mereka bisa memaksimalkan terhadapan personal autotomi dan ekspresi
adaptasi kapasitas yang dibutuhkan terhadap politik, pembatasan literasi, pendidikan,
risiko bencana. Ketika anak-anak dibekali kesempatan kerja dan training, keterbatasan
dengan pengetahuan dan ketrampilan anak- kesehatan wanita, waktu dan keamanan diri
anak dapat menjadi penyampai informasi. merupakan faktor-faktor yang mengurangi
(Muzenda et al, 2016) kemampuan perempuan untuk mengantisipasi,
Penelitian yang dilakukan oleh Amri siaga untuk bertahan hidup untuk merespon dan
et al, menyimpulkan bahwa kebanyakan memulihkan diri dari bencana (Enerson, 2015).
anak-anak di Indonesia menyadari adanya Pengurangan risiko bencana pada
ancaman bahaya disekitar mereka, mereka perempuan dapat diupayakan dengan
juga memiliki keyakinan bahwa mereka mampu melibatkan peran perempuan dalam strategi
menyelamatkan diri dari bahaya, anak-anak pengurangan risiko bencana, hal ini dapat
juga memiliki keinginan untuk dilibatkan dalam dilakukan melalui peningkatan (Hastuti, 2016) :

Upaya Pengurangan Risiko Bencana... (Juli Sapitri Siregar, Adik Wibowo) 35


1) Kesadaran perempuan dalam memahami bahwa persoalan hambatan berpartisipasi
situasi lingkungan dan ancaman bahaya harus menjadi tanggung jawab masyarakat
2) Pemahaman tentang kerentanan dan dan negara juga. Sikap masyarakat dan
kemampuan untuk mengukur kapasitas kebijakan pemerintah yang mengakomodasi
yang dimiliki perempuan. prinsip HAM nondiskriminasi, kesetaraan
3) Kemampuan untuk menilai risiko yang serta kesempatan yang sama dan mengakui
dihati perempuan sebagai individu, adanya keterbatasan yang dapat diatasi jika
anggota keluarga dan masyarakat. diupayakan aksesibilitas fisik dan non-fisik
4) Kemampuan untuk merencanakan dan merupakan faktor penting dalam mengatasi
melakukan tindakan untuk mengurangi kondisi yang disebut “disabilitas”. Peningkatan
risiko yang dimiliki baik melalui kesadaran masyarakat dan tanggung jawab
peningkatan kapasitas dan mengurangi negara untuk mengatasi disabilitas menjadi
kerentanan. tugas penting dari komunitas bangsa-bangsa
5) Kemampuan perempuan untuk di dunia sehingga setiap orang, terlepas dari
memantau, mengevaluasi dan menjamin jenis dan keparahan kecacatan (impairment)
keberlangsungan upaya pengurangan yang dimiliki mampu menikmati hak-hak
risiko sehingga dampak bencana dapat mereka yang paling hakiki (Irwanto et al,
dikurangi atau dicegah. 2010).
Penguatan peran perempuan sangat Sebuah tantangan terhadap disabilitas
diperlukan ketika menghadapi bencana, mulai dalam pengurangan risiko bencana
dari penguatan sosial, ekonomi, dan budaya. bersumber dari persepsi masyarakat terkait
Peran perempuan perempuan dalam mitigasi disabiltas, hal tersebut didefenisikan dan
bencana seharusnya ditingkatkan sehingga diimplikasikan terkait dengan pengertian
dapat menekan terjadinya kerentanan yang kebijakan pengurangan risiko bencana dan
ditimbulkan akibat dari bencana seperti penyelenggaraannya. Disabilitas seringkali
kelaparan, keterbatasan akses, kehilangan dikaitkan dengan istilah “kelompok rentan”
tempat tinggal, masalah kesehatan. (Hastuti, atau “kebutuhan khusus” dan membutuhkan
2016). Peran perempuan dapat difokuskan pada perhatian khusus/pertolongan. Kedua istilah
ketahanan pangan saat bencana, peningkatan tersebut diterjemahkan dalam kebijakan
pendapatan rumah tangga sehingga tidak jatuh pembuatan keputusan mengadopsi
pada kondisi yang lebih miskin, dan mitigasi pendekatan patriarkal yang mengasumsikan
dampak bencana (Ofreneo, 2017) bahwa yang kehilangan kemampuannya tidak
mempunyai kapabilitas untuk berkontribusi
3.3.3.
Pengurangan Risiko Bencana (Wisner, 2002, Mitchel et al, 2008, Watsons et
terhadap Penyandang Cacat al, 2012 dalam Ronoh, 2016).
Seringkali penyandang disabilitas
Aktivis-aktivis penyandang disabilitas dianggap tidak ada dan kebutuhan mereka
yang tergabung dalam organisasi mandiri diabaikan oleh pendekatan pengurangan
penyandang disabilitas atau DPO (Disabled risiko bencana yang bersifat top-down. Upaya
People Organisation) dengan keras pengurangan risiko bencana seringnya
menutut diadakannya sarana dan prasarana didesain untuk orang yang mampu berjalan,
aksisibilitas yang memungkinkan mereka berlari, melihat, mendengar, mengarahkan,
mengakses layanan publik dan persamaan memiliki pemahaman dan respon yang cepat
kesempatan untuk berpartisipasi dalam terhadap arahan dan tanda bahaya. Orang
berbagai kegiatan kehidupan sehari-hari, yang tuli atau memiliki gangguan penglihatan
pendidikan, kemasyarakatan, dan politik kemungkinan tidak akan mendengar himbauan
(Irwanto et al, 2010) . evakuasi atau melihat lampu tanda bahaya
Irwanto dalam analisis situasi (Kailes and Enders, 2007 dalam Ronoh, 2016).
penyandang cacat di Indonesia menyatakan Desain bangunan juga seringkali mengabaikan

36 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 10, No. 1 Tahun 2019 Hal. 30-38
penyandang disabilitas dan membiarkannya identitas sosial mereka sendiri sehubungan
berada dalam kerentanan akan dampak dengan kemampuan fisik dan mentalnya.
bencana. (Phibbs et al, 2012 dalam Ronoh, Menjadi relawan juga mengubah konsep lansia
2016) atas diri mereka sendiri yang awalnya merasa
Kerentanan disabilitas dapat dikurangi sebagai penerima bantuan menjadi penyedia
dengan melihat keberadaan mereka serta bantuan. Lansia merasa kepercayaan diri
melibatkan mereka kedalam pembuatan mereka turut meningkat ketika menjadi
keputusan. Melibatkan orang dengan disabilitas relawan mereka mendapatkan pengakuan dari
dalam rencana pengurangan risiko bencana teman sebahanya maupun masyarakat luas.
dapat menciptakan strategi pengurangan risiko Kesehatan lansia juga mengalami peningkatan
yang sesuai dengan kebutuhan disabilitas. ketika mereka turut berpartisipasi sebagai
relawan.
3.3.4.
Memberdayakan Lansia dalam Partisipasi lansia sebagai relawan
Pengurangan Risiko Bencana mampu mengurangi kerentanan mereka
terhadap dampak bencana baik dari segi
Menurut sejarah kebanyakan pembuat kesehatan mental maupun fisik. Melibatkan
kebijakan, praktisi maupun masyarakat lansia dalam kegiatan sosial dapat membuka
menganggap bahwa lansia merupakan sebuah kesempatan untuk meningkatkan keadaan
masalah populasi rentan (Harvard School menjadi lebih baik diantara kelompok rentan
Public Health, 2004) dan bukan sebagai warga yang kehilangan rumah, komunitas dan harta
negara yang berfungsi dan bermanfaat yang bendanya. Sudah saatnya lansia dipandang
memiliki ketrampilan dan keahlian yang dapat sebagai kelompok masyarakat yang dapat
dimaksimalkan (Minkler and Holstein, 2008; diberdayakan saat bencana bukan hanya
Zedlewski and Butrica 2007). Hal tersebut sebagai korban yang membutuhkan perhatian
merupakan gambaran negatif dari lansia baik khusus. Lansia dapat berkontribusi dalam
pada kondisi normal maupun pada kondisi pengurangan risiko bencana baik risiko yang
terjadi bencana. Pada komunitas psikologi dan ada dalam dirinya maupun sekelilingnya
gerontologi pemahaman terhadap partisipasi dengan melibatkan mereka sebagai relawan
sosial telah melalui perubahan paradigma yang memberi support kepada sesama korban
dari proteksi dengan dasar pendekatan bencana. (Yotsui et al, 2015).
memandang lansia sebagai kelompok rentan
ke pemahaman bahwa lansia merupakan aset 4. KESIMPULAN DAN SARAN
sosial yang bernilai (Geiss, 2007) .
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Paradigma terhadap kelompok rentan
melibatkan lansia kedalam kegiatan sosial baik yang selama ini dianggap sebagai korban
perorangan maupun kelompok bukan hanya yang butuh perhatian dan penanganan khusus
sebagai bentuk dukungan terhadap lansia sudah saatnya mengalami pergeseran.
namun juga dapat menurunkan perasaan Pengurangan risiko terhadap kelompok
kesepian dan cemas, namun juga dapat rentan harus melibatkan kelompok rentan itu
meningkatkan kekuatan fisik serta kepercayaan sendiri. Keterbatasan yang dimiliki kelompok
diri yang dibangun melalui persahabatan dan rentan bukan berarti menjadikan kelok rentan
peningkatan ketrampilan dan pengetahuan hanya sebagai kelompok yang hanya bisa
(Yotsui et al, 2015). menerima bantuan tanpa mampu berbuat apa-
Dalam penelitiannya Yotsui et al apa. Kelompok rentan mampu mengurangi
menemukan bahwa lansia yang dipekerjakan risiko yang ada pada diri mereka dan juga
sebagai relawan (volunter) merasa lingkungannya dengan melibatkan mereka
mendapatkan sebuah kesempatan yang baru dalam kegiatan pengurangan risiko bencana
untuk mendukung dan mendorong orang baik pada masa pra bencana, tanggap darurat
lain disekelilingnya dan membangun kembali maupun pascabencana.

Upaya Pengurangan Risiko Bencana... (Juli Sapitri Siregar, Adik Wibowo) 37


DAFTAR PUSTAKA Reach Out Refugee Protection Training
Project, 2005, Vulnerable Groups Trainer
Amri Avianto, Bird K. Deanne, Ronan Kevin, Guidance 1, Module 8.
Haynes Katharine, and Towers Ronoh, Steve,2016, Disability through an
Briony , 2017, Disaster risk reduction inclusive lens: disaster risk reduction
education in Indonesia: challenges and in schools, Disaster Prevention and
recommendations for scaling up, Natural Management, Vol. 26 No. 1, 2017
Hazards Earth System Scienses, 17, Sendai Framework for Disaster Risk Reduction
595–612, 2017. 2015-2030
Enerson, Elaine, 2015, Gender Equality, Work, Tipler S Karlene., Ruth A. Tarrant, David M.
and Disaster Risk Reduction : Making the Johnston and Keith F. Tuffin, 2016, New
Connection, http://www.researchgate. Zealand ShakeOut exercise: lessons
net/publication/228905667 learned by schools, Disaster Prevention
Hastuti, 2016, Peran Perempuan dalam and Management Vol. 25 No. 4, 2016.
Menghadapi Bencana di Indonesia, Undang-undang No.4 Tahun 1997 tentang
2016, Geomedia, Volume 14 No.2 . Penyandang Cacat.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Undang-undang No.13 Tahun 1998 Tentang
2014, Situasi dan Analisa Lanjut Usia, Kesejahteraan Lanjut Usia.
Pusdatin. Undang-undang No.24 Tahun 2007 Tentang
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Penanggulangan Bencana
2017, Profil Kesehatan RI 2017 . Wibowo, Adik, 2014, Kesehatan Masyarakat di
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
2017, Profil Penanggulangan Krisis Cetakan 1 hal 363-416.
Kesehatan Kabupaten/Kota Rawan Yotsui, Mihoko, Campbell, Catherine, Honma,
Bencana. Pusat Krisis Kesehatan. Teruo, 2015, Collective action by older
Muzenda-Mudavanhu, C., 2016, ‘A review of people in natural disasters: the Great
children’s participation in disaster risk East Japan Earthquake, Cambridge
reduction’, Jàmbá: Journal of Disaster University Press , 1052-1082.
Risk Studies 8(1), Art. #218, 6 pages.
Ofreneo Pineda Rosalinda, Haga D. Mylene.
2016, Women’s solidarity economy
initiatives to strengthen food security
in response to disasters Insights from
two Philippine case studies, Disaster
Prevention and Management Vol. 25 No.
2, 2016 pp. 168-182.

38 Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 10, No. 1 Tahun 2019 Hal. 30-38

Anda mungkin juga menyukai