4
The Manitoba Historical Society. TimeLinks: Maternal Feminism. Diakses dari <http://www.mhs.mb.ca/
docs/features/timelinks/reference/db0015.shtml> pada 16 Juni 2010.
5
Sharon White. Ceshra. Feminism: Yesterday, Today, Future. Diakses dari <http://www.ceshra.org/
Feminism.html> pada 16 Juni 2010.
6
Rachel Krech. Associated Content. A Brief Overview of Argentina's Dirty War of the 1970s and 80s. Diakses
dari <http://www.associatedcontent.com/article/616215/a_brief_overview_of_argentinas _dirty.html> pada
16 Juni 2010.
Kembali pada gerakan Madres de la Plaza de Mayo, saat gerakan ini berkumpul
untuk pertama kalinya di Plaza de Mayo, polisi membubarkannya secara paksa dengan
alasan demonstrasi di depan istana kepresidenan adalah perbuatan melanggar hukum,
sehingga mereka berjalan dengan membentuk lingkaran. Keempatbelas ibu tersebut
kembali pada minggu depannya, dan hal tersebut berlanjut tiap minggunya, setiap hari
Kamis, dengan semakin bertambahnya anggota.7
Gerakan sosial ini semakin dikenal karena para anggotanya menggunakan
kerudung putih yang bertuliskan nama anak mereka yang hilang. Pernyataan visual
tersebut menimbulkan perhatian masyarakat dan memunculkan kesadaran.
Selanjutnya, simbol ini menggambarkan kedamaian dan kesucian cinta seorang ibu.
Gerakan ini terus menyuarakan tuntutannya walaupun rezim militer berakhir
pada tahun 1983. Ironisnya, saat rezim militer sudah tidak berkuasa, ketidakadilan
terhadap Madres de la Plaza de Mayo dan korban rezim militer justru datang dengan
diberlakukannya dua undang-undang amnesti pada tahun 1986 dan 1987. Keduanya,
Undang-Undang Penghentian Penuh (La Ley de Punto Final) dan Undang-Undang
Pengampunan dengan Alasan Kepatuhan (La Ley de Obediencia Debida) dibuat karena
adanya tekanan politik di Argentina yang digencarkan oleh para mantan elit militer
pada zaman rezim militer.
Dengan berkembangnya Madres de la Plaza de Mayo di masyarakat dan
berlanjutnya tekanan-tekanan yang dilancarkan gerakan ini terhadap pemerintah,
kecenderungan untuk mengabaikan kedua undang-undang tersebut mulai muncul di
kalanga elit, dimulai pada lembaga peradilan Argentina. Pada akhirnya, dengan
besarnya tuntutan masyarakat dan elit, kedua undang-undang tersebut akhirnya
dihapuskan pada tahun 2005 oleh Mahkamah Agung Argentina.
Darp penjelasan di atas, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana sebuah
gerakan sosial wanita seperti Madres de la Plaza de Mayo dapat mempengaruhi sistem
politik di Argentina. Pertanyaan tersebut secara tidak langsung juga mempertanyakan
pengaruh konstruksi gender, baik dalam gerakan Madres de la Plaza de Mayo maupun
dalan sistem politik Argentina.
7
Peace is Loud. Argentina. Diakses dari <http://peaceisloud.org/wp/forgotten-conflicts-americas-argentina>
pada 15 Juni 2010.
Gerakan seperti Madres de la Plaza de Mayo dikategorikan sebagai model
gerakan sosial baru.8 Gerakan sosial baru terdiri dari gerakan gender, gerakan etnik,
gerakan hak asasi manusia, dan gerakan lingkungan. Sekilas, Madres de la Plaza de Mayo
dapat dikategorikan lagi dalam sub-kategori gerakan gender. Namun, tidak semua
gerakan sosial wanita dapat disebut sebagai gerakan feminis. Gerakan yang tidak
menyuarakan peran gender tidak dianggap sebagai feminis, walaupun banyak ‘tuntutan
maternal’ dapat dimasukkan ke dalam agenda feminis.9 Madres de la Plaza de Mayo
lebih tepat dikategorikan sebagai gerakan hak asasi manusia.
Yang menjadikannya berbeda dengan gerakan gender lainnya adalah
kecenderungan Madres de la Plaza de Mayo untuk menuntut keberadaan anak-anak
mereka yang dihilangkan secara paksa dengan menjunjung nilai-nilai keibuan yang
melekat pada diri mereka. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan kerudung putih
yang mewakili kedamaian dan kesucian cinta seorang ibu10. Marianismo dan maternal
feminism dapat dijadikan dasar untuk menjelaskannya. Marianismo dan maternal
feminism, yang menekankan pada peran dan pengorbanan seorang ibu, dijadikan
sebagai senjata –sedikit banyak disebabkan oleh kurangnya kemampuan berpolitik dan
tidak adanya alternatif bentuk perlawanan lainnya– untuk melawan sistem. Terlebih,
selain adanya faktor internal, yakni budaya marianismo yang mengakar kuat di Amerika
Latin, termasuk di Argentina, dalam konteks ini, rezim militer juga memaksa para
wanita untuk kembali ke rumah. Peran perempuan dalam era rezim militer
didefinisikan melalui variasi lokal terhadap stereotipe perempuan zaman Nazi Jerman:
kinder, küche, kirche (anak, dapur, gereja) yang mendorong perempuan untuk kembali
ke rumah.11 Didorong oleh rasa keibuannya untuk mencari dan menuntut akan anak-
anaknya yang hilang, para ibu-ibu tersebut tetap menggunakan identitas keibuannya
saat menyuarakan tuntutannya di ranah publik. Dari sini kita dapat melihat bagaimana
perpindahan ranah tidak menyebabkan perubahan sikap dan identitas para ibu-ibu
tersebut.
8
Ronaldo Munck. Contemporary Latin America. Basingtoke: Palgrave Macmillan. 2003, hlm. 114. Munck
mengkategorikan gerakan sosial di Amerika Latin menjadi empat kategori, yakni gerakan nasionalis, gerakan
buruh, gerakan rural, dan gerakan baru.
9
Craske, hlm. 167.
10
Adam Bennet et al. Madres of Plaza de Mayo. Diunduh dari <https://webspace.utexas.edu/cmr485/www/
mothers/history.html> pada 16 Juni 2010.
11
Munck, hlm. 87. Stereotipe yang hampir sama terdapat di dalam falsafah Jawa. Stereotipe tersebut terkenal
sebagai Tiga Ur (dapur, sumur, kasur) atau Tiga M (macak (berdandan), masak, manak (melahirkan)).
Selain itu, gerakan ini unik karena menerapkan prinsip aksi nirkekerasan. Aksi
nirkekerasan diartikan sebagai konsep operasi atau aksi melawan musuh yang
menggunakan kekerasan sebagai sanksi12 dengan perlawanan tanpa kekerasan. Aksi
nirkekerasan pada umumnya diterapkan oleh kaum minoritas yang menyadari posisi
mereka lebih lemah daripada lawan. Walaupun aksi nirkekerasan tidak dapat dijamin
keberhasilannya, namun dengan menerapkan prinsip ini secara berkelanjutan, para
aktivis dapat meningkatkan posisi mereka dalam beberapa hal. Selain itu, aktivis sangat
mungkin mendapatkan dukungan publik, terutama jika apa yang mereka tuntut
merupakan tuntutan publik.
Penggunaan prinsip aksi nirkekerasan oleh Madres de la Plaza de Mayo dapat
dilihat dari penggunaan simbol (kerudung putih) dan aksi marching yang mereka
lakukan setiap hari Kamis di depan Casa Rosada. Menurut Gene Sharp (1973),
penggunaan simbol dan marching merupakan metode nonviolent protest and persuasion.
Penggunaan simbol menjadi sarana untuk menyampaikan sudut pandang suatu
kelompok. Marching atau berbaris sebagai sebuah bentuk nonviolent protest and
persuasion dipraktekkan saat sebuah kelompok berjalan dalam sebuah barisan yang
teratur di tempat tertentu dan aksi tersebut dianggap signifikan secara intrinsik
terhadap isu yang sedang berlangsung.13
Gerakan ini sempat mendapatkan cibiran, baik dari kalangan masyarakat
maupun elit. Mereka pada awalnya dijuluki sebagai orang gila (Las Locas)14, namun
pada akhirnya Madres de la Plaza de Mayo mendapat perhatian serta pengakuan baik di
Argentina maupun di dunia intenasional. Madres de la Plaza de Mayo mendapatkan
tempatnya di hati masyarakat Argentina karena isu yang mereka angkat adalah isu
nasional. Penculikan anak-anak mereka tidak hanya menjadi persoalan mereka saja,
karena selama rezim militer berkuasa, lebih dari 30.000 orang telah hilang. Madres de la
Plaza de Mayo akhirnya berkembang menjadi sebuah gerakan sosial yang tidak hanya
beranggotakan para ibu-ibu, yang kebanyakan buta politik, namun juga para ayah,
nenek-kakek, anak-anak, dan seluruh lapisan masyarakat di Argentina. Dengan
berkembangnya Madres de la Plaza de Mayo secara masif, gerakan ini harus diakui telah
berhasil mempengaruhi politik di Argentina. Madres de la Plaza de Mayo telah
menciptakan kultur kesadaran masyarakat terhadap isu kekerasan yang terjadi pada
12
Gene Sharp. The Politics of Nonviolent Action. Boston: Extending Horizon Books. 1973, hlm. 109.
13
Sharp, hlm. 152.
14
Munck, hlm. 118.
masa rezim militer. Kultur tersebut tidak hanya mempengaruhi kalangan grass-root
saja, namun juga memasuki ranah elit. Pada akhir tahun 1990-an, lembaga yudikatif di
Argentina menunjukkan suatu kecenderungan untuk mengabaikan dua undang-undang
amnesti yang dibuat pada tahun 1986 dan 1987 tersebut. Tuntuan untuk menegakan
hak asasi manusia, yang terkait dengan kasus penghilangan, penculikan, dan kekerasan
yang terjadi selama rezim militer, mulai dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat di
Argentina.
Selanjutnya, pada tahun 2003, Parlemen Argentina menghapus kedua undang-
undang tersebut yang pada tahun 2005 disahkan oleh Mahkamah Agung Argentina di
bawah pemerintahan Nestor Kirchner. Pada akhirnya, gerakan ini mengadakan
marching terakhirnya pada 26 Januari 2006 dengan alasan bahwa apa yang mereka
perjuangkan selama ini sudah diperhatikan oleh pemerintah. Namun para pelopor
gerakan ini tetap melanjutkan kegiatan rutin mereka, untuk menyuarakan hak asasi
manusia secara umum. Organisasi ini berkembang menjadi organisasi internasional,
yang banyak menaruh perhatian pada isu-isu hak asasi manusia di seluruh dunia.
Selain nilai-nilai marianismo dan prinsip aksi nirkekerasan, patut diperhatikan
bahwa Madres de la Plaza de Mayo tidak berafiliasi pada partai politik manapun di
Argentina. Untuk menyuarakan tuntutannya, memasuki ranah politik secara langsung
bukanlah sebuah pilihan karena banyak dari para ibu-ibu tersebut tidak tahu apa-apa
tentang politik. Selain itu, tetap berada di luar ranah politik menjadikan nilai-nilai yang
selama ini mereka usung tetap suci, tanpa harus ternodai oleh kepentingan sekelompok
orang. Hal tersebut juga menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat pada umumnya
yang mulai jenuh memandang politik di negaranya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa aksi nirkekerasan menjadi prinsip yang
menarik perhatian masyarakat dan elit Argentina akan persoalan ini. Kombinasi aksi
nirkekerasan yang disertai oleh budaya marianismo yang mengakar kuat menjadikan
Madres de la Plaza de Mayo sebagai agent of change konteks politik di Argentina.
Pengaruh Madres de la Plaza de Mayo terhadap penyelesaian kasus Dirty War
memang terkesan tidak signifikan. Hal tersebut dikarenakan gerakan ini tidak
berafiliasi dengan partai politik manapun. Dengan begitu, tidak ada peran maupun
pengaruh langsung Madres de la Plaza de Mayo kepada pemerintah dalam usahanya
untuk menuntut keadilan bagi dirinya dan anak-anak mereka. Namun yang perlu
dicatat, pengaruh mereka secara tidak langsung sangatlah signifikan dalam perubahan
sistem politik dan penyelesaian kasus Dirty War di Argentina.
Madres de la Plaza de Mayo merupakan cerminan bagaimana perempuan
memainkan peran sentral dalam kehidupan di Amerika Latin, dalam kasus ini, di
Argentina. Peran sentral yang dimainkan perempuan adalah perannya sebagai ibu yang
ditempatkan di ranah domestik atau privat. Konstruksi gender machismo dan
marianismo telah menciptakan klasifikasi yang jelas mengenai peran wanita dan pria.
Namun seiring dengan perkembangan jaman, perempuan mulai keluar dari ranah privat
dan memasuki ranah publik, yang selama ini ‘dikuasai’ oleh kaun laki-laki, dengan tetap
membawa nilai-nilai keibuan yang selama ini melekat pada diri mereka. Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, perpindahan ranah bukanlah alasan bagi mereka untuk
merubah nilai-nilai keibuan yang selama ini mereka anut dengan nilai-nilai, misalkan,
maskulinitas. Nilai-nilai keibuan justru dapat dijadikan senjata untuk menegakkan
perdamaian, moral dan hak asasi manusia di ranah publik.
Analisis tersebut mengantarkan kita pada sebuh pemikiran bahwa konstruksi
gender sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang harus terus-menerus ditantang dan
diusahakan perubahannya seperti apa yang selama ini diperjuangkan oleh para feminis
lainnya. Konstruksi gender justru dapat digunakan dan dirayakan untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
Referensi
Corradi, Juan E. 1985. The Fitful Republic: Economy, Society, and Politics in Argentina.
Colorado: Westview Press.
Craske, Nikki. 1999. Women and Politics in Latin America. New Jersey: Rutgers
University
Press.
Munck, Ronaldo. 2003. Contemporary Latin America. Basingtoke: Palgrave Macmillan.
Sharp, Gene. 1973. The Politics of Nonviolent Action. Boston: Extending Horizon Books.
Skidmore, Thomas E. dan Peter H. Smith. 2005. Modern Latin America. New
York/Oxford:
Oxford University Press.