Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SUMBER HUKUM ISLAM

( IJTIHAD dan KONTRIBUSI HUKUM ISLAM dalam HUKUM INDONESIA )

Di susun Oleh:

Febyan Karisantiningrum S. ()
Firraudusy aini (11)
Luluk setyarini (94)
M. Taufiqurrahman ()
Musoffan ()

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS TRUNOJOYO
2010

A. PENDAHULUAN

Dalam penetapan hukum dalam agama Islam harus dilandasi dengan pijakan
atau alasan yang disebut dengan sumber hukum. Allah telah menetukan sendiri
sumber hukum (agama dan ajaran) Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim.
Menurut Al-qur’an surat An-Nisa’ ayat 59:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Kehendak Allah berupa ketetapan kini tertulis dalam Al-qur’an, kehendak


Rasul berupa sunnah yang terhimpun sekarang dalam kitab-kitab hadits, kehendak
penguasa dimuat dalam peraturan perundang-undangan atau dalam hasil karya
orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena mempunyai kekuasaan berupa
ilmu pengetahuan untuk mengalirkan ajaran hukum islam dari sumber utamanya
yakni Al-qur’an dan Al-hadits.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu
atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara
yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan
yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika
persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan
ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti
dan paham Al Quran dan Al Hadist.

Sebagai negara hukum, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama


Islam, maka hukum Islam turut mempunyai pengaruh dalam penyusunan hukum
yang akan diterapkan di Indonesia. Untuk itu perlu dikaji tentang seberapa besar dan
bagaimana peranan hukum Islam dalam hukum yang ada di Indonesia.
Dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai ijtihad dan kontribusi hukum Islam
dalam Hukum Indonesia.
B. PEMBAHASAN
1. IJTIHAD

 PENGERTIAN IJTIHAD
Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab Al-jahd atau al-juhd yang
berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan).
Berasal dari kata jahada, artinya berusaha sungguh-sungguh. Menurut istilah
ijtihad adalah berusaha sekeras-kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas
tentang sesuatu masalah hukum. Ijtihad juga bisa disebut sebagai upaya
mencurahkan segenap kemampuan untuk merumuskan hukum syara’ istinbat dari
Al-Quran dan as-Sunnah artinya menggunakan rasional guna untuk merumuskan.
Dalam kata lain, ijtihad berarti proses penelitian hukum secara ilmiah berdasarkan
Alquran dan As-sunnah.( Arif Furqan 2002: 97-98)
Demikian dengan kata Ijtihad “pengerahan segala kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata
“ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian
ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa
persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan
sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat
Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran
untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul, baik
yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash),
atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah-
yang terkenal dengan “mashlahat.”
Dalam kaitan pengertian ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul
flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan
rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad
menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.

 FUNGSI IJTIHAD

Jika dalam kehidupan sehari-hari ditemukan permasalahan yang hukumnya


tidak di jelaskan atau tidak ada Nasnya dalam Al-Quran dan Hadis, maka
permasalahan tersebut diselesaikan atau di tentukan hukumnya dengan
melakukan Ijtihad. Tapi ijtihad tetap berdasarkan Al quran dan Al hadis.

 KEDUDUKAN IJTIHAD

Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-


ketentuan sebagai berikut :

a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan
yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia
yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan
daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.

b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi


seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat
tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab
urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.

d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.

e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi,


akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi
ciri dan jiwa daripada ajaran Islam

 CARA BERIJTIHAD

Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode


antara lain sebagai berikut :

a. Qiyas yaitu menetapkan suatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum
diterangkan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada
hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Qur'an / as-
Sunnah, karena ada sebab yang sama.

Contoh :

Menurut al-Qur'an surat al-Jum'ah 9; yakni seseorang dilarang jual beli pada
saat mendengar adzan Jum'at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan
lain ( selain jual beli ) yang dilakukan pada saat mendengar adzan Jum'at ? 
Dalam al-Qur'an maupun al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita
berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat
mengganggu shalat Jum'at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-
perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum'at, juga dilarang.
Contoh lain :

Menurut surat al-Isra' 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada
orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang
tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi. Karena sama-
sama menyakiti orang tua.

b. Ijma' yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu


masalah ijtihad. Ketika Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah
tentang kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh
al-Qur'an dan as-Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : " Kumpulkan
orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan
musyawarah ". Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini adalah
tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena
umat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk
para ulamanya.

c. Istihsan yaitu menetapkan suatu hukum terhadap sesuatu persoalan


ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan,
kasih sayang dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas
Khofi ( analogi samar-samar ) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang
diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan
kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih
salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus
mengambil yang lebih ringan kejelekannya. Dasar istihsan antara lain surat
az-Sumar 18.

d. Mashalih al Mursalah yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan


ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai
dengan tujuan syari'at. Perbedaan antara istihsan dan mashalihul mursalah
ialah : istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahan ( kebaikan ) itu
dengan disertai dalil al-Qur'an / al-Hadits yang umum, sedang mashalihul
mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan
tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur'an / al-Hadits
e. ’Urf yaitu tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan
kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

 SYARAT-SYARAT IJTIHAD.
  Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus
memenuhi beberapa persyaratan yakni sebagai berikut:
a. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang
membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
b. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan
dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits
tersebut untuk menggali hukum.
c. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia
tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.
d. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat
mempergunakannya untuk menggali hukum.
e. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah
sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi
gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
f. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an dan
Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang
telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum.
g. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbabunnuzul) dan latar belakang
suatu Hadits (asbabun wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara
tepat.
h. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatu
Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan
derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut
dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak
mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih (screening).
i. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar
dalam menyatakan suatu pertimbangan hokum dan sanggup mempertahankannya.
j. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah
ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan
hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya.
 
 MACAM-MACAM MUJTAHID.
  Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1. Mujtahid Muthlaq/Mustaqil, yaitu orang yang melakukan ijtihad dengan cara
menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai
sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan
kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari
tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam
Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab Empat.
2. Mujtahid Muntasib, yaitu orang yang melakukan ijtihad dengan
mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid
muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumberny a, mereka memakai
sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri.
Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan
kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi'i seperti Muzany dan
Buwaithy. Dari madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf.
Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama/mujtahid
muthalaq/mustaqil.
3. Mujtahid mazhab atau fatwa yang seorang mujtahid dalam lingkungan
madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah
istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah dihasilkan
imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang
belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi
beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan mana yang
lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi'i.
4. Ahli tarjih, yaitu orang yang melakukan ijtihad dengan cara mentarjih dari
beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun
dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang
paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai
dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam
Nawawi dan Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok
ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk
dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan.

2. KONTRIBUSI HUKUM ISLAM dalam HUKUM INDONESIA


 Sistem Hukum di Indonesia
Yang dimaksud dengan sistem hukum di Indonesia adalah sistem hukum
yang berlaku di Indonesia. Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang
majemuk, karena di tanah air kita berlaku berbagai jenis sistem hukum yaitu Hukum
Adat, Hukum Islam, dan Hukum barat.

Hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang selama


350 tahun menjajah Indonesia. Sementara Hukum Adat bersendikan atas dasar-
dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem hukum
adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam
masyarakat Indonesia. (Prof. Dr. H. Muchsin. ”Kontribusi hukum islam terhadap
Perkembangan hukum nasional”,(Online),
(http://www.ditpertais.net/annualconference/2008/dokumen/KONTRIBUSI-
%20HUKUM%20ISLAM-muchsin.pdf, )Sedangkan Hukum Islam adalah aturan yang
bersumber dari agama islam yang wajib ditaati oleh umat islam.
Dalam makalah ini hukum adat dan hukum barat tidak di bahas, tetapi yang
akan dibahas hanya mengenai hukum islam dan kontribusinya.

 Kontribusi Hukum Islam dalam Hukum Indonesia


Sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaanya di Indonesia, Hukum Islam
sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat tumbuh dan
berkembang di samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiamai kepulauan
nusantara ini. Hukum Islam memiliki pengaruh yang bersifat normatif dalam
kebudayaan Indonesia yang berupa penetration panfique, tolerante et conetructive,
yaitu penetrasi secara damai toleran dan membangun(de Josselin de Jong dalam
Kusumadi, 1960:50)
Kedudukan Hukum Islam dan hukum adat sangat erat sekali dan tidak dapat
dicerai pisahkan. Seperti halnya ada ungkapan dalam masyarakat muslim di
Sulawesi Selatan yang berbunyi “Adat Hula-hulaa to syaraa, syaraa Hula-hulaa to
Adati”, artinya adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi adat. (A. Ghani Abdullah
dalam Moh. Daud Ali 1990:202), dan banyak lagi ungkapan-ungkapan lain yang
tidak dapat disebutkan satu persatu dalam makalah ini. Dari sini dapat terlihat bahwa
Hukum Islam telah lama melekat dan digunakan dalam masyarakat Indonesia yang
memiliki berbagai macam adat ( hukum adat ) dimana hukum adat itu sendiri
berlandaskan pada hukum islam karena hukum adat yang tidak memenuhi hukum
islam tidak boleh dipergunakan/diakui sebagai hukum.
Meskipun perkambangan Hukum Islam diIndonesia sering pasang surut
karena pengaruh hukum barat yang dibawa oleh penjajah dalam hal ini bangsa
Belanda tetapi karena budaya dan adat masyarakat Indonesia yang telah percaya
dan yakin terhadap hukum islam, maka eksistensi hukum islam tetap terjaga sampai
saat ini.
Di Indonesia atas kerja sama Mahkamah Agung dengan Departemen Agama
telah di kompilasikan hukum islam mengenai perkawinan, kewarisan, dan
perwakafan yang telah disetujui pada bulan februari 1988 dan tahun 1991 telah
diberlakukan bagi umat islam Indonesia. Dalam kewarisan fatwa-fatwa yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama dapat mencakup dan menyelesaikan jenis-jenis
persoalan kewarisan apa saja yang di mohonkan oleh yang berkepentingan. Bukan
hanya tentang siapa dan berapa bagian masing-masing, tapi juga kalau para ahli
waris menghendaki, Hakim Pengadilan Agama dapat membantu mereka
melaksanakan pembagiannya. Atas dasar bantuan hukum tidak resmi ini dapat
menyelesaikan masalah-masalah kewarisan yang fatwa-fatwa dari Pengadilan
Agama selalu berdasarkan pada hukum Islam. Sementara itu perlu dicatat bahwa di
Jawa sudah sejak lama fatwa Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para
hakim Pengadilan Negeri sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan
tuntutan yang berkenaan dengan itu.
Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam
pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan
hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:

1. Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan,UU
Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat, dan
UU Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam serta beberapa undangundang
lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank
Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama yang semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.

2. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama


Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi
kepentingannya.

3. Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas


keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran
mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.

4. Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat
menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi
Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.
(Prof. Dr. H. Muchsin.”Kontribusi hukum islam terhadap Perkembangan hukum
nasional”,(Online),
(http://www.ditpertais.net/annualconference/2008/dokumen/KONTRIBUSI-
%20HUKUM%20ISLAM-muchsin.pdf,)
Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum
nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam di dalam
hukum nasional Indonesia. Teori ini mengungkapkan bahwa bentuk eksistensi
hukum Islam di dalam hukum nasional lndonesia itu ialah:
1. ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional lndonesia.
2. ada dalam arti kemandirian, kekuatan dan wibawanya diakui adanya oleh hukum
nasional dan diberi status sebagai hukum nasional.
3. ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi
sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional lndonesia.
4. ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia

C. KESIMPULAN
o Sumber Hukum Islam selain Al Quran dan Al Hadist adalah ijtihad. Dimana
Ijtihad di bagi menjadi ijma’, qiyas, masalih Al mursalah, istihsan.
o Ijtihad merupakan sarana yang paling efektif untuk mendukung tetap tegak
dan eksisnya hukum Islam serta menjadikannya sebagai tatanan hidup yang
up to date yang sanggup menjawab tantangan zaman.
o Hukum Islam mempunyai kontribusi yang besar dalam hukum Indonesia.
Khususnya dalam Undang-undang Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Moh Daud. 1991.”Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia”.
Jakarta: PT Rajagrafindoo Persada.

Furqon, Arif. 2002. “Pendidikan Agama Islam”. Departemen Agama.

KH.Hosen, Ibrahim. “TAQLID DAN IJTIHAD - Beberapa Pengertian Dasar”, (Online),


( http://members.tripod.com/abu_fatih/Ijtihadhosen.htm, diakses 28 Maret
2010).
(Online),(http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad, diakses 28 Maret 2010).

(Online), (http://www.pengobatan.com/ajaran_islam/cara_ijtihad.htm, diakses 28


Maret 2010).

Prof. Dr. H. Muchsin.”Kontribusi hukum islam terhadap Perkembangan hukum


nasional”,(Online),
(http://www.ditpertais.net/annualconference/2008/dokumen/KONTRIBUSI-
%20HUKUM%20ISLAM-muchsin.pdf, diakses 24 Maret 2010) .

Anda mungkin juga menyukai