Di susun Oleh:
Febyan Karisantiningrum S. ()
Firraudusy aini (11)
Luluk setyarini (94)
M. Taufiqurrahman ()
Musoffan ()
UNIVERSITAS TRUNOJOYO
2010
A. PENDAHULUAN
Dalam penetapan hukum dalam agama Islam harus dilandasi dengan pijakan
atau alasan yang disebut dengan sumber hukum. Allah telah menetukan sendiri
sumber hukum (agama dan ajaran) Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim.
Menurut Al-qur’an surat An-Nisa’ ayat 59:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu
atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara
yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan
yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika
persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan
ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti
dan paham Al Quran dan Al Hadist.
PENGERTIAN IJTIHAD
Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab Al-jahd atau al-juhd yang
berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan).
Berasal dari kata jahada, artinya berusaha sungguh-sungguh. Menurut istilah
ijtihad adalah berusaha sekeras-kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas
tentang sesuatu masalah hukum. Ijtihad juga bisa disebut sebagai upaya
mencurahkan segenap kemampuan untuk merumuskan hukum syara’ istinbat dari
Al-Quran dan as-Sunnah artinya menggunakan rasional guna untuk merumuskan.
Dalam kata lain, ijtihad berarti proses penelitian hukum secara ilmiah berdasarkan
Alquran dan As-sunnah.( Arif Furqan 2002: 97-98)
Demikian dengan kata Ijtihad “pengerahan segala kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata
“ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian
ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa
persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan
sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat
Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran
untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul, baik
yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash),
atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah-
yang terkenal dengan “mashlahat.”
Dalam kaitan pengertian ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul
flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan
rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad
menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
FUNGSI IJTIHAD
KEDUDUKAN IJTIHAD
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan
yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia
yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan
daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
CARA BERIJTIHAD
a. Qiyas yaitu menetapkan suatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum
diterangkan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada
hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Qur'an / as-
Sunnah, karena ada sebab yang sama.
Contoh :
Menurut al-Qur'an surat al-Jum'ah 9; yakni seseorang dilarang jual beli pada
saat mendengar adzan Jum'at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan
lain ( selain jual beli ) yang dilakukan pada saat mendengar adzan Jum'at ?
Dalam al-Qur'an maupun al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita
berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat
mengganggu shalat Jum'at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-
perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum'at, juga dilarang.
Contoh lain :
Menurut surat al-Isra' 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada
orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang
tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi. Karena sama-
sama menyakiti orang tua.
SYARAT-SYARAT IJTIHAD.
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus
memenuhi beberapa persyaratan yakni sebagai berikut:
a. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang
membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
b. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan
dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits
tersebut untuk menggali hukum.
c. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia
tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.
d. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat
mempergunakannya untuk menggali hukum.
e. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah
sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi
gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
f. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an dan
Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang
telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum.
g. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbabunnuzul) dan latar belakang
suatu Hadits (asbabun wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara
tepat.
h. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatu
Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan
derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut
dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak
mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih (screening).
i. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar
dalam menyatakan suatu pertimbangan hokum dan sanggup mempertahankannya.
j. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah
ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan
hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya.
MACAM-MACAM MUJTAHID.
Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1. Mujtahid Muthlaq/Mustaqil, yaitu orang yang melakukan ijtihad dengan cara
menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai
sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan
kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari
tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam
Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab Empat.
2. Mujtahid Muntasib, yaitu orang yang melakukan ijtihad dengan
mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid
muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumberny a, mereka memakai
sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri.
Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan
kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi'i seperti Muzany dan
Buwaithy. Dari madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf.
Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama/mujtahid
muthalaq/mustaqil.
3. Mujtahid mazhab atau fatwa yang seorang mujtahid dalam lingkungan
madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah
istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah dihasilkan
imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang
belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi
beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan mana yang
lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi'i.
4. Ahli tarjih, yaitu orang yang melakukan ijtihad dengan cara mentarjih dari
beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun
dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang
paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai
dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam
Nawawi dan Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok
ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk
dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan.
1. Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan,UU
Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat, dan
UU Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam serta beberapa undangundang
lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank
Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama yang semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
4. Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat
menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi
Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.
(Prof. Dr. H. Muchsin.”Kontribusi hukum islam terhadap Perkembangan hukum
nasional”,(Online),
(http://www.ditpertais.net/annualconference/2008/dokumen/KONTRIBUSI-
%20HUKUM%20ISLAM-muchsin.pdf,)
Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum
nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam di dalam
hukum nasional Indonesia. Teori ini mengungkapkan bahwa bentuk eksistensi
hukum Islam di dalam hukum nasional lndonesia itu ialah:
1. ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional lndonesia.
2. ada dalam arti kemandirian, kekuatan dan wibawanya diakui adanya oleh hukum
nasional dan diberi status sebagai hukum nasional.
3. ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi
sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional lndonesia.
4. ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia
C. KESIMPULAN
o Sumber Hukum Islam selain Al Quran dan Al Hadist adalah ijtihad. Dimana
Ijtihad di bagi menjadi ijma’, qiyas, masalih Al mursalah, istihsan.
o Ijtihad merupakan sarana yang paling efektif untuk mendukung tetap tegak
dan eksisnya hukum Islam serta menjadikannya sebagai tatanan hidup yang
up to date yang sanggup menjawab tantangan zaman.
o Hukum Islam mempunyai kontribusi yang besar dalam hukum Indonesia.
Khususnya dalam Undang-undang Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Moh Daud. 1991.”Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia”.
Jakarta: PT Rajagrafindoo Persada.