Selain itu, infrastruktur mempunyai peran yang tak kalah penting untuk
memperkokoh persatuan dan kesatuan. Sejak lama infrastruktur diyakini merupakan
pemicu pembangunan suatu kawasan. Dapat dikatakan disparitas kesejahteraan
antarkawasan juga dapat diidentifikasi dari kesenjangan infrastruktur yang terjadi di
antaranya. Dalam konteks ini, ke depan pendekatan pembangunan infrastruktur
berbasis wilayah semakin penting untuk diperhatikan. Pengalaman menunjukkan bahwa
infrastruktur transportasi berperan besar untuk membuka isolasi daerah, serta
ketersediaan pengairan merupakan prasyarat kesuksesan pembangunan pertanian dan
sektor-sektor lainnya.
Bagian IV.33 - 1
rusak, serta peningkatan kapasitas dan fasilitas baru akan menyerap biaya yang sangat
besar sehingga tidak dapat dipikul oleh pemerintah daerah sendiri. Untuk itu, mencari
solusi inovatif guna menanggulangi masalah perawatan dan perbaikan infrastruktur
yang rusak merupakan masalah yang mendesak untuk diselelesaikan.
Di bidang infrastruktur masih banyak kegiatan non cost recovery yang menjadi
tanggung jawab pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, antara lain dalam
pembangunan jalan, fasilitas keselamatan transportasi, sumber daya air, fasilitas
persampahan dan sanitasi. Pada kegiatan lain peran pemerintah melalui penyertaan
modal negara kepada BUMN terkait yang bergerak di infrastruktur antara lain:
pelabuhan, bandara, air minum, perumahan, pos, listrik, dan telekomunikasi, yang
belum sepenuhnya sistem tarif yang berlaku menarik bagi investor swasta. Kegiatan-
kegiatan ini terutama yang berkaitan dengan public service obligation/PSO. Di sisi lain
telah pula terdapat kegiatan yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh swasta, seperti
pembangkit listrik, telekomunikasi di daerah perkotaan, pelabuhan peti kemas, bandara
internasional dan bandara pada lokasi tujuan wisata.
Bagian IV.33 - 2
Untuk kegiatan yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh usaha swasta perlu
diperjelas peraturan perundang-undangan yang terkait, terutama menyangkut garansi
dan sistem tarif. Berkaitan dengan keikutsertaan swasta membangun infrastruktur perlu
diperjelas kewenangan masing-masing investor swasta dengan BUMD terkait, serta
menghindarkan bahwa BUMD memiliki hak monopoli untuk berusaha pada bidangnya.
Bagian IV.33 - 3
berupa kekeringan yang berkepanjangan. Tahun 2000, banjir telah melanda Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dengan tingkat intensitas rendah sampai dengan tinggi.
Bagian IV.33 - 4
pada sisi yang lain, secara pasti akan memperparah tingkat kelangkaan air. Semakin
parahnya kelangkaan tersebut berpeluang memicu terjadinya berbagai bentuk konflik
air, baik antarkelompok pengguna, antarwilayah, maupun antargenerasi. Konflik air
yang tidak terkendali berpotensi berkembang menjadi konflik dengan dimensi yang lebih
luas, bahkan lebih jauh dapat memicu berbagai bentuk disintegrasi.
Bagian IV.33 - 5
Lemahnya koordinasi, kelembagaan, dan ketatalaksanaan. Perubahan
paradigma pembangunan sejalan dengan semangat reformasi memerlukan beberapa
langkah penyesuaian tata kepemerintahan, peran masyarakat, peran BUMN/D, dan
peran swasta dalam pengelolaan infrastruktur sumber daya air. Penguatan peran
masyarakat, pemerintah daerah, BUMN/D, perguruan tinggi dan swasta diperlukan
dalam rangka memperluas dan memperkokoh basis sumber daya. Meskipun prinsip-
prinsip dasar mengenai hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air, namun masih diperlukan upaya tindak lanjut untuk
menerbitkan beberapa produk peraturan perundangan turunan dari undang-undang
tersebut sebagai acuan operasional. Pada aspek institusi, lemahnya koordinasi
antarinstansi dan antardaerah otonom telah menimbulkan pola pengelolaan sumber
daya air yang tidak efisien, bahkan tidak jarang saling berbenturan. Pada sisi lain,
kesadaran dan partisipasi masyarakat, sebagai salah satu prasyarat terjaminnya
keberlanjutan pola pengelolaan sumber daya air, masih belum mencapai tingkat yang
diharapkan karena masih terbatasnya kesempatan dan kemampuan.
Bagian IV.33 - 6
masyarakat. Endapan lumpur dan sampah pada sungai-sungai telah pula mengganggu
dan menurunkan kapasitas aliran air. Kondisi ini sangat membahayakan dan berpotensi
mengakibatkan banjir. Hantaman gelombang laut dan endapan lumpur juga merusak
jaringan irigasi pada daerah-daerah bencana. Bencana juga telah merusak wilayah
pantai beserta potensinya.
Sasaran umum pembangunan sumber daya air adalah: (1) tercapainya pola
pengelolaan sumber daya air yang terpadu dan berkelanjutan; (2) tersedianya air yang
cukup untuk petani melalui pembangunan sarana dan prasarana irgasi yang memadai;
(3) pemberdayaan petani pemakai air (P3A) melalui kelembagaan yang mandiri; (4)
peningkatan taraf hidup petani yang adil dan sejahtera; (5) terkendalinya potensi konflik
air; (6) terkendalinya pemanfaatan air tanah; (7) meningkatnya kemampuan
pemenuhan kebutuhan air bagi rumah tangga, permukiman, pertanian, dan industri
dengan prioritas utama untuk kebutuhan pokok masyarakat dan pertanian rakyat; (8)
berkurangnya dampak bencana banjir dan kekeringan; (9) terkendalinya pencemaran
air; (10) terlindunginya daerah pantai dari abrasi air laut terutama pada pulau-pulau
kecil, daerah perbatasan, dan wilayah strategis; (11) meningkatnya partisipasi aktif
masyarakat; (12) meningkatnya kualitas koordinasi dan kerjasama antar instansi; (13)
terciptanya pola pembiayaan yang berkelanjutan; (14) tersedianya data dan sistem
informasi yang aktual, akurat dan mudah diakses; dan (15) pulihnya kondisi sumber-
sumber air dan prasarana sumber daya air, ketersediaan air baku bagi masyarakat,
pengendalian banjir terutama pada daerah perkotaan, serta pulihnya kondisi pantai di
Nanggroe Aceh Darussalam akibat bencana alam.
Bagian IV.33 - 7
1.3 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SUMBER DAYA AIR
Bagian IV.33 - 8
kuantitas air, tapi juga diarahkan untuk memelihara kualitas air. Selain itu, upaya
konservasi air tanah terus akan ditingkatkan dengan pengisian kembali (recharging),
pembuatan sumur resapan, atau dengan aplikasi teknologi lain yang tersedia dan layak.
Untuk melindungi sumber daya air dan bencana banjir, maka perlu dilakukan pelestarian
situ-situ dan pengamanan daerah aliran sungai.
Pendayagunaan sumber daya air untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi pada
lima tahun ke depan difokuskan pada upaya peningkatan fungsi jaringan irigasi yang
sudah dibangun tapi belum berfungsi, rehabilitasi pada areal irigasi berfungsi yang
mengalami kerusakan, dan peningkatan kinerja operasi dan pemeliharaan. Upaya
peningkatan fungsi jaringan akan dilakukan hanya pada areal yang ketersediaan airnya
terjamin dan petani penggarapnya sudah siap.Upaya rehabilitasi akan diprioritaskan
pada areal irigasi di daerah lumbung padi. Mengingat luasnya jaringan irigasi yang
belum berfungsi, maka pada lima tahun ke depan tidak perlu lagi dilakukan upaya
pengembangan jaringan sawah beririgasi baru, kecuali menyelesaikan proyek-proyek
yang sudah dimulai dan tengah dikerjakan. Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi
diselenggarakan dengan berbasis partisipasi masyarakat dalam seluruh proses kegiatan.
Untuk mengendalikan kecenderungan meningkatnya alih fungsi lahan, akan
dikembangkan berbagai skema insentif kepada petani agar bersedia mempertahankan
lahan sawahnya.
Bagian IV.33 - 9
kepentingan terus diupayakan tidak hanya pada saat kejadian banjir, tetapi juga pada
tahap pencegahan serta pemulihan pasca bencana. Penanggulangan banjir diutamakan
pada wilayah berpenduduk padat dan wilayah strategis. Pengamanan pantai-pantai dari
abrasi terutama dilakukan pada daerah perbatasan, pulau-pulau kecil serta pusat
kegiatan ekonomi.
Di lain pihak rehabilitasi prasarana jaringan irigasi harus dilakukan sebelum umur
teknisnya dilampaui, hal itu disebabkan oleh pelaksanaan O & P jaringan irigasi tidak
sebagaimana diharapkan karena keterbatasan dana, SDM dan kelengkapan sistem
irigasi serta petani pemanfaatan kurang dilibatkan pada tahap pembangunan sesuai
dengan semangat pembaharuan maka diperlukan adanya perubahan paradigma untuk
melaksanakan kegiatan pengelolaan irigasi dengan sistem nilai sebagai berikut : adanya
penunjukkan kesepakatan petani, pemanfaatan irigasi bukan hanya untuk tanam padi,
desentralisasi, debirokratisasi dan devolusi dalam pengelolaan irigasi demokratisasi,
partisipasi, pemberdayaan petani, akuntability dan transparansi , efektivitas,
keberlanjutan dan berwawasan lingkungan holistik serta satu sistem irigasi satu
kesatuan pengelolaan.
Bagian IV.33 - 10
institusi masyarakat. Walaupun domain kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi
dan kabupaten/kota telah ditetapkan, upaya kerjasama kemitraan antar ketiga tingkatan
pemerintah tersebut akan terus didorong agar keterpaduan pengelolaan sumber daya
air dalam satu wilayah sungai dapat dijamin. Dalam upaya memperkokoh civil society,
keterlibatan masyarakat, BUMN/D dan swasta perlu terus didorong. Terkait dengan hal
tersebut dalam lima tahun ke depan, akan diselesaikan penyusunan peraturan
perundangan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumberdaya Air.
Peran modal sosial dalam pengelolaan sumber daya air sangat penting, terutama
dalam hal mendorong rasa memiliki masyarakat pengguna air, yang merupakan faktor
penting untuk menjamin keberlanjutan fungsi infrastruktur. Pengembangan modal sosial
akan dilakukan dengan pendekatan budaya, terutama untuk menggali dan merevitalisasi
kearifan lokal (local wisdom) yang secara tradisi banyak tersebar di masyarakat Aceh.
Bagian IV.33 - 11
1.4 PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN SUMBER DAYA AIR
Bagian IV.33 - 12
budaya masyarakat dalam konservasi air; (10) perkuatan balai pengelolaan
sumber daya air; (11) pengembangan teknologi tepat guna; (12) penyusunan
Norma, Standar, Pedoman, dan Manual (NSPM); serta (13) pembangunan
bangunan penampung air sederhana dan rehabilitasi waduk dan bangunan
penampung air lainnya pada daerah bencana di Nanggroe Aceh Darussalam.
Bagian IV.33 - 13
permukiman, dan industri dengan prioritas untuk kebutuhan pokok mayarakat
dan pemanfaatan air tanah untuk rumah tangga, permukiman, dan industri dapat
terkendali.
Adapun kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan adalah: (1) operasi dan
pemeliharaan serta rehabilitasi saluran pembawa dan prasarana air baku lainnya;
(2) pembangunan prasarana pengambilan dan saluran pembawa air baku
terutama pada kawasan-kawasan dengan tingkat kebutuhan air baku tinggi di
daerah strategis dan daerah tertinggal; (3) pembangunan sumur-sumur air tanah
dengan memperhatikan prinsip-prinsip conjuctive use pada daerah-daerah rawan
air, pulau-pulau, dan daerah tertinggal; (4) sinkronisasi kegiatan antara
penyediaan air baku dengan kegiatan pengolahan dan distribusi; serta (5)
pembangunan prasarana air baku dengan memprioritaskan pemanfaatan air
tanah pada daerah-daerah yang tercemar air laut pada daerah bencana alam di
Nanggroe Aceh Darussalam.
Bagian IV.33 - 14
mengendalikan aliran air permukaan (run off) di daerah tangkapan air dan
badan-badan sungai melalui pengaturan dan penegakkan hukum; (5) menggali
dan mengembangkan budaya masyarakat setempat dalam mengendalikan banjir;
serta (6) melakukan pengamanan daerah pantai dengan memprioritaskan pada
pananaman tanaman bakau pada daerah pantai yang terkena bencana alam di
Nanggroe Aceh Darussalam.
Bagian IV.33 - 15
dan pengelolaan irigasi dan sumber daya air lainnya; serta (8) penegakan hukum
dan peraturan terkait dengan pengelolaan sumber daya air.
II. TRANSPORTASI
Bagian IV.33 - 16
termasuk meningkatkan jaringan transportasi antara desa-kota dan daerah produksi-
pemasaran.
Bagian IV.33 - 17
2.1.1 SASARAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI
Bagian IV.33 - 18
jasa transportasi yang bersifat komersial di daerah yang telah berkembang dengan
melibatkan peran serta swasta dan masyarakat dan meningkatkan pembinaan pelaku
transportasi daerah; dan (10) kebijakan pemulihan jalur distribusi dan mobilisasi di
daerah-daerah yang terkena dampak bencana secara terpadu.
Bagian IV.33 - 19
meningkatkan jaringan desa-kota yang memadai. Hal penting untuk mencapai
tujuan ini adalah menghilangkan arogansi sektoral, sehingga mampu memberikan
pelayanan yang proporsional dan efektif.
Bagian IV.33 - 20
b. Perkembangan kondisi baik dan sedang jalan kabupaten, provinsi, dan
nasional cenderung terus mengalami penurunan, apalagi untuk jalan
nasional yang berada di Lintas Barat dan Timur banyak mengalami kerusakan
akibat bencana alam, baik karena gempa bumi dan gelombang tsunami. Kondisi
sedang merupakan prosentase terbesar dari sistem jaringan jalan yang ada. Hal ini
disebabkan karena komposisi utama sistem jaringan jalan di Provinsi NAD yang
terbesar adalah terdiri dari jalan kabupaten, provinsi, dan nasional yang saat ini
berada pada kondisi sedang dan mengarah pada kondisi rusak ringan.
c. Umur jalan nasional pada umumnya telah melewati dari umur rencana.
Hal Ini terlihat dari beberapa ruas jalan nasional yang terutama Lintas Barat dan
Timur yang telah berumur rata-rata 15 tahun, sedangkan umur rencana tiap ruas
rata-rata adalah 10 tahun.
Bagian IV.33 - 21
akhirnya pengelolaan seluruh jaringan jalan akan terganggu. Selain itu, kerugian
paling besar secara langsung akan dialami oleh pengguna jalan yaitu
bertambahnya waktu tempuh perjalanan sehingga biaya operasional kendaraan
akan semakin tinggi, serta akibat tak langsung komponen biaya transportasi pada
proses distribusi barang semakin bertambah. Oleh karena itu pemerintah daerah
bersama-sama dengan pemerintah pusat harus melakukan upaya terpadu untuk
mengurangi, dan sedapatnya menghilangkan pembebanan muatan lebih dari
kendaraan berat, khususnya truk bergandar tunggal, dengan tekanan gandar jauh
melampaui daya dukung jalan. Apabila sebab-sebab yang mendasar tersebut
belum diselesaikan secara tuntas, maka pemeliharaan jalan dengan biaya APBD
dan APBN tidak akan dapat mengejar proses kerusakan yang begitu cepat terjadi.
Tabel 2. Road User Cost pada seluruh Jaringan Jalan di Pulau Sumatera
(Nasional, Provinsi, dan Non Status) per hari
Klasifikasi VOC T-Time RUC
Rp. Milyar Cost Rp. Milyar
Rp. Milyar
1. Seluruh Jaringan Jalan 424,72 53,82 478,54
2. Lintas Per Pulau 204,33 29,32 233,65
Bagian IV.33 - 22
g. Kinerja pelayanan prasarana jalan yang didasarkan atas kecepatan yang
mampu dicapai oleh kendaraan masih rendah. Menurunnya tingkat
pelayanan prasarana jalan ditandai dengan mulai terjadinya berbagai kemacetan
yang sedikit banyak menyebabkan kurang berfungsinya kota sebagai pusat
pelayanan distribusi komoditi dan industri. Mulai terlihat di beberapa kota,
terutama Kota Banda Aceh terdapat beberapa jalan arteri primer yang melewati
daerah padat yang biasanya merupakan pusat kemacetan, sehingga belum mampu
memberikan pelayanan yang optimal dalam pola distribusi. Mempertimbangkan
kondisi tersebut, rencana pembangunan jalan lingkar (ring road) diharapkan
mampu meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas di wilayah perkotaan.
Bagian IV.33 - 23
2.2.2 SASARAN PEMBANGUNAN PRASARANA JALAN
Bagian IV.33 - 24
g. Mendorong keterlibatan peran dunia usaha dan masyarakat dalam
penyelenggaran dan penyediaan prasarana jalan.
Program ini ditujukan untuk mempertahankan sistem jaringan jalan daerah yang
tersedia agar tetap dalam kondisi yang memadai terutama pada ruas-ruas yang
merupakan jalur utama perekonomian dan memiliki prioritas tinggi serta untuk
pemulihan kondisi prasarana jalan yang hancur dan terputus akibat bencana alam
yang terjadi di beberapa bagian Provinsi NAD. Untuk prasarana jalan, baik yang
baru dimulai konstruksinya maupun yang sedang dalam tahapan konstruksi akan
dipelihara agar bila tiba saat untuk melanjutkan pembangunannya dapat segera
dilaksanakan tanpa kerugian yang besar. Program tersebut diharapkan dapat
memanfaatkan prasarana yang sedang dipakai agar dapat tetap beroperasi dengan
tingkat maksimal.
Bagian IV.33 - 25
b. PROGRAM PENINGKATAN/PEMBANGUNAN JALAN DAN JEMBATAN
Bagian IV.33 - 26
2.3 TRANSPORTASI DARAT
b. Masih tingginya kerusakan jalan akibat pelanggaran muatan lebih (excessive over
loading) di jalan yang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi akibat dari:
Bagian IV.33 - 27
perusahaan. Hal ini mengakibatkan jalan tersebut rata-rata berkurang 50 %
umur rencananya;
c. Kondisi kualitas dan kuantitas sarana dan pelayanan angkutan umum yang masih
terbatas, walaupun terjadi peningkatan ijin trayek angkutan umum (ijin trayek
angkutan bus antarkota antar provinsi),
d. Masih tingginya jumlah dan fatalitas kecelakaan akibat: disiplin pengguna jalan,
rendahnya tingkat kelaikan armada; rambu dan fasilitas keselamatan di jalan; law
enforcement peraturan lalu lintas dan pendidikan berlalu lintas.
400000
300000
200000
100000
0
1999 2000 2001 2002 2003
Bagian IV.33 - 28
optimal; (5) penataan jaringan transportasi jalan, penetapan kelas jalan dan
pengaturan sistem terminal;
i. Mulai tingginya dampak lingkungan (polusi udara dan polusi suara) di wilayah
perkotaan;
Bagian IV.33 - 29
k. Banyaknya fasilitas keselamatan lalu lintas jalan rusak dan hancur karena gempa
dan tsunami.
Bagian IV.33 - 30
g. Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas yang baik, dan
penanganan dampak polusi udara serta pengembangan teknologi sarana
yang ramah lingkungan, terutama di wilayah perkotaan;
Bagian IV.33 - 31
d. Meningkatkan aksesibilitas pelayanan kepada masyarakat pada daerah
terpencil;
Bagian IV.33 - 32
keselamatan transportasi jalan, pembangunan transportasi berkelanjutan; dan (3)
restrukturisasi kelembagaan dan prasarana LLAJ terdiri dari peningkatan pelayanan dan
kelancaran angkutan umum dan barang, penataan sistem transportasi daerah, wilayah,
dan nasional, pembinaan peran pemerintah daerah, BUMD dan partisipasi swasta,
pembinaan SDM transportasi jalan.
Bagian IV.33 - 33
- Perbaikan daerah rawan kecelakaan (DRK) dan penyelenggaraan manajemen
rekayasa lalu lintas;
- Pengadaan dan pemasangan rambu lalu lintas, pagar pengaman, trafic light,
deliniator, lampu penerangan jalan dan beberapa lainnya.
Bagian IV.33 - 34
pengembangan teknologi transportasi ramah lingkungan (termasuk
penggunaan alternatif energi);
Bagian IV.33 - 35
- Pembinaan terhadap pengusaha, petugas terminal dan LLAJ, dan
pengemudi angkutan; kerjasama dengan pihak swasta dalam mendukung
penyelenggaraan LLAJ; peningkatan bengkel umum kendaraan bermotor
yang ditunjuk sebagai unit pengujian berkala kendaraan bermotor;
akreditasi unit-unit pelaksana pengujian di seluruh pengujian kendaraan
bermotor; akreditasi penyelenggaraan terminal penumpang; akreditasi
penyelenggaraan jembatan timbang;
Bagian IV.33 - 36
- Peningkatan peran pemerintah daerah dan sistem kerjasama swasta dan
koperasi dalam pelayanan angkutan umum (pengadaan sarana dan
operasi) dan angkutan perkotaan dan perdesaaan yang berbasis
masyarakat dan berwawasan lingkungan.
4. Pembinaan SDM transportasi jalan dalam disiplin lalu lintas serta dalam
perencanaan dan penyelenggaraan transportasi.
2.4 PERKERETAAPIAN
Bagian IV.33 - 37
berdasarkan pangsa angkutan yang dihasilkan masih sangat rendah dibandingkan moda
angkutan lain.
Secara umum kendala perkeretaapian sebagai suatu industri jasa angkutan yang
mandiri sulit dapat berkembang secara komersial ataupun menguntungkan.
Perkeretaapian harus didukung oleh berbagai sistem dan fasilitas pendukung lainnya,
seperti: keterpaduan jaringan pelayanan transportasi antarmoda dengan “feeder
service”-nya, agar pelayanan secara door to door service dapat ditingkatkan, bisnis
properti dan fasilitas stasiun yang aman, nyaman dan mudah terjangkau; sistem
pelayanan terpadu antarmoda, kondisi struktur kelembagaan dan regulasi pemerintah
yang efisien dan kondusif; dukungan industri teknologi perkeretaapian yang murah dan
tepat guna; kualitas SDM, serta manajemen yang profesional dan berorientasi pada
kepuasan pelanggan. Selain itu, perkeretaapian pada umumnya masih memiliki fungsi
untuk pelayanan umum, serta berbagai penugasan dari pemerintah (public service
obligation) dengan kompensasi berupa subsidi yang disediakan oleh Pemerintah.
Bagian IV.33 - 38
Hal tersebut seperti di beberapa elinemen eksisting terdapat radius minimal
hanya 80 m, kelandaian 35 ‰, belum diketahui lokasi-lokasi pembangunan
stasiun, dan beberapa hal lainnya;
c. Meningkatnya manfaat dari pemakaian dana yang wajar, baik jangka pendek
maupun jangka panjang;
Bagian IV.33 - 39
d. Mudahnya penggunaan kereta api nantinya secara optimal yang memberikan
dampak yang luas bagi pengembangan wilayah, dan menyajikan operasional
keretaapi yang andal, aman, dan nyaman.
- Pembuatan pra-desain dan basic desain jalur jalan keretaapi baru yang
sesuai dengan blueprint rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias
Bagian IV.33 - 40
2. Tahapan pengembangan prasarana dan sarana kereta api, melalui:
Bagian IV.33 - 41
2.5 ANGKUTAN SUNGAI, DANAU, DAN PENYEBERANGAN
Bagian IV.33 - 42
b. Masih terbatasnya jumlah prasarana dan sarana penyeberangan
dibanding kebutuhan berdasarkan kondisi geografis dan jumlah pulau di
Provinsi NAD. Pemanfaatan sungai, kanal dan danau untuk kebutuhan
transportasi rakyat/lokal/kota masih rendah serta kurangnya pemanfaatan
potensi untuk mendukung transportasi pariwisata dan pengembangan
wilayah. Kelembagaan, peraturan serta SDM dan pendanaan dalam sistem
pelestarian dan pemeliharaan alur transportasi sungai dan kanal yang perlu
dikoordinasikan dengan penanganan masalah lingkungan, pengembangan
pariwisata, budaya masyarakat dan tata ruang wilayah;
Bagian IV.33 - 43
masyarakat lebih berkembang, sebagai owner dan operator prasarana dan
sarana angkutan masyarakat. Peran pemerintah sebagai regulator,
pemerintah daerah sebagai penyedia prasarana dan sarana sungai untuk
keperluan publik;
Bagian IV.33 - 44
2.5.3 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN
PENYEBERANGAN
a. Memperbaiki keselamatan dan kualitas pelayanan prasarana dan sarana serta
pengelolaan angkutan ASDP;
b. Meningkatkan kelancaran dan kapasitas pelayanan di lintas yang telah jenuh dan
memperbaiki tatanan pelayanan angkutan antarmoda dan kesinambungan
transportasi darat yang terputus di dalam pulau (sungai dan danau) dan antar
pulau dengan pelayanan point to point; sejalan dengan sistem transportasi
daerah dan nasional. Arah pengembangan jaringan pelayanan ASDP diarahkan
untuk pencapaian arah pengembangan jaringan Sistranas jangka panjang
adalah : (1) Sabang diarahkan untuk mendukung pariwisata, angkutan lokal,
serta mendukung tahap rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pada lintas
penyeberangan antar provinsi antar pulau. Selain itu, dilanjutkan pengembangan
lintas penyeberangan antar kabupaten/kota; (2) Sinabang diarahkan untuk
mendukung pariwisata dan angkutan lokal pada lintasan penyeberangan antar
provinsi dan pulau.
Bagian IV.33 - 45
dermaga sungai, danau dan penyeberangan; (3) pengembangan aksesibilitas pelayanan
ASDP; (4) restrukturisasi dan reformasi kelembagaan ASDP; (5) peningkatan kinerja
BUMN dan peran pemerintah daerah dan partisipasi swasta dalam pengembangan
ASDP; dan (6) pembangunan wilayah perbatasan dan terisolir.
Bagian IV.33 - 46
- Pembangunan sistem transportasi sungai;
Bagian IV.33 - 47
3. Koordinasi antar lembaga dalam pengembangan dan pemanfaatan angkutan
sungai;
Bagian IV.33 - 48
d. PROGRAM PEMBANGUNAN WILAYAH PERBATASAN DAN TERISOLIR
Posisi geografis Provinsi NAD yang terletak di ujung pulau Sumatera dan
merupakan potensi sekaligus kelemahan yang sangat besar bagi perkembangan
ekonomi suatu wilayah. Potensi dan kelemahan ini membuat kita harus lebih berhati-
hati dalam menentukan pembangunan infrastruktur sebagai salah satu penunjang
perkembangan wilayah Provinsi NAD. Investasi yang ditanam seperti pembangunan
prasarana pelabuhan harus benar-benar didukung dengan komoditi dan keterkaitan
antarmoda secara efektif dan efesien.
Bagian IV.33 - 49
berdasarkan hasil penelitian 11 negara). Dampak yang diberikan berupa kerusakan
parah beberapa pelabuhan laut sehingga diperlukan biaya, tenaga, dan waktu yang
tidak sedikit guna merekonstruksi pelabuhan-pelabuhan laut rusak yang dimaksud.
Bagian IV.33 - 50
2.6.2 SASARAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI LAUT
Bagian IV.33 - 51
f. Mendukung pelaksanaan arah pengembangan Sistranas dan tatanan
kepelabuhanan nasional;
Dalam lima tahun ke depan program pembangunan transportasi laut adalah: (1)
rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana transportasi laut; (2) pembangunan
prasarana dan sarana transportasi laut; (3) restrukturisasi kelembagaan. Langkah-
langkah yang akan dilakukan adalah merehabilitasi prasarana transportasi laut yang
rusak, membangun dan melengkapi prasarana yang kurang.
3. Rehabilitasi dermaga;
Bagian IV.33 - 52
b. PROGRAM REKONSTRUKSI PRASARANA DAN SARANA TRANSPORTASI
LAUT. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam program ini adalah:
Bagian IV.33 - 53
Provinsi NAD memiliki 10 buah bandara, 8 diantaranya telah dioperasionalkan,
dan 2 buah diantaranya masih dalam tahap pembangunan. Dari seluruh bandara yang
telah dioperasikan 4 diantaranya merupakan bandara pelayanan perintis, yaitu :
Bandara Lasikin, Rembele, T. Cut Ali, dan Cut Nyak Dhien. Rata-rata telah dapat didarati
oleh pesawat sejenis C 212/DASH 7, kecuali Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM),
Maimun Saleh, Rembele, dan Malikul Saleh.
Bagian IV.33 - 54
Permasalahan terakhir berupa, masih lemahnya kelembagaan, peraturan, SDM,
dan pendanaan di dalam pengoperasian dan pengelolaan sarana dan prasarana
transportasi udara.
Bagian IV.33 - 55
2.7.4 PROGRAM PEMBANGUNAN TRANSPORTASI UDARA
- Bandara Maimun Saleh, Cut Nyak Dhien, Teuku Cut Ali, Lasikin, Kuala
Batee, Hamzah Fansuri, Alas Lauseur, dan beberapa lainnya;
Bagian IV.33 - 56
2. Rekonstruksi prasarana dan sarana bandara Cut Nyak Dhien, Lasikin, T. Cut
Ali, Kuala Batee, dan beberapa lainnya.
Bagian IV.33 - 57
dukungan terhadap pencapaian tujuan sektor transportasi, meteorologi dan geofisika
yang telah ditentukan dan pelayanan terhadap masyarakat luas.
Bagian IV.33 - 58
prasarana dan sarana pencarian dan penyelamatan; dan (5) Operasional pemerintah
dalam rangka pencarian dan penyelamatan yang meliputi belanja pegawai, belanja
barang, belanja modal dan belanja pemeliharaan.
Sedangkan dalam rangka rehabilitasi sarana dan prasarana SAR yang rusak berat
akibat bencana gempa bumi dan tsunami di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, akan
dilakukan rekonstruksi gedung kantor SAR, peralatan kantor, rescue car, rubber boar
dan tower rappling di Banda Aceh.
Bagian IV.33 - 59
dan pelatihan perhubungan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja
modal dan belanja pemeliharaan.
Bagian IV.33 - 60
penanggulangan bencana, peningkatan produksi pangan, mendukung kelancaran
distribusi barang dan jasa serta keselamatan masyarakat; (7) Peningkatan kerjasama
dengan instansi lain baik di dalam maupun di luar negeri untuk peningkatan kualitas
pelayanan serta peningkatan kemampuan SDM; (8) Pelaksanaan pengawasan; dan (9)
Operasional meteorologi dan geofisika.
3.1 ENERGI
Penyediaan energi saat ini merupakan salah satu masalah utama yang
membutuhkan penanganan yang tepat. Potensi energi Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang beragam harus direncanakan pemanfaatannya secara optimal bagi
kesejahteraan masyarakat, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Undang Undang
Dasar 1945. Walaupun kebijakan energi nasional telah ada, namun kebijakan tersebut
perlu ditindaklanjuti dengan perencanaan energi daerah yang komprehensif. Krisis
ekonomi mengakibatkan berbagai perubahan mendasar pola supply-demand dan biaya
operasi penyediaan energi. Di satu sisi meningkatnya biaya produksi yang dipengaruhi
oleh nilai tukar valuta asing menyebabkan penyesuaian harga energi tidak dapat
dihindari. Sedangkan di sisi lain pengurangan subsidi harga energi sudah merupakan
komitmen pemerintah.
Dengan terbatasnya cadangan minyak bumi saat ini, perlu dimulai pemanfaatan
energi alternatif secara bertahap, terpadu, optimal dan bijaksana. Upaya pemanfaatan
energi alternatif dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak yang
semakin mahal dan ketersediaannya semakin menipis. Sebagai alternatif dapat
dipergunakan gas bumi, batubara, dan energi terbarukan seperti panas bumi, tenaga
air, tenaga nuklir, tenaga surya, tenaga angin, fuel cell (sel bahan bakar) dan biomasa.
Sejalan dengan berkurangnya cadangan minyak, impor minyak mentah juga meningkat
setiap tahunnya. Selama 5 tahun terakhir impor minyak mentah secara nasional
mengalami kenaikan rata-rata 10,46 persen per tahun.
Bagian IV.33 - 61
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dikaruniai potensi sumber energi yang cukup
banyak dan beragam. Potensi sumber energi dan produksi berdasarkan data tahun 2003
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Potensi minyak bumi sebesar 17,50 miliar barel yang penyebarannya terkonsentrasi
di daerah Pesisir Utara – Timur 2,0 milyar barel (telah diekspolitasi), Pesisir Barat –
Selatan 0,5 milyar barel dan lepas pantai Aceh Utara 15,0 milyar barel.
2. Potensi gas alam tersebar mulai dari Pesisir Utara – Timur (20 milyar ft3), Pesisir
Barat – Selatan (10 milyar ft3), Lepas Pantai (17 milyar ft3) dan Aceh Utara (17,1
milyar ft3, telah diekspoitasi).
3. Potensi tenaga air di Kemuning Kabupaten Aceh Timur yang dapat membangkitkan
tenaga listrik 2 x 12,5 MW dan Krueng Peusangan Kabupaten Aceh Tengah 2 x 42
MW. Namun karena berbagai kendala antara lain tingginya biaya investasi,
keamanan serta persoalan sosial dan dampak lingkungan mengakibatkan
pemanfaatan energi dari tenaga air masih rendah.
4. Potensi batubara sebesar 486 juta ton, dengan lokasi Aceh Barat (Kr. Teunom,
Simpang Peut dan Kaway XIV), Aceh Selatan (Bagian Selatan Kota Tapaktuan) dan
Aceh Timur (Kr. Pande, Muara Kr. Wehni Anyer Baturong dan Sayer Jambu Batang),
serta Aceh Utara (Kr. Beukah). Dari jumlah potensi tersebut hanya sebagian kecil
saja yang sudah diekspolitasi untuk bahan Briket Batubara.
5. Potensi energi panas bumi yang dimiliki Provinsi NAD seluruhnya belum
termanfaatkan terdapat di Seulawah Agam (250 Mwe), Ie Seu Um Kreung Raya (250
Mwe), Jaboi Sabang (75 Mwe) dan Alur Sinah Idi (15 Mwe). Potensi ini menunjukkan
energi panas bumi mempunyai prospek untuk dikembangkan mengingat sifatnya
yang dapat diperbarukan, kapasitas unitnya berkisar antara skala kecil dan
menengah, dan dapat memicu berkembangnya industri hilir.
6. Potensi energi terbarukan yang meliputi tenaga matahari, angin, biomasa, biogas,
tanah gambut, nuklir dan bahan bakar masa depan mempunyai potensi yang cukup
Bagian IV.33 - 62
besar untuk dikembangkan di Provinsi NAD. Angka rata-rata radiasi harian sinar
matahari bervariasi dari 4,10 sampai 5,75 kWh per meter persegi; energi angin
dengan kecepatan rata-rata yang bervariasi dari 2,39 meter per detik sampai 5,57
meter per detik pada ketinggian 24 meter di atas tanah di pantai barat; energi
biomasa setara dengan 50 GW yang terdiri dari solid bio mass, gas mass, dan liquid
biomass berasal dari sektor kehutanan, pertanian, dan perkebunan; energi biogas
yang berasal dari limbah sektor peternakan dengan besaran sekitar 684,8 MW;
tanah gambut yang tersebar di pantai barat – selatan; energi nuklir berpotensi untuk
dikembangkan dengan ditemukannya cadangan Uranium yang cukup besar di
Kabupaten Aceh Timur. Namun demikian dalam pemanfaatannya, seperti untuk
pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di NAD, harus mendapat
perhatian khusus terutama yang berkaitan dengan keselamatan reaktor nuklir,
kesiapan sumber daya manusia, pengelolaan limbah radioaktif, lingkungan,
pendanaan dan sosialisasi bagi introduksi energi nuklir. Sedangkan potensi bahan
bakar masa depan, termasuk teknologi hibrida dan pengembangan Sel Bahan Bakar
(SBB) saat ini sedang dikembangkan dan masih dalam tahap pengkajian pada skala
proyek percontohan karena masih belum mencapai tahap komersial.
Permasalahan lain yang dihadapi adalah sistem penetapan harga energi yang belum
mencerminkan nilai ekonominya sehingga tidak mendorong penggunaan energi secara
maksimal dan tidak mengembangkan prakarsa masyarakat untuk melakukan
penghematan energi. Sebagai contoh, transportasi merupakan sektor yang boros dalam
mengkomsumsi BBM.
Bagian IV.33 - 63
Masih rendahnya tingkat diversifikasi energi juga merupakan salah satu
permasalahan. Hal ini ditunjukkan dengan ketergantungan terhadap BBM masih tinggi.
Pembangunan dan pangsa penggunaan energi selama ini masih bertumpu kepada
pengguna energi tidak terbarukan seperti minyak bumi, padahal cadangan minyak bumi
semakin menipis.
Bagian IV.33 - 64
Transmisi dan distribusi BBM tidak efisien dan tidak mampu memenuhi perkembangan
permintaan dan dominasi moda angkutan darat dalam transportasi BBM masih sangat
besar. Untuk infrastruktur gas, ruas transmisi dan distribusi terbangun masih sangat
kecil dibandingkan potensi permintaan gas di dalam negeri (listrik, industri, rumah
tangga, transportasi). Infrastruktur pemrosesan gas domestik masih terbatas dalam fase
gas, belum dalam fase cair. Substitusi gas bumi untuk terhadap BBM masih terlalu
lamban. Sedangkan infrastruktur batu bara, terutama untuk penambangan pada pusat
potensi belum tersedia.
Belum Tuntasnya Regulasi. UU Minyak & Gas Bumi 22/2001 telah diminta
untuk direvisi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2004 terutama pasal-pasal
yang berkaitan dengan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Bagian IV.33 - 65
Namun demikian, UU Migas juga masih mempunyai masalah seperti: terlambatnya
penyiapan PP Hilir, belum berfungsi efektifnya Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas
(BPH MIGAS), dan belum diterbitkannya Master plan transmisi dan distribusi gas
nasional. Sementara itu UU Ketenagalistrikan No 20/2002 telah dibatalkan oleh MK.
Bagian IV.33 - 66
energi belum dipertajam, baik yang berkenaan dengan struktur final yang ingin dicapai,
maupun pola migrasinya.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan energi untuk masa datang dalam jumlah
yang memadai dan dalam upaya menyediakan akses berbagai macam jenis energi
untuk segala lapisan masyarakat, maka perlu diciptakan suatu sistem baru penyediaan
dan transportasi energi yang lebih menyeluruh, terpadu dan kompetitif serta
mencerminkan harga pasar. Hal ini dapat ditempuh dengan menyiapkan sarana dan
prasarana lintas sektor, menghilangkan monopoli baik di sisi bisnis hulu maupun disisi
bisnis hilir untuk sektor migas, maupun di sisi pembangkit, transmisi dan distribusi di
sektor energi baru dan terbarukan lainnya.
Bagian IV.33 - 67
konservasi energi, bauran energi, dan pengendalian lingkungan hidup dengan arah
sebagai berikut.
Bagian IV.33 - 68
panas bumi dan mikrohidro di sektor industri; serta mengkaji dan mengembangkan
energi alternatif lainnya seperti tenaga angin, biofuel.
Bagian IV.33 - 69
bara bersih (clean coal technology). Di sektor industri kebijaksanaannya diarahkan
untuk mengurangi dan mengendalikan emisi gas buang.
Bagian IV.33 - 70
2. Untuk antisipasi peningkatan pemakaian BBM dengan pemanfaatan energi
baru dan terbarukan (alternatif ) yang cadangannya berlimpah dengan
optimal.
Bagian IV.33 - 71
c. PROGRAM PENINGKATAN AKSESIBILITAS PEMERINTAH DAERAH,
KOPERASI DAN MASYARAKAT TERHADAP JASA PELAYANAN SARANA
DAN PRASARANA ENERGI
Program ini ditujukan untuk lebih memberikan kesempatan kepada
pemerintah daerah, swasta, masyarakat dan koperasi (pelaku) untuk lebih
terlibat dalam pengelolaan usaha energi. Khusus untuk Pemda, akan
diberlakukan penerusan pinjaman sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan
Nomor35/KMK/2001 dan akan diberlakukan jika memungkinkan untuk pelaku
lainnya.
Kegiatan pokoknya untuk meningkatkan partisipasi pemerintah daerah,
swasta, koperasi dan masyarakat (pelaku) dapat membangun infrastruktur dan
penyaluran energi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sebagai contoh,
pelaku juga dapat melakukan bisnis di hulu untuk gas dan batubara termasuk
briket dan UBC. Agar hal ini dapat berjalan dengan baik perlu upaya pemisahan
yang jelas antara wilayah kompetisi dan non kompetisi berikut kriteria-kriteria
pembatasan untuk wilayah dimaksud.
Bagian IV.33 - 72
pengawasan kualitas produksi dalam negeri; kajian pengembangan teknologi
Coal Bed Methane (CBM) untuk meningkatkan pemanfaatan batubara; serta
kajian penelitian cadangan migas baru dan kajian teknologi pengolah limbah
migas.
3.2 KETENAGALISTRIKAN
Perkembangan ekonomi, sosial, politik dan keamanan suatu negara atau suatu
wilayah memerlukan dukungan pasokan energi yang handal termasuk tenaga listrik.
Tenaga listrik sebagai salah satu bentuk energi final memegang peranan yang sangat
penting untuk mendorong berbagai aktivitas ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Disisi lain, pembangunan sarana dan prasarana tenaga listrik
memerlukan investasi yang sangat tinggi, mengingat investasi pada bidang ini bersifat
padat modal, teknologi dengan resiko investasi tinggi serta memerlukan persiapan dan
konstruksi yang lama.
Bagian IV.33 - 73
Dalam kurun waktu 1970-1993 kapasitas pembangkit tenaga listrik Provinsi NAD
meningkat tajam dari 13.139.931 kWH menjadi 320.166.502 kWH atau meningkat lebih
dari 24 kali lipat. Peningkatan kapasitas pembangkit yang sangat tinggi ini terutama
setelah diberlakukannya UU Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. Pada era
ini, khususnya sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 1996, investasi dalam
pembangunan fasilitas ketenagalistrikan meliputi pembangunan pembangkit dengan
kapasitas besar, jaringan transmisi, gardu induk, serta berbagai jaringan tegangan listrik
lainnya. Pembangunan infrastruktur tersebut telah mampu mengimbangi kebutuhan
tenaga listrik.
Bagian IV.33 - 74
Keterbatasan Kemampuan Pendanaan. Kemampuan investasi pemerintah
termasuk PT. PLN masih tidak dapat mengejar kebutuhan investasi. Hal ini ditunjukan
dengan tingginya alokasi investasi dari pinjaman luar negeri baik multilateral maupun
bilateral. Di sisi lain, investasi listrik swasta juga mengalami berbagai kendala terutama
yang berkaitan dengan resiko. Tidak adanya jaminan pemerintah, ketidakkonsistenan
perangkat regulasi dan berbagai resiko lainnya seperti resiko finansial, politik, dan
proyek menyebabkan tidak kondusifnya investasi swasta.
Bagian IV.33 - 75
Belum Tercapainya Tingkat Tarif Yang Ekonomis. Berdasarkan struktur tarif per
group konsumen, lebih dari 65 persen pelanggan adalah rumah tangga yang biaya
pokok produksinya lebih tinggi dari tarif yang berlaku. Tingginya biaya produksi
disebabkan tingginya biaya operasi dan pemeliharaan yang masih tergantung BBM
terutama di luar Jawa, rendahnya efisiensi infrastruktur dan lemahnya kemampuan daya
beli masyarakat. Penyesuaian tarif yang dilakukan pemerintah secara bertahap dan
sistematis masih belum mencapai nilai keekonomiannya, sehingga pemerintah masih
mengalokasikan subsidi untuk golongan kurang mampu melalui PT. PLN.
3. Meningkatnya rasio elektrifikasi desa pada akhir tahun 2009 sebesar 97 persen;
Bagian IV.33 - 76
6. Berkurangnya susut jaringan terutama non-teknis melalui pelaksanaan kegiatan
berbasis teknologi informasi seperti enterprise resource planning/ERP dan consumer
information system/CIS;
8. Meningkatnya pemanfaatan potensi gas, batubara dan panas bumi serta energi baru
terbarukan untuk pembangkit tenaga listrik;
3. Peningkatan infrastruktur tenaga listrik yang efektif dan efisien, terutama upaya
peningkatan diversifikasi energi untuk pembangkit, pengurangan losses, peremajaan
infrastruktur yang kurang efisien, serta penerapan good governance pengelolaan
korporat.
Bagian IV.33 - 77
4. Peningkatan kemandirian industri ketenagalistrikan nasional dengan mendorong
peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan pemakaian barang dan jasa
produksi dalam negeri.
Bagian IV.33 - 78
listrik, serta pengurangan losses terutama pada sisi transmisi dan distribusi
baik yang teknis maupun non teknis. Dalam rangka menarik investasi
swasta maka perlu dilakukan penyesuaian tarif regional yang mencerminkan
nilai keekonomiannya. Nilai ini akan memperhitungkan biaya pembangkitan,
transmisi, distribusi, losses, investasi dan keuntungan bagi investor (BUMN,
swasta, pemerintah pusat/daerah, atau campuran) termasuk
pembebanannya bagi setiap kelompok konsumen sesuai dengan harga
pokok produksi (HPP) masing-masing. Sejalan dengan itu, pengurangan
subsidi kepada pelaku usaha harus dikurangi dan menggantikannya dengan
subsidi langsung kepada masyarakat.Penggalakkan pemanfaatan energi
untuk pembangkit listrik dari BBM ke alternatif energi lainnya seperti panas
bumi, gas, batubara serta energi terbarukan (renewable energy/RE)
khususnya yang bersumber dari potensi energi setempat. Sebagai contoh,
akan dikembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), PLTU
Batubara Mulut Tambang (Mine Mouth) kalori rendah dan pembangkit
dengan memanfaatkan energi terbarukan seperti PLT Mikro/Mini Hidro dan
PLTS (pembangkit listrik tenaga surya).
Bagian IV.33 - 79
2. PROGRAM PENYEMPURNAAN RESTRUKTURISASI DAN REFORMASI
SARANA DAN PRASARANA KETENAGALISTRIKAN
Bagian IV.33 - 80
yang sudah terinterkoneksi jaringan listrik (on grid), pelaku dapat menjual
listriknya kepada PT. PLN atau dalam bentuk kerjasama usuha lainnya dengan
PT. PLN. Upaya ini diutamakan bagi pembangkit-pembangkit yang
memanfaatkan potensi energi setempat untuk pembangkit listrik termasuk
pembangkit skala kecil melalui skema PSK Tersebar (Pembangkit Skala Kecil
Teknologi Energi untuk Rakyat dengan Sumber Energi Terbarukan).
Bagian IV.33 - 81
3.3 POS DAN TELEMATIKA
Bagian IV.33 - 82
dapat diamati melalui rendahnya tingkat layanan telepon tetap, telepon bergerak dan
pengguna internet.
Bagian IV.33 - 83
listrik dengan teknologi powerline communications (PLC), serta backbone serat optik
yang dimiliki oleh perusahaan listrik negara dan perusahaan gas negara. Tidak
dimanfaatkannya secara optimal infrastruktur alternatif ini secara langsung mengurangi
kemungkinan perluasan akses. Selain itu, kurangnya pemanfaatan bersama suatu
infrastruktur oleh beberapa penyelenggara (resource sharing), seperti pemakaian
bersama menara pemancar/penerima untuk layanan seluler dan penyiaran, serta
pemakaian backbone secara bersama, menimbulkan duplikasi investasi.
Bagian IV.33 - 84
PERMASALAHAN DALAM PEMBANGUNAN POS
Sementara itu, pelayanan pos di daerah non komersial dilakukan oleh PT Pos
Indonesia melalui kewajiban pelayanan universal (Public Service Obligation atau PSO)
yang mengharuskan untuk menyediakan layanan di seluruh wilayah dengan tarif yang
terjangkau (prinsip accessibility dan affordability). Kewajiban PSO ini dirasakan berat
karena terbatasnya jaringan transportasi, serta besarnya biaya investasi dan operasional
yang jauh melebihi pendapatan. Pada kondisi volume produksi rendah, dengan
sendirinya tarif yang besarannya ditentukan oleh pemerintah-- tidak mampu menutup
biaya layanan antaran.
Secara nasional, dari total 3.398 kantor pos cabang yang sebagian besarnya
(2.496 kantor) terletak di perdesaan, 71 persen diantaranya mengalami kerugian.
Sebagai salah satu ilustrasi, untuk Kota Banda Aceh terdapat sebanyak 6 buah Kantor
Pos dalam kota dan 16 buah Kantor Pos luar kota. Sampai dengan posisi Mei 2005 ,
Kantor Pos Banda Aceh mengalami kerugian sebesar Rp. 580.084.435,-, dan ini belum
termasuk kerugian dari 7 buah Kantor Pos yang rusak parah akibat bencana alam
gempa bumi dan gelombang tsunami. Untuk mempertahankan pelayanan pos di daerah
PSO, PT Pos Indonesia harus melakukan subsidi dari layanan komersial. Keadaan ini
selanjutnya mengakibatkan rendahnya kemampuan pembangunan dan daya saing
perusahaan dalam penyelenggaraan pos di daerah komersial.
Bagian IV.33 - 85
melakukan intervensi langsung dengan membiayai program PSO melalui APBN. Dengan
adanya keterbatasan keuangan pemerintah, keberlanjutkan program PSO ini
dikhawatirkan menjadi tidak terjamin.
Bagian IV.33 - 86
Ketimpangan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi terjadi di banyak daerah,
termasuk di Provinsi NAD, baik di wilayah perkotaan maupun di perdesaan. Sebagai
contoh, teledensitas Banda Aceh telah telah mencapai 26,60% sedangkan
kabupaten/kota lainnya 0,63%-10,73%, dan wilayah perdesaan baru mencapai 0,2
persen.
Pada kondisi Maret 2004, terdapat sebanyak 88 buah kecamatan yang belum
tersedia fasilitas telekomunikasi (fastel). Untuk mengatasi masalah rendahnya
ketersediaan fastel di perdesaan, pemerintah sejak tahun 2004 melaksanakan program
fastel perdesaan. Program ini bertujuan untuk membangun fastel di daerah-daerah yang
secara ekonomi kurang menguntungkan termasuk daerah perintisan, perbatasan,
pedalaman, pinggiran dan terpencil. Jumlah penyediaan fastel pada tahun anggaran
2004 sebanyak 15 buah SST fastel radio untuk 15 buah ibu kota kecamatan yang BTS
nya dioperasikan pada 13 buah kabupaten/kota yang tersebar di seluruh Provinsi NAD.
Pembangunan teknologi informasi secara luas baru dimulai sejak tahun 1994.
Walaupun dalam waktu relatif singkat perkembangan internet mengalami banyak
kemajuan, namun internet belum menjadi pilihan utama masyarakat dalam
berkomunikasi dan memperoleh informasi. Selama ini, media penyiaran (radio dan
televisi), media tradisional (tatap muka, pameran dan film) serta media publikasi (media
cetak dan publikasi pemerintah) lebih sering digunakan sebagai sarana komunikasi dan
informasi publik. Rendahnya penggunaan internet oleh masyarakat disebabkan oleh
tingginya biaya penyediaan perangkat keras dan akses internet, serta masih rendahnya
tingkat literasi komputer (e-literacy) masyarakat.
Bagian IV.33 - 87
informasi. Disamping itu, kejahatan dunia maya yang meluas juga masih belum dapat
ditanggulangi secara efektif karena belum lengkapnya peraturan yang terkait.
Dalam era informasi, pos dan telematika mempunyai arti strategis karena tidak
saja berperan dalam percepatan pembangunan ekonomi, tetapi juga dalam berbagai
aspek lain seperti peningkatan kualitas hidup masyarakat, serta pendukung aspek politik
dan pertahanan keamanan. Dalam rangka menjamin kelancaran arus informasi, perlu
dilakukan perluasan jangkauan serta peningkatan kapasitas dan kualitas
penyelenggaraan pos dan telematika.
Sasaran umum yang hendak dicapai dalam pembangunan pos dan telematika
dalam lima tahun mendatang adalah:
1. Terwujudnya penyelenggaraan pos dan telematika yang efisien, yaitu yang mampu
mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional dengan tetap
memperhatikan kemanfaatan aspek sosial dan komersial;
Bagian IV.33 - 88
Ketiga sasaran utama tersebut dapat dijabarkan ke dalam beberapa sasaran
pendukung, yaitu:
Bagian IV.33 - 89
meningkatkan kinerja penyelenggara pos dan telematika. Fokus pelaksanaan
restrukturisasi lebih kepada sektor secara menyeluruh termasuk restrukturisasi
tatanan hukum dan peraturan, tatanan industri, serta iklim berusaha. Kebijakan ini
juga diperlukan untuk mengantisipasi konvergensi teknologi telekomunikasi,
teknologi informasi dan penyiaran. Konvergensi teknologi selanjutnya mengakibatkan
konvergensi pasar dan industri yang harus diantisipasi oleh kebijakan, peraturan dan
kelembagaan yang dinamis agar pemanfaatannya dapat lebih optimal.
Bagian IV.33 - 90
Cepatnya perkembangan teknologi membutuhkan investasi baru yang dapat
membebani masyarakat dengan adanya berbagai biaya tambahan akibat perubahan
teknologi. Dalam upaya pengembangan berbagai aplikasi yang padat teknologi,
pemerintah akan meningkatkan kemampuan industri dalam melakukan adopsi dan
adaptasi teknologi serta sekaligus menjaga keutuhan sistem yang telah ada sesuai
dengan standar dan kualitas tertentu.
Bagian IV.33 - 91
dan telematika; serta (c) mempertahankan dan meningkatkan kondisi sarana
dan prasarana pos dan telematika.
Kegiatan-kegiatan utama yang akan dilakukan adalah:
Bagian IV.33 - 92
1. Penyelesaian penyusunan peraturan perundang-undangan terkait
pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi
beserta aplikasinya, seperti RUU Informasi dan Transaksi Elektronik;
5. Fasilitasi penyediaan komputer murah sebanyak 100 ribu unit per tahun bagi
laboratorium komputer di sekolah-sekolah;
Bagian IV.33 - 93
pemancar jaringan telekomunikasi bergerak dan berbagai infrastuktur televisi
dan radio. Kerusakan yang terjadi tersebut teridentifikasi dalam tiga kategori,
yaitu rusak, rusak berat, dan rata dengan tanah.
Kegiatan yang akan dilakukan adalah :
Bagian IV.33 - 94
IV. PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
Kebutuhan rumah yang diperkirakan sesuai data yang ada untuk korban konflik
sebanyak 26.451 unit, unruk Rumah dhuafa diperkirakan sebanyak 244.741 Unit, akibat
bencana alam gempa bumoi tsunami yang terjadi tanggal 26 Desembar 2004
menyebabkan kehancuran rumah sebanyak 66.670 unit, rusak ringan dan berat
sebanyak 50.210 unit, namun untuk mengatasi hal tersebut sudah banyak loembaga
swasta dan negara donor yang membantu merehabilitasi dan membangun kembali yang
diperkirakan selama empat tahun dapat terpenuhi.
Pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan (air
limbah, persampahan dan drainase) telah dilakukan sejak Pelita I hingga saat ini.
Banyak kemajuan yang telah dicapai, namun demikian cakupan pelayanan air minum
dan penyehatan lingkungan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam masih jauh dari
memadai. Pada tahun 2002 tingkat pelayanan air bersih perpipaan di kawasan
perkotaan baru mencapai 33,3 persen, sedangkan di kawasan perdesaan hanya
Bagian IV.33 - 95
mencapai 6,2 persen. Akses penduduk ke prasarana dan sarana pengolahan air limbah
dasar (tidak diolah) mencapai 63 persen. Tingkat pengelolaan persampahan masih
sangat rendah. Data menunjukkan bahwa jumlah sampah terangkut baru mencapai
18,03 persen. Terkait dengan pelayanan sistem drainase, hingga kini masih terdapat
7,34 persen rumah tangga yang mendiami kawasan-kawasan rawan banjir akibat
buruknya kualitas dan kuantitas sistem jaringan drainase.
Mengingat sifatnya sebagai kebutuhan dasar manusia yang pada umumnya tidak
cost-recovery maka keterlibatan badan usaha milik swasta dan masyarakat dalam
penyediaan dan pengelolaan prasarana dan sarana dasar permukiman masih sangat
terbatas. Kendala yang dihadapi oleh badan usaha milik swasta dan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam penyediaan dan pengelolaan prasarana dan sarana dasar
permukiman antara lain: (a) belum adanya perangkat hukum dalam pola kerjasama
pemerintah dengan swasta dan atau masyarakat, (b) belum terciptanya transparansi
dan akuntabilitas dalam proses kerjasama pemerintah dengan swasta dan atau
masyarakat, (c) belum terciptanya pola penanganan konflik (dispute resolution) yang
mungkin terjadi antara pemerintah dengan badan usaha milik swasta dan atau
masyarakat, dan sebagainya.
Bagian IV.33 - 96
penghambat dalam penyediaan perumahan untuk masyarakat berpendapatan rendah
serta pemicu menurunnya kualitas kawasan yang dihuni oleh masyarakat
berpendapatan rendah. Kondisi kawasan perumahan seperti ini pada tahap berikutnya
berkembang menjadi kawasan kumuh baru.
Bagian IV.33 - 97
Biaya perijinan untuk pembangunan perumahan saat ini mencapai 20 persen dari nilai
rumah. Hal ini menimbulkan ketidakefisienan pasar perumahan karena biaya tersebut
akan diteruskan (pass-through) kepada konsumen sehingga semakin menjauhkan
keterjangkauan (affordability) masyarakat terhadap harga yang ditawarkan.
Bagian IV.33 - 98
kredit mikro untuk pembangunan dan perbaikan perumahan berbasis keswadayaan
masyarakat.
Bagian IV.33 - 99
6. Menciptakan pola subsidi baru yang lebih tepat sasaran;
10. Meningkatkan kualitas pelayanan prasarana dan sarana lingkungan pada kawasan
kumuh
1. Penyediaan prasarana dan sarana dasar bagi kawasan rumah sederhana dan
rumah sederhana sehat termasuk didalamnya penyediaan prasarana dan sarana
dasar bagi perumahan PNS, TNI/Polri dan masyarakat berpendapatan rendah
sebagai dasar bagi pengembangan kawasan siap bangun dan atau lingkungan
siap bangun;
3. Penyediaan rumah baru layak huni bagi masyarakat korban konflik dan kaum
dhuafa dan korban bencana alam gempa bumi dan tsunami;
4. Peningkatan akses masyarakat kepada kredit mikro (small scale credit) untuk
pembangunan dan perbaikan rumah yang berbasis swadaya masyarakat
12. Fasilitasi dan stimulasi pembangunan dan rehabilitasi rumah akibat bencana alam
dan kerusuhan sosial.
Permasalahan tarif yang tidak mampu mencapai kondisi pemulihan biaya (full
cost recovery). Hingga saat ini tarif dasar sebagian besar PDAM masih dibawah biaya
produksi air minum, sehingga secara akuntansi sebagian besar PDAM saat ini beroperasi
dengan kondisi rugi. Tarif rata-rata saat ini untuk semua PDAM sebesar Rp. 430,00 per
m3 sedangkan biaya produksi air minum rata-rata sebesar Rp.1.100,00 - Rp.1.700,00
per m3. Biaya produksi air minum akan terus meningkat seiring dengan semakin
memburuknya kualitas dan kuantitas air baku akibat tingginya laju penurunan kualitas
lingkungan. Menurunnya kualitas lingkungan juga menyebabkan pelayanan air minum di
kawasan perdesaan semakin memburuk. Hal ini disebabkan semakin berkurangnya
jumlah mata air, semakin menurunnya kedalaman permukaan air tanah dangkal,
semakin rendahnya kualitas air permukaan (sungai, danau, embung, dan waduk).
Sasaran umum pembangunan air limbah adalah open defecation free untuk
semua kabupaten/kota hingga akhir tahun 2009 yang berarti semua rumah tangga
minimal mempunyai jamban sebagai tempat pembuangan faeces dan meningkatkan
kualitas air permukaan yang dipergunakan sebagai air baku bagi air minum. Selain itu
sasaran pembangunan air limbah adalah meningkatkan utilitas IPLT dan IPAL yang telah
Pelayanan yang ingin dikembangkan dalam pembangunan air minum dan air
limbah hingga akhir tahun 2009 adalah pelayanan air minum dan air limbah yang
berkualitas, efisien, dengan harga terjangkau, menjangkau semua lapisan masyarakat,
dan berkelanjutan yang akan dilaksanakan melalui kebijakan sebagai berikut:
3. Menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha (swasta) untuk turut
berperanserta secara aktif dalam memberikan pelayanan air minum dan air limbah
melalui deregulasi dan reregulasi peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan kemitraan pemerintah-swasta (public-private-partnership).
4. Mendorong terbentuknya regionalisasi pengelolaan air minum dan air limbah sebagai
upaya meningkatkan efisiensi pelayanan dan efisiensi pemanfaatan sumber daya
alam (air baku).
5. Meningkatkan kinerja pengelola air minum dan air limbah melalui restrukturisasi
kelembagaan dan revisi peraturan perundang-undangan yang mengatur BUMD air
minum dan air limbah.
7. Mengurangi tingkat kebocoran pelayanan air minum hingga mencapai ambang batas
normal sebesar 20 persen hingga akhir tahun 2009.
8. Memulihkan pelayanan air minum dan air limbah yang rusak akibat bencana alam
gempa bumi dan tsunami.
4. Pulihnya kinerja lembaga pengelola pelayanan air minum dan air limbah pada
daerah eks bencana alam gempa bumi dan tsunami.
4. Pemberian bantuan teknis pada lembaga pengelola pelayanan air minum dan
air limbah pada daerah eks bencana alam gempa bumi dan tsunami.
3. Capacity building bagi PDAM dan PDAL melalui uji kompetensi, pendidikan
dan pelatihan, optimasi rasio pegawai dan pelanggan;
12. Pengembangan teknologi pengolahan lumpur tinja dan air minum; serta
13. Perbaikan prasarana dan sarana air minum dan air limbah yang rusak dan
pembangunan di beberapa permukiman baru pada lokasi eks bencana alam
gempa bumi dan gelombang tsunami.
Terjadinya stagnasi dalam penanganan sampah dan drainase secara baik dan
berwawasan lingkungan (environment friendly). Hal ini dapat dilihat dari cakupan
pelayanan persampahan di kawasan perkotaan. Stagnasi terjadi karena rendahnya
kesadaran seluruh stakeholder, khususnya pengambil keputusan, terhadap peranan
penanganan persampahan dan drainase dalam mendukung kualitas lingkungan hidup
yang baik.
Tidak berfungsinya saluran drainase sebagai pematus air hujan juga diakibatkan
karena kurangnya kesadaran masyarakat membuang sampah pada tempat yang
semestinya Disamping kurangnya lokasi untuk pembuangan sampah menyebabkan
masyarakat membuang sampah ke saluran drainase. Hal ini menyebabkan terjadinya
peningkatan persentase kawasan tergenang dan persentase terhambatnya fungsi
3. Menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha (swasta) untuk turut
berperanserta secara aktif dalam memberikan pelayanan persampahan, baik dalam
handling-transportation maupun dalam pengelolaan TPA;
14. Perbaikan prasarana dan sarana persampahan serta sistem drainase yang
rusak serta pembangunan di beberapa permukiman baru pada lokasi eks
bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami.