Anda di halaman 1dari 11

A.

PENGERTIAN PARADIGMA

Menurut Guba (1990:17) dalam buku Handbook of Qualitative Research oleh Danzin &
Lincoln, Paradigma adalah serangkaian keyakinan dasar yang membimbing tindakan. Dengan
kata lain, paradigma bisa dipandang sebagai sekumpulan kepercayaan dasar (atau metafisika)
yang berurusan dengan prinsip-prinsip puncak atau pertama.
Denzin & Lincoln menjelaskan suatu paradigma dapat dicirikan oleh respon terhadap tiga
pertanyaan mendasar yaitu pertanyaan ontologi, epistomologi, dan metodologi.
– The ontological question: What is the form and nature of reality and, therefore, what is there
that can be known about it? Pertanyaan ontologi: “Apakah bentuk
dan hakikat realitas dan selanjutnya apa yang dapat diketahui
tentangnya?”
– The epistomological question: What is the nature of the relationship between the knower or
would be-knower and what can be known? Pertanyaan
epistomologi: “Apakah hakikat hubungan antara peneliti atau
yang akan menjadi peneliti dan apa yang dapat diketahui.”
– The methodological question: How can the inquirer (would-be knower) go about finding out
whatever he or she believes can be known. Pertanyaan
metodologi: “Bagaimana cara peneliti atau yang akan menjadi
peneliti dapat menemukan sesuatu yang diyakini dapat diketahui.”

B. PARADIGMA POSITIVISME
Paradigma positivism adalah paradigma ilmu pengetahuan yang pertama kali muncul dalam
dunia ilmu. Paham ini menyatakan bahwa metode ilmiah adalah metode paling baik untuk
menelaah semua fenomena baik ilmiah ataupun humanistik.
Positivisme berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, dan yang positif. Segala
uraian dan persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan.
Oleh karena itu, metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara positif adalah segala yang
tampak, segala gejala. Arti segala ilmu pengetahuan adalah mengetahui untuk dapat melihat ke
masa depan. Jadi kita hanya dapat menyatakan fakta-faktanya, dan menyelidiki hubungan satu
dengan yang lain. Maka tiada gunanya untuk menanyakan kepada hakikatnya atau kepada
penyebab yang sebenarnya dari gejala-gejala itu. Yang harus diusahakan orang adalah
menentukan syarat-syarat di mana fakta-fakta tertentu tampil dan menghubungkan fakta-fakta itu
menurut persamaannya dan urutannya.
Positivisme (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-
positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an.
Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains.
Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan
adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Positivisme adalah salah satu tampilan dari filsafat empirisme yang mana menunjukkan bukti
kebenaran yang signifikan. Positivisme mengakui empiri yang ditangkap oleh pancaindera dan
apabila tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, empiri tersebut harus dieliminasi terlebih dulu
sehingga ada reduksi fakta yang boleh direkam oleh empirisme. Paradigma postitivisme ini adalah
gabungan antara empirisme dan rasionalisme.

Positivisme berpendirian bahwa kepercayaan-kepercayaan yang ditangkap atau diterima


begitu saja harus digantikan dengan pengetahuan yang faktawi. Aliran ini tidak mengakui bahwa
pengetahuan berasal dari pengalaman, karena telah mempengaruhi berbagai bentuk pemikiran
modern: pragmatisme, instrumentalisme, naturalisme ilmiah dan behaviorisme.

C. SEJARAH MUNCULNYA POSITIVISME


Terbangunnya sebuah visi yang komprehensif tentulah lahir dari sebuah pemikiran sangat
matang. Ini tidak terlepas dari lingkungan dan masa yang mempengaruhi suatu perenungan.
Begitulah konsep yang terbangun pada diri Auguste Comte dengan gagasan tentang filsafat
positivisme.
Ini bisa dilihat dari perjalanan hidupnya. Ia menghabiskan masa kecilnya dalam
lingkungan bangsawan katolik, di samping itu keadaan negeri Prancis masih berada dalam
genggaman Raja Louis XVI. Saat puncak krisis yang melanda Prancis yang telah berada di
bawah pemerintahan monarki absolut selama berbad-abad.
Menginjak masa remaja, Comte yang sudah masuk ke dunia pendidikan tinggi di Ecole
Polytechnique di Paris dan kedokteran di Montpellier. Pola fikir yang telah terasah dengan daya
nalar yang tajam tentu terganggu dengan kondisi negaranya yang berada di bawah pemerintahan
monarki absolut yang memang dilanda revolusi. Dikenal dengan Revolution Francaise, masa ini
menjadi periode sosial radikal pergolakan politik yang meluas hingga ke seluruh Eropa.
Pada diri Comte, bisa dilihat dua sisi yang juga bergejolak. Di satu sisi dia melihat sistem
pemerintahan bobrok dan korup yang merampas hak-hak kemanusiaan, di sisi lain agamanya
mengajarkan tentang keadilan dan kasih sayang. Padahal di masa itu, masih dipercaya bahwa
raja sebagai wakil Tuhan dalam memelihara kemaslahatan masyarakat. Dua paham yang sangat
bertolak belakang itu menyebabkan ia hengkang dari Paris, kemudian berguru pada Claude
Hendri de Ruvroy yang lebih dikenal dengan nama Saint-Simon, pada 1817.
Saint Simon ini seorang sosialis di Prancis. Ilmuan inilah yang menganjurkan bentuk
sosialisme teknokratis, yaitu perekonomian dikelola dan dipimpin para industrialis dan para ahli
yang diangkat berdasarkan prestasi. Ide-ide Simon ini tentu saja mempengaruhi pemikiran
Comte, hingga lahirlah filsfat positivisme.
Dari kenyataan hidup dan proses belajar serta perkembangan keilmuan yang dimilikinya,
Auguste Comte mengemukakan teori mengenai perkembangan akal budi manusia yang secara
linier bergerak dalam urutan yang tidak terputus. Bermula dari tahap mistis (teologis) kemudian
metafisis, lalu tahap positif.
Berikut tahapan-tahapan munculnya paradigm positivism menurut Auguste Comte:
1. Tahap Teologis. 
Comte membagi tiga macam pola pikir manusia dalam tahap teologis ini. Pertama
animisme, di sini manusia belum mengenal konsep umum pada makhluk-makhluk.
bahkan menganggap tiap benda atau makhluk merupakan satu sosok individu yang
berbeda dengan yang lain. Setiap benda memiliki rohnya masing-masing. Pola fikir
seperti ini ada dalam manusia purba. Animisme ini jamak dilihat dalam proses sesajen
pada pohon-pohon besar. Bahkan di Indonesia hal semacam ini masih hidup di beberapa
daerah, misalnya di Kalimantan pada suku dayak, dan di Nias, Sumatera Utara.
Kedua adalah politeisme. Di sini pemikiran manusia mulai berkembang, roh tidak
lagi berada di tiap benda, namun ada pada kelompok benda yang memiliki kesamaan
tertentu. Secara harfiah, polteisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly theoi yang
berarti banyak Tuhan. Politeisme adalah kepercayaan pada dewa-dewa. Tujuan beragama
dalam politeisme bukan hanya memberi sesajen atau persembahan kepada dewa-dewa
itu, tetapi juga menyembah dan berdoa kepada mereka untuk menjauhkan amarahnya dari
masyarakat yang bersangkutan.
Selanjutnya, adalah monoteisme. Di sini manusia sudah mempercayai hanya ada
satu roh yang mengendalikan alam ini, itulah Tuhan. Cara berpikir ini memiliki pengaruh
yang besar pada perkembangan budaya, sosial, dan pemerintahan, hingga sekarang ini.
Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama yang kemudian
dijadikan pedoman hidup masyarakat.
2. Tahap Metafisis. 
Comte menyebutkan tahap metafisis ini sebagai modifikasi dari teologis, atau
tahap peralihan. Manusia mulai merombak cara berfikir, mencari penerangan yang logis
dan berusaha keras menggali hakikat atau esensi dari sesuatu. Analisis berfikir
ditingkatkan, adapun dogma agama dan irasionalitas mulai ditinggalkan.
Pada tahap metafisis ini manusia mencari sebab pertama dan tujuan akhir dari
kehidupan. Manusia mulai bertanya-tanya dan mulai untuk mencari bukti-bukti yang
nyata terhadap pandangan suatu doktrin. Tahap ini menggunakan kekuatan atau bukti
yang nyata yang dapat berhubungan langsung  dengan manusia. Ini adalah abad
nasionalisme dan kedaulatan umum sudah mulai tampak.
3. Tahap Positif.  
Pandangan hidup yang awalnya didasarkan pada dogma agama, sekarang beralih
digantikan ilmu pengetahuan positif. Pada tahap ini, Comte menafikan segala sesuatu
yang non-inderawi. Ia mengakui bahwa cara pandang itu sebangun dengan pendahulunya
seperti Immanuel Kant, Rene Descartes, Galileo Galile, Sir Isaac Newton dan Sir Francis
Bacon.
Pandangan mereka, pengetahuan hanya yang didasarkan pada fakta-fakta logis
dan empiris, dan fakta-fakta tersebut harus didekati dengan menggunakan metode ilmiah,
yakni eksperimen, observasi, dan komparasi.
Comte mengatakan bahwa pengetahuan yang tidak berdasarkan fakta-fakta positif
dan mendekatinya tidak dengan metode ilmu pengetahuan, itu fantasi atau spekulasi liar.
Jenis pengetahuan spekulasi atau fantasi liar inilah yang disebutnya teologi dan
metafisika.
Menurut Comte, semua gejala dan kejadian alam dijelaskan berdasarkan
observasi, eksperimen, komparasi yang ketat dan teliti. Gejala dan kejadian alam harus
dibersihkan dari muatan teologis dan metafisis. Akal tidak lagi berorientasi pada
pencarian pada sebab pertama dan tujuan akhir kehidupan.
Comte pun menjelaskan fungsi lain dari ilmu pengetahuan positif, yaitu di dalam
dirinya sendiri mengandung alat untuk mencapai, baik kemajuan (progress) maupun
ketertiban (order). Ia menyatakan bahwa kemajuan yang didasarkan pada ilmu
pengetahuan akan membawa manusia menuju masyarakat yang tertib, stabil, aman, dan
harmonis. Selain itu, ilmu pengetahuan juga mampu mencegah kita dari nafsu untuk
berperang dan melakukan penindasan terhadap manusia dan alam.

Selanjutnya Auguste Comte membagi tiga asumsi dasar ilmu pengetahuan positif,
sebagai berikut :
1. Asumsi pertama
Ilmu pengetahuan harus bersifat objektif. Objektivitas berlangsung pada kedua pihak,
yaitu subjek dan objek ilmu pengetahuan. Pada pihak subjek, seorang ilmuwan tidak
boleh membiarkan dirinya terpengaruh oleh sentimen pribadi, penilaian etis,
kepercayaan agama, kepentingan kelompok, filsafat, atau apapun yang
mempengaruhi objektivitas dari objek yang sedang diobservasi. Pada pihak objek,
aspek dan dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam observasi, misalnya roh atau
jiwa, tidak dapat ditoleransi keberadaannya.
2. Asumsi Kedua
Ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang terjadi berulang kali, bukan
berurusan dengan hal-hal yang unik dan terjadi satu kali karena hal tersebut tidak
akan membantu untuk meramalkan sesuatu yang akan terjadi.
3. Asumsi Ketiga
 ilmu pengetahuan menyoroti setiap kejadian alam dari antarhubungannya dengan
kejadian alam yang lain. Mereka diandaikan saling berhubungan dan membentuk
suatu sistem yang bersifat mekanis. Oleh sebab itu, perhatian ilmuwan tidak
diletakkan pada hakikat atau esensi, melainkan pada relasi-relasi luar, khususnya
relasi sebab akibat, antara benda-benda atau kejadian-kejadian alam.
D. TOKOH PARADIGMA POSITIVISME
Terdapat beberapa tokoh paradigma positivsme, antara lain :
1. Pada abad ke -17, Descartes (1596-1650) mengembangkan cara pandang positivisme.
2. Pada abad ke-19, Sosiolog Auguste Comte menulis buku-buku mengenai prinsip-
prinsip Positivisme. Comte sekaligus merupakan tokoh positivism yang paling
terkenal dan berpengaruh.
3. John Stuart Mill dari Inggris memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte
dalam bukunya A System of Logic
4. Emile Durkheim seorang sosiolog Prancis menguraikan The Rules of the Sociological
Method (1895) yang menjadi acuan bagi peneliti ilmu sosial beraliran positivisme
5. Herbert Spencer (1820-1903)

E. KEPERCAYAAN DASAR DAN ANALISIS POSITIVISME


Denzin & Lincoln dalam bukunya yang berjudul Handbook of Qualitative Research
menyebutkan beberapa kepercayaan dasar mengenai positivism, sebagai berikut
Table 6.1. Basic Belief (Methaphysics) of Positivism
Item Positivism

Ontolog Naive realism –“real” reality but


y apprehendable

1. Asumsi ontologi: bersifat nyata, artinya realita itu mempunyai keberadaan sendiri
dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap. Pengetahuan
tentang hal-hal di luar diri manusia (entities), hukum, dan mekanisme-mekanisme ini
secara konvensional diringkas dalam bentuk generalisasi yang bersifat tidak terikat
waktu dan tidak terikat konteks.

Item Positivism

Epistimolog Dualist/ objectivist; finding true


y
Dalam hal ini, objek yang diteliti dan peneliti dianggap sebagai hal yang berlainan
sehingga peneliti harus mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan interaksi
dengan objek yang diteliti agar tidak mempengaruhi atau dipengaruhi oleh objek
penelitiannya.
Item Positivism

Methodolog Experimental/ manipulative;


y verification of hyphoteses; chiefly
quantitative method.

2. Asumsi metodologi: bersifat eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan


dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian
dilakukan dan diuji secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang terkontrol secara
cermat.

F. IMPLIKASI PARADIGMA POSITIVISME


Denzin dan Lincoln dalam bukunya yang berjudul Handbook of Qualitative Research,
menyebutkan beberapa implikasi dari paradigm positivisme, antara lain:
Table 6.2. Paradigm Position on Selected Practical Issues
Issues Positivism
Inquiry aim Explanation: prediction and control
Tujuan Inkuiri Penjelasan: Prediksi daan kontrol

Tujuan inkuirinya adalah penjelasan, terutama membuat prediksi dan kontrol atas fenomena yang
ada baik fenoma alam (physics) atau manusia. Kriteria utama peningkatann dalam paradigma ini
adalah kemampuan “ilmuan” untuk memprediksi dan mengontrol harus meningkat.
Issues Positivism
Nature of Verified hyphotheses established as facts and
Knowledge laws
Hakikat Hiphotesis yang telah terbukti dikembangkan
Pengetahuan sebagai fakta dan hukum
Pengetahuan yang ada pada hakikatnya terdiri dari hipotesis- hipotesis yang telah dibuktikan
yang diterima sebagai fakta atau hukum.
Issues Positivism
Knowledge Accretion –“building clocks” adding to
Accumulation “edifice of knowledge”, generalization and
cause-effect linkages.
Pengumpulan Penambahan secara bertahap, generalisasi
Pengetahuan dan hubungan sebab akibat.

Pengetahuan dikumpulkan dengan proses yang bertahap dengan tiap – tiap fakta diletakkan pada
letak yang seharusnya untuk mebangun pengetahuan yang besar. Fakta tersebut dapat
digeneralisasikan ke dalam populasi dari setting yang ada.

Issues Positivism
Goodness or Conventional benchmarks of “rigor”:
Quality Criteria internal and external validity, reliability and
objectivity
Kriteria Kualitas/ Pengukuran konvensional dari aturan yang
kebaikan ada: validitas internal dan eksternal,
reliabilitas, dan objektivitas

Kriteria yang tepat adalah pengukuran konvensional yang meliputi validitas/ kesahihan internal
(kesesuaian hasil penelitian dengan kenyataan), validitas eksternal (bisa digeneralisasikan
hasilnya), reliabilitas (kestabilan data), dan objektivitas (peneliti yang netral dan menjaga jarak
dengan objek penelitiannya).

Issues Positivism
Value Excluded-influence denied
Nilai Terlepas/ di luar- pengaruh ditolah
Dalam paradigma positivisme nilai harus berada diluar sehingga sering disebut value-free. Nilai
dianggap sebagai variabel yang tidak diperbolehkan berperan dalam penelitian.

Issues Positivism
Ethics Extrinsic; tilt toward deception
Etika Ekstrinsik; condong terhadap penipuan
Dalam paradigma positivisme, etika adalah pertimbangan yang sangat penting dan diambil
secara sangat serius melalui penyelidikan-penyelidikan, tetapi secara lahiriah merupakan proses
penyelidikan sendiri. Karena itu sikap etis secara formal diawasi oleh mekanisme eksternal,
seperti aturan tindak tanduk dan komite. Lebih jauhnya, ontologi realis menganggap paradigma
ini memberikan kecondongan ke arah penipuan yang terjadi dalam kasus-kasus tertentu untuk
menentukan kebenaran akan sesuatu atau untuk “kebaikan bersama” dan “kebenaran yang lebih
jelas”

Issues Positivism
Voices “disinterested scientist” as informer of
decision makers, policy makers, and change
agents
Pendapat “ilmuan adil” sebagai pemberi informasi
kepada pembuat keputusan, pembuat
kebijakan dan agen perubahan.

“Ilmuan adil” memberitahu pembuat keputusan, keijakan dan para agen perubahan yang
menggunakan informasi ilmiah untuk membentuk, menjelaskan dan membenarkan aktivitas atau
keputusan dan mengubah proposal.
Issues Positivism
Training Technical and quantitative; substantive
theories
Pelatihan Teknis dan kuantitatif; teori-teori riil
Orang baru diberi pelatihan utamanya mengenai pengetahuan teknis tentang pengukuran, desain,
dan metode kuantitatif yang menitik beratkan pada teori formal pada hal-hal riil.

Issues Positivism
Accomodation consummensurable
Akomodasi Sepadan
Beranggapan bahwa semua poin – poin itu bisa diakomodasi secara sepadan.

Issues Positivism
Hegemony In control of publication, funding, promotion
and tenure
Kekuasaan Berlaku sebagai kontrol atas
tertinggi publikasi, pendanaan, promosi dan
masa jabatan

Paradigma positivisme mendapatkan kekuasaan tertingginya sejak beberapa masa silam sejak
masa penganut Aristoteles dan paradigma agama dilarang. Tapi dalam dekade ini hegemoni nya
cenderung mengarah ke post positivisme.

G. PARADIGMA POSITIVISME DALAM PENELITIAN KUANTITATIF

Paradidma Kuantitatif

Menganjurkan penggunaan metode


kuantitatif

Logika positivisme:”Melihat fakta


atau kasual fenomena sosial dengan
sedikit melihat bagi pernyataan
subyektif individu-individu”

Pengukuran terkontrol dan


menonjol
Obyektif

Jauh dari data: data merupakan


perspektif “outsider”

Tidak grounded, orientasi


verifikasi, konfirmatori,
reduksionis, inferensial dan
deduktif-hipotetik

Orientasi hasil

Reliabel:data dapat direplikasi dan


“hard”

Dapat digeneralisasi:studi multi


kasus

Partikularistik

Asumsi realitis stabil

Anda mungkin juga menyukai