Anda di halaman 1dari 20

Ir.

Soekarno atau akrab juga disapa Bung Karno adalah Presiden pertama Republik Indonesia yang lahir pada 6
Juni 1901 di Surabaya. Grameds pasti sudah tidak asing dengan pahlawan nasional kita yang satu ini. Sang
proklamator ini memiliki peran yang sangat penting bagi kemerdekaan Indonesia bahkan jauh sebelum
Indonesia Merdeka. Soekarno sudah berjuang sejak usianya baru 14 tahun dengan bergabung dalam organisasi
kepemudaan Jong Java saat sekolah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya.
Dalam perjuangannya, Soekarno bahkan sempat dipenjara berkali-kali. Pada 29 Desember 1929 ia pernah
dijebloskan ke penjara Banceuy karena aktif melakukan gerakan perlawanan dengan mendirikan kelompok studi
intelektual bernama ASC dan membuat Partai Nasional Indonesia (PNI). Ia pun akhirnya dipindahkan ke lapas
sukamiskin dan bebas pada 31 Desember 1931.
Ia juga menjadi salah satu tokoh yang mencetuskan dasar negara Indonesia yang kita gunakan saat ini, yakni
Pancasila. 
Mohammad Hatta atau akrab juga disapa Bung Hatta adalah wakil presiden Indonesia pertama kali yang
memiliki peran penting dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sang proklamator ini lahir di
Bukittinggi pada 12 Agustus 1902. Bung Hatta merupakan negarawan intelektual yang mendampingi Ir.
Soekarno memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari jajahan Belanda. Ia dikenal sebagai aktivis dan
organisatoris saat bersekolah di Belanda.
Mohammad Hatta banyak melakukan perlawanan terhadap belanda melalui tulisan-tulisan yang terbit dalam
surat kabar atau majalah-majalah. Karena tulisan kritikan itulah Mohammad Hatta sempat diasingkan oleh
pemerintahan kolonial ke Boven Digul yang terletak di Irian, sebuah wilayah pembuangan. Gagasan dalam
tulisannya tentang kemerdekaan Indonesia sangat tajam dan dapat membangkitkan semangat anak muda bangsa
untuk melakukan perlawanan ketidakadilan Belanda.
Mohammad Hatta banyak menyumbangkan pemikiran-pemikiran besar untuk membangun bangsa Indonesia.
Contohnya pemikiran tentang demokrasi Indonesia pada tahun 1928-1960 dan bahkan ia juga dijuluki sebagai
bapak koperasi karena ia adalah tokoh yang pertama kali mengenalkan pemikiran tersebut.
Sutomo atau akrab juga disapa Bung Tomo adalah pahlawan nasional yang lahir pada 3 Oktober 1920 di
Surabaya dan tumbuh di dalam keluarga yang sangat menghargai pendidikan. Bung Tomo berperan penting
dalam pertempuran di Surabaya 10 November 1945 yang kemudian sekarang kita peringati sebagai hari
pahlawan.  Semboyan Bung Tomo yang paling populer sampai saat ini adalah “Merdeka atau Mati” menjadi
semangat bangsa hingga saat ini.
Pertempuran berdarah di Suraya tersebut menjadi peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Tidak
hanya kritis terhadap pemerintahan Belanda, Bung Tomo juga pernah mengkritik kepemimpinan Soekarno dan
Soeharto. Ia bahkan pernah ditahan selama setahun pada tahun 1978 karena kritikannya terhadap Soeharto.
Bung Tomo merupakan seorang jurnalis asal Surabaya yang berani dan kritis dengan kepiawaiannya dalam
berbahasa dan kecemerlangan gagasannya. Dari ia berusia 18 hingga 25 tahun ia sudah terlibat di berbagai
media, yakni Ekspres dan Berita Antara. 
Tan Malaka atau bernama lengkap Sutan Ibrahim adalah pahlawan nasional yang berperan penting dalam
kemerdekaan Indonesia namun banyak orang yang kurang mengenalnya. Padahal namanya sangat melegenda 
bahkan kisah hidupnya pernah diteliti oleh sejarawan Belanda bernama Harry Albert Poeze selama berpuluh-
puluh tahun.
Semasa hidupnya, Tan Malaka hidup nomaden dari satu negara ke negara lain, termasuk Rusia. Disanalah Tan
Malaka menjadi anggota Comintern (anggota komunis Internasional). Banyak pemikiran-pemikiran Tan
Malaka  yang mempelopori berdirinya bangsa Indonesia, misalnya tertuang dalam salah satu karya terbesarnya
berjudul Madilog. 
Tan Malaka dianggap sebagai otak dari peristiwa 3 Juli 1946 di masa revolusi yang menentang hasil
perundingan Indonesia dengan Belanda. Ia menuntut Republik Indonesia harus merdeka 100 persen dan ia juga
terlibat dalam persatuan perjuangan bersama Jendral Sudirman.
Kiprahnya di dunia politik ditandai saat ia mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) yang pernah
mengikuti pemilu pada tahun 1955, namun pemilu selanjutnya di tahun 1965 partai ini dibekukan pemerintah.
Sukarni Kartodiwirjo merupakan salah satu pahlawan nasional asal Jawa Timur yang berperan penting dibalik
sejarah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam peristiwa bersejarah tersebut, Sukarni
mewakili kelompok muda untuk mendesak Soekarno dan Moh. Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan.
Ia dan pemuda lainnya lah yang menculik kedua pemimpin tersebut ke Rengasdengklok, Jawa Barat untuk
secepatnya menyusun teks proklamasi.
Pahlawan nasional yang diangkat oleh Jokowi tahun 2014 ini lahir di Blitar pada 14 Juli 1916 dan tumbuh
sebagai orang yang sangat membenci Belanda. Ia bahkan memiliki catatan khusus tentang perkelahiannya
dengan anak-anak Belanda. Sejak usia 14 tahun, Sukarni sudah bergabung dalam organisasi perhimpunan
Indonesia muda. Sejak itulah ia tumbuh menjadi sosok yang kritis dan berani.
Pertemuannya dengan Tan Malaka membuat sosok Sukarni menjadi lebih revolusioner terhadap perjuangan
bangsa. Sukarni adalah semangat muda pejuang pada saat itu.
Ki Hajar Dewantara atau yang bernama lengkap Raden Soewardi Soerjaningrat adalah pahlawan nasional yang
datang dari keluarga bangsawan keraton dan menjadi aktivis pergerakan kemerdekaan. Ia adalah pahlawan yang
memiliki peran penting dalam membangun bangsa hingga disebut sebagai bapak pendidikan Indonesia. Ia
adalah menteri pendidikan dan kebudayaan pertama Indonesia yang mendirikan sekolah bernama Perguruan
Nasional Taman Siswa atau yang kita kenal sekarang Taman Siswa.
Ki Hajar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta yang kemudian tanggal lahirnya saat ini kita peringati
sebagai Hari pendidikan. Sebelumnya ia adalah seorang penulis dan jurnalis yang kritis sehingga ia terjun
sebagai aktivis kebangsaan. Hal itulah yang membuatnya sadar untuk melawan kolonialisme dengan
pemikirannya dalam dunia pendidikan.
Semboyannya yang paling populer hingga saat ini, yakni Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut
wuri handayani, ini  terus menjadi semangat bangsa untuk menjadi lebih baik di bidang pendidikan.
Pangeran Diponegoro adalah pahlawan nasional dari tanah Jawa yang lahir pada 11 November 1785 di
Kesultanan Yogyakarta dan wafat di Makassar yang saat itu masih Hindia Belanda pada 8 Januari 1855. Ia
adalah sosok penting pada Perang Diponegoro atau perang jawa melawan penjajah Hindia Belanda mulai tahun
1825 sampai 1830. Perang ini adalah perang yang paling banyak menelan korban dalam sejarah perjuangan
bangsa Indonesia.
Perang Jawa ini jadi corak sejarah sendri bagi bangsa Indonesia atas perjuangannya untuk melawan penjajah. 
Saat perang ini, Pangeran Diponegoro mengumandangkan perjuangan untuk melawan kaum kafir. Seruan
Pangeran Diponegoro ini sangatlah berpengaruh bahkan hingga wilayah Kedu dan Pacitan. Dari sinilah ia mulai
mempengaruhi pejuang-pejuang bangsa dari berbagai daerah, seperti daerah Gagatan.
Pangeran Diponegoro dalam keluarga tumbuh sebagai sosok yang tertarik dengan keagamaan dan rakyat jelata.
Raden Ajeng (R.A) Kartini adalah salah satu pahlawan nasional wanita yang berjasa dalam perjuangan bangsa
Indonesia. Ia lahir pada 21 April 1879 di Jepara yang kemudian saat ini kita memperingati hari tersebut sebagai
Hari Kartini.
Kartini memiliki peran penting dalam pemikiran-pemikiran membangun bangsa indonesia, yakni perjuangannya
untuk para perempuan Indonesia memperoleh ruang yang lebih berarti daripada sebelumnya. Emansipasi Wanita
yang diperjuangkan Kartini sangat berharga hingga saat ini.
Pemikiran-pemikiran Kartini tersebut tertulis dalam surat-surat yang ia tulis untuk temannya di Belanda.
Kemudian tulisan-tulisan tersebut disusun menjadi buku dengan judul Door Duisternis Tot Licht yang saat ini
versi terjemahannya populer dengan judul Dari Gelap Menuju Cahaya yang terbit pertama kali pada tahun
1911.
Pemikiran-pemikirannya tentang hak-hak perempuan ia temui dilingkunagn keluarga bangsawannya yang masih
banyak mengekang perempuan. 
Cut Nyak Dien adalah pahlawan nasional wanita kelahiran 1848 asal Aceh yang paling ditakuti oleh Belanda. Ia
mulai aktif melawan Belanda sejak kematian suaminya, Teuku Cek Ibrahim dan bersumpah akan
menghancurkan Belanda. Setelah ia akhirnya menikah lagi dengan Teuku Umar dan bersama-sama melawan
Belanda secara gerilya. Mereka berhasil menyerang dan mendesak Belanda di Banda Aceh (Kutaraja) dan
Meulaboh.
Cut Nyak Dien adalah seorang pahlawan perwakilan dari kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Iskandar
Muda di Pariaman. Ia terkenal sebagai pahlawan wanita yang sangat tangguh dalam melawan penjajah Belanda
saat itu. Bahkan ia tetap tidak menyerah melawan Belanda meskipun Suaminya, Teuku Umar tertangkap. Ia
terus melanjutkan perlawan bersama pasukannya hingga tahun 1901.
Akhirnya Cut Nyak Dien pun tertangkap oleh Belanda di Beutong Lhee Sagoe karena sebelumnya ia dan
pasukannya sempat melakukan perlawanan kepada Belanda secara gerilya. Namun markas mereka diketahui
Belanda karena ulah Pang Laot anak buah Cut Nyak Dien yang berkhianat memberi tahu markas mereka kepada
Belanda.
Martha Christina Tiahahu adalah pahlawan nasional wanita yang merupakan anak dari Kapitan Paulus Tiahahu
yang membantu Kapitan Pattimura melawan Belanda pada tahun 1917. Sejak umur 17 tahun, Martha sudah
mengetahui rencana ayahnya melawan Belanda. Ia sangat ingin ikut bersama ayahnya bertempur melawan
pemerintah kolonial saat itu, meskipun ayahnya melarang.
Namun, akhirnya Martha tetap ikut dalam perlawanan terbesar Maluku terhadap Belanda. Selain itu Martha juga
terlibat dalam pertempuran di daerah Ulat dan Ouw, Saparua yang banyak memakan korban baik rakyat sipil
atau tentara Belanda. Martha selamat dalam pertempuran tersebut berkat kelihaiannya memegang tombak saat
bertempur.
Ia pun meninggal dunia setelah menolak makan dan jatuh sakit ketika kapal Belanda yang menangkap ingin
membawanya ke Jawa. Martha Christina Tiahahu adalah pahlawan nasional wanita termuda dari jajaran tokoh
yang lainnya.
Mohammad Natsir (17 Juli 1908 – 6 Februari 1993) adalah seorang ulama, politikus, dan
pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai
politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat
menteri dan Perdana Menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat
sebagai presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Natsir lahir dan dibesarkan di Solok, sebelum akhirnya pindah ke Bandung untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan
tinggi. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di partai politik
berideologi Islam. Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia
kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih
paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di
Indonesia hingga membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno. Setelah dibebaskan pada tahun
1966, Natsir terus mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin Soeharto hingga
membuatnya dicekal.
Jenderal Besar TNI (Anumerta) Raden Soedirman (EYD: Sudirman; 24 Januari 1916 – 29 Januari
1950[a]) adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia.
Sebagai panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia adalah sosok yang dihormati di
Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, Soedirman diadopsi
oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916,
Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler,
termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat
di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan
berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti
kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala
sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan
menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang menduduki
Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan
tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion
di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan
pemberontakan, hingga kemudian diasingkan ke Bogor.
Thamrin lahir di Weltevreden, Batavia (sekarang Jakarta), Hindia Belanda, pada 16
Februari 1894. Ayahnya adalah seorang Belanda dengan ibu orang Betawi. Sejak kecil ia dirawat
oleh pamannya dari pihak ibu karena ayahnya meninggal, sehingga ia tidak menyandang nama
Belanda.[2] Sementara itu kakeknya, Ort, seorang Inggris, merupakan pemilik hotel di bilangan Petojo,
menikah dengan seorang Betawi yang bernama Noeraini.[3]
Ayahnya, Tabri Thamrin, adalah seorang wedana di bawah gubernur jenderal Johan Cornelis van der
Wijck. Setelah lulus dari Gymnasium Koning Willem III School te Batavia,[1] Thamrin mengambil
beberapa jabatan sebelum bekerja di perusahaan perkapalan Koninklijke Paketvaart-Maatschappij.[4]
Munculnya Muhammad Husni Thamrin sebagai tokoh pergerakan yang berkaliber nasional tidaklah
mudah. Untuk mencapai tingkat itu ia memulai dari bawah, dari tingkat lokal. Dia memulai geraknya
sebagai seorang tokoh (lokal) Betawi. Sebagaimana telah disinggung pada bab terdahulu.
Muhammad Husni Thamrin sejak muda telah memikirkan nasib masyarakat Betawi yang sehari - hari
dilihatnya. Sebagai anak wedana, dia tidaklah terpisah dari rakyat 'Jelata". Malah dia sangat dekat
dengan mereka. Sebagaimana anak-anak sekelilingnya, yang terdiri dari anak-anak rakyat jelata, dia
pun tidak canggung-canggung untuk mandi-mandi bersama di Sungai Ciliwung. Dia tidak canggung-
canggung untuk tidur bersama mereka. sebagaimana yang pernah disaksikan oleh ayahnya sendiri.
Kelincahannya sebagai pemimpin agaknya telah menampak sejak masih usia "remaja".
Sisingamangaraja XII dengan nama lengkap Patuan Bosar Ompu Pulo Batu Sinambela (18
Februari 1845 – 17 Juni 1907) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatra Utara, pejuang yang
berperang melawan Belanda, kemudian diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961.
Sebelumnya ia dimakamkan di Tarutung Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung,
[1]
Balige pada tahun 1953.
Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar Sinambela, yang kemudian digelari
dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik takhta pada
tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Raja Sohahuaon
Sinambela, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII
sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu
terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang
tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatra terutama Kesultanan
Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa
lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut.
Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang
berkepanjangan hingga puluhan tahun.
H. Agus Salim (lahir dengan nama Masyhudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); 8 Oktober
1884 – 4 November 1954) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim
ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui
Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961. Pekerjaan yang ditekuni oleh Agus Salim
adalah sebagai orator dan penulis. Agus Salim menguasai 4 bahasa asing di Eropa (bahasa
Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Prancis), 2 bahasa asing di Timur
Tengah (bahasa Arab dan bahasa Turki) serta bahasa Jepang.
Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan
terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus bagi anak-anak
Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil
menjadi alumnus terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada
sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab
Saudi untuk bekerja di Duta besar Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh
Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai
Wakil Redaktur. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Agus Salim menikah dengan Zaenatun
Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga
akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Sura tkabar Fadjar
Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Kota Yogyakarta dan membuka kantor
Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun
dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Jenderal Besar TNI (Purn.) Dr. (H.C.)[2] Abdul Haris Nasution (3 Desember 1918 – 6 September
2000) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia[3] yang merupakan salah satu tokoh TNI AD yang
menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September. Selamat dari upaya penculikan tersebut
namun Nasution harus kehilangan putrinya Ade Irma Suryani Nasution beserta
ajudannya, Lettu Pierre Tendean.
Nasution merupakan konseptor Dwifungsi ABRI yang disampaikan pada tahun 1958 yang kemudian
diadopsi selama pemerintahan Soeharto. Konsep dasar yang ditawarkan tersebut merupakan jalan
agar ABRI tidak harus berada di bawah kendali sipil, tetapi pada saat yang sama tidak boleh
mendominasi sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer.
Bersama Soeharto dan Soedirman, Nasution menerima pangkat kehormatan Jenderal Besar yang
dianugerahkan pada tanggal 5 Oktober 1997, saat ulang tahun ABRI.
Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809– meninggal di Bayan
Begok, Hindia Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, dia dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan
tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa
wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya
Raja.
Dia cucu Pangeran Amir yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Pangeran Antasari tidak hanya
dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, dia juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan,
Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan
dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu Belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda
Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar
dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi
maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya
sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah di wilayah Banjar bagian utara (Muara Teweh dan
sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah,
dimulai dengan seruan:

“ Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah! ”

Seluruh rakyat, para panglima Dayak, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan
Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan
yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya
dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Mayjen TNI (Purn) dr. Adnan Kapau Gani atau biasa disingkat A.K. Gani (16 September 1905 – 23
Desember 1968) adalah seorang dokter, politisi, dan tokoh militer Indonesia. Ia pernah menjabat
sebagai Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II.
A.K. Gani lahir di Palembayan, Sumatra Barat, pada tanggal 16 September 1905. Ayahnya adalah
seorang guru. Ia menyelesaikan pendidikan awalnya di Bukittinggi pada tahun 1923. Kemudian ia
pergi ke Batavia untuk menempuh pendidikan menengah dan mengambil sekolah kedokteran. Adnan
meneruskan ke sekolah tinggi kedokteran STOVIA di Jakarta. Sayangnya, sekolah ini pada 1927
ditutup, sehingga Adnan harus melanjutkan sekolah ke AMS (setingkat SMA zaman Belanda) hingga
lulus pada 1928. Setahun kemudian, Adnan masuk Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige
Hoge School/GHS) Jakarta, dan baru lulus pada 1940.
Setelah revolusi berakhir pada tahun 1949, Gani menjadi Gubernur Militer Sumatra Selatan. Pada
tahun 1954, ia diangkat menjadi rektor Universitas Sriwijaya di Palembang. Ia tetap aktif dan tinggal
di Sumatra Selatan hingga wafat pada tanggal 23 Desember 1968. Dia dimakamkan di Taman
Pemakaman Pahlawan Siguntang di Palembang. Gani meninggalkan seorang istri Masturah, dan
tidak mempunyai anak hingga akhir hayatnya.
Nyi Ageng Serang (1752-1828) (Hanacaraka:ꦚꦶꦄꦒꦼꦁꦱꦼꦫꦁ) atau dikenal juga sebagai Raden
Ayu Serang memiliki nama kecil Raden Ajeng Retno Kursiah Edi. Setelah menikah, namanya menjadi
Bendoro Raden Ayu Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Ia adalah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia. Di antara keturunannya, salah satunya juga seorang Pahlawan Nasional, yaitu
Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.
Nyi (Nyai) Ageng Serang dilahirkan sekitar tahun 1752 di Desa Serang sekitar 40 km sebelah utara
Surakarta dekat Purwodadi, Jawa Tengah. Nyi Ageng Serang masih keturunan Sunan Kalijaga.
Ayahnya adalah Pangeran Ronggo seda Jajar yang dijuluki Panembahan Senopati
Notoprojo. Pangeran Notoprojo menguasai wilayah terpencil dari Kerajaan Mataram tepatnya di
wilayah Serang yang sekarang berada di wilayah perbatasan Grobogan-Sragen.
Pada awal Perang Diponegoro pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang yang berusia 73 tahun memimpin
pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Tidak hanya turut
berperang, ia juga menjadi penasihat perang. Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah,
seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.
Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit
pria. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia harus siap tempur untuk
melawan para penjajah. Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu
(daun talas hijau) untuk penyamaran.
Dewi Sartika lahir dari keluarga Sunda yang ternama, yaitu R. Rangga Somanegara dan R. A.
Rajapermas di Cicalengka pada 4 Desember 1884. Ketika masih kanak-kanak, ia selalu bermain
peran menjadi seorang guru ketika seusai sekolah bersama teman-temannya. Setelah ayahnya
meninggal, ia tinggal bersama dengan pamannya. Ia menerima pendidikan yang sesuai dengan
budaya Sunda oleh pamannya, meskipun sebelumnya ia sudah menerima pengetahuan mengenai
budaya barat. Pada tahun 1899, ia pindah ke Bandung.
Pada 16 Januari 1904, ia membuat sekolah yang bernama Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten
Bandung. Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi
Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910. Ia mengajarkan para wanita membaca, menulis,
berhitung, pendidikan agama dan berbagai ketrampilan. Pada tahun 1912, sudah ada sembilan
sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat, lalu kemudian berkembang menjadi satu sekolah tiap
kota maupun kabupaten pada tahun 1920. Pada September 1929, sekolah tersebut berganti nama
menjadi Sekolah Raden Dewi.
Sekolah Raden Dewi berkembang dengan pesat. Namun, masa pendudukan Jepang membuat
sekolah tersebut mengalami krisis keuangan dan peralatan.
Pasca kemerdekaan, kesehatan Dewi Sartika mulai menurun. Ketika terjadi Agresi Militer
Belanda dalam masa perang kemerdekaan, ia terpaksa ikut mengungsi ke Tasikmalaya. Dewi Sartika
meninggal pada 11 September 1947 di Cineam dan dimakamkan di sana. Setelah keadaan aman,
makamnya dipindahkan ke Jalan Karang Anyar, Bandung

Anda mungkin juga menyukai