Anda di halaman 1dari 81

F1.

UPAYA PROMOSI KESEHATAN & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Judul Laporan :

PENYULUHAN NAPZA DI POSYANDU REMAJA ANATAPURA BESUSU TIMUR

Latar Belakang :

Narkoba adalah singkatan dari Narkotika dan Obat berbahaya. Selain NARKOBA, istilah lain yang
diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah NAPZA yang
merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik
narkoba atau napza, mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai resiko
kecanduan bagi penggunanya. Narkoba atau NAPZA merupakan bahan/zat yang bila masuk ke
dalam tubuh akan mempengaruhi tubuh terutama susunan syaraf pusat/otak sehingga jika
disalahgunakan akan menyebabkan gangguan fisik, psikis/jiwa dan fungsi sosial. Karena itu
Pemerintah memberlakukan Undang-Undang (UU) untuk penyalahgunaan narkoba yaitu UU
No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No.22 tahun 1997 tentang Narkotika.

Narkoba (narkotika dan obat-obatan berbahaya) sudah sejak lama dikonsumsi manusia, baik
dalam bentuk sederhana. Semakin lama pemakai narkoba makin meluas di berbagai belahan
dunia, termasuk indonesia (Hakim, 2004 dalam Hutahuruk, 2007). Obat terlarang ini telah
banyak beredar dan dipergunakan oleh berbagai kalangan terutama remaja. Dimana pada masa
remaja ada banyak faktor yang mempengaruhi persepsi individu terhadap penyesuaian
sosialnya (Makarao, 2003 dalam Hutauruk, 2007).

Di Indonesia, perkembangan pencandu narkoba semakin pesat. Sekitar 4-5 juta orang
menderita ketergantunan Napza dan segmen terbesar sekitar 55% sebagai penyalahguna
adalah para remaja yang masih berstatus siswa SMA. Para pencandu narkoba itu pada
umumnya berusia antara 11 sampai 24 tahun. Artinya usia tersebut ialah usia produktif atau
usia pelajar. Pada awalnya, pelajar yang mengonsumsi narkoba biasanya diawali dengan
perkenalannya dengan rokok. Karena kebiasaan merokok ini sepertinya sudah menjadi hal yang
wajar di kalangan pelajar saat ini. Dari kebiasaan inilah, pergaulan terus meningkat, apalagi
ketika pelajar tersebut bergabung ke dalam lingkungan orang-orang yang sudah menjadi
pencandu narkoba. Awalnya mencoba, lalu kemudian mengalami ketergantungan.

Peran penting sektor kesehatan sering tidak disadari oleh petugas kesehatan itu sendiri, bahkan
para pengambil keputusan, kecuali mereka yang berminat dibidang kesehatan jiwa, khususnya
penyalahgunaan NAPZA. Bidang ini perlu dikembangkan secara lebih profesional, sehingga
menjadi salah satu pilar yang kokoh dari upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA.
Kondisi diatas mengharuskan pula Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan
dapat berperan lebih proaktif dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA di
masyarakat. Dari hasil identifikasi masalah NAPZA dilapangan melalui diskusi kelompok terarah
yang dilakukan Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat bekerja sama dengan Direktorat Promosi
Kesehatan – Ditjen Kesehatan Masyarakat Depkes-Kesos RI dengan petugas-petugas puskesmas
di beberapa provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Bali ternyata
pengetahuan petugas puskesmas mengenai masalah NAPZA sangat minim sekali serta masih
kurangnya buku yang dapat dijadikan pedoman.

Permasalahan :

Hingga kini penyebaran narkoba sudah hampir tak bisa dicegah. Mengingat hampir seluruh
penduduk dunia dapat dengan mudah mendapat narkoba dari oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Misalnya saja dari bandar narkoba yang senang mencari mangsa di sekolah,
diskotik, tempat pelacuran, dan tempat-tempat perkumpulan genk. Upaya pemberantas
narkoba pun sudah sering dilakukan namun masih sedikit kemungkinan untuk menghindarkan
narkoba dari kalangan remaja maupun dewasa, bahkan anak-anak usia SD dan SMP pun banyak
yang terjerumus narkoba. Selain itu, remaja memiliki karakteristik yang rentan terkena narkoba.
Salah satunya remaja sangat mudah dipengaruhi kawan, rasa ingin tahu dan ingin coba-coba
dapat mendorong mereka terjerumus dan terjebak oleh NAPZA.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi:

Oleh Karena permasalahan yang terjadi di atas, maka diadakan kegiatan penyuluhan dengan
materi bahaya NAPZA di kalangan remaja sebagai salah satu upaya promosi kesehatan. Pada
penyuluhan tersebut, diuraikan tentang definisi, jenis-jenis NAPZA, bahaya NAPZA, dan upaya
menghindari NAPZA.

Para remaja sangat penting untuk diberi penjelasan yang terus-menerus bahwa narkoba tidak
hanya membahayakan kesehatan fisik dan jiwa, namun juga akan berdampak buruk terhadap
kesempatan mereka untuk bisa terus belajar, mengoptimalkan potensi akademik dan
kehidupan yang layak dimasa depan. Untuk dapat menghindari napza, remaja diberi dorongan
untuk mengikuti kegiatan-kegiatan anti narkoba di sekolah atau mengikuti organisasi yang
bersifat positif yang memiliki arah dan tujuan yang jelas untuk mengembangkan dan
menyalurkan bakat dan minat. Banyak organisasi yang bersifat positif yang dapat diikuti
kalangan siswa, seperti OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), Sanggar Seni, Pramuka, Kelompok
Pencinta Alam, PMR (Palang Merah Remaja), dsb. Semua organisasi yang disediakan itu dapat
diikuti oleh siswa sesuai dengan bakat dan minatnya.

Selain itu, sangat diperlukan keikutsertaan orang tua dalam upaya menghindari NAPZA karena
sikap orangtua memegang peranan penting dalam membentuk keyakinan akan penggunaan
narkoba pada anak-anak. Strategi untuk mengubah sikap keluarga terhadap penggunaan
narkoba termasuk memperbaiki pola asuh orangtua dalam rangka menciptakan komunikasi dan
lingkungan yang lebih baik di rumah.

Pelaksanaan :

Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 06 Maret 2021. Bertempat di Posyandu Remaja
Anatapura Besusu Timur. Dimulai Pukul 16.00 WITA-Selesai.

1. Tahap Perkenalan dan Penggalian Pengetahuan Peserta

Acara dibuka dengan perkenalan diri kemudian menyampaikan maksud dan tujuan dari
penyuluhan. Selanjutnya memberi pertanyaan pembuka untuk menilai tingkat pengetahuan
peserta (pretest) tentang materi penyuluhan yang akan disampaikan.

2. Tahap Penyajian Materi


Materi penyuluhan disajikan dengan metode ceramah dan dialog interaktif. Penyuluhan
dilakukan di dalam ruang kelas selama 15 menit dilanjutkan dengan sesi diskusi.

Monitoring & Evaluasi :

1. Evaluasi Struktur

Persiapan kegiatan penyuluhan dilakukan beberapa hari sebelumnya. Materi dan alat bantu
penyuluhan dibuat dan dipersiapkan untuk mempermudah jalannya penyuluhan.

2. Evaluasi Proses

Dokter bersama tim promkes dari Puskesmas tiba di posyandu remaja pada pukul 16:20 WITA
Peserta yang hadir kurang lebih 20 orang. Penyuluhan berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Namun tingkat pengetahuan peserta masih kurang mengenai materi penyuluhan sebelum
diadakannya penyuluhan.

3. Evaluasi Hasil

Hampir sebagian besar remaja yang hadir kurang mengetahui materi penyuluhan yang akan
disampaikan. Namun setelah penyuluhan, remaja yang hadir cukup antusias untuk berdiskusi
terkait materi penyuluhan.

Judul Laporan :

EDUKASI PROTOKOL KESEHATAN DALAM MASA PANDEMI CORONAVIRUS DISEASE 19 DI


PUSKESMAS SINGGANI

Latar Belakang :

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Severe
Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2 merupakan
coronavirus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada
setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan
gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS). Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan
pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan
masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan
pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian.
Pada tanggal 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus pneumonia yang
tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada tanggal 7 Januari 2020,
China mengidentifikasi kasus tersebut sebagai jenis baru coronavirus. Pada tanggal 30 Januari
2020 WHO menetapkan kejadian tersebut sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang
Meresahkan Dunia (KKMMD)/Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) dan
pada tanggal 11 Maret 2020, WHO sudah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi.
Berkaitan dengan kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular, Indonesia telah memiliki
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penangulangan Wabah Penyakit Menular, dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat
Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan. Untuk itu dalam rangka upaya
penanggulangan dini wabah COVID-19, Menteri Kesehatan telah mengeluarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/104/2020 tentang Penetapan Infeksi Novel
Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV) sebagai Jenis Penyakit Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan
Upaya Penanggulangannya. Penetapan didasari oleh pertimbangan bahwa Infeksi Novel
Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV) telah dinyatakan WHO sebagai Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD)/Public Health Emergency of International
Concern (PHEIC). Selain itu meluasnya penyebaran COVID-19 ke berbagai negara dengan risiko
penyebaran ke Indonesia terkait dengan mobilitas penduduk, memerlukan upaya penanggulangan
terhadap penyakit tersebut.
Peningkatan jumlah kasus berlangsung cukup cepat, dan menyebar ke berbagai negara dalam
waktu singkat. Sampai dengan tanggal 9 Juli 2020, WHO melaporkan 11.84.226 kasus konfirmasi
dengan 545.481 kematian di seluruh dunia (Case Fatality Rate/CFR 4,6%). Indonesia melaporkan
kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020. Kasus meningkat dan menyebar dengan cepat di
seluruh wilayah Indonesia. Sampai dengan tanggal 9 Juli 2020 Kementerian Kesehatan
melaporkan 70.736 kasus konfirmasi COVID-19 dengan 3.417 kasus meninggal (CFR 4,8%).
Permasalahan :

Dilihat dari situasi penyebaran COVID-19 yang sudah hampir menjangkau seluruh wilayah
provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian semakin meningkat dan
berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta
kesejahteraan masyarakat di Indonesia, Pemerintah Indonesia telah menetapkan Keputusan
Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19). Keputusan Presiden tersebut menetapkan COVID-19 sebagai
jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) dan menetapkan
KKM COVID-19 di Indonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selain itu, atas pertimbangan penyebaran COVID-19 berdampak
pada meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda, meluasnya cakupan wilayah
terdampak, serta menimbulkan implikasi pada aspek sosial ekonomi yang luas di Indonesia, telah
dikeluarkan juga Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana
Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.
Terjadi peningkatan kasus COVID-19 di Kabupaten Poso setelah dinyatakan “New Normal”
sesuai kebijakan pemerintah, dan masih rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai Pandemi
COVID-19, serta protokol pencegahannya.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka diadakan edukasi protokol
kesehatan terkait Coronavirus Diseases 2019 (COVID-19) di Puskemas Singgani

Pelaksanaan :

Penyuluhan mengenai edukasi protokol kesehatan terkait Coronavirus Diseases 2019 ini
dilaksanakan pada tanggal 19 Maret 2021. Penyuluhan ini bertempat di Puskesmas Singgani

Edukasi dilakukan saat waktu tunggu pasien di area tunggu dan berdasarkan jumlah kunjangan
per hari, jarak duduk setiap pasien disesuaikan dengan aturan protokol kesehatan.
Monitoring & Evaluasi :

1. Kesimpulan

Kegiatan berjalan dengan baik, warga kooperatif dan menyimak materi dengan baik selama
kegiatan berlangsung. Namun, masih terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan kegiatan
ini, diantaranya paradigma di masyarakat yang berasumsi bahwa covid-19 tidak ada hanya
terkait isu politik-ekonomi, serta teori konspirasi.

2. Saran

Diharapkan kedepanya, penyuluhan ini tetap dijalankan dan mendapat dukungan yang baik dari
elemen-elemen masyarakat terutama di area wialayah kerja puskesmas singgani.

Judul Laporan :

PENYULUHAN BAHAYA ROKOK DI POSYANDU REMAJA NAROSO BESUSU TENGAH

Latar Belakang :

Manusia telah lama menggunakan tembakau, tetapi pengaruh negatif mengkonsumsi rokok
baru dirasakan belakangan ini. Masyarakat telah percaya bahwa tembakau tidak merugikan
kesehatan dan perokok yang telah mengalami kecanduan bahkan memandangnya sebagai
sesuatu yang dapat memberi ketenangan. Seiring dengan makin maraknya pengguna/perokok,
isu asap rokok dan perokok telah menjadi permasalahan nasional bahkan internasional, apalagi
didukung oleh industri rokok yang semakin giat menggalakkan kegiatan ekonomi secara
langsung maupun tidak langsung, mulai dari hulu (agrobisnis tembakau, cengkeh, dan
sebagainya), ke arah samping (industri kertas, cetakan, kemasan, dan sebagainya), ke arah hilir
(aktifitas promosi dan pemasaran). Merokok merupakan penyebab utama terbesar kematian
yang sulit dicegah dalam masyarakat. Pada tahun 1950, setiap tahun hanya ada sekitar 300.000
kematian akibat kebiasaan merokok. Angka ini melonjak menjadi 1 juta kematian pada tahun
1965; 1,5 juta pada tahun 1975, dan menjadi 3 juta pada tahun 1990-an. Dari 3 juta kematian
tersebut, 2 juta diantaranya terjadi di negara-negara maju dan sisanya (33,3%) terjadi di
negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Menurut Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau F.A.Moeloek, bahwaIndonesia


merupakan negara perokok terbesar di lingkungan negara-negara ASEAN. Hal ini berdasarkan
data dari The ASEAN Tobacco Control Report Tahun 2007, yang menyebutkan bahwa jumlah
perokok di ASEAN mencapai 124.691 juta orang dan Indonesia menyumbang perokok terbesar,
yakni 57.563 juta orang atau sekitar 46,16, persen. Pada tahun 2008, Badan Kesehatan Dunia
(WHO) telah menetapkan Indonesia sebagai negara terbesar ketiga sebagai pengguna rokok.
Lebih dari 60 juta penduduk Indonesia mengalami ketidakberdayaan akibat dari adiksi nikotin
rokok, dan kematian akibat mengkonsumsi rokok tercatat lebih dari 400 ribu orang per-tahun
(Kompas, 2010).

Kebiasaan merokok telah terbukti merupakan penyebab terhadap kurang lebih 25 jenis
penyakit yang menyerang berbagai organ tubuh manusia. Penyakit-penyakit tersebut antara
lain adalah kanker mulut, esophagus, faring, laring, paru, pankreas, dan kandung kemih. Juga
ditemukan penyakit paru obstruktif kronis dan berbagai penyakit paru lainnya, yaitu penyakit
pembuluh darah. Apalagi kalau kebiasaan merokok ditambah lagi dengan meminum alkohol.
Berbagai temuan ilmiah menunjukkan bahwa menghentikan kebiasaan merokok amat baik
pengaruhnya terhadap pencegahan terjadinya penyakit-penyakit yang telah diuraikan
terdahulu.

Kebiasaan merokok juga membawa pengaruh buruk terhadap kebiasaan (habits) paraindivid,
akan tetapi tidak berpengaruh erat dengan pembentukan kepribadian seseorang.Sifat rokok
yang menyebabkan kecanduan (adiktif) secara permanen yang menyebabkan kebiasaan
merokok menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk dihilangkan. Kebiasaan merokok
menyebabkan seseorang menjadi lebih egois, hal ini dapat ditunjukkan dengan kebiasaan
merokok didepan umum atau diruang publik. Perokok mengabaikan aturan-aturan (norma)
dilarang merokok ditempat umum. Kebiasaan ini sangat merugikan kesehatan orang lain karena
menjadikan orang lain sebagai perokok pasif yang jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan
perokok aktif. Resiko terkena penyakit lebih besar pada perokok pasif karena mereka tidak
mempunyai filter dalam menyerap seluruh asap rokok yang dikeluarkan perokok aktif.

Kebiasaan mengisap rokok dapat disebabkan karena beberapa pengaruh, antara lain:

1)Pengaruh orangtua, dimana salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa
anakmuda yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua tidak
begitumemperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik yang keras, akan lebih
mudahuntuk menjadi perokok dibandingkan anak-anak muda yang berasal dari lingkungan
rumahtangga yang bahagia karena rokok dianggap mampu menghilangkan persoalan yang
merekahadapi. Selain itu kebiasaan orang tua merokok dalam lingkungan rumah juga dapat
menjadicontoh langsung bagi anak-anak untuk mengikuti pola hidup orang tuanya.

2)Pengaruh teman, dimana lingkungan pergaulan remaja akan memberi pengaruh yang sangat
besarterhadap sikap dan perilaku remaja.

3)Faktor kepribadian, dimana orang mencoba untukmerokok karena alasan ingin tahu, ingin
melepaskan diri dari rasa sakit, ingin membebaskandiri dari kebosanan, atau ingin dianggap
sebagai pria dewasa.

4)Pengaruh Iklan, dimanaiklan-iklan di media massa dan elektronik menampilkan gambaran


dengan sangat jelasbahwa perokok adalah lambang kejantanan dan glamour, membuat remaja
seringkaliterpicu untuk mengikuti perilaku dalam iklan tersebut (Baer & Corado dalam Atkinson,
1999).

Permasalahan :

Akibat buruk kebiasaan merokok bagi kesehatan telah banyak di bahas. Hasil penelitiandi
Inggris menunjukkan bahwa kurang lebih 50% para perokok yang merokok sejak remaja akan
meningggal akibat penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok. Kebiasaan
merokok telah terbukti berhubungan dengan kurang lebih 25 jenis penyakit dari berbagai organ
tubuh manusia.
Penyakit tersebut, antara lain: kanker mulut, esophagus, faring, laring, paru, pancreas, kandung
kemih, dan penyakit pembuluh darah. Hal itu dipengaruhi pula oleh kebiasaan meminum
alkohol serta factor lain. (Aditama, 1995).

Merokok merupakan penyebab 87% kematian akibat kanker paru. Pada wanita, kanker paru
melampaui kanker payudara yang merupakan penyebab utama kematian akibat kanker. Hal ini
disebabkan karena dalam tiga decade terakhir ini, jumlah wanita yang merokok semakin
bertambah banyak. Merokok saat ini juga dianggap menjadi penyebab dari kegagalan
kehamilan, meningkatnya kematian bayi, dan penyakit lambung kronis.Merokok dapat
mengganggu kerja paru-paru yang normal karena hemoglobin lebih mudah membawa
karbondioksida membentuk karboksihemoglobin daripada membawa oksigen.

Orang yang banyak merokok (perokok aktif) dan orang yang banyak mengisap asap rokok
(perokok pasif), dapat berakibat paru-parunya lebih banyak mengandung karbon monoksida
dibandingkan oksigen sehingga kadar oksigen dalam darah kurang lebih 15% daripada kadar
oksigen normal.

Penanggulangan masalah rokok memerlukan kerjasama yang baik dari semua pihak.Negara
yang mempunyai program penanggulangan rokok adalah Australia, Kanada, Finlandia, Perancis,
Hongkong, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, Sudan, dan Thailand. (Aditama, 1995).
Upaya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan harga rokok dengan menaikkan pajak rokok.
Tingginya pajak rokok dapat mempengaruhi kegiatan merokok dari golongan anak-anak dan
remaja serta perokok dari golongan menengah kebawah. Upaya lain adalah memasang
peringatan pada bungkus rokok. Peringatan untuk tidak merokok diberlakukan pada
lingkungan-lingkungan tertentu, seperti lingkungan sekolah, gedung pemerintah, fasilitas
kesehatan, atau dalam penerbangan tertentu. Mendirikan klinik berhenti merokok, seperti
Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, dan lain-lain.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi:

Oleh karena permasalahan diatas, maka kami bermaksud mengadakan penyuluhan kepada
remaja mengenai bahaya rokok, sehingga dapat mengetahui dan memahami bahaya rokok bagi
kesehatan dan kemudian membagikan ilmu yang telah didapat ke kerabat sekitar sehingga
diharapkan dapat menciptakan kesadaran massal terhadap bahaya rokok bagi kesehatan.
Selama penyuluhan juga diajarkan kiat-kiat bagaimana cara bagi perokok aktif untuk berhenti
merokok.

Pelaksaan :

Penyuluhan diadakan di Posyandu Remaja Naroso Besusu Barat dan dilaksanakan pada tanggal
13 Maret 2021. Pukul Kegiatan 16:00 WITA-Selesai.

Jumlah Remaja yang mengikuti kegiatan penyuluhan yaitu 25 orang, Penyuluhan dilakukan
melalui penyampaian materi secara langsung dan menggunakan power point. Materi
penyuluhan yang disampaikan berupa pengertian rokok, kandungan asap rokok, efek yang
ditimbulkan asap rokok bagi organ, penyakit yang dapat ditimbulkan akibat merokok, kiat-kiat
untuk lepas dari kebiasaan merokok, setelah penyampaian materi, dilanjutkan dengan sesi
tanya jawab.

Selama proses penyampaian materi, remaja yang hadir sangat antusias dalam mendengarkan
materi penyuluhan dan aktif dalam sesi tanya jawab, apalagi beberapa remaja yang hadir
ternyata ada yang mantan prokok aktif dan atau memiliki anggota keluarga perokok, dengan
diadakannya penyuluhan ini sangat memberikan banyak pengetahuan dan meningkatkan
kesadaran baik diri sendiri maupun orang disekitar mereka untuk sadar akan bahaya rokok bagi
kesehatan diri sendiri dan orang sekitar.

Monitoring & Evaluasi :

Melihat masih kurangnya pengetahuan remaja tentang bahaya rokok bagi kesehatan, maka
perlu diadakan penyuluhan rutin dan dalam bentuk skala yang lebih besar dengan melibatkan
pemerintah setempat bekerja sama dengan pihak puskesmas. Disamping itu selain mengadakan
penyuluhan, perlu pula diadakan aksi nyata dalam menolak kegiatan merokok ditempat-tempat
umum dan di dalam rumah, baik berupa promosi kesehatan melalui media cetak seperti poster
dan iklan hingga aksi nyata dari pemerintah dalam mengurangi jumlah perokok. Sehingga bila
dilihat, penyuluhan ini merupakan langkah awal yang nyata dalam menciptakan lingkungan
udara yang sehat dan bersih dari asap rokok.
Judul Laporan :

PENYULUHAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI KELURAHAN LOLU UTARA

Latar Belakang :

Penyakit demam berdarah dengue ( DBD ) merupakan salah satu penyakit yang sudah populer
dikalangan masyarakat. Penyakit DBD adalah penyakit yang berbahaya karena dapat
menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat dan sering menimbulkan wabah. Setiap
anggota keluarga dalam masyarakat memiliki resiko terserang penyakit ini mulai dari bayi
sampai orang tua. Penyakit DBD ini disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk
aedes aegypti. Nyamuk ini tersebar luas dirumah, sekolah, dan tempat umum lainnya seperti
tempat ibadah, restoran, kantor dan lain- lain.

Indonesia dalam peta wabah demam berdarah dengue ada di posisi yang memprihatinkan.
Dalam jumlah angka kesakitan (morbidity rate) dan kematian (mortality rate) demam berdarah
dengue di kawasan Asia Tenggara, selama kurun waktu 1985-2004, Indonesia berada di urutan
kedua terbesar setelah Thailand (WHO 2004).

Sampai sekarang belum ada vaksin untuk pencegahan penyakit DBD dan belum ada obat-
obatan khusus untuk penyembuhannya, dengan demikian pengendalian DBD tergantung pada
pemberantasan nyamuk dan memutuskan rantai penularanya itu dengan pengendalian vector.
Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) salah satunya. Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) dilakukan secara rutin terlebih setiap musim jangkitan DBD, kegiatan lain yang bisa
dilakukan yaitu dengan fogging (pengasapan), abatisasi, dan pelaksanaan 3M (menguras,
menutup, dan mengubur).

Dari berbagai kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah dalam rangka pemberantasan Demam
Berdarah Dengue (DBD) hasilnya belum optimal bahkan masih dijumpai Kejadian Luar Biasa
(KLB) yang menelan korban jiwa. Pengetahuan masyarakat di Indonesia pada umumnya relatif
masih sangat rendah, sehingga perlu dilakukan sosialisasi berulang mengenai pencegahan DBD.
Dalam sosialisasi pencegahan DBD, penyuluhan tentang pencegahan DBD harus sering
dilakukan agar masyarakat termotivasi untuk ikut berperan serta dalam upaya-upaya
pencegahan Demam Berdarah (DBD).

Permasalahan :

Bagi sebagian besar warga dengan tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan mengenai
penyakit demam berdarah masih minim. Selain itu status ekonomi menjadi salah satu penyebab
terjadinya penyakit karena pencegahan yang tidak dilakukan secara maksimal.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Berdasarkan masalah di atas, maka diadakan penyuluhan mengenai Demam Berdarah.


Penyuluhan tersebut menggunakan alat penyuluhan berupa pembagian leaflet kepada peserta,
dimana pada penyuluhan ini disampaikan mengenai pengertian demam berdarah, gejala,
pencegahan, serta hal-hal yang dapat diakibatkan oleh penyakit demam berdarah. Sehingga
diharapkan dengan adanya penyuluhan ini tingkat pengetahuan warga terutama orang tua
mengenai penyakit demam berdarah menjadi lebih tinggi sehingga dapat mencegah lebih awal.

Pelaksanaan :

Penyuluhan kesehatan mengenai Demam Berdarah ini dilaksanakan pada 20 Maret 2021,
bertempat di salah satu rumah warga di kelurahan Lolu Utara. Penyuluhan ini diikuti oleh ibu-
ibu dan kader-kader dari kelurahan tersebut. Penyuluhan ini dibawakan dengan pembagian
leaflet bagi peserta kemudian disertai tanya jawab kepada peserta penyuluhan. Selama
penyuluhan, pemateri menyampaikan informasi mengenai pengertian demam berdarah, gejala,
pencegahan, serta hal-hal yang dapat diakibatkan oleh demam berdarah. Kemudian di akhir
sesi, pemateri memberi kesempatan kepada peserta dan kader kesehatan setempat untuk
bertanya seputar materi demam berdarah.

Monitoring & Evaluasi :

Melihat masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pencegahan penyakit demam


berdarah dengue, maka perlu diadakan penyuluhan rutin dan dalam bentuk skala yang lebih
besar dengan melibatkan pemerintah setempat bekerja sama dengan pihak puskesmas.
Disamping itu selain mengadakan penyuluhan, perlu pula diadakan aksi nyata ditempat-tempat
umum dan di dalam rumah, baik berupa promosi kesehatan melalui media cetak seperti poster
dan iklan hingga aksi nyata dari pemerintah dalam mengurangi jumlah warganya yang
menderita demam berdarah dengue.

F2. UPAYA KESEHATAN LINGKUNGAN

Judul Laporan :

KUNJUNGAN RUMAH UNTUK PEMERIKSAAN AIR BERSIH

Latar Belakang :

Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup manusia.Faktor
yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat diantaranya tingkat ekonomi, pendidikan,
keadaan lingkungan dan kehidupan sosial budaya.Faktor yang penting dan dominan dalam
penentuan derajat kesehatan masyarakat adalah keadaan lingkungan. Salah satu komponen
lingkungan yang mempunyai peranan cukup besar dalam kehidupan adalah air.

Air adalah zat yang ada di alam yang dalam kondisi normal berada di atas permukaan bumi
berbentuk cair dan akan membeku pada suhu pada nol derajat Celcius (0°C) dan mendidih pada
suhu seratus derajat Celcius (100°C). Air merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan. Dengan
demikian semakin naik jumlah penduduk maka semakin naik pula laju pertumbuhan dan laju
pemanfaatan sumber-sumber airnya. Beban pengotoran air juga bertambah cepat sesuai
dengan cepatnya pertumbuhan. Sebagai akibatnya saat ini, sumber air tawar dan air bersih
menjadi semakin langka. Karena itu pengelolaan sumber daya air menjadi sangat penting,
pengelolaan sumber daya air ini sebaiknya dilakukan secara terpadu baik dalam pemanfaatan
maupun dalam pengelolaan kualitas.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air yang disebut
sebagai air bersih adalah air yang memenuhi syarat kesehatan dan harus dimasak terlebih
dahulu sebelum diminum Sedangkan yang disebut sebagai air minum adalah air yang melalui
proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat
langsung diminum, seperti yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-Syaratdan Pengawasan Kualitas Air
Minum.

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat berharga, tanpa air tidak mungkin ada
kehidupan di muka bumi ini. Salah satu sumber air yang dapat dimanfaatkan adalah air tanah
atau air sumur Air sumur adalah air tanah dangkal sampai kedalaman kurang dari 30 meter, air
sumur umumnya pada kedalaman 15 meter dan dinamakan juga sebagai air tanah bebas
karena lapisan air tanah tersebut tidak berada di dalam tekanan.Untuk memenuhi kebutuhan
air sumur yang bersih terdapat tiga parameter yaitu parameter fisik yang meliputi bau, rasa,
warna dan kekeruhan.Parameter kedua adalah parameter kimia yang meliputi kimia organik
dan kimia anorganik yang mengandung logam seperti Fe, Cu, Ca dan laini-lain.Parameter ketiga
adalah parameter bakteriologi yang terdiri dari koliform fekal dan koliform total.

Dalam parameter bakteriologi digunakan bakteri indikator polusi atau bakteri indikator sanitasi.
Bakteri indikator sanitasi adalah bakteri yang dapat digunakan sebagai petunjuk adanya polusi
feses dari manusia maupun dari hewan, karena organisme tersebut merupakan organisme yang
terdapat di dalam saluran pencernaan manusia maupun hewan. Air yang tercemar oleh kotoran
manusia maupun hewan tidak dapat digunakan untuk keperluan minum, mencuci makanan
atau memasak karena dianggap mengandung mikroorganisme patogen yang berbahaya bagi
kesehatan, terutama patogen penyebab infeksi saluran pencernaan.

Air memegang peranan penting dalam penularan penyakit infeksi bakteri. Karena air
mengandung bermacam-macam bakteri yang berasal dari berbagai sumber misalnya udara,
tanah, sampah, lumpur, tanaman atau hewan yang telah mati, kotoran manusia atau hewan
dan bahan organik lainnya.

Dalam rangka untuk mengetahui kualitas air sumur agar memenuhi syarat-syarat kesehatan
maka diperlukan syarat-syarat dan pengawasan kualitas air bersih Parameter Satuan
Kadar Maksimum Keterangan Yang Diperbolehkan
Bakteriologi

a. Koliform Fekal Jml/100 ml Sampel 50 -

b. Koliform Total Jml/100 ml Sampel 10 -

Koliform merupakan suatu kelompok bakteri yang digunakan sebagai indikator adanya polusi
kotoran dan kondisi yang tidak baik terhadap air. Koliform dibedakan menjadi dua yaitu
koliform fekal dan koliform total (Anonim, 2003). Untuk mengetahui jumlah koliform dalam
pemeriksaan bakteriologi pada air sumur digunakan metode perhitungan angka paling mungkin
atau nilai Most Probable Number (MPN) dengan metode tabung ganda terhadap koliform fekal
dan koliform total. Pengujian ini dilakukan secara bertahap sehingga metode ini sesuai untuk
dilakukan di laboratorium serta hasil lebih sensitif dan dapat mendeteksi koliform dalam jumlah
yang sangat rendah dalam sampel air Parameter kimia dilakukan dengan mengukur kandungan
logam Fe dan Ca yang menyatakan tingkat kesadahan air. Metoda yang digunakan untuk
penentu kandungan logam tersebut dengan menggunakan AAS (Spektroskopi Serapan Atom)
untuk Fe dan metoda titrasi dengan EDTA untuk menentukan Ca, hal ini dilakukan karena kedua
metoda ini sudah baku untuk menentukan kualitas air minum.

Permasalahan :

Pemeriksaan kandungan air yang layak masih sangat jarang dilakukan. Hal ini membuat akses
air minum yang layak masih sangat sulit untuk didapatkan. Masyarakat belum mendapatkan
akses apakah air minum yang selama ini benar-benar layak atau tidak.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Oleh karena itu tim melakukan pemeriksaan dan pendataan di kelurahan yang ada dalam
cakupan wilayah kerja Puskesmas Singgani Palu. Dalam pemeriksaan ini dilakukan pendataan
rumah tangga dan jumlah penduduk yang telah mendapatkan akses air bersih.

Pelaksanaan :
Pendataan dilaksanakan sepanjang tahun 2021 dengan melaksanakan program pendataan
dengan turun ke lapangan melakukan pemeriksaan kadar air dan akses air minum yang bersih
kepada masyarakat.

Monitoring & Evaluasi :

Dari hasil pemeriksaan yang didapatkan, diketahui pada beberapa daerah akses air minum layak
sudah didapatkan secara menyeluruh oleh seluruh warga kelurahan tetapi pada beberapa
tempat masih belum sampai setengah persennya.

1.Kesimpulan

Pada beberapa kelurahan ketersediaan akses air minum yang layak dan berkelanjutan telah
didapatkan oleh seluruh penduduk walaupun terdapat beberapa rumah warga yang tidak
mendapatkan air yang benar-benar bersih.

2.Saran

Sebaiknya pemeriksaan dan pendataan ketersediaan air mium yang layak dan
berkesinambungan dapat dilakukan menyeluruh pada seluruh kelurahan yang ada di wilayah
kerja Puskesmas Singgani Palu

Judul Laporan :

UPAYA PENINGKATAN TARAF KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN PENGGUNAAN JAMBAN


SEHAT

Latar Belakang :

Permasalahan yang dialami Indonesia terkait dengan masalah air minum, hygiene, dan sanitasi
masih sangat besar. Hasil studi Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP) pada
tahun 2006, menunjukkan 47% masyarakat masih berperilaku buang air besar di sungai, sawah,
kebun, dan tempat terbuka. Hanya 37% penduduk pedesaan mempunyai akses ke sanitasi yang
aman menurut laporan Joint Monitoring Program.
Menurut World Bank Water and Sanitation Program pada tahun 2005, buruknya kondisi sanitasi
merupakan salah satu penyebab kematian anak dibawah 3 tahun yaitu sebesar 19% atau sekitar
100.000 anak meninggal karena diare setiap tahunnya dan kerugian ekonomi diperkirakan
sebesar 2,3% dari Produk Domestik Bruto. Kondisi seperti ini dikendalikan melalui intervensi
terpadu melalui pendekatan sanitasi local. Hal ini dibuktikan melalui hasil WHO tahun 2007,
yaitu kejadian diare menurun 32% dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap sanitasi
dasar.

Tantangan pembangunan sanitasi di Indonesia adalah masalah sosial budaya dan perilaku
penduduk yang terbiasa buang air besar (BAB) di sembarang tempat, khususnya ke air yang
digunakan untuk mencuci, mandi, dan kebutuhan higienis lainnya. Oleh karena itu diperlukan
suatu strategi nasional total berbasis masyarakat untuk menambah perilaku higienis dan
peningkatan akses sanitasi. Hal ini sejalan dengan komitme pemerintah dalam mencapai target
Millenium Development Goal’s (MDGs) tahun 2015, yaitu meningkatkan akses air minum dan
sanitasi dasar secara berkesinambungan kepada separuh dari proporsi penduduk yang belum
mendapatkan akses.

Jamban sehat adalah pembuangan tinja yang efektif untuk memutus mata rantai penularan
penyakit. Untuk mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan maka pembuangan kotoran
manusia harus dikelola dengan baik. Suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan bila
memenuhi persyaratan sebagai berikut : tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban
tersebut, tidak mengotori air permukaan di sekitarnya, tidak dapat terjangkau oleh serangga
terutama kecoa dan lalat, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara, sederhana
desainnya, murah, dan dapat diterima pemakainya.

Teknologi pembuangan kotoran manusia untuk daerah pedesaan sudah tentu berbeda dengan
di perkotaan, oleh karena itu tekonologi jamban di daerah pedesaan harus memenuhi
persyaratan jamban sehat seperti yang tersebut diatas. Terdapat dua jenis jamban yang sering
kita temui di masyarakat pedesaan, yaitu jenis cemplung dan leher angsa. Disebut cemplung
karena kotoran tanpa melewati penghalang dari udara luar, hal itu memungkinkan hewan
seperti lalat dan kecoa keluar masuk dari penampung kotoran. Jenis leher angsa merupakan
jenis yang paling direkomendasikan, karena pada jenis ini terdapat genangan air yang berfungsi
untuk mencegah hewan masuk dan keluar dari penampungan kotoran.

Permasalahan :

a. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak BAB di sembarang tempat

b. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai jamban sehat

c. Kurangnya kepemilikan jamban sehat oleh masyarakat

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

a.Kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak BAB di sembarang tempat maka pemberian
informasi kepada masyarakat melalui penyuluhan mengenai dampak BAB sembarangan

b.Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai jamban sehat maka pemberian informasi


kepada masyarakat melalui penyuluhan dan menyebarkan leaflet mengenai arti penting jamban
sehat

c.Kurangnya kepemilikan jamban sehat oleh masyarakat maka pemberian informasi kepada
masyarakat melalui penyuluhan langsung dan penyebaran leaflet didampingi pejabat setempat
mengenai strategi pengadaan jamban sehat

Pelaksanaan :

Kegiatan ini dilaksanan pada tanggal 16 Maret 2021. Bertempat di Posyandu Lansia yang
berlangsung pukul 09:00 WITA-Selesai melalui penyuluhan yakni tentang “Fungsi Jamban Sehat
dalam Memutus Mata Rantai Diare”

Monitoring & Evaluasi :

1.Evaluasi Proses

Peserta yang hadir kurang lebih 15 orang. Pelaksanaan penyuluhan berjalan sebagaimana yang
diharapkan dimana peserta memperhatikan materi yang disampaikan dan sebagian besar
peserta aktif melontarkan pertanyaan.
2.Evaluasi Hasil

Tujuan akhir dalam kegiatan penyuluhan ini adalah agar proses transfer informasi dapat terjadi,
dan adanya respon timbal balik dari peserta penyuluhan terhadap materi penyuluhan.

Judul Laporan:

PENCEGAHAN DBD DENGAN LANGKAH 3M

Latar Belakang :

Demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue Hemmorhargic Fever (DHF) adalah penyakit
infeksi akibat virus dengue yang termasuk dalam kelompok B Arthropod Borne Virus
(Arboviroses). Virus ini mempunyai 4 jenis serotipe yang akan masuk ke tubuh manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti betina dan beberapa spesies lain. Demam Berdarah Dengue
(DBD) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Penyakit
dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi ini ditemukan pertama kali pada tahun 1950an di
Filipina dan Thailand. Saat ini DBD merupakan penyakit yang dapat dijumpai di sebagian besar
negara di Asia. Sebagian besar kasus DBD menyerang anak-anak. Angka fatalitas kasus DBD
dapat mencapai lebih dari 20%, namun dengan penanganan yang baik dapat menurun hingga
kurang dari 1%.

Demam Berdarah dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 30 tahun
terakhir dan telah menyebar di seluruh provinsi. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun
2010, terlihat bahwa pada pola penyakit terbanyak pasien rawat inap di seluruh wilayah di
Indonesia, DBD masuk kedalam urutan kedua dengan jumlah kasus pada laki-laki 30.232 kasus
dan perempuan sebanyak 28.883 kasus. Selain itu, diperoleh jumlah yang meninggal sebanyak
325 orang (CFR sebesar 0,55%). Pada tahun 2011 Provinsi Jawa Tengah menempati urutan
sebelas dengan insidensi rate kasus DBD 7,14 per 100000 penduduk dengan jumlah kasus
demam berdarah sebanyak 2.346 kasus.
Perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara sehingga
berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan
terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan
lainnya. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor
peningkatan mobilitas penduduk yang sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi
menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas.

Penyakit DBD belum ditemukan vaksinnya, sehingga tindakan yang paling efektif untuk
mencegah perkembang biakan nyamuk ini adalah dengan program pemberantasan sarang
nyamuk. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah dalam rangka pemberantasan
Demam Berdarah Dengue (DBD) melalui upaya-upaya pencegahan yang dilakukan secara
berkelanjutan, hasilnya belum optimal bahkan masih dijumpai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang
menelan korban jiwa. Hal ini tentu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan masyarakat
tentang pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD).

Permasalahan :

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dilihat bahwa terdapat permasalahan tentang
bagaimana cara meningkatkan pengetahuan masyarakat wilayah Puskesmas Singgani tentang
penyakit Malaria mengenai penyebab, cara penularan, gejala klinis, pengobatan, dan
pencegahannya serta meningkatan kesadaran masyarakat pentingnya menjaga lingkungan
bebas jentik nyamuk dengan cara langkah awal yaitu dengan langkah 3M (Menutup, Menguras,
dan Menutup)

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Laporan ini disusun berdasarkan kejadian DBD yang ada tiap tahun, sehingga perlu dilakukan
penyuluhan.

Metode intervensi yang digunakan dengan tahapan berikut :

1.Memberikan pengetahuan tentang Demam Berdarah mengenai penyebab, cara penularan,


gejala - gejala klinis, pengobatan, dan pencegahannya serta meningkatan kesadaran masyarakat
pentingnya menjaga lingkungan bebas jentik nyamuk dengan cara pencegahan terbentuknya
jentik nyamuk melalui langkah 3M.

2.Memberitahu langkah-langkah pencegahan jentik nyamuk yaitu langkah 3M

Pelaksanaan :

Kegiatan ini dilakukan dengan penyuluhan pada tanggal 12 April 2021. bertempat di Puskesmas
Singgani yang berlangsung pukul 08:30 WITA-Selesai. Kegiatan ini dilaksanakan dengan
penyuluhan mengenai demam berdarah dengue, edukasi cara pembersihan tampungan air, dan
cara mencegah demam berdarah secara umum.

Monitoring & Evaluasi :

Untuk menilai apakah masyarakat memahami intervensi yang diberikan maka perlu adanya
monitoring. Selain itu monitoring juga diperlukan untuk mengetahui apakah masyarakat
menerapkan apa yang sudah diberikan dalam kegiatan sehari-harinya. Monitoring dapat
dilakukan dengan bekerja sama dengan kader, perawat atau tokoh masyarakat desa setempat
untuk selalu dapat mengingatkan dan menggerakkan warga untuk dapat mencegah adanya
DBD di sekitar wilayah kerja Puskesmas Singgani. Secara keseluruhan, intervensi yang diberikan
berjalan cukup baik.

Judul Laporan :

RUMAH SEHAT

Latar Belakang :

Rumah sehat adalah merupakan salah satu sarana untuk mencapai derajat kesehatan yang 
optimum. Untuk memperoleh  rumah  yang sehat ditentukan  oleh  tersedianya  sarana 
sanitasi  perumahan. Sanitasi  rumah adalah  usaha  kesehatan  masyarakat  yang
menitikberatkan  pada pengawasan  terhadap  struktur  fisik  dimana orang  menggunakannya 
untuk tempat  tinggal  berlindung  yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Rumah juga
merupakan salah satu bangunan tempat tinggal yang harus memenuhi kriteria kenyamanan,
keamanan dan kesehatan guna mendukung penghuninya agar dapat bekerja dengan produktif.
Rumah Sehat adalah juga merupakan sebagai sarana atau tempat berlindung dan bernaung
serta tempat untuk beristirahat sehingga menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik,
rohani maupun sosial budaya.
Seperti dikutip dari Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat, Depkes RI, 2007. Maka Secara
umum rumah dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
Dapat Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privacy yang cukup, komunikasi yang sehat
antar anggota keluarga dan penghuni rumah, adanya ruangan khusus untuk istirahat (ruang
tidur), bagi masing-maing penghuni;
Dapat Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan
penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan
tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya
makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang
cukup;
Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan dan ruang  gerak yang
cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu;
Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena pengaruh
luar dan dalam rumah, antara lain persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi bangunan
rumah, bahaya kebakaran dan kecelakaan di dalam rumah;
Rumah yang sehat harus dapat mencegah atau mengurangi resiko kecelakaanseperti terjatuh,
keracunan dan kebakaran (Winslow dan APHA). Beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam
kaitan dengan hal tersebut antara lain :
1. Membuat konstruksi rumah yang kokoh dan kuat;
2. Bahan rumah terbuat dari bahan tahan api;
3. Pertukaran udara dalam rumah baik sehingga terhindar dari bahaya racun dan gas;
4. Lantai terbuat dari bahan yang tidak licin sehingga bahaya jatuh dan kecelakaan
mekanis dapat dihindari;
Permasalahan :
Masih banyaknya penyakit dalam masyarakat salah satunya akibat tidak adanya kesadaran
dan pengetahuan masyarakat tentang rumah sehat. Padahal sebetulnya, beberapa penyakit
dapat dicegah bila menerapkan prinsip rumah sehat.
Perencanaan & Pemilihan Intervensi :
Oleh Karena permasalahan yang terjadi di atas, maka diadakan kegiatan mengunjungi rumah
warga serta memberi penyuluhan tentang rumah sehat.

Pelaksanaan :

Pengunjungan rumah warga dilaksanakan pada tanggal 03 April 2021 dengan turun ke lapangan
melakukan pemeriksaan rumah warga apakah sudah sesuai dengan kriteria rumah sehata atau
belum serta memberi edukasi tentang manfaat dan kriteria rumah sehat.

Monitoring & Evaluasi :

Untuk menilai apakah masyarakat memahami intervensi yang diberikan maka perlu adanya
monitoring. Selain itu monitoring juga diperlukan untuk mengetahui apakah masyarakat
menerapkan apa yang sudah diberikan dalam kegiatan sehari-harinya. Monitoring dapat
dilakukan dengan bekerja sama dengan kader, perawat atau tokoh masyarakat desa setempat
untuk selalu dapat mengingatkan dan menggerakkan warga untuk menerapkan prinsip rumah
sehat di sekitar wilayah kerja Puskesmas Singgani. Secara keseluruhan, intervensi yang
diberikan berjalan cukup baik.

Judul Laporan :

MELAKUKAN KUNJUNGAN RUMAH UNTUK PEMERIKSAAN JENTIK BERKALA

Latar Belakang :

Dengue adalah penyakit virus mosquito borne yang persebarannya paling cepat. Dalam lima
puluh tahun terakhir, insidensi penyakit meningkat tiga puluh kali dan menyebar secara
geografis ke negara yang sebelumnya belum terjangkit. Dari 2,5 miliar orang yang beresiko
tertular, sekitar 1,8 miliar tinggal di negara-negara Asia Tenggara dan regio Pasifik Barat.1,3,4
Negara yang memiliki kerentanan terhadap serangan endemis dengue antara lain Indonesia,
Malaysia, Thailand dan Timor Leste. Hal ini disebabkan karena cuaca yang tropis dan masih
merupakan area equatorial dimana Aedes aegepty menyebar di seluruh daerah tersebut.

Pada tahun 2009, kasus Demam Berdarah di wilayah Indonesia mencapai 150 juta kasus yang
mana hal ini menempatkan Indonesia menjadi negara dengan kasus DBD tertinggi di ASEAN.
DBD disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Laju perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti
yang cukup cepat merupakan salah satu penyebab penyakit DBD di Indonesia sulit diberantas.
Nyamuk seringkali berkembang biak di tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan,
drum, barang bekas, pot tanaman air dan lain sebagainya. Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi segala dampak yang bisa ditimbulkan nyamuk, masyarakat umum perlu
mengetahui jenis, kehidupan, permasalahan yang disebabkan oleh nyamuk bahkan
pengetahuan mengenai kepadatan jentik nyamuk sebagai langkah awal pencegahan terhadap
dampak buruk akibat serangga (khususnya nyamuk) bagi kesehatan. Kegiatan pemantauan
jentik nyamuk untuk mengetahui kepadatan jentik merupakan salah satu upaya yang harus
dilakukan guna menurunkan kejadian penyakit yang disebabkan oleh nyamuk. Dengan berbekal
pengetahuan inilah masyarakat secara mandiri dapat melakukan upaya pengendalian jentik
nyamuk.

Permasalahan :

Menurut data WHO 1955-2007, didapatkan lima puluh juta infeksi Dengue setiap tahunnya dan
terdapat 2,5 miliar orang yang hidup di negara endemis. Insiden demam berdarah dengue di
Indonesia termasuk tinggi. Jumlah penderita pada tahun 2004 periode Januari-April di 188
kabupaten/kota dari 12 provinsi sebanyak 53.719 kasus, 590 diantaranya meninggal dunia.
Adapun ke 12 provinsi tersebut adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Banten, DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali,
Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Kasus demam berdarah dengue di wilayah kerja Puskesmas Amparita masih merupakan
permasalahan yang jelas. Hal ini terlihat dengan jumlah penderita DBD yang terkesan
meningkat di musim pancaroba maupun di musim hujan, baik yang rawat jalan maupun rawat
inap. Insiden tertinggi yakni anak-anak. Sanitasi lingkungan yang tidak memadai dan daya tahan
tubuh yang rendah saat musim hujan terutama pada anak-anak masih menjadi salah satu
penyebab tingginya kunjungan pasien DBD di wilayah kerja Puskesmas Amparita.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Oleh karena permasalahan yang terjadi diatas, maka diadakan kegiatan intervensi DBD dengan
melakukan kunjungan rumah untuk melakukan pemeriksaan jentik pada beberapa rumah
warga yang positif terkena penyakit DBD dan disekitarnya.

Pelaksanaan :

Kegiatan ini dilakukan dengan kunjungan rumah pada tanggal 17 April 2020. Dokter dan
Pegawai Puskesmas bagian kesling menilai dari tampungan air dari rumah apakah terdapat
jentik atau tidak. Kunjungan ini disertai dengan penyuluhan mengenai demam berdarah
dengue, edukasi cara pembersihan tampungan air, dan cara mencegah demam berdarah secara
umum.

Monitoring & Evaluasi :

•Evaluasi Struktur

Dokter dan petugas puskesmas lainnya datang tepat waktu dimana masyarakat pun bersedia
dilakukan kunjungan pada rumahnya setelah mendapatkan penjelasan mengenai manfaat dan
tujuan kegiatan ini.

•Evaluasi Proses

Pada kegiatan ini, jumlah rumah yang dikunjungi sebanyak 20 rumah. Pelaksanaan kunjungan
rumah berjalan sebagaimana yang diharapkan, dimana masyarakat bersedia dilakukan
kunjungan rumah dan menunjukkan tempat-tempat penampungan air disetiap rumah.

•Evaluasi Hasil

Seluruh rumah yang dikunjungi mendapat antusias baik dari warga bahkan warga dengan
semangat mendapatkan edukasi tentang penyakit demam berdarah dan pencegahannya. Dari
hasil pantauan 20 rumah yang dikunjungi, 10 rumah diantaranya didapatkan jentik nyamuk
pada penampungan air. Masyarakat juga mendapatkan edukasi tentang pencegahan penyakit
demam berdarah dan koperatif untuk tindak lanjut pencegahan penyakit demam berdarah.

F3. UPAYA KESEHATAN IBU & ANAK SETRA KB

Judul Laporan :

PELAYANAN ANTENATAL CARE

Latar Belakang :

Antenatal Care (ANC) merupakan pelayanan pemeriksaan kesehatan rutin ibuhamil untuk
mendiagnosis komplikasi obstetri serta untuk memberikan informasitentang gaya hidup,
kehamilan dan persalinan (Backe et al, 2015).

Setiap ibuhamil sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ANC komprehensif


yangberkualitas minimal 4 kali yaitu minimal 1 kali pada trimester pertama (sebelumusia
kehamilan 14 minggu), minimal 1 kali pada trimester kedua (usia kehamilan14-28 minggu) dan
minimal 2 kali pada trimester ketiga (28-36 minggu dansetelah 36 minggu usia kehamilan)
termasuk minimal 1 kali kunjungan diantarsuami atau anggota keluarga. Kunjungan pertama
ANC sangat dianjurkan padausia kehamilan 8-12 minggu (Backe et al, 2015; Kemenkes RI, 2015;
PMK 97,2014).

Pada tahun 2015, hampir seluruh ibu hamil (95,75%) di Indonesia sudahmelakukan
pemeriksaan kehamilan pertama (K1) dan 87,48% ibu hamil sudahmelakukan pemeriksaan
kehamilan lengkap dengan frekuensi minimal 4 kalisesuai ketentuan tersebut (K4) (Kemenkes
RI, 2016).

Tujuan dari pemeriksaan ANC salah satunya adalah mempersiapkan wanitadalam menghadapi
persalinan (NICE, 2012). Kesiapan persalinan adalahperencanaan awal dan persiapan
melahirkan yang bertujuan untuk membantuperempuan, suami dan keluarga agar siap untuk
melahirkan dengan membuatrencana menghadapi komplikasi dan hal tak terduga (FCI, 2016;
WHO, 2006).

Kesiapan persalinan dapat dinilai di enam level yaitu level individu perempuan,suami atau
keluarga, lingkungan, tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan dankebijakan. Pada level individu,
perempuan hamil dan suaminya dapatmempersiapkan persalinan dan menghadapi komplikasi
dengan mengenal tanda tanda bahaya yang mengindikasikan komplikasi yang mengancam jiwa
ibu danbayi, mengidentifikasi penolong persalinan terlatih dan tempat persalinan,menyediakan
tabungan dan mengatur transportasi, sedangkan pada level keluargadan lingkungan dapat
mengidentifikasi pendonor darah (JHPIEGO, 2004; WHO,2006). Seorang wanita yang telah
mempersiapkan keenam unsur kesiapanpersalinan yang telah di jelaskan WHO dikategorikan
siap dan sebaliknya bilamempersiapkan kurang dari keenam unsur kesiapan persalinan
dikategorikantidak siap (Gitonga, 2014).

Permasalahan :

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masih rendahnya wanita yang dikategorikan siap
dalam kesiapan persalinan (Mutreja dan Kumar, 2015;

Bintabara et al, 2015). Menurut Gebre et al (2015) salah satu faktor yangmendorong kesiapan
persalinan adalah kunjungan ANC. Terdapat proporsikesiapan yang lebih tinggi pada wanita
yang melakukan kunjungan ANC 4 kaliatau lebih dibandingkan yang melakukan kunjungan ANC
kurang dari 4 kali(Bintabara et al, 2015; Gitonga, 2014).

Penyebab utama kematian neonatal di 20 negara dengan kematian ibu dan kematian bayi
teratas di dunia, termasuk salah satunya Indonesia yaitu berat lahir rendah/ prematuritas
(35,5%), asfiksia (24,3%) dan infeksi (22,7%) (ICM et al, 2016). Untuk Indonesia sendiri, 35,9%
kematian neonatal disebabkan oleh gangguan/ kelainan pernapasan termasuk asfiksia
(Kemenkes RI, 2010a). Rata-rata kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR) secara Nasional tahun
2013 sebesar 10,2% dan untuk provinsi Sumatera Barat adalah 7,3% (Kemenkes RI, 2014).

Kematian neonatal di kota Padang pada tahun 2015 tercatat bahwa 32% disebabkan oleh
asfiksia dan 26,8 % oleh karena BBLR. Dari semua bayi yang ditimbang pada tahun 2015 di kota
Padang, ditemukan 371 (2,2%) bayi BBLR dan jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang
hanya 1,7%. Peningkatan kasus BBLR yang signifikan terlihat di wilayah kerja Puskesmas
Seberang Padang yaitu dari 1,45 pada tahun 2014 menjadi 9,3% pada tahun 2015 (Dinkes,
2016; Dinkes, 2015).

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Oleh karena latar belakang di atas, maka diperlukan suatu upaya antenatal care secara
menyeluruh dan teliti pada setiap ibu hamil yang bertempat tinggal disekitar wilayah kerja
Pusekesmas Singgani Palu, serta pemeriksaan penunjang jika diperlukan.

Pelaksanaan :

Telah dilakukan kegiatan antenatal care di poli KIA setiap hari selama jam kerja puskesmas,
meliputi menimbang berat badan setiap kali kunjungan dan dicatat ,mengukur tekanan
darah,nilai status gizi dengan pengukuran Lingkar Lengan Atas(LILA), ninggi fundus
uteri (puncak rahim): memantau perkembangan janin, pemberian imunisasi TT (Tetanus
Toksoid), mentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ), pemberian Tablet zat besi,
test Laboratorium (penyakit sifilis, Hepatitis B dan HIV), tatalaksana kasus dan temu
wicara (konseling) , termasuk perencanaan persalinan.

Monitoring & Evaluasi :

Pasien dianjurkan untuk kontrol kembali bulan depan jika vitamin habis atau jika ada keluhan.
Minimal 4x kunjungan selama kehamilan.

Judul Laporan :

PEMBERIAN TABLET ZAT BESI PADA IBU HAMIL

Latar Belakang :
Zat besi merupakan mikro elemen esensial bagi tubuh yang diperlukan dalam sintesa
hemoglobin. Mengkonsumsi tablet Fe sangat berkaitan dengan kadar hemoglobin pada ibu
hamil. Anemia defesiensi zat besi yang banyak dialami ibu hamil disebabkan oleh kepatuhan

mengkonsumsi tablet Fe yang tidak baik atau pun cara mengkonsumsi yang salah sehingga
menyebabkan kurangnya penyerapan zat besi pada tubuh ibu (Yenni, 2007).

WHO (2010), menyatakan 40% kematian di negara berkembang berkaitan dengan anemia
dalam kehamilan. Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi zat besi dan
perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi. Anemia merupakan

masalah kesehatan masyarakat terbesar didunia terutama bagi WUS (Novita, 2012).

Hasil penelitian Chi, dkk (2007), menunjukkan bahwa angka kematian ibu adalah 70% untuk ibu-
ibu yang anemia dan 19,7% untuk ibu yang non anemia. Ridwan (2007) menyatakan bahwa
kematian ibu 15-20% secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan anemia.
Anemia pada kehamilan juga berhubungan dengan meningkatnya kesakitan ibu.

Program pencegahan anemia pada ibu hamil di Indonesia, dengan memberikan suplemen
tablet Fe sebanyak 90 tablet selama masa kehamilan. Kebanyakan ibu hamil yang menolak atau
tidak mematuhi anjuran ini karena berbagai alasan. Kepatuhan mengkonsumsi tablet Fe

dikatakan baik apabila ibu hamil mengkonsumsi semua tablet Fe yang

diberikan selama kehamilan. Kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet

Fe merupakan faktor penting dalam menjamin peningkatan kadar

hemoglobin ibu hamil.

Permasalahan :

Anemia memiliki kontribusi yang tinggi terhadap kematian di Indonesia dengan persentase
mencapai 50-70%. Selain itu, ibu hamil yang menderita anemia dapat berdampak terhadap
janin,
seperti bayi lahir prematur, risiko bayi berat lahir rendah (BBLR), kelainan janin, serta
meningkatnya risiko gawat janin.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Oleh karena latar belakang di atas, maka diperlukan suatu upaya pemberian tablet zat besi
pada setiap ibu hamil secara menyeluruh terutama pada ibu hamil dengan usia kehamilan
trimester pertama yang bertempat tinggal disekitar wilayah kerja Pusekesmas Singgani Palu.

Pelaksanaan :

Telah dilakukan pemberian tablet zat besi pada ibu hamil saat pasien datang ke puskesmas
untuk antenatal care di poli KIA setiap hari selama jam kerja puskesmas. Pemberian tablet zat
besi terutama diberikan pada ibu hamil yang usia kehamilan trimester pertama dan ibu hamil
yang memiliki hemoglobin kurang dari normal.

Monitoring & Evaluasi :

Pasien di anjurkan untuk memeriksa hemoglobin pada awal kehamilan dan saat mendekati
tafsiran kelahiran. Pasien juga dianjurkan datang kontrol jika terdapat keluhan lemah, letih,
lesu, lelah, lalai, maupun jika ada riwayat pengeluaran darah.

Judul Laporan :

DETEKSI DINI KANKER SERVIKS DENGAN METODE IVA

Latar Belakang :

Kanker serviks merupakan penyakit kanker perempuan yang menimbulkan kematian terbanyak
akibat penyakit kanker terutama di negara berkembang (Anwar, 2011). Penyakit kanker leher
rahim yang istilah kesehatannya adalah kanker serviks (cervical cancer) merupakan kanker yang
terjadi pada serviks uterus, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu
masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina)
(Purwoastuti dan Walyani, 2015).
Kanker serviks merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh HPV atau Human Papilloma
Virus, mempunyai presentase yang cukup tinggi dalam menyebabkan kanker serviks yaitu
sekitar 99,7% (Tilong, 2012).

Inspeksi Visual dengan Aplikasi Asam Asetat (IVA) yaitu pemeriksaan dengan cara mengamati
dengan menggunakan spekulum, melihat leher rahim yang telah dipulas dengan asam asetat
atau asam cuka (3-5%). Pada lesi prakanker akan menampilkan warna bercak putih yang disebut
aceto white epithelium . Frekuensi Penapisan seorang perempuan yang mendapat hasil tes IVA
negatif harus menjalani penapisan minimal 5 tahun sekali. Mereka yang mempunyai hasil tes
IVA positif dan mendapatkan pengobatan, harus menjalani tes IVA berikutnya enam bulan
kemudian (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Permasalahan :

Secara nasional prevalensi penyakit kanker pada penduduk semua umur di Indonesia tahun
2013 sebesar 1,4‰ atau diperkirakan sekitar 347.792 orang. Penyakit kanker serviks dan
payudara merupakan penyakit kanker dengan prevalensi tertinggi di Indonesia pada tahun
2013, yaitu kanker serviks sebesar 0,8‰ dan kanker payudara sebesar 0,5‰. Jumlah prevalensi
untuk provinsi Jawa Tengah yang terkena kanker serviks yaitu sebesar 1,2‰ diagnosis dokter
dan data estimasi jumlah penderita kanker serviks 19.734 orang.(Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI, 2015).

Kanker serviks bila ditemukan pada stadium dini mempunyai prognosis yang cukup baik.
Namun, upaya skrining di kalangan wanita usia subur biasa dewasa ini terbatas dan belum
mencapai kalangan yang tingkat sosial ekonomi rendah. Metode skrining dengan pap smear
cukup mahal dan memerlukan teknologi yang canggih. Dewasa ini sekarang dikembangkan
metode inspeksi visual dengan menggunakan cuka (Purwoastuti dan Walyani, 2015).

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Oleh karena latar belakang di atas, maka diperlukan suatu upaya deteksi dini kanker serviks
dengan metode IVA pada wanita berusia subur yang sudah menikah secara menyeluruh yang
bertempat tinggal disekitar wilayah kerja Pusekesmas Singgani Palu.
Pelaksaan :

Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 19 April 2021 di Pusekesmas Singgani Palu pukul 08.00
WITA sampai selesai. Pemeriksaan dilakukan pada wanita berusia subur (15-49 tahun) dan
sudah menikah secara menyeluruh yang bertempat tinggal di sekitar wilayah kerja Puskesmas
Singgani Palu. Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengamati dengan menggunakan spekulum,
melihat leher rahim yang telah dipulas dengan asam asetat atau asam cuka (3-5%). Pada lesi
prakanker akan menampilkan warna bercak putih yang disebut aceto white epithelium

Monitoring & Evaluasi :

Frekuensi Penapisan seorang perempuan yang mendapat hasil tes IVA negatif harus menjalani
penapisan minimal 5 tahun sekali. Mereka yang mempunyai hasil tes IVA positif dan
mendapatkan pengobatan, harus menjalani tes IVA berikutnya enam bulan kemudian

Judul Laporan :

PENYULUHAN KELUARGA BERENCANA

Latar Belakang :

Keluarga Berencana (KB) merupakan suatu program pemerintah yang dirancang untuk
menyeimbangkan antara kebutuhan dan jumlah penduduk. Program keluarga berencana
olehpemerintah adalah agar keluarga sebagai unit terkecil kehidupan bangsa diharapkan
menerima Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang berorientasi
padapertumbuhan yang seimbang. Gerakan Keluarga Berencana Nasional Indonesia telah
berumur sangat lama yaitu pada tahun 70-an dan masyarakat dunia menganggap berhasil
menurunkan angka kelahiran yang bermakna. Perencanaan jumlah keluarga dengan
pembatasan yang bisa dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau
penanggulangan kelahiran seperti kondom, spiral, IUD, dan sebagainya.

Adapun beberapa jenis alat kontrasepsi, antara lain :


1.Pil (biasa dan menyusui) yang mempunyai manfaat tidak mengganggu hubungan seksual dan
mudah dihentikan setiap saat. Terhadap kesehatan resikonya sangat kecil.

2.Suntikan (1 Bulan dan 3 Bulan) sangat efektif (0,1-0,4 kehamilan per 100 perempuan) selama
tahun pertama penggunaan. Alat kontrasepsi suntikan juga mempunyai keuntungan seperti
klien tidak perlu menyimpan obat suntik dan jangka pemakaiannya bias dalam jangka panjang.

3.Implan (susuk) yang merupakan alat kontrasepsi yang digunakan dilengan atas bawah kulit
dan sering digunakan pada tangan kiri. Keuntungannya daya guna tinggi, tidak mengganggu
produksi ASI dan pengembalian tingkat kesuburan yang cepat setelah pencabutan.

4.AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) merupakan alat kontrasepsi yang digunakan dalam
rahim. Efek sampingnya sangat kecil dan mempuyai keuntungan efektivitas dengan proteksi
jangka panjang 5 tahun dan kesuburan segera kembali setelah AKDR diangkat.

5.Kondom, merupakan selubung/sarung karet yang dapat terbuat dari berbagai bahan
diantaranya lateks (karet), plastik (vinil) atau bahan alami (produksi hewani) yang dipasang
pada alat vital laki-laki saat berhubungan seksual. Manfaatnya kondom sangat efektif bila
digunakan dengan benar dan murah atau dapat dibeli secara umum.

6.Tubektomi adalah prosedur bedah mini untuk memotong, mengikat atau memasang cincin
pada saluran tuba fallopi untuk menghentikan fertilisasi (kesuburan) seorang perempuan.
Manfaatnya sangat efektif, baik bagi klien apabila kehamilan akan terjadi resiko kesehatan yang
serius dan tidak ada efek samping dalam jangka panjang.

Permasalahan :

KB atau yang disebut keluarga berencana adalah salah satu program pemerintah dalam bidang
kesehatan masyarakat yang ditunjukkan untuk keluarga - keluarga Indonesia. Program ini
ditunjukkan untuk pembatasan jumlah anak untuk membatasi jumlah penduduk Indonesia yang
semakin meningkat. KB (keluarga berencana) juga merupakan upaya mengatur kelahiran anak,
jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan untuk mewujudkan keluarga yang
berkualitas.
Banyak jenis – jenis KB yang terdapat di Indonesia misalnya seperti kontrasepsi tanpa alat (pil
Kb ataupun pemotongan atau pengikatan saluran telur dan sperma) dan kontrasepsi dengan
alat (spiral dan keluarga berencana) , KB juga terbukti aman untuk digunakan bila pemakai
mengerti bagaimana cara menggunakan dan mengatur penggunaan KB tersebut, sehingga KB
sangat aman dan bermanfaat bagi orang tua yang belum ingin memiliki anak ataupun menunda
kehamilan tak terduga.

Tetapi, di Indonesia KB belum efektif digunakan oleh masyarakat di seluruh di Indonesia,


terutama daerah – daerah di pelosok di Indonesia yang belum mengerti atau belum bisa
mendapatkan KB, sedangkan di daerah pelosok atau di desa – desa masih menerapkan banyak
anak, banyak rezeki.

Indonesia memang tidak mewajibkan semua penduduknya untuk harus mengikuti Program KB
(keluarga berencana) ini. Namun, Indonesia hanya sebatas menganjurkannya tanpa aturan yang
jelas. Oleh karena itu, Program ini kurang efektif untuk pengendalian jumlah penduduk
sehingga jumlah penduduk indonesia masih meningkat pesat.

Hanya sebagian orang – orang yang sadar akan masalah kebaikan KB ini, banyak masyarakat
yang belum mengetahui keuntungan dan kegunaan KB, sedangkan KB sangat berguna untuk
menghambat pertumbuhan anak yang banyak dan tidak terkendali. Kurangnya penyuluhan dan
pembelajaran tentang KB di Indonesia membuat masyarakat buta akan pengetahuan tentang
KB tersebut.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Cara dan strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
diadakan kegiatan screening (penjaringan) berupa pemeriksaan ANC di KIA agar dapat
dilakukan deteksi dini terhadap jumlah pertumbuhan penduduk. Upaya deteksi dini ini
diharapkan dapat memberi data awal tentang permasalahan pelaksanaan KB yang dialami ibu-
ibu di wilayah kerja puskesmas Singgani Palu untuk selanjutnya dilakukan intervensi dan
penanganan serta penyuluhan.

Pelaksanaan :
Kegiatan ini dilaksanakan di Poli KIA pada tanggal 6 Maret 2021. Setiap ibu yang datang
menjalani pemeriksaan kesehatan ANC, pemeriksaan berat badan dan tinggi badan kemudian
akan mendapatkan penyuluhan mengenai program keluarga berencana (KB).

Monitoring & Evaluasi :

1.Evaluasi Struktur

Persiapan kegiatan imunisasi dilakukan satu hari sebelumnya. Telah dilakukan koordinasi
dengan Bidan – bidan KIA di Puskesmas Singgani Palu.

2.Evaluasi Proses

Pelaksana kegiatan dilakukan satu kali oleh satu dokter dan bidan-bidan KIA. Kegiatan ini
dilakukan sesuai dengan jadwal ANC yang telah ditentukan oleh Puskesmas Singgani Palu.

3.Evaluasi Hasil

Telah dilakukan penyuluhan mengenai program KB Nasional, dengan mendapatkan respon yang
baik dari peserta dilihat dari antusias peserta dalam mengajukan pertanyaan pada
pemateri/dokter dan bidan.

Judul Laporan :

EDUKASI INISIASI MENYUSU DINI (IMD), KEHAMILAN RESIKO TINGGI DAN UPAYA
PENCEGAHAN KOMPLIKASI

Latar Belakang :

Derajat kesehatan masyarakat yang baik ditandai dengan rendahnya Angka Kematian ibu (AKI)
dan Angka Kematian Bayi (AKB) dan peningkatan status gizi masyarakat. Saat ini kesehatan ibu
dan anak merupakan salah satu prioritas dari program kesehatan nasional. Diharapkan
nantinya terdapat penurunan AKI dan AKB sesuai dengan target nasional MDGs 2015.
Kematian ibu erat kaitannya dengan kehamilan yang berisiko tinggi. Tinginya AKI disebabkan
infeksi 54,49%, hipertensi 23,95%, perdarahan 17,22%, lain lain 4,04%. Masih rendahnya
deteksi dini kehamilan risiko tinggi oleh masyarakat dan masih kurangnya kesiapsiagaan
keluarga dalam rujukan persalinan pada kehamilan risiko tinggi merupakan beberapa alasan
tingginya AKI. Kondisi ini menggambarkan derajat kesehatan masyarakat khususnya status
kesehatan ibu masih perlu ditingkatkan terutama di wilayah-wilayah dengan kasus kematian
ibu tinggi. Sedangkan kematian bayi berhubungan erat dengan kesehatan ibu ketika hamil,
proses persalinan yang aman dan status gizi bayi tersebut.
Pemahaman dan pengetahuan yang baik mengenai kehamilan risiko tinggi dan IMD sangat
diperlukan bagi wanita usia subur mengingat pengetahuan yang baik akan mengarahkan pada
tindakan dan kebiasaan-kebiasaan baik yang secara tidak langsung dapat menurunkan AKI
dan AKB. Masyarakat harus memahami pentingnya merencanakan kehamilan dan persalinan
agar ibu selamat dan bayi lahir sehat. Selain itu perlu ditumbuhkan motivasi untuk
melaksanakan berbagai cara untuk merencanakan kehamilan tanpa komplikasi. Terkait
dengan IMD dan ASI Eksklusif, penting bagi masyarakat untuk memahami apa manfaat dari
IMD dan memahami cara serta termotivasi melaksanakan IMD dan ASI Eksklusif untuk
bayinya.
Permasalahan :

Permasalahan yang ditemukan di masyarakat yaitu masih kurangnya tingkat pengetahuan


masyarakat mengenai manfaat dan pentingnya IMD. Selain itu juga masih kurang pemahaman
mengenai kehamilan risiko tinggi dan bagaimana melakukan perencanaan persalinan yang baik
sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi kehamilan dan komplikasi persalinan.
Pemberian penyuluhan IMD dan kehamilan risiko tinggi perlu dilakukan secara rutin dan
berkala agar menjadi edukasi yang baik bagi masyarakat khususnya wanita usia subur dan juga
ibu hamil.
Di masa Pandemi dengan pertimbangan protokol kesehatan, program kegiatan penyuluhan
yang sudah ada jadi terhambat.
Perencanaan dan Pemilihan Intervensi

Penyampaian informasi kepada sasaran yang tepat dan dengan metode yang baik dapat
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat secara umum. Sehingga dalam masa
pandemi, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah edukasi saat kunjungan ibu hamil.
Edukasi kali ini dilakukan pada sasaran seluruh ibu hamil di wilayah kerja puskesmas Mapane.
Kerjasama perlu dilakukan dengan ibu-ibu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), ibu-ibu
kader Desa Mapane dan pengurus Desa Mapane sehingga tercipta kerjasama yang sinergis antar
sektoral.
Dengan terbatasnya jumlah sasaran per kunjungan, sehingga kegiatan direncanakan dilakukan
setiap hari selasa, rabu, jumat, jam pelayanan Poli KIA di puskesmas periode 5 oktober 2020 – 30
januari 2021, dengan harapan seluruh ibu hamil yang datang mendapatkan informasi selama
periode
Media yang diberikan berupa slide berisi informasi penting sehingga dapat menarik perhatian
para peserta dan informasi dapat tersampaikan dengan lebih baik. Materi IMD yang diberikan
pada penyuluhan kali ini antara lain mengenai :
1. Apa yang dimaksud dengan IMD?
2. Bagaimana cara melaksanakan IMD?
3. Apa manfaat IMD bagi bayi?
4. Apa manfaat IMD bagi ibu?
Sedangkan materi mengenai kehamilan risiko tinggi dan upaya pencegahan komplikasi antara
lain mengenai :
1. Siapkan perencanaan persalinan sejak awal kehamilan dibantu oleh kader
PKK
2. Lakukan minimal empat kali kunjungan pemeriksaan ke bidan selama masa
kehamilan
3. Perhatikan gizi dan kesehatan selama kehamilan
4. Pahami cara dan manfaat IMD danASI eksklusif
5. Jaga kebersihan pribadi dan lingkungan
6. Kenali tanda-tanda persalinan
7. Kenali tanda-tanda bahaya kehamilan dan persalinan
8. Rencanakan KB yang akan digunakan setelah persalinan
9. Dapatkan buku KIA
Pelaksanaan
Kegiatan ini dilaksanakan di Poli KIA pada tanggal 1 Maret 2021 – 11 Mei 2021. Setiap ibu yang
datang menjalani pemeriksaan kesehatan ANC, pemeriksaan berat badan dan tinggi badan
kemudian akan mendapatkan edukasi IMD Dan kehamilan resiko tinggi dan upaya pencegahan.
Monitoring & Evaluasi :

Kegiatan edukasi berjalan sepenuhnya berjalan dengan lancar. Edukasi dilakukan oleh dokter
internship dan juga bidan dari bagian Poli KIA Puskesmas Singgani. Dalam kegiatan edukasi kali
ini masih ditemukan beberapa kekurangan, antara lain :
1. Keterbatasan jumlah sasaran, sehingga memerlukan banyak waktu dalam pelaksanaan
2. Efektifitas dari edukasi tidak akan sama seperti program penyuluhan yang ada sebelum
pandemi.
Dengan demikian, tentunya kegiatan edukasi per kunjungan ini diharapkan bisa menjadi
alternatif sementara pengganti program penyuluhan KIA dalam masa pandemi. Semoga
pandemi COVID-19 segera berakhir.

F4. UPAYA PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT

Judul Laporan :

PEMBERIAN SUPLEMEN VITAMIN A PADA BALITA

Latar Belakang :

Vitamin A merupakan zat gizi essensial karena tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus
didapatkan dari sumber di luar. Vitamin A penting untuk kesehatan mata dan mencegah
kebutaan dan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Pada anak yang tercukupi kebutuhan
vitamin A-nya, apabila mereka terkena diare, campak atau penyakit infeksi lainnya, maka
penyakit-penyakit tersebut tidak akan mudah bertambah parah.

Program penanggulangan Vitamin A di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1995 dengan
suplementasi kapsul Vitamin A dosis tinggi, dan untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Pemberian kapsul Vitamin A membantu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian anak
(30-50%). Maka selain untuk mencegah kebutaan, pentingnya vitamin A saat ini lebih dikaitkan
dengan kelangsungan hidup anak, kesehatan dan pertumbuhan anak.

Permasalahan :

Meski kekurangan vitamin A yang berat sudah jarang ditemui, namun kasus kekurangan vitamin
A tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan gejala nyata, masih didapatkan di
lapangan, terutama pada kelompom usia balita. Padahal kekurangan vitamin A tingkat subklinis
ini hanya dapat diketahui dengan memeriksakan kadar vitamin A dalam darah.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Berdasarkan permasalahan di atas, dan untuk mencegah bertambahnya angka defisiensi


vitamin A, maka intervensi yang diberikan adalah dengan tetap melaksanakan program
Suplementasi Vitamin A untuk balita yang dilakukan setiap bulan Februari dan Agustus (Bulan
Kapsul Vitaimin A)

Pelaksanaan :

Kegiatan suplementasi vitamin A dilakukan pada tanggal 05 Mei 2021. Untuk memudahkan
proses pelaksanaan, suplementasi dilakukan bersamaan dengan jadwal posyandu balita.
Bertempat di posyandu Sintuvu Jaya

A. Kapsul Suplementasi Vitamin A

Kapsul Vitamin A yang digunakan dalam kegiatan suplementasi vitamin A adalah kapsul yang
mengandung vitamin A dosis tinggi.

B. Sasaran Suplentasi Vitamin A

• Kapsul biru, untuk bayi usia 6-11 bulan

• Kapsul merah, untuk balita usia 12-59 bulan

C. Waktu Pemberian
Suplementasi Vitamin A diberikan kepada seluruh anak balita umur 6-11 bulan, diberikan pada
bulan Februari atau Agustus. Untuk anak balita umur 12-59 bulan pada bulan Februari dan
Agustus.

D. Tenaga yang memberikan suplementasi Vitamin A

• Tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat, tenaga gizi,dll)

• Kader terlatih

E. Cara pemberian

Sebelum dilakukan pemberia kapsul, tanyakan pada ibu balita apakah pernah menerima kapsul
Vitamin A dalam satu bulan terakhir. Cara pemberian kapsul pada bayi dan anak balita :

• Berikan kapsul biru (100.000 SI) untuk bayi dan kapsul merah (200.000 SI) untuk balita

• Potong ujung kapsul dengan menggunakan gunting bersih

• Pencet kapsul dan pastikan anak menelan semua isi kapsul (dan tidak membuang
sedikitpun isi kapsul)

• Untuk anak yang sudah bisa menelan dapat diberikan langsung satu kapsul untuk
diminum

• Untuk balita yang tidak datang ke Posyandu, vitamin diantar langsung oleh kader ke
rumah balita tersebut.

Monitoring & Evaluasi :

Pemantauan dan evaluasi dilakukan dengan pencatatan kasus xeroftalmia dan gangguan mata
lain akibat defisiensi dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan dan indeks serum retinol
dalam darah.

Judul Laporan :

KEGIATAN PENYULUHAN MENGENAI GIZI BALITA


Latar Belakang :

Gizi adalah suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses
digesti, absobsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak
digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari
organorgan, serta menghasilkan energi.

Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun termasuk bayi usia di bawah satu tahun juga
termasuk dalam golongan ini. Sesuai dengan pertumbuhan badan dan perkembangan
kecerdasannya, balita mengalami perkembangan sehingga jenis makanan dan cara
pemberiannya harus disesuaikan dengan.

Kebutuhan zat gizi pada balita disesuaikan dengan kecukupan gizi yang dianjurkan disesuaikan
dengan kelompok umur dan kemampuan anak menerima makanan yang diberikan. Anak usia di
bawah lima tahun atau Balita termasuk golongan yang mudah kena penyakit. Pertumbuhan dan
perkembangan pada golongan balita dipengaruhi oleh keturunan dan faktor lain yang terkait
seperti faktor lingkungan, penyakit, keadaan gizi dan sosial ekonomi.

Di negara berkembang, kesakitan dan kematian pada anak balita banyak dipengaruhi oleh
status gizi. Dengan demikian status gizi balita perlu dipertahankan dalam status gizi baik,
dengan cara memberikan makanan bergizi seimbang yang sangat penting untuk pertumbuhan.

Menurut data tahun 2006 di Indonesia, jumlah balita yang mengalami gizi buruk mencapai 4,8
juta anak. Pada tahun 2007 ada penurunan, yaitu jumlah balita yang mengalami gizi buruk
mencapai 4,1 juta anak. Dan pada tahun 2008 juga mengalami penurunan dari tahun
sebelumnya, yaitu jumlah balita yang mengalami gizi buruk mencapai 4 juta anak (Depkes,
2008).

Balita sangat tergantung dengan pola asuh orang tua, sehingga pengetahuan ibu berperan
dalam status gizi balita. Pola asuh terhadap anak berpengaruh terhadap timbulnya masalah gizi.
Perhatian cukup dan pola asuh yang tepat akan memberi pengaruh yang besar dalam
memperbaiki status gizi.

Permasalahan :
Sesuai dengan latar belakang di atas bahwa masih banyak balita gizi buruk di Indonesia pada
tahun 200 terdapat 4,8 juta anak mengalami gizi buruk, pada tahun 2007 mengalami
penurunan yaitu 4,1 juta anak dan tahun 2008 juga mengalami penurunan 4 juta anak. Gizi
balita sangat tergantung dengan pola asuh orang tua, sehingga pengetahuan ibu berperan
dalam status gizi balita. Hal ini menyebabkan perlunya untuk memberikan penyuluhan
mengenai gizi balita agar pengetahuan tentang gizi balita semakin meningkat dan terjadi
penurunan gizi buruk di Indonesia.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Dalam mengatasi masalah gizi dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan harus dilakukan secara
komprehensif serta menyeluruh. Cara dan strategi yang dapat dilakukan berupa deteksi dini di
posyandu dengan melakukan penimbangan balita serta melalui KMS (Kartu Menuju Sehat)
sehingga bisa diketahui grafik pertumbuhannya. Upaya pemulihan gizi dengan mengadakan
Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) serta meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan ibu terutama dalam memberi asupan gizi kepada anak. Selain hal tersebut,
pemberian edukasi atau penyuluhan gizi kepada ibu bayi juga sangat penting untuk dilakukan.

Pelaksanaan :

Penyuluhan Gizi balita dilaksanakan di Posyandu Pratiwi pada tanggal 08 Mei 2021 yang
bertepatan dengan hari posyandu pada pukul 10.00 WITA. Penyuluhan dilakukan setelah
pemberian imunisasi dan vaksinasi. Penyuluhan dirangkaikan dengan diskusi dan tanya jawab
antar pemateri dengan audience. Audience terdiri dari ibu-ibu peserta posyandu yang
membawa bayinya untuk pemeriksaan rutin dan imunisasi.

Monitoring & Evaluasi :

1.Evaluasi Struktur

Persiapan kegiatan penyuluhan dilakukan satu minggu sebelumnya dengan mempersiapkan


peralatan dan bahan penyuluhan.

2.Evaluasi Proses
Peserta yang hadir kurang lebih 20 orang. Penyuluhan berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Peserta penyuluhan antusias mengikuti kegiatan penyuluhan dan sebagian besar peserta aktif
dalam kegiatan ini dengan memberikan pertanyaan.

3.Evaluasi Hasil

Lebih dari 75% peserta yang hadir mampu memberikan umpan balik kepada pemateri
mengenai pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada peserta. Hal ini membuktikan bahwa
peserta memperhatikan materi yang disampaikan oleh pemateri.

Judul Laporan :

PENYULUHAN ASI EKSKLUSIF DAN MAKANAN PENDAMPING ASI

Latar Belakang :

Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child
Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang perlu dilakukan yaitu;
pertama memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir,
kedua memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir
sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI)
sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai
anak berusia 24 bulan atau lebih.

Target Millennium Development Goals (MDGs) ke-4 adalah menurunkan angka kematian bayi
dan balita menjadi 2/3 dalam kurun waktu 1990-2015. Sebanyak lebih dari 50% kematian balita
di Indonesia didasari oleh kondisi kurang gizi. Adapun salah satu cara intervensi yang efektif
dalam menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) adalah pemberian ASI secara eksklusif selama 6
bulan dan diteruskan sampai usia 2 tahun disamping pemberian Makanan Pendamping ASI (MP
ASI).

Pada tahun 2007 delapan belas persen ibu di Indonesia memberi ASI eksklusif selama empat
hingga enam bulan. Persentase itu jauh dari target nasional yaitu 80%. Rendahnya pemberian
ASI eksklusif ditengarai karena para ibu belum mengetahui manfaat ASI bagi kesehatan anak,
bagi ibu, dan mengurangi pengeluaran keluarga untuk belanja susu formula, dukungan dari
ayah juga memengaruhi keberhasilan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan. Keputusan
ibu untuk menyusui dipengaruhi informasi anggota keluarga tentang manfaat menyusui, serta
konsultan laktasi.

Pemberian ASI secara eksklusif dapat menyelamatkan lebih dari tiga puluh ribu balita di
Indonesia. Jumlah bayi di Indonesia yang mendapatkan ASI eksklusif terus menurun karena
semakin banyaknya bayi di bawah 6 bulan yang diberi susu formula. Menurut Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) dari 1997 hingga 2002, jumlah bayi usia enam bulan yang
mendapatkan ASI eksklusif menurun dari 7,9% menjadi 7,8%. Sementara itu, hasil SDKI 2007
menunjukkan penurunan jumlah bayi yang mendapatkan ASI eksklusif hingga 7,2% dan jumlah
bayi di bawah enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16,7% pada 2002 menjadi
27,9% pada 2007.

Pada bayi cukup bulan yang telah berusia 6 bulan, kandungan nutrisi ASI tidak cukup lagi
memasok semua kebutuhan gizi bayi (bukan berarti bahwa tidak ada nilai gizi dalam ASI setelah
bayi berusia enam bulan sebagaimana pendapat awam). Bayi cukup bulan akan mulai
membutuhkan zat besi dari sumber lain pada usia 6 sampai 9 bulan.

Beberapa bayi usia 8 sampai 9 bulan mungkin tidak lagi mendapat kalori yang ukup dari ASI,
meskipun ada juga yang dapat terus tumbuh dengan baik hanya dengan ASI hingga usia satu
tahun. Apabila bayi telah menunjukkan kesiapannya, tidak ada alasan untuk menunda
pengenalan makanan padat. Berikut penjelasan mengenai isyarat bayi siap untuk makan.

Ada sedikit perbedaan dalam mengenalkan jenis makanan atau urutan pemberiannya ketika
bayi mulai makan makanan padat sekitar usia enam bulan. Alangkah bijaksana menghindari
makanan yang sangat berbumbu atau sering menimbulkan alergi (misalnya putih telur dan
stroberi) pada awal pemberian MP-ASI. Selalu pastikan suhu makanan tidak terlalu panas lalu
biarkan ia memegangnya. Tidak ada urutan tertentu dan tidak perlu memberikan hanya satu
jenis makanan untuk jangka waktu tertentu. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah tekstur,
bentuk dan porsi makanan yang diberikan.
Permasalahan :

Sebagai salah satu negara yang turut serta berperan aktif dalam meningkatkan kesehatan
global dan nasional, Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut serta dalam MDGs 2015,
dimana tujuan keempat dalam MDGs adalah menurunkan angka kematian anak. Tujuan
keempat ini memiliki target menurunkan dua per tiga angka kematian anak ,antara tahun 1990
dan 2015, untuk angka kematian anak dibawah lima tahun (balita), dengan tiga indikator
spesifik, yaitu: (1) Angka kematian anak dibawah lima tahun, (2) Angka kematian bayi, (3)
Proporsi anak usia 1 tahun yang telah diimunisasi campak. Pada tahun 1990, angka kematian
anak dibawah lima tahun (balita) di Indonesia adalah 97 per 1.000 kelahiran hidup, sehingga
berdasarkan MDGs 2015, pada tahun 2015 ditargetkan turun mencapai 32 per 1.000 kelahiran
hidup. Sedangkan pada tahun 2007 angka kematian anak balita di Indonesia mencapai 44 per
1.000 kelahiran hidup. Berdasarkan data tersebut Indonesia tergolong cukup berhasil dalam
menekan angka kematian anak balita. Dengan kecenderungan laju yang ada, target sesuai
MDGs dapat tercapai. Di samping angka kematian anak balita, perlu juga dilihat angka kematian
bayi (AKB). Laju AKB juga menurun seiring angka kematian balita, namun cenderung melambat
bila dibandingkan angka kematian anak balita. Pada tahun 1990, 70% kematian terjadi pada
bayi, namun pada tahun 2005 proporsinya meningkat hingga 77%.

Adapun permasalahan yang umum ditemui adalah tingkat pemberian ASI eksklusif yang rendah
di masyarakat, adanya kasus gizi buruk pada bayi, serta kasus-kasus infeksi pada bayi dan anak,
hal ini diduga diakibatkan karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat atas
keuntungan ASI eksklusif serta pentingnya pemberian Makanan Pendamping ASI yang tepat
untuk bayi.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka kami bermaksud mengadakan
penyuluhan kesehatan dengan materi ASI Eksklusif dan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-
ASI). Adapun materi yang disampaikan pada penyuluhan ini, meliputi Pengertian ASI Eksklusif,
pentingnya ASI Eksklusif, keuntungan pemberian ASI Eksklusif, pentingnya pemberian makanan
pendamping ASI, kapan waktu yang tepat untuk memberikan MP-ASI, serta hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam menyiapkan makanan pendamping ASI.

Pelaksanaan :

Penyuluhan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), dilaksanakan pada tanggal 06 Mei
2021 di puskesmas Singgani Palu. Penyuluhan ini dibawakan dengan metode bincang-bincang
disertai tanya jawab kepada peserta penyuluhan. Warga terlihat antusias selama penyuluhan
dan sesi diskusi dilakukan.

Monitoring & Evaluasi :

Penyuluhan tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) di Puskesmas Amparita telah
berjalan dengan lancar, hal ini terlihat dari antusiasme warga saat mengikuti penyuluhan,
dengan demikian diharapkan melalui penyuluhan ini dapat meningkatkan pengetahuan
masyarakat mengenai pentingnya pemberian ASI eksklusif dan MP-ASI sehingga dapat
menurunkan angka gizi buruk pada bayi dan kasus-kasus infeksi pada bayi dan anak.

Judul Laporan :

PENYULUHAN DAN PEMERIKSAAN ANTROPOMETRIK BALITA DI POSYANDU UNTUK MENILAI


STATUS GIZI

Latar Belakang :

Status gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan
masukan nutrisi atau zat gizi (Beck, 2000). Bila kebutuhan lebih besar dibanding masukan
disebut status gizi kurang, bila kebutuhan seimbang dengan masukan disebut status gizi
seimbang, dan bila kebutuhan lebih kecil dibanding masukan disebut status gizi lebih. Gangguan
atau penyakit yang disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara masukan zat gizi dan
kebutuhan tubuh disebut penyakit gangguan gizi atau nutritional disorders (Pudjiadi, 2003).
Namun keadaan gizi kurang (undernutrition/malnutrition) atau gizi lebih (overnutrition),
keduanya tidak selalu disebabkan oleh oleh masukan makanan yang tidak cukup atau
berlebihan. Keadaan demikian dapat juga terjadi karena kelainan dalam tubuh sendiri seperti
gangguan pencernaaan, absorpsi, utilisasi, ekskresi, dan sebagainya ( Pudjiadi, 2003).

Permasalahan gizi pada balita merupakan masalah gizi ganda yaitu masalah gizi kurang dan
masalah gizi lebih (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2008). Masalah gizi kurang sering luput dari
penglihatan ataupun pengamatan biasa serta seringkali tidak cepat dalam penanggulangannya,
hal ini dapat memunculkan masalah besar (BAPPENAS, 2006). Hasil Riskesdas 2010 menunjukan
40,6% penduduk mengkonsumsi makanan di bawah kebutuhan minimal (kurang dari 70% dari
Angka Kecukupan Gizi/AKG) yang dianjurkan. Berdasarkan kelompok umur dijumpai 24,4% pada
balita, dan 41,2% pada anak usia sekolah (Riskesdas, 2010).

Penyebab masalah pada status gizi anak juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
ketersediaan bahan makanan, pola konsumsi dan pola asuh. Perilaku dan kebiasaan orang tua
dalam menyediakan makanan keluarga di pengaruhi oleh faktor budaya, sehingga akan
memengaruhi sikap suka tidak suka seorang anak terhadap makanan. Pola makan anak juga
dipengaruhi oleh media masa dan lingkungan. Aktivitas yang tinggi pada anak membutuhkan
intake pangan dan gizi yang cukup dan berkualitas (Sudayasa, 2010). Penilaian status gizi yang
berkesinambungan sangat dibutuhkan untuk mendeteksi kejadian masalah gizi lebih dini dan
mengetahui kecenderungan pertumbuhan fisik penduduk, guna dapat melakukan tindakan
intervensi dan pencegahan masalah gizi terutama pada balita.

Permasalahan :

Status gizi pada anak saat ini kurang menjadi perhatian, padahal gizi merupakan elemen
penting dalam masa tumbuh kembang anak. Di samping dampak langsung terhadap kesakitan
dan kematian, gizi juga berdampak terhadap pertumbuhan, perkembangan intelektual dan
produktivitas.

Kecerdasan seorang anak tidak hanya ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan
berupa stimulasi, melainkan juga faktor gizi atau nutrisi. Untuk memperoleh anak yang cerdas
dan sehat dibutuhkan asupan gizi atau nutrisi yang sehat dan seimbang dalam makanan sehari-
hari. Dari penelitian-penelitian sebelumnya, terdapat hubungan antara malnutrisi dengan
tingkat inteligensi dan prestasi akademik yang rendah. Untuk negara-negara berkembang
dimana kejadian malnutrisi sering dijumpai, hal ini akan berdampak serius terhadap
keberhasilan pembangunan nasional.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Cara dan strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
diadakan kegiatan screening (penjaringan) berupa penyuluhan dan pemeriksaan antropometrik
untuk mengetahui status gizi pada balita dan bayi agar dapat dilakukan deteksi dini terhadap
ada tidaknya masalah gizi yang dialami. Upaya deteksi dini ini diharapkan dapat memberi data
awal tentang permasalahan gizi yang dialami anak balita dan bayi di Posyandu Mawar 2
Kelurahan Baula untuk selanjutnya dilakukan intervensi dan penanganan baik pada masalah gizi
kurang maupun gizi lebih.

Pelaksanaan :

Kegiatan ini dilaksanakan di Posyandu Murni pada tanggal 10 Mei 2021, pukul 09.30 WITA -
selesai. Setiap Orang tua yang datang membawa Balitanya diberikan penyuluhan tentang
pemeriksaan antropometrik untuk menilai status gizi serta setiap Balita yang datang, menjalani
pemeriksaan kesehatan dasar, pemeriksaan berat badan dan tinggi badan yang kemudian
hasilnya dicatat untuk selanjutnya diolah dalam penentuan masalah status gizi.

Pada kegiatan ini penentuan status gizi anak menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS), dimana
ukuran antropometri yang digunakan yaitu berat badan terhadap usia, kemudian hasilnya
diplot pada kurva KMS.

Monitoring & Evaluasi :

1.Evaluasi Struktur

Dokter bersama tim medis lainnya datang tepat waktu di Posyandu dimana pada saat itu juga
dilakukan penimbangan bayi dan balita.

2.Evaluasi Proses
Pelaksana kegiatan dilakukan satu kali oleh satu tim yang terdiri atas satu dokter, kader-kader,
dan satu pemegang program gizi. Kegiatan penjaringan dilakukan sesuai dengan jadwal
posyandu yang telah ditentukan oleh Puskesmas Amparita.

3.Evaluasi Hasil

a.Telah dilakukan penyuluhan tentang pemeriksaan antropometrik untuk menilai status gizi
pada orangtua yang membawa balitanya ke Posyandu.

b.Telah dilakukan pemeriksaan kesehatan dasar dan pemeriksaan status gizi di Posyandu
dengan total balita sebanyak 15 orang,

c.Dibutuhkan intervensi lebih lanjut terhadap anak yang mengalami gizi kurang. Penting
memberikan pemahaman terhadap orang tua untuk meningkatkan asupan nutrisi bagi balita
mereka demi tercapainya status gizi normal.

d.Untuk mengatasi gizi kurang diperlukan perubahan sosial baik gaya hidup, aktivitas fisik,
perilaku makan dan penyiapan lingkungan yang mendukung. Perubahan yang paling efektif
dilakukan adalah sejak usia dini salah satunya pada saat balita, melalui monitoring dan evaluasi
hasil penjaringan status gizi di posyandu. Makanan dengan kandungan gizi seimbang cukup
energi dan zat gizi sesuai kebutuhan gizi anak sekolah sangat dianjurkan karena berguna untuk
perkembangan fisik dan kognitif yang optimal. Dukungan media massa dalam hal informasi
asupan gizi seimbang, peran kader untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan
dalam memberikan edukasi tentang asupan gizi seimbang, serta keberpihakan organisasi
profesi dan asosiasi/lembaga lainnya dalam kegiatan terkait dengan asupan gizi seimbang
sebagai wujud nyata dukungan berbagai pihak kepada pemerintah dalam pencegahan dan
penanggulangan gizi kurang.

Judul Laporan :

KONSELING GIZI PADA PASIEN HIPERTENSI

Latar Belakang :
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg dana tau
diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit
dalam keadaan cukup istirahat (tenang). Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee
on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih
tinggi dari 140/90 mmHg. Pada populasi lansia hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik
160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg.

Hipertensi kini menjadi masalah global karena prevalensi yang terus meningkat sejalan dengan
perubahan gaya hidup seperti merokok, obesitas, inaktivitas fisik, dan stress psikososial. Hampir
ditiap negara, hipertensi menduduki peringkat pertama sebagai penyakit yang paling sering
dijumpai.

The National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun
1999-2000 kasus hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31% yang berarti terdapat 58-
65 juta orang mengalami hipertensi di Amerika dan terjadi peningkatan 15 juta dari tahun 1988-
1999. Paling sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisinya dan hanya 31% pasien
yang diobati mencapai target tekanan darah yang diinginkan dibawah 140/90 mmHg.
Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa 1,8-28,6%
penduduk yang berusia di atas 20 tahun adalah penderita hipertensi.

Penyebab hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi primer dan sekunder,
hipertensi primer tidak diketahui penyebabnya dan ada kemungkinan karena faktor keturunan
atau genetik (90%). Hipertensi sekunder yaitu hipertensi akibat dari adanya penyakit sistemik
lainnya seperti kelainan pembuluh ginjal dan gangguan kelenjar tiroid, penggunaan obat-
obatan tertentu (penggunaan pil KB) dank arena penyakit diabetes mellitus.

Penyakit hipertensi tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikendalikan. Pengendalian


hipertensi dapat dilakukan dengan cara mengubah pola hidup, melakukan pemeriksaan rutin
tekanan darah yang bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi lebh lanjut serta
pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg. Pengendalian tekanan darah dapat
dibantu oleh tenaga medis yaitu dengan melakukan konseling gizi. Konseling gizi merupakan
salah satu cara untuk lebih memahami masalah kesehatan yang terjadi pada seseorang.
Pasien melakukan konseling gizi agar dapat mengenali masalah kesehatan yang terjadi pada
dirinya, memahami penyebab dan cara pengendalian serta membantu pasien dalam
memecahkan masalah sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku agar dapat menerapkan
diet yang sesuai dengan kondisi pasien.

Permasalahan :

Telah ditemukan pasien yang memiliki tekanan darah yang cukup tinggi. Pasien merupakan
seorang laki-laki berusia 55 tahun, perokok, tidak pernah berolahraga dan gemar
mengkonsumsi ikan asin. Pasien tidak memiliki keluhan/penyakit lainnya.

Adanya peningkatan tekanan darah bias disebabkan oleh beberapa faktor:

• Jenis kelamin. Dimana jenis kelamin laki-laki lebih sering mengalami hipertensi
dibandingkan perempuan

• Obesitas, semakin meningkat BB seseorang maka kemungkinan untuk terkena


hipertensi juga meningkat

• Kurang berolahraga, suka merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol akan


meningkatkan tekanan darah

• Pola makan yang suka mengkonsumsi makanan berlemak, tinggi garam dan rendah
serat merupakan faktor yang berperan cukup besar atas kejadian hipertensi.

Dari beberapa faktor yang berperan terhadap hipertensi faktor pola makan dan jenis makanan
adalah faktor yang paling berperan terhadap kejadian hipertensi. Oleh karena itu, pengaturan
diet merupakan penatalaksanaan awal dari hipertensi.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Penggunaan obat-obatan penurunan tekanan darah digunakan jika dalam 3 kali pengukuran
tekanan darah didapatkan hasil yang tinggi untuk systole >140 dan diastole >90. Sebelumnya
tekanan darah pasien dikontrol dengan mengubah gaya hidup pasien (modifikasi gaya hidup)
berupa pengaturan diet dan olahraga. Oleh karena ituperlu dilakukan intervensi yang bertujuan
untuk:
1. Meningkatkan pengetahuan pasien mengenai pentingnya menjaga pola makan yang
benar untuk pasien hipertensi.

2. Meningkatkan pengetahuan mengenai jenis makanan yang dianjurkan dan yang tidak
dianjurkan untuk pasien hipertensi

3. Meningkatkan pengetahuan pasien mengenai keharusan dalam hal kepatuhan


meminum obat

Strategi pelaksanaan ini dapat dicapai dengan mengadakan konseling gizi khusus untuk
hipertensi.

Pelaksanaan :

Konseling gizi pada pasien laki-laki dengan tekanan darah tinggi (150/90 mmHg) dilakukan pada
tanggal 30 April di Poli Lansia Puskesmas Singgani Palu. Pada sesi konseling ini diberikan edukasi
mengenai pentingnya pengaturan diet rendah garam, diet rendah lemak, tinggi serat, jenis
makanan yang dianjurkan dan yang tidak dianjurkan pada pasien. Pasien juga diberi
kesempatan untuk bertanya jika ada info yang kurang jelas dan kesempatan untuk berbagai
permasalahan yang mungkin dialamis seputar pengaturan diet tersebut. Pasien mendengarkan
dengan antusias apa yang disampaikan oleh konselor dan diskusi tanya jawab juga berlangsung
dengan baik.

Monitoring & Evaluasi :

Pasien diminta kembali setelah 10 hari menjalankan diet yang benar dan patuh dalam minum
obat anti hipertensi. Dengan demikian diharapkan tekanan darah pasien terkontrol dan stabil
sehingga terhindar dari komplikasi lanjut dari penyakit hipertensi.

F5. PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR

Judul Laporan :
PENYULUHAN PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL DI POSYANDU REMAJA SINTU JAYA
BESUSU BARAT

Latar Belakang :

Infeksi menular seksual saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia baik
di negara maju industri maupun negara berkembang, insiden maupun prevalensi yang
sebenarnya di berbagai negara tidak diketahui dengan pasti. Centre of Disease Control (CDC)
pada tahun 2008 memperkirakan lebih dari 110 juta kasus IMS pada pada laki-laki dan
perempuan di Unites States. Tahun 2010 diperkirakan terdapat 8,6 juta orang yang positif HIV
(ODHA) di Asia Tenggara, termasuk 960.000 orang yang baru terinfeksi (kasus baru). World
Health Organization (WHO) pada tahun 2016 menyatakan terdapat lebih dari 1 juta orang
menderita IMS setiap hari.

Di Indonesia sendiri, kejadian infeksi menular seksual yang paling banyak ditemukan adalah
sifilis dan gonore. Jumlah kasus sifilis yang dilaporkan selama lima tahun terakhir yaitu 37.040,
kasus duh uretra (Uretritis non-gonokokus) sebanyak 52.951 kasus, kasus pengeluaran duh
vagina sebanyak 280.634 kasus, kasus ulkus genital sebanyak 8.695 kasus. Terdapat
kecenderungan pada wanita antara tahun 2011 dan 2016, jumlah kasus wanita yang
melaporkan mengalami pengeluaran duh vagina adalah 79. 268 kasus (Kemenkkes RI, 2017).

Infeksi menular seksual disebabkan oleh lebih dari 30 bakteri yang berbeda, virus, parasit,
protozoa dan ektoparasit. Beberapa jenis IMS dapat menyebar melalui cara-cara non seksual
seperti produk darah dan transfer jaringan. IMS juga dapat ditularkan dari ibu ke anak selama
masa kehamilan dan persalinan. Beberapa faktor risiko penularan IMS yang telah diidentifikasi
termasuk menyangkut kesehatan dan perilaku seksual seperti jumlah pasangan seksual dan usia
berhubungan seksual pertama kali. Golongan usia dewasa muda memiliki tingkat risiko tertular
IMS yang tinggi karena dapat terlibat hubungan seksual dengan beberapa orang dan sering kali
tidak menggunakan kondom. Infeksi menular seksual berkembang sangat cepat berkaitan
dengan perubahan perilaku seksual yang semakin bebas yang ditandai dari adanya kelompok
perilaku-perilaku beresiko tinggi seperti: adanya wanita penjaja seks (WPS), pecandu narkotika,
homoseksual atau perilaku seks bebas.
Menurut WHO terdapat beberapa cara pencegahan untuk menekan angka kejadian IMS dan
HIV/AIDS yaitu dengan tidak melakukan seks pranikah pada remaja, mengurangi jumlah
pasangan seksual (be faithful), menggunakan kondom saat berhubungan seksual, memutuskan
rantai penularan infeksi, serta meningkatkan akses dan layanan pencegahan komprehensif.
Layanan pencegahan IMS pada pusat pelayanan kesehatan yaitu pemberian kondom untuk pria
maupun wanita, konseling pada pasien IMS yang berupa edukasi tentang pencegahan infeksi
HIV pada seseorang yang berisiko terhadap penyakit tersebut, dan notifikasi pasangan seksual
(Kemenkkes RI, 2016).

Permasalahan :

Remaja merupakan kelompok masyarakat yang sangat rentan terkena infeksi menular seksual.
Apalagi dengan pengetahuan remaja yang kurang dalam hal sex education di zaman modern
seperti ini. Maraknya pembelian kondom secara bebas, video yang dapat diakses bebas di dunia
maya, serta minimnya pengetahuan remaja mengenai seks bisa mengakibatkan hal-hal yang
tidak diinginkan seperti seks bebas. Sehingga penyuluhan dilakukan agar remaja tahu betul apa
dampak dari seks bebas yang bisa merugikan masa depan mereka.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Strategi atau pendekatan yang ditempuh yaitu penyuluhan terbuka mengenai infeksi menular
seksual. Penyuluhan ini dilakukan dengan mengunjungi Posyandu remaja sintu jaya besusu
barat, untuk mengetahui apa saja yang mereka ketahui tentang infeksi menular seksual (IMS).
Selain itu kegiatan ini dilakukan dengan memberikan penyuluhan mengenai penyakit menular
seksual kepada para remaja sehingga mereka memahami pengertian IMS, gejala, pengobatan,
dan pencegahan IMS serta mereka juga dapat memberikan informasi ini kepada keluarga
maupun tetangga disekitarnya.

Tujuan umum dilakukan kegiatan ini adalah untuk terciptanya perilaku hidup sehat di kalangan
remaja maupun keluarganya serta bebas dari seks bebas yang dapat meningkatkan terjadinya
infeksi menular seksual. Tujuan khusus adalah meningkatkan pengetahuan siswa/siswi tentang
IMS dan tindakan pencegahannya sehingga mereka dapat memberikan informasi ini kepada
keluarga maupun masyarakat disekitarnya.
Pelaksanaan :

Kegiatan ini dilakukan di posyandu remaja sintu jaya besusu barat pada tanggal 30 Maret 2021
pukul 16:00 WITA sampai selesai yang dihadiri oleh seluruh Remaja di Posrem Sintu Jaya besusu
barat.

Monitoring & Evaluasi :

Kegiatan penyuluhan IMS ini dilakukan untuk memberitahu sejak dini tentang sex education
serta bahayanya seks bebas yang merupakan salah satu penyebab terbanyak penyakit IMS.
Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan pengecekan pemahaman siswa/siswi mengenai
penyakit IMS dan apa yang harus segera dilakukan bila didapati temuan kasus IMS. Diharapkan
dengan penyuluhan IMS dapat menjadikan para remaja lebih berhati-hati dari sumber infeksi
menular seksual serta apa yang harus mereka perbuat jika mendapatkan kasus IMS disekitar
mereka.

Judul Laporan :

DETEKSI DINI HIV-AIDS PADA IBU HAMIL

Latar Belakang :

Human Immunodeficiency Virus merupakan golongan RNA spesifik yang menyerang sistem
imun manusia, penurunan sistem imun pada orang yang terinfeksi HIV menyebabkan AIDS.
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) ialah sekumpulan tanda atau gejala klinis pada
penderita HIV akibat infeksi oportunistik karena penurunan sistem kekebalan tubuh (Kemenkes
RI, 2014).

HIV dapat menular melalui hubungan seksual yang tidak aman, pemakaian jarum suntik secara
bergantian, dan dari ibu hamil yang terinfeksi HIV ke bayinya (Efendi & Makhfudli, 2009).

Berdasarkan data UNAIDS (United Nations Programme on HIV/AIDS) kasus HIV secara global
mencapai 36.7 juta pada akhir tahun 2015, diperkirakan 77% dari 1,4 juta wanita hamil
menerima pengobatan ARV untuk mencegah penularan HIV ke bayi dan 150 ribu kasus infeksi
baru HIV pada anak. Laporan kementrian kesehatan sampai pada September 2016 kasus
penularan HIV dari ibu ke anak sebanyak 2.451 kasus dan jumlah kasus HIV pada anak <4 tahun
mencapai 589 kasus, serta tercatat 329 kematian AIDS pada anak. Terdapat 5 provinsi yang
termasuk dalam kasus AIDS terbanyak, salah satunya Provinsi Jawa (Ditjen P2P Kemenkes,
2016).

Diagnosis HIV dilakukan melalui tes dan konseling HIV. Tes dan konseling HIV merupakan proses
dialog antara petugas kesehatan dan pasien untuk memberikan informasi, konselor membantu
klien untuk melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasannya (Permekes No. 74 tahun
2014).

Tujuan konseling dan tes ini untuk membuat atau menentukan pelayanan medis khusus yang
akan diberikan dan tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV. Tanggung jawab
dasar petugas kesehatan yaitu menawarkan tes dan konseling HIV kepada klien sebagai salah
satu bagian tata laksana klinis (Permenkes No.51 tahun 2013). Tes dan konseling HIV hanya
dapat dilakukan dengan persetujuan pasien/klien. Konseling dan tes HIV dapat
dilakukandengan dua pendekatan yaitu konseling dan tes secara sukarela (KTS) dan Konseling
dan Tes atas Inisiatif Petugas Kesehatan (TIPK) (Permenkes No 21 Tahun 2013). Untuk tes HIV
dalam program PPIA komprehensif dilakukan dengan pendekatan TIPK. Dalam pendekatan ini
penawaran tes HIV dapat diberikan pada ibu hamil saat kunjungan antenatal atau menjelang
persalianan bersamaan pemeriksaan rutin lainnya (Kemenkes, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Dalal. S et al (2011) menunjukkan bahwa pendekatan TIPK
meningkatkan jumlah tes HIV dibandingkan VCT dan pasien melaporkan respon yang positif
terhadap TIPK di dua pusat kesehatan umum Afrika Selatan. Pendekatan TIPK merupakan
strategi yang efektif untuk mengidentifikasi infeksi HIV yang belum diakui (Kapologwe et all,
2011).

Permasalahan :

Persepsi merupakan proses penerimaan rangsang oleh pancaindra, didahului perhatian


sehingga individu sadar terhadap sesuatu yang ada didalam dan diluar dirinya. Terjadinya
perubahan perilaku individu dapat diketahui dari persepsinya. Persepsi setiap individu dapat
berbeda meskipun mengamati hal yang sama (Sunaryo, 2013). Persepsi juga dapat diartikan
proses mengatur dan mengartikan informasi sensoris untuk memberikan makna (King, 2010).
Dalam penelitian Bello at all, (2012) di pusat kesahatan primer Osogbo, Southwes, Nigeria
menunjukkan tingkat kesadaran ibu hamil tentang HIV/AIDS, pencegahan penularan HIV dari
ibu ke anak dan HCT (HIV counseling and testing) baik namun sangat sedikit yang mengetahui
status HIVnya kasus penularan HIV dari ibu ke anak. Selain itu juga terdapat 8 kasus HIV dan 13
kasus AIDS pada anak.

Berdasakan laporan Ditjen P2P Kemenkes tahun 2016 dari tahun 19872016 fakto risiko
penularan kasus AIDS tertinggi melalui hubungan seksual pada heteroseksual (68%), IDU (14%),
perinatal (3%), homoseksual (3%) dan tidak diketahui (14%). Kasus AIDS terbanyak pada
kelompok pekerjaan ibu rumah tangga (11. 725). Presentase jumlah kasus HIV lebih banya pada
laki-laki (62,6%) dibanding perempuan (37,4%). Secara kumulatif kasus AIDS tertinggi pada
kelompok umur 20-29 tahun (31,4%). Lebih dari 90% anak pada tahun 2013 terinfeksi HIV
didapatkan dari ibunya. Virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV ke anaknya
selama kehamilan, saat persalinan dan menyusui (Kemenkes, 2013). Menurut Drake et al,
(2014) masa kehamilan dan postpartum berisiko tinggi terhadap HIV. Risiko penularan dari ibu
ke anak lebih tinggi diantara kejadian infeksi pada perempuan. Deteksi dan pencegahan
kejadian HIV saat kehamilan atau postpartum harus diprioritaskan dan sangat penting untuk
mengurangi penularan HIV dari ibu ke anak.

Sejalan dengan semakin meningkatnya kasus penularan HIV dari ibu keanak, pemerintah
melakukan berbagai upaya pengendalian melalui program PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari
ibu ke anak) atau PMTCT (Prevention of Mother-to-Child Transmission). Program PPIA
merupakan rangkaian upaya pengendalian kasus HIV/AIDS dengan tujuan agar bayi yang
dilahirkan dari ibu HIV positif terbebaskan dari HIV, kemudian ibu dan bayi tetap hidup dan
sehat. Dalam program PPIA terdapat kebijakan yang terintegrasi dalam pelayanan Kesehatan
Ibu dan Anak (KIA) untuk melakukan tes HIV pada ibu hamil yang didasarkan pada tingkat
prevelensi kasus HIV disuatu wilayah. Pada tingkat prevelensi kasus HIV dengan epidemi meluas
dan terkonsentrasi, tes HIV dianjurkan untuk semua ibu hamil. Di daerah epidemi rendah tes
HIV dianjurkan pada ibu hamil dengan indikasi perilaku berisiko. Tes HIV dilakukan bersamaan
dengan pemeriksaan rutin antenatal di kunjungan pertama (K1) sampai menjelang persalinan
(Kemenkes, 2014).

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Cara dan strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
diadakan pemeriksaan tes HIV dapat diberikan pada ibu hamil saat kunjungan antenatal atau
menjelang persalianan bersamaan pemeriksaan rutin lainnya. Upaya deteksi dini ini diharapkan
dapat memberi data awal mengenai HIV-AIDS yang dialami pada ibu hamil serta dapat diberi
antisipasi pada bayi yang akan dilahirkan.

Pelaksanaan :

Kegiatan dilakukan di poli KIA Puskesmas Singgani Palu setiap hari pada jam kerja. Kegiatan
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan tes HIV yang diberikan pada ibu hamil saat
kunjungan antenatal atau menjelang persalianan bersamaan pemeriksaan rutin lainnya.

Monitoring & Evaluasi :

Bila didapat kan ibu hamil yang positif HIV maka dilakukan monitoring terhadap bayinya dengan
cara :

Imunisasi

 Seorang anak dengan infeksi HIV atau diduga dengan infeksi HIV tetapi belum
menunjukkan gejala, harus diberi semua jenis vaksin yang diperlukan (sesuai jadwal
imunisasi nasional), termasuk BCG. Berhubung sebagian besar anak dengan HIV positif
mempunyai respons imun yang efektif pada tahun pertama kehidupannya, imunisasi
harus diberikan sedini mungkin sesuai umur yang dianjurkan.
 Jangan beri vaksin BCG pada anak dengan infeksi HIV yang telah menunjukkan gejala.
 Berikan pada semua anak dengan infeksi HIV (tanpa memandang ada gejala atau tidak)
tambahan imunisasi Campak pada umur 6 bulan, selain yang dianjurkan pada umur 9
bulan.
Pencegahan dengan Kotrimoksazol

Pencegahan dengan Kotrimoksazol terbukti sangat efektif pada bayi dan anak dengan infeksi
HIV untuk menurunkan kematian yang disebabkan oleh pneumonia berat. PCP saat ini sangat
jarang di negara yang memberikan pencegahan secara rutin.
Siapa yang harus memperoleh kotrimoksazol

 Semua anak yang terpapar HIV (anak yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV) sejak umur
4-6 minggu (baik merupakan bagian maupun tidak dari program pencegahan transmisi
ibu ke anak = prevention of mother-to-child transmission [PMTCT]).
 Setiap anak yang diidentifikasi terinfeksi HIV dengan gejala klinis atau keluhan apapun
yang mengarah pada HIV, tanpa memandang umur atau hitung CD4.

Judul Laporan :

SKRINING HEPATITIS B PADA IBU HAMIL

Latar Belakang :

Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) sampai saat ini masih merupakan
masalah kesehatan dunia karena dapat mengakibatkan penyakit hati serius mulai dari hepatitis
fulminan sampai karsinoma hepatoselular. Diperkirakan sekitar 2 miliar penduduk dunia pernah
terinfeksi virus hepatitis B, dan 360 juta orang sebagai pengidap (carrier) HBsAg, dan 220 juta
(78%) diantaranya terdapat di Asia. Lima ratus ribu hingga 750 ribu orang diduga akan
meninggal karena sirosis hepatis atau berkembang menjadi kanker hati (WHO, 2002).

Angka kejadian (prevalensi) hepatitis B kronik di Indonesia mencapai 10% dari total penduduk,
setara dengan 13,5 juta penderita. Jumlah ini membuat Indonesia termasuk daerah endemis
sedang sampai tinggi (3-17%), dan menjadi negara ketiga di Asia dengan penderita hepatitis B
kronik paling banyak.
Vaksinasi merupakan strategi paling efektif dan aman untuk mengendalikan serta eradikasi
infeksi VHB. Indonesia telah melaksanakan pemberian vaksinasi hepatitis B secara rutin dalam
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) sejak tahun 1992 (Rosalina, 2012).

Pemerintah melalui Departemen Kesehatan sejak tahun 1997 telah mencegah penularan
hepatitis B dengan melaksanakan program imunisasi hepatitis B pada bayi secara nasional.
Sejak tahun 2013 dilaksanakan upaya pengembangan pedoman tatalaksana hepatitis B dan
deteksi dini hepatitis B, HIV dan syphilis pada ibu hamil yang berkunjung ke Fasilitas Kesehatan
(Faskes).

Deteksi dini Hepatitis B pada ibu hamil bertujuan memutus rantai penularan secara vertikal,
yaitu penularan dari ibu kepada anaknya pada saat prosespersalinan atau kelahiran (Kemenkes,
2014).

Skrining HBsAg pada ibu hamil dilakukan terutama pada daerah di mana terdapat prevalensi
tinggi. Hasil skrining sangat menentukan tindakan selanjutnya bagi ibu, seperti pemberian obat
antiviral oleh dokter apabila dipandang perlu.

Penularan hepatitis B dari ibu ke bayi sebagian besar dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi Imunoglobulin Hepatitis B (HBIG) yang direkomendasikan pada 12 jam setelah
kelahiran bayi. Manfaatnya akan turun drastis jika HBIG diberikan lebih dari 72 jam setelah
paparan (Ismalita, 2003).

Permasalahan :

Masalah hepatitis yang paling rawan adalah pada wanita hamil, karena VHB dapat menginfeksi
bayi melalui jalan lahir ibunya sehingga dianjurkan agar wanita hamil melakukan pemeriksaan
hepatitis B pada trimester pertama kehamilan.

Sekitar 3,9% ibu hamil merupakan pengidap hepatitis dengan risiko transmisi maternal, kurang
lebih sebesar 90% anak tertular secara vertikal dari ibu dengan HBsAg (+) selama tahun
pertama kehidupannya. Anak yang baru lahir yang tertular VHB dari ibu HBsAg positif nantinya
akan mengalami hepatitis B kronis, dari 90% dari anak yang demikian akan menjadi carrier.
Anak-anak yang terinfeksi VHB sebelum usia 6 tahun akan mengembangkan infeksi kronis
sebesar 30-50%. Pencegahan penularan secara vertikal merupakan salah satu aspek paling
penting dalam memutus rantai penularan hepatitis B (Kemenkes, 2014).

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Cara dan strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
diadakan pemeriksaan hepatitis Bdapat diberikan pada ibu hamil saat kunjungan antenatal atau
menjelang persalianan bersamaan pemeriksaan rutin lainnya. Upaya deteksi dini ini diharapkan
dapat memberi data awal mengenai Hepatitis B yang dialami pada ibu hamil serta dapat diberi
antisipasi pada bayi yang akan dilahirkan.

Pelaksanaan :

Kegiatan dilakukan di poli KIA Puskesmas Singgani Palu setiap hari pada jam kerja. Kegiatan
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan tes hepatitis Byang diberikan pada ibu hamil saat
kunjungan antenatal atau menjelang persalianan bersamaan pemeriksaan rutin lainnya.

Monitoring & Evaluasi :

Bila didapat kan ibu hamil yang positif hepatitis B maka dilakukan monitoring terhadap bayinya
dengan cara :

Pemberian HBIG pada bayi berdasarkan status HBsAg ibu pada saat melahirkan. Bayi lahir dari
ibu dengan HBsAg reaktif, dalam waktu 12 jam setelah lahir secara bersamaan diberikan 0,5 ml
HBIG dan vaksin rekombinan secara intramuscular disisi tubuh yang berlainan. Dosis kedua
diberikan 1-2 bulan sesudahnya dan dosis ke tiga diberikan 6 bulan setelah imunisasi pertama.
Bayi lahir dari ibu dengan status HBsAg non reaktif tetap diberikan vaksin rekombinan (10 µg)
secara intramuskular dalam waktu 12 jam sejak lahir. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2
bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan.

Judul Laporan :
PEMERIKSAAN SWAB TYPHOID PADA PENJUAL SIOMAY DI SEKITARAN PUSKESMAS SINGGANI

Latar Belakang :

Demam tifoid adalah penyakit akibat infeksi bakteri Salmonella enterica serotipe typhi. Demam
tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia yang timbul secara sporadik endemik
dan ditemukan sepanjang tahun. Insidensi demam tifoid di Indonesia cukup tinggi akibat
tingginya urbanisasi, kontaminasi sumber air, resistensi antibiotik, penegakkan diagnosis
terlambat, serta belum ada vaksin tifoid yang efektif.

WHO menyatakan bahwa secara global pada tahun 2003 terdapat ± 17 juta kasus. Insidensi
demam tifoid di Indonesia per tahun antara 354-810 per 100.000 penduduk, dengan mortalitas
2-3,5% (Sudarmono dkk., 2000; WHO, 2001). Demam tifoid dalam Undang-undang nomor 6
Tahun 1962 tentang wabah termasuk penyakit menular. Hasil Surveilans Departemen
Kesehatan RI melaporkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi demam tifoid dari tahun
1990 yaitu 9,2 menjadi 15,4 per 10.000 penduduk pada tahun 1994, dan di akhir tahun 2005
tercatat ada 25.270 kasus. Insidensi demam tifoid di tiap daerah bervariasi sesuai dengan
keadaan sanitasi lingkungan, di daerah rural Jawa Barat ada 157 kasus dan urban 760-810 per
100.000 penduduk. Perbedaan insidensi demam tifoid di daerah urban berhubungan dengan
penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan yang kurang memenuhi
syarat kesehatan antara lain sistem pembuangan sampah. Penularan demam tifoid adalah
secara oral-fecal yaitu melalui makanan dan minuman tercemar tinja yang mengandung
Salmonella sp. (Djoko Widodo, 2006). Demam tifoid sekilas seperti penyakit ringan dengan
gejala klinik tidak khas. Gejala klinik demam tifoid yang timbul bervariasi, dari ringan sampai
dengan berat, asimtomatik hingga disertai komplikasi. Gejala klinik demam tifoid pada minggu
pertama sakit yaitu berupa keluhan demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, serta perasaan tidak enak di perut, dan dapat disertai batuk atau
ditemukan adanya epistaksis. Manifestasi klinik demam tifoid pada minggu kedua akan tampak
semakin jelas. Demam tifoid bila tidak ditangani dengan baik, dapat mengakibatkan komplikasi
seperti perdarahan intestinal, perforasi usus, trombositopenia, koagulasi vaskular diseminata,
hepatitis tifosa, miokarditis, pankreatitis tifosa, hingga kematian (Djoko Widodo, 2006).
Permasalahan :

Tipes atau demam tifoid merupakan penyakit yang terjadi karena infeksi bakteri salmonella
typhi yang menular melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Faktor resikonya
adalah sanitasi yang buruk, tidak mencuci tangan sebelum makanan atau kurang bersih dalam
mencuci malam mencuci makanan.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :


Cara dan strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
diadakan pemeriksaan swab typhoid . Upaya deteksi dini ini diharapkan dapat memberi data
awal mengenai demam tyohoid pada penjual siomay di sekitaran puskesmas singgani

Pelaksanaan :

Kegiatan dilaksanakan pada tanggal 1 April 2021 pada penjual siomay di sekitaran puskesmas
singgani dengan melakukan pemeriksaan swab typhoid.

Monitoring & Evaluasi :

Apabila ditemukan hasil positif, akan dilakukan terapi dan edukasi agar menjaga higienis
makanan dan peralatan makan agar tidak menularkan ke pembeli.

Judul Laporan :

PENYULUHAN PENYAKIT SKABIES DI PONDOK PESANTREN

Latar Belakang :

Skabies adalah penyakit kulit menular akibat infestasi dan sensitisasi tungau Sarcoptes Scabei
varian hominis dan produknya pada tubuh.Di Indonesia, skabies lebih dikenal dengan istilah
gudik, kudis, buduk, kerak, penyakit ampera dan gatal agogo.Bila diperdengarkan kata skabies,
kebanyakan orang awam masih kurang familier dengan istilah tersebut. Namun bila kita
mengatakan penyakit kudis, beberapa orang akan lebih paham.
Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di Puskesmas seluruh Indonesia pada
tahun 1986 adalah 4,6 % – 12,95 % dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit
tersering. Di bagian Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM pada tahun 1988, dijumpai 704 kasus skabies
yang merupakan 5,77 % dari seluruh kasus baru. Pada tahun 1989 dan 1990 prevalensi skabies
adalah 6 % dan 3,9 %. Prevalensi skabies sangat tinggi pada lingkungan dengan tingkat
kepadatan penghuni yang tinggi dan kebersihan yang kurang memadai (Depkes RI, 2000).

Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Dibeberapa negara yang
sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6 % – 27 % populasi umum dan dapat mengenai
semua umur tetapi cenderung tinggi pada anak-anak dan remaja. Insidensi sama pada pria dan
wanita. Skabies tidak hanya memilih golongan tertentu baik kaya maupun miskin, muda atau
tua. Meski sekarang sudah sangat jarang dan sulit ditemukan laporan terbaru tentang kasus
skabies diberbagai media di Indonesia (terlepas dari faktor penyebabnya), namun tak dapat
dipungkiri bahwa penyakit kulit ini masih merupakan salah satu penyakit yang sangat
mengganggu aktivitas hidup dan kerja sehari-hari. Rasa gatal yang ditimbulkannya terutama
waktu malam hari, secara tidak langsung juga ikut mengganggu kelangsungan hidup masyarakat
terutama berkurangnya waktu untuk istirahat, sehingga kegiatan yang akan dilakukannya di
siang hari juga ikut terganggu. Jika hal ini dibiarkan berlangsung lama, maka efisiensi dan
efektifitas kerja menjadi menurun yang akhirnya mengakibatkan menurunnya kualitas hidup
masyarakat.

Permasalahan :

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit skabies dalam masyarakat.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa kasus skabies masih sering ditemukan pada keadaan
lingkungan yang padat penduduk, status ekonomi masyarakat yang tergolong rendah, tingkat
pendidikan yang rendah serta kualitas higienis pribadi yang kurang baik atau cenderung jelek.
Keadaan ini dapatmengakibatkan pengobatan yang diberikan tidak adekuat.

Pada anak-anak yang menderita skabies, sebagian besar orang tuanya akan menganggap bahwa
anak mereka hanya terkena semacam alergi akibat jajanan bila timbul keluhan gatal-gatal pada
kulitnya. Hal ini mengakibatkan sebagian besar pasien dengan skabies yang datang untuk
berobat ke puskesmas, sudah dalam kondisi yang berat bahkan terkadang disertai infeksi
sekunder pada lesinya. Ditambah lagi penyebaran penyakit akan menjadi lebih mudah karena
anak-anak sering berkumpul untuk bermain bersama teman sebayanya (anak tetangga, teman
sekelas,dll) . Hal ini berujung pada penularan penyakit di luar anggota keluarga.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Oleh karena permasalahan diatas, maka kami bermaksud mengadakan penjaringan penyakit
scabies dan penyuluhan tentang penyakit skabies di pondok pesantren.

Pelaksanaan :

Kegiatan ini dilakukan di pondok pesantren pada tanggal 24 Maret 2021 dalam bentuk active
case finding. Pada kegiatan ini dilakukan pemeriksaan kulit pada anak pondok dengan keluhan
gatal dan papul pada tubuh. Pemeriksaan meliputi anamnesa tentang riwayat gatal, riwayat
alergi, riwayat gatal dalam keluarga serta pemeriksaan fisis untuk mendapatkan adanya tanda-
tanda infeksi skabies. Setelah itu dilakukan pengobatan serta penyuluhan dalam bentuk diskusi
antar dokter dan pasien pada saat anamnesa mengenai pola hidup bersih agar terhindar dari
skabies.

Monitorinng & Evaluasi :

•Berdasarkan hasil pemeriksaan kami, didapatkan hanya ada satu pasien dengan gejala tampak
seperti skabies, yakni terdapat lesi berupa papul pada daerah antar jari tangan, selangkangan,
sekitar pusar, dan hingga ke area kelamin, dan ditemukan pada anak usia 15 tahun.

•Pada anamnesis, didapatkan bahwa pasien sering mengalami gatal utamanya pada malam
hari. Riwayat keluhan yang sama ditemukan pada teman yang sekamar sehingga dilakukan
pengobatan dan edukasi agar terhindar dari skabies

•Kendala yang kami dapatkan dalam pengobatan terhadap penyakit ini adalah terlambatnya
kesadaran pasien untuk memeriksakan diri di puskesmas. Hal ini mengakibatkan telah terjadi
infeksi sekunder akibat garukan pada daerah lesi.
F6. UPAYA PENGOBATAN DASAR

Judul Laporan :

PELAKSANAAN POLI KLINIK LANSIA

Latar Belakang :

Pembangunan kesehatan mempunyai visi “Indonesia sehat“, diantaranya dilaksanakan melalui


pelayanan kesehatan oleh puskesmas dan rumah sakit. Selama ini pemerintah telah
membangun puskesmas dan jaringannya di seluruh Indonesia rata-rata setiap kecamatan
mempunyai 2 puskesmas, setiap 3 desa mempunyai 1 puskesmas pembantu. Puskesmas telah
melaksanakan kegiatan dengan hasil yang nyata, status kesehatan masyarakat makin
meningkat, ditandai dengan makin menurunnya angka kematian bayi, ibu, makin meningkatnya
status gizi masyarakat dan umur harapan hidup (Kepmenkes, 2004).

Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di satu atau sebagian wilayah
kecamatan. Puskesmas berperan di dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang
berkualitas kepada masyarakat dengan melakukan berbagai upaya untuk memenuhi segala
harapan, keinginan, dan kebutuhan serta mampu memberikan kepuasan bagi masyarakat.

Puskesmas sebagai upaya pelayanan kesehatan strata pertama meliputi pelayanan kesehatan
perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat dan kegiatan yang dilakukan puskesmas,
selain dari intern sendiri tetapi juga perlu peran serta masyarakat dalam pengembangan
kesehatan terutama dilingkungan masyarakat yang sangat mendasar, sehingga pelayanan
kesehatan dapat lebih berkembang.

Permasalahan :

Salah satu upaya kesehatan wajib dalam puskesmas berupa upaya pengobatan dasar yang
ditujukan kepada semua penduduk, tidak membedakan jenis kelamin dan golongan umur.
Kegiatan poli umum merupakan bagian dari pengobatan dasar, dimana pada poli ini dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis pada setiap pasien yang datang memeriksakan dirinya di
puskesmas. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis ini dapat ditegakkan diagnosis pasien.
Selanjutnya dilakukan penilaian apakah pasien tersebut cukup menjalani rawat jalan, perlu
dirawat inap, atau bahkan memerlukan rujukan ke pelayanan rumah sakit.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Oleh karena latar belakang di atas, maka diperlukan suatu upaya anamnesis dan pemeriksaan
fisis secara menyeluruh dan teliti pada setiap pasien yang datang ke poliklinik lansia, serta
pemeriksaan penunjang jika diperlukan.

Pelaksanaan :

Telah dilakukan kegiatan poliklinik umum di Puskesmas Singgani Palu selama periode Maret –
Mei 2021. Pemeriksaan meliputi anamnesis tentang gejala utama seperti demam, nyeri kepala,
batuk, sesak, mual muntah, nyeri ulu hati, nyeri perut, nafsu makan, berak encer, gatal, serta
keluhan penyerta. Kemudian dilakukan anamnesis tentang riwayat penyakit, faktor risiko,
riwayat keluarga, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Setelah anamnesis dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisis berupa inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Dan jika diperlukan
dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium.

Monitoring & Evaluasi :

•Pada anamnesis, didapatkan keluhan terbanyak pasien yang datang berobat ke Poliklinik
Lansia yaitu Diabetes Melitus tipe 2, Hipertensi, Hiperkolesterolemia, Neuropati

•Dari anamnesis tersebut dengan keluhan lemas dan keram-kram pada tangan , paling banyak

•Pasien yang dirujuk ke rumah sakit sebagian besar adalah pasien bedah, mata, jantung dengan
indikasi rujuk yang tidak dapat ditangani di Puskesmas.

Judul Laporan :

PELAKSANAAN POLI KLINIK ANAK


Latar Belakang :

Pembangunan kesehatan mempunyai visi “Indonesia sehat“, diantaranya dilaksanakan melalui


pelayanan kesehatan oleh puskesmas dan rumah sakit. Selama ini pemerintah telah
membangun puskesmas dan jaringannya di seluruh Indonesia rata-rata setiap kecamatan
mempunyai 2 puskesmas, setiap 3 desa mempunyai 1 puskesmas pembantu. Puskesmas telah
melaksanakan kegiatan dengan hasil yang nyata, status kesehatan masyarakat makin
meningkat, ditandai dengan makin menurunnya angka kematian bayi, ibu, makin meningkatnya
status gizi masyarakat dan umur harapan hidup (Kepmenkes, 2004).

Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di satu atau sebagian wilayah
kecamatan. Puskesmas berperan di dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang
berkualitas kepada masyarakat dengan melakukan berbagai upaya untuk memenuhi segala
harapan, keinginan, dan kebutuhan serta mampu memberikan kepuasan bagi masyarakat.

Puskesmas sebagai upaya pelayanan kesehatan strata pertama meliputi pelayanan kesehatan
perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat dan kegiatan yang dilakukan puskesmas,
selain dari intern sendiri tetapi juga perlu peran serta masyarakat dalam pengembangan
kesehatan terutama dilingkungan masyarakat yang sangat mendasar, sehingga pelayanan
kesehatan dapat lebih berkembang.

Permasalahan :

Salah satu upaya kesehatan wajib dalam puskesmas berupa upaya pengobatan dasar yang
ditujukan kepada semua penduduk, tidak membedakan jenis kelamin dan golongan umur.
Kegiatan poli umum merupakan bagian dari pengobatan dasar, dimana pada poli ini dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis pada setiap pasien yang datang memeriksakan dirinya di
puskesmas. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis ini dapat ditegakkan diagnosis pasien.
Selanjutnya dilakukan penilaian apakah pasien tersebut cukup menjalani rawat jalan, perlu
dirawat inap, atau bahkan memerlukan rujukan ke pelayanan rumah sakit.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :


Oleh karena latar belakang di atas, maka diperlukan suatu upaya anamnesis dan pemeriksaan
fisis secara menyeluruh dan teliti pada setiap pasien yang datang ke poliklinik anak, serta
pemeriksaan penunjang jika diperlukan.

Pelaksanaan :

Telah dilakukan kegiatan poliklinik umum di Puskesmas Singgani Palu selama periode Maret –
Mei 2021. Pemeriksaan meliputi anamnesis tentang gejala utama seperti demam, nyeri kepala,
batuk, sesak, mual muntah, nyeri ulu hati, nyeri perut, nafsu makan, berak encer, gatal, serta
keluhan penyerta. Kemudian dilakukan anamnesis tentang riwayat penyakit, faktor risiko,
riwayat keluarga, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Setelah anamnesis dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisis berupa inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Dan jika diperlukan
dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium.

Monitoring & Evaluasi :

•Pada anamnesis, didapatkan keluhan terbanyak pasien yang datang berobat ke Poliklinik
umum yaitu demam, batuk, ISPA

•Dari anamnesis tersebut dengan keluhan demam, paling banyak dengan diagnosis akhir
Tonsilofaringitis Akut, keluhan batuk paling banyak dengan diagnosis ISPA.

•Pasien yang dirujuk ke rumah sakit sebagian besar adalah pasien bedah, kulit dengan indikasi
rujuk yang tidak dapat ditangani di Puskesmas.

Judul Laporan :

PELAKSANAAN POLIKLINIK DEWASA

Latar Belakang :

Pembangunan kesehatan mempunyai visi “Indonesia sehat“, diantaranya dilaksanakan melalui


pelayanan kesehatan oleh puskesmas dan rumah sakit. Selama ini pemerintah telah
membangun puskesmas dan jaringannya di seluruh Indonesia rata-rata setiap kecamatan
mempunyai 2 puskesmas, setiap 3 desa mempunyai 1 puskesmas pembantu. Puskesmas telah
melaksanakan kegiatan dengan hasil yang nyata, status kesehatan masyarakat makin
meningkat, ditandai dengan makin menurunnya angka kematian bayi, ibu, makin meningkatnya
status gizi masyarakat dan umur harapan hidup (Kepmenkes, 2004).

Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di satu atau sebagian wilayah
kecamatan. Puskesmas berperan di dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang
berkualitas kepada masyarakat dengan melakukan berbagai upaya untuk memenuhi segala
harapan, keinginan, dan kebutuhan serta mampu memberikan kepuasan bagi masyarakat.

Puskesmas sebagai upaya pelayanan kesehatan strata pertama meliputi pelayanan kesehatan
perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat dan kegiatan yang dilakukan puskesmas,
selain dari intern sendiri tetapi juga perlu peran serta masyarakat dalam pengembangan
kesehatan terutama dilingkungan masyarakat yang sangat mendasar, sehingga pelayanan
kesehatan dapat lebih berkembang.

Permasalahan :

Salah satu upaya kesehatan wajib dalam puskesmas berupa upaya pengobatan dasar yang
ditujukan kepada semua penduduk, tidak membedakan jenis kelamin dan golongan umur.
Kegiatan poli umum merupakan bagian dari pengobatan dasar, dimana pada poli ini dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis pada setiap pasien yang datang memeriksakan dirinya di
puskesmas. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis ini dapat ditegakkan diagnosis pasien.
Selanjutnya dilakukan penilaian apakah pasien tersebut cukup menjalani rawat jalan, perlu
dirawat inap, atau bahkan memerlukan rujukan ke pelayanan rumah sakit.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Oleh karena latar belakang di atas, maka diperlukan suatu upaya anamnesis dan pemeriksaan
fisis secara menyeluruh dan teliti pada setiap pasien yang datang ke poliklinik dewasa, serta
pemeriksaan penunjang jika diperlukan.

Pelaksanaan :
Telah dilakukan kegiatan poliklinik umum di Puskesmas Singgani Palu selama periode Maret –
Mei 2021. Pemeriksaan meliputi anamnesis tentang gejala utama seperti demam, nyeri kepala,
batuk, sesak, mual muntah, nyeri ulu hati, nyeri perut, nafsu makan, berak encer, gatal, serta
keluhan penyerta. Kemudian dilakukan anamnesis tentang riwayat penyakit, faktor risiko,
riwayat keluarga, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Setelah anamnesis dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisis berupa inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Dan jika diperlukan
dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium.

Monitoring & Evaluasi :

•Pada anamnesis, didapatkan keluhan terbanyak pasien yang datang berobat ke Poliklinik
umum yaitu demam typhoid, infeksi saluran pernapasan akuut, dermatitis alergi.

•Dari anamnesis tersebut dengan keluhan demam, batuk, dan gatal-gatal.

•Pasien yang dirujuk ke rumah sakit sebagian besar adalah pasien bedah, kulit dengan indikasi
rujuk yang tidak dapat ditangani di Puskesmas.

Judul Laporan :

PELAKSANAAN POLI KLINIK KIA

Latar Belakang :

Pembangunan kesehatan mempunyai visi “Indonesia sehat“, diantaranya dilaksanakan melalui


pelayanan kesehatan oleh puskesmas dan rumah sakit. Selama ini pemerintah telah
membangun puskesmas dan jaringannya di seluruh Indonesia rata-rata setiap kecamatan
mempunyai 2 puskesmas, setiap 3 desa mempunyai 1 puskesmas pembantu. Puskesmas telah
melaksanakan kegiatan dengan hasil yang nyata, status kesehatan masyarakat makin
meningkat, ditandai dengan makin menurunnya angka kematian bayi, ibu, makin meningkatnya
status gizi masyarakat dan umur harapan hidup (Kepmenkes, 2004).

Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di satu atau sebagian wilayah
kecamatan. Puskesmas berperan di dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang
berkualitas kepada masyarakat dengan melakukan berbagai upaya untuk memenuhi segala
harapan, keinginan, dan kebutuhan serta mampu memberikan kepuasan bagi masyarakat.

Puskesmas sebagai upaya pelayanan kesehatan strata pertama meliputi pelayanan kesehatan
perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat dan kegiatan yang dilakukan puskesmas,
selain dari intern sendiri tetapi juga perlu peran serta masyarakat dalam pengembangan
kesehatan terutama dilingkungan masyarakat yang sangat mendasar, sehingga pelayanan
kesehatan dapat lebih berkembang.

Permasalahan :

Salah satu upaya kesehatan wajib dalam puskesmas berupa upaya pengobatan dasar yang
ditujukan kepada semua penduduk, tidak membedakan jenis kelamin dan golongan umur.
Kegiatan poli umum merupakan bagian dari pengobatan dasar, dimana pada poli ini dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis pada setiap pasien yang datang memeriksakan dirinya di
puskesmas. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis ini dapat ditegakkan diagnosis pasien.
Selanjutnya dilakukan penilaian apakah pasien tersebut cukup menjalani rawat jalan, perlu
dirawat inap, atau bahkan memerlukan rujukan ke pelayanan rumah sakit.

Perencanaan & Pemilihan Intervensi :

Oleh karena latar belakang di atas, maka diperlukan suatu upaya anamnesis dan pemeriksaan
fisis secara menyeluruh dan teliti pada setiap pasien yang datang ke poliklinik dewasa, serta
pemeriksaan penunjang jika diperlukan.

Pelaksanaan :

Telah dilakukan kegiatan poliklinik umum di Puskesmas Singgani Palu selama periode Maret –
Mei 2021. Pemeriksaan meliputi anamnesis tentang gejala utama seperti demam, nyeri kepala,
batuk, sesak, mual muntah, nyeri ulu hati, nyeri perut, nafsu makan, berak encer, gatal, serta
keluhan penyerta. Kemudian dilakukan anamnesis tentang riwayat penyakit, faktor risiko,
riwayat keluarga, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Setelah anamnesis dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisis berupa inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Dan jika diperlukan
dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium.

Monitoring & Evaluasi :

•Pada anamnesis, didapatkan keluhan terbanyak pasien yang datang berobat ke Poliklinik KIA
yaitu antenatal care

•Dari anamnesis tersebut dengan keluhan mual, muntah, nyeri perut.

•Pasien yang dirujuk ke rumah sakit sebagian besar adalah pasien yang memiliki indikasi rujuk
yang tidak dapat ditangani di Puskesmas.

Judul Laporan :

POSYANDU BALITA

Latar Belakang :

Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM)
yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan
memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar
untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi. Upaya pengembangan kualitas
sumberdaya manusia yang mengoptimalkan potensi tumbuh kembang anak dapat dilaksanakan
secara merata apabila sistem pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat seperti posyandu
dapat dilakukan secara efektif dan efisien, dan dapat menjangkau semua sasaran yang
membutuhkan pelayanan, salah satunya adalah layanan tumbuh kembang anak (Depkes RI,
2006).

Kegiatan pemantauan pertumbuhan di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1974 melalui
penimbangan bulanan di posyandu dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS). KMS
memuat kurva pertumbuhan normal anak berdasarkan indeks antropometri berat badan
menurut umur. Dengan penimbangan bulanan ini diharapkan gangguan pertumbuhan setiap
anak dapat diketahui lebih awal sehingga dapat ditanggulangi secara cepat dan tepat.
Pemantauan pertumbuhan perlu ditingkatkan perannya dalam tindak kewaspadaan untuk
mencegah memburuknya keadaan gizi balita (Depkes RI, 2002).

Permasalahan :

Perubahan berat badan merupakan indikator yang sangat sensitif untuk memantau
pertumbuhan anak. Bila kenaikan berat badan anak lebih rendah dari yang seharusnya,
pertumbuhan anak terganggu dan anak berisiko akan mengalami kekurangan gizi. Sebaliknya
bila kenaikan berat badan lebih besar dari yang seharusnya merupakan indikasi risiko kelebihan
gizi (Depkes RI, 2009).

Perencanaan & Pemiliha Intervensi :

Oleh karena latar belakang di atas, maka diperlukan suatu upaya anamnesis dan pemeriksaan
fisis secara menyeluruh dan teliti pada setiap anak yang datang ke posyandu.

Pelaksanaan :

Posyandu balita dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 2021 , bertempat di Posyandu Murni.
Posyandu ini diikuti oleh ibu-ibu dan kader-kader. Kegiatan yang dilakukan berupa ngukuran
status gizi balita dan pemberian suplemen vitamin untuk balita.

Monitoring & Evaluasi :

Semua informasi atau data yang diperlukan untuk pemantauan pertumbuhan balita, pada
dasarnya bersumber dari data berat badan hasil penimbangan balita bulanan yang diisikan ke
dalam KMS untuk dinilai naik (N) atau tidaknya (T). Tiga bagian penting dalam pemantauan
pertumbuhan adalah : ada kegiatan penimbangan yang dilakukan terus menerus secara teratur,
ada kegiatan mengisikan data berat badan anak ke dalam KMS, serta ada penilaian naik atau
turunnya berat badan anak sesuai dengan arah garis pertumbuhannya.

Anda mungkin juga menyukai