Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :

NAMA : IBNU AWAL RIZKI

NPM : 1974201097

MATA KULIAH : HUKUM ADAT

DOSEN PENGAMPU : Dr. SINUNG MUFTI HANGABEI,


S.H., M.H

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayahNya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
perkembangan filsafat hukum di Indonesia tepat waktu. Makalah perkembangan
filsafat hukum di Indonesia disusun guna memenuhi tugas Dr. Sinung Mufti
Hangabei, S.H., M.H pada mata kuliah Filsafat Hukum di Fakultas Hukum.

Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah
wawasan bagi pembaca tentang filsafat hukum. Tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis
terima demi kesempurnaan makalah ini.

Bengkulu, 11 Juli 2021

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan .................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 9
A. Tinjauan Pustaka...................................................................... 9
B. Pengertian Hukum dan Proses Pembentukan Hukum
C. Permasalahan Filsafat Hukum................................................. 12
D. Fungsi Filsafat Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di
Indonesia
E. Pendekatan Filsafat Hukum..................................................... 14
F. Implikasi Filsafat Hukum dalam Kenyataan Hidup
Bermasyarakat, Bernegara, dan Berbangsa
G. 7. Perkembangan Filsafat Hukum di Indonesia

BAB IV PENUTUP..................................................................................... 20
A. Kesimpulan ............................................................................. 20
B. Saran ....................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Negara Republik Indonesia merupakan negara kesatuan yang


berbentuk republik, kedaulatan berada di tangan rakyat dan berdasarkan
hukum (rechsstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).
Di dalam negara kesatuan itu juga hanya ada satu pemerintahan, yaitu
pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi
dalam segala lapangan pemerintahan. Pemerintahan pusat inilah yang pada
tingkat terakhir dan tertinggi dapat memutuskan segala sesuatu di dalam
negara tersebut.

Kedaulatan berada di tangan rakyat, berarti pemegang kekuasaan


tertinggi adalah rakyat. J. J. Rosseau mengatakan, bahwa oleh karena
penguasa mendapatkan kekuasaannya dari rakyat, maka yang mempunyai
kekuasaan tertinggi itu adalah rakyat. Dengan kata lain, yang berdaulat adalah
rakyat. Penguasa hanya merupakan pelaksana dari sesuatu hal yang telah
diputuskan atau dikehendaki oleh rakyat. Kekuasaan penguasa itu bersifat
pinjaman, karena pada waktu individu-individu itu mengadakan perjanjian
masyarakat, mereka tidak menyerahkan hak-hak atau kekuasaannya kepada
penguasa, tetapi mereka menyerahkan kehendaknya atau kemauannya kepada
masyarakat, yang merupakan kesatuan tersendiri, yang timbul karena
perjanjian masyarakat tersebut. Oleh karena itu masyarakat tersebut sebagai
suatu kesatuan mempunyai kemauan umum yang oleh Rousseau disebut
volonte generale. Kemauan umum dari masyarakat inilah yang merupakan
kekuasaan tertinggi, yang menentukan putusan terakhir dan tertinggi, dan
dinamakan kedaulatan. Dengan demikian ternyatalah bahwa yang memiliki
kedaulatan itu rakyat. Sebagai negara hukum, baik penguasa maupun rakyat
atau warganegara, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum.
Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatannya harus sesuai atau menurut
hukum.

Perlunya kita mengetahui filsafat hukum karena relevan untuk


membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum
adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu
memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang
relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah
secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru
guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan maka
rumusan masalahnya adalah :
1. Bagaimana Pengertian Hukum dan Proses Pembentukan Hukum di
Indonesia?
2. Bagaimana Fungsi Filsafat Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di
Indonesia
3. Apa Saja Permasalahan Yang dikaji Dalam Filsafat Hukum?
4. Bagaimana Cakupan dan Pendekatan dari Filsafat Hukum itu
sendiri?
5. Bagaimana Implikasi Filsafat Hukum dalam Kenyataan Hidup
Bermasyarakat, Bernegara, dan Berbangsa?
6. Bagaimana Perkembangan Filsafat Hukum di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dilakukan untuk memperoleh bagaimana perkembangan
filsafat hukum di Indonesia yang meliputi tentang Pengertian dari Filsafat
Hukum, untuk mengetahui Permasalahan dalam Filsafat Hukum, dan untuk
mengetahui Pendekatan dalam Filsafat Hukum dan lain-lain.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Tinjauan Pustaka

Secara etimologis, filsafat berasal dari kata philosophia, philo (cinta) dan
sophia (kebijaksanaan). Jadi filsafat adalah mencintai kebijaksanaan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1) pengetahuan dan penyelidikan dengan
akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, 2) teori
yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang
berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.

Filsuf Plato (427-347 sM) mendefinisikan filsafat adalah ilmu


pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli. Kemudian filsuf
Aristoteles murid Plato (382-322 sM) mengartikan filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang meliputi kebenaran, dan berisikan di dalamnya ilmu:
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.

Filsafat atau disebut juga ilmu filsafat, mempunyai beberapa cabang ilmu
utama. Cabang ilmu utama dari filsafat adalah ontologi, epistemologi, tentang
nilai (aksiologi), dan moral (etika). Ontologi (metafisika) membahas tentang
hakekat mendasar atas keberadaan sesuatu. Epistemologi membahas pengetahuan
yang diperoleh manusia, misalnya mengenai asalnya (sumber) darimana sajakah
pengetahuan itu diperoleh manusia, apakah ukuran kebenaran pengetahuan yang
telah diperoleh manusia itu dan bagaimanakah susunan pengetahuan yang sudah
diperoleh manusia. Ilmu tentang nilai atau aksiologi adalah bagian dari filsafat
yang khusus membahas mengenai hakekat nilai berkaitan dengan sesuatu.
Sedangkan filsafat moral membahas nilai berkaitan dengan tingkah laku manusia
dimana nilai di sini mencakup baik dan buruk serta benar dan salah.

Purnadi Purbacaraka Soerjono Soekanto menyebutkan sembilan arti


hukum, yaitu: (1) Ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan yang tersusun secara
sistematis atas dasar kekuatan pemikiran, (2) Disiplin, yaitu system ajaran tentang
kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi, (3) Norma, yaitu pedoman atau
patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan, (4) Tata hukum,
yaitu struktur dan proses perangkat normanorma hukum yang berlaku pada suatu
waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis, (5) Petugas, yakni pribadi-
pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan
hukum (law enforcement officer), (6) Keputusan penguasa, yakni hasil proses
diskresi, (7) Proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara
unsure-unsur pokok dari system kenegaraan, (8) Sikap tindak ajeg atau perilaku
yang teratur, yakni perilaku yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang
bertujuan mencapai kedamaian, dan (9) Jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari
konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang


filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum.
Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis. Jadi obyek filsafat hukum adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji
secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.

Lili Rasyidi menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat


hukum, antara lain: (1) Hubungan hukum dan kekuasaan, (2) Hubungan hukum
dengan nilai-nilai social budaya, (3) Apa sebab Negara berhak menghukum
seseorang, (4) Apa sebab orang menaati hukum, (5) Masalah
pertanggungjawaban, (6) Masalah hak milik, (7) Masalah kontrak, dan (8)
Masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

2. Hukum dan Pembentukan Hukum

Menurut Apeldoorn sebagaimana dikutip Immanuel Kant, para ahli hukum


masih mencari tentang apa definisi hukum. Definisi tentang hukum yang
dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, bergantung dari sufut mana
mereka melihatnya. Ahli hukum Belanda J. van Kan mendefinisikan hukum
sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang
melindungi kepentingankepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat tersebtu
mirip dengan definisi dari Rudolf van Jhering yang mengatakan bahwa hukum
adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu
Negara. Hans Kelsen menyataan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana
orang harus berperilaku. Pendapat ini didukung oleh ahli hukum Indonesia
Wirjono Projodikoro yang menyatakan bahwa hukum adalah rangkaian peraturan
mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat,
kebahagiaan dan tata tertib masyarakat itu. Selanjutnya O. Notohamidjojo
berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak
tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakukan manusia dalam
masyarakat Negara serta antar Negara, yang berorientasi pada dua asas yaitu
keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat.

Dari sekian banyak definisi yang ada, menurut Paul Scholten ada beberapa
ciri-ciri hukum, sebagaimana dikutip oleh A. Gunawan Setiardja yaitu: (1) Hukum
adalah aturan perbuatan manusia. Dengan demikian menurut ahli hukum, tatanan
hukum adalah hukum positif yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah adalah
sumber hukum, (2) Hukum bukan hanya dalam keputusan, melainkan juga dalam
realisasinya. Menurut Prof. Padmo Wahyono, S.H., hukum yang berlaku dalam
suatu Negara mencerminkan perpaduan sikap dan pendapat pimpinan pemerintah
dan masyarakat mengenai hukum tersebut, (3) Hukum ini mewajibkan. Apabila
hukum positif telah ditetapkan maka setiap warga negara wajib untuk menaati
hukum sesuai dengan undang-undang, (4) Institusionali hukum. Hukum positif
merupakan hukum institusional dan melindungi masyarakat, dan (5) Dasar
hukum. Setiap hukum mempunyai dasar, yaitu mewajibkan dan mengharuskan.
Pelaksanaannya dengan ideologi bangsa.

Hukum yang mempunyai arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah


hukum yang ditentukan oleh pemerintah suatu negara, yaitu undangundang. Hal
ini jelas dalam kenyataan bahwa peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga
non-negara, membutuhkan peneguhan dari negara supaya berlaku sungguh-
sungguh secara yuridis. Sebagaimana halnya hukum adat hanya dipandang
sebagai hukum yang sah, bila terdapat pengakuan oleh negara kepada warga
negara yang akan menggunakan hukum adatnya tersebut.

Pembentukan hukum di Indonesia telah diatur jenis, hierarkinya oleh


Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Dalam pembentukan hukum setidak-tidaknya
ada tiga teori yaitu:14 Materiele theorie, Formile theorie, dan Filosofische theori.
Materiele theorie, dikemukakan oleh Leo Pold Pospisil, orang Amerika yang
menjadi warga Negara Belanda. Leo Pold mempunyai tiga kerangka berpikir,
yakni: Pertama, hukum di suatu Negara pada hakekatnya hanya dapat dibedakan
menjadi dua: (1) Authoretorian law, hukum yang berasal dari author (penguasa),
dan (2) Common law, hukum yang hidup di masyarakat. Kedua, masing-masing
kelompok hukum tersebut mempunyai keunggulan dan kelemahan yang
berbanding terbalik. Artinya, keunggulan dalam authoretorian law akan menjadi
kelemahan bagi common law. Keunggulan authoretorian law dalam dua hal: (1)
kepastian hukumnya tinggi, dan (2) daya paksanya tinggi.

Kelemahan authoretorian law adalah bersifat statis dan obyektivitas


keadilan sulit diwujudkan karena dibuat oleh author (penguasa) bukan oleh
rakyat. Sedangkan keunggulan common law berupa: (1) bersifat dinamis, dan (2)
obyektivitas keadilannya mudah diwujudkan. Kelemahan common law adalah
kepastian hukumnya rendah, dan daya paksa (enforcement)-nya juga rendah.
Ketiga, hukum yang baik adalah hukum yang materinya (isi) semaksimal
mungkin diambil dari common law tapi diberi wadah dalam bentuk authoretorian
law (hukum tertulis). Formile theorie, dikemukakan oleh orang Inggris bernama
Rick Dickerson dalam bukunya “Legal Drafting Theory”.

Hukum yang baik bentuknya harus memenuhi tiga syarat: (1) tuntas
mengatur permasalahan, (2) tidak ada ketentuan tentang delegasi perundang-
undangan (delegatie van wetgeving), dan (3) jangan sampai ada ketentuan (pasal)
yang bersifat elastic. Filosofische theorie, dikemukakan oleh Jeremi Bentham
dalam bukunya “Legal Theory”. Hukum yang baik harus memenuhi unsur-unsur:
(1) berlaku secara filosofis. Produk hukum harus berlaku sesuai filsafat Pancasila.
Artinya, jika produk hukum tersebut disaring dengan Pancasila dapat lolos, (2)
berlaku secara sosiologis. Berarti produk hukum yang dibentuk harus sesuai
dengan kesadaran hukum masyarakat dimana hukum itu akan diberlakukan. Kalau
tidak sesuai maka produk hukum yang dibentuk akan mubadzir, dan (3) berlaku
secara yuridis.

Bahwa hukum itu tajam bermata dua, yaitu kebenaran dan keadilan.
Berlaku secara yuridis artinya dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan. Yang
benar belum tentu dirasa adil, dan sebaliknya yang dirasa adil belum tentu benar.
Benar adalah kecocokan antara perbuatan dan peraturan. Adil adalah
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Ketiga sifat berlaku tersebut harus
dimiliki oleh suatu produk hukum yang dibentuk.

3. Fungsi Filsafat Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia

Negara di dunia yang menganut paham teokrasi menganggap sumber dari


segala sumber hukum adalah ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang
terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa dengan itu. Kemudian untuk
Negara yang menganut paham negara kekuasaan yang dianggap sebagai sumber
dari segala sumber hukum adalah kekuasaan. Lain halnya dengan negara yang
menganut paham kedaulatan rakyat yang dianggap sebagai sumber dari sumber
hukum adalah kedaulatan rakyat.

Bagi Negara Republik Indonesia yang menjadi sumber dari sumber hukum
adalah Pancasila yang dijumpai dalam alinea keempat Pembukaan Undang-
Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila sebagai dasar falsafah,
pandangan hidup, dasar negara, dan sumber tertib hukum Indonesia yang
menjiwai serta menjadi mercusuar hukum Indonesia. Pancasila inilah yang
menjadi landasan pembenar bagi pembangunan ilmu hukum Indonesia
berdasarkan epistemologi rasioempiris-intuisi-wahyu. Masuknya intuisi-religi
sebagai metode dalam ilmu hukum Indonesia diharapkan mampu menjadikan
lengkap ilmu hukum dan memberi semangat serta jiwa pembangunan hukum
Indonesia.15 Keterkaitan hukum dan manusia tidak dapat dipisahkan.

Oleh karenanya pembangunan hukum Indonesia harus melalui


pemahaman hakekat manusia. Prof. Notonagoro menunjukkan hakekat manusia
secara integral. Hakekat dasar manusia dalam Negara Republik Indonesia yang
ber-Pancasila sebagai makhluk yang monopluralis (majemuk-tunggal). Manusia
sebagai makhluk monopluralis oleh Notonagoro diartikan sebagai makhluk yang
sekaligus memiliki tiga hakekat kodrat sebagai berikut: (1) Susunan kodrat
monodualis: yaitu manusia sebagai makhluk yang tersusun dari raga dan jiwa, (2)
Sifat kodrat monodualis: yaitu manusia sebagai makhluk individu dan makhluk
social, dan (3) Kedudukan kodrat monodualis: yaitu manusia sebagai makhluk
yang berdiri sendiri dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.16 Melalui
pemahanan bahwa manusia bersifat monopluralis ini memberikan landasan bahwa
paradigm hukum Indonesia adalah Pancasila. Diuraikan oleh Notonagoro bahwa
landasan ontology manusia yang monopluralis adalah landasan bagi Pancasila
menjadi sebuah system filsafat.

Selanjutnya Pancasila menjadi sebuah system filsafat menjiwai segenap


hukum (rules) di dalam system hukum Indonesia.17 Menurut Moch. Koesnoe, di
dalam Pembukaan dan UndangUndang Dasar 1945 terkandung nilai-nilai dasar
tata hukum nasional kita yang merupakan rechtsidee hukum dan sebentuk idealita
apa yang dinamakan hukum di negara kita itu. Secara ringkas nilai dasar tersebut
meliputi: (1) Nilai dasar pertama: hukum berwatak melindungi (mengayomi) dan
bukan sekedar memerintah begitu saja, (2) Nilai dasar kedua: hukum itu
mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan social bukan
semata-mata sebagai tujuan. Akan tetapi sekaligus pegangan yang konkret dalam
membuat peraturan hukum, (3) Nilai dasar ketiga: hukum itu adalah dari rakyat
dan mengandung sifat kerakyatan, dan (4) Nilai dasar keempat: hukum adalah
pernyataan kesusilaan dan moralitas yang tinggi, baik dalam peraturan maupun
dalam pelaksanaannya sebagaimana diajarkan di dalam ajaran agama dan adat
rakyat kita.18 Pembentukan hukum di Indonesia diatur oleh Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan bahwa Pancasila
merupakan sumber segala sumber hukum negara. Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan menentukan bahwa Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan
Perundang-undangan.

4. Permasalah Filsafat Hukum

Permasalahan dalam penerapan filsafat hukum meliputi keadilan, HAM,


dan hukum sebagai sarana pembaharuan masayarakat. Keadilan merupakan salah
satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah
filsafat hukum. Hakikat hukum adalah membawa aturan yang ada dalam
masyarakat. Hukum terkait dengan keadilan, oleh karena keadilan hanya bisa
dipahami jika diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum.
Upaya untuk mewujudkan ini merupakan proses dinamis yang memakan waktu
Upaya ini didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka
umum untuk mengaktualisasikannya, sehingga keadilan dapat diangap sebagai
sebuah gagasan, sebagaimana yang dilakukan oleh Plato dan Hegel yang
mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa
didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sulit.

Manusia sebagai subjek hukum memiliki hak dan kewajiban seperti yang
diamanat dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan diatur secara
spesifik dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Hak-hak yang ada pada manusia merupakan prinsip-prinsip yang
menyangkut hukum dalam arti subjektif. Hal ini secara umum diterima oleh
karenanya hak-hak itu berkaitan dengan manusia yang karena harkat dan
martabatnya menuntut untuk dihargai dan dihormati.
Pengakuan atas harkat dan martabat manusia ini telah menghasilkan suatu
dokumen yang bersejarah tentang hak-hak asasi manusia yakni Declaration of
Human Rights. Hak-hak manusia disebut sebagai hak asasi karena dianggap
sebagai fundamen yang diatasnya seluruh organisasi hidup bersama harus
dibangun. Hak-hak asasi manusia akan menjadi masalah jika pengakuan hak
tersebut dipandang tidak sebagai bagian humanisasi hidup yang telah mulai
digalang sejak manusia sadar tentang tempatnya dan tugasnya didunia ini.

Hak-hak asasi manusia dibagi menjadi dua jenis yaitu hak fundamental
yang melekat pada pribadi manusia sebagai individu adalah hak atas hidup dan
perkembangan hidup. Seperti hak atas kebebasan beragama, hak atas nama baik,
dan lain sebagainya. Kedua yaitu hak-hak yang melekat pada manusia sebagai
makhluk social dibagi menjadi hak ekonomis, sosial dan kultural. Diantara hak
asasi manusia yang sering dikaitkan dalam filsafat hukum adalah hak milik.
Masalah terakhir dalam cakupan filsafat hukum adalah tentang peranan hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

Filsafat hukum diharapkan dapat menjadi sarana pembaharuan masyarakat


karena filsafat hukum mengajarkan orang untuk berpikir secara prediktif.
Maksudnya adalah memprediksi, mengkaji apa yang akan terjadi didepan dengan
dasar dari gejala-gejala yang terjadi pada saat ini. Selain itu filsafat hukum juga
digunakan sebagai pandangan hidup manusia untuk membantu dan mengarahkan
manusia dalam aktivitas-aktivitas kehidupan manusia, yang berperan sebagai
kompas dalam kehidupan manusia sebagai masyarakat. Hal ini dikarenakan
Filsafat merupakan induk semua cabang ilmu .

5. Pendekatan Filsafat Hukum

1. Pendekatan Historis

Sejarah Filsafat Zaman Yunani KunoBerbicara sejarah tidak akan terlepas


dari dimensi waktu, karena waktu yang sangat menentukan terjadinya sejarah,
yaitu dimensi waktu yang terdiri waktu pada masa lampau, sekarang, dan masa
depan. Hal ini berlaku juga pada saat membicarakan sejarah perkembangan
filsafat hukum yang diawali dengan zaman Yunani (Kuno). Pada zaman Yunani
hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan sebutan kaum Sofis. Kaum
sofis inilah yang berperan dalam perkembangan sejarah filsaft hukum pada zaman
Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini, antara lain:
Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Socrates berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus


ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak
menginginkan terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini
terbukti dari kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa
hukum negara itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates
menyatakan bahwa untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus
memiliki pengetahuan (theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari
Socrates.

6. Implikasi Filsafat Hukum dalam Kenyataan Hidup Bermasyarakat,


Bernegara, dan Berbangsa

Penerapan Filsafat Hukum dalam kehidupan bernegara mempunyai variasi


yang beraneka ragam tergantung pada filsafat hidup bangsa (Wealtanchauung)
masing-masing. Di dalam kenyataan suatu negara jika tanpa ideologi tidak
mungkin mampu mencapai sasaran tujuan nasionalnya sebab negara tanpa
ideologi adalah gagal, negara akan kandas di tengah perjalanan. Filsafat Hidup
Bangsa (Wealtanchauung) yang lazim menjadi filsafat atau ideologi negara,
berfungsi sebagai norma dasar (groundnorm) (Hans Kelsen, 1998: 118). Nilai
fundamental ini menjadi sumber cita dan asas moral bangsa karena nilai ini
menjadi cita hukum (rechtidee) dan paradigma keadilan, makna keadilan
merupakan substansi kebermaknaan keadilan yang ditentukan oleh nilai filsafat
hidup (wealtanchauung) bangsa itu sendiri (Soeryono S., 1978: 19).

Indonesia sebagai negara hukum (Rechtsstaat) pada prinsipnya bertujuan


untuk menegakkan perlindungan hukum (iustitia protectiva). Hukum dan cita
hukum (Rechtidee) sebagai perwujudan budaya. Perwujudan budaya dan
peradaban manusia tegak berkat sistem hukum, tujuan hukum dan cita hukum 36
(Rechtidee) ditegakkan dalam keadilan yang menampilkan citra moral dan
kebajikan adalah fenomena budaya dan peradaban. Manusia senantiasa berjuang
menuntut dan membela kebenaran, kebaikan, kebajikan menjadi cita dan citra
moral kemanusiaan dan citra moral pribadi manusia. Keadilan senantiasa terpadu
dengan asas kepastian hukum (Rechtssicherkeit) dan kedayagunaan hukun
(Zeweclcmassigkeit). Tiap makna dan jenis keadilan merujuk nilai dan tujuan apa
dan bagaimana keadilan komutatif, distributif maupun keadilan protektif demi
terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin warga negara, yaug pada hakikatnya
demi harkat dan martabat manusia. Hukum dan keadilan sungguh-sungguh
merupakan dunia dan trans empirical setiap pribadi manusia.

Hukum dan citra hukum (keadilan) sekaligus merupakan dunia nilai dan
keseluruhannya sebagai fenomena budaya. Peranan filsafat hukum memberikan
wawasan dan makna tujuan hukum sebagai cita hukum (rechtidee). Cita hukum
adalah suatu apriori yang bersifat normatif sekaligus suatu apriori yang bersifat
normatif sekaligus konstitutif, yang merupakan prasyarat transendental yang
mendasari tiap Hukum Positif yang bermartabat, tanpa cita hukum (rechtidee) tak
akan ada hukum yang memiliki watak normatif (Rouscoe Pound, 1972: 23).

Cita hukum (rechtidee) mempunyai fungsi konstitutif memberi makna


pada hukum dalam arti padatan makna yang bersifat konkrit umum dan
mendahului semua hukum serta berfungsi membatasi apa yang tidak dapat
dipersatukan. Pengertian, fungsi dan perwujudan cita hukum (rechtidee)
menunjukkan betapa fundamental kedudukan dan peranan cita-cita hukum adalah
sumber genetik dan tata hukum (rechtsorder). Oleh karena itu cita hukum
(rechtidee) hendaknya diwujudkan sebagai suatu realitas. Maknanya bahwa
filsafat hukum menjadi dasar dan acuan pembangunan kehidupan suatu bangsa
serta acuan bagi pembanguan hukum dalam bidang-bidang lainnya. Kewajiban
negara untuk menegakkan cita keadilan sebagai cita hukum itu tersirat didalam
asas Hukum Kodrat yang dimaksud untuk mengukar kebaikan Hukum Positif,
apakah betul-betul telah sesuai dengan aturan yang berasal dari Hukum Tuhan,
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dengan kebaikan Hukum Etis dan
dengan asas dasar hukum umum abstrak Hukum Filosofis (Notonagoro, 1948:
81).

Hukum berfungsi sebagai pelindungan kepentingan manusia, agar


keperitingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung normal, damai, tertib. Hukum yang telah
dilanggar harus ditegakkan melalui penegakkan hukum. Penegakkan hukum
menghendaki kepastian hukum, kepastian hukum merupakan perlindungan
yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat mengharapkan
adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan
tertib, aman dan damai. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan
penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia maka pelaksanaan hukum
harus memberi manfaat, kegunaan bagi masyarakat jangan sampai hukum
dilaksanakan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Masyarakat yang
mendapatkan perlakuan yang baik, benar akan mewujudkan keadaan yang tata
tentrem raharja. Hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu
dalam kenyataan yang senyatanya, dengan perlindungan hukum yang kokoh akan
terwujud tujuan hukum secara umum: ketertiban, keamanan, ketentraman,
kesejahteraan, kedamaian, kebenaran, dan keadilan (Soejadi, 2003: 5).

7. Perkembangan Filsafat Hukum di Indonesia

a. Perkembangan Filsafat Barat

A. Zaman Purbakala

1. Masa Yunani

a. Masa Pra Socrates

Dinamakan masa Pra Socrates, karena pada saat itu, para filsufnya tidak
dipengaruhi oleh filsafat Socrates, filsafat hukum belum berkembang, para
filsufnya memusatkan perhatian kepada alam semesta.
Dimasa Pra Socrates ini, termasuk di dalamnya adalah zaman yang
dinamakan :

Zaman Yunani Kuno (Abad 6 SM – 6 M)

Pada masa ini kelahiran filsafat barat diawali pada abad ke 6 SM yang
ditandai dengan runtuhnya mitemite dan dongeng-dongeng yang menjadi
pembenaranakan gejala-gejala alam. Ada dua bentuk mite yang berkembang saat
itu yaitu

a. mite kosmogonis yang mencari tentang asal – usul alam semesta.

b. mite kosmologis yang berusaha mencari keterangan asal-usul serta sifat


kejadian alam semesta.

Ada dua hal yang menyebabkan pemikiran filsafat tentang hukum itu
tumbuh subur di Yunani yaitu : 1. kecenderungan-kecenderungan untuk berfikir
spekulatif serta 2. persepsi intelektualnya untuk menyadari adanya tragedy
kehidupan manusia serta konflik-konflik dalam kehidupan di dunia ini. Hal ini
terlihat dari karya-karya filsafat dan kesusteraannya. Dengan demikian, orang pun
di dorong dengan kuat untuk memikirkan problem yang abadi mengenai
hubungan antara hukum positif dengan keadilan yang abadi, sehingga
memberikan sumbangan pemikiran Yunani kedalam teori hukum.

Pasca Aristoteles, filsafat Yunani mengalami ‘kemunduran’ dalam arti


filsafat cenderung 60 memasuki dunia praktis bahkan mengarah ke dunia mistik
sebagaimana dikembangkan oleh faham : Stoisme, Epucurisme dan Neo-
Pitonisme. Yunani boleh di sebut sebagai sumber kancah pemikiran-pemikiran
tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sehingga masalah-masalah
utama dalam teori hukum sekarang ini bisa dikaitkan kepada Yunani. Jadi
masalah-masalah utama yang sekarang dibicarakan dalam teori-teori hukum telah
mendapatkan perumusannya pada masa itu.

b. Masa Socrates
Para penulis sejarah filsafat hukum mengatakan bahwa : Socrateslah yang
pertama-tama memberikan perhatian sepenuhnya pada manusia. Dia berfilsafat
tentang manusia sampai pada segala seginya. Diperkirakan filsafat hukum mulai
lahir di masa ini, kemudian mencapai puncaknya di zaman : filsuf Plato,
Aristoteles dll filsuf-filsuf dari Yunani dan Romawi.

Perbedaan filsafat masa Romawi dan Yunani adalah : bahwa situasi


lingkungan yang menyebabkannya yaitu keadaan Yunani yang damai dan
tenteram  melahirkan filsuf yang memberikan perhatian yang sungguh-sungguh
pada hukum. Pada masa Socrates ada 2 faham yaitu : 1. Ajaran Socrates Banyak
kaum filsuf yang menganut ajaran Socrates yaitu : bahwa hukum merupakan
bagian yang penting dalam kehidupan manusia, terutama kehidupan bernegara. 2.
Ajaran Kaum Sofist Dilain pihak, pada masa Socrates ini, ada pula filsuf yang
berpendapat : Justice is the interest of the stronger yang artinya : Hukum
merupakan hak daripada penguasa. Pandangan ini datang dari mereka yang
disebut kaum Sofist.

Kaum Sofist lahir pada akhir abad ke-5 dan permulaan abad ke-4 sebelum
masehi. Slogannya : Justice is the interest of the stronger (hukum merupakan hak
dari pada penguasa). Pada masa ini ditekankan pembedaan antara : Alam (physis)
dan Konvensi (nomos). Hukum mereka masukkan dalam katagori konvensi
(nomos) karena menurut mereka : hukum adalah hasil karya cipta manusia
(human invention) dan menjustifikasi (membenarkan) kepatuhan pada hukum
hanya sejauh memajukan keuntungan bagi yang bersangkutan.

Pada masa ini masalah filsafat hukum yang penting untuk pertama kali
dirumuskan meski gagasannya tentang hukum, keadilan, agama, kebiasaan dan
moralitas untuk sebagian besar tidak di definisikan. Pada masa ini mulai ada
usaha-usaha untuk merumuskan hukum dalam definisi formal. Beranggapan
manusia bersifat egois dan anti social. Sedangkan Socrates, Plato dan Aristoteles,
beranggapan bahwa manusia adalah makhluk social yang dimotivasi oleh
perhatian bagi orang lain dan perhatian bagi diri sendiri, yang memperoleh
kebahagiaan dalam kehidupan social. 62 Contoh masa Sofist ini adalah :

Percakapan antara Alcibiades dengan Pericles yaitu : Alcibiades


(Xenophon, Memorabilis 1,2) mengatakan pada Pericles bahwa : Tidak ada
seorangpun yang patut menerima pujian kecuali jika ia mengetahui apa sesuatu
(aturan) hukum itu. Pericles menjawab bahwa : aturan hukum adalah apa yang
disetujui dan diputuskan (enacted) oleh mayoritas dalam dewan. Keputusan yang
diperoleh hanya dengan paksaan (compulsion) adalah kekuatan sama dan bukan
hukum, sekalipun aturan hukum itu diberlakukan oleh kekuasaan yang sah
(souvereign power) dalam negara.

Percakapan antara Socrates dan Hippias (Sofis), intinya : mempertahankan


bahwa : hukum (law) adalah : apa yang sesuai dengan hukum (lawful) identik
dengan keadilan (justice) atau apa yang benar (right). Mereka mengakui kaidah
hukum (law) dapat di ubah atau dihapuskan. 63 Perbedaan Kaum Sofist dan
Socrates 1. Bila kaum Sofis menganggap bahwa manusia bersifat egois dan anti
social Maka Socrates, Plato dan Aristoteles beranggapan bahwa : Manusia adalah
makluk social yang dimotivasi oleh perhatian orang lain dan perhatian bagi diri
sendiri, yang memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan social. 2. Socrates
melakukan dialog denga THRASYMACHUS (Sofist) Menurut Socrates : untuk
mengukur apa yang baik atau buruk, indah/jelek, berhak/tidak berhak, jangan
diserahkan semata-mata kepada orang perseorangan atau kepada mereka yang
memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim. Hendaklah di cari ukuran-ukuran
yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi
mereka yang kuat, akan tetapi keadilan itu hendaknya berlaku bagi seluruh
masyarakat. 64

c. Masa Plato

Baginya keadilan (justice) adalah : tindakan yang benar, tidak dapat di


identifikasikan dengan hanya kepatuhan pada aturan hukum. Keadilan adalah
suatu ciri sifat manusia yang mengkoordinasi dan membatasi perbagai elemen dari
pisik manusia pada lingkungannya yang tepat (properspheres) agar
memungkinkan manusia dalam keutuhannya berfungsi dengan baik. Menurut
Plato : hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought, logimos) yang
dirumuskan dalam keputusan negara. Plato menolak pemikiran bahwa : otoritas
dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang memerintah
(governing power).

d. Masa Aristoteles

Menurutnya : hukum adalah : suatu jenis ketertiban dan hukum yang baik,
yaitu : ketertiban yang baik (Politic 1326 a), akal yang dipengaruhi oleh nafsu,
jalan tengah. Seperti juga Plato, Aristoteles menolak pandangan kaum Sofist :
bahwa hukum itu hanyalah konvensi. Namun dia mengakui bahwa : Bahwa
seringkali hukum hanyalah merupakan ekspresi dari kemauan suatu kelas khusus
(sekelompok orang, a particular class) dan menekankan peranan kelas menengah
(middle class) sebagai suatu factor stabilisasi. Dikatakannya dengan memiliki
aturan tertulis adalah lebih baik daripada hanya mengandalkan diri pada
kebijaksanaa (discretion), meski memang tidak semua hal tercakup dalam aturan-
aturan hukum.

d. Masa Kaum STOA

Ajarannya mengatakan bahwa : Semua manusia adalah sama dalam suatu


persekutuan universal (negara, universal commonwealth) dan menolak doktrin
perbudakan dari Aristoteles. Hukum alam merupakan standart yang paling dasar
bagi aturan-aturan hukum dan institusi-institusi yang dibuat manusia yang di
gabungkan dengan gagasan Aristoteles dan Kristen, sehingga terwujud dalam
suatu tradisi hukum alam dari filsafat hukum pada abad pertengahan yang
berpengaruh lama.

2. Masa Romawi

Pada masa ini tidak banyak memberikan sumbangan kepada pemikiran


teori hukum. Pada masa ini, pemikirannya lebih banyak di bidang : konsep-
konsep serta tehnik-tehnik yang berhubungan dengan hukum positif, seperti
bidang-bidang : kontrak, kebendaan dan ajaran-ajaran tentang kesalahan. Pada
masa Romawi, perkembangan filsafat hukum tidak segemilang pada masa Yunani
karena pada masa itu, para ahli fikir lebih banyak mencurahkan perhatiannya
kepada masalah bagaimana hendak mempertahankan ketertiban diseluruh
kawasan kekaisaran Romawi yang luas.

C. Abad Pertengahan (6-16 M)

Merupakan masa yang khas, yang ditandai dengan suatu pandangan hidup
manusia yaitu merasa dirinya tidak berarti tanpa Tuhan, dimana kekuasaan gereja
begitu besarnya, sehingga mempengaruhi segala segi kehidupan. Zaman ini adalah
zaman keemasan bagi kekristenan. Abad ini selalu dibahas sebagai zaman yang
khas, karena dalam abad ini perkembangan alam pikiran Eropa sanga terkendala
oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama. Filsafat zaman
pertengahan biasanya dipandang terlalu seragam dan dipandang tidak penting bagi
sejarah pemikiran sebenarnya.

Hal ini tidak demikian karena tidak mungkin memahami apa yang terjadi
di masa Renaissans dan filsafat abad ke-17 tanpa memahami apa yang terjadi di
abad pertengahan. Filosofis yang berpengaruh di abad ini adalah : Plato dan
Aristoteles. Plato berpengaruh terhadap Agustinus dan Aristoteles terhadap
Thomas Aquinas. Filsafat Agustinus (354-430) merupakan filsafat mengenai ikut
ambil bagian, suatu bentuk Platonisme yang sangat khas. Dengan pengetahuannya
mengenai kebenaran-kebenaran abadi yang disertakan sejak lahir dalam ingatan
dan yang menjadi sadar karena manusia mengetahui sesuatu, manusia ikut ambil
bagian dalam ide-ide Tuhan, yang mendahului ciptaan dunia.

MASA – MASA DI ABAD PERTENGAHAN

1. Masa Gelap (The Dark Ages).

Masa ini dimulai dengan runtuhnya kekaisaran Romawi, akibat serangan


bangsa yang dianggap terbelakang yang datang dari utara yaitu yang disebut :
suku suku Germania. - Pada masa ini peradapan tinggi bangsa Romawi hancur. -
Tidak ada peninggalan di bidang filsafat dan pemikiran dalam zaman ini. - Pada
masa ini, pengaruh agama kristen berkembang dengan pesat karena suasana
kehidupan suku-suku bangsa waktu itu yang selalu berperang. - Manusia pada
masa itu memerlukan adanya ketentraman dan kedamaian, agama Kristen
dianggap memenuhi tuntutan tersebut.

2. Masa Scolastik

Pada masa ini banyak filsafat hukum yang lahir, namun dengan corak
khusus, didasari oleh ajaran Tuhan yaitu ajaran Kristen. - Filsafat hukumnya
disebut : masa scholastis. - Pada masa ini terjadi peralihan dalam aliran pikiran
Yunani (Plato, Aristoteles dan Epicurus). Akibat daripada perbedaan pendapat di
kalangan aliran-aliran ini telah lahir ajaran baru yang disebut : ECLETISISME. 72

NEOPLATONISME

Setelah itu muncul masa lain yang dikenal dalam dunia filsafat sebagai
masa Neo Platonisme dengan Platinus sebagai tokoh terbesar. Filsafat ini yang
mula-mula membangun suatu tata filsafat yang bersifat ke-Yuhanan.
Menurutnya : Tuhan itu hakikat satu-satunya yang paling utama dan luhur yang
merupakan sumber dari segalagalanya. - Dengan dasar filsafat Plato yang
mengajarkan orang harus berusaha mencapai pengetahuan yang sejati, maka
Platinus mengatkah bahwa : kita harus berikhtiar melihat Tuhan, sebab melihat
Tuhan itu tidak dapat dengan berfikir saja akan tetapi harus dengan jalan
beribadah. Pandangan ini membuka jalan untuk mengembangkan agama Kristen
dalam filsafat. - Neo Platonisme lahir di Alexandria sebagai tempat pertemuan
antara filsafat Yunani dan agama Kristen. Santa Agustinus (Romawi) disebut-
sebut oleh kalangan ahli filsafat sebagai menjembatani alam fikiran Yunani dan
alam fikiran Kristen.

D. Masa /Zaman RENAISSANCE


Peralihan dari zaman pertengahan ke zaman modern ditandai dengan suatu
era yang disebut : RENAISSANCE. Renaissance adalah suatu zaman yang sangat
menaruh perhatian pada bidang seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra,
filsafat, ilmu pengetahuan dan tehnologi. Pada zaman ini berbagai golongan
bersatu untuk menentang pola pemikiran abad pertengahan yang dogmatis,
sehingga terjadi perubahan revolusioner dalam pemikiran manusia dan
membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat. Zaman renaissance terkenal
dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berfikir, artinya adalah
manusia bebas seperti pada zaman Yunani Kuno. Pada zaman renaissance ini
manusia Barat berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan gereja
yang selama ini telah ‘mengukung ‘ kebebasan dalam mengemukakan kebenaran
filsafat dan iptek.

MASA – MASA RENAISSANCE

1. MASA SEKITAR ABAD KE-12

Filsafat hukum mendapat dorongan segar ketika studi tentang hukum


Romawi dihidupkan kembali. Ada usaha-usaha mempertemukan (mendamaikan)
perbedaan-perbedaan diantara para Yuris Romawi tentang definisi-definisi hukum
dan klasifikasi cabang-cabangnya. Secara garis besar para ahli hukum sipil
mengikuti tradisi pemikir hukum alam meski ia tidak pernah mencapai taraf
keadilan sempurna yang hanya pada Tuhan.

2. MASA PERTENGAHAN ABAD KE-12

Timbul usaha untuk mensistematisasi hukum. Klasifikasi hukun dari pada


ahli hukum Romawi yang membagi hukum menjadi 3 bagian secara verbal
diterima  tetapi konsepsi yang paling berpengaruh adalah : jus dividum dan jus
humana dari Agustinus. - Hukum alam di identifikasikan sama dengan aspek yang
mencakup jus gentium dan jus civil adalah ; Kebiasaan. - Hukum alam bersifat
abadi (immu-table) dan berkaitan dengan sifat rasional manusia. - Teori Thomas
Aquinas yang mengintegrasikan unsurunsur pandangan STOA, ajaran Kristen dan
filsafat Aristoteles  ke dalam suatu filsafat yang komprehensif merupakan :
kulminasi dari hukum. - Hukum alam adalah : sebah standar terhadap mana
hukum manusia harus conform. - Menurut Thomas Aquinas : aturan-aturan
hukum adalah peraturan akal budi (ordinances of reason) yang diundangkan bagi
kebaikan umum oleh penguasa yang sah (legitimate. Souvereign).

3. ABAD KE-14

Mulai tumbuh suatu kecenderungan mengkombinasikan doktrin-doktrin


hukum alam dengan suatu teori absolutisme pada Raja (Royal Absolutism). - Para
post glossator yang terdiri dari sekelompok ahli (penstudi) hukum sipil  berusaha
untuk membangun suatu system hukum yang mereka pandang sebagai : jus
commune (hukum yang berlaku umum) dari Eropa, yang dioperasikan
berdasarkan hukum Romawi yang lebih tua. - Kekuasaan para Raja (Prince’s
Lordship) bertumpu pada kekuasaan Ilahi (divide authority). - Para penguasa
hanya bertanggung jawab kepada Tuhan dan tidak kepada rakyat, karena hukum
bukan merupakan ekspresi kemauan rakyat.

4. JEAN BODIN

Pandangan-pandangannya banyak dipengaruhi oleh penstudi hukum sipil


abad ke-14. - Dalam “lex six livres de la Republique” dikatakannya bahwa : 
hukum tiada lain daripada perintah dari yang berdaulat (Raja) dalam menjalankan
kekuasaan kedaulatannya.  Namun kekuasaan Raja tidaklah melampaui hukum
alam yang didekritkan Tuhan. - Bodin tidak membenarkan bahwa akal yang benar
mempertautkan hukum alam dengan hukum positif dan kebiasaan. - Bodin adalah
orang pertama yang mengatakan : bahwa kebiasaan memperoleh kekuatan hukum
(legal authority) pada pengesahan oleh penguasa secara tidak eksplisit (diam-
diam).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah Bagaimana Pengertian Filsafat Hukum
Menurut Para Ahli, Apa Saja Permasalahan Yang dikaji Dalam Filsafat
Hukum dan Bagaimana Cakupan dan Pendekatan dari Filsafat Hukum itu
sendiri, maka pada hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa Pengertian
filsafat hukum beragam adanya tetapi substansi dari filsafat itu sendiri
dimaknai sama yaitu mempelajari pertanyaan dasar dari hukum dan
pernyataan tentang hakikat hukum. Permasalahan dalam FIlsafat Hukum
mencakup keadilan, HAM, dan hukum sebagai sarana pembaharuan dalam
masyarakat. Pendekatan tentang filsafat hukum dilakukan dengan cara
pendekatan historis dari zaman Yunani kuno hingga zaman modern.

B. Saran
Dari hasil pembahasa tersebut maka, penulis dapat memberikan saran
yaitu kepada para penyelenggara Negara, penegak hukm haruslah memahami
konsep dari hukum dengan memahami konsep mendalam dari filsafat hukum
itu sendiri sebab Filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan
radikal atas masalah tersebut. oleh karena itu filsafat ilmu dapat dipandang
sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu,
sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak
memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. (2017). Pemetaan tesis dalam aliran filsafat hukum dan konsekuensi
metodologisnya. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 24(2):213-231.

Amin, S. (2019). Keadilan dalam perspektif filsafat hukum terhadap masyarakat.


Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis, 8 (1) : 1-10.

Andi, H. N. ( 1999). Pengantar ke Filsafat Sains. Litera Antar Nusa, Jakarta.

Andriyaldi. (2018). Sejarah dan korelasi hukum islam dengan ilmu lainnya.
Jurnal Hukum Islam, 16 (1) : 1-23.

Arliman, L. (2016). Peranan filsafat hukum dalam perlindungan anak yang


berkelanjutan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Doctrinal, 1(2):
208-228.

Barus, Z. (2013). Analisis Filosofis tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum


Normatif dan Penelitian Sosiologis. Jurnal Dinamika Hukum, 13(2): 6-
15.

Bruggink. (1999). Refleksi Tentang Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Darmodiharjo, Darji, dan Shidarta. (2006). Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa


dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia). PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Djokosutono. (1982). Ilmu Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta.

E. Utreht. (1966). Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Ichtiar, Jakarta..

Friedmann.W. (1996). Teori dan Filsafat Hukum. PT RajaGrafindo Persada,


Jakarta.

Golding, P. M. (2005). Sejarah dan Masalah-Masalah Filsafat Hukum.


Laboratorium Hukum FH. Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Hardianto, D. (2014). Reorientation towards the Nature of Jurisprudence in Legal

Research. Mimbar Hukum, 26 (2): 83-92.

Khambali, M. (2014). Fungsi filsafat hukum dalam pembentukan hukum di


Indonesia. Jurnal Kajian Ilmu Hukum, 3 (1) : 1-18.

Lili, R. (1996). Dasar-Dasar Filsafat Hukum. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Luthan, S. (2012). Dialektika Hukum dan Moral dalam Perspektif Filsafat


Hukum. Jurnal Hukum Ius Quita Iustum, 19 (4) 201-213.

Mahyidin, S. (2009). Filsafat hukum ketatanegaraan dalam perspektif islam.


Majalah Ilmiah Universitas Muhammadiyah Aceh, 12(1): 1-9.

Malian, S. (2012). Perkembangan filsafat ilmu teori serta kaitannya dengan teori
hukum. UNISIA, 33 (73) : 1-9.

Maylissabet. (2019). Hulum waris dalam kompilasi hukum islam perspektif


filsafat hukum. Jurnal Syariah dan Hukum, 1(1): 9-29.

Pound, R. (1996). Pengantar Filsafat Hukum. Bharata, Jakarta.

Suseno dan Franz, M. (1999). Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar


Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

The, L. G. (1991). Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Jakarta.


Tutik, T. T. (2014). Ilmu hukum: hakekat keilmuannya ditinjau dari sudut filsafat
ilmu dan teori ilmu hukum. Jurnal Hukum & Pembangunan, 44(2):
245-268.

Rappaport, A. (2004). The Logic of Legal Theory: Reflections on the Purpose and
Methodology of Jurisprudence. Mississippi Law Journal, 73(12): 289-
297.

Rasjidi, L. (1988). Dasar-dasar Filsafat Hukum. Rajawali Press, Jakarta.

Muchsin, I. (2006). Filsafat Hukum. Badan Penerbit Iblam, Jakarta.

Wignjosoebroto, S. (2000). Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Huku. Jurnal


Wacana, 6(1): 1-6.

Wiradipradja, E. S. (2006). Diktat Filsafat Hukum. Pasca Sarjana. Universitas


Padjadjaran, Bandung.

Zainuddin, A. (2006). Filsafat Hukum. Sinar Grafika, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai