Anda di halaman 1dari 8

KEPASTIAN HUKUM ATAS PENGATURAN JANGKA WAKTU PEMBAYARAN

BIAYA ARBITRASE
DI BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI)
Disusun oleh : ARIEF HANNANY, S. H.

A. PENDAHULUAN
Dalam menjalankan usahanya dengan tujuan mendapatkan keuntungan, perusahaan acap kali
mengadakan kerjasama dengan perusahaan lain, namun dalam kerjasama tersebut terkadang
tidak berjalan dengan baik yang menyebabkan sengketa bisnis, hal mana guna
menyelesaikan sengketa tersebut, salah satu pihak tentunya dapat mengajukan gugatan yang
umumnya diajukan ke Pengadilan Negeri setempat (“PN”) guna melindungi hak-haknya,
namun seiring dengan perkembangan hukum secara global yang juga mempengaruhi hukum
di Indonesia, hukum telah memberikan wadah selain PN guna menyelesaikan sengketa
bisnis tersebut, yaitu Arbitrase.

Salah satu kelebihan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dibandingkan dengan melalui
PN adalah waktu penyelesain sengketa yang relatif cepat karena sudah harus diputus dalam
waktu 180 hari sejak terbentuknya Majelis Arbiter1 dengan putusan yang bersifat final dan
mengikat2 serta dianggap sebagai putusan yang ideal3, namun dalam menentukan dan
Membentuk Majelis Arbiter tersebut guna memeriksa sengketa tersebut, BANI
membutuhkan biaya yang tidak sedikit baik untuk operasional, honorarium Arbiter, dan lain
sebagainya, hal ini dapat dipahami mengingat BANI adalah “pengadilan swasta” 4 yang

1
Vide Pasal 48 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa jo.
Pasal 4 ayat (7) Peraturan Prosedur Arbitrase BANI.

2
Bersifat final artinya terhadap putusan tersebut sudah tidak dapat diajukan upaya hukum, dan mengikat artinya isi
dari putusan tersebut mengikat para pihak yang bersengketa agar menjalankan isi dari putusan tersebut.

3
Menurut Radbruch, Putusan hakim yang ideal ialah apabila mengandung unsur-unsur Gerechtigkeit (keadilan),
Zweckmassigkeit (kemanfaatan), dan Rechtssicherheit (kepastian hukum), hal ini sebagaimana dikutip oleh Sudikno
Mertokusumo, Teori Hukum, Yogyakarta : Cahaya Atma Pusaka, 2014, hlm. 23.

Selain itu, dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa diatur bahwa Arbiter dan/atau Majelis Arbiter mengambil putusan berdasarkan
pada hukum, atau berdasarkan pada keadilan dan kepatutan.

4
Berbeda dengan PN yang menerapkan asas biaya ringan agar seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali dapat
memperjuangkan haknya melalui PN, yang mana di dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat
dijangkau oleh masyarakat.

Page 1 of 8
dipilih berdasarkan kesepakatan para pihak di dalam Perjanjian Arbitrase 5 dan/atau Klausula
Arbitrase6;

Dalam praktik Arbitrase, termasuk di BANI, biaya Arbitrase yang besar tersebut dibebankan
kepada para pihak yang akan bersengketa sebelum BANI membentuk Majelis Arbiter, hal
mana BANI akan membebankan biaya Arbitrase tersebut kapada para pihak yang akan
bersengketa masing-masing ½ (setengah) bagian dari seluruh biaya Arbitrase yang
diperlukan, namun yang menjadi masalah adalah penafsiran yang berbeda mengenai
pengaturan waktu untuk melakukan pembayaran biaya Arbitrase tersebut, mengingat waktu
pembayaran biaya administrasi tersebut akan berpengaruh kepada pembentukan Majelis
Arbiter sehingga secara keseluruhan akan mempengaruhi waktu penyelesaian sengketa.

B. PERTANYAAN PENELITIAN
Apakah pengaturan jangka waktu pembayaran biaya Arbitrase telah memberikan kepastian
hukum bagi para pihak yang akan berperkara di BANI?

C. KERANGKA TEORI
Guna menjawab permasalahan tersebut Penulis akan menggunakan teori peringkatan
hukum7 dan teori kepastian hukum8.

D. ANALISIS SINGKAT

5
Pemilihan BANI sebagai tempat penyelesaian sengketa di dalam Perjanjian Arbitrase apabila pemilihan tersebut
dilakukan oleh para pihak di dalam perjanjian tersendiri yang secara khusus mengatur mengenai te mpat
penyelesaian sengketa.

6
Pemilihan BANI sebagai tempat penyelesaian sengketa di dalam Klausula Arbitrase apabila pemilihan tersebut
dilakukan oleh para pihak di dalam perjanjian induk yang mengatur hak dan/kewajiban bersama, dimana pemilihan
BANI tersebut dituangkan ke dalam salah satu klausul pasal di dalam perjanjian induk dimaksud.

7
Teori ini dikembangkan oleh A. Hamid S At. Tamimi, yang mana menurutnya “secara hierarkis dari yang tertinggi
sampai terendah sebagai berikut : rechtsidee, staatsfundamentalnorm, staatsgrundgesetz, formellgesetz,
verordnung dan autonome satzung. Peringkatan hukum tersebut dapat dikelompokan dalam tiga kategori, yaitu
cita hukum (rechtsidee), norma hukum antara (interval norm) dan norma hukum konkret (concrete norm)”
(sebagaimana dikutip oleh Salim HS dan Erlies Septiama Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Disertasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2016, hal. 59)

8
“Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat
individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan kedua, berupa keamanan hukum
bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. (lihat Peter
Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Kencana Pranada Media Group, 2008, hal. 158).

Page 2 of 8
Bahwa sebelum membahas lebih jauh mengenai aturan biaya arbitrase di BANI, pada
dasarnya BANI telah mengeluarkan Peraturan Prosedur Arbitrase BANI (“Peraturan
BANI”) sebagai pedoman dan hukum acara dalam menyelesaikan sengketa di BANI, yang
mana sebelum membahas lebih lanjut mengenai biaya arbitrase dalam Peraturan BANI,
Penulis akan menganalisis terlebih dahulu mengenai keberlakuan dan daya ikat dari
Peraturan BANI tersebut. Peraturan BANI jika dikaitkan dengan hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia9, maka Peraturan BANI tersebut demi hukum tidak
termasuk dalam hierarki dimaksud, apalagi BANI sebagai suatu institusi Arbitrase bukanlah
termasuk institusi negara10, melainkan institusi independen yang dibentuk oleh pihak swasta
sehingga Peraturan BANI tersebut tidak memiliki keberlakuan dan daya ikat secara umum.

Meskipun demikian, menurut Penulis secara khusus Peraturan BANI dapat memiliki
keberlakuan dan daya ikat bagi mereka yang menundukan diri secara sukarela atas Peraturan
BANI tersebut ketika para pihak di dalam Perjanjian Arbitrase dan/atau Klausula Arbitrase
sepakat memilih BANI sebagai tempat penyelesaian sengketa, sehingga dengan adanya
penundukan diri tersebut, maka Peraturan BANI tersebut demi hukum mengikat bagi pihak-
pihak tersebut11, apalagi Peraturan BANI tersebut menurut Penulis dibuat sebagai aturan
pelaksana dari rezim Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”) karena Peraturan BANI adalah bagian dari
verordnung dan autono-me satzung sebagai norma hukum konkret sehingga Peraturan BANI
tersebut dapat berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada di dalam
Formellgesetz dalam hal ini UU Arbitrase.

Bahwa terkait dengan pengaturan biaya arbitrase, rezim UU Arbitrase hanya


mengaturnya dalam ketentuan Pasal 7612-7713 UU Arbitrase, namun BANI sebagai salah satu
institusi Arbitrase di Indonesia, menuangkan ketentuan yang lebih rinci terkait biaya

9
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi hingga yang terendah
adalah UUD NKRI 1945, ketetapan MPR, Undang-Undang / peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten.

10
Dalam sistem kelembagaan negara dikenal 3 macam lembaga, yaitu primary organ, secondary organ, dan
auxiliary organ.

11
Vide Pasal 1338 jo. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

12
Pasal 76 UU Arbitrase berbunyi sebagai berikut : “(1) Arbiter menentukan biaya arbitrase;(2) biaya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. honorarium arbiter, b. biaya perjalanan dan biaya lain yang dikeluakan oleh
Arbiter, c. biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa, dan d. biaya administrasi”.

13
Pasal 77 UU Arbitrase berbunyi sebagai berikut : “(1) Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah; (2)
dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak secara seimbang”.

Page 3 of 8
arbitrase di dalam peraturan BANI, yaitu pada Pasal 6 ayat (3) Paragraf 1-214, Pasal 6 ayat
(4)15, Pasal 17 ayat (3) huruf (b) dan (c)16, Pasal 19 ayat (4)17, Pasal 3518, Pasal 3619, dan
Pasal 3720. Pengaturan yang lebih rinci dalam Peraturan BANI tersebut dapat dipahami
mengingat Peraturan BANI sebagai aturan pelaksana yang lebih teknis dari UU Arbitrase
yang menjadi pedoman dan dasar hukum bagi BANI, sehingga pengaturan yang rinci
tersebut pada dasarnya tidak menjadi masalah sepanjang aturan baru tersebut tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam UU Arbitrase.

14
Pasal 6 ayat (3) Peraturan BANI berbunyi sebagai berikut :
“Permohonan Arbitrase harus disertai pembayaran biaya pendaftaran dan biaya administrasi sesuai dengan
ketentuan BANI.
Biaya administrasi meliputi biaya administrasi Sekretariat, biaya pemeriksaan perkara, dan biaya arbiter serta
biaya Sekretaris Majelis”.

15
Pasal 6 ayat (4) Peraturan BANI berbunyi sebagai berikut “Pemeriksaan perkara arbitrase tidak akan dimulai
sebelum biaya administrasi dilunasi oleh para pihak sesuai ketentuan BANI”.

16
Pasal 17 ayat (3) Peraturan BANI berbunyi sebagai berikut :
“b. Atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut dikenakan biaya tersendiri sesuai dengan
cara perhitungan pem¬bebanan biaya adminsitrasi yang dila¬kukan terhadap tuntutan pokok (konvensi) yang
harus dipenuhi oleh kedua belah pihak berdasarkan Peraturan Prosedur dan daftar biaya yang berlaku yang
ditetapkan oleh BANI dari waktu ke waktu. Apabila biaya adminis¬trasi untuk tuntutan balik (rekon-vensi) atau
upaya penyelesaian tersebut telah dibayar para pihak, maka tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian
akan diperiksa, dipertimbangkan dan diputus secara bersama-sama dengan tuntutan pokok.”

“c. Kelalaian para pihak atau salah satu dari mereka, untuk membayar biaya administrasi sehubungan dengan
tuntutan balik atau upaya penyelesaian tidak menghalangi ataupun menunda kelanjutan penyelengga-raan
arbitrase sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi) sejauh biaya administrasi sehubungan dengan tuntutan
pokok (konvensi) tersebut telah dibayar, seolah-olah tidak ada tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya
penyelesaian tuntutan.”

17
Pasal 19 ayat (4) Peraturan BANI berbunyi sebagai berikut : “Pemeriksaan atas perkara dan atau sidang tidak
akan dilangsungkan sebelum seluruh biaya-biaya arbitrase, sebagaimana diberitahukan oleh Sekretariat kepada
para pihak berdasarkan besarnya skala dari tuntutan dan daftar biaya yang dari waktu ke waktu diumumkan oleh
BANI, telah dibayar lunas oleh salah satu atau kedua belah pihak.”

18
Pasal 35 Peraturan BANI berbunyi sebagai berikut : “Biaya arbitrase ditetapkan dalam suatu daftar terpisah dan
terlampir pada Peraturan Prosedur ini. Daftar tersebut dapat diperbaiki atau diubah dari waktu ke waktu apabila
dipandang perlu oleh BANI.”

19
Pasal 36 Peraturan BANI berbunyi sebagai berikut :
“BANI harus menagih kepada setiap pihak setengah dari estimasi biaya arbitrase, dan memberikan jangka waktu
secepatnya untuk membayarnya. Apabila suatu pihak lalai membayar bagiannya, maka jumlah yang sama harus
dibayarkan oleh pihak lain yang kemudian akan diperhitungkan dalam Putusan dengan kewajiban pihak yang lalai
membayar tersebut.
BANI atas permintaan Majelis yang bersangkutan dapat meminta penambahan biaya dari waktu ke waktu selama
berlangsungnya arbitrase apabila Majelis menganggap bahwa perkara yang sedang diperiksa atau besarnya
tuntutan ternyata telah meningkat daripada yang semula diperkirakan”.

Page 4 of 8
Menurut Penulis, suatu aturan yang baik harus mencerminkan kepastian hukum sebagai
jalan guna mencapai keadilan dan kemanfaatan, sehingga atas hal tersebut, apabila
diperhatikan sepintas, pengaturan mengenai biaya arbitrase di BANI terlihat sudah cukup
rinci di atur dalam Peraturan BANI, namun guna melihat lebih dalam aturan-aturan tersebut
apakah memang sudah mengatur secara rinci dan jelas sehingga memberikan kepastian
hukum, maka Penulis hendak menganalisis menggunakan teori kepastian hukum yang
dikemukakan oleh Prof. Peter Mahmud Marzuki, yaitu :

a. Suatu aturan umum agar subjek hukum dapat mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan
Bahwa aturan-aturan yang ada di dalam Peraturan BANI tersebut pada dasarnya
telah memberikan petunjuk dan pedoman bagi para pihak yang memilih Arbitrase pada
BANI sebagai tempat penyelesaian sengketa (choice of forum), yang mana aturan-aturan
tersebut memberitahukan kepada pihak-pihak yang akan berperkara di BANI untuk
membayarkan biaya arbitrase, yang terdiri dari biaya pendaftaran 21 dan biaya
administrasi22, yang mana apabila BANI tidak menerima seluruh biaya tersebut, maka
BANI tidak akan memulai pemeriksaan perkara, hal ini karena meskipun pada putusan
BANI, Majelis Arbiter akan membebankan biaya arbitrase tersebut kepada pihak yang
kalah seluruhnya dan/atau secara pro-rata kepada para pihak jika tuntutan yang
dikabulkan hanya sebagian, namun biaya arbitrase tersebut wajib dibayarkan dimuka
oleh para pihak secara pro-rata sebelum proses pemeriksaan perkara dimulai, hal ini
dapat dipahami karena BANI sebagai institusi swasta membutuhkan dana tersebut untuk
operasional pemeriksaan perkara, sehingga berdasarkan pengaturan yang demikian maka
pihak-pihak yang akan bersengketa menjadi mengetahui perbuatan yang harus
dilakukannya dalam hal ini membayar biaya arbitrase di muka, termasuk mengetahui
akibatnya jika biaya tersebut tidak dibayarkan dimuka.

b. Kemanan hukum bagi subjek hukum dari kesewenangan pihak lain23

20
Pasal 37 Peraturan BANI berbunyi sebagai berikut : “Majelis berwenang menentukan pihak mana yang harus
bertanggung jawab untuk membayar, atau melakukan pengembalian pembayaran kepada pihak lain, untuk
seluruh atau sebagian biaya-biaya itu, pembagian mana harus dicantumkan dalam Putusan”.

21
Dalam praktik, biaya pendaftaran tersebut dibayarkan pada saat permohonan arbitrase di daftarkan ke
sekretariat BANI oleh Pemohon, dengan besaran biaya pendaftaran adalah sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta
Rupiah).

22
Dalam praktik biaya administrasi dibayarkan setelah para pihak menerima tagihan dari BANI, yang mana
besarannya ditentukan berdasarkan tabel persentase tertentu dari nilai tuntutan sehingga sedari awal sudah dapat
diperkirakan oleh pihak-pihak yang akan bersengketa, yang mana tabel persentase tersebut dapat diakses secara
mudah di laman BANI pada http://www.baniarbitration.org/ina/costs.php

23
Sebagaimana telah dijabarkan pada footnote nomor 8, bahwa menurut Prof. Peter Mahmud Marzuki, syarat ke-2
untuk menilai suatu aturan telah memberikan kepastian hukum adalah “berupa keamanan hukum bagi individu

Page 5 of 8
Meskipun Peraturan BANI telah memberikan pedoman/petunjuk mengenai perbuatan
yang harus dan/atau boleh dilakukan berikut dengan akibatnya, namun sayangkan
aturan-aturan tersebut menurut Penulis belum memberikan keamanan hukum bagi pihak
yang sudah membayarkan biaya arbitrase yang menjadi kewajibannya dari
kesewenangan pihak lain yang tidak membayarkan biaya arbitrase, hal ini karena
menurut penulis pengaturan yang ada di dalam Peraturan BANI tersebut terutama dalam
ketentuan Pasal 36 Peraturan BANI tidak memiliki daya paksa agar para pihak
membayar biaya arbitrase tersebut, hal ini karena frase yang digunakan dalam pasal
tersebut adalah frase “memberikan jangka waktu secepatnya”, dimana dalam KBBI kata
“secepatnya” berarti selekas-lekasnya, sesegara mungkin24, yang mana penggunaan kata
tersebut menurut Penulis kuranglah tepat untuk berada di dalam suatu peraturan, hal ini
karena batasan waktu tersebut tidak jelas dan ambigu sehingga berpotensi menimbulkan
masalah karena dengan tidak adanya batasan waktu tersebut maka apabila salah satu
pihak telah membayarkan biaya arbitrase yang menjadi kewajibannya, sedangkan pihak
lain belum membayar sampai dengan batas waktu yang tidak jelas, maka BANI sesuai
ketentuan Pasal 6 ayat (4) dan pasal 19 ayat (4) Peraturan BANI tidak akan memulai
proses pemeriksaan perkara, sehingga dengan klausul yang demikian sangat nyata
terlihat bahwa aturan tersebut belum memberikan keamanan hukum bagi salah satu
pihak dari kesewenangan pihak yang lain.

Pada dasarnya ketentuan Pasal 36 tersebut telah berusaha mengatur agar apabila ada
pihak yang lalai membayar biaya arbitrase, maka pihak lain yang tidak lalai dapat
membayarkan terlebih dahulu, dengan kata lain pihak yang tidak lalai menalangi terlebih
dahulu biaya arbitrase pihak yang lalai, namun lagi-lagi dengan frase yang tidak jelas
dan ambigu atas batasan waktu pembayaran menjadikan batasan untuk menyatakan suatu
pihak telah lalai membayar biaya arbitrase juga menjadi tidak jelas, sehingga timbulnya
kewajiban pihak yang tidak lalai tersebut dalam menalangi biaya arbitrase juga menjadi
tidak jelas, apalagi klausula yang mengharuskan pihak yang tidak lalai untuk menalangi
biaya arbitrase pihak yang lalai tersebut nyata-nyata juga tidak memiliki daya paksa
yang mengharuskan pihak tersebut menalangi biaya arbitrase, karena aturan dalam pasal

dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu”, namun dalam konteks
penulisan ini, oleh karena Peraturan BANI bukanlah aturan yang dibuat oleh pemerintah / negara sebagaimana
dimaksud dalam hierarki peraturan perundang-undangan, maka konteks pemerintah / negara untuk melakukan
kesewenangan dalam hal ini menjadi tidak ada, akan tetapi mengingat peraturan BANI dibuat untuk menjadi
aturan / pedoman / hukum acara bagi pihak-pihak yang secara sukarela menundukkan dirinya kepada Peraturan
BANI, maka konteks ke-2 dari teori Prof Peter Mahmud Marzuki disesuaikan dengan karakteristik masalah yang
dibahas, sehingga konteks keamanan hukum dalam peraturan BANI dilihat dan diartikan sebagai keamanan hukum
bagi suatu individu (subjek hukum) dari kesewenangan individu lainnya (subjek hukum lainnya).

24
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015,
edisi IV, cet-9, hal 260.

Page 6 of 8
tersebut tidak bersifat mewajibkan pihak tersebut untuk menalangi, melainkan hanya
sekadar himbauan untuk menalangi, sehingga dengan aturan yang lemah tersebut
menyebabkan legal standing bagi salah satu pihak menalangi biaya arbitrase tidak
memiliki daya paksa, yang apabila dilakukan berpotensi menimbulkan ketidakpatuhan
atas compliance perusahaan bagi pihak yang tidak lalai.

Bahwa berdasarkan penjabaran pada poin (a) dan (b) di atas, Penulis menyimpulkan
bahwa pengaturan mengenai pembayaran biaya arbitrase di BANI nyata-nyata belum
mengatur secara jelas terkait dengan pembayaran biaya arbitrase yang akhirnya dapat
menimbulkan keragu-raguan (muti-tafsir), apalagi aturan-aturan tersebut nyata-nyata
pula tidak memberikan keamanan hukum bagi pihak yang tidak lalai membayar biaya
arbitrase dari kesewenangan pihak yang lalai dalam membayar biaya arbitrase, sehingga
dapat penulis simpulkan bahwa pengaturan biaya arbitrase di BANI nyata-nyata tidak
memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang akan bersengketa di BANI.

Memang pada dasarnya, kepastian hukum acap kali dipertentangkan dengan keadilan,
yang mana jika ketentuan-ketentuan tersebut dilihat dari aspek keadilan, secara singkat
dapat penulis nyatakan bahwa aturan tersebut telah memberikan keadilan bagi para pihak
karena bagaimanapun juga pembayaran biaya arbitrase nantinya akan dibebankan
kepada pihak yang kalah dan/atau kepada seluruh pihak secara pro-rata jika tuntutan
dikabulkan sebagian, namun mengingat di BANI pembayaran biaya arbitrase diwajibkan
untuk dibayar dimuka yang apabila tidak, maka BANI tidak akan memeriksa dan
mengadili perkara, sehinga biaya arbitrase menjadi syarat formil yang harus terpenuhi
terlebih dahulu untuk nantinya mencapai keadilan bagi para pihak yang bersengketa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Page 7 of 8
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama. 2015. edisi IV. cet-9.

Harahap, M. Yahya. Arbitrase. Jakarta : Sinar Grafika, 2006, Edisi Revisi. Cet-4.

HS, Salim dan Erlies Septiama Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan
Disertasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2016.

Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Kencana Pranada Media Group.
2008.

Nugroho, Susanti Adi. Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya. Jakarta :
Kencana, 2015, cet-1.

Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,
2006,

Sudikno Mertokusumo. Teori Hukum. Yogyakarta : Cahaya Atma Pusaka. 2014.

Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis : Hukum Arbitrase. Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 2001, Ed. 1. Cet-2.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Peraturan Prosedur Arbitrase BANI.

Internet

Website resmi BANI pada laman http://www.baniarbitration.org

Page 8 of 8

Anda mungkin juga menyukai