Anda di halaman 1dari 15

TINJAUAN UMUM OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

Oleh : Arief Hannany, S.H.

A. Sejarah Pembentukan OJK

Krisis yang melanda Indonesia di tahun 1998 telah membuat perekonomian

Indonesia menjadi hancur lembur. Sejak saat itu, kepercayaan masyarakat terhadap

BI mulai menurun. Disaat yang bersamaan pada awal pemerintahan Presiden Habibie,

pemerintah mengajukan RUU tentang BI yang memberikan independensi dan

mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari BI (RUU tersebut kini menjadi

Undang-Undang No. 23 tahun 1999). Pada saat pembahasan RUU tersebut, Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) mendatangkan para ahli sebagai konsultan. Salah satu

konsultan yang di datangkan ke DPR adalah Helmut Schlesinger 1, seorang mantan

gubernur bank sentral Jerman, Bundesbank. Ide yang dikeluarkan oleh Helmut

kepada DPR pada saat itu adalah mengenai konsep pemisahan fungsi pengawasan

bank yang berada diluar bank sentral, sebagaimana telah dijalankan oleh bank sentral

Jerman.2

Dalam Undang-undang No 23 Tahun 1999 tentang BI dinyatakan bahwa

OJK3 sebagai lembaga baru yang akan mengawasi perbankan harus terbentuk pada

tahun 2002, namun sampai pada tahun 2002 draft pembentukan OJK belum
1
Yuni, “OJK Reformasi Keuangan Indonesia”, Buletin Cerdas, Edisi II (Agustus 2012), h. 6.
2
Selain Jerman, Inggris juga termasuk negara yang melakukan konsep pemisahan pengawasan
dari bank sentralnya melainkan dipegang oleh lembaga sejenis OJK yang bernama Financial Services
Authority (FSA)
3
Dalam Undang-undang No 23 Tahun 1999 istilah yang digunakan adalah Lembaga Pengawas
Jasa Keuangan (LPJK)
terealisasikan, hingga akhirnya Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tersebut

dilakukan perubahan menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 yang menyatakan

tugas BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah 4. lambatnya proses

amandemen atas Undang-Undang BI hingga mencapai waktu lebih dari tiga tahun

karena adanya masalah yang cukup krusial terkait penentuan siapa yang berwenang

mengawasi lembaga perbankan. Terjadi tarik ulur kepentingan antara DPR dengan

pemerintah yang diwakili oleh kementerian keuangan dalam pembahasan tersebut,

hingga akhirnya diperoleh kesepakatan dan tertuang dalam Undang-Undang No. 3

Tahun 2004 bahwa OJK sebagai lembaga yang akan mengawasi lembaga keuangan

dimana salah satunya adalah lembaga perbankan akan dibentuk paling lambat tahun

2010.

Sebelum tahun 2010 telah terjadi keguncangan dalam perekonomian di

Indonesia terkait dengan kasus bank century pada tahun 2008 yang merugikan banyak

pihak. Terjadinya kasus bank century di tahun 2008 tersebut menjadi salah satu titik

tolak digenjotnya pembuatan draft atas OJK. Pada tahun 2010, DPR berharap amanat

undang-undang dapat terealisasi dengan membawa RUU OJK untuk disahkan dalam

rapat paripurna DPR pada tanggal 17 Desember 2010 5. Namun sayangnya niat

tersebut tidak dapat terealisasikan karena ada hal-hal yang belum menemukan titik

temu antara pemerintah dengan DPR, salah satunya “mengenai jumlah, unsur dewan

4
diakses pada tanggal 05 Oktober 2012 http://www.ojk-indonesia.info/tentang-ojk
5
Wahyu Satriani, “Pansus berharap RUU OJK sah 17 Desember 2010”, artikel di akses pada
tanggal 05 Oktober 2012 dari http://keuangan.kontan.co.id/news/pansus-berharap-ruu-ojk-sah-17-
desember-2010-1/2010/12/07
komisioner serta tata cara nominasi dan pemilihan” 6. Beberapa kebuntuan antara

pemerintah dengan DPR terus dibahas dan menemukan titik temu hingga akhirnya

ketukan palu di DPR yang menandakan RUU OJK secara remi menjadi undang-

undang terealisasikan pada tanggal 22 November 2011.

B. Pengertian OJK, Bank, dan Nasabah.

Sebelum membahas mengenai pengertian OJK, ada baiknya kita terlebih

dahulu memahami pengertian dari jasa keuangan itu sendiri. Jasa keuangan secara

umum dapat didefinisikan dengan istilah yang digunakan untuk menyatakan suatu

jasa yang disediakan oleh organisasi keuangan, dimana jasa yang ditawarkan antara

lain bank, pasar modal, asuransi, dana pensiun, dan lain sebagainya.

Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, Otoritas

Jasa Keuangan (OJK) adalah “lembaga yang independen dan bebas dari campur

tangan pihak lain, yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,

pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaiana dimaksud dalam Undang-

Undang ini”. Jika kita memperhatikan pengertian dari OJK sebagaimana tertuang

dalam Undang-Undang tersebut, lembaga OJK dapat kita katakan sebagai suatu

lembaga yang extra ordinary karena dapat melakukan banyak tindakan mulai dari

pengaturan terhadap lembaga jasa keuangan bahkan dapat menyidik lembaga jasa

keuangan yang diduga bermasalah.

6
Wahyu Satriani dan Ragil Nugroho, “Pembentukan OJK, DPR Bakal temui IPEBI Bahas
OJK”, artikel di akses pada tanggal 05 Oktober 2012 dari http://keuangan.kontan.co.id/news/dpr-
bakal-temui-ipebi-bahas-ojk-1
OJK sebagai suatu lembaga yang independen maksudnya sebagai suatu

lembaga yang akan mengatur dan mengawasi lembaga jasa keuangan, OJK bebas dari

campur tangan pihak manapun, kecuali diatur secara berlainan oleh undang-undang.

Jika melihat pada komposisi Dewan Komisioner (DK) yang terdapat di OJK,

pengamat ekonomi yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gajah

Mada, Rimawan Pradiptyo7 meragukan independensi dari OJK karena menurutnya

dengan komposisi DK berasal dari lembaga yang sebelumnya sudah ada, bahkan ada

DK yang berasal dari BI dan kementerian keuangan (ex-officio) akan membuat

mereka sulit bersikap objektif yang disebabkan keinginan untuk membalas budi

terhadap lembaga yang telah membesarkan namanya. Selain itu hal yang membuat

keraguan atas independensi OJK nantinya lembaga ini tidak akan mendapatkan dana

operasional dari APBN (kecuali untuk beberapa tahun pertama berdirinya OJK)

melainkan OJK mencari dana sendiri yang salah satunya dengan cara menarik iuran

wajib dari lembaga jasa keuangan yang akan diatur dan diawasi oleh OJK.

OJK adalah suatu lembaga baru yang akan mengatur dan mengawasi

lembaga jasa keuangan seperti bank, pasar modal, asuransi, dana pensiun, dan lain-

lain. Salah satu ruang lingkup lembaga jasa keuangan yang akan diatur dan diawasi

oleh OJK adalah bank sehingga perlu dipaparkan pula secara singkat mengenai bank.

Berbicara mengenai bank kita akan membayangkan sebagai suatu tempat untuk

menyimpan sejumlah uang dan/atau untuk meminjam sejumlah uang dengan

7
Hukum Online, “Belum Dibentuk, Independensi OJK Diragukan”, Artikel diakses pada 14-12-
2012 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4eb31b39bde64/belum-dibentuk-independensi-
ojk-diragukan
memakai bunga atau bagi hasil. Namun agar pemahaman kita terhadap bank tidak

parsial, maka penulis mencoba mengutip mengenai pengertian bank.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata bank berarti “lembaga

keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran

dan peredaran uang”8 sedangkan menurut G.M Verryn sebagaimana ada di dalam

bukunya yang berjudul Bank Politik, bank adalah “suatu badan yang bertujuan untuk

memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau

dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan

alat-alat penukar baru berupa uang giral”.9

R. Tjipto Adinugroho mencoba mendefinisikan bank sebagai “lembaga atau

badan yang mempunyai pekerjaan memberikan kredit, menerima kredit berupa

simpanan (deposito) disamping mengenai kiriman uang dan sebagainya”10.

Sedangkan dalam literatur perundang-undangan di Indonesia, menurut pasal 1 angka

(2) bank adalah “badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau

bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Dari beberapa pengertian diatas setidaknya dapat disimpulkan bahwa bank

adalah suatu lembaga tempat peredaran uang dimana lembaga tersebut menerima

dana dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dalam bentuk kredit ke masyarakat

yang membutuhkan serta sebagai media dalam lalu lintas pembayaran.


8
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.78.
9
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2007), h.8.
10
R. Tjipto Adinugroho, Perbankan Masalah Permodalan Dana Potensial, (Jakarta : Padya
Paramita, 1985), h.5
Berbicara mengenai bank maka tidak dapat dipisahkan dari konsumen

perbankan sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam kegiatan perbankan. Dalam

Undang-Undang OJK, konsumen diartikan sebagai;

“pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan


yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada
Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian,
dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan
di sektor jasa keuangan.”

Sedangkan dalam Undang-Undang perbankan dalam pasal 1 angka 16

dinyatakan bahwa “nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank”. Dari kedua

definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa konsumen perbankan yang dimaksud

dalam Undang-Undang OJK maupun Undang-Undang perbankan adalah nasabah.

Dari pengertian nasabah diatas dapat dilihat bahwa pengertian konsumen

dalam Undang-Undang perbankan lebih terfokus mengenai konsumen perbankan

daripada pengertian menurut Undang-Undang OJK. Hal tersebut dapat dipahami

karena ruang lingkup dari OJK sendiri yang mengakomodir beberapa lembaga

keuangan, sedangkan Undang-Undang perbankan hanya terfokus pada bank.

Jika kita melihat pada aturan Undang-Undang perbankan, maka setidaknya

ada dua pembagian dalam nasabah bank, pertama adalah nasabah penyimpan yang

didefinisikan dalam pasal 1 angka (17) sebagai “nasabah yang menempatkan dananya

di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang

bersangkutan” sedangkan yang kedua adalah nasabah debitur sebagaimana pasal 1

angka (18) yang diartikan dengan “nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu

berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”.

C. Tujuan, Fungsi dan Asas OJK

Dalam ketentuan pasal 4 Undang-Undang No 21 Tahun 2011 dinyatakan

bahwa tujuan dibentuknya OJK adalah agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa

keuangan;

a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;


b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil; dan
c. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.

Jika mengacu pada tujuan OJK sebagiamana tersurat dalam Undang-

Undangnya, tujuan pembentukan OJK sebagaimana tertuang dalam pasal 4 huruf (c)

telah sesuai dengan landasan sosiologis pembentukan Undang-Undang ini

sebagaimana tercantum di dalam naskah akademik pembentukan OJK bahwa peran

pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh OJK harus diarahkan salah satunya

pada perlindungan konsumen telah secara konsisten diterapkan dalam Undang-

Undang ini. Selain itu dalam penjelasan pasal 4 huruf (c) dinyatakan bahwa “yang

dimaksud dengan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat termasuk

perlindungan terhadap pelanggaran dan kejahatan di sektor keuangan seperti

manipulasi dan berbagai bentuk penggelapan dalam kegiatan jasa keuangan.”

Selanjutnya dalam pasal 5 dinyatakan mengenai fungsi dari OJK yaitu “...

menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap

keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”. Artinya fungsi dari OJK ini
secara jelas untuk menjaga sektor jasa keuangan pada lembaga-lembaga keuangan

melalui pengaturan dan pengawasan pada satu atap sehingga terjadi integrasi atau

penyatuan terhadap lembaga-lembaga keuangan yang berbeda namun tetap saling

berinteraksi satu sama lainnya, sehingga sangat membantu dalam proses pengaturan

dan pengawasannya.11

Pembahasan mengenai asas-asas OJK dalam Undang-undang OJK memang

tidak disebutkan secara jelas mengenai asas-asasnya di dalam batang tubuh Undang-

Undang OJK ini, namun bukan berarti OJK tidak memiliki asas-asas sebagai sesuatu

yang mendasar dalam aturan normanya. Asas dalam OJK disebutkan di dalam

penjelasan UU OJK, dimana asas-asas di dalam OJK antara lain;

1. asas independensi, yaitu independen dalam pengambilan keputusan dan

pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan

penyelenggaraan OJK;

3. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan

konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;

11
Sebelum lahirnya Undang-Undang OJK, sistem pengawasan pada lembaga keuangan seperti
bank yang berbentuk perusahaan terbuka dilakukan dua pengawasan, disatu sisi bank terbuka diawasi
oleh Bank Indonesia, dan disisi lain bank terbuka tersebut juga diawasi oleh Bapepam –LK. Keadaan
tersebut membuat pola pengawasan menjadi kurang efektif dan efisien, sehingga dengan adanya fungsi
OJK inilah membuat sistem pengaturan dan pengawasan perbankan pada lembaga-lembaga keuangan
menjadi tersentralisasi dan terintegrasi dalam satu atap.
4. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk

memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang

penyelenggaraan OJK, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi

pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

5. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan

tugas dan wewenang OJK, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam

setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan OJK; dan

7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil

akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada publik.

D. Tugas dan Kewenangan OJK

Pembahasan mengenai tugas dari OJK telah diatur secara jelas di dalam

ketentuan pasal 6 UU OJK, dimana di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa tugas

dari OJK adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap;

a. Kegiatan jasa keuangan di Sektor Perbankan

b. Kegiatan jasa keuangan di Sektor pasar Modal

c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, lembaga

Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.


Jika melihat aturan pada ketentuan pasal tersebut, maka dapat tergambarkan

dengan jelas cakupan tugas yang cukup luas dari OJK dimana nantinya OJK akan

melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh lembaga jasa keuangan.

Luasnya cakupan tugas pengaturan dan pengawasan oleh OJK ini mengharuskan OJK

menyiapkan kepala eksekutif pengawas dari masing-masing lembaga agar tugas

pengaturan dan pengawasan tidak saling tumpang tindih.

Secara umum, dalam menjalankan tugas-tugasnya tersebut terkait

pengaturan, OJK memiliki beberapa kewenangan, antara lain;

a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;


b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap
Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada
Lembaga Jasa Keuangan;
h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara,
dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Sedangkan terkait dengan tugas pengawasan pada OJK, kewenangan-

kewenangan yang dimiliki OJK antara lain;

a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;


b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif;
c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan
tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang
kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan;
d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak
tertentu;
e. melakukan penunjukan pengelola statuter;
f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h. memberikan dan/atau mencabut:
1. izin usaha;
2. izin orang perseorangan;
3. efektifnya pernyataan pendaftaran;
4. surat tanda terdaftar;
5. persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6. pengesahan;
7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan.

Khusus dalam pengaturan dan pengawasan terhadap perbankan, OJK

memiliki beberapa kewenangan dalam menjalankan tugasnya di bidang ini, antara

lain;

a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:


1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,
rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger,
konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal
minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap
simpanan, dan pencadangan bank;
2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3. Sistem Informasi Debitur;
4. Pengujian kredit; dan
5. Standar akuntansi bank
c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1. Manajemen risiko;
2. Tata kelola bank;
3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang;
4. Pemvegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
d. Pemeriksaan bank.
Jika kita melihat pada empat poin yang menjadi kewenangan OJK dalam

melakukan pengaturan dan pengawasan perbankan, seyogyanya keempat poin

tersebut merupakan ruang lingkup dalam pengaturan dan pengawasan

microprudential. Artinya dapat disimpulkan bahwa yang menjadi kewenangan OJK

hanyalah sebatas pada microprudential12, sedangkan lingkup macroprudential tetap

menjadi kewenangan dari BI selaku bank sentral.

Jika kita memperhatikan secara seksama aturan mengenai tugas dan

kewenangan OJK tersebut, jelas terasa sekali adanya “pengkhususan” terhadap

kewenangan OJK dibidang perbankan. Adanya pengkhususan ini pada dasarnya dapat

saja dipahami jika kita merunut pada sejarah pembentukan OJK itu sendiri yang

terfokus pada dipindahkannya fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari BI

ke lembaga baru yang kini disebut OJK. Namun, pada saat penggodokan konsep OJK

di RUU BI (kini menjadi Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia) banyak mendapatkan penolakan dari anggota dewan, sehingga sebagai

jalan keluarnya adalah memasukan lembaga jasa keuangan lain untuk ikut serta diatur

dan diawasi oleh OJK.

E. Hubungan Kelembagaan OJK dengan Lembaga lain

1. Hubungan dengan BI

12
Macroprudential adalah pengaturan pengawasan terhadap perbankan secara makro, seperti
penetapan BI rate, Giro Wajib Minimum, dan kebijakan moneter lainnya. Sedangkan microprudential
adalah pengaturan dan pengawasan terhadap perbankan secara mikro dengan langsung melihat kondisi
aktual individu bank. (sumber Urbaningrum, Anas, “Menyambut OJK”, Artikel diakses pada 09
Oktober 2012 dari http://gagasanhukum.wordpress.com/2012/02/23/menyambut-ojk/)
OJK adalah suatu lembaga baru dimana lembaga ini mendapatkan

pemindahan fungsi pengaturan dan pengawasan pada lembaga-lembaga keuangan,

seperti lembaga perbankan, lembaga pasar modal, dan lain sebagainya. Dengan

adanya pemindahan tersebut menyebabkan OJK tidak begitu saja dapat terlepas dari

lembaga yang melakukan fungsi pengaturan dan pengawasan pada lembaga-lembaga

keuangan seperti perbankan, bapepam-LK dan sebagainya.

BI sebagai lembaga yang memiliki salah satu fungsi pengaturan dan

pengawasan di bidang perbankan setelah adanya OJK akan kehilangan fungsi

tersebut, akan tetapi pemindahan tersebut tidak berarti bahwa hubungan antara BI

dengan OJK menjadi terputus, melainkan tetap terjadi hubungan koordinasi antara

dua lembaga tersebut. hubungan koordinasi antara OJK dengan BI diatur secara jelas

di dalam pasal 39 Undang-Undang No .21 Tahun 2011 dimana kedua lembaga kedua

tersebut berkoordinasi dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan

antara lain;

a. kewajiban pemenuhan modal minimum bank;


b. sistem informasi perbankan yang terpadu;
c. kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan
pinjaman komersial luar negeri;
d. produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;
e. penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank13; dan
f. data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.

13
Dalam penjelasan pasal 39 ini dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “systemically
important bank” adalah suatu bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan,
atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat
mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik
secara operasional maupun finansial, apabila bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.
Selain itu, BI juga di perbolehkan untuk melakukan pemeriksaan khusus

secara langsung terhadap bank dimana BI sedang melaksanakan fungsi, tugas, dan

wewenang BI tersebut dengan memberitahukan terlebih dahulu sebelumnya secara

tertulis kepada OJK, akan tetapi yang perlu mendapat perhatian adalah saat BI

melakukan pemeriksaan khusus terhadap bank, BI tidak dapat memberikan penilaian

terhadap tingkat kesehatan bank. Selain itu hasil pemeriksaan BI terhadap bank harus

segera disampaikan kepada OJK dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan

sejak diterbitkannya hasil pemeriksaaan.

Selanjutnya diatur pula oleh undang-undang OJK jika OJK menemukan

adanya indikasi suatu bank mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan

suatu bank tersebut makin memburuk, maka OJK segera berkoordinasi dengan

menginformasikan kepada BI agar BI segera mengambil langkah-langkah yang sesuai

dengan kewenangan BI.

Selain berkoordinasi dengan BI, OJK juga diperlukan untuk berkoordinasi

dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan menginformasikan mengenai

keadaan bank yang bermasalah yang sedang dalam proses penyehatan oleh OJK.

Selanjutnya. Bentuk koordinasi antara LPS dengan OJK dapat terjadi pula pada saat

LPS akan melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas,

dan wewenangnya dengan cara memberitahukan terlebih dahulu kepada OJK

sebelum melakukan pemeriksaan. dan bentuk koordinasi yang terakhir adalah OJK,

BI, dan LPS diwajibkan membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi

yang terintegrasi satu sama lainnya.


2. Hubungan dengan DPR RI

OJK yang diwakili oleh dewan komisioner menyusun dan menetapkan

rencana kerja serta anggaran OJK yang bersumber dari Anggaaran Pendapatan

Belanja Negara dan/atau pungutan lain. Hubungan OJK dengan Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) dapat dilihat pada penetapan anggaran OJK yang harus terlebih dahulu

mendapat persetujuan dari DPR. Selanjutnya hubungan diantara dua lembaga tersebut

juga dapat dilihat adanya kewajiban bagi OJK untuk menyampaikan laporan kegiatan

laporan triwulan dan tahunan kepada DPR sebagai bentuk tanggungjawab OJK

terhadap masyarakat. Selain itu OJK harus mendapatkan konfirmasi dari DPR dalam

hal persetujuan perjanjian internasional di bidang jasa keuangan yang berdampak

pada sistem keuangan nasional

Anda mungkin juga menyukai