Teologi Pembebasan Di Amerika Latin
Teologi Pembebasan Di Amerika Latin
BAB I
PENDAHULUAN
Secara konsepsional maupun gerakan atau aksinya, teologi pembebasan ini tumbuh dan
berkembang serta populer khususnya di negara-negara Amerika Latin pada dasawarsa 70-an.
Gerakan atau aksi dari teologi pembebasan lahir dari masyarakat yang dalam keadaan miskin
atau negara-negara yang tertindas oleh kekuatan dan kekuasaan materialistis serta ekonomis
seperti misalnya dalam sistem kapitalisme, sistem developmentalism, sistem liberalisasi ekonomi
(globalisasi) dan lainnya. Dengan kata lain, konsepsi tersebut lahir dari refleksi kritis atas
gagalnya sistem-sistem tadi dalam mewujudkan kehidupan yang humanis bagi umat manusia di
muka bumi ini.2 Oleh karena itu menurut Gutierrez, sebagai seorang yang mula-mula
1
A. A. Yewangoe, “Implikasi Teologi Pembebasan Amerika Latin Terhadap Misiologi” dalam Mengupayakan Misi
dalam Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual (ed. John Campbell-Nelson, et al.; Jakarta: Perhimpunan
Sekolah-Sekolah Theologia di Indonesia, 1995) 69.
2
Lihat Herbert Marcuse, Pembebasan dari Masyarakat Berkelimpahan diterjemahkan oleh: Baskara T. Wardaya
dalam “Pembebasan Manusia: Sebuah Refleksi Multidimensional” editor: Baskara T. Wardaya, Buku Baik,
1
mempopulerkan dan menganjurkan menerapkan teolgi pembebasan, realitas kemiskinan di
Amerika Latin identik dengan kematian.3 Dengan demikian, realitas yang terjadi bukan hanya
sekedar menyangkut masalah sosial tetapi juga masalah iman, yakni situasi yang bertentangan
dengan nilai-nilai fundamental injili: kasih, keadilan, kebenaran, kedamaian. Hal yang terjadi di
Amerika Latin adalah situasi yang bertentangan dengan kerajaan kehidupan (Kerajaan Allah)
yang diproklamasikan Tuhan.4
Para teolog berusaha memberikan arti secara utuh dan integral terhadap istilah pembebasan
antara lain adalah: Gustavo Gutierrez (1973) dan Leonardo Boff (1974). Gutierrez mengartikan
sebagai pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial dan politik, pembebasan dari
kekerasan yang melembaga yang menghalagi terciptanya manusia baru dan ditingkatkan
solidaritas antar manusia, pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam
persekutuan dengan Tuhan dan semua manusia. Sedangkan Boff menggagas pembebasan
sebagai proses menuju kemerdekaan. Wujudnya berupa pembebasan dari segala sistem yang
menindak ke dalam bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkan
manusia untuk menentukan tujuan-tujuan hidup, politk, ekonomi dan kulturalnya. 5 Mereka
berharap gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya.
Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus
memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Rakyat harus disadarkan
bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari
struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku. Gerakan teologi pembebasan ini melibatkan sektor-
sektor penting gereja (para romo, pengamal tarekat atau ordo-ordo, para uskup), gerakan
keagamaan orang awam, keterlibatan pastoral yang merakyat serta kelompok-kelompok basis
masyarakat gereja yang menghimpun diri menentang sebab-sebab penghisapan dan penindasan,
atas dasar nalar moral dan kerohanian yang diilhami oleh budaya keagamaan mereka. Dorongan
moral dan keagamaan inilah yang merupakan faktor hakiki yang menggerakkan semangat ribuan
2
aktifis dalam serikat-serikat buruh, kerukunan-kerukunan tetangga, dan front-front kerakyatan
untuk melawan penindasan dan kemiskinan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses terjadinya gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin?
2. Bagaimana teologi pembebasan ini mempengaruhi masyarakat di Amerika Latin dan
pencapaian nya?
Teori Sosial Kritis, (2003) Ben Agger menyatakan bahwa tidak seharusnya melalaikan
konsep yang telah diajarkan oleh agama mengenai dasar pemahaman tentang pembangunan
(kosmos) yang tetap memegang etika transcendental-religius di samping moral kesusilaan dalam
hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Untuk merealisasikan keinginan terwujudnya
negara modern (maju) yang akan mendatangkan kehidupan yang lebih sejahtera lahir maupun
batin, maka mengaplikasikan ajaran agama adalah sebuah keharusan yang tak dapat diganggu
gugat, di samping harus mampu melahirkan manusia-manusia yang bercirikan dengan wataknya
masing-masing.6 Pada dasarnya manusia selalu membutuhkan bantuan dan uluran tangan orang
lain. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, mereka senantiasa mengadakan interasksi
sosial, sehingga akan terwujud sebuah hubungan timbal balik, interaksi ini suatu ketika akan
menimbulkan benturan-benturan yang tidak menutup kemungkinan justru menjadi konflik.
Teori sosial kritik mempunyai tugas membawa praktek pembebasan. Ada dua hal yang harus
dilakukan oleh teoritisi kritik, yakni:
1. Teori sosial harus mampu menjelaskan tentang bagaimana kondisi serta sistem sosial
yang ada telah menciptakan pemahaman dan kesadaran “palsu” mmengenai realitas sosial
yang harus diterima masyarakat demi melanggengkan status quo. Teori sosial kritik
berkewajiban agar masyarakat memiliki kesadaran kritis terhadap realitas sosial yang
sedang dihadapi.
6
Agger, Ben. 2003. TEORI SOSIAL KRITIS. Penerbit Kreasi Wacana: Yogyakarta
3
2. Teori sosial harus memfasilitasi munculnya visi alternatif tentang relasi sosial yang bebas
dari segala bentuk penindasan, eksploitasi dan ketidakadilan. Hal ini berarti ilmu sosial
juga berdimensi praksis.
4
keagamaan yang bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap adanya rangsangan yang
berkaitan dengan kesadaran keagamaan. 7
BAB II
PEMBAHASAN
Pada abad ke-19, banyak wilayah di Amerika Latin berhasil memperoleh kemerdekaan
mereka dari kolonialisme politik dan berdiri menjadi negara-negara baru, tetapi muncul
kolonialisme ekonomi Barat berupa kapitalisme yang melanjutkan eksploitasi di Amerika Latin.
Namun ternyata sistem kapitalisme ini tidak membawa kemakmuran bagi rakyat seperti yang
telah dijanjikan, tetapi sebaliknya mengakibatkan kemiskinan. Wajah kemiskinan yang tragis
tersebut tampak secara konkret dalam diri orang-orang miskin, yakni manusia-manusia yang
hidup tanpa kelayakan manusiawi baik dalam aspek fisik seperti lapar, sakit, tidak memiliki
tempat tinggal maupun dalam aspek psikis seperti hilangnya kebebasan pribadi untuk
menyampaikan aspirasi dan tuntutan. Dengan kejadian ini, muncullah istilah Teologi
Pembebasan yang berusaha memperbaiki keadaan sosial dengan menggunakan cara teologis.
7
Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2012), hlm. 129-177.
8
E. Dussel, A History of the Church in Latin America, (Grandrapids, Michigan: Eerdmans, 1981) hal. 26-31.
5
Konsep-konsep di dalam Teologi Pembebasan tidak langsung muncul dalam waktu seketika dan
pergerakan teologi ini tidak terjadi begitu saja, tetapi ada penyebab-penyebab yang menjadi akar
munculnya Teologi Pembebasan. Pertama, pada abad ke-16, seorang uskup berdarah Spanyol,
Bartolome de Las Casas, mengadakan perjuangan untuk membela kaum Indian yang menjadi
korban penindasan orang-orang Spanyol. Pembelaannya begitu gigih dan mengesankan sehingga
para pelopor Teologi Pembebasan belakangan memandangnya sebagai “Musa Teologi
Pembebasan Amerika Latin.”Las Casas memiliki pengaruh yang amat mendalam terhadap
Gutierrez dan amat mewarnai pandangan- pandangan teologisnya.9
Kedua, munculnya peristiwa-peristiwa dan gerakan-gerakan religius serta sekuler pada
pertengahan abad ke-20, seperti Teologi Politik di Eropa dan Teologi Radikal di Amerika Utara
yang dicetuskan oleh J. B. Metz, Jurgen Moltmann dan Harvey Cox. Dalam gagasan teologinya,
Metz telah meletakkan beberapa dasar pemikiran yang kelak menjadi metode bagi Teologi
Pembebasan, khususnya pada peranan politik praksis sebagai titik tolak refleksi teologis.10
Ketiga, dihasilkannya dokumen Gaudium et Spes (1965) oleh Konsili Vatikan II, yang
menekankan pertanggungjawaban khusus orang-orang Kristen terhadap “mereka yang miskin
dan yang dirundung penderitaan.” Kemudian muncul apa yang disebut sebagai konferensi para
Uskup Amerika Latin (CELAM II) yang menghasilkan dokumen Medellin (1968), yang inti
perumusannya berbunyi: “Demi panggilannya, Amerika Latin akan melaksanakan kebebasannya
apapun pengorbanan yang diberikan. Pada tahun 1962, Paus Yohanes XXIII disebut Konsili
Vatikan Kedua (Vatikan II) untuk mencoba untuk menyesuaikan pesan Kristen ke dunia
modern,11 serta memikirkan kembali sifat Gereja, dunia dan hubungan antara keduanya.12 Selama
konferensi, gereja merumuskan kembali perannya; gereja sekarang harus dilihat sebagai "Umat
Allah" - sebuah komunitas orang-orang dengan hadiah yang berbeda tetapi semua berbagi
kesetaraan umum, kemanusiaan, dan takdir di mata Tuhan. 13 Vatikan II menyerukan gereja untuk
terlibat dengan perjuangan kaum miskin; jika gereja mengadopsi peran yang rendah hati, miskin
dapat mencapai lebih efektif.14Konferensi menolak gagasan bahwa gereja harus menyesuaikan
9
Gustavo Gutierrez, dikutip oleh Grenz, 20th Century 211; bdk. Wardaya, Spiritualitas 106, dan Yewangoe,
“Implikasi” 70-71.
10
Grenz, 20th Century 211; Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter A. Elwell; Grand Rapids: Baker, 1985)
635.
11
Arthur F. McGovern, Teologi Pembebasan dan Its Critics (Maryknoll: Orbis Books, 1989), 5
12
Christian Smith, Munculnya Teologi Pembebasan (Chicago: The University of Chicago Press, 1991), 94
13
Ibid. 96.
14
Phillip Berryman, Teologi Pembebasan (Philadelphia: Temple University Press, 1987), 7
6
diri dengan elit yang kuat dan menegaskan pentingnya dunia yang lebih adil .Meskipun uskup
Amerika Latin tidak tokoh menonjol dalam perdebatan Vatikan II, itu adalah pengalaman belajar
bagi mereka.Ketika para uskup pulang ke Amerika Latin, banyak mengambil melihat lebih dekat
pada tatanan sosial yang menindas di berbagai negara Amerika Latin dan melanjutkan peran
gereja.
Pada akhir musim panas tahun 1968, Amerika Latin Konferensi Waligereja (CELAM)
bertemu di Medellín, Kolombia, dengan tujuan penerapan konsep Vatikan II ke Amerika Latin.
Hasilnya adalah sebuah dokumen yang pada akhirnya akan menjadi dasar untuk teologi
pembebasan dan memberikan otoritas gereja untuk terlibat dalam perubahan sosial. Gustavo
Gutiérrez, seorang teolog pembebasan terkemuka, mendesak gereja untuk mulai berbicara
tentang pembebasan bukan pembangunan dalam mengatasi masalah yang dihadapi oleh Amerika
Latin. Ketika konferensi dimulai, itu adalah istirahat dari tradisi karena para uskup yang
diterapkan gereja untuk masyarakat daripada masyarakat ke gereja.Dalam semua dokumen dan
diskusi, situasi dinilai dan kemudian refleksi teologis dibentuk.Akhirnya, komitmen pastoral
untuk memecahkan masalah, seperti penciptaan Komunitas Basis Gerejani Base, dibuat.
Selama konferensi, para uskup menyerukan umat Katolik untuk mengecam kekerasan
dilembagakan, memberlakukan perubahan sosial, dan melaksanakan "kesadaran penggalangan"
penginjilan.15Para uskup mengkritik imperialisme internasional dan ketidaksetaraan antara kelas-
kelas sosial dan menyerukan komitmen kepada orang miskin.Para uskup menegaskan bahwa
kekerasan itu salah, tapi kadang-kadang diperlukan ketika berjuang melawan kekerasan
dilembagakan, seperti kekerasan melalui pemerintah.Gereja Katolik membuat dokumen Medellín
dokumen resmi Gereja.Meskipun teologi pembebasan tumbuh dari ide-ide yang diakui secara
resmi, dokumen Medellín bukan dokumen teologi pembebasan.Hal itu, bagaimanapun,
meletakkan dasar, dan sejak itu teologi pembebasan telah berkembang pesat dalam gereja
Katolik Amerika Latin.
Keempat, situasi konkret di Amerika Latin. Negara-negara di Amerika Latin telah menjadi
korban kolonialisme, imperialisme dan kerja sama multinasional. Hal ini terjadi karena adanya
ketergantungan ekonomis negara-negara Amerika Latin kepada Amerika Serikat (khususnya),
yang pada akhirnya banyak merugikan kepentingan Amerika Latin sehingga menimbulkan
keresahan-keresahan sosial.
15
Ibid, 23.
7
a. Munculnya Teologi Pembebasan di Brazil
Gereja di Brasil selalu menjadi salah satu yang paling progresif dan teologis adalah
contoh terbaik dari Komunitas Basis Gerejani Base. Karena kekurangan parah imam, pada
tahun 1954, 372 berbaring katekis dilatih untuk memberikan massa menggunakan sudah
ditahbiskan Ekaristi.16Pada tahun 1960, 475 CEBs dibentuk di pantai timur laut Brasil.Tidak
ada angka resmi dari CEBs di Brasil saat ini, namun perkiraan umum adalah bahwa tujuh
puluh ribu ada, melibatkan empat juta orang. Di Brazil, gereja telah mengambil peran yang
terdesentralisasi dan partisipatif yang melepaskan diri dari sifat hirarki gereja. Pembentukan
CEBs disediakan partisipasi gereja dan pengaruh dalam masyarakat sipil yang lemah, bahkan
selama pemerintahan militer teknokratis 1964-1985.Bahkan, banyak orang Katolik melihat
CEBs mendefinisikan gereja di Brazil karena orang-orang sekarang dapat berhubungan
dengan lembaga.
Setelah kudeta 1964, pemerintah militer menindas gerakan rakyat dan kekuatan oposisi,
termasuk gereja.Menanggapi penindasan ini, gereja menjadi lebih progresif dan CEBs
menjadi pusat gereja,17bahkan ada di antara kelas menengah-atas.The CEBs memperkenalkan
ide-ide baru dan metode sosial demokrasi yang menyebabkan keterlibatan aktif banyak
peserta dalam gerakan rakyat Brazil yang bekerja untuk perubahan sosial yang
progresif.Contoh perubahan sosial yang progresif diprakarsai oleh CEBs di Nova Iguacu.
Sebuah program kesehatan mulai sana untuk mencoba untuk mengatur penduduk dalam
rangka untuk memperbaiki kekurangan gizi, selokan terbuka, dan bahaya kesehatan lainnya.
Program yang ditawarkan oleh keuskupan wilayah dan empat dokter sekuler yang pergi
langsung kepada orang miskin.
Populasi membahas semua masalah yang mereka hadapi, bukan hanya masalah
kesehatan; secara bersamaan orang-orang mulai mengorganisir CEBs untuk memenuhi
kebutuhan tersebut.Upaya-upaya konkrit menekankan kebutuhan penduduk lokal daripada
diskusi teoritis.Itu teologi pembebasan dalam praksis.Kursus kesehatan lingkungan menyebar
16
Thomas C. Bruneau, "Brasil: Gereja Katolik dan Komunitas Kristen Basic" Agama dan Konflik Politik di Amerika
Latin ed. Daniel H. Levine (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1986), 108
17
Scott Mainwaring, "Brasil: Gereja Katolik dan Gerakan Populer di Nova Iguacu, 1974-1985" Politik Teologi
Pembebasan, ed. Daniel H. Levine (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1986), 126
8
ke lainnya CEBs di Nova Iguacu dan segera menjadi sebuah gerakan massa, meskipun masih
berkaitan dengan kebutuhan penduduk setempat. Fokus ini mulai berubah pada tahun 1978,
ketika kepemimpinan gerakan menjadi lebih tertarik dalam politik lokal dan nasional dan
mulai bekerja untuk perubahan progresif yang akan datang dari pemerintah nasional. Banyak
sejarawan melihat CEBs Brasil sebagai memiliki memainkan peran penting dalam transisi
dari pemerintahan militer ke politik demokrasi dengan menjadi terlibat seperti CEBs dari
Nova Iguacu.18
9
penipuan besar-besaran, Oscar Romero, seorang imam konservatif, ditunjuk Uskup Agung El
Salvador. Represi meningkat ke tingkat baru. Pada tanggal 28 Februari 100 orang tewas
dalam serangan pada Misa terbuka dan beberapa imam lainnya kemudian dibunuh. Pamflet
yang beredar yang berbunyi "Jadilah Patriot, Membunuh seorang Imam".
Uskup Agung Romero mulai memberikan khotbah dan menulis surat yang menganalisis
pertanyaan kekerasan dan non-kekerasan. Ia mencontohkan enam jenis kekerasan:
kekerasan dilembagakan, kekerasan negara terhadap pembangkang, kekerasan ekstrim kanan
dalam pertahanan dari tatanan sosial yang tidak adil, kekerasan teroris, kekerasan
insureksional terhadap tirani berkepanjangan, dan terakhir, kekerasan yang sah untuk
membela diri. Romero memberikan persetujuan bersyarat untuk revolusi, namun
memperingatkan bahaya berarti tidak etis mengakhiri otoritarianisme. Ia dikutip mengatakan,
"Kapitalisme sebenarnya apa yang paling adil dan kristiani tentang masyarakat di mana kita
hidup". Meskipun pemerintah digulingkan pada tahun 1979 dan junta baru menjanjikan
reformasi, penindasan terus; Romero berbicara menentang rezim baru dan memohon dengan
militer untuk menghentikan penindasan dan pembunuhan.Keesokan harinya,saat memberikan
Misa, dia dibunuh dengan darah dingin. Selama pemakamannya minggu berikutnya, dua bom
meledak, dan menembak pecah membunuh dua puluh enam orang.
Pada bulan Juni 1980, Dewan Nasional Gereja Rakyat didirikan untuk menghubungkan
sejumlah CEBs dedikasi pembebasan rakyat Salvador.Sebagai perang sipil berdarah terjadi,
gereja mengadopsi sikap resmi netral, pendukung hak asasi manusia di kedua sisi.Pada Maret
1982, demokrasi parsial telah dipulihkan dan beberapa regu pembunuh kanan bersayap
diadili atas kejahatan mereka.Meskipun gereja resmi memegang posisi netral selama perang,
oligarki dan militer terkait organisasi populer dengan gereja karena banyak CEBs
dimasukkan ke dalam organisasi populer dan, kemudian, ke dalam gerakan gerilya.21
10
banyak orang melihat teologi pembebasan dan CEBs sebagai kekuatan hidup baru dalam gereja
yang menghubungkan orang-orang dengan agama serta masyarakat mereka.CEBs, perwujudan
utama dari teologi pembebasan, telah membantu meningkatkan kesadaran masyarakat miskin,
baik agama maupun social. Melalui CEBs, gereja telah mampu mempromosikan refleksi tentang
Alkitab dan memberikan rasa martabat kepada orang miskin. Akar rumput organisasi yang
menciptakan CEBs telah memungkinkan para peserta untuk memperjuangkan perubahan sosial
yang progresif, seperti dalam reformasi kesehatan Nova Iguacu, dan hak-hak mereka sebagai
manusia di beberapa negara, seperti Nikaragua dan El Salvador. Namun, sebagian besar CEBs
tidak politis, tetapi ada masyarakat hanya sebagai spiritual.
Meskipun pengaruh positif, elit kaya dari Amerika Latin dan Gereja Katolik resmi melihat
teologi pembebasan dan ide-ide progresif sebagai mengancam status quo.Bahkan, sikap resmi
Gereja Katolik melawan teologi pembebasan. Kritik terbesar dari teologi pembebasan adalah
bahwa ia cenderung untuk mengurangi iman dengan politik. 22Gutiérrez menanggapi kritik ini
dengan memberikan "politik" dua makna yang berbeda - upaya umat manusia untuk menemukan
potensi mereka, dan mencari kekuasaan.Gutiérrez berpendapat bahwa teologi pembebasan bukan
untuk kekuasaan, melainkan untuk membantu upaya manusia untuk menemukan kapasitas
mereka.23Uskup Agung Romero menyatakan bahwa gerakan rakyat dan gereja yang erat terkait
dengan carayang positif, tapi keduanya tidak harus menyatu menjadi satu.24Kritik kedua dari
gereja Katolik utama adalah penggunaan Marxisme untuk menganalisis sejarah dan kemudian
merancang solusi.Banyak yang berpendapat bahwa pendekatan ini menciptakan praksis
revolusioner dan sementara mengklaim untuk membebaskan orang miskin, benar-benar membuat
lebih banyak kekerasan dan penindasan.25 Sekali lagi, para teolog pembebasan berpendapat
bahwa mereka tidak selalu menganjurkan sistem ekonomi yang didasarkan pada Marxisme,
melainkan sebuah sistem yang unik Amerika Latin.Kapitalisme jelas belum bekerja di benua
mereka karena beberapa alasan, termasuk ketergantungan pada negara-negara Dunia Pertama,
dan eksploitasi dan rezim politik yang tidak stabil.Oleh karena itu, perlu untuk menciptakan
sebuah sistem yang tidak.
22
McGoven, 16
23
Ibid. 100
24
Berryman, "El Salvador," 76
25
Ibid. 132
11
Menilai dampak sebenarnya dari teologi pembebasan di Amerika Latin sangat sulit karena,
pertama dan terutama, itu adalah teologi, bukan gerakan; itu harus disesuaikan dengan situasi
yang dihadapi. Karena adaptasi yang diperlukan ini, tidak ada contoh murni teologi pembebasan
praksis; teologi pembebasan dalam prakteknya berbeda dari satu negara ke negara - kadang-
kadang bahkan dari CEB ke CEB. Oposisi dari beberapa pemerintah dan pejabat gereja yang
teolog pembebasan hadapi ketika mencoba untuk menempatkan teori mereka ke dalam praktek
juga membuat lebih sulit untuk menilai dampaknya. Sangat sedikit penelitian yang benar telah
dilakukan untuk mempelajari teologi pembebasan sebagai sebuah gerakan, dan sebagai hasilnya,
data untuk studi kasus sangat terbatas. Seperti dalam kasus kebanyakan studi ilmu sosial, data
yang dikumpulkan dapat digunakan untuk mendukung teologi pembebasan atau untuk
membantah hal itu. Selain itu, banyak dari para ulama yang menganalisis data dari studi kasus
sedikit yang melakukannya dari Amerika kapitalistik itu sudut pandang. Teologi pembebasan,
dengan kepedulian terhadap kaum miskin dan koneksi dengan Marxisme, yang paling sering
tidak duduk dengan baik dengan negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat.Mereka yang
menganalisis teologi pembebasan praksis dari sudut pandang yang sering kehilangan pengaruh
positif yang telah di Amerika Latin.
Teologi pembebasan harus diizinkan untuk tumbuh sebagai teologi sebagai situasi dalam
perubahan Amerika Latin. Teologi pembebasan telah berubah sejak awal; telah menjadi kurang
radikal dan lebih pragmatis. Ini telah menerima bahwa organisasi, bukan revolusi, adalah cara
terbaik untuk memerangi penindasan. Tapi, menggunakan Alkitab sebagai dasar, ia masih
melihat dunia yang ditandai dengan konflik lebih dari dengan kompromi, dengan ketidaksetaraan
lebih dari oleh kesetaraan, dan oleh penindasan oleh lebih dari pembebasan. 26 Mungkin kritik
teologi pembebasan perlu mengingat konteks sejarah dari mana para teolog berbicara.Amerika
Latin jauh dari demokrasi yang Amerika Serikat pengalaman. Gereja Katolik, juga, harus
menyadari bahwa mayoritas umat Katolik di dunia berada di Amerika Latin, yang sebagian besar
miskin. Teologi pembebasan mampu menghubungkan gereja kepada masyarakat serta
memberikan harapan untuk masa depan.
26
Paul E. Sigmund, Teologi Pembebasan at the Crossroads (New York: Oxford University Press, 1990), 181.
12
BAB III
KESIMPULAN
13