Anda di halaman 1dari 142

CRUSH IN RUSH

BAB 1

Kiara terlambat datang bekerja!

Dengan napas terengah Kiara setengah berlari menuruni bus kota itu
sambil menyumpah-nyumpah mengutuki dirinya sendiri. Kalau saja
tubuhnya tidak terasa begitu lelah, Kiara pasti tidak akan memutuskan
tidur lagi siang tadi. Dia berpikir hanya tidur satu jam saja karena rasa
mengantuk menderanya begitu kuat. Tetapi bodohnya dia lupa menyalakan
alarm.
Ketika terbangun, matahari sudah menyembunyikan diri di balik
cakrawala, membiarkan bulan menggantikan tugasnya. Kiara terlambat
bekerja hampir satu jam.
Sambil mengerutkan keningnya cemas, Kiara membayangkan
bagaimana marahnya sang manager cafe kepadanya. Manager cafe itu tidak
pernah menyukainya, entah kenapa. Mungkin karena Kiara bertubuh kecil
dan dianggapnya lemah, sama sejali tidakj bisa membantu jika ada
pekerjaan berat. Selama ini dia selalu mencari-cari kesalahan Kiara,
mencoba membuktikan bahwa seorang perempuan tidak cocok bekerja
shift malam di sebuah cafe.
Napasnya makin terengah karena berlari makin kencang, jarak dari
halte bus ke cafe memang biasanya dia tempuh sambil berjalan kaki ketika
waktunya panjang, tetapi sekarang dia harus sesegera mungkin tiba di cafe
itu.
Setengah melompat Kiara terburu-buru menyeberangi jalan itu, tempat
cafe itu terletak diseberangnya, sampai suara rem yang berdecit kencang
dekat sekali dengannya membuatnya memejamkan mata, kaget dan panik.
Aku akan mati....
Desahnya di detik-detik terakhir, tetapi ketika dia tetap memejamkan
matanya, tidak terjadi apapapun. Tidak ada rasa sakit di badannya, dan
bahkan dia tidak terguling jatuh tertabrak entah apapun itu. Dengan hati-
hati, Kiara membuka matanya,
Kumpulan orang berkerumun melihatnya. Kiara mengernyit, orang-
orang memang selalu tertarik dengan kecelakaan, dan berkerumun. Dia
menatap ke samping tubuhnya dan menemukan sebuah mobil warna
hitam, dekat sekali dengan tubuhnya, tampaknya mobil itu di rem tepat
pada waktunya sehingga tidak menyentuhnya meskipun hanya berjarak
beberapa centi dari tubuhnya.
Pintu mobil terbuka, dan seorang lelaki tampan bertubuh tinggi dengan
kacamata hitam turun dari balik kemudi. Lelaki itu cemberut, dan ketika
dia membuka kacamatanya, Kiara menyadari bahwa lelaki itu adalah lelaki
yang sama yang membantunya semalam, salah satu pelanggan tetap cafe
tempatnya bekerja.

"Dimana otakmu sehingga menyeberang terburu-buru seperti itu dan


melupakan keselamatan dirimu?" Dahinya mengernyit, "Oh jangan lupa,
keselamatan diriku juga, aku bisa saja membanting stir dan menabrak
trotoar tadi kalau aku tidak bisa mengerem tepat pada waktunya."

Pipi Kiara memerah, malu dan gugup dimarahi di depan banyak orang
begitu, meskipun banyak orang-orang yang berkerumun memutuskan
pergi ketika menyadari bahwa Kiara baik-baik saja.
"Maafkan saya." Kiara bergumam lemah, sedikit gemetar tak tahan
dengan tatapan tajam lelaki itu.
"Kau terluka?" tanya lelaki itu cepat, matanya menelusuri seluruh
tubuh mungil Kiara.
Kiara menggelengkan kepalanya, "Tidak. Saya tidak apa-apa."
"Baguslah." Lelaki itu mendengus kesal, "Lain kali hati-hati!" dengan
ucapan penutup yang sinis itu, lelaki itu membalikkan tubuhnya dan
memasuki mobilnya kembali, lalu melajukan mobilnya meninggalkan Kiara
yang mundur kembali ke trotoar sambil menatap mobil hitam itu melaju
meninggalkannya hingga tertelan keramaian jalan raya.
Kiara menyeberang lagi, kali ini memutuskan untuk berhati-hati supaya
kejadian mengerikan dan memalukan tadi tidak terulang kepadanya,
lagipula dia sudah benar-benar terlambat sekarang. Kiara berdecak,
manager cafenya akan berpesta pora dengan kesalahannya ini.

***

Ketika Kiara memasuki pintu belakang cafe itu, dia langsung


berhadapan dengan Irvan, salah satu pelayan pria di cafe, lelaki itu
mengangkat alisnya ketika melihat Kiara datang,
"Kami kira kau tidak datang hari ini." gumamnya dalam senyuman,
Irvan memang termasuk salah satu pelayan cafe yang baik kepadanya,
sementara pelayan yang lain bersikap datar dan tak peduli, "Pak manager
sudah mengomel-ngomel dari tadi."
Kiara melongok ke balik punggung Irvan, mencari-cari sosok pak Sony,
Manager cafe yang galak itu. Irvan tergelak melihat tingkah Kiara,
"Dia tidak ada, dia sedang di depan. Cepat ganti pakaianmu dan bekerja,
berharap saja dia sudah lupa akan kemarahannya." Lelaki itu menepuk
punggung mungil Kiara, memberi semangat, lalu melangkah pergi.

Kiara segera merangkapi kemejanya dengan baju pelayan, mengikat


rambutnya dan kemudian melangkah dengan hati-hati ke depan. Dia
sedikit mengintip dan berdebar ketika mendapati Pak Sony sedang berdiri
di dekat meja kasir, sambil menghela napas panjang Kiara melangkah
keluar.
Ya sudahlah... apa yang terjadi, terjadilah...
Baru beberapa langkah saja, rupanya mata pak Sony yang awas sudah
langsung menangkapnya. Lelaki itu mengangkat alisnya dengan galak dan
menghampiri Kiara,
"Kau pikir jam berapa ini? Kenapa kau baru menampakkan batang
hidungmu heh?"
Kiara hampir saja terlompat mendengar bentakan pak Sony di
belakangnya, dia membalikkan tubuhnya dengan hati-hati dan menatap
takut-takut,
"Maafkan pak... saya... saya kesiangan." Kiara sendiri merasa tak enak
ketika mengucapkan alasan yang paling tidak bertanggung jawab itu.
Sementara seperti yang sudah diduganya, pak Sony malahan semakin
marah mendengar alasannya,
"Kau pikir perusahaan ini milik ayahmu sehingga kau bisa seenaknya
datang terlambat dengan alasan kesiangan? Aku sebenarnya sudah tidak
suka dengan kehadiranmu di bagian pelayan cafe ini, kau harusnya tetap
berada di bagian belakang menjadi pencuci piring!"
Dan kemudian, Pak Sony memberinya hukuman mencuci piring
sendirian, seluruhnya tanpa bantuan dari siapapun.

***

Setelah selesai mencuci entah ratusan piring dan panci, wajan serta
peralatan masak lain yang berukuran besar dan lengket, Kiara
menyandarkan tubuhnya di dinding belakangnya dan menghela napas
panjang.
Entah berapa jam dia berkutat dengan kegiatan itu, ditatapnya kedua
telapak tangannya dan mengernyit, kulit telapak tangannya sudah keriput
karena terus-terusan terkena air dan di beberapa sisi mulai terasa pedih
akibat kontak terlalu intens dengan sabun cuci.
Kiara menghela napas panjang, berusaha menyemangati dirinya sendiri
dan menegakkan tubuhnya. Pekerjaannya masih banyak, dan dia harus
semangat. Dia membutuhkan pekerjaan ini untuk hidupnya, Yang harus dia
lakukan adalah bekerja lebih giat sambil berusaha mencari jalan untuk
menemukan kesempatan yang lebih baik.

***

Ketika melihat tulisan di layar ponselnya, Joshua mengernyitkan


keningnya. Itu telepon internasional, dari nomor yang sangat dikenalnya,
pengacara ayahnya di London.
Joshua mendengus kesal, pengacara ayahnya sudah berkali-kali
meneleponnya, membujuknya supaya mau berkunjung ke London,
mengunjungi ayahnya yang katanya kondisi kesehatannya semakin
memburuk.
Joshua sama sekali tidak tertarik menemui ayahnya, lelaki itu dulu
membuangnya dan ibunya hanya karena mereka dianggap tidak sederajat
dengan darah biru yang mengaliri tubuh ayahnya, apalagi mengingat
ibunya seorang asia yang hanyalah seorang murid pertukaran beasiswa di
kampus anaknya.
Kesalahan masa muda. .Begitu dulu komentar kakeknya..... Joshua tidak
mau menyebut lelaki itu sebagai kakeknya, dia hanyalah lelaki tua
aristrokat yang sombong dan tidak punya hati. Lelaki tua itu, begitu
mengetahui 'kelalaian' ayahnya yang menghamili gadis asia yang
dianggapnya tidak sederajat, langsung mengirimkan ayahnya bersekolah
ke Amerika, dan kemudian memberi uang kepada ibunya dan mengatur
kepulangan ibunya dengan paksa ke Indonesia. Ironisnya, ibunya hanyalah
seorang wanita muda yang tidak punya siapa-siapa di London yang bisa
membantunya melawan ketidakadilan itu, hingga pada akhirnya dengan
pasrah, membawa bayi dalam kandungannya pulang ke Indonesia.
Pada masa itu, di tempat tinggalnya, hamil sebelum menikah
merupakan aib tersendiri. Orangtua ibunya marah besar ketika ibunya
pulang ke Indonesia dalam keadaaan hamil, dikeluarkan dari beasiswanya
karena pengaruh kalangan atas di London, dan mempermalukan
keluarga. Beruntunglah seorang lelaki, sahabat ibunya di masa lalu yang
sangat menyayangi ibunya memutuskan untuk bertanggung jawab kepada
ibunya. Lelaki itu kemudian menikahi ibunya, menyelamatkannya dari aib
keluarga dan dengan tegar tetap menopang ibunya ketika banyak
pandangan mencemooh ketika ibunya melahirkan Joshua, anak lelaki
dengan rambut cokelat keemasan dan mata berwarna biru.
Joshua lebih mengakui Nathan sebagai ayahnya, lelaki itu menyokong
kehidupan ibunya, memperlakukan Joshua seperti anaknya sendiri,
membiayai sekolahnya hingga menjadi arsitek yang sukses seperti
sekarang. Sayangnya, sepertinya Tuhan terbiasa mengambil orang-orang
berhati baik lebih cepat supaya bisa segera berada di sisinya. Lima tahun
lalu, Nathan dan ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan,
meninggalkan Joshua benar-benar sendirian di dunia ini.
Ya. Dia sendirian. Ayah kandungnya di London tidak masuk hitungan.
Dua tahun yang lalu, nama Joshua sebagai arsitek jenius dimuat dalam
sebuah artikel bisnis di London, kabar tentang dirinya sampai ke telinga
ayah kandungnya yang saat ini sudah memegang kerajaan bisnis besar
mewarisi kakeknya yang sudah meninggal, ternyata menyadari bahwa dia
berhubungan dengan Joshua, sepertinya lelaki itu menyewa detektif swasta
karena beberapa lama kemudian, pengacaranya menelepon Joshua,
mengatakan bahwa ayah Joshua mengharapkan kedatangannya ke London,
Joshua meradang. Punya hak apa lelaki itu sehingga tiba-tiba memasuki
kehidupannya dan memaksa Joshua menerimanya? Joshua sudah tentu
tidak butuh ayahnya, dia lelaki yang sukses dengan kemampuannya
sendiri, dan sama sekali tidak membutuhkan apapun dari ayahnya yang
tidak bertanggungjawab kepadanya dan ibunya di masa lampau.
Tetapi ponselnya berdering terus. Pengacara ayahnya di seberang sana
rupanya tidak mau menyerah, dia pasti menyadari keengganan Joshua,
karena itulah dia terus menerus memaksa. Dengan jengkel Joshua
mengangkat telephone itu.
"Ayah anda sekarat." Itulah kalimat pertama yang diucapkan oleh
pengacara ayahnya dalam bahasa inggris berlogat kental ketika
mendengar Joshua mengucapkan "halo".
Josua mengeluarkan suara decakan tidak peduli bergumam dengan
bahasa ayahnya, "Memang sudah saatnya."
Hening. Pengacara ayahnya di seberang sana mungkin sedang
menggeleng-gelengkan kepalanya melihat betapa kejamnya Joshua kepada
ayahnya. Dia lalu bergumam lagi tampaknya berusaha menyabarkan diri,
"Beliau tidak punya anak laki-laki, sementara itu warisan gelarnya
harus diserahkan kepada anak laki-lakinya, kalau tidak warisan itu akan
diambil oleh sepupu jauhnya. Ayah anda bersikeras untuk memberikan
warisan gelar dan seluruh hartanya kepada anda."
"Aku tidak butuh gelar dan harta."
"Saya tahu itu." suara pengacara ayahnya melemah, "Yang perlu anda
tahu, isteri ayah anda yang sekarang mempunyai dua orang anak
perempuan yang dibawanya dari pernikahan sebelumnya, jadi anak itu
selain perempuan, juga bukan merupakan darah daging ayah anda. Dan
kalau anda mau tahu pendapat saya, lebih baik harta itu jatuh ke tangan
anda daripada jatuh ke tangan nenek sihir itu. Dia akan menguras habis
seluruh harta ayah anda begitu ada kesempatan, dan saya mohon kepada
anda karena hanya andalah satu-satunya yang bisa menjaga warisan ayah
anda."

***
Joshua memandang berkas-berkas yang pernah dikirimkan oleh
pengacara ayahnya kepadanya. Berkas itu berisi inventarisir mengenai
seluruh harta yang dimiliki ayahnya, mencakup saham mayoritasnya di
perusahaan miliknya juga beberapa properti seperti rumah dan tanah.
Joshua bisa saja mengabaikan itu semua dan menjalani hidupnya
dengan tenang. Toh dia tidak ada hubungannya dengan semua orang itu.
Kalau memang harta ayahnya akan jatuh ke tangan isterinya yang tamak,
itu mungkin itu memang balasan yang setimpal untuk ayahnya.
Tetapi godaan untuk membalas dendam terasa begitu kuatnya.
Ayahnya sekarang memohon agar dia mau menerima gelar dan
warisannya, gelar yang dulu membuat dia dan ibunya ditendang dari
kehidupan ayahnya. Ada kepuasan tersendiri ketika membiarkan lelaki tua
itu memohon-mohon kepadanya.
Joshua tiba-tiba tersenyum sinis. Otaknya berputar mencari cara,
menemukan jalan membalas dendam yang paling menyakitkan untuk
ayahnya dan keluarga angkatnya di London.
***

Lelaki itu datang lagi. Kiara mengintip dari balik tirai yang membatasi
areal dapur dengan bagian luar cafe. Lelaki itu tampak sangat misterius,
selalu datang pada waktu dini hari, kadang hanya merokok dan menikmati
secangkir kopi, kadang dia tampak sibuk berkutat dengan laptopnya, dan
kemudian baru beranjak ketika pagi menjelang.
Apakah lelaki itu tidak pernah tidur?
"Mengintip apa?" tiba-tiba Irvan muncul di belakangnya, ikut melirik
dari balik tirai dan membuat Kiara kaget setengah mati, dia hampir
terlompat dan kemudian menatap Irvan dengan jengkel.
"Bisa tidak jangan muncul tiba-tiba di belakangku?" gumam Kiara
setengah marah setengah tersenyum. Karena Irvan yang paling baik
kepadanya di cafe ini, mereka cukup akrab untuk saling mengejek ataupun
bercanda.
Irvan terkekeh dan mengedipkan matanya, menatap ke arah lelaki
penyendiri itu,
"Kau mengintip lelaki itu ya?" bisiknya menggoda, "Karena dia sangat
tampan?"
Kiara menggelengkan kepalanya kuat-kuat, "Aku hanya penasaran
kenapa dia selalu duduk di situ sepanjang malam hingga pagi, apakah dia
tidak tidur?"
Irfan mencibirkan bibirnya, "Kalau tida tidak tampan pasti kau juga
tidak tertarik."
Pipi Kiara langsung merah padam, tidak bisa berkata-kata. Tidak bisa
dipungkiri lelaki itu memang sangat tampan..... tetapi ada sesuatu dalam
dirinya yang tidak bisa dijelaskan, sesuatu yang tersimpan dalam dan
kelam. Dan Kiara memahaminya, batinnya bertanya-tanya, apakah lelaki itu
memiliki masa lalu yang tidak menyenangkan seperti dirinya?
"Jangan hanya berdiri di situ! Bersihkan meja-meja kotor itu!"
Suara Pak Sony yang galak mengagetkan Kiara dan Irvan, mereka
bergegas menuju area cafe dan melaksanakan tugas, menghindar dari
semprotan lelaki pemarah itu.
Dengan ragu, Kiara membersihkan meja kotor yang terletak di sudut,
dekat dengan lelaki itu. Lelaki itu mengalihkan tatapannya dari laptopnya
dan ada sinar di matanya ketika menatap Kiara.
"Kenapa perempuan sepertimu bekerja di shift malam seperti ini?"
gumam Joshua dengan suara datar, menatap Kiara dengan seksama dari
ujung kaki ke ujung rambutnya. Mereka berada cukup dekat karena meja
yang dibersihkan ioleh Kiara ada di dekat meja tempat Joshua duduk,
karena itu Joshua bisa bergumam pelan dan bisa didengar oleh Kiara.
Kiara merasa tidak nyaman dengan tatapan yang menelanjangi itu, dan
dia tidak menduga lelaki itu akan menyapanya, dia memalingkan
mukanya,
"Karena memang hanya pekerjaan ini yang bisa saya lakukan."
Joshua kali ini benar-benar mengalihkan perhatiannya seluruhnya kepada
Kiara, "Masih banyak pekerjaan lain yang bisa dilakukan perempuan
sepertimu."
Apakah lelaki ini adalah jenis lelaki mesum yang menawarkan
pekerjaan mesum kepada perempuan lugu seperti dirinya?
Kiara memandang Joshua dengan was-was, "Hanya pekerjaan ini yang
mau menerima saya. Saya memang lulusan sebuah SMU di desa, Ketika
pergi saya membawa ijazah SMU dan harapan untuk hidup yang lebih baik,
tetapi rupanya banyak yang tidak menghargainya di kota ini karena banyak
saingan dengan pendidikan lebih tinggi tetapi mau digaji sama.."
"Pergi dari mana?" lelaki itu bertopang dagu, tampak tertarik, mungkin
baginya Kiara adalah selingan menarik di sela-sela kegiatan bersantainya.
Kiara mendongakkan dagunya, "Dari panti asuhan." dia melirik tidak
nyaman kepada Joshua, karena sungguh tidak lazim seorang pelanggan
bercakap-cakap dengan pelayan cafe seperti ini, bahkan pak Sony tampak
menatap mereka tanpa malu-malu. "Saya harus pergi."

"Tunggu." Joshua meraih tangan Kiara, dan menggenggamkan sesuatu di


tangannya, "Jangan kembalikan, karena aku cukup kaya dan aku tidak
butuh ini."
Kiara segera melepaskan diri dari cekalan tangan Joshua dan
melangkah memasuki area belakang dapur, karena pak Sony menatapnya
dengan tatapan mencemooh yang tajam, mungkin lelaki itu mengiranya
sedang merayu pelanggan.
Ketika sampai di area belakang dapur yang sepi, dekat tempat cuci
piring, Kiara membuka kepalan tangannya dan menatap sesuatu yang
dijejalkan lelaki itu dalam genggaman tangannya.
Selembar uang merah seratus ribuan....
Kiara bergegas melangkah ke depan untuk mengembalikan uang itu.
Lalu dia tertegun.
Kursi tempat lelaki itu biasa duduk sudah kosong. Lelaki itu sudah tidak
ada....
BAB 2

Joshua menahan keinginannya untuk mendatangi cafe itu lagi.


Perempuan pelayan cafe itu, di luar dugaannya sungguh sangat menarik
perhatiannya. Membuatnya ingin melihatnya setiap hari. Joshua sendiri
tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan kepada perempuan pelayan
itu. Dia berhati dingin, jiwanya yang kejam adalah pembawaannya,
sehingga dia cenderung tidak peduli kepada orang lain. Tetapi perempuan
pelayan itu begitu mungil, begitu tak berdaya dan harus menjalani
pekerjaan yang begitu berat. Joshua bertanya-tanya apakah perempuan itu
punya keluarga atau orang lain yang bisa mengurusnya.
Diluar kebiasaannya juga, Joshua memberikan uang kepada perempuan
pelayan itu. Dia mengangkat bahunya dan sedikit merasa lega, mungkin
perempuan itu bisa menggunakan uang itu untuk memenuhi
kebutuhannya. Uang sebesar itu hanyalah recehan bagi Joshua, tetapi dia
tahu uang itu sangat berarti bagi perempuan itu.

Tiba-tiba Joshua tersadar... kenapa dia terus menerus memikirkan


perempuan itu?

Dengan marah Joshua meremas kertas pekerjaannya yang dari tadi tidak
bisa diselesaikannya, dia menatap nanar ke arah bawah, ke arah
pemandangan malam kota dari jendelanya. Tiba-tiba pikirannya melayang
ke ayah kandungnya di luar sana. Dia menahan napas gusar. Rencana balas
dendamnya sepertinya sangat menarik untuk dilakukan, dia hanya tinggal
mengatur beberapa rencana, lalu semua akan terlaksana dengan baik.

Joshua melirik jam tangannya, tiba-tiba bertanya-tanya dalam hatinya,


sudah dua malam dia tidak mengunjungi cafe tempat gadis pelayan itu
bekerja, ini sudah hampir jam lima pagi, bukankah biasanya shift
perempuan itu selesai jam lima pagi? Joshua tahu karena dia selalu berada
di cafe antara jam dua sampai jam lima pagi, dan ketika sudah menjelang
jam lima pagi, selalu terjadi pergantian shift pelayan.

Sedetik dia berpikir, kemudian dengan gerakan cepat. Joshua meraih


jaketnya dan melangkah keluar dari apartemen mewahnya itu.

***
Kiara merasakan kepalanya pening, dia menghela napas panjang. Gawat
sepertinya virus salah satu pengunjung yang dari tadi bersin-bersin di
dekatnya telah menularinya. Daya tahan tubuh Kiara sedang lemah
sehingga dia mudah tertular. Sekarang selain pening di kepalanya, di
bagian matanya terasa berdenyut-denyut dan seluruh permukaan
kepalanya terasa nyeri. Kiara menuggu dengan lunglai di pinggir jalan.
Udara pagi hari yang dingin terasa menerpa kulitnya, menyiksanya karena
terasa menusuk sampai ke tulang.

Kiara merapatkan jaketnya yang terbuat dari bahan wol, jaket itu sudah
menipis karena terlalu sering dipakai dan dicuci sehingga tidak
membantunya mengatasi hawa dingin. Dia masih berdiri di tepi jalan yang
masih lengang itu, hanya ada beberapa kendaraan pribadi yang lalu lalang,
dan taxi yang beberapa diantaranya memberi isyarat pada Kiara, membuat
Kiara harus menggelengkan kepalanya. Dia tidak mampu pulang naik taxi,
ongkosnya tidak akan cukup. Di pagi hari setelah shiftnya dari cafe, dia
akan berjalan ke jalan besar sejauh dua ratus meter dan menunggu
angkutan umum yang lewat untuk mengantarkannya ke dekat tempat
tinggalnya Oh ya ampun, dan dia harus berdiri di tengah hawa dingin ini
selama beberapa lama, angkutan yang melewati sekitar jalan ini biasanya
baru datang jam enam pagi, membawa barang-barang milik pedagang
pasar pagi, Kiara juga harus siap berdesak-desakan dengan para pedagang
dan barang bawaannya nanti, sementara dia sudah merasa ingin pingsan.

Dengan langkah tertatih, Kiara berjalan menuju ke tempat duduk di halte


tak jauh dari situ, dia sudah tidak kuat berdiri lebih lama lagi. Demamnya
makin terasa, membuatnya hampir limbung, dan Kiara merasa cemas. Dia
tidak boleh sakit.... dia tidak boleh izin dari pekerjaan karena itu bisa
menjadi alasan pak Sony untuk memecatnya....

Mata Kiara mulai berkunang-kunang membuatnya berpegangan pada salah


satu tiang halte itu, menyandarkan tubuhnya di sana. Sampai kemudian
sebuah tangan yang terasa kuat menyentuh pundaknya, membuat Kiara
hampir terloncat karena kaget.

"Kau tampak tidak sehat."


Itu lelaki penyendiri di cafe itu....tiba-tiba Kiara teringat, dia merogoh-
rogoh sakunya dan mengeluarkan selembar uang seratus ribuan berwarna
merah yang sudah lecek tidak karuan. Entah berapa ratus kali Kiara
tergoda untuk menggunakan uang itu. Kadang dia menaruhnya di
pangkuannya dan menatapnya beberap lama, berpikir apa yang akan dia
lakukan dengan uang sebanyak itu. Kiara ingin mencicipi tenderloin steak
menu andalan cafe tempatnya bekerja, tetapi kemudian dia mengurungkan
niatnya, harga steak itu sendiri lima puluh ribu rupiah, dia akan
menghabiskan setengah uang itu hanya untuk makanan. Lalu Kiara akan
memikirkan cara lain, dia membayangkan membeli gaun yang sangat indah
di toko baju yang sering dilewatinya kemarin... tetapi lagi-lagi Kiara
membatalkan niatnya, dia masih belum butuh gaun, meskipun dekil dan
jelek, gaun-gaunnya masih pantas dipakai, lagipula Kiara bekerja
mengenakan seragam yang disediakan untuk cafe dan dia juga tidak punya
teman yang akan mengajaknya keluar-keluar, jadi Kiara tidak
membutuhkan gaun yang bagus.

Pada akhirnya, Kiara akan membatalkan semua niatnya untuk


menggunakan uang itu dan akan melipat uang itu, lalu meletakkannya
dengan hati-hati di saku bajunya. Dia harus mengembalikan uang ini. Kiara
tidak mengenal lelaki itu, yang memberinya uang ini. Siapa tahu apa
maksud di baliknya? Jangan-jangan nanti lelaki itu kembali dan menagih
uang ini atau meminta tubuhnya seperti di film-film itu? Kiara begidik
ngeri, jangan sampai dia berakhir dengan menjual tubuhnya, semiskin
apapun Kiara, dia akan menjaga tubuhnya tetap suci, untuk pangeran
impiannya nanti... yang dia tidak tahu siapa dan sekarang entah berada di
mana.

Kiara melewatkan dua malam ini dengan menunggu lelaki penyendiri itu
datang dan menghabiskan waktunya di cafe seperti biasanya, tetapi dua
malam berlalu dan lelaki itu tidak datang. Untunglah sekarang dia bisa
bertemu lelaki itu di sini, jadi dia bisa mengembalikan uangnya.

"Apa?" lelaki itu menatapnya galak dan menatap uang lecek di telapak
tangan Kiara.
"Kau tidak datang ke cafe jadi aku tidak bisa mengembalikannya...." Kiara
menahan peningnya, mendongakkan kepalanya menatap lelaki yang
berdiri di depannya itu, "Ini uangmu."

"Bukankah sudah kubilang untuk tidak mengembalikannya?"

"Aku tidak mau menerimanya." Kiara menatap lelaki itu dengan tatapan
keras kepala, mencoba membantah, tetapi tiba-tiba rasa pening yang amat
sangat menerpanya, membuatnya mengerang kesakitan.

"Kau kenapa?" Lelaki itu menyentuh dahinya dan mengernyit, "Astaga, kau
panas sekali!"

Itu adalah kata-kata terakhir yang didengar Kiara sebelum dia limbung dan
kehilangan kesadarannya.

***

"Dia terjangkit flu dan kelelahan....." Dokter pribadi Joshua menemui Joshua
setelah memeriksa perempuan pelayan itu, yang sekarang masih terbaring
pingsan di atas ranjangnya, di dalam apartemen mewahnya. Joshua
terpaksa membawa perempuan itu ke apartemennya karena dia tidak tahu
harus membawanya ke mana.

"Oke, terimakasih dokter." Joshua menjawab sopan dan mengantar dokter


itu ke pintu. Sampai di pintu, dokter itu menghentikan langkahnya sebelum
pergi,

"Di mana kau menemukan perempuan itu, Joshua?" dokter itu sudah
mengenal Joshua cukup lama karena dia dulu menjadi dokter keluarga
sejak orang tua Joshua masih hidup, karena itu dia menganggap Joshua
hampir seperti anaknya sendiri.

"Memangnya kenapa dok?"

Dokter itu menghela napas panjang, "Tubuhnya lemah, jadi daya tahan
tubuhnya lemah hingga mudah terjangkit penyakit... dan juga sepertinya
dia kurang gizi."
Hati Joshua terenyuh mendengarnya. Pantas saja perempuan itu begitu
kurus, ternyata dia kurang makan.

"Dia temanku, sayangnya nasibnya memang tidak beruntung, jangan kuatir


dok, aku akan merawatnya." gumam Joshua sambil tersenyum.

***

Ketika Kiara membuka matanya, dia terperanjat menyadari bahwa dirinya


berada dalam kamar yang tidak dikenalnya. Kamar itu indah dan semua
barang di dalamnya mahal. Kiara mengernyitkan dahinya bingung, di mana
dia? Ingatan terakhirnya adalah bertatapan mata dengan lelaki penyendiri
langganan Cafe tempat dia bekerja itu. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa
lagi.

Kiara menatap sekeliling lagi dengan waspada dan menghembuskan napas


lega ketika yakin bahwa dia sendirian di dalam kamar ini. Kamar siapa ini?
Apakah lelaki penyendiri itu yang membawanya ke mari?

Kiara melirik tubuhnya dan mendesah lega sekali lagi karena menemukan
dirinya berpakaian lengkap di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya.
Yah, dia benar-benar demam ternyata, Kiara mendesah kecewa atas
ketidakmampuan tubuhnya menahan virus yang menyerangnya. Kepalanya
pening dan sekujur tubuhnya terasa nyeri, dia memijit kepalanya, berusaha
meredakan rasa seperti berdentam-dentam di sana.

Tiba-tiba saja pintu terbuka, dan refleks, Kiara beringsut menjauh di atas
ranjang ketika melihat lelaki penyendiri itu memasuki kamar, dengan
nampan berisi air dan teko kaca besar di tangannya.

"Kau sudah bangun rupanya." Joshua meletakkan nampan itu di meja di


sebelah ranjang, "Aku terpaksa membawamu ke sini, maafkan, kau pingsan
di jalan begitu saja."

Lelaki ini menolongnya. Tiba-tiba saja Kiara merasa malu telah


berprasangka buruk kepadanya,
"Terimakasih." suaranya serak dan pelan, sepertinya tenggorokannya juga
terserang virus karena sekarang terasa panas dan menyakitkan, terutama
ketika dia menelan ludahnya.

Joshua menganggukkan kepalanya, lalu mengulurkan tangannya,

"Kita belum sempat berkenalan, aku Joshua."

Kiara meragu sejenak. Kenapa lelaki kaya macam Joshua merasa penting
untuk berkenalan dengannya? tetapi dia kemudian membalas uluran
tangan Joshua,

"Aku Kiara."

"Kiara." Joshua mengulang nama Kiara lambat-lambat lalu tersenyum, "Kau


harus minum obatmu, dokter memeriksamu tadi." Lelaki itu mengedikkan
bahunya ke arah obat-obat yang diletakkan di meja yang sama dengan
nampan berisi gelas air.

Kiara menoleh ke arah obat itu lalu menatap Joshua kembali

"Terimakasih, maafkan aku sudah merepotkanmu."

"Sama sekali tidak repot kok." Joshua menjawab tenang, masih tetap
berdiri dan menatap Kiara dengan tatapan mata penuh arti, "Minumlah
obatmu dan beristirahatlah."

Mata Kiara melirik ke arah jam dinding. Jam enam...

"Apakah itu jam enam pagi, atau jam enam sore?"

Joshua mengikuti arah pandangan Kiara ke jam dinding itu, "Jam enam
sore. Dokter menyuntikmu dengan obat dan itu membuatmu tertidur pulas,
bagus untuk penyembuhanmu katanya karena kau butuh tidur dan
beristirahat untuk pemulihanmu." Joshua memandang sekeliling kamar,
"Memang susah membedakan pagi dan malam di kamar ini, kamar ini
memang sedikit gelap karena aku menutup jendela dan gordennya, aku
pikir kau bisa beristirahat lebih nyaman kalau suasana kamar temaram."
"Oh Astaga." Kiara malahan terlompat dari posisi tidurnya, hampir tidak
mendengar kalimat terakhir Joshua, dia mulai panij, melemparkan
selimutnya dan berusaha berdiri, "Aku harus masuk kerja, bosku akan
memarahiku kalau aku terlambat." Kiara berusaha berdiri, tetapi kakinya
terasa lemah seperti agar-agar dan rasa pening yang amat sangat
menyerangnya dengan begitu kuar, membuatnya kembali limbung.

Joshua yang berdiri di dekatnya langsung menopangnya,

"Kau ini bodoh atau apa? kau demam tinggi dan flu berat, bagaimana
mungkin kau bisa bekerja dengan kondisi seperti ini? Shift malam pula!"
dengan marah tetapi tetap berusaha lembut, Joshua setengah mendorong
Kiara hingga tubuh perempuan itu kembali terbaring di ranjang.

Kiara mengerutkan keningnya, masih merasa panik meskipun di dera


pusing yang amat sangat,

"Bosku akan memecatku kalau...."

"Shhh.." Joshua menghentikan kalimat Kiara, "Minum obat dan tidurlah,


biarkan aku yang mengurus bos-mu. Ok?"

Kiara menahan air matanya karena merasa begitu tidak berdaya, "Ok."

Lalu dia membiarkan Joshua membantuya meminum obatnya dan


membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang nyaman itu, lelaki itu
menyelimutinya sebelum melangkah pergi.

Kiara masih merasa panik atas pikiran akan kehilangan pekerjaannya. Pak
Sony pasti akan marah sekali kalau dia tidak muncul untuk bekerja malam
ini..... tetapi kemudian pengaruh obat membelit otaknya, membuatnya
mengantuk dan kembali terseret ke alam mimpi.

***

Joshua setengah mengutuk dirinya sendiri karena mau-maunya melibatkan


dirinya dalam urusan merepotkan menyangkut Kiara.
Kenapa dia jadi mengurusi Kiara? Kenapa pula perempuan itu pingsan tepat
di depannya?

Joshua mendengus marah, sekalian saja kalau begitu! perempuan itu telah
mengetuk nuraninya, membuat Joshua merasa asing kepada dirinya
sendiri. Dia tidak boleh terus-terusan didikte oleh nuraninya, dia harus
melakukan sesuatu.

Yang pertama dilakukannya adalah menemui lelaki yang bernama Sony,


manager restoran itu. Joshua setengah mengenalnya karena dia langganan
cafe ini, dan lelaki gendut pemarah itu selalu memperlakukannya dengan
sikap menjilat yang memuakkan.

"Kenapa anda ingin menemui saya, tuan Joshua?" Sony tentu saja tahu
kalau Joshua adalah lelaki kaya salah satu penghuni apartemen mewah di
area dekat mereka. Pelanggan kaya adalah raja, mereka harus diperlakukan
dengan baik.

"Ini menyangkut Kiara."

Kiara? Sony mengernyitkan keningnya. Perempuan pelayan tak becus itu


sepertinya terlambat datang lagi malam ini, dasar perempuan tak becus,
Sony sebenarnya sudah lama ingin menyingkirkan Kiara, dia selalu
menganggap Kiara lemah dan tak kompeten, dan sekarang Kiara
menunjukkan betapa pemalasnya dirinya karena terlambat datang lagi.
Kiara pasti ketiduran lagi! Awas saja! Sony sudah memikirkan hukuman
berat untuk Kiara, mencuci seluruh piring dan peralatan masak kotor
rupanya belum cukup berat bagi Kiara, mungkin dia akan menyuruh Kiara
mengepel seluruh lantai cafe dengan tangan dan menggosok seluruh kamar
mandi di area cafe. Mata Sony bersinar jahat, membayangkan kepuasan
yang diperolehnya dengan menyiksa Kiara.

Joshua menatap sinar jahat di mata Sony dan tiba-tiba merasa marah.
Lelaki ini adalah penindas perempuan pelayan cafe itu. Sungguh Kiara pasti
tidak akan bisa melawan si jahat ini. Mungkin Joshualah yang harus
membantu Kiara untuk membalas,
"Kiara tidak akan datang lagi." Joshua bergumam dingin, "Dia sekarang
bekerja untukku." tanpa kata lagi, Joshua membalikkan badan dan
meninggalkan Sony yang terperangah bingung dengan apa yang dikatakan
oleh Joshua.

***

Kiara terbangun beberapa lama kemudian, dan mengerjapkan matanya.


Obat itu seperti obat bius, membuatnya tidurnya amat pulas, tetapi juga
membuat tubuhnya agak terasa enak.

Ternyata Joshua sudah ada di dalam kamar itu, lelaki itu menatap Kiara
dengan tatapan tak terbaca. Apakah lelaki itu benar-benar pergi untuk
menemui bosnya?

"Bagaimana bosku?" Kiara bergumam pelan, dia berusaha duduk, "Maafkan


aku merepotkanmu, terimakasih sudah merawatku, aku akan pergi
sekarang, mungkin bosku masih mau menerima permintaan maafku karena
terlambat datang... sekali lagi terimakasih, aku akan pergi..."

"Kau tidak akan pergi kemana-mana, Kiara."

Suara Joshua tenang dan pelan, tetapi mampu membuat Kiara


menghentikan kata-katanya dan menatap Joshua sambil mengernyitkan
dahinya.

"Apa maksudmu?" Kiara bertanya, bingung.

Joshua menatap Kiara dalam-dalam, "Kau sudah dipecat dari pekerjaanmu


di restoran itu. Bosmu memang jahat dan kau harusnya bersyukur bisa
terlepas darinya."

Kiara langsung panik kembali. Dia dipecat? Dipecat? Oh ya Ampun,


bagaimana dia bertahan hidup tanpa pekerjaan itu? Bagaimana dia makan
nanti? bagaimana dia membayar sewa tempat tinggalnya?

Joshua mengawasi reaksi panik dan cemas Kiara, lalu bergumam,


"Tetapi kau tidak perlu cemas memikirkan hidupmu, ada pekerjaan baru
untukmu."

"Pekerjaan baru?" ada secercah harapan di sana, Kiara menatap Joshua


penuh harap, mungkin lelaki ini menemukan koneksi baru tempat dia bisa
masuk sebagai pelayan? Kiara akan sangat berterimakasih kalau lelaki ini
benar-benar melakukannya.

"Ya pekerjaan baru, di sini, sebagai pelayanku." Joshua melemparkan kata-


kata itu dengan tenang, seolah menawarkan permen kepada anak kecil,
yakin akan disambar secepat kilat.

Hening....... Kiara ternganga kaget mendengar perkataan lelaki itu sampai


tidak bisa berkata-kata.....
BAB 3
Menjadi pelayan?

Kiara mengerutkan keningnya dan seketika itu juga wajahnya pucat pasi,
menjadi pelayan ini apakah menjadi pelayan seks dari Joshua? Kiara sering
melihat kisah-kisah sinetron dan film dimana tokoh wanita yang miskin
pura-puranya ditolong oleh lelaki kaya, tetapi kemudian dia disekap dan
dijadikan budak seks.... Ya Ampun! Kiara harus menyusun rencana
melarikan diri dari rumah ini!

Joshua yang melihat perubahan ekspresi Kiara langsung merasa geli. Dia
sudah pasti bisa menebak pikiran apa yang lalu lalang di benak Kiara,
ekspresi wajah Kiara yang polos mengungkapkan semuanya karena
perempuan itu benar-benar seperti buku yang mudah dibaca. Joshua
memutuskan akan menggoda perempuan ini,

"Jadi sebagai pelayanku kau harus berlatih untuk memuaskanku." Joshua


tersenyum lebar sampai barisan gigi putihnya yang rapi terlihat, setengah
mati menahan geli melihat ekspresi shock dan pucat pasi di wajah Kiara.

"Apa?" Kiara setengah berteriak, panik. Pandangannya mengukur jarak dari


kasur ini ke pintu kamar.Bisakah dia melarikan diri dengan cepat tanpa
ditangkap poleh Joshua?

Tetapi kemudian Joshua terbahak, membuat Kiara menatap lelaki itu


dengan waspada,

Kenapa lelaki itu tertawa? Apanya yang lucu?

Mata Joshua tampak tajam meskipun masih berlumur rasa geli,

"Sebaiknya kau buang semua pikiran bodoh yang ada di otakmu itu. Aku
sama sekali tidak tertarik padamu secara seksual." matanya menelusuri
tubuh Kiara dengan mencemooh, "Kau terlalu kurus, dan bukan termasuk
tipeku, jadi kau bisa tenang."

Meskipun merasa tersinggung atas penghinaan terang-terangan dari


Joshua itu, Kiara merasa sedikit tenang, setidaknya lelaki itu tidak tertarik
padanya, jadi tidak mungkin lelaki itu memperkosanya. Kalau begitu,
apakah istilah 'pelayan' yang dipakai oleh Joshua adalah "pelayan' yang
sesungguhnya?

"Aku ingin mempekerjakanmu sebagai pelayan." Joshua mengangkat


alisnya, "Pelayan sungguhan yang bersih-bersih rumah dan memasak."

"Apakah kau tidak punya pelayan sebelumnya?" Kiara mengedarkan


pandangannya ke kamar tempat dia ditempatkan. Ini hanya satu kamar,
tetapi luasnya mungkin lima kali dari kamar kontrakan Kiara saat ini,
belum lagi bagian-bagian lain seperti ruang tamu, dapur dan kamar
mandi, Tidak mungkin bukan Joshua membersihkan semuanya sendiri?

"Sudah kupecat." Joshua bergumam enteng, tidak menjelaskan bahwa


sebenarnya dia memperoleh jasa kebersihan kamar gratis sebagai
pelayanan VIP dari pihak apartemen. Baru saja dia menelepon pihak
apartemen dan mengatakan dia tidak membutuhkan pelayanan gratis itu
lagi.

"Kau pecat?" Kiara menghela napas, "Kau tidak memecatnya karena aku
bukan?"

Tatapan Joshua tampak dingin dan mencemooh, "Jangan besar kepala,


mana mungkin aku memecatnya karenamu?"

Pipi Kiara langsung merah padam, Betapa malunya dia, lagipula seharusnya
dia sadar kalau Joshua tidak mungkin melakukan itu. Kiara hanya berada di
waktu yang tepat di saat Joshua kehilangan pelayannya, sekarang Kiara
kehilangan pekerjaannya, jadi betapa baiknya Joshua karena menawarkan
pekerjaan ini padanya...

"Bagaimana? Kau mau mengambil pekerjaan sebagai pelayanku? Aku


tinggal sendirian di sini tanpa keluarga, dan tanpa pengurus rumah yang
membersihkan apartemen dan memasak aku sedikit kerepotan."

Kiara menatap Joshua, masih ragu,

"Jam berapa aku harus datang dan bekerja?"


"Datang dan bekerja? Tidak... kau tinggal di sini, itu akan lebih mudah
bagiku."

"Tinggal di sini?" Kiara setengah berteriak, "Tidak! Aku tidak bisa!"

"Kenapa?" Joshua bersedekap dan mengangkat alisnya, "Bukankah sudah


biasa seorang pelayan tinggal di rumah majikannya? jadi dia bisa
melaksanakan tugasnya dari pagi sampai malam, memastikan seluruh
rumah bersih dan seluruh kebutuhan majikannya terpenuhi. Dan tentu saja
aku akan membayarmu dengan harga yang pantas."

Kiara mengerutkan keningnya. Tetapi kebanyakan yang mempekerjakan


pelayan yang menginap itu bukanlah seorang bujangan yang tinggal
sendirian seperti yang dikatakan oleh Joshua tadi. Bagaimana mungkin
Kiara tinggal berdua dengan seorang laki-laki dalam satu rumah tanpa ada
orang lain?

"Jangan berpikir yang tidak-tidak." Sekali lagi Joshua bisa membaca apa
yang berkecamuk di dalam benak Kiara, "Setiap orang yang melihat aku
dan kamu tidak akan melihat kita sebagai pasangan, mereka pasti bisa
melihat bahwa aku adalah majikan dan kau pelayannya, jadi kau tak perlu
cemas akan pandangan orang-orang." Dengan sinis lelaki itu memandang
Kiara, "Segera setelah kau bisa jalan, akan kuantar kau ke rumahmu dan
mengemasi barang-barangmu."

Kiara tercenung tidak bisa berkata apa-apa tertohok oleh kalimat


penghinaan lelaki itu. Dan ketika lelaki itu beranjak pergi dan
meninggalkan kamar itu, Kiara berpikir keras tentang hidupnya. Dia
terjepit, sekarang dia pengangguran dan tidak punya apa-apa. Tawaran
kerja dari Joshua amat sangat dibutuhkannya saat ini dan sangatlah bodoh
kalau dia tidak mengambil kesempatan itu...

Benaknya berkelana, kalau dia tinggal di sini sebagai pelayan, yang pasti
dia bisa menumpang tempat tinggal gratis. Dan Joshua bilang tentang
pekerjaan memasak, mungkin saja Kiara bisa menumpang makan. Kiara
menghela napas panjang, mungkin semua ini sudah diatur, mungkin ini
adalah anugrah baginya, setidaknya Kiara jadi bisa menabung untuk
perbaikan hidupnya kelak.

Kiara menguatkan dirinya, Kalau memang Joshua menginginkannya


menjadi pelayan, maka Kiara akan berusaha menjadi pelayan yang terbaik,
dia akan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan pekerjaannya sebaik-
baiknya.

***

"Jadi kau mengontrak kamar yang sedemikian jauhnya dari cafe tempatmu
bekerja?" Ketika kondisi Kiara sudah baikan, keesokan paginya Joshua
menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkir apartemen, dia hendak
mengantarkan Kiara dengan mobil hitam besarnya itu ke kamar
kontrakannya untuk mengemasi barang-barangnya.

Semula Kiara menolak Joshua mengantarnya dan mengatakan akan


menaiki kendaraan umum saja, tetapi Joshua mematahkan pendapatnya
dan mengatakan akan lebih praktis kalau dia mengantar Kiara. Dan di
sinilah Kiara, duduk dengan gugup di kursi empuk mobil yang terbuat dari
kulit asli, merasa takut mengotorinya.

"Kenapa kau tidak memakai sabuk pengamanmu?" Joshua melirik,


membelokkan mobilnya menuju ke jalanan.

Kiara menunduk dan melihat sabuk kulit yang terjuntai di bagian atas, dia
menariknya kemudian kebingungan. Bagaimana memasang sabuk
pengaman ini? Pipinya memerah, merasa sangat malu dan bingung. Joshua
pasti menertawakannya dalam hati mungkin mencemooh betapa udiknya
Kiara.

Tetapi di luar dugaan, Joshua meminggirkan mobilnya,

"Kau belum pernah memakai sabuk pengaman sebelumnya ya." gumamnya


lembut, penuh pengertian, lalu mencondongkan tubuhnya dan membantu
memasangkan sabuk pengaman Kiara.
Kiara terdiam dengan pipi merona, menatap rambut tebal Joshua yang
tertunduk di dekatnya. Aroma parfum Joshua menyentuh indera
penciumannya dengan lembut, begitu maskulin, dan tiba-tiba saja
membuat Kiara bergetar.

Mungkin Joshua selalu mengejek dan mencemoohnya, tetapi Kiara


tahu... lelaki ini adalah penyelamatnya.

***

"Jauh sekali."

entah sudah berapa kali Joshua mengomel sepanjang jalan. kamar


kontrakan Kiara memang benar-benar berada di pinggiran kota... sangat
jauh. Joshua membayangkan bagaimana Kiara harus menempuh perjalanan
berjam-jam hanya untuk mencapai tempat kerjanya. Hidup perempuan ini
benar-benar keras, Joshua membatin tiba-tiba perasaan iba memenuhi
nuraninya ketika melirik ke arah tubuh mungil yang sekarang sedang
meremas-remas jemarinya sendiri dengan gugup.

"Maafkan aku.." Kiara bergumam lemah, merasa bersalah karena berkali-


kali Joshua mengeluh bahwa tempat tinggalnya begitu jauhnya, lelaki ini
pasti sangat jengkel karena harus menempuh kemacetan dan perjalanan
panjang hanya untuk mengantarkan Kiara pulang. "Aku memilih tempat di
pinggiran kota karena harga sewanya murah.... di sini ada banyak pabrik,
yang berarti ada banyak buruh yang membutuhkan tempat tinggal.
sehingga selalu tersedia kamar murah..."

Joshua mengernyitkan keningnya, "Bukankah sama saja kalau ongkos


transportnya mahal?"

"Ongkos transportnya tidak mahal, kebetulan ada bus sekali jalan.. aku
hanya tinggal berjalan kaki ke ujung sana...." Kiara menundukkan
kepalanya ketika Joshua melemparkan tatapan iba kepadanya, dia tidak
mau dikasihani, memang keadaannya pasti terlihat menyedihkan bagi
lelaki kaya seperti Joshua. Tetapi inilah hidupnya, inilah yang dijalani Kiara,
dan Kiara hidup dengan berjuang untuk masa depannya yang lebih baik.
Joshua masih mengernyitkan keningnya, dia sedikit mengerem ketika Kiara
bergumam,

"Itu berhenti di situ." Kiara menunjuk ke area parkir di bawah pohon besar,
di sekitarnya banyak ruko-ruko dengan berbagai macam usaha, ada penjual
makanan di sana, pangkas rambut laki-laki, apotek dan beberapa yang
digunakan seperti kantor.

"Dimana kamar kontrakanmu?"

Kiara menunjuk ke sebuah gang kecil di sebelah kompleks ruko itu, "Harus
masuk ke sana, mobil tidak bisa masuk... kau tunggu di sini yah."

"Aku ikut." Joshua membuka pintu mobilnya

"Jangan!" suara Kiara yang setengah berteriak itu membuat gerakan Joshua
terhenti, dia menoleh dan menatap Kiara dalam,

"Kenapa Jangan?" tanyanya singkat.

Pipi Kiara memerah, " Di sana kotor dan mungkin tidak menyenangkan
untuk orang sepertimu." Lelaki ini akan mengotori sepatu kulit mahalnya
yang berkilau, gumam Kiara dalam hati, belum lagi pakaian lelaki ini yang
tampak mahal serta penampilannya yang setengah orang asing pasti akan
membuat orang-orang di sekitar tempat tinggal Kiara terpukau... yang pasti
sosok seperti Joshua bukanlah sosok yang cocok untuk berada di sekitar
tempat tinggal Kiara karena dia akan tampak berbeda dan terlalu
mencolok.

Joshua mengamati Kiara kemudian bergumam keras kepala, "Aku akan


mengantarmu. Setidaknya aku bisa membantumu membawakan barang-
barangmu, jadi kau tidak perlu bolak-balik."

Lelaki itu memang tidak bisa dibantah, Kiara mendesah dan kemudian
menganggukkan kepalanya, terserah kalau Joshua ingin memaksa masuk,
tanggung sendiri akibatnya nanti.

***
Jalanan becek sehabis hujan semalam, dan semakin membuat gang sempit
tempat masuk ke kamar kontrakan Kiara terasa kumuh, anak-anak kecil
dengan pakaian kumal seadanya tampak bermain-main di tanah, tampak
ceria dan seolah tidak terpengaruh oleh keadaan mereka. Kiara berjalan
hati-hati melewati rumah-rumah kecil dengan ibu-ibu yang sibuk
menjemur kerupuk dalam tampah besar dan beberapa yang lain sedang
mencuci pakaian.

Tentu saja kehadiran Joshua yang berjalan di belakang Kiara tampak begitu
mencolok, semua mata memandang ke arah Joshua, beberapa bahkan tak
bisa melepaskan pandangannya dari lelaki itu, Kiara tiba-tiba merasa geli
melihat seorang ibu yang ternganga dan seakan lupa mengatupkan
bibirnya ketika melihat Joshua. Mungkin ibu itu mengira Joshua adalah
artis sinetron yang menyasar ke tempat ini. Anak-anak kecil juga tampak
tertarik dengan penampilan Joshua, mereka berbisik sambil cekikikan satu
sama lain, sambil menyerukan kata 'bule' 'bule' dan menatap Joshua penuh
ingin tahu, membuat ekspresi Joshua tampak masam

Akhirnya mereka tiba di kamar kontrakan Kiara setelah berjalan


menembus perkampungan itu, Joshua mengernyit melihat penampilan
kamar kontrakan Kiara yang reyot. Ketika Kiara membuka pintu kamar
kontrakannya, kerutan di dahi Joshua semakin dalam. Bagian dalamnya
bahkan lebih reyot lagi.

Kamar itu bersih, tampak sekali Kiara sangat rapi. Spreinya licin tanpa
cacat, semua pakaiannya terlipat rapi di sebuah keranjang kecil di sudut.
Dan kamar itu sangat sempit, dengan langit-langit yang rendah, membuat
Joshua harus setengah menundukkan kepalanya di sini. Di sebuah sudut di
meja kecil samping ranjang, ada sebuah pot bunga kecil yang berwarna
ungu yang cantik. Sebuah usaha menyedihkan untuk membuat tampilan
kamar ini lebih baik, dan ternyata kurang berhasil karena memang suasana
kamar ini sudah tidak dapat diselamatkan.

"Silahkan duduk." Kiara bergumam gugup dan canggung, menyadari bahwa


Joshua sedang mengamati kamarnya yang sangat sederhana itu. Ya ampun,
lelaki itu pasti sekarang sedang merasa sangat kasihan kepadanya. Tetapi
sekali lagi, Kiara tidak suka dikasihani, meskipun sederhana, Kiara sangat
bersyukur dengan tempat tinggalnya ini, setidaknya dia punya tempat
untuk pulang setiap malam, tidak kebasahan ketika hujan, dan bisa
berlindung untuk beristirahat di malam hari.

Joshua memandang sebuah kursi kayu yang tampak lapuk, lalu mengangkat
bahu dan menariknya, dia duduk dan mengamati Kiara mengambil tas kain
besar dari bawah tempat tidur dan mulai mengisinya dengan pakaiannya.
Setelah selesai, Kiara mengemas barang-barang lainnya, beberapa buah
buku, beberapa kosmetik standar sederhana, dan juga beberapa peralatan
makannya, dua buah cangkir dan piring dari bahan melamin berwarna
biru.

"Tinggalkan itu." Joshua yang sejak tadi hanya duduk diam dan mengamati
kegiatan Kiara tiba-tiba bergumam.

Kiara mendongakkan kepalanya, kegiatannya memasukkan peralatan


makan itu berhenti karena perkataan Joshua,

"Apa?"

"Peralatan makan itu, kau tidak memerlukannya." Joshua melirik ke arah


piring dan gelas melamin milik Kiara. Demi Tuhan, buat apa Kiara
membawanya? di apartemenya penuh dengan peralatan makan kualitas
terbaik, piring dan gelas kristal serta sendok garpu dari perak murni
memenuhi lemari dapurnya, beberapa bahkan belum pernah dipakai sejak
di beli,

Sejenak ekspresi Kiara tampak terhina dan ingin membantah. Tetapi lalu
perempuan itu menarik napas panjang dan menurut. Diletakkannya
peralatan makan itu, lalu berdiri dan menutup resleting tasnya.

"Baiklah, semua sudah siap."

Joshua melirik tas kain Kiara dan menatap takjub.

"Hanya itu barangmu?" Joshua pernah punya kekasih yang memiliki


banyak sekali pakaian dengan berbagai warna, parahnya mantan
kekasihnya itu bahkan menyesuaikan warna pakaiannya dengan tas dan
sepatunya, jadi koleksi tas dan sepatunya sama banyaknya dengan
pakaiannya hingga membutuhkan beberapa lemari dan rak khusus. Melihat
Kiara yang bisa mengemas pakaiannya hanya dalam satu tas kain
berukuran sedang membuat Joshua merasa miris.

"Hanya ini." Kiara melangkah keluar dari kamar itu, dan Joshua
mengikutinya. Kiara lalu mengunci pintu kamarnya,

"Tunggu ya, aku akan mengembalikan kunci kamar pada ibu pemilik
kontrakan." Kiara menunjuk sebuah rumah yang hampir menempel dengan
kamar kontrakannya, ibu kontrakannya pasti akan terkejut karena Kiara
keluar tiba-tiba, Tetapi Kiara akan menjelaskan kalau dia mendapatkan
pekerjaan baru di luar kota.

"Aku perlu ikut?" Joshua menggumam.

Kiara langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Bisa gawat kalau


Joshua ikut, yang ada ibu kontrakannya akan berpikir macam-
macam,mungkin dia akan berpikir kalau Kiara menjual dirinya, mana
mungkin ibu kontrakannya akan percaya jika Kiara menjelaskan bahwa
Joshua adalah majikannya? Majikan mana yang mau mengantar calon
pelayannya sampai ke tempat tinggalnya yang jauh dan kumuh semacam
ini,

"Aku akan ke sana sendiri. Tunggu di sini saja ya." Kiara langsung
membalikkan badan dan berlari-lari kecil menuju rumah ibu kontrakannya,
takut kalau Joshua mengikutinya.

***

Dalam perjalanan pulang, ponsel Joshua berbunyi, dia mengernyitkan


keningnya ketika melihat itu adalah nomor dari pengacara ayahnya.

"Ada apa?" Joshua langsung menjawab dalam bahasa ayahnya, dengan nada
gusar seperti biasa.

Pengacara ayahnya seperti biasanya sudah kebal dengan nada suara Joshua
yang tidak menyenangkan itu,
"Ayahmu. Beliau ingin bicara langsung denganmu, Saat ini dia menunggu di
sebelahku."

"Kenapa dia tidak menghubungiku saja langsung?"

Pengacara ayahnya menarik napas panjang, "Kau tahu kenapa


Joshua...kalau dia menghubungimu langsung, kau tidak akan
mengangkatnya."

Joshua mendengus, "Memang. Dan katakan padanya aku tidak tertarik."

"Joshua." suara pengacara ayahnya terdengar sabar, "Kau harus


mendengarkan. Ini menyangkut masalah warisan gelar ayahmu. Beliau
sudah mengatur pernikahanmu dengan seorang perempuan dari keluarga
bangsawan yang sederajat denganmu."

Kiara hanya bisa mengerti sepatah-patah dari percakapan Joshua dalam


bahasa inggris itu, Tetapi dia bisa melihat setelah lawan bicaranya
berkata-kata, wajah Joshua tampak sangat geram dan marah. Begitu
marahnya sampai nyaris menakutkan.
BAB 4

Kiara melirik ke arah Joshua dengan takut-takut, mendadak merasa tidak


nyaman berada di dalam mobil itu, apalagi ekspresi Joshua tampak sangat
marah, sedikit menakutkan.

Lelaki itu mencengkeram kemudi kuat-kuat dan kemudian sedikit


mengebut, untunglah mereka ada di jalan tol yang lengang, sehingga
mereka sedikit aman. Tetapi walaupun begitu, jantung Kiara serasa
berpacu ketika Joshua semakin dalam menginjak gas mobilnya,
membuatnya berpegangan pada sabuk pengamannya dan berdoa dalam
hati karena ketakutan.

Kalau gaya Joshua menyetir seperti ini, dia tidak akan mau pergi semobil
berdua dengan laki-laki itu lagi. Kiara berjanji dalam hati, melirik ekspresi
lelaki itu yang sangat gusar.

Kenapa Joshua tampak begitu marah? Telepon siapa itu tadi?

***

Mereka sampai di apartement Joshua dan lelaki itu masih membisu,


membuat suasana tidak enak, lelaki itu lalu membuka pintu apartemennya
dan mempersilahkan Kiara masuk,

“Silahkan, anggap seperti rumah sendiri.” Joshua bergumam memecah


keheningan, dia lalu masuk di belakang Kiara dan membanting tubuhnya di
sofa, menyalakan televisi.

Lama kemudian suasana tetap hening sehingga Joshua menoleh ke


belakang dan mengangkat alisnya ketika melihat Kiara masih berdiri di
sana dengan gugup di dekat pintu sambil meremas-remas jemarinya.

“Kenapa kau masih berdiri di situ?” Joshua tampak terkejut menatap Kiara.
Pipi Kiara merah padam, dia tampak malu, “Eh... aku... aku tidak tahu harus
kemana...”

Joshua menghela napas panjang menghadapi kepolosan Kiara, perempuan


ini luar biasa polosnya hingga Joshua merasa menjadi serigala yang sedang
berusaha menerkam gadis kecil bertudung merah yang tidak tahu apa-apa.

Dengan sedikit gusar Joshua berdiri, merasa agak menyesal karena suasana
hatinya yang buruk membuat Kiara terkena imbasnya. Ya. Telepon
pengacaranya tadi benar-benar merusak moodnya. Joshua langsung
menutup telepon setelah mengucapkan penolakan yang kasar, tidak
memberi kesempatan pengacara ayahnya untuk berbicara.

Dasar lelaki tua yang kurang ajar. Meskipun tahu itu salah, Joshua terus
menerus mengutuki ayahnya. Seenaknya saja dia berusaha kembali
mengatur kehidupan Joshua setelah dulu dia meninggalkan Joshua dan
ibunya, apakah dia pikir Joshua adalah manusia yang tertarik dengan gelar
dan harta? Tidak! Lelaki tua itu seharusnya tahu betapa puasnya Joshua
karena menolak permintaannya, Joshua bahkan akan sangat senang kalau
lelaki itu memohon dan menyembah-nyembahnya dan dia akan tetap
menolak permintaan lelaki tua itu dengan puas.

Setelah menghela napas panjang, Joshua menatap Kiara yang tampak


kebingungan dengan ekspresinya yang berubah-ubah. Kasihan juga gadis
ini. Harinya sudah buruk dan Joshua yakin demamnya masih belum begitu
reda, sekarang harus menghadapi emosinya pula.

“Sini, kutunjukkan kamarmu. Sebenarnya ini kamar yang sama yang kau
tempati ketika sakit tadi.” Walaupun begitu Joshua tidak bisa menahan
suaranya yang terdengar ketus, “Lain kali jangan bersikap canggung di sini,
kita hanya berdua dan sikap canggungmu membuat suasana tidak enak.
Lakukan apa yang kau suka, anggap saja rumah sendiri, kalau kau ingin
menonton televisi silahkan, kalau kau ingin membuat makanan silahkan,
lakukan apa saja yang kau suka, nanti kita akan membahas beberapa
aturan, apa yang boleh dan tidak boleh di rumah ini, tapi sekarang kau
boleh beristirahat dulu. Aku juga lelah, mau tidur siang.” Sambil terus
berbicara, Joshua mendahului Kiara yang terbirit-birit mengikutinya
melangkah ke kamar kedua di apartemen yang cukup luas itu, Joshua
membuka pintu kamar itu dan melirik ke arah Kiara, “Masuklah dan
istirahatlah dulu, nanti sore kita bicara.”

Setelah itu, tanpa melirik sedikitpun pada Kiara, Joshua berlalu.

“Te...terimakasih...” Kiara berseru gugup, entah Joshua mendengarnya atau


tidak karena lelaki itu sudah melenggang kembali ke ruang tengah.

***

Kiara memasuki kamar itu, kamar yang sama tempatnya di rawat ketika
demam. Dia terperangah ketika melihat luasnya kamar itu. Semuanya
lengkap, dari ranjang busa yang besar di tengah, lemari berwarna krem
yang elegan dan meja rias yang dilengkapi dengan kaca minimalis yang
begitu bening. Ada sebuah televisi besar di dinding, televisi layar datar
yang hanya pernah Kiara lihat di televisi.... dan juga AC.....tentu saja kamar
ini ada ACnya, Kiara tersenyum merasa malu karena sadar dia benar-benar
kampungan.

Di kamar kontrakannya tidak ada AC, bahkan kipas anginpun tidak ada
karena Kiara tidak mampu membelinya. Pernah dia membawa
tabungannya yang berhasil disisihkan dari uang makannya, sejumlah tujuh
puluh lima ribu rupiah ke sebuah supermarket yang di dalamnya juga
menjual barang-barang elektronik. Pada akhirnya Kiara keluar dengan
tangan kosong, menggenggam uang tabungannya itu di tangannya. Ketika
sudah melihat-lihat berbagai merek kipas angin, dia mendapati bahwa yang
termurah, dengan ukuran paling kecil dan merk menengah adalah seharga
sembilan puluh ribu rupiah. Ada beberapa dengan merk tidak terkenal
masih mematok harga tujuh puluh ribuan. Tetapi bukan hanya harga yang
membuat Kiara batal membeli, benaknya tiba-tiba memutuskan bahwa dia
bisa bertahan tanpa memakai kipas angin, bahwa uang itu sebaiknya
disimpan untuk keperluan lain yang lebih penting, seperti membeli sabun
mandi atau shampo dan berbagai keperluan rumahan lainnya. Alhasil Kiara
harus melalui lagi malam-malam di panasnya Jakarta dengan udara lembab
dan lengket, dengan nyamuk yang tak kalah galaknya. Tetapi setidaknya
hatinya tenang karena dia masih memegang uang simpanannya sebagai
pegangan di kala perlu.

Dan sekarang, melihat AC itu kiara tidak bisa menyembunyikan senyum


lebarnya, dia mengucapkan selamat tinggal kepada malam-malamnya yang
panas dan penuh keringat. Dengan ingin tahu, Kiara menyalakan AC itu,
memejet tombol ON. Kiara tahu cara menyalakan AC karena dia sering
menyalakan dan mengatur suhu AC di cafe tempatnya bekerja dulu. Dan
kemudian, ketika AC itu menyala, udara sejuk langsung menghembusnya.
Membuat senyumnya makin lebar.

Setelah yakin pintu kamarnya tertutup dan Joshua tidak bisa melihatnya,
Kiara duduk di ranjang itu, menepuk-nepuknya dan sekali lagi tersenyum
senang, ranjangnya empuk. Tidak seperti ranjang lembek dan keras entah
dengan usia berapa lama di kamar kontrakannya yang penuh dengan
serangga tak terlihat, kadang terasa menggigit kulitnya dan menimbulkan
ruam-ruam di kulitnya. Ranjang yang ini pasti tak ada serangganya... pikir
Kiara sambil menepuk-nepuknya lagi, dan ranjang ini empuknya luar biasa.

Puas menikmati empuknya ranjang itu, Kiara meraih tas-nya dan mulai
berbenah. Di bukanya lemari empat tingkat berwarna krem itu dan mulai
memindahkan pakaiannya ke dalam lemari, ketika selesai dia tersenyum
masam dan merasa malu, keseluruhan pakaiannya bahkan tidak bisa
memenuhi satu tingkat yang paling atas di lemari itu, lemari itu jadi tampak
kosong dan menyedihkan. Tetapi tidak apa-apa, Kiara tidak malu dia hanya
punya sedikit pakaian, setidaknya dia masih bisa berganti pakaian setiap
hari dan bersih serta wangi, biarpun pakaiannya sedikit, Kiara tidak pernah
memakai pakaian yang sama selama beberapa hari, setiap dia memakai
baju, ketika mandi, dia selalu mencuci pakaiannya sehingga ketika
keesokan harinya pakaiannya sudah kering dan wangi lagi. Untuk
menyeterika dia bisa meminjam seterika ibu kontrakannya, dan membayar
biaya listriknya dengan sekalian menyeterika cucian ibu kontrakannya
yang setumpuk banyaknya, karena ibu kontrakan selain memiliki suami
yang berbadan besar, juga memiliki empat anak yang masih kecil-kecil. Bisa
dibayangkan Kiara membutuhkan waktu seharian penuh di hari liburnya
untuk menyeterika semuanya.

Kiara lalu mengatur kosmetiknya dimeja rias yang besar dan lagi-lagi meja
itu tampak kosong dan menyedihkan karena Kiara hanya punya satu bedak
tabur, satu lipstick, deodoran dan satu splash cologne murahan yang
dibelinya di minimarket, serta satu sisir kecil, Kiara menambahkan sambil
tersenyum, kosongnya meja rias itu tidak mengganggunya, malahan
membuatnya terkikik geli, menertawakan dirinya sendiri. Ya ampun.
Kamar ini begitu bagusnya, terlalu bagus dan sempurna untuk dirinya!

Setelah puas memandang suasana kamarnya yang sejuk, Kiara melongok ke


arah kamar mandi. Ada kamar mandi pribadi di dalam kamar ini! Lagi-lagi
Kiara membayangkan ketika tinggal di kamar kontrakan dimana dia harus
berbagi kamar mandi dengan ibu kontrakan dan keluarganya, serta empat
orang penyewa kamar kontrakan lainnya.

Kiara melihat sabun, shampoo yang telah tersedia dalam wadah khusus di
dinding, dia menambahkan sikat giginya dan tersenyum bahagia.

Sambil bersenandung, Kiara membanting tubuhnya di ranjang matanya


tersenyum menatap langit-langit kamar itu.... bahkan langit-langit
kamarnyapun indah.... hatinya dipenuhi rasa syukur. Alangkah baik hatinya
Joshua memberkan tempat tinggal untuknya, tempat seindah ini yang sama
sekali tidak dibayangkannya. Kiara berjanji dia akan menjadi pelayan yang
terbaik untuk Joshua.

***

Ketika terbangun, mata Kiara langsung terarah ke arah jam besar di


dinding, dia sedikit terperanjat dan langsung duduk. Rupanya dia ketiduran
akibat suasana kamar yang begitu nyaman. Dan sekarang sudah jam lima
sore. Astaga... betapa malunya Kiara, dia telah berjanji dalam hati akan
menjadi pelayan yang baik, tapi yang dilakukannya malahan tidur begitu
lama.
Setengah melompat, Kiara masuk ke kamar mandi, dan mandi. Merasa
takjub bahwa air di kamar mandi itu bisa disetel panas ataupun dingin.
Setelah selesai, Kiara memakai pakaiannya dan membuka pintu kamar
dengan hati-hati.

Suasana tampak lengang, ruangan apartemen remang-remang, dan hanya


terdengar suara TV yang sayup-sayup, Kiara melangkah ke ruang tengah
dan mendapati Joshua sedang tidur tengkurap di sofa, lelaki itu telanjang
dada, hanya mengenakan celana panjang santai dan tampak sangat lelap.
Pipi Kiara memerah ketika mengamati punggung telanjang Joshua yang
berotot, dia melangkah dengan sangat hati-hati melewati Joshua dan
kemudian melangkah menyeberangi ruang tengah menuju dapur.

Kiara akan memasak makan malam dan membuat teh hangat, setidaknya
ketika Joshua bangun, makanan sudah tersedia.

Di dapur, Kiara melihat sebuah kulkas besar berwarna hitam, dengan hati-
hati Kiara membuka kulkas itu dan sedikit merenung melihat isinya. Joshua
rupanya tidak suka memasak, yah dia kan lelaki bujangan yang tinggal
sendirian, buat apa repot-repot memasak kalau bisa membeli atau pesan
antar makanan? Kiara melihat bahan makanan yang seadanya di sana. Ada
sosis di freezer, dan di kotak sayuran di bagian bawah ada wortel dan
brokoli. Kiara memutuskan membuat sup sederhana.

Karena tidak ada kaldu, Kiara merebus sebagian sosis dengan potongan
besar hingga airnya berminyak, lalu memasukkan bawang yang sudah
ditumisnya dengan mentega ke sana – untunglah Joshua mempunyai
beberapa siung bawang putih yang sudah setengah mengering di kulkasnya
– Aroma harum langsung tercium ke seluruh penjuru dapur. Kiara lalu
memasukkan wortel yang sudah di potong-potongnya, sementara
brokolinya akan dimasukkan belakangan setelah air mendidih. Setelah itu,
Kiara membumbui supnya dan mencicipinya. Rasanya lumayan, meskipun
dengan bumbu dan bahan yang lebih lengkap, sup ini akan terasa lebih
enak.

Tidak ada nasi, tetapi ada kentang di kulkas, Kiara memutuskan membuat
kentang tumbuk. Beberapa kentang yang sudah dikupas, di kukus sampai
empuk, lalu dihancurkan dengan dicampur sedikit garam, krim kental dan
susu tawar kental. Selain itu Kiara membuat scramble eggs sebagai lauknya.
Dan jadilah masakannya itu.

Ketika Air mendidih dan Kiara menyeduh teh, tiba-tiba sosok Joshua sudah
berdiri bersandar di ambang pintu dapur.

“Baunya enak.”

Kiara memekik, hampir menjatuhkan teko teh-nya. Untunglah dia sigap


menahannya, kalau tidak Kiara mungkin harus masuk rumah sakit karena
tersiram air panas yang baru mendidih. Dengan gugup Kiara menatap
Joshua dan tersenyum,

“Aku memasak dengan bahan seadanya di kulkas, kuharap kau tidak marah
karena aku lancang.”

Joshua mengangkat bahunya, masih bertelanjang dada dan hanya


mengenakan celana santainya yang sedikit melorot di pinggang, dia
tampaknya tidak terganggu dengan pipi Kiara yang memerah karena
penampilannya, lelaki itu duduk di kursi tinggi di meja dapur, dan
bertopang dagu,

“Sini ambilkan aku makanan, aku lapar.”

Kiara langsung mengambil mangkuk dan menyendokkan sup yang masih


panas di sana, dia juga mengambil kentang tumbuk di piring bersebelahan
dengan scramble eggs yang dia buat.

Dengan was-was Kiara mengamati Joshua makan, takut kalau lelaki itu
memuntahkan makanannya karena tidak menyukai rasanya. Tetapi yang
ditakutkan Kiara tidak terjadi, lelaki itu makan dengan lahap dan cepat, dan
ketika di tengah makan, Joshua mengangkat kepalanya dan mengernyit,
“Kenapa kau tidak ikut makan?” Tanyanya.

Kiara meremas-remas kedua tangannya, kebiasaannya jika merasa gugup


dan bingung,

“Aku... eh... bukankah pelayan tidak makan bersama majikan? Biasanya


seperti di sinetron-sinetron, pelayan makan di dapur setelah majikannya
makan.”

Joshua terkekeh, tawa yang mencairkan wajah dinginnya yang tampan,

“Memangnya kau hidup di jaman feodal apa? Lain kali kurangilah nonton
sinetron yang penuh intrik palsu itu Kiara, ayo makanlah!”

Karena perintah Joshua terdengar begitu tegas, Kiara akhirnya menyerah


dan memutuskan makan bersama Joshua, dia lalu mengambil makanannya,
tak henti-hentinya berucap syukur atas makanan yang tersedia begitu
mudah untuknya tanpa perlu mencemaskan hari esok lagi. Dan kemudian
melahap makanannya dengan senang, ternyata dia lapar.

Joshua hanya tersenyum menatap Kiara, mereka lalu menyelesaikan


makannya dan Joshua melompat berdiri, melirik ke arah teko teh yang
sudah disiapkan Kiara. Teh melati yang harum mengepul dengan aroma
yang menggoda selera. Joshua sebenarnya lebih memilih kopi. Tetapi
sepertinya Kiara harus diajari untuk menggunakan mesin kopi, menggiling
bijinya dan menciptakan takaran kopi hitam sesuai seleranya, perempuan
itu pasti hanya bisa membuat kopi instan.

“Bawa teh-nya ke ruang tengah, ayo kita bicara sambil minum teh.”
Gumamnya sambil berlalu.

Dengan segera, Kiara mengambil nampan dan meletakkan teko teh beserta
beberapa cangkir di sana, lalu mengikuti Joshua ke ruang tengah.
Joshua sudah duduk di sofa, matanya mengarah ke televisi besar yang
sedang menayangkan pertandingan basket, dia lalu menatap Kiara yang
meletakkan nampan itu di meja, dan berdiri ragu-ragu di sana,

“Duduklah, kau tidak akan duduk di lantai seperti pelayan-pelayan di jaman


feodal bukan?” gumam Joshua ketika lama Kira tidak juga duduk, dalam
hati dia menggeleng-gelengkan kepala. Pantas saja gadis ini ditindas oleh
atasannya yang jahat itu, dia benar-benar lemah dan polos.

Kiara duduk di ujung sofa dengan ragu, menatap Joshua yang bersila
dengan santai sambil sesekali mengarahkan pandangannya ke televisi,

“Kau mungkin perlu berbelanja, di lantai basement apartement ini ada


supermarket yang menjual sayuran dan bahan makanan, kau bisa
memenuhi kulkas dengan berbelanja di sana, belilah apapun yang kau
perlukan untuk memasak, aku akan memberimu uang belanja.”

Kiara menganggukkan kepalanya, menyimpan rasa kagumnya pada


apartemen ini yang bahkan mempunyai fasilitas supermarket di lantai
bawahnya. Orang kaya memang selalu dimudahkan dalam segala hal...
batinnya.

“Dan kita akan tinggal bersama di sini, aku sebenarnya tidak punya aturan
ketat, hanya ada beberapa yang harus dihormati. Pertama, aku tidak begitu
suka suara bising, jadi kalau kau mau menyalakan televisi atau apa, atur
suaranya supaya tidak berisik. Kedua, aku tidak suka susu putih, kecuali di
campur dengan kopi, jadi jangan memberikanku itu... Ketiga aku biasanya
bekerja di malam hari, mulai jam sembilan malam, dan karena itu aku
membutuhkan tidur yang lama di pagi harinya, biasanya aku bekerja jam
sembilan malam sampai jam lima pagi lalu aku akan sarapan dan tidur jam
sembilan pagi sampai sore dan aku tidak suka diganggu....”

Sampai di situ Kiara mengernyit, berusaha memahami gaya hidup Joshua


tetapi tetap saja tidak paham. Lelaki ini seperti vampir, bekerja di malam
hari dan tidur ketika ada matahari.
“Kau mendengarkan?” Joshua menegurnya, membuat Kiara tergeragap.

Ketika sudah mendapatkan perhatian Kiara, Joshua melanjutkan, “Sampai


di mana tadi? Hmm Oh ya.. keempat....”

Tiba-tiba terdengar suara bel di pintu, membuat Joshua mengernyit karena


merasa terganggu.

“Siapa yang bertamu tanpa pemberitahuan itu?” gerutunya, melangkah ke


arah pintu dan mengintip. Ketika tahu siapa yang berdiri di depan
pintunya, Joshua mendesah kesal, tetapi tetap membuka pintunya itu,

“Apa yang kau lakukan di sini, Jason?”

Seorang lelaki yang amat sangat tampan melangkah dengan senyum lebar,
memasuki ruangan. Kiara terpesona, karena lelaki itu... sungguh terlalu
tampan sampai bisa dikatakan cantik. Ada sesuatu di tangannya, lelaki itu
memegang wadah biola dari bahan kulit kaku berwarna cokelat gelap.
Lelaki itu pemain biola?

Dan kemudian, Jason masuk menatap Joshua masih dengan senyumannya,


tidak mempedulikan tatapan kesal Joshua,

“Aku butuh bantuanmu teman. Ada seorang perempuan yang dijodohkan


ibuku untukku dan dia terus memaksa meskipun aku menolaknya mentah-
mentah. Ibuku mengatakan karena adikku Keyna sudah menikah dengan si
brengsek Davin yang beruntung itu, aku tidak boleh terlalu lama menunda
pernikahan. Parahnya... perempuan yang dijodohkan oleh ibuku itu
mengejar-ngejarku sampai nyaris menakutkan.” Jason mengangkat
bahunya, “Jadi aku melarikan diri dari rumah, mengatakan harus menjalani
pelatihan intensif yang tidak bisa diganggu, dan sepertinya aku harus
merepotkanmu, aku tahu kau punya apartemen tiga kamar dengan dua
kamar yang masih kosong, jadi izinkanlah aku menumpang sementara di
sini.”
BAB 5

Tampan Sekali.

Kiara hampir saja tidak bisa menutupi rasa kagumnya akan ketampanan
lelaki yang baru masuk itu. Luar biasa. Bahkan dia sebagai perempuan
merasa dirinya kalah cantik dibanding lelaki itu. Meskipun wajahnya cantik
tetapi tidak ada sikap yang mengarah ke arah feminim sama sekali dari
penampilan lelaki yang dipanggil Joshua dengan nama Jason itu. Jason
tampak maskulin dan sinar matanya tampak sedikit bandel, seperti anak
lelaki kecil yang nakal.

Detik ketika Jason masuk itulah dia menyadari kehadiran Kiara di sana,
duduk di sofa ruang tengah, lelaki itu langsung melemparkan pandangan
berganti-gani penuh arti ke Kiara dan Joshua,

"Ah, maaf, aku tidak tahu kau sedang ada tamu." Jason tersenyum ramah,
senyum yang mempesona kepada Kiara, "Johua biasanya tidak pernah
menerima tamu di apartmennya, kecuali tamu yang memaksa seperti aku."
Lelaki itu terkekeh sendiri, lalu melangkah mendekat, "Kau pasti
perempuan istimewa."

"Jangan ganggu dia, Jason. Dia pelayanku."

Jason langsung tertegun. Wajahnya tampak tak percaya, dia melemparkan


tatapan mencela ke arah Joshua,

"Kau memang tidak pandai bercanda. Mana mungkin kau memakai pelayan
di rumahmu? Kau dengan kehidupanmu yang introvert itu?"

Jason melemparkan pandangan menyelidik kepada Joshua, menunggu


lelaki itu tersenyum dan mengatakan bahwa dirinya sedang bercanda,
tetapi ekspresi wajah Joshua sama sekali tidak berubah, membuat Jason
akhirnya mengambil kesimpulan.

"Oh astaga, kau tidak sedang bercanda ya?" jemarinya menunjuk ke arah
Kiara, "Gadis ini pelayanmu?"
"Tentu saja." dengan santai Joshua melangkah melalui Jason dan duduk
kembali di sofa tempatnya duduk, "Duduklah dan ceritakan pelan-pelan,
apa yang terjadi padamu sampai kau harus mengemis tempat tinggal
kepadaku? bukankah kau punya apartemen sendiri di tengah kota? kenapa
kau tidak kesana?"

Jason ikut duduk, di dekat Kiara yang terpaku, masih terpesona.

"Mereka akan bisa melacakku kalau aku ke sana, kau tahu, ibu angkatku
dan perempuan yang dijodohkan denganku itu sangat gigih mengejarku."
Tanpa dipersilahkan, Jason menuang teh di meja dan menyesapnya, "Hmm
enak sekali, kau yang buat yah?" lelaki itu menoleh tiba-tiba ke arah Kiara,
membuat Kiara gelagapan,

"Eh... iyaa... saya yang buat."

Sementara itu Joshua menatap ke arah Kiara dan mengernyit, perempuan


itu terpesona tentu saja. Semua perempuan pasti akan terpesona kalau
melihat Jason dan ketampanannya yang luar biasa. Tetapi penampilan bisa
menipu, di balik sikap ramah dan baik hatinya kepada perempuan, Jason
menyimpan racun yang menakutkan. Lelaki itu adalah penghancur
perempuan, dalam arti yang sebenarnya. Entah sudah berapa perempuan
yang dipermainkannya, diberi harapan, kasih saying dan perhatian dengan
begitu indahnya, lalu dilemparkan dan dibuang dengan kejam,

Ya. Jason cukup menakutkan kalau berhubungan dengan perempuan, entah


kenapa Joshua berpikir kalau Jason membenci perempuan, tentu saja
mama angkatnya dan adik kesayangannya yang baru dijumpainya setelah
sekian lama itu tidak termasuk kategori yang dibencinya.

Sekarang Kiara terpesona dengan Jason, dan Jason secara alami langsung
menebarkan pesonanya pada Kiara. Joshua harus menghentikannya segera,
sebelum semua berlanjut. Kiara adalah pelayan yang bekerja untuknya, dia
harus menjaganya.

"Kau bisa masuk Kiara." gumam Joshua tiba-tiba.


Kiara merasa lega atas perintah Joshua itu, dia merasa canggung duduk di
sofa di tengah percakapan kedua laki-laki yang sepertinya bersahaabat itu,
dengan cepat dia berdiri dan mengucap salam,

"Saya permisi dulu." dengan tak kalah sopan dia mengangguk ke arah Jason
kemudian melangkah tergesa meninggalkan ruang tengah itu, masuk ke
kamarnya.

***

Jason terus mengamati sampai Kiara menghilang dari pandangan,


kemudian melemparkan tatapan penuh ingin tahu ke arah Joshua,

"Kau? Membawa seorang pelayan untuk tinggal di rumahmu?" dia masih


mengungkapkan pertanyaan yang sama, "Rasanya itu tidak mungkin terjadi
Joshua, itu bukan Joshua yang kukenal."

Ya. Joshua yang dikenal Jason adalah seorang penyendiri. Lelaki itu selalu
menghabiskan waktunya sendirian dan kebayankan menutup hatinya dari
hubungan apapun. Bahkan Jason sempat ragu meminta pertolongan Joshua
agar mau menampungnya sementara, mengingat sikap Joshua yang
cenderung introvert itu.

"Aku menolongnya, karena dia butuh pertolongan, sama sekali tidak ada
alasan lain." Mata Joshua menyipit, "Dan jika kau memang akan tinggal di
sini, kau tidak boleh mengganggunya."

Jason terkekeh mendengar nada ancaman di balik suara Joshua itu, "Oke.
Sepakat, aku tidak akan mengganggunya, tetapi aku tidak bisa mencegah
kalau dia yang menggangguku." Tawanya malahan makin keras ketika
menerima tatapan membunuh yang langsung dilemparkan Joshua
kepadanya, "Aku bercanda Joshua, gadis itu aman. Jadi kesimpulannya, kau
mengizinkan aku tinggal di sini sementara?"

***
Keesokan paginya, Kiara bangun pagi-pagi sekali, dia ingin menyiapkan
makanan untuk Joshua, lelaki itu bilang dia bekerja larut malam dan
kemudian sarapan dulu di pagi hari sebelum tidur.

Ruang tengah tampak terang benderang, dan Joshua sedang duduk,


berkutat dengan wajah serius menggambar sesuatu seperti denah atau
entahlah, di sebuah meja khusus di sudut ruangan, Kiara mengamati dalam
diam dan kemudian menebak-nebak... meja itu adalah meja khusus arsitek.
Jadi, Joshua seorang arsitek?

Rupanya Joshua menyadari keberadaan Kiara, dia menolehkan kepalanya


dan mengerutkan keningnya,

"Kenapa kau bangun pagi-pagi sekali?" dilemparkannya pandangannya ke


jam dinding, masih jam lima pagi.

Kiara berdiri dengan gugup, "Aku... aku ingin membuat sarapan, kau bilang
kau sarapan setiap pagi, baru setelah itu tidur."

"Oh itu." Joshua tidak tega mengatakan kalau dia hanya sarapan roti tawar
setiap pagi dan sebenarnya dia bisa menyiapkannya sendiri tanpa Kiara
repot-repot. Tetapi dia mempekerjakan Kiara sebagai pelayannya, dan
Joshua sendiri harus membiasakan diri untuk dilayani. "Oke... terimakasih.
Ada roti tawar di atas kulkas dan jeruk segar kalau kau ingin membuat jus
jeruk. Nanti panggil aku kalau sarapannya sudah siap." gumamnya
kemudian.

Setelah melihat Joshua membalikkan badan dan sibuk kembali dengan


pekerjaannya, Kiara melangkah ke dapur, dia melihat roti tawar itu,
mengisinya dengan keju dan saus kacang yang sudah tersedia dan
memanggangnya.

Jeruk besar berwarna orange cerah itu menarik perhatiannya, Kiara


mengambil beberapa buah dan memasukkannya ke juicer. Setelah itu dia
mengatur makanan yang sudah siap di meja dapur. Biasanya untuk
sarapan, Kiara selalu meminum susu satu gelas, tetapi dia ingat kemarin
Joshua bilang dia tidak suka susu, dan sepertinya lelaki itu tidak punya
susu di dapurnya.
Setelah makanan siap, Kiara memanggil Joshua dengan canggung dari
ambang pintu dapur, dan diberikan jawaban singkat oleh Joshua.

Tak lama lelaki itu muncul di dapur, masih dengan pakaiannya yang sama,
celana panjang dan tidak berkemeja. Kiara sepertinya harus membiasakan
diri dengan penampilan Joshua yang indah ini.

"Terimakasih Kiara." Joshua menyesap jus jeruknya, lalu mengunyah roti


bakarnya dengan tenang, lelaki itu menyelesaikan makannya dengan cepat,
lalu menyesap jus jeruknya lagi, setelah itu menguap, "Aku akan tidur. Kau
bisa siapkan satu sarapan lagi, Jason untuk sementara akan tinggal di sini.
dan oh ya, uang belanjamu ada di meja."

Kiara tertegun sambil menatap punggung Joshua yang berlalu. Jadi Jason,
lelaki yang luar biasa tampan itu juga tinggal di apartemen ini?

Kiara sepertinya harus menguatkan hatinya untuk tinggal bersama dua


lelaki yang sangat mempesona itu.

***

Pintu kamar Joshua masih tertutup rapat ketika giliran Jason yang bangun
dari tidurnya. Lelaki itu ternyata tidak pernah tampil berantakan dan tidak
pedulian seperti Joshua, Jason keluar kamar sudah mandi dengan aroma
harum dan pakaian rapi.

Dia melongok ke dapur, ke tempat Kiara sedang mencuci gelas dan piring
kopi sisa Joshua,

"Wah aromanya enak." lelaki itu tersenyum dan duduk di meja dapur,
kemudian mencomot satu roti bakar dan memakannya, "Mungkin
keputusan Joshua menerima seorang pelayan di rumahnya sungguh tepat,
dan aku juga ikut mendapatkan keuntungan." lelaki itu mengedipkan
sebelah matanya menggoda, mau tak mau membuat Kiara tersenyum,

"Semoga anda suka." gumamnya canggung, "Saya.. eh saya pamit dulu."


setengah tergesa Kiara berjalan hendak keluar pintu dapur.
"Mau kemana?" suara Jason mencegahnya, lelaki itu mengerutkan
keningnya.

"Saya hendak berbelanja bahan makanan di supermarket di basement.'

"Aku ikut." dengan tak terduga Jason berdiri, meneguk gelas jus jeruknya
dan tersenyum ke arah Kiara, "Aku bosan di sini, biarkan aku menemanimu
berbelanja."

***

Berbelanja bersama Jason berarti harus kuat menerima tatapan orang-


orang ke arah mereka. Yah, ketampanan Jason terlalu mencolok, hingga
membuat semua orang yang berjenis kelamin perempuan hampir pasti
menoleh dua kali ke arah mereka,

Beberapa orang malahan memandang terang-terangan sambil mengangkat


alis ke arah Kiara, seolah-olah mengatakan betapa tidak pantasnya Kiara
bersanding di sebelah Jason, dan betapa beruntungnya Kiara karena bisa
mendapatkan kesempatan itu.

Jason sendiri tampaknya tidak peduli, lelaki itu sepertinya sudah biasa
menerima tatapan kekaguman dari orang-orang, dia menoleh dan
tersenyum ke arah Kiara dengan ceria,

"Jadi, kita akan masak apa hari ini?"

Kiara mengangkat bahunya, "Saya masih bingung... saya lupa menanyakan


apa yang disukai dan tidak disukai oleh Joshua."

"Hmmm", Jason mengerutkan keningnya, "Kau jangan menggunakan 'saya'


dan 'anda' kepadaku, pakailah 'aku' dan 'kamu, oke?" tatapannya
menggoda, membuat Kiara mau tak mau menganggukkan kepalanya, "Dan
mengenai Joshua sepertinya kau tidak perlu cemas, dia menyukai semua
jenis makanan, setahuku yang tidak disukainya cuma susu putih." Jason
melirik ke arah rak buah-buahan, "Aku akan mengambil buah pir itu, kau
tunggu di sini saja ya," lelaki itu lalu melangkah sedikit menjauh dari Kiara.
Sementara itu, Kiara langsung berpikir untuk membuat masakan laut, dia
akan membeli udang dan cumi lalu membuat masakan bersaus dan lezat,
semoga saja Joshua menyukainya.

"Kiara?" suara lelaki yang familiar memanggilnya, membuat Kiara


menolehkan kepalanya, dan melihat sosok yang dikenalnya berdiri di sana,
sedang berbelanja,

"Irvan?" Irvan adalah mantan rekan kerjanya di café tempatnya bekerja,


lelaki itu satu-satunya rekan kerja yang bersikap baik kepada Kiara.
"Kenapa kau ada di sini?"

Lelaki itu menunjukkan keranjang belanjaannya yang berisi gula dan sirup,
"Berbelanja untuk café, stok belanjaan belum datang dan ada beberapa
barang yang habis, jadi aku disuruh berbelanja kemari, ini supermarket
yang paling dekat dengan café, Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini?
Bos bilang kau sudah tidak bekerja lagi di café, aku berusaha mencari tahu
tentangmu tapi aku kehilangan jejak, apalagi kau tidak punya ponsel untuk
dihubungi."

Kiara menatap Irvan dengan tatapan menyesal, "Maafkan aku Irvan semua
terjadi begitu cepat, tetapi aku baik-baik saja, sekarang aku bekerja sebagai
pelayan di sebuah apartemen, yah kau tahu mirip pembantu rumah
tangga." Senyumnya melebar, "Setidaknya aku dapat tempat tinggal dan
makanan gratis."

"Aku senang mendengarnya." Irvan menatap Kiara dengan tatapan mata


lembut, "Kalau aku ingin bertemu denganmu lagi bagaimana caranya ya?"

Kiara juga tampak bingung, "Aku juga tidak tahu caranya, aku tidak punya
ponsel."

"Hmm...kau bekerja di salah satu apartemen ini?"

"Iya."
"Apartemen nomor berapa? dengan tahu nomornya setidaknya aku tahu
kau ada di mana."

Kiara hendak membuka mulutnya ketika sosok lelaki tampan itu tiba-tiba
sudah berdiri di sampingnya, merangkul Kiara dengan akrab,

"Joshua akan sangat marah kalau kau sembarangan memberikan nomor


apartemennya ke orang lain." Jason bergumam tiba-tiba, melemparkan
senyum manis ke arah Kiara

Sementara itu Irvan berdiri menatap mereka berdua, Kiara dan sosok
Joshua yang penampilannya sangat luar biasa, lelaki itu terperangah,
sekaligus bingung...
BAB 6

Jason berdiri disana dengan senyum lebarnya dan tatapan mata tidak
berdosanya, sama sekali tidak menyadari kalau Irvan hampir saja melotot
melihat penampilannya.

Tentu saja, Kiara yang dikenal oleh Irvan pastilah tidak mungkin dekat
dengan pria-pria berpenampilan elegan semacam ini. Kiara yang dikenal
irvan sangat sederhana lugu dan pemalu, sangat bertolak belakang dengan
lelaki tampan itu, yang dengan santainya melingkarkan lengannya di
pundak Kiara.

Apakah lelaki ini majikan Kiara yang diceritakan sebagai pemilik


apartemen tempat Kiara bekerja? Tetapi seorang majikan mana mungkin
merangkulkan lengannya dengan akrab seperti itu? atau jangan-jangan
lelaki ini pacar baru Kiara? Kalau begitu beruntung sekali Kiara bisa
mendapatkan pacar lelaki yang jelas-jelas berasal dari kalangan atas itu....
tapi kalau begitu kenapa Kiara masih bekerja sebagai pembantu? Kalau
memang pacarnya kaya bukankah Kiara tidak perlu bekerja lagi?

Tiba-tiba pikiran buruk melintas di benak Irvan, berpikiran jangan-


jangan Kiara berbohong padanya, Kiara pasti tinggal di apartemen itu
bukan sebagai pembantu, mungkin dia bekerja sebagai simpanan!
Tiba-tiba Irvan merasa sedih dan tak yakin, merasa pedih kalau
memang benar Kiara sampai jatuh di jurang kehinaan seperti itu... Yah
bagaimanapun juga Irvan tahu hidup Kiara begitu pas-pasan sampai
kadang Irvan merasa kasihan, dan godaan harta pastilah terasa begitu
menarik....

***

Sementara itu Jason mengamati ekspresi Irvan yang berubah-ubah


sambil menahan tawa. Ekspresi lelaki itu seperti buku yang terbuka,
pertama-tama terlihat tercengang, lalu curiga, lalu marah dan terakhir
sepertinya sedih. Jason berani bertaruh bahwa di benak lelaki ini pasti
sudah dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang aneh-aneh tentang dirinya
dan Kiara.

“Temanmu, Kiara?” dengan sopan Jason mengulurkan tangannya ke


arah Irvan, matanya masih tetap menatap Kiara, menunggu jawaban.
Apakah lelaki ini teman biasa Kiara, ataukah pacarnya? Kalau lelaki ini
pacar Kiara, mau tak mau Jason harus berusaha menjelaskan keadaan
sebenarnya kepada lelaki ini dan mengusir seluruh pikiran buruk di benak
lelaki ini. Jason terbiasa melakukannya, banyak sekali pria yang cemburu
kepadanya, yah mau bagaimana lagi, keadaannya memang seperti ini,
bukan salahnya kalau dia bertampang mempesona bukan?

“Iya ini teman saya.” Kiara bergumam cepat, tiba-tiba merasa


canggung, apalagi melihat keterkejutan yang begitu nyata di mata Irvan
karena Jason bersikap akrab kepada Kiara. Kiara tidak tahu kenapa Jason
begitu mudah bersikap akrab, mungkin memang sudah wataknya begitu
meskipun mereka baru bertemu tadi pagi.

‘Jason langsung menyela Kiara, “Sudah kubilang jangan menyebut


‘saya’ dan ‘anda’.” Gumamnya dalam tawa, lalu mengalihkan kembali
tatapannya ke arah Irvan yang masih ragu menerima uluran tangannya,
“aku Jason.”

Irvan menyambut uluran tangan Jason dengan sopan, mencoba


tersenyum meskipun tatapan curiga masih tampak di sana,
“Saya Irvan, teman Kiara di cafe tempat Kiara dulu bekerja, cafe di
seberang situ.”

Jason tahu cafe itu, dia memang belum pernah kesana, tetapi setiap dia
mengunjungi Joshua dia melewatinya, dan Joshua sering bilang kalau dia
terbiasa menghabiskan paginya di sana.

“Saya teman majikan Kiara, kebetulan saya bosan, jadi saya menguntit
Kiara berbelanja di supermarket.” Lelaki itu tersenyum sopan kepada
Kiara. “Aku akan naik duluan, mungkin kau ingin bercakap-cakap dengan
temanmu itu?”

Jason rupanya berbaik hati, lelaki itu melangkah menjauh, berpura-


pura sangat tertarik pada botol-botol bumbu yang tertata rapi di rak.

Kiara mengalihkan pandangan ke arah Irvan dan tersenyum meminta


maaf,

“Aku harus naik dan memasak.” Gumamnya lembut, “Mungkin kita


bisa bertemu nanti di sini ya...kalau tidak aku akan ke cafe.”

“Aku akan menunggu.” Irvan menunjukkan belanjaannya, “Dan aku


juga harus cepat-cepat kembali. Kabari aku ya kalau kau sudah punya
ponsel atau sudah bisa dihubungi.”

“Pasti.” Kiara tersenyum, menganggukkan kepalanya, lalu melambai


ketika Irvan menggumamkan ucapan perpisahan dan pergi.

Tiba-tiba saja Jason sudah berdiri di sampingnya lagi, mengamati


sosok Irvan yang menjauh,

“Pacar?” tanyanya lagi, kali ini ada nada menggoda dalam suaranya.

“Bukan, kami bersahabat di tempat kerja yang dulu.” Pipi Kiara merah
padam. Tentu saja Irvan adalah sahabatnya, Kiara selalu memandang Irvan
sebagai orang yang baik, tidak pernah sedikitpun terlintas di benak Kiara
untuk berpikiran lebih apalagi menyangkut asmara terhadap lelaki itu.
Jason melangkah menjajari langkah Kiara menuju kasir, dan kemudian
bergumam lembut,

“Hati-hati Kiara, aku laki-laki, dan aku bisa membaca jika ada seorang
laki-laki yang memendam cinta. Kalau kau memang tak bisa memberi lebih,
jangan pernah memberi harapan kepada mereka.” Setelah berkata begitu,
dengan santai Jason melenggang mendahului Kiara melewati kasir dan
menunggu di depan supermarket, membuat Kiara mengernyitkan
keningnya.

Apa maksud Jason berkata seperti itu? dan siapa yang dimaksud Jason
dengan lelaki yang memendam cinta?

***

Apartemen masih tetap sepi ketika mereka pulang, dan kamar Joshua
masih tertutup rapat. Ketika melangkah masuk, Jason dan Kiara saling
melempar pandang, lalu mengangkat bahu. Yah bagaimanapun juga gaya
hidup Joshua yang terbalik dan seperti vampir itu harus dimaklumi. Apalagi
dia bosnya, pemilik apartemen ini, Kiaralah yang harus menyesuaikan diri
dengan gaya hidup Joshua.

Cuma dia tidak mengira akan ada lelaki lain yang tinggal di sini,
dengan gaya hidup yang berbeda pula. Kiara menatap Jason,

“Anda ingin makan siang apa?”

Jason mengangkat bahunya lalu melangkah ke arah kamarnya, “Apa


saja, aku pemakan segalanya. Aku akan berlatih dulu ya, panggil aku kalau
makanan sudah siap.”

Berlatih? Kiara tiba-tiba teringat akan kotak biola dari bahan kulit
keras yang dibawa Jason kemarin. Lelaki itu pasti pemain biola.

Setelah Jason masuk ke kamarnya, Kiara bergegas ke dapur dan


membongkar belanjaannya. Uang belanja yang diberikan oleh Joshua
banyak sekali, dan dengan uang itu Kiara bahkan bisa membeli bahan
makanan untuk satu minggu. Dia memenuhi kulkas dengan berbagai
macam sayur mayur, buah dan berbagai bumbu. Untuk persediaan daging,
ikan dan telur, Kiara meletakkannya di tempat khusus di atas.

Setelah selesai mengatur semuanya, Kiara menatap kulkas yang penuh


itu sambil tersenyum puas. Ini benar-benar seperti di sinetron-sinetron
yang pernah dilihatnya, kulkas yang penuh bahan makanan, tak perlu
mencemaskan akan makan apa esok hari.

Sambil bersyukur, Kiara mulai mengambil bahan-bahan masakannya,


dia akan menyiapkan makan siang untuk Jason sekaligus menyiapkan
makan malam untuk Joshua. Untuk makan siang, dia akan membuat yang
ringan saja, karena toh mereka akan makan tanpa Joshua. Kalau makan
malam, Kiara akan membuat menu yang sedikit berat karena mereka
semua akan makan malam.

Kiara memasak nasi, kemudian memutuskan untuk membuat ayam


goreng saus inggris. Bumbunya sangat mudah dan tinggal menyiram ayam
yang sudah digoreng renyah dengan saus inggris. Tiba-tiba Kiara merasa
sangat bahagia, dia sangat suka memasak, di panti asuhan dulu, Kiara selalu
kebagian tugas mengurusi dapur, memasak makanan untuk anak-anak
panti. Mereka semua bilang masakan Kiara enak, dan memasak untuk
anak-anak panti bukanlah suatu beban untuk Kiara, dia bahagia
melakukannya. Bahkan dulu dia sempat membuat kliping dari berbagai
resep masakan yang diambil di tabloid-tabloid langganan ibu panti. Dia
akan menggunting setiap resep dengan hati-hati, dan menempelkannya di
buku besar yang dia miliki, buku itu hampir penuh, seluruh isinya adalah
resep makanan. Kiara suka membalik-balik kliping buku resep itu,
membacanya dengan harapan dia akan bisa mempraktekkannya suatu saat
nanti.

Tetapi ternyata takdir berkata lain, Kiara harus meninggalkan panti


karena hal yang tidak menyenangkan itu, dan dia terpaksa meninggalkan
kliping buku resepnya karena terlalu berat untuk dibawanya.

Ah... kenangan buruk itu. Dengan cepat Kiara mencoba


menghapuskannya. Itu semua masa lalu. Pada akhirnya Tuhan telah begitu
baik kepadanya, membuatnya sampai di titik ini.
Kiara menata ayam goreng yang tampak renyah keemasan itu di piring
saji, dia lalu mengambil saus yang sudah dibuatnya dengan rempah-
rempah dan tentu saja bahan utamanya saus inggris yang harum dan khas,
lalu menuang saus itu ke atas ayam. Ayam itu akan menyerap saus itu
sampai ke dalam, hingga rasanya khas.

Kiara menatap puas ke arah masakannya, lalu dia menengok nasi nya
yang sudah matang.

Kiara lalu teringat kalau Jason minta dipanggil kalau masakan sudah
siap. Dengan tenang, Kiara melangkah keluar kamar, hendak mengetuk
kamar Jason dan memanggilnya.

***

”Bawakan aku oleh-oleh yang banyak.” Jason memasang wajah


cemberut sambil memandang ke arah layar, Adiknya yang sedang video
chat bersamanya kini ada di belahan bumi yang lain, sedang menghabiskan
masa bulan madunya bersama suaminya di sana. wajah Keyna, adiknya di
sana sedang tertawa. Yah setelah menikah dengan Davin sahabatnya,
Keyna makin tampak ceria dan bahagia, Jason sangat beryukur akan hal itu.
Kebahagian adiknya membuatnya tenang, dan juga, adiknya telah dijaga
oleh sahabatnya yang terbaik.

“Pasti kakak, kami baru akan pulang minggu depan.” Keyna menatap
ke background gambar Jason yang sedang bercakap-cakap dengannya, “Itu
bukan kamarmu, kau ada dimana kakak? Benarkah apa yang dikatakan
mama kalau kau sedang pelatihan musik dan harus dikarantina?”

Jason terkekeh, mama yang mereka bicarakan ini adalah mama angkat
mereka, meskipun begitu Jason dan Keyna sangat menghormati mama
angkat yang ini, lebih daripada ibu kandung mereka yang telah membuang
mereka, dan bersikap jahat kepada mereka yang menyebabkan sang ibu
kandung dipenjara sampai sekarang.

“Aku melarikan diri dari mama.” Jason tertawa, “Kau tahu sendiri kan,
sejak kau menikah dia mengejar-ngejarku untuk menyusulmu, dia bahkan
sudah menyiapkan calon isteri untukku, anak dari nyonya Andrew sahabat
mama.”

“Dia cantik.” Keyna tertawa di layar, “kenapa kau tidak mencobanya


kakak?”

“Karena aku tahu pasti kalau hatinya tidak cantik.” Mata Jason tampak
dingin, yah bukankah semua perempuan mau kepadanya karena wajahnya
yang tampan dan kekayaannya?

Keyna menatap ekspresi Jason dan tiba-tiba merasa sedih menyadari


bahwa kakaknya ini belum lepas dari kebencian dan prasangkanya
terhadap perempuan. Ibu kandung mereka memang jahat, egois dan tega
membuang mereka demi keuntungan pribadinya, tetapi seharunya Jason
bisa menyadari bahwa tidak semua perempuan sejahat ibu mereka. Keyna
tidak sabar menunggu saatnya ada perempuan yang bisa membuat
kakanya tersadar.

Tiba-tiba layar di depan Jason tampak bergoyang, Jason mengerutkan


keningnya ketika ada wajah Davin, suami Keyna sekaligus sahabatnya yang
muncul di sana.

“Minggir Davin, aku sedang bicara dengan adikku.” Gumamnya dengan


ketus.

Davin mengangkat alisnya,

“Kau sudah berbicara terlalu lama dengannya. Ini bulan madu kami
jadi maaf aku menginterupsi.” Mata Davin bersinar jahil dan penuh tawa,
“Bye Jason.”

Lalu tiba-tiba saja layar gelap dan Keyna sudah log out.

Jason menatap layar komputer dengan kesal, tetapi kemudian merasa


geli. Davin memang sangat posesif kepada Keyna... dan Jason memang
sengaja mengganggu bulan madu mereka dengan sengaja mengajak Keyna
mengobrol lama-lama.
Lama kemudian, Jason masih menatap layar komputer yang kosong
itu. Dia lalu mengehela napas panjang dan berdiri, meraih biolanya.

Keyna memintanya mencoba memberi kesempatan kepada


perempuan. Tetapi Jason tumbuh dengan kebenciannya yang luar biasa
kepada perempuan. Dia sangat benci kepada ibu kandungnya, semua
perempuan sama saja, semuanya penipu, jahat, licik dan hanya mengincar
harta. Perempuan itu iblis, yang menggunakan kekuatan pesonanya untuk
menjatuhkan lelaki ke dalam jeratnya sebelum kemudian melemparnya ke
penderitaan. Well bukan semuanya mungkin, adiknya Keyna dan mama
angkatnya masuk ke dalam pengecualian.

Jason tidak akan pernah jatuh ke dalam pesona perempuan manapun.


Dia akan lebih dulu menyakiti dan menghancurkan perempuan sebelum
mahluk itu menghancurkannya.

Diraihnya biolanya, dan setelah memejamkan mata dan menghela


napas, dia memainkannya. Nada yang keluar adalah nada yang menyanyat
sekaligus mengancam, ungkapan kebencian Jason kepada mahluk bernama
perempuan di muka bumi ini.

Jason benci sekali, sangat benci!

***

Kiara mendengarkan musik itu ketika melangkah ke ruang tengah.


Berarti betul dugaannya, Jason sedang berlatih memainkan biola.

Langkah Kiara mendekat ke arah kamar Jason, tiba-tiba merasa


merinding mendengarkan lagu yang dimainkan di sana.

Ini bukanlah jenis musik romantis yang dimainkan orang direstoran


ketika seorang lelaki memutuskan melamar kekasihnya, ini juga bukan
musik yang menyayat hati dan penuh kesedihan..... ini lebih seperti...
kemarahan...

Kiara mengerutkan keningnya dan melangkah ke arah kamar Jason


yang setengah terbuka, musik itu terdengar makin jelas di sana. Dari pintu
yang terbuka, Kiara melihat Jason yang sangat serius memainkan biolanya,
matanya terpejam dan mulutnya merapat. Dan seperti nada musik yang
dimainkannya, ekspresi Jason benar-benar penuh kemarahan, seolah-olah
ada bara kemurkaan yang siap meledak di sana.

Kiara jadi ragu untuk mengetuk pintu dan memberitahukan


keberadaannya... dia hanya berdiri mematung di situ, mengamati ekspresi
Jason dan musiknya yang makin bergolak akan kemarahan... sampai
kemudian mata Jason yang indah membuka dan kemudian langsung
menatap Kiara dengan tajam.
BAB 7

“Sudah berapa lama kau di situ?” suara Jason bahkan sedingin


tatapannya. Tiba-tiba saja Kiara merasa takut. Kenapa Jason yang berdiri di
depannya ini sangat berbeda dengan Jason yang ramah, yang tadi pagi
berbelanja kepadanya?

“Eh... saya memanggil karena makanan sudah siap.” Kiara bergumam


gugup bingung menghadapi tatapan mata Jason yang dingin dan penuh
kemarahan. Sebenarnya lelaki itu sedang marah kepada siapa? Kenapa dia
memainkan musik seperti itu? musik yang bergolak yang membuat
siapapun yang mendengarkannya pasti tahu bahwa sang pemain biola
sedang marah.

Tetapi kemudian Jason tampaknya bisa menguasai diri. Kemarahan


tampak surut dari matanya, dan dalam sekejap ada senyum di sana.
Ekspresi lelaki itu kembali penuh canda dan ramah seperti yang selalu
ditampilkannya di depan Kiara sebelumnya,

“Aku perhatikan, kau tetap saja menggunakan ‘saya’ dan ‘anda’


kepadaku, ini sudah ketiga kalinya aku mengingatkanmu.” Bibir lelaki itu
menipis, “Awas kalau sampai ke empat kalinya, coba ulang kata-katamu
dengan menggunakan ‘aku dan kamu’.” Jason mengangkat alisnya dan
tampak keras kepala.

Kiara menatap lelaki itu dan menyadari bahwa dia seharusnya


memberikan apa yang Jason mau karena sepertinya lelaki itu tidak akan
menyerah sebelum mendapatkan keinginannya,

“Aku kemari hendak memberitahumu kalau makanan sudah siap.”


Gumam Kiara akhirnya dengan canggung, menggunakan ‘aku’ dan ‘kamu’
seperti yang Jason mau, dan kemudian dia ternyata menciptakan senyum
mempesona yang melebar di bibir Jason.

OH astaga, lelaki ini memang tampan, dan ketampanannya naik


berkali-kali lipat kalau dia tersenyum seperti itu. Kalau saja Kiara tidak
merasa canggung dan malu, dia pasti sudah memegang ambang pintu dan
menarik napas panjang, karena udara seakan tertarik dari paru-parunya,
terpesona oleh ketampanan Jason.

“Bagus.” Jason tersenyum, lalu melangkah ke pintu dan melewati


Kiara, “Ayo kita makan aku lapar!”

***

Ketika Kiara mengikuti Jason hendak melangkah ke dapur, pintu


kamar Joshua terbuka dan lelaki itu muncul. Acak-acakan karena bangun
tidur dan tampak cemberut, matanya menatap marah ke arah Jason.

“Kalau kau memang ingin tinggal di apartemen ini Jason, seharusnya


kau menghormati jam tidurku, aku tidak suka berisik, dan alunan biolamu
itu sampai menembus alam mimpiku, memaksaku bangun.” Gumamnya
tajam.

Jason tampaknya sama sekali tidak terpengaruh dengan kemarahan


Joshua, dia malahan tertawa,

“Maafkan aku, aku lupa kalau kau sangat sensitif terhadap bunyi-
bunyian, dan kau punya mood yang sangat jelek ketika bangun tidur. Aku
janji tidak akan memainkan biola di saat kau tidur lagi.”

Joshua terdiam, menatap Jason dengan tajam, lalu mengangkat


bahunya,

“Oke aku pegang kata-katamu.” Gumamnya tak kalah tajam, lalu


mundur dan setengah membanting pintu kamarnya itu, membuat Jason
menatap dengan geli.

Sementara itu Kiara masih terdiam di sana agak bingung. Dua lelaki ini
memang bersahabat, tetapi sepertinya mereka bersikap seperti anjing dan
kucing. Kiara mengangkat bahu, lalu melangkah ke dapur, yah...dia kan
perempuan, yang pasti dia tidak akan bisa memahani bagaimana
persahabatan laki-laki.
***

Malamnya, Joshua ikut bergabung bersama mereka untuk makan


malam, lelaki itu sudah segar sehabis mandi, dan berpakaian rapi.
Syukurlah. Kiara semula ketakutan kalau Joshua akan datang ke ruang
makan dengan celana dan bertelanjang dada seperti kemarin.

“Sepertinya moodmu sudah baik.” Jason mengambil sepiring nasi dan


memakannya dengan sup daging dan wortel buatan Kiara, caranya makan
seolah begitu menikmati, tampaknya dia suka dengan apa yang
dimakannya karena tiba-tiba Jason mengangkat matanya dan menatap
Kiara – yang dipaksa untuk makan bersama – dengan tatapan puas dan
menggoda,

“Enak Kiara, masakan rumahan memang paling enak, bahkan kokiku di


rumah tidak bisa membuat makanan seenak ini. Rasanya sederhana tetapi
murni, kurasa kokiku tidak bisa membuatnya karena dia terbiasa membuat
rumit segala resep demi menunjukkan tekniknya.” Sambil menyuap sendok
ke mulutnya Jason mengedipkan matanya, “Mungkin aku akan
mensabotasemu dari rumah Joshua dan menjadikanmu tukang masak
pribadiku.”

Pipi Kiara memerah mendengar pujian Jason yang dilemparkan secara


langsung itu, dia menatap Jason dengan malu-malu,

“Terimakasih.” Gumamnya pelan, tiba-tiba merasa berdebar. Mimpi


apa dia sehingga bisa makan bersama dengan dua lelaki yang sama-sama
tampan ini?”

Joshua menyuap supnya, tetapi matanya menatap ke arah Jason dan


kemudian berganti ke arah pipi Kiara yang merah padam. Jason telah
menyebarkan rayuannya tentu saja, Lelaki itu memang perayu alami dan
Kiara yang polos sepertinya telah tersihir oleh rayuan Jason,

“Jangan termakan rayuan Jason, Kiara.” Joshua bergumam lugas,


memberi Jason tatapan penuh peringatan, “Aku sarankan kau hati-hati
kepadanya, Jason memang perayu ulung yang tidak pandang bulu dan kau
harus waspada.”

Pipi Kiara makin merah padam mendengarkan saran Joshua itu. Tetapi
rupanya Jason malahan tertawa mendengarkan peringatan tentang dirinya
yang diucapkan tetap di depan mukanya,

“Aku tidak akan mengganggu Kiara tentu saja.” Gumam Jason,


mengedipkan sebelah mukanya kepada Kiara, “Kiara dan aku bersahabat,
iya kan Kiara?”

“Iya.” Mau tak mau Kiara menganggukkan kepalanya, meskipun dia


tidak tahu bagaimana deskirpsi sahabat menurut Jason, mereka kan baru
bertemu tadi pagi?

Joshua mencibir, menyuapkan sup itu ke mulutnya, dan dia kemudian


menyadari kata-kata Jason. Sup buatan Kiara memang enak, rasanya ringan
tapi penuh aroma. Tidak sia-sia Joshua menjadikan Kiara pelayannya,
gumam Joshua dalam hati.

***

Ketika Kiara sedang mencuci piring di dapur dan Jason masuk ke


kamarnya untuk berlatih biola lagi – mumpung Joshua sedang terbangun,
katanya – Joshua berjalan ke arah ruang tengah dan duduk di sana,
pekerjaannya hampir beres dan sepertinya akan tiba saat-saat dimana
Joshua bisa sedikit bersantai.

Ponselnya berdering lagi, dan Joshua tidak bisa menahankan


kemarahannya ketika melihat nomor di sana. Pengacara ayah kandungnya
lagi! Kenapa mereka tidak pernah menyerah mengganggunya?

Karena tahu bahwa pengacara ayah kandungnya sangat gigih, Joshua


akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu,

“Kenapa kau tidak berhenti menggangguku?” dia langsung menyapa


dengan kasar, membuat pengacara tua di seberang itu tertegun,
“Aku tidak mengganggumu Joshua, aku hanya ingin menginformasikan
kepadamu.”

“Menginformasikan apa?” rasa ingin tahu yang aneh menggelitik benak


Joshua,

“Tentang ayahmu.” Pengacara ayah kandungnya berdehem,


“Sebelumnya aku meminta maaf, selama ini aku berbohong kepadamu....”
suara si pengacara tampak tersendat, “Aku selalu bilang bahwa ayahmu
sakit dan sekarat serta menginginkanmu datang, sebenarnya itu hanya
taktikku supaya aku bisa membujukmu datang kemari menengok ayahmu.
Tetapi ternyata alasan itu tidak bisa meluluhkan hatimu, kau tetap keras
dalam pendirianmu.” Suara si pengacara tampak menuduh, “Kenyataannya
ayahmu sebenarnya sehat, meskipun jantungnya lemah karena usia, dia
tidak dalam keadaan sekarat. Dan karena seluruh usahanya untuk
membuatmu datang ke London tidak berhasil, beliau memutuskan untuk
mengunjungimu ke Indonesia.”

Dasar tua bangka sialan. Joshua mengutuk, langsung mengeluarkan


kata-kata kasar dalam benaknya, mengutuk ayah kandungnya dan
pengacara liciknya yang sama-sama pembohong besar. Untung Joshua
sama sekali tidak termakan oleh kebohongan itu dulu.

“Jadi si tua itu datang ke Indonesia?” Joshua bergumam sinis, “Apakah


dia pikir aku mau menemuinya?”

“Ayah kandungmu sangat keras kepala, dia memutuskan akan datang


mengunjungimu dan akan berangkat lusa segera setelah semua surat-
suratnya beres, aku sudah mencegahnya mengingat penyakit jantungnya
dan usianya, tetapi dia tidak mendengarkan aku.” Pengacara ayahnya
menghela napas panjang, “Aku harap kau mau memberikan kesempatan
untuk ayahmu, Joshua. Beliau sudah tua dan meskipun tidak sekarat, tetap
saja penyakit jantungnya mengkhawatirkan.”

“Aku tidak peduli.” Joshua meradang lalu menutup ponselnya,


memutus pembicaraan dengan kasar. Punya hak apa pengacara tua itu
menyuruhnya mempedulikan kesehatan ayah kandungnya? Kenapa pula
dia harus peduli kepada seorang lelaki yang membuangnya begitu saja?
Sudah terlambat untuk menginginkannya sekarang. Joshua tidak akan
membiarkan ayah kandungnya yang arogan itu mendapatkan apa yang
dimauinya dengan mudah!

***

“Aku ingin kau besok siang ikut denganku.” Joshua muncul di ambang
pintu dapur, menatap tajam ke arah Kiara yang sedang mengelap meja
dapur sampai licin. Dia ingin semuanya bersih sebelum dia tidur nanti.

“Ikut kemana?” tatapan Kiara tampak bingung, bukankah Joshua


biasanya tidur kalau siang?

Joshua tampaknya menyadari pertanyaan di benak Kiara,

“Aku tidak bekerja malam ini, jadi besok siang aku akan bangun. Kau
ikut denganku aku akan membawamu.” Lelaki itu setengah membalikkan
tubuhnya tak peduli.

“Ikut kemana?” Kiara mengulang pertanyaannya, buru-buru sebelum


Joshua meninggalkan ruangan itu, kalau sampai tidak mendapatkan
jawaban, mungkin Kiara akan tertidur malam ini dengan mata nyalang
penasaran.

“Ke butik dan mall.” Joshua yang sudah membalikkan tubuhnya


menatap Kiara setengah menoleh, “Kita akan berbelanja pakaian untukmu.”
Dan kemudian Joshua pergi meninggalkan Kiara yang kebingungan.

Berbelanja pakaian? Apakah maksud Joshua seragam pelayan seperti


yang dia lihat di buku-buku komik? Tapi apakah perlu memakai seragam?

Kiara tak henti-hentinya bertanya-tanya, bahkan sampai dia berbaring


tidur di malam harinya

***
Rupanya Joshua serius dengan maksudnya, jam satu siang lelaki itu
keluar dari kamarnya dan sudah berpakaian rapi, dia menatap tajam ke
arah Kiara yang sedang membersihkan karpet dengan penyedot debu.
Sementara itu Jason sedang menonton TV di ruang tengah, lelaki itu
menoleh dan mengangkat alisnya melihat penampilan Joshua yang rapi.

“Mau pergi kencan?” godanya cepat.

Joshua menggelengkan kepalanya, “Bukan.” Matanya mengarah


kepada Kiara, “Kenapa kau belum berganti pakaian?”

Karena Kiara mengira Joshua sudah lupa dengan ajakannya kemarin,


atau lelaki itu sedang bercanda... tetapi ternyata lelaki itu serius.

“Sa... saya sedang membersihkan karpet...” jawab Kiara akhirnya.

“Tinggalkan itu, ganti bajumu, kita berangkat sekarang dan cepatlah!.”


Gumamnya tegas tak terbantahkan, hingga Kiara terbirit-birit meletakkan
pembersih debu di tangannya dan melangkah setengah berlari ke
kamarnya untuk berganti pakaian.

Sementara itu, Jason yang masih duduk di sofa mengamati seluruh


penampilan Joshua yang memilih berdiri, suaranya terdengar serius ketika
berbicara, tidak penuh canda seperti yang ditampilkannya di depan Kiara,

“Apa yang sedang kau rencanakan, Joshua?” tanyanya datar dan


menyelidik.

Joshua menatap ke arah kamar Kiara yang tertutup rapat dan


kemudian menatap Jason tajam,

“Itu bukan urusanmu.”

Jason mengangkat bahunya, “Memang.” Gumamnya, “Apakah ini


berhubungan dengan ayah kandungmu?”
Jason tentu saja tahu kisah tentang ayah kandung Joshua. Mereka
memang bersahabat dekat karena memiliki kisah yang sama. Kiasah yang
sama-sama tragis, mereka sama-sama dibuang oleh salah satu orang tua
kandung mereka. Bedanya sekarang ibu kandung Jason yang jahat dan
mata duitan telah mendekam di penjara, menerima ganjaran atas
perbuatannya. Sedangkan ayah Joshua masih hidup dan seperti kata
pengacara ayahnya tadi, masih lumayan sehat dan gigih mengejar apa yang
dia mau, menjadi batu sandungan dan ganjalan bagi langkah Joshua.

“Ya.” Joshua mengangguk, percuma membohongi Jason, sahabatnya ini


punya insting yang kuat, “Lelaki tua itu mau datang kemari.”

“Kemari?” Jason mengangkat alisnya, “Dia tidak mudah menyerah ya.”

“Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia mau, aku tidak akan pernah
mengakuinya sebagai ayah di depannya dan membuatnya puas. Bagiku
ayahku bukan dia.”

“Hati-hati Joshua.” Jason bergumam, “Sepertinya ayah kandungmu itu


sama keras kepalanya denganmu, kalian sepertinya sama-sama berpegang
kuat kepada pendirian kalian masing-masing.” Jason lalu melemparkan
pandangannya ke arah kamar Kiara, “Dan akan kau gunakan sebagai apa
Kiara nanti?”

Joshua tersenyum, senyum yang dalam dan penuh rencana,

“Kiara adalah tamengku. Tameng terbaik yang pernah ada. Alat


pembalasan dendam yang paling hebat.”
Suara Joshua terdengar mantap, bergaung di ruang tengah apartemen
itu.
Bab 8

“Teganya kau memanfaatkan gadis sepolos itu sebagai tameng?” Jason


mengernyitkan keningnya, “Dan tameng seperti apa maksudmu?”

Joshua mengangkat alisnya, menatap Jason setengah mencemooh,


“Benarkah yang kudengar ini? Seorang Jason yang selalu menyakiti hati
perempuan tanpa pandang bulu tiba-tiba mencemaskan kepolosan seorang
perhempuan?”

Jason membalas tatapan mata Joshua dengan serius, “Aku sungguh-


sungguh dengan perkataanku Joshua.... kau tahu semua perempuan yang
pernah menjadi korbanku, mereka memang pantas mendapatkannya,
tetapi Kiara.... dia benar-benar perempuan polos yang tidak tahu apa-apa,
apapun yang kau rencanakan terhadapnya, kau akan bersikap kejam
kepadanya.”

Joshua membeku, dia lalu mengangkat bahunya,

“Kiara adalah satu-satunya orang yang paling tepat untuk ini.”

Jason berdiri, menatap Joshua dengan tatapan tajam, “Terserah Joshua,


aku sudah memperingatkanmu. Rasa berdosa itu akan semakin dalam
kalau kau memanfaatkan perempuan polos yang tidak tahu apa-apa.” Jason
lalu melangkah dan meninggalkan Joshua, masuk ke kamarnya, setelah
beberapa langkah sampai di depan kamarnya, lelaki itu seolah teringat
sesuatu dan menolehkan kepalanya sedikit, “Oh ya, aku lupa mengatakan
kepadamu, tadi pagi aku berbelanja dengan Kiara, dan kami bertemu teman
Kiara.”

“Teman Kiara?” Joshua mengernyitkan keningnya, langsung tertarik.

“Yah, dia bilang dia teman Kiara, salah satu rekan kerjanya di cafe
tempat mereka bekerja sebelumnya.” Jason menatap Joshua penuh arti,
“Tapi aku tahu lelaki itu tidak menganggap Kiara sebagai teman. Dan kalau
kau mau menjalankan rencanamu, apapun itu kau harus
mempertimbangkan keberadaan orang-orang yang menyukai Kiara lebih
dari yang seharusnya.” Jason sepertinya menebak kalau Joshua akan
menjadikan Kiara sebagai kekasih pura-puranya. Joshua memang akan
melakukan hal yang hampir mirip seperti itu, tetapi tentu saja dengan cara
yang jauh berbeda. Dia akan membuat ayah kandungnya pulang ke
negaranya dengan bahu terkulai kalah dan sangat sangat kesal.
“Aku akan mempertimbangkannya.” Jawab Joshua datar, “Terimakasih
Jason.”

“Dan satu lagi, Kiara tidak punya ponsel. Kasihan sekali di jaman
sekarang tidak punya alat komunikasi yang begitu penting. Kau mungkin
bisa membelikannya satu.”

“Akan kulakukan.” Joshua mengangguk, menyadari bahwa hal itu luput


dari perhatiannya. Nanti dia akan memastikan kalau Kiara mempunyai
ponsel, hal itu memberikan manfaat baginya juga untuk berkomunikasi
dengan Kiara kapanpun dia jauh.

***

Ketika Kiara keluar dari kamarnya setelah berganti pakaian, Joshua


berdiri di sana dan menatap Kiara dari ujung kepala sampai ke ujung
kakinya. Tatapannya setengah mencemooh setengah kasihan.

“Kau hanya punya baju ini?” lelaki itu mengamati blouse Kiara yang
dulunya pasti pernah berwarna putih meskipun sekarang hanya
menyisakan warna krem kusam yang tidak jelas. Dan perempuan itu
mengenakan rok panjang hitam sebetisnya.

Blouse putih dan rok hitam! Demi Tuhan.... apakah perempuan ini tidak
punya selera berpakaian yang lebih baik? Pakaiannya mengingatkan Joshua
pada anak training di toko-toko. Padahal Joshua akan membawa Kiara ke
butik kelas atas. Dia sendiri sebenarnya tidak peduli, tetapi dia tahu orang-
orang di sana akan mencemooh Kiara, memandang Kiara seperti
pertunjukan sirkus mahluk aneh yang salah tempat, dan dia tidak mau
Kiara mengalami itu, dipermalukan seperti itu sementara Kiara berjalan di
sisinya. Tidak boleh ada orang yang mempermalukan perempuan yang
sedang bersama Joshua.

Pipi Kiara sendiri tampak merah padam. Malu. Dia tahu bahwa
pakaiannya yang sederhana itu pasti tidak akan cocok dengan selera
Joshua, pasti akan membuat lelaki itu malu. Tetapi mau bagaimana lagi,
pakaian yang dikenakannya ini adalah pakaian terbaiknya.

“Aku... aku hanya punya pakaian ini.” Jawab Kiara menahan malu,
sepertinya dia lebih baik mengurung diri di kamarnya saja daripada nanti
mempermalukan Joshua, dengan sangat dia berdoa dalam hati supaya
Joshua membatalkan acara keluar mereka.
Tetapi rupanya Joshua punya pikiran lain, lelaki itu menghela napas,
tampak kesal, lalu meraih kunci mobilnya di gantungan dan melangkah
mendahului Kiara ke pintu,

“Ayo.” Gumamnya, membuka pintu dan melangkah pergi, membuat


Kiara terbirit-birit mengikutinya.

***

Mereka berkendara melalui kawasan elite di pusat kota, dan Joshua


tiba-tiba berhenti di sebuah tempat yang dari papan nama di sana,
merupakan sebuah butik, butik itu berupa rumah bercat putih dengan gaya
belanda, dikelilingi pepohonan yang rimbun dan suasana yang asri

“Ayo turun, pemilik butik ini temanku, jadi kita bisa mencari pakaian
yang lebih tepat untukmu sebelum kita pergi ke mall dan butik-butik di
sana.” Joshua membuka pintu dan melangkah memutari mobil, lalu
membukakan mobil untuk Kiara dengan sopan.

Mereka lalu berjalan setengah bersisian, dengan Joshua di depan dan


Kiara di belakangnya. Mereka memasuki butik elegan bergaya lama itu
melalui sebuah pintu putar kuno yang berlapiskan krom dan kaca.

Suasana di dalam butik itu sangat elegan, dengan lampu berwarna


kuning terang yang menciptakan keindahan tersendiri terhadap pakaian
berbagai warna yang digantung di berbagai sudut. Kiara tidak pernah
masuk ke tempat seperti ini tentu saja, matanya melahap seluruh sisi
dengan penuh ingin tahu, menahan keinginan untuk bergumam “oooh”,
“waaaah”, atau “wooow”

Seseorang keluar dari bagian belakang butik dan bergumam,

“Mohon maaf, tidakkah anda melihat tanda di depan pintu? Kami baru
buka pukul lima sore....” seseorang itu adalah perempuan yang sangat
cantik, dengan kaos ketat berwarna biru gemerlap yang menunjukkan
keseksiannya tubuhnya yang berkulit seputih susu, berkilauan bagaikan
porselen. “Joshua?” perempuan itu memekik kesenangan, “Joshua!!” lalu
perempuan itu menghambur, memeluk Joshua dengan erat, “Kemana saja
kau sayangku? Lama sekali kau tidak kemari.”

Joshua membalas pelukan perempuan itu dengan canggung, “Aku


sangat sibuk dengan pekerjaan akhir-akhir ini.” Lelaki itu memundurkan
langkah dan dengan halus melepaskan diri dari pelukan perempuan itu,
“Bagaimana kabarmu, Deliah?”
“Aku baik-baik saja.” Delilah bergumam ceria sambil mengedipkan
sebelah matanya, “Dan aku sangat merindukanmu, Joshua. Dulu kau sering
kemari sambil membawa pacar-pacar cantikmu itu..... jadi karena kau lama
tidak kemari, aku pikir mungkin kau sedang tidak berpacaran?”, mata
perempuan itu melirik ke arah Kiara yang berdiri gugup di belakang Joshua
dan langsung mengangkat alisnya, “Atau kau berpacaran tapi sepertinya
sudah merubah seleramu?” matanya mengamati Kiara dari ujung kaki ke
ujung kepala, membuat Kiara malu setengah mati. Perempuan itu sangat
modis dan sangat bergaya, dan sekarang mengamati Kiara dengan secercah
rasa kasihan di matanya,

“Di mana kau menemukan gembel kecil ini?” gumamnya mendekati


Kiara, dan kemudian menyentuh pundak Kiara tanpa permisi, lalu
membalikkan tubuh Kiara yang sepertinya dianggapnya bagai boneka, dia
mengamati tubuh Kiara dan kemudian menoleh ke arah Joshua lagi,
“Kekasih terbarumu?” gumamnya tak percaya.

Joshua terkekeh, “Jangan terlalu mendekatinya Deliah, Kiara akan


ketakutan kepadamu. Tidak. Dia bukan kekasihku. Tetapi segera, dia akan
berperan sebagai kekasihku, dan aku ingin bantuanmu untuk melatihnya.”

“Apa?” Deliah dan Kiara berseru bersamaan, yang satu bersemangat


dan penuh ingin tahu, sementara yang lain kaget luar biasa.

“Ya. Aku ingin kau mengajari Kiara semuanya, seluruh caranya. Aku
ingin dia berperan sebagai kekasih yang jalang, mata duitan, pokoknya
jenis perempuan yang paling menyebalkan di muka bumi ini.” Joshua
menatap Deliah dan tersenyum manis, “Aku tahu dari pengalamanmu di
butik ini, kau banyak pengalaman dengan jenis-jenis perempuan seperti
itu.’

Deliah tertawa, tawa merdu yang enak di dengar, dia menepuk pundak
Kiara lembut,

“Hai aku Deliah, dan sepertinya sahabatku yang tiba-tiba datang


setelah sekian lama menghilang ini tanpa tahu malu langsung meminta
bantuanku.” Sapanya lembut, membuat Kaira tersenyum malu-malu.
Sepertinya memang Deliah sering mengucapkan kata-kata cemoohan,
tetapi kemudian Kiara menyadari bahwa perempuan itu hanya
menggunakan sebagai candaan, tidak ada maksud sama sekali dari Deliah
untuk merendahkan lawan bicaranya. Mungkin memang gaya bicaranya
seperti itu...
Tetapi Kiara sendiri masih bingung dengan maksud perkataan Joshua
tadi. Apa maksudnya lelaki itu akan menjadikannya kekasihnya, atau
berperan sebagai kekasih Joshua tetapi – kalau Kiara tidak salah dengar –
harus bisa membawakan peran sebagai perempuan jahat?

“Aku bisa saja melakukannya, Joshua, meskipun tampaknya misi ini


begitu berat.” Deliah menatap Kiara penuh arti, “tetapi kau harus
menjelaskan semuanya kepadaku dari A sampai Z jadi aku tahu apa
maksud semua rencanamu ini.” Deliah lalu memanggil pelayannya yang
segera datang dari pintu belakang, “Buatkan minuman untuk kedua
tamuku, kita akan bercakap-cakap sebentar.”

“Aku akan menjelaskannya kepadamu Deliah.” Joshua menganggukkan


kepalanya setuju, lalu menatap Kiara, “Kiara, kau bisa menunggu di sini?
Aku akan bicara dengan Deliah sebentar di dalam.’

Meskipun merasa sangat ingin tahu hingga mendorongnya memaksa


ikut, Kiara tidak berani. Yang biasa dia lakukan hanyalah menganggukkan
kepalanya, meskipun benaknya masih didera oleh semua pertanyaan.

“Pelayan akan membawakanmu minuman dan kue, kau boleh melihat-


lihat pakaian di sini dan mencobanya, kalau ada yang menarik untukmu
bilang saja, aku yakin Joshua dengan senang hati akan membelikannya
untukmu.” Deliah mengedipkan sebelah matanya, lalu dengan genit
menggandeng lengan Joshua, dan dua anak manusia itu kemudian masuk
ke ruang dalam yang sepertinya bagian kantor dari butik tersebut.

***

Kiara menghabiskan beberapa menit dengan hanya berdiri terpaku


dan kebingungan harus berbuat apa. Matanya mengamati seluruh ruangan
dan mengagumi interiornya yang indah. Mereka seperti berada di rumah-
rumah bangsawan eropa dari jaman dahulu kala. Sepertinya memang
Deliah sengaja membuat nuansa butiknya kuno tetapi elegan. Kursi-
kursinya berukir dengan warna cokelat gelap, berpadu dengan tirai merah
yang bersemburat emas, tampak sangat kontras dengan tembok yang dicat
putih bersih dan atap plafon dengan ukiran indah yang semuanya
berwarna putih bersih. Sementara itu di bawah kakinya, karpet mahal yang
sangat tebal berwarna cokelat tua tampak sangat berpadu dengan
keseluruhan ruangan.

Setelah lama berdiri, Kiara sadar, sepertinya Joshua akan lama di


dalam sana. Seorang pelayan muncul dari dalam, membawa nampan, ada
teko sepertinya berisi teh dan juga cangkir-cangkir indah bergambar bunga
dengan gaya victorian. Lalu ada sepiring kue cokelat yang tampak lezat
dengan krim di atasnya. Pelayan itu meletakkan nampan di meja, dan Kiara
menyadari ada tatapan kaget di matanya ketika melihat penampilan Kiara
yang sangat sederhana, tetapi pelayan itu berhasil menutupinya dengan
cepat, dengan sopan dia mempersilahkan Kiara untuk menikmati
hidangannya selama menunggu.

Dengan hati-hati Kiara duduk di kursi di samping meja kecil yang telah
disediakan, dia menuang teh yang harum itu, dan kemudian menyesapnya
pelan-pelan. Enak. Ada rasa pedas yang khas, aroma daun mint yang
membuat rasa teh itu istimewa. Kiara lalu mengicipi kue yang sangat
menggugah selera itu, dan kemudian mengunyahnya dengan nikmat. Kue
itu enak sekali!

Mata Kiara melirik dengan penuh rasa bersalah ke beberapa kue yang
masih tersisa di piring, pasti akan sangat memalukan kalau Kiara
menghabiskan kue itu.... tetapi kue itu enak sekali.....

Mata Kiara memandang ke sekeliling, berusaha mengalahkan


dorongan untuk menghabiskan kue yang enak itu, demi kesopanan.
Akhirnya Kiara berdiri dan dengan hati-hati mendekat ke arah rak gaun –
gaun itu.

Jemarinya menyentuh bahan sebuah gaun dari sutera halus yang


begitu indah, warna gaun itu hijau yang teduh, dengan bros berwarna
perak sebagai aksen di dadanya, iseng-iseng karena ingin tahu, Kiara
melihat price tag yang menempel di gaun itu, dan kemudian
membelalakkan matanya kaget.

Dua puluh juta rupiah untuk sebuah gaun?

Dengan ketakutan, Kiara melangkah mundur dari rak gaun berisi


gaun-gaun indah yang digantung, Astaga, harga gaun itu mungkin cukup
untuk Kiara hidup beberapa bulan.....

Dengan gugup, Kiara dudul lagi di kursinya, dia tidak berani


memegang gaun-gaun itu setelah mengetahui harganya. Kalau sampai
sentuhan tangannya membuat gaun itu rusak, bisa gawat, karena Kiara
tidak mampu menggantinya.

Dengan cemas dan penuh rasa ingin tahu, Kiara menatap ke arah pintu
kantor tempat Joshua dan Deliah menghilang tadi.

***
“Itu rencana yang sangat licik Joshua, dan murni kejam.” Deliah tidak
bisa menahan diri mengucapkan kata-kata itu setelah Joshua selesai
bercerita, perempuan itu lalu menatap ke arah butik tempat Kiara masih
menunggu di sana, “Dan kalaupun aku mau membantumu, dari semua
perempuan di dunia ini, kau bisa memilih perempuan yang berpengalaman,
dengan sedikit polesan, dia akan lebih mudah dimasukkan dalam
rencanamu, dan kenapa kau malahan memilih perempuan lugu, polos dan
tidak tahu apa-apa itu?”

Joshua menyandarkan tubuhnya ke kursi dan tersenyum tenang,


“Perempuan yang berpengalaman akan berbahaya karena kadang kala
mereka memberontak, menginginkan lebih, atau bahkan menggigit balik.”
Mata Joshua ikut melirik ke arah butik, “Kiara tidak akan mengkhianatiku.”

Deliah menatap Joshua, mereka memang bersahabat sejak lama, sejak


masa kuliah..... Joshua dulu pernah membantu Deliah melalui masa-masa
sulitnya. Deliah pernah jatuh dan hancur, menerima semua cemoohan
orang, dan dia kehilangan banyak orang yang semula dikiranya sebagai
sahabat baiknya. Hanya Joshua yang tetap disisinya dan mendukungnya,
bagi Joshua tidak peduli Deliah akan jatuh dan mempermalukan diri seperti
apa, mereka berdua tetap bersahabat.

Dan kalau Joshua meminta pertolongan kepadanya, bagaimana dia


bisa menolaknya?

“Aku akan melakukannya untukmu Joshua, meskipun sepertinya sulit,


aku akan mengubah perempuan polos yang ada di depan itu menjadi
seperti yang kau mau, mulai besok bawalah dia kesini setiap pagi, kau bisa
menjemputnya di sore hari, dan aku akan melatihnya dengan intensif, gaya
berjalan, gaya berpakaian bahkan gaya berbicaranya.”

Joshua tersenyum puas, “Aku tahu aku akan selalu bisa


mengandalkanmu, Deliah.”

***

Joshua dan Deliah keluar dari ruangan itu beberapa saat kemudian,
dan Kiara langsung berdiri. Deliah tersenyum manis kepada Kiara, lalu
melemparkan tatapan bertanya kepada Joshua,

“Kalian akan kemana hari ini?”


Joshua mengangkat bahu, “Kami akan ke mall, memberi beberapa gaun
dan perlengkapan. Dan tentu saja kami akan berbelanja di butikmu ini
Deliah....” mata Joshua menatap penampilan Kiara, “Dia tidak boleh
berjalan-jalan denganku dengan penampilan seperti itu.”

“Tentu saja tidak boleh.” Deliah berseru ceria, lalu menghampiri Kiara
dan merangkulnya,

“Mari, akan kupilihkan pakaian yang pantas untukmu, kau pasti akan
menyukainya.”

***

Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Kiara menurut saja ketika


Deliah menyerahkan pakain untuknya dan menyuruhnya berganti baju. Di
dalam ruang ganti, Kiara mengintip kembali price tag baju yang ada di
tangannya, dan mengerutkan keningnya. Harganya cukup tinggu untuk
sebuah gaun terusan berwarna pink gelap.

Jemari Kiara bergetar ketika mencobanya, tetapi dia berusaha


melakukannya. Setelah mengenakan gaun itu, Kiara bercermin dan
mengagumi betapa pas gaun itu di tubuhnya, Deliah sepertinya punya
insting bagus mengenai gaun. Kiara juga mengagumi betapa ringannya
bahan gaun itu, menempel di tubuhnya. Tampak pas dan tampak cantik...

Ketikan di pintu ruang ganti membuat Kiara sedikit terperanjat,

“Apakah kau sudah selesai di sana?” suara Deliah terdengar dari depan
pintu.

“Sudah...” Kiara buru-buru membuka pintu ruang ganti itu dan


berhadapan dengan Deliah.

Deliah berdiri di sana dan tampak puas dengan penampilan Kiara, dia
membawa sepatu berhak datar berwarna peach gelap yang sangat indah
dan meletakkannya di lantai,

“Ini, pakailah ini, gaun itu seharusnya memang dipakai dengan sepatu
ini.”

Kiara menurutinya dan sekali lagi merasa takjub dengan betapa


pasnya sepatu itu di kakinya. Deliah menepuk pundak Kiara dan
mengedipkan sebelah matanya,
“Bagus. Kau sudah siap untuk berjalan-jalan dengan Joshua.”

***

Reaksi Joshua melihat penampilan baru Kiara tidak terbaca, lelaki itu
hanya mengangkat alisnya, dan kemudian mengamati Kiara dari ujung
kepala sampai ujung kaki, kemudian menganggukkan kepalanya,

“Bagus Deliah. Aku ingin kau menyiapkan lagi beberapa gaun,


sebanyak mungkin dari koleksimu yang cocok dengan tubuh Kiara, juga
sepatunya, dan aksesorisnya. Aku tahu butikmu ini lebih banyak menjual
gaun-gaun formal, karena itu aku akan ke mall dan memberi gaun-gaun
untuk keperluan lainnya.”

“Hati-hati ya.” Deliah melepas kepergian mereka dalam senyum


ramah, “Dan Joshua, jangan lupa membawa Kiara ke salon.” Serunya setelah
Joshua dan Kiara dekat dengan mobil mereka.

Joshua hanya memnganggukkan kepalanya dan melambai kepada


Deliah, dengan sopan dia membukakan pintu untuk Kiara dan kemudian
memutari mobilnya, duduk di balik kemudi dan menjalankan mobilnya
keluar dari butik itu.

Sepanjang jalan mereka terdiam, meskipun Kiara berkali-kali mencuri


pandang ke arah Joshua, penuh pertanyaan. Kapan Joshua akan
menjelaskan semuanya kepadanya?

Joshua sendiri tampaknya menyadari apa yang ada di benak Kiara, dia
melirik sedikit dan tersenyum.

“Kau pasti bertanya-tanya ya. Nanti setelah di rumah aku akan


menjelaskan semuanya. Sekarang kau ikuti saja aku. Yang pasti kau bisa
tenang, aku tidak akan menyakitimu.”

Mau tak mau Kiara menganggukkan kepalanya dan kemudian


berusaha mengalihkan pembicaraan, kalau tidak dia akan tersiksa akan
rasa penasaran yang menderanya ketika harus menunggu Joshua
menjelaskan segalanya ketika mereka pulang nanti.

“Butik yang sangat indah, dan Deliah... pemiliknya sangat cantik.”

Joshua tersenyum simpul, “Tentu saja, Deliah sangat cantik, dia sangat
menjaga kecantikannya itu setelah dia mendapatkannya hampir lima tahun
yang lalu.”
Mendapatkan kecantikan? Apa maksud Joshua?

Joshua sendiri terkekeh, “Semoga kau tidak menganggapku mantan


pacarnya atau apa, kami bersahabat akrab sejak kuliah arsitek. Tetapi
kemudian dia drop out karena mengejar hasrat sebenarnya di bidang
desain pakaian, dan terbukti dia tidak sia-sia karena sekarang dia menjadi
salah seorang perancang yang sukses dengan butik kelas satu yang sangat
diminati.” Mata Joshua tampak geli ketika melempar kebenaran itu kepada
Kiara. “Jangan tertipu dengan kecantikan dan sikap feminimnya Kiara, lima
tahun yang lalu, Deliah adalah seorang lelaki, sampai kemudian dia
memutuskan untuk mengikuti hasratnya untuk menjadi seorang
perempuan.”

Apa? Kiara ternganga.... kaget sekaligus bingung. Astaga, jadi Deliah


bukanlah perempuan tulen?
BAB 9

Kiara benar benar terkejut dan tak menyangka kalau Deliah bukanlah
perempuan tulen, oh ya ampun tiba-tiba saja Kiara merasa malu,
bagaimana bisa Deliah yang bukan perempuan tulen tampak begitu cantik?
Apalagi kalau dibandingkan dengan dirinya......

Joshua sendiri mengamati reaksi Kiara dan tersenyum geli,

"Jangan merasa rendah diri, Deliah memang selalu berusaha lebih


cantik dari perempuan manapun di dunia ini, tapi dia sahabat yang baik
dan dia akan membantumu."

"Membantuku?"

"Ya. Akan kujelaskan nanti, yang jelas, beberapa hari ini kau akan
sering bertemu dengannya."

Kiara menatap Joshua, tetapi lelaki itu tampaknya sudah


menghentikan pembahasan mereka tentang Deliah. Pada akhirnya Kiara
hanya terdiam, menyimpan pertanyaan dalam benaknya.

Nanti. Gumamnya dalam hati, nanti pasti Joshua akan menjelaskan


kepadanya. Dam sekarang seperti yang diminta Joshua. Kiara akan
menuruti rencana Joshua, dia bertekad menjadi pelayan yang baik untuk
Joshua.

***

Tanpa disadari oleh Kiara, Joshua beberapa kali melirik penampilan


perempuan itu, lalu tidak bisa menahan kepuasan dalam hatinya atas
penampilan Kiara. Perempuan itu cantik tentu saja, hanya tidak terpoles.
Kecantikannya lugu dan polos, lebih seperti anak kecil yang membuat
siapapun ingin melindunginya...

Joshua mengerutkan keningnya, Kenapa dia berpikiran seperti


itu? Ingin melindungi Kiara? Lelaki itu langsung berusaha membuang
pikirannya dan mencoba fokus. Dia harus tetap pada rencananya semula,
dia akan menggunakan Kiara sebagai tameng sekaligus sebagai alat
pembalasan dendam kepada ayah kandungnya.

Dengan tenang Joshua membelokkan mobilnya menuju salah satu


pusat perbelanjaan terbaru di pusat kota, yang katanya terbesar di asia
tenggara. Setelah membantu Kiara turun, Joshua menyerahkan mobilnya
kepada petugas valey parkir. Mereka lalu berjalan bersisian memasuki
pintu utama pusat perbelanjaan itu.

Joshua melirik Kiara dan sekali lagi tidak bisa menahan senyumnya
melihat perempuan polos itu hampir saja ternganga melihat keindahan
tempat yang mereka kunjungi. Se,uanya memang begitu besar, dari pilar
dan tembok-tembok yang sangat tinggi sampai tanaman palem raksasa di
dalam pot elegan yang ada di sudut-sudut tertentu.

"Kita ke salon yang itu dulu." dengan lembut Joshua menghela Kiara
dan membawanya ke sebuah salon terkenal. Joshua jarang ke salon, tetapi
dia tahu mana salon yang baik mana yang tidak. Mantan-mantan
kekasihnya dulu kebanyakan selalu membicarakan salon-salon langganan
mereka, ada yang bilang salon A bagus sayang finishing touchnya jelek, ada
yang bilang salon B pelayanannya tidak memuaskan dan sebagainya. Pada
akhirnya, Joshua bisa menarik kesimpulan salon mana yang bisa dipercaya
untuk mengubah model rambut Kiara.

Oh sebenarnya tidak ada yang salah dengan model rambut Kiara,


perempuan itu cukup beruntung memiliki rambut yang hitam, sehat dan
halus dan panjang. Tetapi tidak ada model khusus untuk rambutnya. Hanya
panjang dan lurus, dipotong rata. Joshua yakin stylist di salon ini bisa
sedikit membuat gaya rambut Kiara lebih modern.

Ketika mereka masuk, salah satu pegawai salon berseragam hitam


langsung menyambut mereka dengan ramah, Joshua mengatakan apa
maksudnya kepada pegawai itu dan kemudian Kiara dihela masuk ke
bagian dalam, sementara Joshua sendiri duduk di ruang tunggu, menunggu
hasilnya dengan penasaran.

***

"Rambut anda sangat indah, halus dan hitam, sayang potongannya


rata, jadi kesannya tipis dan membosankan." seorang stylist laki-laki yang
agak gemulai menyentuh helaian rambut Kiara dari belakang, lelaki itu
sekarang duduk di kursi tinggi di belakang Kiara yang duduk di kursinya
sendiri dan menghadap kaca yang sangat besar. Dengan posisi kaca itu,
Kiara bisa menatap mata sang stylist,

"Di salon mana anda dulu memotongnya?" tampaknya karena baju


Kiara yang mahal dan indah, dan karena Kiara datang bersama seorang
lelaki tampan yang sangat elegan, stylist itu mengira Kiara mungkin salah
satu pelanggan salon lain yang sekelas dengan salon ini.
Tetapi tentu saja bukan, dengan polos Kiara menjawab,

"Saya memotongnya sendiri."

Stlylist itu benar-benar tampak terkejut dengna jawaban Kiara,


jemarinya yang sedang memegang rambut Kiara membeku di sana.

"Memotongnya sendiri?" gumamnya memekik ngeri, menatap Kiara


dengan tak percaya.

"Ya" Kiara menganggukkan kepalanya mantap. Memangnya apa yang


salah dengan memotong rambutnya sendiri? Rambut Kiara panjang, tentu
saja memudahkannya untuk memotong sendiri, dia tinggal menarik
rambutnya ke depan, lalu gunting di tangannya pun beraksi, yang penting
rambutnya tampak rata dan rapi dari belakang bukan?

"Tidak!" tiba-tiba saya sang stylist berseru membuat Kiara kaget,


"Jangan pernah memotong rambutmu sendiri, cantik. Itu mengerikan untuk
dibayangkan." Stylist lelaki itu begidik, "Itu hanya bisa dilakukan oleh orang
yang benar-benar ahli, bahkan aku sendiri masih tidak percaya diri
melakukannya. Jadi kau harus berjanji tidak akan melakukannya? Oke?

Kiara menatap mata stylist gemulai itu dari cermin, setengah


mengernyit, bingung kenapa masalah seperti itu tampaknya begitu penting
bagi si stylist. Tetapi kemudian, Kiara menganggukkan kepalanya untuk
memuaskan si stylist.

"Oke" Jawabnya, dan si stylist tampak puas dengan jawabannya.


Senyumnya melebar, jemarinya bergerak lagi dengan ahli di rambut Kiara,
sebelum mengayunkan guntingnya, lelaki itu mengedipkan sebelah
matanya kepada Kiara,

"Aku akan membuat rambutmu sedemikian cantiknya, penuh tekstur


dan tampak penuh. Pacar gantengmu yang di depan itu pasti nanti akan
sangat terkejut melihat penampilan barumu."

Yang dimaksud pacar gantengnya pastilah Joshua. Tetapi Joshua bukan


pacarnya. Kiara terdiam, menatap kaca, ke arah si stylist yang mulai
menggarap rambutnya. Yah sudahlah. Yang penting dia melakukan apa
yang diinginkan Joshua. Matanya terus bergerak. Mengawasi gunting itu
yang memotong rambutnya helai demi helai.

***
Ketika Stylist itu selesai, model rambutnya masih belum kelihatan,
seorang petugas lain membawanya dan mencuci rambutnya dengan
shampo yang sangat harum. Setelah itu dia dibawa kembali kepada
sang stylist. Lelaki itu sudah siap dengan hair dryer dan sisir di tangannya.
Jemarinya yang lentik dan ahli langsung memilah-milah rambut Kiara yang
basah, dan kemudian mengoleskan sesuatu yang basah dan lengket di sana.

“Diapakan?” Kiara bergumam bingung, takut karena tidak tahu apa


yang dilakukan stylist itu ke rambutnya. Sementara lelaki gemulai itu
tersenyum dan menatap Kiara penuh arti,

“Aku akan memberikan kilau para rambutmu, jadi ucapkan selamat


tinggal pada warna hitam gelap yang membosankan.”

***

Beberapa saat kemudian, rambutnya selesai, setelah menunggu


beberapa lama, lalu rambutnya dicuci lagi, dikeringkan lagi dan di blow.

Kiara menatap takjub kepada rambutnya setengah terpana. Itu dia


yang sama yang didepan cermin, tetapi amat mengejutkan bahwa
perubahan potongan dan warna rambut bisa merubah penampilan
seseorang.

Kiara yang ada di sana sangat cantik, rambutnya masih tetap panjang
tentu saja, tetapi potongannya bertingkat, membuat volume rambutnya
tampak penuh dan segar. Begitu juga warnanya yang sekarang tampak
berkilauan sehat.

Astaga..... ternyata pekerjaan stylist itu tidak main-main. Kiara merasa


seperti artis-artis sinetron yang penampilannya seperti baru keluar dari
salon. Tiba-tiba saja dia merasa ingin terkikik sendirian ketika menyadari
bahwa dia juga baru keluar dari salon.

“Nah ayo sayang, kau begitu cantik, tunjukkan kecantikanmu kepada


pacar gantengmu di depan itu, dia pasti terpesona setengah mati.”

Lelaki gemulai itu menghela Kiara ke depan, tempat Joshua sedang


mengerutkan keningnya sambil menatap ponsel yang dibawanya. Lelaki itu
menyadari kehadiran Kiara dari batuk sengaja sang stylistsebelum
meninggalkan Kiara berdiri sendirian di sana, dan kemudian
mendongakkan kepalanya, dan terpana.
Beberapa detik Joshua memandang penampilan baru Kiara dalam
keheningan, sampai kemudian dia mengerjap dan memasang wajah datar,

“Bagus sekali.” Gumamnya tanpa ekspresi, membuat Kiara bingung


apakah lelaki itu menyukai penampilan barunya atau tidak.

Joshua lalu beranjak berdiri, dan memberi isyarat Kiara supaya


mengikutinya, mereka keluar dari salon itu dan melangkah ke arah lain,
Kiara berusaha menjajari langkah Joshua dan bertanya,

“Kita akan kemana lagi?”

“Membeli beberapa sepatu, koleksi di butik Deliah belum cukup


banyak karena memang dia tidak spesifik menjual sepatu. Ayo.” Mereka
melangkah beberapa jauh dan kemudian masuk ke sebuah toko sepatu
yang begitu elegan, penuh dengan kaca-kaca yang berkilau seakan tembus
pandang, memantulkan suasana indah ruangan yang berwarna sampanye
berpadu dengan karpet merah tebal yang indah.

“Ada yang bisa saya bantu tuan dan nona?” Pramuniaga langsung
menyambut mereka dengan sopan di depan.

Joshua mengedikkan bahunya ke arah Kiara,

“Dia butuh sepatu, yang banyak dan terbaru, keluarkan semua koleksi
terbaru kalian.”

Dan kemudian banyak sekali waktu yang dihabiskan untuk mencoba


sepatu-sepatu yang seakan tidak ada habisnya. Joshua akan duduk di sana,
meminta Kiara berjalan di depannya, dan ketika tidak merasa cocok, lelaki
itu akan berkata tidak, sedangkan ketika merasa cocok, dia akan memberi
isyarat kepada pramuniaga yang langsung membawa kotak sepatu itu ke
kasir.

Pada akhirnya, Kiara kelelahan mencoba berbagai macam sepatu itu.


Oh memang benar, bisa masuk ke toko semewah ini dan memilih sepatu
mungkin tidak akan pernah terwujud dalam kehidupan Kiara yang biasa,
dan dia bersyukur bisa mengalami pengalaman ini. Tetapi kalau begitu
banyak sepatu yang harus dicobanya seperti ini, lama-lama Kiara merasa
lelah dan bosan.

Ketika memasang kaitan sepatunya yang entah untuk kekebrapa


kalunya, Kiara mendesah dan mulai merasa ingin melarikan diri dari
tempat itu segera.
Joshua melihatnya, dan menemukan keengganan di mata Kiara ketika
dia meminta perempuan itu mencoba sepatu, sungguh, Kiara benar-benar
berbeda dengan perempuan lain yang pernah bersamanya. Perempuan-
perempuan lain pasti akan merasa berada di surga, diajak berbelanja
sepatu ataupun pakaian sekian lamanya, yah bagaimanapun Kiara
perempuan yang berbeda.

Dengan lembut dan penuh senyum dia lalu mendekat berjongkok ke


arah Kiara yang duduk di kursi khusus untuk mencoba sepatu, kemudian
jemarinya meraih kaitan sepatu Kiara dan memakaikannya,

“Lelah ya?” Sikap Joshua dan jemarinya yang sedang memegang


pergelangan kaki Kiara nampak begitu lembut dan penuh perhatian,
membuat pipi Kiara memerah karenanya. Kiara pada akhirnya hanya
mampu menganggukkkan kepalanya, tidak mampu berkata-kata atas sikap
lembut Joshua.

Joshua tersenyum dan menghela napas panjang, “Kalau begitu, setelah


ini kita pulang saja, aku rasa masih banyak waktu untuk berbelanja yang
lain.”

***

Ketika mereka pulang, hari sudah beranjak malam. Kiara melihat Jason
sedang duduk di sofa ruang tengah dan menonton televisi sambil
menyantap sesuatu yang seperti mie instan. Tiba-tiba saja Kiara merasa
bersalah karena tadi tidak sempat memasakkan makan malam.

“Kalian sudah pulang rupanya.” Jason mengalihkan pandangannya dari


mie yang sedang dimakannya, dan menoleh. Matanya melebar ketika
melihat Kiara, lalu lelaki tampan itu tersenyum penuh arti, “Kau tampak
cantik sekali dengan potongan rambut baru dan gaun manismu itu, Kiara.”
Serunya memuji, membuat pipi Kiara merona.

Joshua menoleh, menatap pipi Kiara yang memerah, kemudian dia


melemparkan tatapan penuh peringatan kepada Jason,

“Jangan ganggu dia Jason, dia milikku.”

Mungkin maksud Joshua adalah Kiara pelayan miliknya. Tetapi entah


bagaimana kalimat yang diucapkan secara lugas itu membuat jantung Kiara
berdebar.
Sementara itu Jason mengamati reaksi Joshua dengan geli, lalu
bergumam setengah mengejek,

“Mulai posesif Joshua?”

Kata-katanya itu membuat wajah Joshua merah padam, lelaki itu


menghela Kiara lembut, berusaha tidak mempedulikan Jason,

“Ganti dengan pakaian rumahan dan kita akan bicara.”

Joshua selalu mengucapkan perintahnya dengan begitu tegasnya,


membuat Kiara langsung terbirit-birit ke kamar untuk menurutinya.

Sepeninggal Kiara, Jason menatap Joshua dengan pandnagan


menyelidik.

“Kau membawa Kiara ke Deliah ya?” Jason tampak tidak suka,


membuat Joshua merasa aneh. Jason selalu bersikap sebagai pembenci
perempuan, tetapi ternyata dia juga membenci mahluk yang bertingkah
laku sebagai perempuan, entah karena Jason paranoid atau memang dia
berpandangan konservatif.

“Aku tidak suka nada suaramu, Jason. Bagaimanapun juga Deliah


sahabatku.”

Jason tersenyum, “Oke.. oke. Kenapa kau ini Joshua? dari awal kau
masuk rumah ini, sikapmu seperti akan menyerangku.”

Joshua tertegun dan kemudian menghela napas panjang ketika


menyadari kebenaran kata-kata Jason. Entah kenapa dia seperti ingin
menyerang Jason, apalagi setelah Jason memuji Kiara dengan terang-
terangan, rasanya Joshua tidak rela.

Dia mengacak rambutnya dengan frustrasi, apakah benar kata Jason


tadi? Bahwa dia memendam rasa posesif dan bahkan cemburu kepada
Kiara?

“Maafkan aku.” Gumam Joshua kemudian, ‘Kurasa aku hanya sedikit


lelah.” Joshua menyusul duduk di sofa, dan kemudian menuang jus jeruk
dari teko dingin yang ada di meja, meneguknya dengan haus.

“Tapi kuarasa itu sepadan.” Gumam Jason dalam senyuman, “Dia


berubah cantik sekali, seperti puteri dalam kisah dongeng cinderella.”
Lagi. Joshua merasakan sengatan rasa itu lagi, perasaan tidak suka
ketika Jason memuji Kiara dengan terang-terangan.

Ada apa dengannya ini?

Joshua tidak sempat menelaah perasaannya karena Kiara sudah keluar


dari kamar, berjalan canggung setengah takut ke arah mereka, itu menjadi
catatan bagi Joshua karena nanti, kalau mereka harus berhadapan dengan
ayah kandungnya yang licik itu, Kiara harus bersikap percaya diri dan
pemberani di depannya.

“Duduklah.” Joshua menggeser duduknya, lalu menatap Jason dengan


galak, “Aku ingin bicara empat mata dengan Kiara, akankah kau tetap di
sini?”

Pengusiran terang-terangan Joshua itu ternyata sama sekali tidak


menyinggung Jason, lelaki itu malah tertawa, membawa mangkok mienya
tanpa kata dan melangkah pergi dari ruang tengah itu.

Lalu hening. Joshua tampak sedang berusaha menyusun kata-kata


sementara Kiara menunggu.

Lalu Joshua berdehem, “Aku punya ayah kandung di London. Ayah


kandung yang jahat. Dulu dia mengusir ibuku dalam kondisi hamil dan tak
bertanggung jawab, ibuku pulang ke Indonesia, menanggung malu dan
cemoohan karena mengandung anak haram, mengandung aku.” Joshua
langsung membuka penjelasannya dengan kalimat pahit itu, membuat
Kiara terkesiap dan merasa iba.

Rasa ibanya itu mungkin terpancar jelas di matanya karena Joshua


menatapnya garang, “Jangan mengasihani aku, sedikitpun aku tidak pernah
menyesal karena ayah kandungku membuangku jauh-jauh.” Lelaki itu
menghela napas marah, “Dan itulah yang kuinginkan sampai saat ini, jauh-
jauh dari lelaki munafik dan jahat itu, sayangnya dia tak tahu malu dan
punya pemikiran lain, ayah kandungku mulai datang dan merecokiku,
menggunakan kebohongan bahwa dia sekarat dan sakit keras dan mengira
dengan begitu bisa meluluhkan hatiku dan membuatku mau menemuinya.
Tentu saja cara itu tidak berhasil kepadaku. Dia tidak pernah ada dalam
kehidupanku, lalu kenapa aku harus mencemaskan kesehatannya?”

Kiara menghela napas mendengar perkataan retoris itu, dia bingung


harus berkata apa. “Mungkin... mungkin ayahmu menyesal dan ingin
berbaikan denganmu? Bagaimanapun juga kau adalah anaknya.”
“Lelaki jahat itu tidak akan pernah menyesal.” Joshua membantah
dengan sinis, “Dia hanya menginginkan pewaris seluruh kekayaannya,
baginya kekayaannya hanya boleh diwariskan kepada orang yang
mempunyai darah ningrat yang dimilikinya.” Joshua tersenyum sinis, “Aku
sudah menolaknya, bagiku harta darinya adalah sampah, tetapi ayah
kandungku tidak tahu malu, dia bahkan merencanakan pernikahan
untukku dengan gadis berdarah bangsawan, demi menjaga kemurnian
darah keturunannya. Tentu saja aku menolaknya mentah-mentah.” Joshua
tampak semakin marah, “Dan kemudian dia mengatakan akan datang ke
Indonesia, untuk membujuk dan memaksa aku melakukan apa yang dia
mau.”

“Beliau akan datang ke Indonesia?” Kiara terkejut, tak menyangka


ayah kandung Joshua ini akan bertindak sejauh itu.

“Ya. Karena dia lelaki arogan pemaksa yang tidak akan menyerah
sebelum mendapatkan kemauannya.” Mata Joshua menatap Kiara dalam-
dalam, “Dan karena itulah aku membutuhkanmu, Kiara.”

Jadi dia akan berperan sebagai apa? Kiara jadi teringat akan betapa
banyaknya pakaian, sepatu dan berbagai macam hal lainnya yang diberikan
Joshua kepadanya, dari kata-kata laki-laki itu di salon, semua untuk
memberikan Kiara peran sebagai perempuan jahat. Apakah semua ini
untuk ayah kandungnya?

“Aku ingin kau berperan sebagai kekasihku, terang-terangan di


hadapan ayahku. Tetapi kau harus bersikap bukan sebagai kekasih yang
baik-baik. Aku sudah menyelidiki ayah kandungku, aku tahu seperti apa
wataknya, dia sangat menjunjung darah ningratnya. Mengetahui aku
tergila-gila kepada perempuan yang tidak jelas asal-usulnya, yang baginya
tidak sederajat dan jelas-jelas perempuan yang hanya mengincar hartaku
akan membuatnya gila.” Joshua terkekeh, “Pada akhirnya dia akan pulang
dengan kekalahan yang menyakitkan.”

Kiara menatap Joshua dan tiba-tiba merasa sedih. Dia tidak punya
ayah, Dan dulu ketika di panti asuhan, betapa dulu dia sangat
menginginkan memiliki keluarga, memiliki ayah yang menyayanginya. Dan
sekarang di depannya, ada seorang lelaki yang masih memiliki ayah
kandung, tetapi memikirkannya dengan penuh dendam. Tetapi Kiara tidak
bisa menyalahkan Joshua, lelaki itu mengetahui masa lalunya dengan pedih
dan menumbuhkan kebencian di dadanya sejak lama, lagi pula sepertinya
ayah kandung Joshua memang kejam karena membuang ibu Joshua yang
sedang mengandung darah dagingnya sendiri, dan kemudian tiba-tiba
ketika dia membutuhkan Joshua, dengan arogannya lelaki itu ingin
mendekati Joshua kembali. Setelah memikirkan segalanya, Kiara bisa
memaklumi apa yang ada di benak Joshua.

Lelaki itu mengamati ekspresi Kiara dan kemudian tersenyum, “Aku


ingin kau berlatih dengan Deliah, selama beberapa hari ini, dia akan
mengajarimu bagaimana menjadi perempuan penggoda. Meskipun bukan
perempuan tulen, Deliah punya banyak pengalaman dengan perempuan-
perempuan semacam itu, jadi dia bisa mengajarimu.” Joshua terkekeh,
kemudian menatap Kiara dengan tatapan serius, “Aku akan memberikan
gaji tambahan untuk tugasmu ini Kiara, jadi kau tidak perlu cemas, yang
aku minta adalah kau melakukan pekerjaanmu ini dengan sebaik-baiknya.”

Kiara terpekur kebingungan. Sebenarnya dia tidak membutuhkan gaji


tambahan lagi. Apa yang diberikan Joshua kepadanya saat ini sudah lebih
dari cukup. Makanan setiap hari, tempat bernaung yang luar biasa
indahnya. Kiara tidak ingin meminta apa-apa lagi, yang dia inginkan adalah
membantu Joshua sekuatnya. Lelaki itu adalah penolongnya dan Kiara akan
melakukan apa saja untuk membalas budi.

BAB 10

Hari masih pagi ketika Kiara bangun dan menyiapkan sarapan, kamar
Jason dan Joshua masih tertutup rapat, kalau Joshua, Kiara sudah maklum
karena lelaki itu selalu menggunakan waktu paginya untuk tidur karena
semalaman hampir tidak tidur. Tetapi rupanya Jason juga bangun
kesiangan pagi ini. Kiara mengernyitkan keningnya karena tidak biasanya
Jason kesiangan.

Setiap hari lelaki itu selalu bangun pagi, sudah mandi dan rapi dengan
aroma segar yang menyenangkan lalu duduk di meja dapur, makan
sarapannya bersama Kiara.

Sudah hampir dua minggu berlalu sejak Jason datang untuk tinggal di
apartemen ini. Dan dalam dua minggu itu, banyak sekali kejadian, dan
perubahan, terutama bagi Kiara.

Selama dua minggu kemarin, Joshua selalu bangun pagi sarapan


bersama Kiara dan Jason, kemudian dia mengantar Kiara ke tempat Deliah,
di sana Kiara menghabiskan waktunya seharian.

Semula Kiara agak canggung ketika berduaan dengan Deliah, apalagi


Kiara mengetahui bahwa Deliah dulunya laki-laki sebelum berubah
menjadi perempuan. Tetapi Deliah memang memiliki sifat yang sangat
ramah dan baik.

Setiap hari ketika Kiara datang, dia akan membuat seteko teh mint
yang harum dan sepiring kue cokelat yang baru keluar dari panggangan,
kemudian mengajak Kiara mengobrol dan mencairkan suasana. Dari
mengobrol itulah Deliah megajarkan banyak hal kepada Kiara, semua
pengetahuannya tentang dunia fashion di tularkannya, tak lupa dia
mengajari cara berjalan, table manner di acara makan malam resmi, cara
berbicara, dan bahkan cara memadu padankan pakaian supaya tampil
cantik.

Deliah selalu menekankan bahwa dia harus berperan sebagai wanita


penggoda nanti ketika ayah kandung Joshua sudah muncul. Pipi Kiara
selalu merona merah ketika Deliah mengatakan bahwa Kiara harus
melemparkan tatapan sensual penuh ajakan kepada Joshua setiap saat, juga
senyuman nakal, bibir yang merekah penuh godaan.

Deliah memang sudah mengajari Kiara semua caranya, dan Kiara


menyerapnya, juga belajar sendiri di cermin, memonyong-monyongkan
bibirnya, atau bahkan mencoba mengedip-ngedip genit kepada
bayangannya sendiri di depan cermin, yang membuatnya tertawa sendiri di
kamar.

Bagaimanapun juga, Kiara masih tidak mampu membayangkan


bagaimana caranya dia melakukan itu semua pada Joshua. Pipinya selalu
merona dan wajahnya terasa panas kalau membayangkan akan mengedip
genit kepada Joshua, atau menyapukan jemarinya sambil menatap sensual
penuh ajakan kepada Joshua. Ah, Ya ampun, bagaimana mungkin dia
melakukannya?

Kiara menyiapkan sarapan itu dengan pipi memerah. Kemudian


pikirannya berkelana lagi, Deliah sudah menyerahkan Kiara kepada Joshua
kemarin, dan mengatakan bahwa Kiara sudah siap. Yah mungkin secara
teori Kiara sudah siap.... tetapi prakteknya nanti? Entahlah. Yang pasti Kiara
akan berusaha sebaik mungkin, dia tidak ingin mengecewakan Joshua yang
sudah berharap banyak kepadanya.

Cara berpakaian Kiara pun sudah berubah, tiba-tiba saja lemari


pakaiannya sudah penuh dengan pakaian-pakaian mahal dari butik
ternama, ada rak sepatu khusus yang dibelikan oleh Joshua untuk
menampung koleksi sepatunya yang tiada duanya, belum lagi susunan
aksesoris, tas dan semua perhiasan yang diberikan Joshua kepadanya.
Lelaki itu benar-benar boros dan membuang-buang uang. Kiara
berpikir akan dikemanakan semua barang itu kalau semua sandiwara ini
sudah selesai. Tentu saja semua barang ini hanya pinjaman dan bukan
untuk Kiara bukan?

Karena itulah Kiara sangat berhat-hati memakai semua barang itu,


berusaha supaya nanti ketika barang itu dikembalikan, kondisinya masih
bagus dan sempurna. Kiara benar-benar berhati-hati apalagi mengingat
betapa mahalnya harga barang-barang itu.

Pagi ini Kiara mengenakan gaun satu potong yang ringan dan elegan,
bahannya sifon dengan warna ungu lavender yang lembut dan menjuntai
sampai ke tengah betisnya. Tampak sangat indah dipakai olehnya,
membuat tubuhnya yang mungil tampak berisi.

Deliah bilang Kiara terlalu kurus dan harus menambah berat


badannya, dan sepertinya selama dua minggu ini, Kiara berhasil menambah
berat badannya beberapa kilo sehingga bagian-bagian yang seharusnya
terisi penuh, mulai terisi dengan indahnya.

Kadangkala Kiara masih sering terpaku menatap dirinya di cermin dan


tidak mengenali dirinya sendiri. Lalu dia tersenyum dan kemudian
mengucap syukur kepada Tuhan atas kesempatan yang diberikan
kepadanya.

Bahkan sekarang Kiara punya ponsel. Joshua membelikan Kiara ponsel


canggih dengan fitur-fitur yang Kiara sendiri tidak tahu cara memakainya,
sementara nomor di ponsel itu hanya menyimpan nomor telepon Joshua
saja, meskipun kemudian Kiara mengingat tentang Irvan yang dulu sempat
menanyakan nomor ponselnya. Kiara sangat ingin mengunjungi Irvan di
cafe, meskipun dia harus memikirkan caranya menemui Irvan tanpa harus
berurusan dengan Pak Sonny yang setiap hari ada di cafe itu.
Bagaimanapun juga, Irvan adalah satu-satunya orang yang bersikap baik
kepadanya di sana, sahabatnya. Dan Kiara tidak mungkin melupakan
kebaikannya. Tetapi karena setiap pagi Kiara harus ke tempat Deliah dan
baru pulang menjelang malam, tidak ada kesempatan baginya untuk
mengunjungi Irvan.

Mungkin besok dia bisa kesana... gumamnya dalam hati, sambil


menaburkan bumbu ke masakannya,

Ketika Kiara menuang bacon panas yang beraroma harum dan menata
kentang goreng di piring. Bel pintu apartemen berbunyi, membuat Kiara
mengernyitkan keningnya.
Mereka hampir tidak pernah menerima tamu di apartemen ini. Hanya
Jason satu-satunya tamu yang pernah datang kemari sejak Kiara tinggal di
sini, dan kemudian menetap di sini.

Kalau begitu siapa?

Dengan langkah ragu, Kiara mengintip melalui kaca cembung untuk


mengintip di pintu apartemen. Dia mengernyit, tidak mengenali lelaki bule
tua berbadan besar itu yang sedang berdiri dengan ekspresi tidak sabar di
depan pintu.

Otaknya berputar cepat, dan kemudian langsung menyadari bahwa


mungkin saja saatnya sudah tiba. Mungkin saja lelaki itu adalah ayah
kandung Joshua yang datang untuk mengunjunginya!

Kiara meragu, takut untuk membuka pintu. Bel pintu berbunyi lagi,
tetapi Kiara tetap menahan diri untuk menahan pintu. Mungkin saja lelaki
itu ayah kandung Joshua, tetapi mungkin saja tidak bukan? Kiara harus
berhati-hati membuka pintu untuk orang asing.

Dia harus membangunkan Joshua.

Jantungnya berdebar, menyadari betapa buruknya mood Joshua kalau


dibangunkan paksa di pagi hari. Tetapi bagaimana lagi? Kiara tidak bisa
duduk diam dan membiarkan bel itu terus berbunyi dan menunggu sampai
tamu itu menyerah lalu pergi bukan?

Siapa tahu itu tamu penting...?

Dengan ragu, Kiara mengetuk pintu kamar Joshua. Pelan... sekali, dua
kali, dan kemudian sedikit lebih keras. Tetapi tetap saja tidak ada jawaban.

Kiara akhirnya memberanikan diri memegang handel pintu yang


ternyata tidak dikunci itu. Dari celah pintu yang terbuka sedikit, Kiara bisa
melihat Joshua tengah tertidur pulas, terbaring terngkurap di atas ranjang
berukuran besar. Selimut polos berwarna gelap tampak menggumpal di
kakinya, sementara seperti biasanya, lelaki itu tidur hanya mengenakan
celana panjang piyama dan bertelanjang dada.

Kiara melangkah masuk, berdiri ragu di depan pintu kamar, kemudian


memanggil Joshua,
“Joshua?” suaranya agak keras, berharap bisa membangunkan lelaki
itu dari jarak jauh, tetapi rupanya usahanya sia-sia karena Joshua tampak
pulas bahkan tidak bergerak dari posisinya.

Ragu, Kiara melangkah mendekat lagi, menelan ludahnya ketika sudah


berdiri di sisi ranjang, menatap punggung telanjang Joshua yang berotot
dan indah.

“Joshua?” Kiara setengah membungkuk di dekat lelaki itu. Tetapi


panggilannya hanya mampu menghasilkan sedikit kerutan di alis Joshua.

Sambil menghela napas, Kiara meletakkan jemarinya di pundak


telanjang Joshua, merasakan dirinya merona ketika kulit hangat itu
menempel di telapak tangannya.

“Joshua?” Kiara mengguncang pundak Joshua.

Seketika itu juga, jemari kuat Joshua menarik Kiara yang mungil,
membuat Kiara memekik ketika lelaki itu membanting tubuh Kiara ke atas
ranjang dan kemudian setengah menindih tubuhnya.

Kiara berusaha meronta, tetapi pegangan Joshua kepada dirinya


sangatlah kuat. Mata lelaki itu setengah terpejam, sepertinya masih
setengah tidur, dan senyumnya begitu sensual, senyum yang tidak pernah
ditunjukkannya kepada Kiara sebelumnya.

“Kau ingin menggodaku di pagi hari sayang?” Joshua berbisik serak,


lalu mengecup leher Kiara seringan bulu, membuat sekujur tubuh Kiara
merinding. Dia langsung memekik dan mendorong tubuh Joshua sekuat
tenaga, membuat lelaki itu tersentak dan kemudian membuka matanya,
kali ini benar-benar sadar.

Joshua tampak mengerjap bingung, dia kemudian menunduk, menatap


Kiara yang terbaring di bawah tubuhnya dan mengerutkan keningnya,

“Apa yang kau lakukan di bawah situ?”

Pipi Kiara merah padam, dia malu setengah mati. Di sini, berbaring di
atas ranjang, di bawah tindihan tubuh Joshua yang telanjang dada. Astaga.
Tidak pernah dipikirkannya sebelumnya akan terjadi begini ketika
menyentuh pundak Joshua. Tahu begitu Kiara akan mengambil tongkat
atau apa untuk menggoyang-goyangkan tubuh Joshua dari jarak jauh. Well
ya, kalau nanti dia harus membangunkan Joshua lagi, dia akan
menggunakan cara itu,
“Aku... aku berusaha membangunkanmu.. ada tamu.... aku menyentuh
pundakmu dan kau membantingku ke ranjang.”

Ekspresi Joshua tidak terbaca, dia mengerutkan kening lalu secepat


kilat melepaskan Kiara dari tindihannya, berguling ke samping dan
kemudian meluncur berdiri di tepi ranjang,

“Lain kali hati-hati kalau membangunkanku.” Gumamnya dingin, “Dan


kenapa kau membangunkanku? Tamu apa yang kau maksud?”

Kiara sendiri langsung bangkit dari ranjang ketika Joshua melepaskan


tindihannya, wajahnya merah padam dan terasa panas hingga dia harus
meletakkan tangannya di lehernya untuk meredakan panasnya,

“Tamu.... seorang lelaki tua asing.. aku pikir.. aku pikir akhirnya ayah
kandungmu mengunjungimu.”

Ekspresi Joshua langsung berubah keras, sedikit menakutkan.

“Kau yakin?”

“Aku tidak tahu..” Kiara menggelengkan kepalanya, “Tetapi dia tamu


pertama di apartemen ini, dia pria asing, berambut kelabu, sangat tinggi.....
apakah kau tidak ingin mengintipnya dulu?”

“Tidak.” Bibir Joshua menipis, “Itu sudah pasti ayahku, aku tidak
sedang menunggu tamu manapun. Aku akan mandi dulu sebelum
menemuinya.” Lelaki itu menatap Kiara dengan serius, “Ingat peranmu
mulai sekarang, Kiara. Kau adalah simpananku, perempuan penggoda,
perempuan jalang yang tak jelas asal usulnya dan penggila harta,
sementara itu aku tergila-gila kepadamu.” Lelaki itu terkekeh, “Aku tak
sabar untuk melihat reaksi tua bangka itu. Persilahkan dia masuk dan
menungguku.”

Kemudian Joshua membalikkan badan dan masuk ke kamar mandi.

***

Bel pintu sudah tidak berbunyi ketika Kiara keluar sehingga dia
mengira tamu itu sudah pergi. Tiba-tiba dia menyesal jangan-jangan dia
terlalu lama membangunkan Joshua tadi sehingga membuat lelaki itu
pulang.
Tetapi ketika Kiara mengintip, dia masih melihat lelaki bule itu berdiri
di pintu dan menunggu, dengan hati-hati Kiara membuka pintu,
membiarkan rantai gerendelnya masih menempel di sana untuk berjaga-
jaga.

“Mencari siapa?” Tanyanya hati-hati.

Lelaki tua itu langsung menegakkan tubuhnya ketika Kiara membuka


pintu dan mengintip dari baliknya, matanya menelusuri Kiara, sepertinya
tidak menyangka kalau Kiara yang membukakan pintu untuknya, lelaki itu
melemparkan tatapan mata penuh spekulasi sebelum kemudian
bergumam,

“Aku mencari Joshua. Anakku.” Suaranya berat dan dalam, penuh


wibawa dengan bahasa indonesia yang terpatah-patah.

Jadi benar. Orang ini adalah ayah kandung Joshua. Kiara teringat
bahwa dia harus menjalankan perannya dengan baik, karena itulah dia
tersenyum dengan gaya ceria yang sedikit menggoda, mengangkat alisnya
dibuat-buat.

“Setahuku ayah Joshua sudah meninggal.” Kiara dengan berani


menelusuri sosok lelaki di depannya, sengaja membuat lelaki itu jengkel,
meskipun dalam hatinya dia gemetar setengah mati.

Dan usahanya berhasil, lelaki tua itu tampaknya termakan oleh usaha
Kiara untuk bersikap sebagai perempuan menyebalkan. Wajahnya
memerah meskipun lelaki itu masih berusaha bersikap sopan,

“Aku ayah kandung Joshua, sekarang buka pintu ini dan biarkan aku
bertemu anakku.” Gumamnya tegas, menatap Kiara dengan mata menyala-
nyala, membuat Kiara hampir saja mundur selangkah ketakutan.

“Biarkan dia masuk sayang.” Tiba-tiba saja Joshua sudah berdiri di


belakangnya, memegang pundaknya dengan lembut dan begitu dekat di
sana, sampai Kiara bisa mencium aroma sabun yang bercampur
dengan after shave dan parfum beraroma maskulinnya.

Lalu jemari Joshua terlurur melewati Kiara dan membuka gerendel itu.
Sebelah lengan lelaki itu merangkul Kiara dengan posesif dan kemudian
mereka berdiri berhadapan dengan lelaki itu, ayah kandung Joshua.

“Kau tidak mempersilahkan aku masuk?” gumam lelaki tua itu datar.
Joshua menegang, Kiara bisa merasakannya meskipun lelaki itu
tampak berusaha bersikap datar, tetapi sepertinya semua kemarahan dan
kebencian terpupuk di sana, membuat seluruh tubuhnya menegang.

“Masuklah.” Lelaki itu menghela Kiara masih dalam rangkulan


lengannya, kemudian mengajaknya duduk di sofa, “Pengacaramu sudah
memberitahukan kedatanganmu, aku tidak menyangka kau sebodoh itu
membuang-buang waktumu dengan datang kemari.”

Panggilan ber ‘aku’ dan ber ‘kamu’ yang dipakai Joshua kepada
ayahnya sepertinya dilakukan dengan sengaja, untuk menunjukkan bahwa
jelas-jelas Joshua tidak menganggap lelaki itu sebagai ayahnya. Sebuah
penghinaan frontal yang disengaja dan rupanya efektif karena ekspresi
ayah kandung Joshua memucat dan tampak tidak senang.

Lelaki itu duduk di sofa di depan Joshua dan mengamati sekeliling


ruangan, dia mencoba berbasa-basi,

“Tempat yang bagus.” Gumamnya bersikap tak mendengar kata-kata


Joshua tadi yang menyebutnya bodoh. Kali ini dengan memakai bahasa
inggris, untunglah Kiara cukup mengerti bahasa inggris dari pelajaran
SMUnya dan kursus singkat intensifnya bersama Deliah yang serba bisa.

Joshua mengangkat alisnya, jemarinya menelusuri pinggang Kiara


sambil lalu, sebuah gerakan ringan tapi mesra, menunjukkan kepemilikan,
membuat Kiara harus berusaha keras supaya tidak salah tingkah.

“Tentu saja, dan aku membelinya dari hasil kerja kerasku sendiri.”

Lelaki itu tersenyum dan menatap Joshua dalam-dalam, “Kau bisa


menadapatkan beberapa kastil indah, lengkap dengan tanah pegunungan
yang luas, kekayaan yang berlimpah sehingga kau bisa membeli puluhan
apartemen seperti ini, sebanyak yang kau mau Joshua, kalau saja kau mau
mendengarkan perkataan pengacaraku.”

“Aku tidak butuh hartamu.” Tatapan Joshua berubah dingin, dia lalu
melemparkan senyuman sensual kepada Kiara, “Benar kan, sayang?”

Saatnya berakting. Kiara memutar bola matanya dengan genit, “Kalau


ada kesempatan kau bisa lebih kaya dari sekarang, tentu saja tidak boleh
kau tolak Joshua, itu akan menguntungkanku juga.” Gumamnya dengan
nada genit yang meskipun sedikit kaku pada awalnya tapi tampak
meyakinkan.
Joshua terkekeh dan kemudian menarik Kiara semakin rapat
kepadanya, “Oh ya, aku belum memperkenalkanmu. Ini.... Wiliam.” Joshua
dengan kurang ajarnya menyebut nama ayahnya langsung, “Dia seorang
bangsawan... aku lupa gelarmu.”

“William Sinclair, Earl of Moray.” Sahut William dengan dingin. Seperti


dugaan Joshua, masalah gelar dan darah bangsawan sangatlah sensitif bagi
lelaki tua itu. Dan Joshua akan menggunakannya sebagai senjata.

“Yah begitulah namanya Kiara, aku sendiri susah mengingatnya,


lagipula nama gelar itu tidak ada artinya di negara ini.” Joshua sengaja
melemparkan pandangan mencemooh, “Dan perkenalkan, ini adalah
Kiara..... Kiara saja tanpa embel-embel nama lain sepertinya karena gadis
ini sebatang kara sebelum aku memungutnya dari panti asuhan.” Joshua
tertawa sendiri, “Kiara ini adalah calon isteriku.”

Wajah William langsung pucat pasi, memandang Kiara dan Joshua


berganti-ganti. Sikap dan kata-kata Kiara tadi, apalagi menyangkut
kekayaan, sudah bisa membuat William mengetahui tipe perempuan
seperti apa yang sekarang sedang menempel di tubuh anaknya seperti
lintah penghisap darah.

Dan dari panti asuhan berarti tidak diketahui asal usulnya! William
tidak bisa menerima itu. Bagaimanapun juga, Joshua menyimpan darah
Sinclair di tubuhnya, darah bangsawan yang murni dari miliknya yang
diturunkan oleh nenek moyangnya yang terhormat. Dan sekarang Joshua
akan menikahi perempuan yang tidak jelas asal usulnya? Akan seperti apa
keturunan mereka nanti? Perempuan itu akan menodai kemurnian darah
Sinclair mereka, darah terhormat yang sekarang hanya ada di tubuh
Joshua. Dia harus menyelamatkan darah bangsawan itu. Joshua harus
menikah dengan perempuan bangsawan yang terhormat, supaya
keturunan Sinclair berikutnya berasal dari darah murni. Bukan dari
perempuan yang tidak jelas seperti ini.

“Aku datang kemari untuk membicarakan warisan gelarmu.” William


memulai, pura-pura tidak mendengar perkenalan Joshua tentang Kiara tadi,
“Kau adalah anakku satu-satunya, satu-satunya Sinclair murni yang
tersisa.”

“Dan apakah pengacaramu tidak mengatakan kepadamu bahwa aku


menolaknya? Aku tidak butuh hartamu, gelarmu atau bahkan warisan
darahmu. Kalau saja aku bisa membuangnya, akan aku buang dari tubuhku
semua jejak yang menghubungkanku padamu,” Mata Joshua menggelap,
“Kedatanganmu sia-sia Pak Tua, Aku menikmati hidup di sini, bersama
kekasihku yang menggairahkan dan tawaranmu sama sekali tidak
menggodaku.”

“Kau tidak boleh menikahinya.” Tiba-tiba William terpancing emosi,


menatap Kiara dengan penuh kebencian, membuat Kiara sedikit beringsut
dari duduknya. Untunglah jemari Joshua di pinggangnya menguatkannya,
lelaki itu memeluknya makin erat seolah akan menjaganya.

“Kenapa tidak boleh? Kami saling mencintai dan saling memuaskan,


aku sudah tinggal bersamanya selama beberapa bulan dan percintaan kami
sangat memuaskan, benar kan sayang?”

Nada suara Joshua penuh siratan makna, membuat pipi Kiara merona,
tetapi dia menganggukkan kepalanya, mengimbangi kata-kata Joshua
dengan kedipan genit menggoda, “Benar sayang. Dan aku tidak sabar
menunggu kita menikah dan kemudian mendapatkan cincin dengan berlian
raksasa yang kau janjikan itu.” Ide untuk mengatakan hal-hal semacam itu
sebenarnya berasal dari Deliah, Deliahlah yang mengarahkannya untuk
selalu menyinggung uang dan perhiasan.

Joshua terkekeh, “Kau akan mendapatkannya nanti sayang.”

Wiliam rupanya sudah tidak tahan lagi, lelaki itu langsung berseru,
“Kau tidak boleh menikahinya, Joshua. Darah keluarga Sinclair akan
tercemar kalau kau menikahi perempuan dengan asal usul tidak jelas, aku
sudah memilihkan calon isteri untukmu, perempuan bangsawan,
berpendidikan tinggi, modern dan sempurna untukku, dia sedang dalam
perjalanan menyusulku kemari untuk menemuimu. Segera setelah kau
melihatnya, kau akan sadar bahwa kau sudah membuat pilihan buruk!
BAB 11

Mata Joshua tampak menggelap mendengar kata-kata arogan Wiliam,


bibirnya menipis menahan marah,

“Berani-beraninya kau menghina calon isteri pilihanku.” Gumamnya


gusar, “Keluar dari rumah ini sekarang.”

William tampak kaget diusir dengan tidak sopan seperti itu. Dia
terbiasa dihormati, orang-orang terbiasa membungkuk hormat kepadanya.
Dan sekarang dia diusir oleh anak kandungnya sendiri? Sungguh
penghinaan yang menyinggung harga diri William, tetapi dia
menahankannya. William membutuhkan Joshua. Hanya anak itulah satu-
satunya laki-laki keluarga Sinclair yang masih hidup. Selama berapa dekade
ini, keluarganya telah dikutuk selalu melahirkan anak perempuan yang
tentu saja tidak bisa diandalkan untuk meneruskan nama gelarnya. Lalu
penyakit jantungnya yang menyebabkannya tidak bisa mempunyai
keturunan meyerangnya. Membuatnya tergantung hanya kepada Joshua.
William akan rela menahankannya. Tidak apa-apa, asalkan gelar dan nama
keluarga selamat di masa depan.

Dia kemudian beranjak dari duduknya dan bergumam geram, “Aku


akan pergi sekarang. Tetapi aku akan kembali lagi, dengan membawa calon
isterimu, Joshua. Calon isteri yang sangat berkelas dan cocok untukmu.”
Setelah mengucapkan kata-kata angkuh itu, William melangkah pergi
meninggalkan apartemen itu.

Lama kemudian Joshua masih termenung, dengan marah menatap ke


arah pintu, tempat William menghilang, matanya menyala nyaris
menakutkan.

“Lelaki tua bangka tak tahu diri.” Desisnya, ”Seenaknya dia


membuangku dan sekarang dia ingin memilikiku? Dia tidak tahu sedang
berhadapan dengan siapa!” Sinar kebencian memancar di mata Joshua,
membuat Kiara beringsut menjauh, gerakan Kiara itu tampaknya
menyadarkan Joshua, lelaki itu langsung melepaskan pegangannya di
pinggang Kiara, dan menatapnya dalam,
“Aktingmu tadi bagus sekali meski awalnya sedikit kaku.” Gumam
Joshua ringan, “Kau mungkin harus sedikit berusaha membiasakan diri
dengan sentuhanku.”

Dan kemudian, tanpa disangka-sangka, Joshua menarik pinggang Kiara


lagi, dan menciumnya. Membuat Kiara ternganga kaget ketika bibirnya
dilumat oleh Joshua tanpa ampun. Dia hendak memekik, tetapi kemudian,
sentuhan bibir Joshua berubah lembut, menyesap bibirnya seolah begitu
menikmatinya, dan juga jemarinya bergerak lembut, menelusuri lengan
Kiara, naik dan turun.

“Wow.”

Itu suara Jason yang baru keluar dari kamar. Membuat Joshua dan
Kiara terperanjat. Secepat kilat, saat itu juga, Joshua langsung mendorong
Kiara hingga hampir terjungkal di sofa. Jason sendiri tampak menikmati
sekali wajah-wajah gugup di depannya. Lelaki itu tampaknya sudah bangun
lama, tetapi memilih tidak keluar selama ayah kandung Joshua bertamu
tadi. Sekarang Jason dengan sengaja melemparkan tatapan mata penuh arti
dan berganti-ganti ke arah Joshua dan Kiara, “Jadi yang barusan kulihat tadi
apakah....” suaranya penuh spekulasi, dan Joshua langsung menyahut ketus,

“Itu tadi latihan supaya Kiara lebih terbiasa dengan sentuhanku.” Mata
Joshua menatap Kiara tajam, “Benar bukan Kiara?”

Ditatap setajam itu, dengan tatapan yang sangat mengancam, Kiara


tidak bisa melakukan hal lain selain menganggukkan kepalanya. Meskipun
sekarang bibirnya terasa panas membara. Joshua telah merenggut ciuman
pertamanya!

“Kau boleh pergi Kiara, siapkan makanan, aku ingin makan.” Joshua
mengalihkan pandangan seolah tak peduli. Dan Kiara yang ingin segera
melarikan diri dari suasana canggung yang menyesakkan itu langsung
bangkit dan setengah berlari menuju dapur.

***
Jason mengambil tempat duduk di sebelah Joshua, melirik lelaki itu
yang berpura-pura memusatkan pandangannya kepada televisi.

“Kenapa kau menciumnya?” tanya Jason langsung dengan lugas,


membuat Joshua membelalakkan matanya marah kepada sahabatnya itu,

“Kenapa kau bertanya lagi? Aku kan sudah bilang untuk latihan.”

“Menurutku latihan terbiasa menyentuh tidak perlu dengan ciuman


semacam itu, apalagi ciuman yang amat sangat bergairah, kau seperti
sudah akan melumatnya habis-habiskan kalau aku tidak keluar tadi.”

“Diam!” Joshua menggeram, tidak mau lagi mendengar analisa dari


Jason. Sementara itu benaknyapun berkecamuk oleh berbagai pertanyaan.
Kenapa dia mencium Kiara? Benarkah hanya karena latihan? Kenapa dia
begitu impulsif menarik Kiara ke dalam pelukannya dan menciumnya
habis-habisan?

***

Perempuan cantik itu menuju ke tempat penjemputan dan menunggu,


sambil menunggu dia mengeluarkan ponselnya dan menatapnya dalam
senyuman. Ada foto Joshua di sana. Calon suaminya yang sangat tampan.
Yah, mereka memang sepadan. Carmila adalah puteri ke empat dari
bangsawan yang menjadi sahabat Wiliam Sinclair. Dan ketika lelaki itu
melamarnya kepada ayahnya, untuk menjadi calon isteri anak lelakinya
yang berada di negara yang jauh, semula Carmila menolak dan ragu.

Yah, dia adalah perempuan berpendidikan tinggi, meskipun berdarah


bangsawan, Carmila tidak berpandangan kuno seperti ayahnya. Dia
menjadi CEO perempuan yang sangat disegani di perusahaan tempatnya
bekerja, dan otaknya sangat encer dengan jenjang pendidikan yang sangat
tinggi.

Perjodohan adalah pilihan terakhirnya, tetapi kemudian, ketika dia


melihat foto Joshua, yang ditunjukkan kepadanya. Carmila langsung jatuh
hati seketika itu juga. Dan ketika seorang Carmila jatuh hati, maka dia
harus memiliki. Tidak pernah ada orang yang bisa menolak pesona Carmila
Stuart sebelumnya. Dan Carmila yakin, Joshua akan takluk dalam
pesonanya.

Dia datang sesuai dengan permintaan William, anak hilangnya itu


memang sangat keras kepala dan menolak perjodohan ini, dan itu pasti
lebih disebabkan karena dia tidak mengetahui bahwa calon isterinya
secantik dan sesempurna Carmila.

Tubuhnya tinggi semampai dengan lekukan yang sangat indah dan


berisi, rambutnya panjang dan pirang keemasan, membingkai wajahnya
yang keseluruhannya cantik dan sempurna. Orang-orang di bandara ini
bahkan selalu menoleh dua kali ketika melihatnya.

Carmila tersenyum penuh percaya diri. Joshua pasti akan terpesona


dengannya. Lelaki itu akan bertekuk lutut di kakinya. Mereka memang
sudah seharusnya bersama, darah bangsawan di tubuh mereka memang
sudah seharunya menyatu.

“Carmila.” Suara dalam dan berat itu membuat Carmila mengangkat


kepalanya. William calon ayah mertuanya sudah berdiri di sana.

“Hai papa.” Carmila bahkan sudah memanggil William dengan sebutan


‘papa’ sesuai permintaan lelaki itu sendiri, yang begitu yakin bahwa
Carmila akan menjadi anak menantunya.

“Aku senang kau datang tepat waktu, mari ke mobil, aku sudah
menyewakan kamar suite di hotel terbaik di kota ini.” William
menghelanya dengan sopan dan dengan langkah anggun. Carmila
mengikuti langkah lelaki itu.

Mereka masuk ke dalam mobil hitam besar yang telah menunggu di


luar, di dalam mobil, Carmila menatap wajah William yang tampak gusar,

“Kenapa papa? Apa yang mengganggumu?”

William mendengus, “Joshua. Dia mempunyai kekasih, seorang


perempuan yang seperti lintah pengisap harta, perempuan murahan dan
anak lelakiku yang bodoh itu tergila-gila karena nafsunya.” Mata William
menggelap, tetapi kemudian dia menatap ke arah Carmila dan tersenyum
puas, “Tetapi sekarang kau sudah di sini Carmila, begitu Joshua melihatmu,
dia akan menyadari betapa bodohnya dirinya. Kau akan
menyelamatkannya.”

“Tentu saja papa. Lihat saja nanti, aku tidak sabar untuk bertemu
Joshua dan juga kekasihnya yang murahan itu.” Tawa merdu terdengar dari
bibirnya, tawa yang penuh percaya diri.

Ya. Carmila yakin, begitu bertemu dengannya, Joshua pasti akan


bertekuk lutut di kakinya. Semua lelaki selalu bereaksi sama terhadap
pesona Carmila.

***

“Selamat pagi.” Keesokan harinya, tidak seperti biasanya, Joshua sudah


bangun dan rapi. Lelaki itu berdiri di ambang pintu dapur, menatap Kiara
dengan canggung, “Buatkan sarapan untukku juga ya.”

“Iya, sebentar lagi siap.” Kiara menjawab tak kalah canggung. Ciuman
Joshua kemarin, membuat Kiara salah tingkah sepanjang hari. Dia berusaha
menghindari Joshua sejauh mungkin, menjauhkan kontak mata dan
bersembunyi dari lelaki itu. Kiara bingung dan ketakutan dengan
perasaannya sendiri. Dia tidak pernah berciuman dengan lelaki manapun
sebelumnya, dan ciuman Joshua kemarin menumbuhkan perasaan yang
tidak diketahuinya. Perasaan aneh yang membuatnya susah tidur
semalaman, menatap langit-langit kamar dengan bingung, tak tahu harus
berbuat apa.

“Aku ingin minta maaf.” Tiba-tiba Joshua bergumam, membuat Kiara


terlonjak karena kaget, dia menyangka Joshua sudah pergi sejak tadi.

“Maaf tentang apa?” Kiara bergumam santai, berusaha fokus pada


masakannya dan seolah-olah tidak diberatkan oleh sesuatupun mengenai
Joshua.

“Tentang ciuman kemarin.” Mata Joshua menatap tajam, bergumam


tanpa basa basi yang langsung membuat pipi Kiara merah padam. “Aku
sendiri tidak tahu kenapa aku melakukannya, mungkin aku terbawa
perasaan setelah bertemu ayah kandungku, aku marah dan kemudian
melampiaskannya kepadamu. Itu tidak adil untukmu, maafkan aku.”

Kiara tercenung, bingung harus menjawab apa. “Tidak apa-apa.”


Gumamnya lemah, kemudian.

Joshua tampaknya masih belum selesai, dia berdiri di sana menatap


Kiara dengan tatapan tajam, “Dan jangan menghindariku Kiara, aku tahu
kemarin seharian kau menghindariku seperti wabah. Sandiwara kita ini
belum selesai, aku tahu ayah kandungku tidak akan menyerah begitu saja,
jadi untuk mempersiapkannya kau harus membiasakan diri ada di
dekatku.”

Kiara hanya bisa menganggukkan kepalanya, mencoba menghindari


kontak mata dengan Joshua. Lelaki itu tampaknya kesal dengan sikap Kiara
tetapi memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa, setelah mendesah,
Joshua menghentakkan kakinya pergi, membuat Kiara langsung menghela
napas panjang dan merasa lega luar biasa.

***

Kali ini Kiara harus menghadapi Jason yang usil. Lelaki berwajah
tampan itu menatap Kiara dengan tatapan menyelidik, seolah-olah
berusaha menelanjangi hati Kiara.

“Jadi bagaimana?” Jason bertanya sambil melahap roti bakarnya, dia


akhirnya mengeluarkan suara setelah lama mengamati Kiara yang berpura-
pura tidak menyadari bahwa dia sedang diamati dengan begitu intens.

“Bagaimana apa?”

“Ciuman itu.” Jason tersenyum lambat-lambat, “Aku yakin itu adalah


ciuman pertamamu.”

Pipi Kiara langsung merah padam. “Kau tidak bisa yakin.” Jawabnya
setengah ketus, meletakkan secangkir kopi panas di depan Jason.
“Aku yakin.” Kali ini Jason terkekeh, “Aku sangat ahli mengenai
perempuan, Kiara. Dan dengan melihatmu sekali saja aku tahu bahwa kau
tidak berpengalaman, ciuman kemarin pasti sangat mengejutkanmu.”

Memang. Begitu mengejutkan hingga Kiara merasakan jantungnya


hampir lepas. Kiara menghela napas panjang, menatap Jason memohon

“Bisakah kita tidak membahas itu, please?”

Jason mengangkat alisnya, “Terserah padamu Kiara, tetapi perlu kau


ingat, aku akan selalu ada kalau kau ingin bertanya...” senyumnya
mengembang, “Atau kalau kau ingin praktek, aku akan siap sedia. Aku
yakin ciumanku akan lebih nikmat daripada yang bisa diberikan oleh
Joshua.”

Kiara melempar lap yang sedang dipegangnya ke arah Jason dengan


marah, kesal karena Jason keterlaluan menggodanya, lelaki itu bukannya
tersinggung dilempar lap, malahan tertawa. Lama-lama Kiara ikut
tersenyum juga dengan malu, yah bagaimanapun juga, sikap Jason yang
penuh canda ini sedikit menghibur Kiara.

“Jangan marah padaku.” Jason bergumam lembut kemudian, “Aku


cuma menggodamu kok, tentu saja gadis lugu dan polos sepertimu tidak
akan pernah masuk kriteriaku.” Jason mengedipkan sebelah matanya,
“Sebagai orang yang berpengalaman, aku hanya bisa memintamu untuk
berhati-hati, Kiara. Hati-hatilah dengan hatimu. Kadangkala perasaan itu
sudah ada bahkan sebelum kau menyadarinya.” Sambil mengucapkan
kalimat misterius itu, Jason berjalan pergi, membawa cangkir kopi di
sebelah tangannya dan melangkah keluar dari dapur.

***

Ketika bel berbunyi lagi, Joshua, Kiara dan Jason sedang duduk di sofa
dan menonton televisi dalam keheningan, mereka kemudian saling
melempar pandang, dan tanpa mengintip-pun, mereka tahu siapa yang
datang.
“Kau masuk ke kamar, Jason. Dan Kiara.... gantilah bajumu dengan
gaun yang sedikit seksi.”

Kiara dan Jason sama-sama melangkah ke arah kamar masing-masing,


dengan Jason yang terkekeh menggoda Kiara yang merah padam karena
disuruh memakai baju seksi oleh Joshua.

Kiara masuk ke kamar, dan berdiri di depan lemari pakaiannya,


bingung akan memilih gaun yang mana. Deliah selalu bilang jika ingin
tampil seksi, pakailah warna hitam. Mata Kiara menelusuri gaun-gaun yang
tergantung di lemari pakaiannya, lalu tangannya menyentuh gaun sutera
warna hitam itu, dengan korset yang ketat di dadanya, kemudian bagian
bawahnya mengembang sempurna sampai di bawah lutut. Gaun ini tampak
cukup seksi sekaligus pantas dikenakan di rumah pada malam hari,
putusnya.

Kiara memilih memakai gaun itu, dia menatap ke arah cermin,


mengagumi betapa gaun itu begitu pas ditubuhnya dan begitu cocok
dengan rambut hitamnya yang berkilauan. Setelah menghela napas berkali-
kali, Kiara melangkah ke arah ruang tengah itu.

Dan kemudian tertegun bingung mendapati selain William, ada tamu


lain di sana, tamu lain yang sangat cantik bagaikan bidadari, duduk di sofa
dengan tatapan penuh godaan kepada Joshua.

***

“Dan itu pasti Kiara.” Perempuan cantik itulah yang pertama kali
menyadari kehadiran Kiara, dia tersenyum ramah dan tampaknya sama
sekali tidak merasa terintimidasi dengan penampilan Kiara. Tentu saja,
dengan kecantikan seperti dewi begitu, Kiara pasti tidak akan dianggapnya
sebagai sesuatu yang penting.

“Kemarilah Kiara.” Joshua tersenyum, senyum pura-pura penuh cinta


yang meyakinkan, “Biar kukenalkan pada teman William.”

Joshua mengamit tangan Kiara dan kemudian menariknya mendekat


dengan posesif,
“Kenalkan Kiara, ini Carmila Stuart yang jauh-jauh datang ke mari
untuk William.” Joshua menatap William dengan puas, “Kau sungguh tega
membawa wanita secantik ini kemari hanya untuk pulang dengan sia-sia.”

Kata-kata Joshua itu benar-benar membuat Carmila terkejut, dia


datang ke mari dengan keyakinan penuh, bahwa Joshua akan langsung
bertekuk lutut di kakinya ketika melihat penampilannya. Bahwa lelaki itu
akan langsung tergila-gila kepadanya. Tetapi rupanya pengaruh pelacur
berbadan mungil di sebelahnya itu sangat besar. Carmila merengut marah
ke arah Kiara. Apa yang bisa diberikan oleh pelacur itu yang tak bisa
diberikannya?

William bahkan mengatakan bahwa asal usul perempuan itu tidak


jelas. Carmila begidik ketika berpikir bahwa mungkin saja Kiara anak
pembunuh atau mungkin malah pelacur – yang menunjukkan kenapa Kiara
bertingkah seperti pelacur sekarang – Dan Joshua akan mencemari darah
bangsawannya kalau sampai memberikan benihnya ke perempuan ini.

Dengan cepat Carmila memasang wajah penuh godaan, menutupi


keterkejutannya, dia memandang Kiara dengan mencemooh, menelusuri
gaunnya dari ujung kepala sampai ke ujung kakinya.

“Hmmmm.... gaun yang sangat..... elegan.” Dengan lembut dia berucap


dalam bahasa inggris, yang dilambat-lambatkan seperti ketika berbicara
dengan anak kecil. Matanya menatap Kiara penuh ejekan, membuat
seketika itu juga Kiara merasa ingin bersembunyi karena malu.

Tetapi pegangan Joshua di pinggangnya, sekali lagi menyelamatkan


dan menopangnya, lelaki itu menunduk dengan sayang, dan menghadiahi
Kiara kecupan lembut di pelipisnya,

“Tentu saja gaun yang sangat elegan dan seksi.... membuatku tak sabar
menanti kami bisa berduaan sendirian di sini.” Matanya menatap penuh
sindiran ke arah William, “Ada hal lain yang ingin kau katakan padaku,
William? Kalau tidak mungkin kau bisa segera berkemas dan pulang, serta
bawalah seluruh harapanmu itu karena aku tidak akan pernah mau
menyandang namamu.”
Wajah William pucat pasi mendengar kata-kata langsung Joshua itu.
Bahkan Carmila yang semula duduk tenang di sebelahnyapun tampak
kaget.

“Aku kemari membawa calon isterimu, Joshua. Carmila adalah


perempuan yang sederajat denganmu, isteri yang paling cocok. Darah
bangsawannya akan melengkapi keningratanmu dan mencegahmu
tercemar oleh darah yang tidak diketahui asal-usulnya.” Matanya sengaja
melirik menghina ke arah Kiara, dan tiba-tiba saja Kiara merasa dadanya
panas, sejak tadi lelaki tua di depannya ini menatapnya dengan
mencemooh, juga perempuan yang secantik dewi itu. Dan semua itu karena
apa? Semua itu hanya karena Kiara anak yatim piatu yang tidak jelas asal
usulnya. Apakah kalau dia yatim piatu maka sudah pasti dia berdarah
kotor? Kelas rendahan?

Harga diri Kiara menyeruak, memberikan dorongan semangat untuk


memberi pelajaran kepada manusia-manusia sombong di depannya itu.

“Siapa yang mencemari siapa Joshua?” Kiara tersenyum genit kepada


Joshua, membuat lelaki itu agak kaget karena tidak menyangka Kiara bisa
berakting sebagus itu, untunglah dia bisa menutupinya dengan tatapan
mata bergairah kepada Kiara, “Aku rasa William tidak perlu mencemaskan
itu, toh kau sudah mencemariku sejak lama.”

Bravo. Joshua bersorak dalam hati, kalau tidak ada William dan
Carmila di depannya, Joshua pasti sudah bertepuk tangan memuji dan
sangat puas akan kata-kata Kiara itu, kata-kata Kiara yang seolah bagaikan
cambuk yang dilecutkan, tepat di muka ayahnya.
BAB 11
William masih ternganga akan kata-kata vulgar Kiara, sementara
Carmila melemparkan pandangan jijik kepada Kiara. Kiara sendiri tidak
peduli, dua orang di depannya itu sudah menganggapnya sebagai kelas
rendahan hanya karena dia bukan bangsawan dan tidak jelas asal usulnya,
jadi biar sama mereka berpikiran semakin buruk kepadanya.

“Kau membuatku tak sabar untuk masuk kamar.” Joshua berbisik


mesra, tangannya semakin memeluk pinggang Kiara dengan posesif,
sengaja memberikan isyarat di sana agar tamu mereka malu.

Tetapi rupanya Carmila bukanlah perempuan yang mudah menyerah.


Tentu saja, dia tidak akan diangkat menjadi CEO perusahaan multinasional
yang sekarang kalau dia menyerah dengan begitu mudahnya.

“Aku ingin kau memberiku kesempatan.” Gumamnya tegar, membuat


Joshua mengerutkan keningnya sambil menatap Carmila.

“Kesempatan untuk apa?”

Carmila tersenyum manis, “Kesempatan untuk mengenalku. Rasanya


tidak adil bagiku kalau aku datang jauh-jauh kemari hanya untuk diusir
dengan kasar, tanpa kau memberi kita kesempatan untuk saling mengenal.”
Carmila lalu melemparkan tantangan kepada Joshua, tahu bahwa ego
seorang lelaki akan tertantang jika dipancing seperti itu, “Aku ingin kau
mencoba mengenalku dengan intens selama seminggu penuh... dan kalau
setelah itu tidak ada ketertarikan yang tumbuh darimu untukku, aku akan
pergi dengan kepala tegak, puas karena sudah mencoba.”

Joshua terdiam, menatap perempuan di depannya. Oh ya. Joshua tahu


persis Carmila bukan perempuan biasa, dia bukanlah perempuan
bangsawan inggris yang lemah dan lembek, bisa diusir dengan mudahnya.

Satu-satunya jalan adalah dengan cara menerima tantangan Carmila.


Setelah itu perempuan itu pasti akan pergi dengan terhormat dan tidak
mengganggu mereka lagi. Itu juga merupakan salah satu cara untuk
membuat ayahnya kalah karena tidak punya senjata lagi untuk mencoba
menguasainya.
“Oke. Satu minggu.” Joshua tersenyum, “Dan setelah itu, kau bisa
mengemasi barang-barangmu, Carmila.”

Carmila mengulurkan tangannya dan Joshua menjabatnya, lalu


perempuan itu terkekeh,

“Jangan yakin dulu Joshua, jangan-jangan kau yang akan berkemas


nanti dan mengikutiku pulang ke London.” Mata Carmila beralih ke Kiara,
“Kau dengar sendiri Kiara? Kekasihmu setuju untuk menjadi milikku
selama seminggu penuh.” Gumamnya dalam bahasa inggris yang sekali lagi
dilambat-lambatkan seolah mengejek kemampuan bahasa inggris Kiara.

***

Sepeninggal kedua orang itu, Joshua menutup pintu dan kemudian


tersenyum kepada Kiara.

“Kalimat yang sangat hebat, aku tidak menyangka kau bisa


menggunakan kosakata ‘mencemari’ dengan begitu baiknya.” Mata Joshua
tampak menggoda, “Membuatku bertanya-tanya darimana kau belajar
tentang hal itu.”

Pipi Kiara merah padam. Mengingat ulang kata-katanya dan


menyadari bahwa kata-katanya begitu vulgar,

“Aku mempelajarinya di sinetron yang aku tonton.” Jawab Kiara


seadanya, dan langsung membuat Joshua mengerutkan keningnya,

“Sudah kubilang Kiara, jangan terlalu suka melihat sinetron, itu akan
menenggelamkanmu dari dunia nyata.” Lelaki itu lalu terkekeh, “Lagipula
apa gunanya aku memasang TV kabel di kamarmu kalau kau hanya
memakainya untuk menonton sinetron?”

Joshua berhasil membuat Kiara merasa malu, tetapi perempuan itu


memilih tidak menanggapinya, dia malahan teringat akan tantangan
Carmila yang diterima oleh Joshua tadi dan seketika merasa cemas,
“Apakah menurutmu bijaksana memberi kesempatan kepada Carmila
selama seminggu? Siapa yang tahu apa yang akan dilakukannya?”

“Dia memintanya dengan begitu baik, dengan tantangan yang


membuatku mau tak mau harus menerimanya, Kiara. Kalau tidak aku akan
tampak seperti pengecut.” Jawab Joshua cepat, “Jangan kuatir, aku tidak
akan dikalahkan olehnya.”

Tetapi walaupun Joshua bicara begitu, tetap saja Kiara merasa luar
biasa cemas. Ada perasan takut dibenaknya, takut kalau perempuan itu
akan mengambil Joshua....

Ah, Kiara menggelengkan kepalanya berusaha mengusir pikiran itu


dari benaknya. Dia tidak boleh berpikiran seperti itu, mungkin dia hanya
terlalu terbawa peran yang dimainkannya....

***

“Seharusnya kau tidak menerima tantangannya.” Jason bersandar


santai di sofa, dia tentu saja mendengar semua adegan itu dari kamarnya
dan mengintip sekilas penampilan Carmila, “Perempuan itu penggilas
perempuan, dia terbiasa membuat laki-laki berlutut di bawah kakinya, dan
dia sangat licik. Dia akan menggunakan segala cara Joshua, dan alih-alih
mengusirnya, kau malahan memberi kesempatan kepadanya untuk
menguasaimu.”

Joshua menyesap kopinya dan mengernyit karena rasa pahit yang


kental di sana. Jenis kopi kesukaannya, tanpa gula, tanpa campuran apapun.

“Apakah kau tidak percaya pada kemampuanku, Jason?” gumamnya


setengah terhina.

Jason tertawa, “Tentu saja aku percaya, kau telah menaklukkan


berpuluh-puluh perempuan, tetapi mereka semua tipe yang sama Joshua,
kau harus ingat itu, semua perempuan yang kau pacari, mereka semua
tergila-gila kepadamu, bersedia melakukan apa saja supaya bisa mencium
kakimu.” Jason menatap Joshua dengan serius, “Perempuan yang ini beda,
dia memang tergila-gila padamu, tetapi dia akan melakukan apa saja,
supaya kau mencium kakinya. Hati-hati Joshua.”

***

Kiara menatap Joshua yang sudah berpakaian rapi di ruang tengah, dia
tidak mengeluarkan pertanyaan, tetapi matanya sudah cukup mewakilinya,
hingga Joshua tersenyum masam dan berkata,

“Aku akan pergi makan siang dengan Carmila. Kau ingat kan
kesepakatan kemarin?”

Kiara menganggukkan kepalanya, tidak berkata apa-apa.

“Aku harus pergi dengannya.” Joshua bergumam lagi, mencoba


menjelaskan, “Dia menantangku, Kiara dan aku harus menunjukkan siapa
yang akan kalah di antara kami.”

Sekali lagi Kiara menganggukkan kepalanya. Toh dia harus bilang apa?
Hak Joshua untuk pergi dengan perempuan manapun, dia kan hanya
berakting menjadi kekasih Joshua kalau ada William dan Carmila. Selain itu
dia kembali ke pangkat aslinya, pelayan Joshua.

“Kenapa kau hanya menganggukkan kepalamu?” Joshua tampak gusar,


“Kenapa kau tidak mengatakan sesuatu?”

Kiara mengerutkan kening, bingung dengan sikap Joshua, kenapa


lelaki itu mendadak merasa terganggu dengan sikapnya? Salah apakah dia?

“Kau ingin aku mengatakan apa?” tanya Kiara akhirnya, menatap


Joshua dengan mata besarnya yang polos.

Seketika itu juga Joshua tertegun, ekspresinya tampak marah, “Ah


sudah, lupakanlah.” Dengan langkah-langkah marah, dia meraih kunci
mobilnya dan melangkah pergi.

***
Di jalan Joshua masih saja berpikir keras, menahan bingungnya.
Bahkan dia sendiri tidak bisa memahami sikapnya tadi. Kenapa dia merasa
perlu menjelaskan segala sesuatunya kepada Kiara, sebelum dia pergi
berkencan dengan perempuan lain?

Kiara bukan kekasihnya kan? Dia tidak wajib menjelaskan segalanya


kepada perempuan itu. Joshua mendesah, tetapi dia tetap saja
menjelaskannya, entah kenapa. Dan kemudian, ketika reaksi Kiara tidak
seperti yang diharapkannya, Joshua marah.

Ya. Dia marah, amat sangat marah ketika Kiara hanya menganggukkan
kepalanya tanpa ekspresi ketika Joshua bilang bahwa dia akan pergi
berkencan dengan lelaki lain.

Seharusnya perempuan itu...... Joshua langsung tertegun dengan


pikirannya sendiri, astaga....apakah dia ingin Kiara bersikap berbeda
terhadapnya? Apakah dia ingin Kiara merajuk, cemburu atau bahkan
membujuknya supaya tidak pergi?

Entahlah, Joshua bahkan tidak bisa menelaah perasaannya sendiri.


Yang dia tahu, sikap apatis Kara membuatnya amat sangat kecewa.

***

Carmila sudah menunggu di lobby hotel untuk acara makan siang


mereka. Perempuan itu meminta waktunya di siang sampai malam hari,
menghabiskan waktu bersama-sama untuk saling mengenal,dan Joshua
setuju.

Dan rupanya Carmila memang ingin mempesonanya dengan kekuatan


penuh. Perempuan itu berdandan lengkap dengan gaun warna sampanye
yang elegan dan indah, dan juga rambut yang diikat tingi di atas kepalanya,
membuatnya tampak segar dan luar biasa cantik.

Carmila menghampiri Joshua dan tersenyum mesra,

“Terimakasih untuk tidak terlambat menjemputku, Joshua.”


Gumamnya lembut, “Kita akan makan siang di mana?”
“Di tempatku biasanya makan siang.” Joshua sengaja memilihkan
sebuah restoran biasa, bukan restoran kelas atas untuk Carmila, sambil
berusaha melihat reaksi perempuan itu. Bangsawan wanita seperti Carmila
pasti terbiasa makan di restoran kelas atas, dan akan jijik ketika diajak
makan ke tempat biasa.

Tetapi rupanya dugaan Joshua salah, Carmilla sama sekali tidak protes
ketika Joshua mengajaknya masuk ke restoran yang sederhana itu,
perempuan itu malah memesan makanan dengan bersemangat, dan ketika
makanan datang, dia melahapnya sampai habis.

Joshua tidak bisa mengalihkan pandangan dari Carmila ketika makan,


menyadari bahwa perempuan itu adalah perempuan tangguh yang tidak
akan menyerah dengan perlakukan sengaja Joshua.

Carmila mengelap mulutnya dengan tissue dengan gaya yang elegan,


lalu tersenyum manis menatap Joshua,

“Enak sekali Joshua, tak heran kau sering makan siang di sini, kalau
aku tinggal di Indonesia aku juga pasti akan sering kemari untuk makan
siang.” Gumamnya puas.

Dan Joshuapun tertegun, mengetahui bahwa rencanaya untuk


mempermalukan dan membuat Carmila tak nyaman gagal total.

***

Kiara merenung sendirian di ruang tamu. Alunan biola terdengar dari


kamar Jason, kali ini bukanlah alunan penuh kemarahan, melainkan sebuah
lagu romantis nan syahdu. Yah. Mungkin Jason sedang melankolis. Batin
Kiara dalam hati, sambil mengaduk-aduk teh di tangannya.

Lalu dia membayangkan Joshua. Jam di dinding sudah menunjukkan


pukul sembilan malam, dan Joshua belum pulang. Mungkinkah dia sedang
bersenang-senang dengan perempuan itu? Mungkinkah Joshua pada
akhirnya menyadari pesona Carmila selain kecantikannya yang luar biasa
dan memutuskan bahwa ayahnya benar? Bahwa Joshua harusnya menikahi
perempuan sesempurna Carmila?

Kiara merasakan dadanya berdenyut sakit. Sekali lagi dia menghela


napas, berusaha menenangkan pikirannya. Gawat. Sepertinya Kiara benar-
benar terbawa oleh perannya.

***

Pukul sebelas malam, Joshua membuka pintu apartemen dengan hati-


hati. Carmila memintanya mengantarkannya ke sebuah club malam yang
terkenal di Jakarta. Dan Joshua tidak menolaknya, dia butuh sedikit minum
malam ini.

Tetapi kemudian Joshua sadar bahwa ini sudah terlalu larut, pada
akhirnya dia bisa memaksa Carmila mengikutinya meninggalkan club dan
mengantarkannya kembali ke hotel

Yah, diakuinya, perempuan itu memang tidak sedangkal yang dia duga.
Carmila ternyata adalah wanita karier dengan posisi tinggi di
perusahaannya, meraih nilai sempurna di dua jenjang pendidikannya dan
merupakan salah satu figur wanita sukses modern yang tidak terikat oleh
tradisi. Percakapan mereka sangat cocok, mereka bisa membahas apa saja,
seolah-olah kotak pengetahuan mereka tak pernah habis. Carmila memang
teman yang menyenangkan untuk menghabiskan hari.

Joshua mengerjapkan mata, berusaha menyesuaikan diri dengan


ruangan apartemen yang gelap. Matanya menelusuri seluruh penjuru
ruangan yang sepi. Semuanya pasti sudah tidur.

Joshua melangkah melewati ruang tengah, hendak masuk ke


kamarnya, tetapi kemudian di tertegun mendapati sesosok tubuh di atas
sofa, berbaring meringkuk dengan posisi seperti janjin yang baru lahir...

Joshua mendekat, dan menyadari bahwa Kiara ada di sana, tertidur


meringkuk di atas sofa. Segelas teh yang masih setengah nampak di meja.
Membuat Joshua menyadari bahwa Kiara ketiduran di sini.
Apakah perempuan itu menunggunya? Apakah ketidak pedulian yang
ditampilkannya tadi sebenarnya palsu? Apakah Kiara mencemaskannya
yang pergi seharian bersama Carmila?

Perasaan itu tiba-tiba saja membuat dada Joshua terasa hangat, dia
lalu membungkukkan tubuhnya, melingkarkan tangannya di punggung dan
belakang lutut Kiara, lalu mengangkat tubuh mungil Kiara ke dalam
gendongannya.

Kiara menggeliat, sedikit terganggu dari tidur pulasnya, membuat


Joshua tersenyum sedikit,

“Bangun tukang tidur.” Bisiknya lembut. Tetapi kemudian yang


dilakukan Kiara adalah menenggelamkan kepalanya dengan nyaman di
dadanya. Membuat jantung Joshua tiba-tiba bergetar, dipenuhi oleh
perasaan hangat.

Dengan langkah hati-hati dia menuju kamar Kiara, dan membuka


pintunya, kemudian dia melangkah menuju ranjang, dan membaringkan
tubuh Kiara dengan lembut di atas tempat tidur. Kiara langsung bergelung
dengan nyaman ke arah Joshua.

Joshua sendiri duduk di pinggir ranjang, mengamati wajah damai


Kiara yang tertidur pulas, jemarinya bergerak lembut, membelai dahi Kiara
yang tertutup rambutnya. Dan kemudian didorong oleh perasaan yang
tidak dimengertinya, Joshua menundukkan kepalanya dan mengecup dahi
Kiara dengan lembut.

Setelah itu. Joshua melangkah keluar, menutup pintu kamar Kiara


pelan-pelan.
BAB 13

Kiara membuka matanya dan mendadak merasa kehilangan orientasi.


Dia kebingungan menyadari dirinya berada di atas ranjangnya. Bukanlah
semalam... Kiara sedang duduk minum teh di sofa, sementara Jason sedang
berlatih serius dan mengurung diri di kamarnya setelah makan malam?
Seingat Kiara dia mengantuk dan memutuskan memejamkan matanya
sebentar di atas sofa, saat itu benaknya sedang berkecamuk karena Joshua
tak kunjung pulang juga. Lalu sepertinya dia tertidur…
Kalau begitu kenapa dia bisa berada di atas ranjang ini? Kiara
terduduk, menatap sekeliling dengan bingung, apakah dia berjalan kembali
ke ranjangnya tanpa sadar?
Yah. Itu mungkin saja. Dengan bergegas, Kiara langsung menuju
kearah kamar mandi, dia harus segera mandi dan menyiapkan sarapan
pagi.
***

Ketika sampai di dapur, Kiara mengernyit melihat Joshua sudah duduk


di sana, lelaki itu sedang menyesap secangkir kopi, kemudian tersenyum
datar ke arah Kiara.
“Hai, aku sudah bangun duluan darimu.” Gumam Joshua ramah, ada
senyum di sana.
Kiara langsung gugup, “Oh... Aku akan membuatkan sarapan
untukmu.”
‘Tidak usah.” Joshua mendorong cangkir kopi yang sudah
dihabiskannya, “Aku cukup minum kopi saja, aku akan menjemput Carmila,
kami berjanji akan sarapan bersama sebelum main golf.”
Tangan Kiara yang membawa dua butir telur membeku, dia menoleh
dan menatap Joshua bingung.
“Kau akan pergi dengan Carmila lagi?”
Joshua tertawa, “Tentu saja, kau lupa? Tantangan itu kan seminggu
lamanya.” Lelaki itu lalu berdiri, meraih jaketnya yang tersampir di kursi,
“Aku pergi dulu,” gumamnya dan kemudian sambil bersenandung, lelaki itu
pergi berjalan keluar.
Sementara itu Kiara masih terpaku kebingungan menatap bayangan
Joshua yang menghilang di ambang dapur.
Joshua...bersenandung?
Tiba-tiba Kiara merasakan perasaan tidak enak yang mengglayutinya,
perasaan yang dia tidak tahu itu apa. Yang pasti rasanya menyesakkan
dada dan membuatnya ingin menangis.
***
“Joshua pergi lagi?” Jason yang datang ke dapur untuk sarapan
menatap Kiara yang murung. Meskipun begitu Kiara membuatkan nasi
goreng keju yang sangat enak untuknya.
“Dia pergi pagi-pagi sekali.”
Jason terkekeh, “Seperti tidak sabar menghabiskan hari bersama
perempuan itu ya.” Lelaki itu lalu tersenyum lembut, “Dan kita seharian di
sini, menghabiskan hari yang membosankan... Hmmm...” Dia tampak
berpikir. “Mungkin kau bisa ikut aku.”
“Kemana?” Kiara menatap Joshua dan tampak agak tertarik.
“Aku akan menemui mentorku untuk membicarakan persiapan resital
tiga bulan lagi di Austria, setelah itu aku bebas. Kau bisa ikut aku,
menunggu sebentar ketika aku berkonsultasi dengan mentorku, lalu kita
mungkin bisa pergi ke taman hiburan, atau tempat lainnya yang ingin kau
kunjungi.”
“Taman hiburan?” mata Kiara melebar, begitu tertarik ketika
mendnegar nama taman hiburan disebut, dia tahu dunia fantasi, atau sea
world di Jakarta cukup terkenal, tapi yang dia tahu tiketnya cukup mahal,
sehingga datang kesana hanyalah impian bagi Kiara. “Tapi… Tapi bukankah
harga tiketnya mahal?” Kiara mengungkapkan kecemasannya, membuat
Jason terbahak.
“Kiara, begini-begini aku adalah pemain biola dengan bayaran tinggi,
sekali-kali mentraktirmu tidak apa-apa buat kantongku,” gumamnya dalam
senyuman, Jason lalu menghabiskan suapan nasi gorengnya, “Ayo siap-siap,
kita berangkat sekarang, semakin pagi kita sampai, semakin banyak
kesempatan kita untuk mencoba banyak wahana.”
Setengah meloncat, Kiara pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian,
membuat Jason melihatnya sambil tersenyum. Kiara sangat mirip dengan
Keyna adiknya yang begitu lugu dan polos, dengan tubuh mungil dan
wajahnya yang penuh binar.
Ternyata Jason cukup lemah dengan perempuan-perempuan yang
setipe adiknya. Lelaki itu mengangkat bahunya, ya sudahlah lagipula dia
tidak ada pekerjaan hari ini, bermain ke taman hiburan tentunya
menyenangkan, sekaligus bisa menghibur Kiara yang tampak begitu
murung.
Tiba-tiba Jason menebak-nebak, apakah Kiara begitu murung karena
Joshua pergi lagi dengan Carmila hari ini?
***
Setelah menunggu Jason kira-kira setengah jam di sebuah ruangan
elegan, di sebuah sekolah musik elit di kota ini. Jason pun keluar dan
mengatakan bebas untuk hari ini dalam senyum lebarnya.
Mereka lalu berkendara ke bagian utara kota, memasuki kawasan
taman hiburan itu.
“Kau mau masuk ke yang mana dulu?” Jason masih memutar mobilnya
di jalanan yang melingkar-lingkar itu, melihat-lihat semua pilihan yang ada.
Kiara sendiri tersenyum lebar penuh harap, “Aku mau ke taman
hiburan seperti yang di televisi itu.” Kiara pernah melihat iklan televisi
yang menayangkan tempat hiburan ini. Kelihatannya sangat
menyenangkan, bahkan Kiara sampai berbunga-bunga membayangkannya.
Jason tersenyum melihat ekspresi Kiara.
“Oke kita kesana, tapi hati-hati jangan jauh-jauh dari aku ya. Adikku
dulu pernah mengalami penculikan di sana.”
“Benarkah?” Kiara tampak terkejut.
“Yah... Mungkin kau tidak mengikuti berita, tetapi dulu cukup heboh
ditayangkan...” Jason tersenyum pahit, “Tapi sudahlah yang penting adikku
sekarang selamat dan berbahagia.”
Kiara melirik sekilas ke wajah Jason, menemukan ekspresi pahit yang
pekat di sana. Kenapa sekilas tadi Jason tampak begitu sedih?
***

Malam telah tiba ketika Joshua pulang ke rumah, masih jam sembilan
malam dan dia mendapati apartmentnya gelap. Tidak mungkin kan mereka
semua sudah tidur? Joshua menyalakan lampu dengan kebingungan.
Dan kemudian dia melangkah ke dekat kamar Kiara dan memanggil
namanya, tidak ada jawaban, dia membuka pintu kamar Kiara yang tidak
dikunci dengan hati-hati dan menemukan kamar itu kosong. Hal yang sama
juga terjadi di kamar Jason.
Joshua mengernyitkan keningnya, dan tiba-tiba merasa marah. Apakah
Jason mengajak Kiara pergi bersamanya? Pergi kemana? Kenapa sampai
malam sekali belum pulang?
Joshua menekan nomor ponsel Kiara, tersambung tapi tidak diangkat-
angkat, dia kemudian mencoba menghubungi nomor Jason yang ternyata
tidak aktif.
Dengan gusar dia mondar-mandir di ruang tengah, menunggu
setengah marah setengah cemas. Kemana Jason membawa Kiara? Apakah
Kiara bersama Jason? Ataukah dia pergi sendirian? Atau jangan-jangan
ayah kandungnya merencanakan menculik Kiara ketika sendirian di
rumah?
Pikiran-pikiran buruk memenuhi benak Joshua, membuat kepalanya
kalut dan pening. Hampir satu jam lamanya Joshua menunggu dengan
cemas.
Sampai kemudian ada suara-suara itu di pintu, suara tawa cekikikan.
Lalu pintu apartment terbuka, menampakkan Jason yang sedang
merangkul Kiara sambil tertawa, di tangan mereka ada kembang gula yang
hampir habis setengahnya.
Dua sejoli itu tertegun ketika melihat Joshua berdiri di tengah
ruangan, menatap mereka berdua dengan marah.
“Kemana saja kalian?” gumamnya dingin.
Jason langsung sadar ada kemarahan di sana, dia langsung berdiri
agak di depan Kiara, seolah melindunginya, dan kemudian tersenyum
seolah-olah tidak ada sesuatu pun yang berbeda.
“Oh. Hai Joshua, kami kira kau akan pulang larut seperti kemarin.”
Senyum Jason tampak tenang, “Aku mengajak Kiara ke taman hiburan.”
Ekspresi Joshua mengeras. Hampir meledak, “Ke taman hiburan? Satu
jam lebih aku menunggu kalian di sini cemas akan apa yang terjadi
mencoba menghubungi ponsel kalian yang tidak bisa dihubungi, dan
ternyata kalian ke taman hiburan dan bersenang-senang?” Joshua
melemparkan tatapan marah ke arah Kiara, “Dan kau, kuharap kau tidak
melupakan posisimu di rumah ini. Kau bukan salah satu dari kami.
Tugasmu adalah menunggu rumah dan membersihkannya, mempersiapkan
masakan. Karena kau adalah pelayan rumah ini. Mengerti? Apa perlu
kuulangi? Kau hanyalah pelayan di rumah ini!”
Mata Kiara melebar, tidak menyangka akan dikata-katai seperti itu,
kenapa Joshua begitu marah? Apakah karena Kiara memang melanggar
aturan? Seorang pelayan seharusnya memang menunggu rumah bukan?
Kiara yang bersalah, memang Kiara yang bersalah.
Joshua mengatakan bahwa dia bukanlah salah satu dari mereka...
Ternyata Joshua sama saja dengan ayah kandungnya dan Carmila,
memandang Kiara sebagai sosok dengan kelas yang lebih rendah dan lebih
hina, karena asal usulnya yang tidak jelas...
Mata Kiara berkaca-kaca, tetapi dia berusaha menyembunyikannya.
“Maafkan aku...,” gumamnya dengan suara serak.
Jason yang melihat Kiara hampir menangis menggertakkan giginya,
menatap Joshua dengan marah, “Kiara tidak berhak diperlakukan seperti
itu Joshua, kau tidak berhak menghinanya.”
Pembelaan Jason terhadap Kiara, dan juga posisi Jason yang menutupi
Kiara seolah melindungi Kiara dari dirinya semakin menyulut kemarahan
Joshua, dia memandang Jason dengan dingin.
“Kiara itu pelayanku, sudah hakku untuk memarahinya ketika dia
melakukan kesalahan. Aku yang membayar gajinya, aku yang memberinya
tempat bernaung dan memberinya makan. Jadi aku berhak melakukannya.”
Mata Joshua bersinar sinis, “Dan kalau kau menginginkan pelayanan yang
sama dari Kiara, seharusnya kau membawanya saja dan memberikan
bayaran yang cukup untuknya, mungkin saja kau akan menerima
pelayanan ekstra dari tubuhnya.” Mata Joshua menelusuri tubuh Kiara
dengan tatapan melecehkan.
Cukup sudah! Kiara tak sanggup lagi mendengarkan kata-kata hinaan
Joshua kepadanya. Setengah mendorong Jason yang ada di depannya, Kiara
berlari dengan berlinang air mata, masuk ke kamarnya dan menutup pintu
rapat-rapat.
Jason menatap Joshua dengan marah, matanya menyala.
“Kau keterlaluan Joshua, aku tidak tahu apa yang ada di otakmu itu,
tapi kau tidak berhak menyakiti Kiara seperti itu!”
“Oh ya? Apakah kau ingin memukulku? Apakah kau jangan-jangan
menginginkan Kiara untukmu sendiri? Ingin memiliki tubuhnya yang
menggiurkan itu?” Joshua membalas perkataan Jason dengan tantangan.
Dan kemudian yang didapatkannya adalah sebuah tinju yang keras di
mukanya.
Jason melemparkan tinju itu dengan penuh emosi, napasnya terengah-
engah karena marah, suaranya bahkan bergetar menahan kemarahannya.
Tinju itu begitu keras sampai kepala Joshua mundur ke belakang.
“Dengarkan kata-kataku ini baik-baik. Aku menyayangi Kiara karena
dia mirip dengan adikku. Tidak pernah ada satupun pikiran kotorku
terhadapnya, tidak sepertimu,” desisnya marah, “Dan kurasa persahabatan
kita berakhir di sini, aku akan pergi dari rumahmu, dan membawa Kiara.
Kurasa lebih baik kubawa saja dia pulang sebagai calon istriku kepada
mamaku, daripada dia disini terus-menerus kau lecehkan. Aku pikir dulu
kau tulus menolong Kiara, tapi ternyata aku salah. Pikiranmu picik, sama
seperti ayah kandungmu!”
Dan kemudian Jason berlalu, meninggalkan Joshua yang masih
tertegun dengan rasa panas di wajahnya, bekas pukulan Jason.
***
Pagi harinya Joshua terbangun dengan kepala pening, sudut bibir yang
memar dan rasa bersalah yang luar biasa. Dia telah melakukan kesalahan
yang begitu besar...
Menghina dan melecehkan Kiara seperti itu, pantas saja Jason
memukulnya. Masih diingatnya air mata Kiara semalam, dan tatapan mata
terlukanya. Joshua menghela napas panjang, kemarin dia begitu cemas dan
bingung dan kemudian dia dihadapkan akan pemandangan Kiara dan Jason
yang pulang sambil tertawa-tawa dan berangkulan tangan, tidak
mempedulikan bahwa Joshua menunggu mereka dengan cemas... Lalu
kemarahannya memuncak, dan berakhir dengan menyakiti Kiara.
Joshua sungguh-sungguh tidak ingin menyakiti Kiara seperti itu... Kata-
kata kasarnya... Penghinaannya. Dia pasti telah mencabik-cabik perasaan
halus Kiara. Perempuan itu pasti benar-benar terluka.
Dengan gusar, Joshua melangkah keluar dari kamarnya dan
berhadapan dengan Jason yang sudah berpakaian rapi di sana. Mata Jason
menatapnya dingin, masih marah.
“Aku akan pergi dari sini dan membawa Kiara.” Gumam Jason tegas.
Matanya melirik ke arah kamar Kiara yang tertutup rapat. Tidak biasanya
Kiara belum bangun jam segini. Biasanya Kiara sudah ada di dapur,
menyiapkan minuman panas dan sarapan yang beraroma harum. Tetapi
Jason maklum, perlakuan Joshua kepadanya semalam tentu sangatlah
menyakiti perempuan itu, mungkin perempuan itu menangis semalaman.
Joshua meringis dan menggelengkan kepalanya, “Tidak Jason, jangan
pergi, maafkan aku, dan jangan bawa Kiara.”
Jason menatap Joshua yang tampak berantakan dengan memar di
surut bibirnya dan mata yang begitu kalut.
“Kau sudah keterlaluan menghinanya Joshua, kau lupa dia seorang
perempuan polos yang tidak tahu apa-apa.” Jason mendesis, “Dan aku tidak
akan membiarkannya di sini menanggung kesalahan yang tidak dia buat,
menanggung kemarahanmu yang tidak diketahui sebabnya.”
Joshua menghela napas panjang, “Aku tahu. Aku tahu Jason, kemarin
aku keterlaluan. Aku memang salah. Aku pulang dan menemukan kalian
tidak ada, ponsel kalian sama-sama tidak bisa dihubungi, dalam
kecemasanku aku malah berpikir jangan-jangan ayah kandungku menculik
Kiara.” Joshua menatap Jason dan meminta maaf, “Aku memang pantas
mendapatkan pukulan itu, maafkan aku.”
Jason termenung menatap Joshua dengan skeptis. Tetapi
bagaimanapun juga, dia menemukan kesungguhan di mata Joshua, lelaki itu
sekaligus tampak tersiksa.
Akhirnya Jason menghela napas panjang.
“Semuanya terserah Kiara, minta maaflah kepadanya. Kalau dia tidak
mau menerima maafmu, aku akan membawanya menjauh darimu.”
Joshua menganggukkan kepalanya, dan kemudian mengetuk pintu
kamar Kiara.
“Kiara? Kau sudah bangun?”
Tidak ada jawaban. Kemungkinan Kiara masih tertidur dengan
lelapnya.
Joshua mengetuk lagi, “Kiara, kalau kau sudah bangun, keluarlah. Aku
ingin meminta maaf kepadamu. Kata-kataku padamu semalam memang
keterlaluan. Aku cemas dan menumpahkan kemarahanku kepadamu, kau
tidak pantas menerimanya, maafkan aku. Aku berjanji tidak akan
mengulanginya lagi... Kiara?”
Sama sekali tidak ada jawaban. Joshua melemparkan tatapan curiga ke
arah Jason. Ekspresi keduanya sama-sama harap-harap cemas.
Dengan hati-hati, Joshua membuka handle pintu kamar Kiara, dan
mendapati ranjang kosong dan rapi seperti tidak pernah ditiduri.
Dengan tergesa Joshua melangkah masuk diikuti Jason ke kamar
mandi yang ternyata juga kosong. Lemari-lemari masih penuh dengan
pakaian, rak sepatu kaca masih tertata rapi. Kiara tidak membawa apapun
pergi dari sana selain pakaian yang dibawanya masuk ke kamar ini.
Kiara tidak ada di mana-mana.
Joshua melemparkan tatapan cemasnya ke arah Jason.
BAB 14

Bab 14

Kiara tidak ada di mana-mana!

Joshua langsung menghambur ke luar, memeriksa penjuru ruangan,


tetapi Kiara tidak ada. Jason mengikutinya dan kemudian bergumam,
menarik kesimpulannya,

“Kurasa Kiara pergi dari rumah ini setelah lewat tengah malam.”

Mata Joshua menggelap, “Tapi dia kabur kemana? Dia tidak punya
rumah, tidak punya tempat tinggal, tidak punya uang. Dan tidak ada
satupun orang yang dikenalnya. Bahkan dia meninggalkan ponselnya!”
Joshua melirik frustrasi kepada ponsel yang diletakkan Kiara dengan rapi
di atas meja ruang tengah, bagaikan sebuah pesan bahwa Kiara tidak
membutuhkan apapun pemberian Joshua.

“Kita bisa bertanya kepada mantan rekan kerjanya di cafe, mungkin


saja Kiara ke sana meminta pertolongan.”

Sebelum Joshua sempat menjawab, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dia


melirik nama yang ada di sana dan mengernyitkan dahinya, itu Carmila
yang meneleponnya.

“Ya?” Joshua menjawab telpon itu dengan gusar,

“Sekedar mengingatkanmu sayang.” Carmila menjawab dengan suara


lembutnya di seberang sana, “Aku akan siap kau jemput satu jam lagi, hari
ini kita akan ke sebuah restoran yang direkomendasikan oleh pramutama
hotelku, kau pasti akan menyukainya...”

Carmila terus berkata-kata tetapi Joshua sudah tidak mendengarkan


lagi. Diakuinya bersama Carmila memang menyenangkan, tetapi Joshua
menghabiskan waktunya bersama Karmila bukan karena menyukainya,
sama sekali tidak tumbuh perasaan di hatinya menghabiskan waktu begitu
lama bersama Carmila. Dia mendekati Carmila hanya untuk satu alasan
khusus. Satu alasan yang kemudian malahan menjadi bumerang untuk
dirinya sendiri.

“Aku tidak bisa keluar bersamamu sekarang Carmila.”


“Kau sudah berjanji Joshua, satu minggu bersamaku, ingat?” suara
Carmila agak meninggi, tetapi perempuan itu masih bisa menyembunyikan
kegusarannya.

Joshua menghela napas panjang, “Memang. Tetapi sekarang aku


sampai di satu titik dan menyadari bahwa aku tidak butuh waktu selama
itu untuk tahu bahwa aku sama sekali tidak tertarik kepadamu. Dan tidak
akan pernah tertarik!”

Sebelum Carmila sempat bertanya lagi Joshua menutup teleponnya


dan kemudian mengalihkan pandangannya kepada Jason yang berdiri di
sana sambil bersedekap.

“Ayo kita ke cafe tempat Kiara dulu bekerja.” Gumamnya tergesa.

***

Ternyata sia-sia. Entah Irvan berkata jujur, atau dia melindungi Kiara,
lelaki itu mengatakan bahwa dia sama sekali tidak tahu dimana Kiara
berada. Sejak pertemuan di supermarket itu, Irvan sama sekali belum
pernah bertemu lagi dengan Kiara.

Joshua sudah bertanya dengan begitu serius, tetapi Irvan tetap


menggeleng-gelengkan kepalanya, lelaki itu masih begitu terkejut karena
didatangi oleh dua lelaki yang sangat tampan dan berpakaian elegan.

Yang satu tentu Irvan sudah pernah melihatnya ketika bertemu


disupermarket beberapa waktu lalu.... lelaki yang sangat tampan hingga
hampir bisa disebut cantik, sedangkan yang satunya lagi....itu adalah
pelanggan tetap cafenya waktu itu yang sering datang ketika tengah malam
hingga menjelang pagi. Yang secara kebetulan tidak pernah datang lagi
setelah Kiara berhenti bekerja.... jadi ini semua bukanlah kebetulan?

Jason menatap Irvan yang kebingungan lalu mengernyit,

“Sudahlah Joshua, sepertinya dia benar-benar tidak tahu di mana


Kiara, kita harus berpikir ulang. Siapa kira-kira yang akan didatangi Kiara
di saat dia butuh bantuan. Dan siapa kira-kira yang menginginkan Kiara
menghilang.”

***

Carmila langsung menemui William yang kebetulan suite hotelnya ada


di sebelahnya, dia mengetuk pintu kamar itu dengan marah dan kesal.
William yang baru bersantai sehabis mandi, membuka pintu dan menatap
terkejut ke arah Camilla, yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan
wajah gusar.

“Hai Carmila, kenapa kau masih ada di sini? Bukankah kau ada acara
dengan Joshua?” William tersenyum senang, “Aku lihat kau telah berhasil
menjeratnya, kalian pasti melewatkan banyak waktu bersama untuk
bersenang-senang. Dan aku yakin apa yang kau katakan akan terwujud,
Joshua akan mengepak kopernya dan mengikuti kita pulang ke London
dalam seminggu ke depan, dan kita akan merencanakan pernikahan
mewah dan besar-besaran.”

Wajah Carmila merah padam, teringat kembali di benaknya kata-kata


Joshua ketika menolaknya tadi. Kurang ajar. Lelaki itu berkata akan
memenuhi tantangannya selama satu minggu, membuat Carmila merasa
dia punya banyak kesempatan dan waktu, tetapi kemudian Joshua
mencampakkannya begitu saja. Tidak pernah ada laki-laki yang
mencampakkan Carmila sebelumnya, tidak akan pernah!

“Perempuan jalang itu, perempuan murahan yang tinggal bersama


Joshua, dia benar-benar pengganggu.” Carmila mendengus menahan marah,
“Pagi ini Joshua menolakku, pasti ada hubungannya dengan perempuan itu.
Aku tidak akan pernah bisa mendapatkan Joshua kalau perempuan itu
masih ada, Papa.”

Ada senyum misterius muncul di wajah William, dan lama kelamaan


senyumannya berubah menjadi seringai,

“Tenang saja Carmila, mulai hari ini perempuan itu sudah dibereskan.”
Suaranya begitu misterius, membuat Carmila menatap William penuh
tanda tanya,

“Apa maksud papa?”

William membuka pintunya lebar dan mempersilahkan Carmila


masuk, kemudian menutup pintu suitenya dan menatap Carmila yang
sudah duduk di sofa dengan senyuman bangga,

“Well aku sudah bergerak duluan untuk menyingkirkan perempuan


itu, aku sudah menduga sejak lama perempuan rendahan itu hanya akan
menjadi pengganggu rencana kita. Jadi kemarin aku menyuap salah satu
petugas teknisi listrik di apartemen, dia berhasil menyusup masuk ke
apartemen itu di malam hari dan menculik perempuan murahan itu. Dan
sesuai instruksiku, perempuan itu mungkin sudah diselundupkan ke luar
negeri sebagai pelacur. Cocok dengan profesinya sekarang ini.”

“Oh ya?” mata Carmila melebar indah, kemudian dia tersenyum lebar,
“Kalau begitu sudah tidak ada lagi yang menghalangi kita?”

William menuangkan anggur ke gelasnya, semuanya berjalan lancar.


Joshua akan dengan segera melupakan perempuan rendahan itu dan
berpaling kepada Carmila. Carmila ada di pihaknya, dan dengan begitu dia
bisa dengan mudah menguasai Joshua, anaknya itu memang
sulit dikendalikan dan membencinya. Tetapi dengan adanya Carmila,
William yakin, Joshua akan menurut padanya, seperti seharusnya seorang
anak menurut kepada ayahnya.

***
Kiara membuka matanya dengan terkejut, mengetahui bahwa dia
berada di ruang sempit yang gelap. Dia langsung panik mengetahui
getaran-getaran yang ada di bawahnya.

Astaga! Dia ada di dalam bagasi mobil!

Tangannya diikat di belakang punggungnya, membuatnya pegal, tetapi


kakinya tidak. Kiara berguling, megap-megap mencari napas, bagasi itu
sempit dan gelap, dan Kiara merasa sesak napas. Dia memukul-mukul
bagasi itu sekuat tenaga, menendang-nendangnya sekencang mungkin,
tetapi percuma, mobil itu tetap melaju kencang, tak peduli dengan semua
usahanya. Sampai akhirnya Kiara terdiam, dengan napas makin terengah
dan lemas kelelahan.

Oh Tuhan! Dia langsung teringat tatapan kebencian William, ayah


kandung Joshua kepadanya. Apakah ini direncanakan oleh William untuk
menjauhkan dirinya dari Joshua?

Joshua... tiba-tiba air mata Kiara mengalis, dia megap-megap lagi


berusaha mencari napas, tiba-tiba kepalanya terasa pening. Lalu semuanya
gelap, dan sebelum kesadarannya hilang, Kiara sempat berpikir bahwa
mungkin dia tidak punya kesempatan untuk bertemu Joshua lagi.

***
“Petugas apartemen mengatakan melihat sesuatu yang mencurigakan
tadi dini hari, dia melihat salah seorang teknisi membawa kotak yang
sangat besar......dia sempat curiga, tetapi karena teknisi itu adalah petugas
apartemen ini yang sudah bekerja cukup lama, dia menghapus
kecurigaannya.”
“Apakah kau curiga kotak itu berisi Kiara?” Jason duduk di depan
Joshua, sementara petugas polisi ada di belakang mereka. Ya. Mereka
sekarang ada di kantor polisi, melaporkan hilangnya Kiara.

Joshua mengangguk, “Tidak ada lagi yang mencurigakan setelah lewat


tengah malam selain kejadian itu. Kiara pasti dibawa keluar di dalam kotak
besar itu.”

Untunglah kesaksian petugas apartemen sangat membantu. Teknisi itu


memiliki mobil yang tercatat, dan sekarang polisi sedang berusaha
melacaknya,

“Sepertinya itu penculikan amatiran. Karena kalau benar pelakunya


teknisi itu, dia bertindak gegabah dan bodoh, dan tidak berusaha menutup-
nutupi jejaknya.” Jason mengerutkan keningnya, ingatannya melayang di
masa itu, ketika adiknya diculik. Suasananya hampir sama, para polisi
bergerak, mencoba mencari titik terang. Tanpa sadar Jason
mengernyit, apakah perempuan-perempuan baik yang ada di sisinya
haruslah selalu mengalami penculikan?

Kali ini Jason tidak mengetahui bagaimana kondisi Kiara. Dia hanya
bisa berharap bahwa Kiara baik-baik saja. Diliriknya Joshua, lelaki itu
tampak tenang dan memasang wajah datar, tetapi Jason tahu, Joshua
gelisah dan ketakutan setengah mati.

Ada perasaan yang tanpa sadar ditumbuhkan Joshua kepada Kiara. Itu
sudah pasti, dulu mungkin Joshua tidak menyadarinya, tetapi sepertinya
lelaki itu sudah menyadarinya... Jason tersenyum sedih, dan jangan sampai
Joshua terlambat... bagaimanapun juga mereka harus menemukan Kiara.

Seorang petugas polisi menghampiri mereka, mengatakan sesuatu


kepada Joshua langsung berdiri, Jason menatap Joshua dengan bingung,

“Ada apa?”

“Polisi bisa melacak mobil itu, sekarang sedang mengarah ke


pelabuhan. Sepertinya si penculik ingin menghilangkan jejak dengan
menaiki kapal.” Joshua mengambil jaketnya dan mengenakannya, “Ayo,
kata petugas kita bisa ikut salah satu mobil polisi, asal saat penyergapan
nanti kita tidak keluar dan membahayakan misi, kita boleh ikut.”

***
Sepanjang jalan begitu menegangkan bagi Joshua, dia dan Jason duduk
di jok belakang mobil polisi itu. Informasi yang didapat dari radio polisi,
mobil yang menculik Kiara ditengarai masih ada di jalan tol, belum keluar
menuju arah pelabuhan. Sepanjang jalan mereka melewati truk-truk besar
pengangkut barang. Dan benak Joshua bergetar ngeri... kalau mereka tidak
bisa menyelamatkan Kiara dengan cepat, akankah perempuan itu
diselundupkan seperti ini? Di dalam truk yang penuh barang kemudian di
bawa menyeberang pulau seperti ternak?

Joshua makin geram kepada William, dia merasa malu, berasal dari
benih lelaki sombong dan licik itu. Penculikan ini, meskipun mereka belum
bisa membuktikannya, sudah pasti didalangi oleh ayah kandungnya yang
jahat itu. Dia sudah curiga. Dia sebenarnya sudah cemas ayahnya yang licik
akan berbuat jahat untuk menyingkirkan Kiara. Dan semalam dia lengah,
lengah karena kemarahannya sendiri. Joshua menghela napas dengan
sedih. Kalau sampai Kiara tidak dapat diselamatkan, Joshua tidak akan bisa
memaafkan dirinya sendiri.

Lalu tiba-tiba sirene polisi dibunyikan, lima mobil polisi mengerubuti


sebuah sedan warna hitam yang langsung mengebut kencang, tidak mau
berhenti. Mobil itu tancap gas, setengah zig zag, benar-benar nekat dan
tetap tidak mau berhenti meskipun lima mobil polisi mengejarnya.

Kejar-kejaran berlangsung menegangkan. Yang ditakutkan Joshua


adalah sedan hitam itu, yang mungkin ada Kiara di dalamnya, terlalu
mengebut dan kehilangan kendali, membuat Kiara celaka. Joshua mengikuti
pengejaran itu sambil berdoa dalam hati, berdoa semoga Kiara selamat.

Setelah pengejaran selama beberapa kilometer, sebuah mobil polisi


berhasil menjajari sedan hitam itu dan memepetnya ke bahu jalan tol.
Mobil yang lain mendahului dan menghadang tepat di depan. Membuat
sedan itu terpaksa berhenti, dengan suara berdecit keras dan ban yang
berasap.

Beberapa petugas polisi langsung keluar, menodongkan senjatanya


dan memerintahkan supir sedan hitam itu turun. Sopir mobil itupun turun
dengan tangan di atas kepala, kemudian dipaksa berlutut.

Setelah kondisi dipastikan aman, Joshua dan Jason boleh keluar dari
mobil. Hati Joshua mencelos ketika polisi itu memeriksa tempat duduk dan
memastikan tidak ada penumpang lain di sana.

Jadi di mana Kiara?


Lalu seorang polisi mencongkel bagasi dengan linggis, dan di sanalah,
di dalam bagasi itu, terbaring Kiara yang sudah pingsan kehabisan udara.

***

“Shit!” William mengumpat ketika membaca berita di televisi berita


tentang sebuah penculikan yang berhasil di gagalkan oleh polisi. Dan
berdasarkan pengakuan si penculik amatir, dia dibayar oleh orang asing
yang menyuruhnya menculik dan menjual perempuan itu ke sindikat
perdagangan manusia untuk dijadikan pelacur.

Dengan marah William mengemas pakaiannya, dan kemudian


menelepon untuk mendapatkan tiket penerbangan dengan jadwal yang
paling cepat. Sayangnya semua penerbangan penuh dan harus menunggu
enam jam lagi paling cepat.

Carmila juga sama paniknya setelah melihat berita itu, dia bolak-balik
ke kamar William, ketakutan dan bingung. William menyuruh perempuan
itu untuk diam, tetapi Carmila tetap mengomel-ngomel, menyalahkan
William.

“Seharusnya papa memilih penculik yang lebih ahli, bukannya teknisi


bodoh gila uang yang baru pertama kali menculik, pantas saja dia
tertangkap dengan begitu mudahnya.” Sambil mondar mandir di dalam
kamar William, membuatnya gila, Carmila terus menerus mengomel,
“Kalau begini jadinya bisa gawat, nama kita bisa tercoreng....”

“Diam Carmila!” William membentak pada akhirnya, merasa frustrasi


karena disalahkan.

Carmila terkejut dibentak sedemikian keras oleh calon papa


mertuanya. Matanya melebar dan kemudian wajahnya merah padam penuh
kemarahan,

“Aku tidak mau berurusan lagi denganmu!” teriak Carmila marah, “Aku
tidak ada hubungannya dengan penculikan itu jadi kau tidak bisa
melibatkanku, silahkan saja polisi menangkapmu, tapi aku tidak mau nama
baikku cemar! Mulai hari ini tidak ada urusan di antara kita. Aku akan
pulang ke London besok, aku telah membuang-buang waktuku dengan
mencoba mengejar anak harammu yang berdarah separuh pelacur!”

Setelah meneriakkan kemarahannya, Carmila membalikkan badan dan


pergi, tidak peduli William memanggil-manggil namanya.
William layak cemas, Papa Carmila adalah rekan bisnis sekaligus
teman bangsawannya yang paling penting, kalau sampai masalah ini
sampai ke telinga papa Carmila, William akan kehilangan banyak sekali
keuntungan bisnisnya. William tidak akan bisa melibatkan Carmila dalam
hal ini, sebagai gantinya, William berharap Carmila bijaksana dan tidak
mengadu kepada ayahnya.

Sekarang dia hanya harus pergi dari negara ini secepatnya.


Penerbangan ke London paling cepat enam jam lagi. Dia sudah selesai
berkemas dan menenteng tas-nya untuk check out.

Sayangnya, Ketika dia membuka pintu, beberapa polisi berpakaian


preman sudah berdiri di sana, siap menangkapnya, membuat wajahnya
pucat pasi.

***

Di kantor polisi, William bertatapan dengan Joshua yang sedang


membuat laporan di kepolisian. Mata mereka bertatapan. Dan terptri jelas
kebencian dan rasa muak Joshua kepada ayah kandungnya.

Ketika William berada di dekatnya, Joshua berbisik puas.

“Aku akan menikahi Kiara segera. Dia akan menjadi istriku, dan kau
tidak akan diundang ke pernikahan. Pergilah ke neraka bersama gelar,
harta dan darah bangsawanmu itu.”

Kata-kata itu membuat wajah William pucat pasi, tetapi lelaki itu tidak
bisa berkata apa-apa. Joshua sudah mengalahkannya, dia sudah kalah
sepenuhnya.

Anaknya itu tidak akan pernah mau kembali kepadanya dan


melanjutkan warisan gelarnya. Dan mungkin William tidak akan pernah
bisa datang ke negara ini lagi.

Joshua dan Jason sama-sama menatap kepergian William ke ruang


pemeriksaan.

“Begitu pengacaranya datang, dia akan dibebaskan dengan jaminan....


paling buruk dia akan dideportasi, tidak akan menerima hukuman
setimpal.” Gumam Jason pahit, “Dia bangsawan dan orang kaya yang punya
banyak koneksi.”
Joshua mengangkat bahunya, “Memang.” Gumamnya, “Tetapi
setidaknya aku bisa memastikan dia tidak akan pernah kembali lagi ke
negara ini.”

“Apakah sama sekali tidak ada rasa tersentuh di hatimu melihatnya?”


Jason bertanya ingin tahu, “Bagaimanapun juga dia adalah ayah
kandungmu?”

“Dia bukan ayah kandungku. Bagiku ayahku adalah Nathan yang


merawat dan menyayangiku sampai aku dewasa.” Joshua menggelengkan
kepalanya, “Mungkin benihnya memang menghasilkanku, tetapi selebihnya
aku tidak mau punya ayah seperti dia.” Lelaki itu menandatangani
laporannya dan menyerahkan kepada petugas polisi, “Ayo, aku harus ke
rumah sakit, aku takut Kiara sadar dan aku tidak ada di sana.”
BAB 15

Ketika Kiara membuka matanya, Joshua ada di sana menatapnya.


Semula Kiara membelalak ketakutan, merasa bahwa dirinya ada di dalam
bagasi yang gelap, sesak dan tanpa udara. Tetapi kemudian Joshua
memegang tangan Kiara yang panik dan menekannya lembut. Membuat
Kiara menoleh kepadanya, menyadarkan dia ada di mana.

“Kemarin kau diculik Kiara, tetapi polisi menyelamatkanmu sebelum


kau di bawa lebih jauh. Kau sekarang ada di rumah sakit, kau sudah
selamat.” Joshua berbisik lembut, berusaha meredakan ketakutan Kiara,
“Kau baik-baik saja Kiara.”

Kiara menatap Joshua dalam-dalam. Ingin rasanya dia menghambur ke


pelukan lelaki itu dan menangis, tetapi kemudian seketika dia teringat akan
kata-kata kejam Joshua kepadanya. Sebelum Kiara diculik, Joshua telah
melecehkan dan merendahkannya. Dan sekarang apa yang dilakukan lelaki
itu di sini? Akankah dia merendahkan Kiara lagi?

“Aku tahu kata-kataku malam itu menyakitkan.” Gumam Joshua ketika


Kiara berusaha menarik tangannya, membuat Joshua harus menahannya,
“Maafkan aku Kiara. Aku menyesal, aku mengucapkannya karena aku
marah...dan cemburu...”

Cemburu? Kali ini Kiara tertarik dengan perkataan Joshua, dia


mengangkat matanya dan menatap Joshua dengan bingung. Cemburu?
Joshua cemburu? Kepada siapa? Kepadanya?

“Ya. Aku cemburu kepadamu dan Jason... Aku...” Lelaki itu tampak
salah tingkah dan kesulitan berkata-kata, “Aku sebenarnya menyimpan
perasaan lebih kepadamu, entah sejak kapan yang pasti aku sadar ketika
aku merasa tidak suka saat kau biasa-biasa saja ketika mengetahui aku
akan keluar bersama Carmila.” Senyum Joshua tampak pahit, “Aku ingin
kau marah, aku ingin kau setidaknya mengungkapkan kecemburuanmu.
Tetapi kau bersikap datar kepadaku, membuatku sulit menebak apa yang
sebenarnya kau rasakan.”

Bagaimana mungkin Kiara menunjukkan kecemburuannya kepada


Joshua? Bagaimana mungkin dia berani? Joshua adalah majikannya,
penolongnya, bagaimana boleh dia yang hanya seorang pelayan
menunjukkan perasaan lebih kepada majikannya?

“Dan kemudian itu mendorongku untuk bersikap sedikit kekanak-


kanakan.” Pipi Joshua tampak sedikit merona, laki-laki itu jelas-jelas
merasa malu, “Tujuanku pergi bersama Carmila, menghabiskan waktu
dengannya dan memperlihatkan ketertarikan kepada Carmila adalah untuk
memancing rasa cemburumu, aku ingin kau merasa cemas aku pergi
dengan perempuan lain, aku ingin bisa menebak perasaanmu.” Joshua
mengacak rambutnya dengan frustrasi, “Pada akhirnya, aku malahan yang
menjadi korban kecemburuanku sendiri. Aku pulang mendapati rumah
kosong, mencemaskanmu setengah mati hanya untuk mendapati kau
pulang bersama Jason, tertawa-tawa dan berangkulan. Nampak begitu
gembira, aku langsung menarik kesimpulan bahwa usahaku sia-sia. Aku
pergi dengan Carmila seharian dan kau bahkan tidak memikirkanku sama
sekali, malahan pergi bersenang-senang dengan Jason, hal itulah yang
memancing kemarahanku.” Joshua menatap Kiara sungguh-sungguh.

“Kata-kataku kasar Kiara, dan yang pasti sangat menyakitkan, aku tahu
kau akan sulit memaafkanku.” Joshua melanjutkan sambil menghela napas
panjang, “Tapi satu yang harus kau tahu Kiara, semua perkataan itu
hanyalah manifestasi kemarahanku, tidak ada satupun yang berasal dari
hatiku. Bagiku kau adalah perempuan sempurna, lugu, polos, pekerja keras,
mandiri, bisa bertahan dalam kesulitan dan terlebih lagi kau telah
menyentuh hatiku yang paling dalam.” Dengan lembut Joshua mengecup
jemari Kiara, “Mungkin ini akan terdengar sangat klise, dan mungkin kau
tidak akan mempercayainya, tetapi aku mencintaimu Kiara.”

Kiara ternganga, kaget dan tak percaya. Joshua


mencintainya? Mencintainya?

Apakah dia bermimpi? Kiara menyentuh pipinya yang terasa hangat,


tiba-tiba merasa malu, bagian mana dari dirinya yang bisa dicintai oleh
lelaki sesempurna Joshua? Bagaimana mungkin Joshua bisa jatuh cinta
kepadanya? Seorang pelayan udik yang kadang-kadang
mempermalukannya?

“Dan aku tidak pernah bisa membaca perasaanmu.” Gumam Joshua


lembut, “Matamu begitu polos dan aku berusaha mencari-cari makna cinta
di baliknya, yang tidak pernah aku temukan.” Joshua menghela napas
panjang, “Maka katakanlah padaku Kiara, bagaimana perasaanmu
kepadaku?”

Wajah Kiara merona, memerah karena malu atas pertanyaan Joshua,


atas tatapan matanya yang begitu intens kepadanya. Bibirnya gemetar
ketika mencoba berbicara, sementara benaknya menelaah dirinya sendiri.

Bagaimanakah perasaannya kepada Joshua?


Kiara mulai sering membayangkan Joshua di malam-malam sebelum
tidurnya, mulai merasa rindu jika lama tidak melihat Joshua, dan dia selalu
merasa bahagia jika ada Joshua di dekatnya.

“Aku... Ketika kau pergi bersama Carmila, aku sebenarnya merasa


sedih...dan murung, karena itulah Jason berbaik hati mengajakku ke taman
hiburan.” Kiara bergumam pelan. Bingung bagaimana menjelaskan
perasaannya.

Tetapi sepertinya itu sudah cukup untuk Joshua, lelaki itu mengangkat
alisnya dan menatap Kiara tajam.

“Apa maksudmu kau merasa sedih ketika aku pergi bersama


perempuan lain? Apakah kau...cemburu?”

Apakah Kiara cemburu? Apakah perasaan sakit seperti jantung


diremas ketika membayangkan Joshua berdekatan dengan Carmila,
menggenggam tangannya dan merangkulnya itu adalah perasaan
cemburu? Tiba-tiba Kiara menyadari kebenaran perasaannya, dia
menganggukkan kepalanya.

Seketika itu juga Joshua bangkit dan memeluknya yang sedang


terduduk di ranjang, lelaki itu duduk di tepi ranjang, tepat di hadapannya.

“Kalau begitu apakah kau mencintaiku?”

Lama, Kiara mengerutkan kening dan berpikir, menyiksa Joshua,


membuat lelaki itu ingin mengguncangkan bahu Kiara, membuatnya
berkata ‘ya’.

Tetapi kemudian bibir indah Kiara tersenyum dan perempuan itu


menatap Joshua dengan lembut.

“Ya Joshua.”

“Ya apa?” Joshua masih tidak puas rupanya.

Kiara menelan ludahnya, “Ya Joshua, aku mencintaimu.”

Senyum lebar merekah di bibir Joshua membuat wajahnya berseri dan


tampak begitu tampan.
“Dan aku juga mencintaimu Kiara.” Tatapan Joshua tampak mesra,
“Dan kita akan menikah jadi kau bisa tinggal di apartment itu tanpa
masalah?”

“Menikah?”

“Ya. Menikah. Kau mencintaiku, aku mencintaimu. Harus menunggu


apa lagi? Kita harus segera menikah.”

Kiara tersenyum, “Lalu bagaimana dengan menjadi pelayanmu?”

Joshua menatap Kiara mesra, lalu mengerutkan keningnya menggoda,


“Kau masih tetap menjadi pelayanku, tapi perkerjaanmu akan bertambah,
karena kau juga akan melayaniku di kamar.”

Pipi Kiara langsung merah padam mendengar godaan Joshua itu,


membuat Joshua terkekeh geli, dan kemudian meletakkan kepala Kiara ke
dadanya.

Kiara memejamkan matanya, menenggelamkan diri di kenikmatan


aroma Joshua yang maskulin dan menyenangkan. Mensyukuri diri bahwa
lelaki yang memeluknya ini adalah lelaki yang mencintai dan dicintainya.

Kiara mengawali kehidupannya dengan pahit, menjadi anak yatim


piatu yang tidak tahu asal usulnya, kemudian kejahatan orang lain
membuatnya melarikan diri, mencoba hidup mandiri, memulai dari bawah
dengan gigih dan mencoba bertahan di antara semua kesulitan. Sampai
kemudian Tuhan mempertemukannya dengan Joshua, lelaki penyendiri
yang baik hati dan menolongnya. Lelaki penyendiri yang kemudian
membuatnya jatuh cinta.

Kiara tidak pernah menduga kehidupannya akan menemui jalan yang


begitu membahagiakannya, pasti Tuhan begitu menyayanginya sehingga
memberikan kekasih yang begitu sempurna, kekasih yang tidak pernah
berani dibayangkannya sebelumnya.

Jemari mungil Kiara melingkari pinggang Joshua, dan lelaki itu makin
mempererat pelukannya yang penuh cinta kepada Kiara.

Nanti, pada saatnya nanti masih ada banyak waktu terbentang di


depan mereka untuk berpelukan setiap saat. Joshua akan memiliki Kiara di
rumahnya, menjadi milik pribadinya, saling memiliki dengannya.

***
Jason yang berdiri diam di depan pintu hanya tersenyum melihat
kedua sejoli itu berpelukan. Dia menghela napas panjang. Setidaknya,
sahabat-sahabatnya telah bertemu dengan perempuan yang benar-benar
baik.

Tiba-tiba benaknya bertanya-tanya kapan saat itu tiba untuknya?


Akankah dia menemukan perempuan yang benar-benar baik? Ataukah dia
akan selalu terkalahkan rasa takut dan traumanya yang membuatnya
membenci dan berprasangka kepada perempuan?

Matanya melirik kearah Joshua yang sekarang mengecup dahi Kiara


lembut dan mengernyit.

Dan kenapa setiap perempuan baik, yang tidak menyalakan alarm Jason
selalu diambil oleh sahabatnya?

“Cemburu?” Sebuah suara lembut dan feminim membuat Jason


tersadar dari lamunannya. Jason mengangkat kepalanya dan makin
mengerutkan keningnya ketika melihat Deliah berdiri di depannya. Jason
memang masih menganut aliran konvesional, dia masih belum bisa
menerima ada seseorang yang tidak menerima apa yang sudah diberikan
Tuhan kepadanya dan kemudian mengubahnya, dengan kekuatan manusia.
Itu hampir-hampir seperti bentuk kesombongan manusia kepada
Tuhannya...

“Deliah.” Jason menyapa kaku, kemudian menegakkan tubuhnya,


“Tentu saja aku tidak cemburu. Apa yang kau lakukan di sini?’

“Aku segera kemari setelah melihat berita televisi, bagaimanapun juga,


meskipun baru sebentar bersama Kiara, aku peduli kepadanya.” Deliah
mengintip hendak masuk, tetapi kemudian tidak jadi ketika melihat Joshua
sedang tertawa dan bergumam mesra kepada Kiara, dia mengangkat
alisnya dan bergumam kepada Jason, “Akhirnya Joshua kita mengakui
perasaannya eh?”

Jason mengangkat alisnya, “Kau sudah tahu sejak lama perasaan


Joshua kepada Kiara?”

“Aku sudah tahu bahkan sebelum Joshua menyadari perasaannya


sendiri.” Deliah terkekeh, “Ketika dia membawa Kiara ke butik, tanpa sadar
dia bersikap begitu posesif, matanya mengawasi Kiara seperti elang
menunggu mangsa. Ketika itu aku sadar bahwa tinggal menunggu waktu
saja sampai Joshua mengakui perasaannya.”
“Dan mereka pun bahagia bersama.” Jason tersenyum.

Deliah mengangguk, “Kapan giliranmu Jason?”

“Apa?”

“Aku dengar kau pembenci wanita. Bagaimana kalau dengan wanita


yang ini?” Deliah menyulurkan jemarinya menyentuh lengan Jason.

Seketika itu juga Jason berjingkat mundur, menatap Deliah dengan


wajah shock.

“Kau tidak sungguh-sungguh dengan rayuanmu bukan?” Jason


bergidik.

Deliah tergelak melihat reaksi Jason.

“Tentu saja aku tidak sungguh-sungguh.” Matanya menelusuri Joshua


dan mencibir, “Aku sudah tentu akan menghindari lelaki yang wajahnya
lebih cantik dariku.” Dan kemudian, sambil menebarkan aroma parfumnya
yang wangi, Deliah berlalu meninggalkan Jason yang masih tertegun
bingung.

Lama kemudian, Jason menyadari candaan Deliah dan


tertawa. Dasar! Makhluk ajaib yang satu itu ternyata menggodanya.

Mata Jason melirik lagi ke arah dua sejoli yang tampaknya begitu
diliputi cinta itu, lalu tersenyum simpul.

Waktunya sendiri akan tiba. Dia percaya akan menemukan perempuan


baik hati, yang tidak jahat dan hanya menginginkan materi dan fisiknya,
yang hanya diciptakan untuknya.

Keyna dan Kiara telah menyadarkannya bahwa tidak semua


perempuan berhati jahat, masih ada di sana, tersembunyi di antara semua
yang mencolok, perempuan berhati baik yang menunggu untuk ditemukan.

Saat untuk kisah cintanya sendiri pasti akan segera tiba. Jason hanya
perlu mencari perempuan itu. Perempuan baik hati yang akan menyentuh
hatinya yang kelam ini.
EPILOG

Kiara sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Kondisi tubuhnya


sudah membaik dan dokter memastikan dia akan sehat-sehat saja ke
depannya. Saat ini dia sedang duduk di samping ranjang, sudah
mengenakan pakaian rapi dengan koper yang sudah siap di atas ranjang.

Dia menunggu Joshua yang akan menjemputnya.

Suara ketukan di pintu membuat Kiara menoleh penuh harap, tetapi bukan
Joshua yang datang melainkan Jason.

Lelaki itu tersenyum, dan melangkah masuk ke ruangan duduk di kursi


depan Kiara.

"Menunggu Joshua?"

Kiara menganggukkan kepalanya, tersenyum ke arah Jason.

"Bagaimana keadaanmu?" Jason bertanya lagi.

Kiara tersenyum, menyelipkan sejumput rambut di belakang telinganya.


"Aku sudah baikan...."

"Dikurung di bagasi seperti itu memang mengerikan. Ayah Joshua memang


jahat, tetapi kau bisa tenang, Kiara, dia sudah kembali ke negaranya dan
tidak akan mengganggumu lagi."

Ya. Peristiwa penculikan itu memang menakutkan, sebuah pengalaman


traumatis yang sangat ingin dilupakannya. Kadangkala benaknya berpikir,
bagaimana jika waktu itu Joshua dan Jason serta pihak kepolisian tidak
berhasil mengejar penculiknya dan menyelamatkannya? Mungkin dia akan
berakhir menjadi korban perdagangan manusia di luar negeri seperti yang
direncanakan oleh ayah Joshua.

Kadang di malam-malamnya di rumah sakit, Kiara masih sering terbangun


tengah malam, berkeringat dan ketakutan karena mimpi buruknya berada
di dalam bagasi, tersekap, berteriak-teriak dan tidak ada yang
menolongnya. Dan ketika itu, Joshua yang setia menungguinya langsung
menggenggam tangannya, menenangkannya sampai dia tertidur kembali.

"Aku akan berusaha melupakannya." Kiara menatap ke arah Jason,


"Terimakasih Jason, kau begitu baik kepadaku."
Jason tersenyum, sebuah senyum lebar yang mempesona di wajah
tampannya.

"Aku menganggapmu seperti adikku sendiri, kau sangat mirip dengannya,


dengan kemandirian dan sikap tegarmu." lelaki tampan itu lalu
mengerutkan keningnya, "Sayangnya tidak disangka kau mengalami nasib
yang sama sepertinya. Diculik oleh orang jahat."

"Dan untunglah kami berdua sama-sama selamat." Gumam Kiara, merasa


benaknya dipenuhi rasa syukur yang begitu dalam.

"Ya. Untunglah pada akhirnya kalian menemukan laki-laki yang bisa


menjaga kalian." tatapan Jason tampak melembut. "Joshua lelaki yang baik,
meskipun dia kadangkala keras dan menakutkan, tetapi dia tidak pernah
bersikap seperti itu kepada perempuan lain sebelumnya. Aku yakin
dia benar-benar menyayangi dan akan menjagamu, Kiara."

Kiara tersenyum. Hatinya terasa hangat ketika mengingat Joshua. Memang


kemarahan Joshua terakhir kali sebelum dia diculik waktu itu benar-benar
menyakiti hatinya, kata-kata Joshua waktu marah memang kasar. tetapi
lelaki itu telah meminta maaf kepadanya dan menjelaskan sebab
kemarahannya.

Joshua cemburu.

Kiara tidak bisa menahan senyumnya memikirkan bahwa Joshua, lelaki


sempurna itu cemburu kepadanya.

"Sepertinya kalian sangat asyik." Lelaki yang dibayangkannya itu, Joshua,


tiba-tiba sudah muncul di ambang pintu. Seperti biasa penampilannya
tampan dengan rambut basah sehabis keramas. Sepertinya dia baru saja
mandi. Kiara tersenyum, menyadari bahwa Joshua rela mengubah pola
tidurnya yang biasa untuk menjemput Kiara. Yah siapa yang bisa lupa
bahwa Joshua selalu bersikeras bekerja sepanjang malam dan beranjak
tidur ketika menjelang pagi lalu bangun di sore hari?

Hari ini jam sepuluh pagi dan Joshua sudah rapi berada di sini untuk
menjemputnya.

Joshua melangkah masuk, mengangkat alisnya ketika menatap Jason.

"Kenapa kau ada di sini Jason?" suaranya terdengar curiga.


Jason tersenyum jahil. "Aku berencana untuk menculik Kiara sebelum kau
ambil."

Seketika itu juga, Joshua dengan defensif berdiri di depan Kiara yang masih
duduk di tepi ranjang, seolah ingin menghalangi pandangan Jason kepada
Kiara.

"Kau harus menghadapi aku dulu." gumamnya tenang.

Jason terkekeh, geli melihat tingkah posesif Joshua kepada Kiara.

"Kau bisa tenang Joshua, aku bercanda. Mana mungkin aku menculik Kiara,
dia tidak akan mau mengikutiku karena dia sedang menunggumu."

Joshua tidak bisa menahan senyumnya, dia menoleh ke arah Kiara yang
menatapnya malu-malu dan tersenyum, "Benarkah? kau menungguku?"

Kiara sendiri hanya tersenyum malu, bingung hendak menjawab apa,


sementara Jason tampak tidak tahan dengan sikap malu-malu Kiara di
bawah tatapan mata tajam Jason, dia langsung menceletuk dengan nada
menahan tawa.

'Tentu saja Kiara menunggumu Joshua, kau kan berjanji akan


menjemputnya keluar dari rumah sakit."

"Aku terlambat, aku sedikit kesiangan. Maafkan aku." Joshua menatap Kiara
dengan pandangan meminta maaf. Dan Kiara menganggukkan kepalanya,
tersenyum penuh pengertian.

"Aku mengerti, Joshua."

Sekali lagi, Jason tampaknya tidak tahan untuk berkomentar,

"Kau harus sedikit galak kepada Joshua, Kiara. Kalau tidak dia akan
menindasmu." gumamnya dan langsung mendapatkan tatapan mata galak
oleh Joshua.

"Bisakah kau pergi Jason? aku ingin berbicara empat mata dengan Kiara."
Joshua seperti biasa melakukan pengusiran terang-terangan kepada
sahabatnya itu. Untunglah Jason sudah biasa dengan sikap Joshua hingga
sama sekali tidak merasa tersinggung, dia malahan tersenyum lebar,
menatap pasangan di depannya dengan pandangan menggoda.
"Oh Well baiklah, aku akan pergi. Jangan lupa Kiara, sekali-kali sedikit
galaklah kepada Joshua." Gumam Jason sambil terkekeh geli, melangkah ke
luar ruangan, meninggalkan Joshua dan Kiara hanya berdua saja,

Lama Joshua hanya menatap Kiara, dia lalu duduk di tepi ranjang, di
sebelah Kiara. Aroma parfumnya yang menyenangkan menyentuh hidung
Kiara, dan tiba-tiba saja jantungnya berdebar. Joshua terasa begitu dekat.
Dan sekarang lelaki itu menatapnya dengan pandangan intens.

"Bagaimana keadaanmu?" Joshua bergumam lembut, menatap Kiara yang


masih menunduk salah tingkah.

"Aku sudah baikan. Tidak ada bagian tubuhku yang terluka kok."

"Aku berjanji ayahku yang brengsek itu tidak akan bisa mengganggumu
lagi." Mata Joshua menyala, tampak geram ketika membicarakan tentang
ayahnya. Tetapi mata itu berubah penuh kasih sayang ketika menatap
Kiara. Lengannya bergerak, semula agak ragu, tetapi kemudian dia
merangkul Kiara ke dalam pelukannya dengan sebelah lengannya,
menyandarkan kepala Kiara ke dadanya dan memeluknya erat. "Aku
senang kau baik-baik saja, Kiara."

Joshua tidak pernah selembut itu kepadanya. Mungkin karena sekarang


lelaki itu menyadari perasaannya kepada Kiara dan sudah tidak mencoba
menyangkalnya lagi?

Lelaki itu sudah menyatakan cinta kepada Kiara, meskipun rasanya Kiara
masih tak percaya. Dicintai oleh lelaki seperti Joshua.... rasanya seperti
mimpi. Tetapi sekarang dia tidak sedang bermimpi bukan? Sekarang Joshua
memeluknya erat, sepenuh hatinya.

Tiba-tiba muncul keberanian di hati Kiara. Dia merangkulkan sebelah


lengannya ke punggung Joshua, dan sebelah lengannya lagi melingkari
dada Joshua, setengah memeluk lelaki itu dari samping.

"Terimakasih Joshua." gumamnya lembut, berbisik pelan dengan pipi


merona merah, malu akan keberaniannya sendiri memeluk tubuh Joshua
yang harum beraroma maskulin itu.

Sejenak Joshua tampak tertegun, membeku, seolah tidak menyangka bahwa


Kiara akan balas memeluknya. Tetapi sedetik kemudian, lelaki itu
merangkulkan sebelah lengannya yang lain ke tubuh Kiara, setengah
mengangkat Kiara ke pangkuannya dan memeluknya erat-erat.
"Jangan berterimakasih kepadaku. Akulah yang harusnya berterimakasih
kepadamu, sayang." Joshua menenggelamkan kepalanya di rambut Kiara
yang harum, "Hidupku dulu hampa, aku menjalani hidup dengan penuh
kebencian dan rasa pahit, tidak mensyukuri semua yang telah kumiliki.
Lalu kau datang, kau membuat hidupku berarti, membuatku bersyukur
masih bisa membuka mata dan menghirup napasku setiap hari, masih bisa
bersyukur karena aku bisa memilikimu, perempuan polos yang begitu
manis, begitu baik hati, bahkan setelah perlakuan kasarku kepadamu."

Kiara mendongakkan kepalanya, menatap Joshua. Lelaki itu rupanya masih


menyimpan rasa bersalah atas kata-kata kasarnya kepada Kiara di
pertengkaran mereka waktu itu.

"Aku sudah memaafkanmu." bisiknya tulus.

Joshua tersenyum, tidak bisa menahan diri untuk mengecup pucuk hidung
Kiara, dan kemudian menenggelamkan perempuan mungil itu ke dalam
pelukannya lagi.

"Tentu saja kau sudah memaafkanku, dasar kau perempuan berhati baik."
Bisiknya dengan penuh emosi, "Aku akan menikahimu Kiara, aku akan
mengurus dan menjagamu, kau tidak akan sendirian lagi di dunia
ini,begitupun aku, kita saling memiliki, kau dan aku akan selalu bersama."

Ucapan itu bagaikan sebuah janji. Diucapkan oleh seorang lelaki yang
mencintai.

***

Pesta pernikahan berlangsung sederhana, hanya teman-teman dekat


Joshua yang datang, serta beberapa rekan kerjanya dan koleganya. Pesta
itu diadakan di ballrom sebuah hotel berbintang di pusat kota.

Kiara berkali-kali mencuri pandang ke arah Joshua yang tampak begitu


tampan dengan setelan jas hitam dan dasinya yang rapi. Sang pengantin
lelaki begitu tampan. Kiara mengawasi Joshua dan merasakan jantungnya
berdebar.

Suaminya.

Dia masih tidak percaya bahwa sekarang dirinya dan Joshua adalah
sepasang suami isteri.
Matanya melirik ke arah cincin emas putih dengan berlian mungil yang
elegan di jari manisnya, tanda bahwa dia terikat dengan Joshua. Lelaki itu
mengenakan cincin perkawinan juga di jari manisnya, dengan versi yang
lebih maskulin tentu saka. Dan setiap melihat kilatan cincin di jari manis
Joshua, Kiara merasakan perasaan hangat menjalari dadanya. Mereka
sekarang adalah pasangan, saling memiliki. Kiara tidak sebatang kara lagi
di dunia ini. Dia memiliki Joshua, suaminya yang akan selalu menjaganya.

Tiba-tiba mata Kiara terasa panas. Rasa haru yang luar biasa menyesaki
dadanya. Membuatnya ingin menangis keras-keras. Oh tentu saja ini bukan
tangisan kesedihan, ini tangisan kebahagiaan.

Di pesta yang indah ini, Kiara memang tidak mempunyai ayah, ibu ataupun
keluarga lain yang ikut merayakan bersamanya. Pun demikian adanya
dengan Joshua. Tetapi mereka bahagia, mereka memiliki satu sama lain dan
tetap berbahagia. Kiara percaya pada akhirnya mereka akan membentuk
keluarga baru mereka sendiri, keluarga besar, seperti yang dikatakan
Joshua kepadanya semalam, dengan banyak anak laki-laki dan perempuan
yang memenuhi rumah besar mereka nanti.

"Jangan menangis." Suara Jason terdengar di belakangnya, membuat Kiara


menoleh, lalu tersenyum malu dan mengusap air matanya.

Jason mengeluarkan sapu tangan dari saku jasnya, lelaki ini juga tampak
tampan dengan setelan jasnya, dia menjadi pendamping pengantin pria,
sementara Deliah menjadi pendamping pengantin wanita, Deliah juga
tampak cantik dengan gaun warna peachnya, orang yang tidak
mengenalnya tidak akan tahu bahwa Deliah bukanlah perempuan asli.

Dengan lembut Jason mengusap air mata di sudut mata Kiara dengan
saputangannya, "Pengantin yang cantik tidak boleh menangis, nanti
riasanmu rusak." Lelaki itu tersenyum, "Kau cantik sekali Kiara, dan Joshua
terlihat sangat bahagia. Kalian tampak begitu cocok satu sama lain."

Tiba-tiba Kiara merasa begitu terharu, sekuat tenaga dia menahan air
matanya supaya tidak mengalir lagi, "Terimakasih, Jason."

"Sama-sama Kiara, aku mendoakan kebahagiaanmu." Jason mengangkat


bahunya, "Kalian orang-orang yang beruntung, bisa menemukan belahan
jiwanya dan bersatu, seandainya saja aku seberuntung kalian."

"Kau pasti akan mengalami keberuntungan itu suatu saat nanti." Tiba-tiba
Kiara menggenggamkan buket bunganya ke tangan Jason, "Ini buket
bungaku untukmu."
Jason terkekeh, tetapi dia menerima bunga itu. "Ini kan biasanya untuk
perempuan lajang, aku yakin banyak perempuan lajang menanti untuk
mendapatkan bunga ini jika dilempar."

Kiara tertawa, "Aku rasa kau lebih membutuhkannya, Jason."

"Hmm kalau memang kutukan bunga pengantin ini benar, berarti aku akan
segera menyusul kalian."

"Itu bukan kutukan, Jason. Itu sebuah berkat." Kiara langsung mengoreksi,
membuat Jason mengedipkan sebelah matanya sambil tertawa,

"Terimakasih atas bunganya.Kurasa aku harus segera pergi, ada pengantin


pria yang datang dan memelototiku." Dengan gaya elegan dan menggoda,
Jason membungkukkan tubuhnya, lalu berbalik pergi, membawa bunga itu
di tangannya sambil bersiul pelan.

"Kau memberikan bunga pengantinmu untuknya?" Joshua tiba-tiba muncul


di belakang Kiara, menatap ke arah kepergian Jason.

Kiara mendongak, menoleh ke belakang dan tersenyum lembut. "Aku rasa


Jason lebih membutuhkannya dibandingkan dengan perempuan-
perempuan yang ada di sini."

Joshua terkekeh, "Ya. Mungkin dengan begitu dia bisa berhenti untuk
semakin memperkuat reputasinya sebagai penghancur perempuan." Mata
Joshua menatap Kiara dengan tajam, "Tetapi dia sangat baik kepadamu,
membuatku sedikit cemburu."

Dengan malu Kiara memukul sebelah lengan Joshua, "Dia menganggapku


seperti adiknya."

Joshua terkekeh, menarik Kiara ke dalam pelukannya, "Ya. Aku tahu.


Kurasa kau harus terbiasa, Kiara, aku akan mencemburui semua lelaki,
siapapun yang berani melirikmu akan membuatku merasa cemburu, tak
terkecuali."

"Tidak ada yang akan melirikku." Kiara menyahut, menenggelamkan


wajahnya ke dada Joshua.

Joshua menarik bahu Kiara, membuat Kiara berhadapan


dengannya, Isterinya. Pengantinnya. Perempuan itu tampak begitu cantik
dalam balutan gaun putih yang mengembang indah di pinggangnya.
Rambut Kiara terurai sempurna, membingkai wajahnya, dengan riasan
sederhana yang membuat wajah polosnya semakin cemerlang.

"Kau cantik, Kiara. Kau sempurna untukku. Apakah kau tidak tahu betapa
takutnya aku kehilanganmu? Bersamamu, menjadi suamimu adalah
kebahagiaan yang sempurna untukku." Joshua menunduk, mengecup pucuk
hidung KIara, "Sekarang maukah kau berdansa denganku, pengantinku?"

Kiara mengangguk, membiarkan Joshua menggenggam tangannya dan


membawanya ke lantai dansa. Mereka menyatu di tengah lantai dansa,
dengan lengan-lengan kuat Joshua memeluk pinggangnya dengan posesif.

Mereka berada di tengah pasangan lain yang berdansa, tetapi bagi Joshua
dan Kiara, sekarang hanya ada mereka berdua, menikmati kebahagiaan
langkah baru dalam hubungan mereka.

Pernikahan bukanlah tujuan akhir dari sebuah hubungan percintaan.


Pernikahan adalah sebuah awal, awal diamana dua anak manusia
merengkuh janji untuk menjalani hidup bersama. Dua yang menjadi satu,
satu yang terdiri dari dua. Itulah mereka sekarang.

Kiara tidak tahu akan menjadi apa pernikahannya bersama Joshua nanti.
Tetapi yang dia tahu, mereka akan menjadi kuat bersama menghadapi
apapun ke depannya, karena mereka akan selalu bergenggaman tangan.

***

Jason melepas kaca mata hitamnya, menyadari beberapa perempuan


menoleh dua kali setiap berpapasan dengannya. Dia sudah biasa menerima
tatapan mata seperti itu, tatapan mata kagum dan terpesona perempuan-
perempuan itu kepadanya.

Langkahnya terhenti ketika melihat Joshua dan Kiara. Joshua seperti biasa,
tampak merangkul pinggang Kiara dengan posesif seolah-olah ingin
melindunginya dari hiruk pikuk keramaian bandara.

Kiaralah yang pertama melihatnya dan langsung melambaikan tangannya


dengan bersemangat, membuat Jason tersenyum dan mempercepat
langkahnya mendekati pasangan itu.

"Kalian hanya membawa dua tas itu?" Jason melirik dua buah koper yang
ada di dekat kaki Joshua. Ya. Joshua dan Kiara akan menetap permanen di
Australia, kebetulan Joshua menerima pekerjaan di sana, dan dia juga
memiliki investasi di perusahaan yang cukup besar di sana. Mereka berdua
memutuskan untuk memulai kehidupan baru di tempat yang benar-benar
baru, mencoba membangun keluarga kembali dari awal.

"Barang-barang yang lain akan dikirimkan melalui jasa pengiriman.


Lagipula aku tidak membawa banyak barang, kami bisa membelinya nanti
di sana berikut perabotan untuk mengisi rumah kami di sana." Joshua
tersenyum, menatap Jason penuh arti. "Bagaimana rasanya menempati
apartemen barumu? kuharap kau kerasan."

Jason memang telah membeli apartemen yang dulunya milik Joshua segera
setelah Joshua memutuskan untuk pindah ke australia dan menetap di
sana. Dia merasa nyaman di apartemen itu, sekaligus dengan pindah ke
tempatnya sendiri, dia bisa menghindari mamanya yang terus menerus
berusaha menjodohkannya dan memaksanya untuk segera mengakhiri
masa lajangnya dan mencari pendamping hidup.

"Aku senang di sana." Jason tersenyum lebar hingga barisan deretan


giginya yang rapi terlihat, "Banyak kenangan manis yang tertinggal di
sana." Matanya melembut, menoleh ke arah Joshua dan Kiara berganti-
ganti. Pada saat yang sama panggilan untuk keberangkatan penerbangan
terdengar, "Hat-hati ya. Aku pasti akan sangat merindukan kalian berdua."

"Kami juga akan merindukanmu, Jason. Mampirlah ke Australia kapanpun


kau sempat." Kiara menyahut lembut, matanya tampak berkaca-kaca, dan
Jason memeluk perempuan itu dengan sayang, seperti memeluk adiknya
sendiri

"Pasti." Jason mengecup puncak kepala Kiara, lalu menoleh ke arah Joshua,
"Aku yakin kalian akan berbahagia."

"Terimakasih Jason." Joshua menyalami Jason, mereka berpelukan sejenak,


dan Joshua menepuk pundak Jason dengan menggoda, "Aku harap kau akan
menemukan tempat berlabuh, sama seperti diriku."

Kata-kata itu membuat Jason tersenyum skeptis, "Itu mungkin masih akan
lama sekali." gumamnya.

Joshua tertawa, "Yah. Siapa yang tahu? Mungkin saja jodohmu ada di
sekitar sini hanya saja kau belum mengetahuinya." Lelaki itu mengamit
jemari Kiara, "Ayo sayang, kita harus masuk sekarang."

Kiara mengangguk, sekali lagi menatap lembut ke arah Jason. "Sampai


jumpa lagi Jason."
Jason melambaikan tangannya, menatap pasangan itu yang mulai
melangkah menjauh, "Sampai jumpa lagi." jawabnya lembut.

Kiara dan Joshua memasuki gate penerbangan, bergandengan tangan.

"Terimakasih karena mau mengikutiku ke Australia." gumam Joshua sambil


merangkul Kiara ke dalam pelukannya, "Aku tahu mungkin ini sedikit berat
untukmu, meninggalkan semua kehidupan yang biasa kau jalani untuk
pindah ke negara baru yang sama sekali asing.'

Kiara tersenyum. "Aku tidak punya siapa-siapa yang kutinggalkan di sini,


Joshua. Aku hanya punya kau. dan aku isterimu, aku akan mengikutimu
kemanapun kau pergi."

"Kemanapun?" mata Joshua tampak menggoda.

Kiara langsung mengangguk mantap. "Kemanapun."

Joshua membungkuk, mendekatkan bibirnya ke telinga Kiara, dan berbisik


dengan sensual. "Saat ini, aku memikirkan untuk pergi ke tempat manapun
yang menyediakan ranjang."

Pipi Kiara langsung memerah, spontan memukul lengan Joshua. "Joshua!"


gumamnya memperingatkan, memandang ke sekeliling takut kalau ada
orang yang mendengar godaan sensual Joshua kepadanya tadi. Sementara
itu Joshua tertawa melihat pipi Kiara yang semerah kepinting rebus.
Diraihnya kembali isterinya ke dalam pelukannya, ketika dia berbisik,
suaranya serak penuh perasaan.

"Aku bahagia bersamamu, Kiara. Kuharap kau merasakan hal yang sama."

Kiara membalas pelukan suaminya matanya berbinar penuh kebahagiaan,


"Akupun demikian adanya, Joshua."

Dan beginilah akhirnya, dua manusia yang berasal dari dua dunia berbeda,
dua manusia yang seharusnya tidak pernah bersua, ternyata bersimpangan
jalan dan saling terkait. Pada akhirnya mereka berdua menyatu, terikat
oleh cinta, berlabuh di dalam janji pernikahan.

End of Epilog

Anda mungkin juga menyukai