Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Nama Kelompok 5
1. Komang Sriwirasanty (4520103029)
2. Salsabila (4520103033)
3. Enjelika Palinoan (4520103017)
4. Warda Limbong Minanga (4520103028)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuna daksa adalah seseorang atau anak yang memiliki cacat fisik, tubuh,
dan cacat orthopedi. Dalam bahasa asing sering kali di jumpai istilah crippled,
physically disabled, physically handicapped. Tunadaksa merupakan istilah
lain dari cacat tubuh/tuna fisik yaitu berbagai kelainan bentuk tubuh yang
mengakibatkan kelainan fungsi dari tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan
yang dibutuhkan. Tunadaksa juga didefinisikan sebagai seorang individu
yang memiliki gangguan gerak disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan
struktur tulang yang bersifat bawaan sakit atau akibat kecelakaan, termasuk
celebral palsy, amputasi, polio dan lumpuh.
Citra tubuh adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan
tidak sadar sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk,
dan fungsi penampilan tubuh saat ini dan masa lalu. Persepsi, perasaan, dan
kepercayaan terkait tubuh pada penyandang tunadaksa yang mengalami
gangguan citra tubuh sangat membutuhkan dukungan keluarga. Keluarga
merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap
berbagai aspek perkembangan termasuk perkembangan sosial penyandang
tunadaksa.
Dukungan keluarga mempengaruhi pembentukan konsep diri pada bagian
citra tubuh penyandang tuna daksa. kebutuhan untuk berinteraksi dan
bersosialisi dengan masyarakat lainnya. Akan tetapi, dengan adanya
kekurangan dan keterbatasan tersebut, penyandang tunadaksa sering sekali
diremehkan dan dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya. Hal
tersebut mempengaruhi rasa percaya diri para penyandang tunadaksa (Nova
yahana, 2016). Oleh karena itu mereka dapat membangun hubungan negatif
dengan tubuh mereka, mengingat pengaruh yang datang kedalam kontak
dengan orangorang yang dapat menciptakan citra tubuh bagi individu
penyandang tunadaksa (dalam Rafael, Ferreriera, Morgado, Rafael &
Teixeira, 2010). Untuk dapat membantu mengoptimalkan perkembangan
penyandang tunadaksa, keluarga diharapkan untuk selalu memberikan
dukungan kepada anak tersebut. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan
informasi seperti orang tua yang memberikan nasehat pada penyandang
tunadaksa saat penyandang tunadaksa melawan orang tua, dukungan
emosional seperti orang tua yang memberikan perhatian dan kasih sayang
pada penyandang tuna daksa, dukungan instrumen seperti orang tua
memberikan uang atau benda yang dapat menunjang perkembangan
penyandang tunadaksa, dan dukungan penilaian seperti orang tua yang
membimbing anak tunadaksa (Friedman, 1998). Dukungan keluarga dalam
dukungan sosial dalam memberikan dukungan ataupun pertolongan dan
bantuan pada anggota keluarga penyandang tunadaksa. Dukungan sosial
adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh
teman/anggota keluarga (Baron dan Byrne, 2005).
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Anak Tuna Daksa
Anak tuna daksa adalah anak yang mempunyai kelainan ortopedik atau
salah satu bentuk berupa gangguan dari fungsi normal pada tulang, otot, dan
persendian yang mungkin karena bawaan sejak lahir, penyakit atau kecelakaan,
sehingga apabila mau bergerak atau berjalan memerlukan alat bantu.
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang
disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat
bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio,
dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki
keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan
melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami
gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam
gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
b. Karakteristik Emosi-sosial
1. Kegiatan-kegiatan jasmani yang tidak dapat dijangkau oleh anak
tuna daksa dapat berakibat timbulnya problem emosi, perasaan dan
dapat menimbulkanfrustasi yang berat.
2. Keadaan tersebut dapat berakibat fatal, yaitu mereka
menyingkirkan diri dari keramaian.
3. Anak tuna daksa cenderung acuh bila dikumpulkan bersama anak-
anak normal dalam suatu permainan.
4. Akibat kecacatanya mereka dapat mengalami keterbatasan dalam
berkomunikasi dengan lingkunganya.
c. Karakteristik Intelegensi
1. Tidak ada hubungan antara tingkat kecerdasan dan kecacatan, tapi
ada beberapa kecenderungan adanya penurunan sedemikian rupa
kecerdasan individu bila kecacatanya meningkat.
2. Hasil penelitian ternyata IQ anak tuna daksa rata-rata normal.
d. Karakteristik Fisik
a. Selain memiliki kecacatan tubuh, ada kecenderungan mengalami
gangguan-gangguan lain, misalnya: sakit gigi, berkurangnya daya
pendengaran, penglihatan, gangguan bicara dan sebagainya.
b. Kemampuan motorik terbatas dan ini dapat dikembangkan sampai
pada batas-batas tertentu.
a. Poliomylitis
Penderita polio ini mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan
mengecil dan tenaganya melemah. Peradangan akibat virus polio ini
menyerang sumsum tulang belakang pada anak usia dua tahun sampai
enam tahun.
b. Muscle Dystrophy
Anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot. Kelumpuhan pada
penderita muscle dystrophy sifatnya progresif, semakin hari semakin
parah. Kondisi kelumpuhannya bersifat simetris, yaitu pada kedua
tangan saja atau kedua kaki saja, atau pada kedua tangan dan kaki.
Penyebab terjadinya muscle distrophy belum diketahui secara pasti.
Gejala anak menderita muscle dystrophy baru kelihatan setelah anak
berusia tiga tahun, yaitu gerakan-gerakan yang lambat, di mana
semakin hari keadaannya semakin mundur. Selain itu, jika berjalan
sering terjatuh. Hal ini kemudian mengakibatkan anak tidak mampu
berdiri dengan kedua kakinya dan harus duduk di atas kursi roda.
1. Sekolah Khusus
Pelayanan pendidikan bagi anak tunadaksa di sekolah khusus ini
diperuntukkan bagi anak yang mempunyai problema lebih berat, baik problema
penyerta intelektualnya seperti retardasi mental maupun problema penyerta
kesulitan lokomosi (gerakan) dan emosinya. Di sekolah khusus ini pelayanan
pendidikannya dibagi menjadi dua unit, yaitu unit sekolah khusus bagi anak
tunadaksa ringan, dan unit sekolah khusus bagi anak tunadaksa sedang.
a. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Ringan (SLB-D)
Pelayanan pendidikan diunit tunadaksa ringan atau SLB-D diperlukan bagi
anak tunadaksa yang tidak mempunyai problema penyerta retardasi
mental, yaitu anak tunadaksa yang mempunyai intelektual rata-rata atau
bahkan di atas rata-rata intelektual anak normal. Namun anak kelompok
ini belum ditempatkan di sekolah terpadu/sekolah umum karena anak
masih memerlukan terapi-terapi, seperti fisio terapi, speech therapy,
occuppational therapy dan atau terapi yang lain. Dapat juga terjadi anak
tunadaksa tidak ditempatkan di sekolah reguler karena derajad
kecacatannya terlalu berat.
b. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Sedang (SLB-D1)
Pelayanan pendidikan diunit ini, diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang
mempunyai problema seperti, emosi, persepsi atau campuran dari
ketiganya disertai problema penyerta retardasi mental. Kelompok anak
tunadaksa sedang ini mempunyai intelektual di bawah rata-rata anak
normal.
2. Sekolah Terpadu/Inklusi
Bagi anak tunadaksa dengan problema penyerta relatif ringan, dan tidak
disertai dengan problema penyerta retardasi mental akan sangat baik jika sedini
mungkin pelayanan pendidikannya disatukan dengan anak-anak normal lainnya di
sekolah reguler/sekolah umum. Karena anak tunadaksa tersebut sudah dapat
mengatasi problema fisik maupun intelektual serta emosionalnya. Namun
walaupun kondisi penyerta anak tunadaksa cukup ringan, sekolah reguler yang
ditunjuk untuk melayani pendidikannya perlu persiapan yang matang terlebih
dahulu, baik persiapan sarana maupun prasarananya. Seperti persiapan
aksesibilitas misalnya meminimalkan trap-trap atau tangga-tangga. Jika
memungkinkan dibuatkan ramp-ramp untuk akses kursi roda, atau bagi anak yang
khusus menggunakan alat bantu jalan lainnya seperti kruk atau wolker. Bentuk
meja atau kursi belajar disesuaikan dengan kondisi anak. Hal demikian
memerlukan persiapan yang lebih terencana, sehingga tidak menimbulkan
problema tambahan bagi anak tunadaksa. Juga bentuk toilet, kloset harus dapat
dipergunakan bagi anak yang menggunakan kursi roda. Disamping itu sistem guru
kunjung dapat membantu memecahkan permasalahan yang mungkin timbul pada
anak tunadaksa dikemudian hari.
B. Teknologi Pendidikan Anak Tuna Daksa
1. REWALK
Untuk mengontrol ReWalk, pengguna cukup menekan tombol kontrol
yang dililitkan di pergelangan tangan. Apakah ingin duduk atau berjalan,
ReWalk yang akan melakukan pekerjaan selanjutnya, badan pengguna cukup
mengikuti. Di bagian belakang terdapat seperti tas gendong yang berisi kotak
kontrol berbasis komputerisasi. Fungsi tas gendong tersebut adalah selain
menjadi pusat bekerja ReWalk juga menjadi pemberat yang menyeimbangkan
tubuh. Harga ‘Rewalk’ cukup mahal, yaitu hampir US$50 ribu (Rp 454 juta)
per pasien.
2. KAKI PALSU
Kaki palsu adalah alat yang digunakan untuk menggantikan alat gerak
tubuh bagian bawah yang hilang karena amputasi atau bawaan sejak lahir.
3. COCK UP
Cock up splint adalah alat bantu orthopedi yang diindikasikan untuk
kondisi claw hand, drop hand, dll dimana lesi / kecacatan terjadi pada
pergelangan tangan hingga jari tangan. Model dari cock up splint dapat
bergabai macam, tergantung dari kondisi kecacatan dan letak lesi.
B. Saran
Dalam mendukung perkembangan pendidikan terutama pendidikan
anak berkebutuhan khusus, masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan
diharapkan tidak melakukan diskriminatif terhadap anak yang
mengalami kebutuhan khusus. Serta dalam melakukan kegiatan belajar
di sekolah guru dapat menerapkan esensi kemerdekaan berpikir.
DAFTAR PUSTAKA
Vardaro, M. J., Systems, H. I. T., AG, H. T., Jari, A., Pentti, M., Information,
B. G., ... Measurements, C. (2016). Layanan anak berkebutuhan khusus di
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif (sppi) sekolah dasar wilayah
kecamatan lendah kabupaten kulon progo. 2002 (1), 35–40.
https://doi.org/10.1109/ciced.2018.8592188