Anda di halaman 1dari 12

DRAF MAKALAH TUNA DAKSA

Nama Kelompok 5
1. Komang Sriwirasanty (4520103029)
2. Salsabila (4520103033)
3. Enjelika Palinoan (4520103017)
4. Warda Limbong Minanga (4520103028)

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuna daksa adalah seseorang atau anak yang memiliki cacat fisik, tubuh,
dan cacat orthopedi. Dalam bahasa asing sering kali di jumpai istilah crippled,
physically disabled, physically handicapped. Tunadaksa merupakan istilah
lain dari cacat tubuh/tuna fisik yaitu berbagai kelainan bentuk tubuh yang
mengakibatkan kelainan fungsi dari tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan
yang dibutuhkan. Tunadaksa juga didefinisikan sebagai seorang individu
yang memiliki gangguan gerak disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan
struktur tulang yang bersifat bawaan sakit atau akibat kecelakaan, termasuk
celebral palsy, amputasi, polio dan lumpuh.
Citra tubuh adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan
tidak sadar sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk,
dan fungsi penampilan tubuh saat ini dan masa lalu. Persepsi, perasaan, dan
kepercayaan terkait tubuh pada penyandang tunadaksa yang mengalami
gangguan citra tubuh sangat membutuhkan dukungan keluarga. Keluarga
merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap
berbagai aspek perkembangan termasuk perkembangan sosial penyandang
tunadaksa.
Dukungan keluarga mempengaruhi pembentukan konsep diri pada bagian
citra tubuh penyandang tuna daksa. kebutuhan untuk berinteraksi dan
bersosialisi dengan masyarakat lainnya. Akan tetapi, dengan adanya
kekurangan dan keterbatasan tersebut, penyandang tunadaksa sering sekali
diremehkan dan dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya. Hal
tersebut mempengaruhi rasa percaya diri para penyandang tunadaksa (Nova
yahana, 2016). Oleh karena itu mereka dapat membangun hubungan negatif
dengan tubuh mereka, mengingat pengaruh yang datang kedalam kontak
dengan orangorang yang dapat menciptakan citra tubuh bagi individu
penyandang tunadaksa (dalam Rafael, Ferreriera, Morgado, Rafael &
Teixeira, 2010). Untuk dapat membantu mengoptimalkan perkembangan
penyandang tunadaksa, keluarga diharapkan untuk selalu memberikan
dukungan kepada anak tersebut. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan
informasi seperti orang tua yang memberikan nasehat pada penyandang
tunadaksa saat penyandang tunadaksa melawan orang tua, dukungan
emosional seperti orang tua yang memberikan perhatian dan kasih sayang
pada penyandang tuna daksa, dukungan instrumen seperti orang tua
memberikan uang atau benda yang dapat menunjang perkembangan
penyandang tunadaksa, dan dukungan penilaian seperti orang tua yang
membimbing anak tunadaksa (Friedman, 1998). Dukungan keluarga dalam
dukungan sosial dalam memberikan dukungan ataupun pertolongan dan
bantuan pada anggota keluarga penyandang tunadaksa. Dukungan sosial
adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh
teman/anggota keluarga (Baron dan Byrne, 2005).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari anak tuna daksa ?
2. Bagaimana karakteristik dan permasalahan yang dihadapi dari anak tuna
daksa ?
3. Bagaimana klasifikasi dari anak tuna daksa ?
4. Apa yang menyebabkan seorang anak mengidap tuna daksa ?
5. Bagaimana model pelayanan dan teknologi pendidikan anak tuna daksa ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian dari anak tuna daksa
2. Untuk mengetahui berbagai karakteristik dan permasalahan yang dihadapi
dari anak tuna daksa
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari anak tuna daksa
4. Untuk mengetahui dan memahami penyebab seorang anak mengidap tuna
daksa
5. Untuk mengetahui dan memahami model pelayanan dan teknologi
pendidikan anak tuna daksa
1.4 Manfaat Penulisan
Sebagai bentuk untuk menambah wawasan dan referensi bagi penulis dan
pembaca mengenai anak tuna daksa

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Anak Tuna Daksa
Anak tuna daksa adalah anak yang mempunyai kelainan ortopedik atau
salah satu bentuk berupa gangguan dari fungsi normal pada tulang, otot, dan
persendian yang mungkin karena bawaan sejak lahir, penyakit atau kecelakaan,
sehingga apabila mau bergerak atau berjalan memerlukan alat bantu.
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang
disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat
bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio,
dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki
keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan
melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami
gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam
gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

2.2 Karakteristik dan Permasalahan Anak Tuna Daksa


Banyak jenis dan variasi anak tuna daksa, sehingga untuk mengidentifikasi
karakteristiknya diperlukan pembahasan yang sangat luas. Berdasarkan berbagai
sumber ditemukan beberapa karakteristik umum bagi anak tuna daksa, diantara
lain sebagai berikut :
a. Karakteristik Kepribadian
1. Mereka yang cacat sejak lahir tidak pernah memperoleh
pengalaman, yang demikian ini tidak menimbulkan frustasi.
2. Tidak ada hubungan antara pribadi yang tertutup dengan lamanya
kelainan fisik yang diderita.
3. Adanya kelainan fisik tidak memperngaruhi kepribadian atau
ketidak mampuan individu dalam menyesuaikan diri.
4. Anak cerebal-pakcy dan polio cenderung memiliki rasa takut
daripada yang mengalami sakit jantung.

b. Karakteristik Emosi-sosial
1. Kegiatan-kegiatan jasmani yang tidak dapat dijangkau oleh anak
tuna daksa dapat berakibat timbulnya problem emosi, perasaan dan
dapat menimbulkanfrustasi yang berat.
2. Keadaan tersebut dapat berakibat fatal, yaitu mereka
menyingkirkan diri dari keramaian.
3. Anak tuna daksa cenderung acuh bila dikumpulkan bersama anak-
anak normal dalam suatu permainan.
4. Akibat kecacatanya mereka dapat mengalami keterbatasan dalam
berkomunikasi dengan lingkunganya.

c. Karakteristik Intelegensi
1. Tidak ada hubungan antara tingkat kecerdasan dan kecacatan, tapi
ada beberapa kecenderungan adanya penurunan sedemikian rupa
kecerdasan individu bila kecacatanya meningkat.
2. Hasil penelitian ternyata IQ anak tuna daksa rata-rata normal.
d. Karakteristik Fisik
a. Selain memiliki kecacatan tubuh, ada kecenderungan mengalami
gangguan-gangguan lain, misalnya: sakit gigi, berkurangnya daya
pendengaran, penglihatan, gangguan bicara dan sebagainya.
b. Kemampuan motorik terbatas dan ini dapat dikembangkan sampai
pada batas-batas tertentu.

Adanya berbagai karakteristik tersebut bukan berarti bahwa setiap anak


tuna daksa memiliki semua karakteristik yang diungkapkan, namun bisa saja
terjadi salah satunya tidak dimiliki.
Dari karakteristik tersebut menimbulkan dampak positif maupun dampak
negatif. Dari dampak negatif timbul masalah-masalah yang muncul yang
berkaitan dengan posisi siswa disekolah. Permasalahan tersebut dapat
digolongkan menjadi beberapa masalah, yaitu:

1. Masalah kesulitan belajar


Terjadinya kelainan pada otak ,sehingga fungsi fikirnya terganggu
persepsi. Apalagi bagi anak tuna daksa yang disertai dengan cacat-cacat
lainya dapat menimbulkan komplikasi yang secara otomatis dapat
berpengaruh terhadap kemampuan menyerap materi yang diberikan.
2. Masalah sosialisasi
Anak tuna daksa mengalami berbagai kesulitan dan hambatan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal ini dapat terjadi karena
kelainan jasmani, sehingga mereka tidak diterima oleh teman-temannya,
diisilasi, dihina, dibenci, dan bahkan tidak disukai sama sekali kehadiranya
dan sebagainya.
3. Masalah kepribadian
Masalah kepribadian dapat berwujud kurangnya ketahanan diri bahkan
tidak adanya kepercayaan diri, mudah tersinggung dan sebagainya.
4. Masalah ketrampilan dan pekerjaan
Anak tuna daksa memiliki kemampuan fisik yang terbatas, namun di lain
pihak bagi mereka yang memiliki kecerdasan yang normal ataupun yang
kurang perlu adanya pembinaan diri sehingga hidupnya tidak sepenuhnya
menggantungkan diri pada orang lain. Karena itu dengan modal
kemampuan yang dimilikinya perlu diberikan kesempatan yang sebanyak-
banyaknya untuk dapat mengembangkan lewat latihan ketrampilan dan
kerja yang sesuai dengan potensinya, sehingga setelah selesai masa
pendidikan mereka dapat menghidupi dirinya, tidak selalu mengharapkan
pertolongan oranglain. Di lain pihak dianggap perlu sekali adanya kerja
sama yang baik dengan perusahaan baik negeri maupun swasta untuk
dapat menampung mereka.
5. Masalah latihan gerak
Kondisi anak tuna daksa yang sebagian besar mengalami gangguan dalam
gerak. Agar kelainanya itu tidak semakin parah dan dengan harapan
supaya kondisi fungsional dapat pulih ke posisi semula, dianggap perlu
adanya latihan yang sistematis dan berlanjut.misalnya terapi-fisik (fisio-
therapy), terapi-tari (dance-therapy), terapi-bermain (play-therapy), dan
terapi-okupasional (occupotional-therapy).

2.3 Klasifikasi Anak Tuna Daksa


Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa, pada dasarnya kelainan pada
anak tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) kelainan
pada sistem serebral ( Cerebral System), dan (2) kelainan pada sistem otot dan
rangka ( Musculus Skeletal System)

1. Kelainan pada sistem serebral ( cerebral system disorders)


Penggolongan anak tuna daksa ke dalam kelainan sistem serebral (
cerebral) didasarkan pada letak penyebab kelahiran yang terletak di dalam sistem
syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Kerusakan pada sistem syaraf
pusat mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial karena otak dan sumsum
tulang belakang merupakan pusat dari aktivitas hidup manusia. Di dalamnya
terdapat pusat kesadaran, pusat ide, pusat kecerdasan, pusat motorik, pusat
sensoris dan lain sebagainya. Kelompok kerusakan bagian otak ini disebut
Cerebral Palsy (CP). Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan menurut:

a. Penggolongan menurut derajat kecacatan


Menurut derajat kecacatan, cerebal palsy dapat digolongkan atas: golongan
ringan, golongan sedang, dan golongan berat.
1. Golongan ringan adalah mereka yang dapat berjalan tanpa
menggunakan alat, berbicara tegas, dapat menolong dirinya sendiri
dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat hidup bersama-sama
(dalam hal ini mengikuti aktivitas sehari-hari) anak normal lainnya.
Kelainan yang dimiliki oleh kelompok ini tidak mengganggu
kehidupan dan pendidikannya.
2. Golongan sedang adalah mereka yang membutuhkan treatment atau
latihan khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri.
Golongan ini memerlukan alat-alat khusus untuk membantu
gerakannya, seperti brace untuk membantu penyangga kaki, kruk atau
tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan pertolongan secara
khusus, anak-anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus dirinya
sendiri.
3. Golongan berat adalah mereka yang memiliki cerebral palsy. Golongan
ini yang tetap membutuhkan perawatan dalam ambulansi, bicara, dan
menolong dirinya sendiri. Mereka tidak dapat hidup mandiri di tengah-
tengah masyarakat.

b. Penggolongan menurut topografi


Dilihat dari topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh,
Cerebral Palsy dapat digolongkan menjadi enam golongan, yaitu:
1. Monoplegia
Hanya satu anggota gerak yang lumpuh, misalnya kaki kiri. Sedangkan
kaki kanan dan kedua tangannya normal.
2. Hemiplegia
Lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang sama, misalnya
tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan kaki kiri.
3. Paraplegia
Lumpuh pada kedua tungkai kakinya.
4. Diplegia
Lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan dan kiri
(paraplegia).
5. Triplegia
Tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan kanan
dan kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua kakinya
lumpuh.
6. Quadriplegia
Anak jenis ini mengalami kelumpuhan seluruhnya anggota geraknya.
Mereka cacat pada kedua tangan dan kedua kakinya, quadriplegia
disebutnya juga tetraplegia.

c. Penggolongan menurut fisiologi


Dilihat dari fisiologi, yaitu segi gerak, letak kelainan terdapat di otak dan
fungsi geraknya (motorik), maka anak Cerebral Palsy dibedakan atas:
1. Spastik
Tipe spastik ini ditandai dengan adanya gejala kekejangan atau
kekakuan pada sebagian ataupun seluruh otot. Kekakuan itu timbul
ketika akan bergerak sesuai dengan kehendak. Dalam keadaan
ketergantungan emosional, kekakuan atau kekejangan itu akan makin
bertambah, sebaliknya dalam keadaan tenang, gejala itu menjadi
berkurang. Pada umumnya, anak CP jenis spastik ini memiliki tingkat
kecerdasan yang tidak terlalu rendah. Di antara mereka ada yang
normal bahkan ada yang di atas normal.
2. Athetoid
Pada tipe ini tidak terdapat kekejangan atau kekakuan. Otot-ototnya
dapat digerakkan dengan mudah. Ciri khas tipe ini terdapat pada sistem
gerakan. Hampir semua gerakan terjadi di luar kontrol dan koordinasi
gerak.
3. Ataxia
Ciri khas tipe ini adalah seperti kehilangan keseimbangan. Kekakuan
hanya dapat terlihat dengan jelas saat berdiri atau berjalan. Gangguan
utama pada tipe ini terletak pada sistem koordinasi dan pusat
keseimbangan pada otak. Akibatnya, anak tipe ini mengalami
gangguan dalam hal koordinasi ruang dan ukuran. Sebagai contoh
dalam kehidupan sehari-hari adalah pada saat makan mulut terkatup
terlebih dahulu sebelum sendok berisi makanan sampai ujung mulut.
4. Tremor
Gejala yang tampak jelas pada tipe tremor adalah gerakan-gerakan
kecil dan terus menerus berlangsung sehingga tampak seperti bentuk
getaran-getaran. Gerakan itu dapat terjadi pada kepala, mata, tungkai,
dan bibir.
5. Rigid
Pada tipe ini dapat dijumpai kekakuan otot – tidak seperti pada tipe
spastik – di mana gerakannya tampak tidak ada keluwesan.
6. Tipe campuran
Anak pada tipe ini menunjukkan dua ataupun lebih jenis gejala CP
sehingga akibatnya lebih berat bila dibandingkan dengan anak yang
hanya memiliki satu tipe CP.

2. Kelainan pada sistem otot dan rangka ( musculus scelatel system)


Penggolongan anak tuna daksa ke dalam kelompok sistem otot dan rangka
didasarkan pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami kelainan
yaitu: kaki, tangan dan sendi, dan tulang belakang. Jenis-jenis kelainan sistem
otak dan rangka antara lain meliputi

a. Poliomylitis
Penderita polio ini mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan
mengecil dan tenaganya melemah. Peradangan akibat virus polio ini
menyerang sumsum tulang belakang pada anak usia dua tahun sampai
enam tahun.
b. Muscle Dystrophy
Anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot. Kelumpuhan pada
penderita muscle dystrophy sifatnya progresif, semakin hari semakin
parah. Kondisi kelumpuhannya bersifat simetris, yaitu pada kedua
tangan saja atau kedua kaki saja, atau pada kedua tangan dan kaki.
Penyebab terjadinya muscle distrophy belum diketahui secara pasti.
Gejala anak menderita muscle dystrophy baru kelihatan setelah anak
berusia tiga tahun, yaitu gerakan-gerakan yang lambat, di mana
semakin hari keadaannya semakin mundur. Selain itu, jika berjalan
sering terjatuh. Hal ini kemudian mengakibatkan anak tidak mampu
berdiri dengan kedua kakinya dan harus duduk di atas kursi roda.

2.4 Penyebab Anak Pengidap Tuna Daksa


Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada
anak sehingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak di
jaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, serta pada sistem musculus
skeletal. Terdapat keragaman jenis tunadaksa, dan masing-masing timbulnya
kerusakan berbeda-beda. Dilihat dari waktu terjadinya, kerusakan otak dapat
terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.

1. Sebelum lahir (fase prenatal)


Kerusakan terjadi pada saat bayi saat masih dalam kandungan disebabkan:
a. Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga
menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya.
b. Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusar
tertekan, sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.
c. Bayi dalam kandungan terkena radiasi yang langsung mempengaruhi
sistem syarat pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
d. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma yang dapat
mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat.
Misalnya, ibu jatuh dan perutnya terbentur dengan cukup keras dan
secara kebetulan mengganggu kepala bayi, maka dapat merusak sistem
syaraf pusat.
2. Saat kelahiran (fase natal/perinatal)
Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi
dilahirkan antara lain:
a. Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang yang kecil
pada ibu sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen. Hal ini
kemudian menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak
bayi sehingga jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan.
b. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang
mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak
pada bayi.
c. Pemakaian anestesi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan
karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat
mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi sehingga otak mengalami
kelainan struktur ataupun fungsinya.

3. Setelah proses kelahiran (fase post natal)


Fase setelah kelahiran adalah masa di mana bayi mulai dilahirkan sampai
masa perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia lima tahun.
Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir adalah:
a. Kecelakaan/trauma kepala, amputasi.
b. Infeksi penyakit yang menyerang otak.

2.5 Model Pelayanan dan Teknologi Pendidikan Anak Tuna Daksa


A. Model Pelayanan Pendidikan Anak Tuna Daksa
Sebagaimana diketahui, bahwa pendidikan bagi anak tidak selalu harus
berlangsung disuatu lembaga pendidikan khusus, sebab sebagian dari mereka
(anak tunadaksa) pendidikannya dapat berlangsung di sekolah dan kelas
reguler/sekolah umum. Hal ini disebabkan oleh faktor kemampuan dan
ketidakmampuan anak tunadaksa dan lingkungannya. Evelyn Deno, (1970) dan
Ronald L Taylor, (1984) menjelaskan system layanan pendidikan bagi anak luar
biasa (termasuk anak tunadaksa) yang bervariasi, mulai dari sistem pendidikan di
kelas dan sekolah reguler/umum sampai pendidikan yang diberikan disuatu rumah
sakit, bahkan sampai pada bentuk layanan yang tidak memiliki makna edukasi
sama sekali, yakni layanan yang diberikan kepada anak-anak tunadaksa dalam
perawatan medis dan bantuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Dari kenyataan di lapangan bahwa anak tunadaksa memiliki problema
penyerta. Problema penyerta ini berbeda-beda antara seorang anak tunadaksa yang
satu dengan anak tunadaksa yang lainnya, tergantung dari pada penyebab
ketunaannya, berat ringannya ketunaannya. Atas dasar kondisi anak tunadaksa
tersebut, maka model pelayanan pendidikannya dibagi pada “Sekolah Khusus”
dan “Sekolah Terpadu/Inklusi”.

1. Sekolah Khusus
Pelayanan pendidikan bagi anak tunadaksa di sekolah khusus ini
diperuntukkan bagi anak yang mempunyai problema lebih berat, baik problema
penyerta intelektualnya seperti retardasi mental maupun problema penyerta
kesulitan lokomosi (gerakan) dan emosinya. Di sekolah khusus ini pelayanan
pendidikannya dibagi menjadi dua unit, yaitu unit sekolah khusus bagi anak
tunadaksa ringan, dan unit sekolah khusus bagi anak tunadaksa sedang.
a. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Ringan (SLB-D)
Pelayanan pendidikan diunit tunadaksa ringan atau SLB-D diperlukan bagi
anak tunadaksa yang tidak mempunyai problema penyerta retardasi
mental, yaitu anak tunadaksa yang mempunyai intelektual rata-rata atau
bahkan di atas rata-rata intelektual anak normal. Namun anak kelompok
ini belum ditempatkan di sekolah terpadu/sekolah umum karena anak
masih memerlukan terapi-terapi, seperti fisio terapi, speech therapy,
occuppational therapy dan atau terapi yang lain. Dapat juga terjadi anak
tunadaksa tidak ditempatkan di sekolah reguler karena derajad
kecacatannya terlalu berat.
b. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Sedang (SLB-D1)
Pelayanan pendidikan diunit ini, diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang
mempunyai problema seperti, emosi, persepsi atau campuran dari
ketiganya disertai problema penyerta retardasi mental. Kelompok anak
tunadaksa sedang ini mempunyai intelektual di bawah rata-rata anak
normal.

2. Sekolah Terpadu/Inklusi
Bagi anak tunadaksa dengan problema penyerta relatif ringan, dan tidak
disertai dengan problema penyerta retardasi mental akan sangat baik jika sedini
mungkin pelayanan pendidikannya disatukan dengan anak-anak normal lainnya di
sekolah reguler/sekolah umum. Karena anak tunadaksa tersebut sudah dapat
mengatasi problema fisik maupun intelektual serta emosionalnya. Namun
walaupun kondisi penyerta anak tunadaksa cukup ringan, sekolah reguler yang
ditunjuk untuk melayani pendidikannya perlu persiapan yang matang terlebih
dahulu, baik persiapan sarana maupun prasarananya. Seperti persiapan
aksesibilitas misalnya meminimalkan trap-trap atau tangga-tangga. Jika
memungkinkan dibuatkan ramp-ramp untuk akses kursi roda, atau bagi anak yang
khusus menggunakan alat bantu jalan lainnya seperti kruk atau wolker. Bentuk
meja atau kursi belajar disesuaikan dengan kondisi anak. Hal demikian
memerlukan persiapan yang lebih terencana, sehingga tidak menimbulkan
problema tambahan bagi anak tunadaksa. Juga bentuk toilet, kloset harus dapat
dipergunakan bagi anak yang menggunakan kursi roda. Disamping itu sistem guru
kunjung dapat membantu memecahkan permasalahan yang mungkin timbul pada
anak tunadaksa dikemudian hari.
B. Teknologi Pendidikan Anak Tuna Daksa

1. REWALK
Untuk mengontrol ReWalk, pengguna cukup menekan tombol kontrol
yang dililitkan di pergelangan tangan. Apakah ingin duduk atau berjalan,
ReWalk yang akan melakukan pekerjaan selanjutnya, badan pengguna cukup
mengikuti. Di bagian belakang terdapat seperti tas gendong yang berisi kotak
kontrol berbasis komputerisasi. Fungsi tas gendong tersebut adalah selain
menjadi pusat bekerja ReWalk juga menjadi pemberat yang menyeimbangkan
tubuh. Harga ‘Rewalk’ cukup mahal, yaitu hampir US$50 ribu (Rp 454 juta)
per pasien.
2. KAKI PALSU
Kaki palsu adalah alat yang digunakan untuk menggantikan alat gerak
tubuh bagian bawah yang hilang karena amputasi atau bawaan sejak lahir.
3. COCK UP
Cock up splint adalah alat bantu orthopedi yang diindikasikan untuk
kondisi claw hand, drop hand, dll dimana lesi / kecacatan terjadi pada
pergelangan tangan hingga jari tangan. Model dari cock up splint dapat
bergabai macam, tergantung dari kondisi kecacatan dan letak lesi.

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
Pendidikan di Indonesia menciptakan program merdeka belajar agar dapat
membuat semua orang yang terlibat di dunia pendidikan tidak merasa
bosan dan jenuh melainkan mereka merasakan kebahagiaan terutama untuk
mereka yang terlibat langsung dengan dunia anak yang mengalami
kebutuhan khusus. Dalam melaksanakan pembelajaran guru sebagai
pendidik hendaknya mampu menciptakan kondisi kelas yang interakif,
inspiratif, tidak monoton dan selalu disertai dengan memberikan
berbagai motivasi pada peserta didik.
Dalam penanganan terhadap anak yang mengalami hambatan fisik
yaitu penanganan klinis, penanganan pendidikan dan penanganan sosial.
Serta model belajar yang guru berikan kepada anak tunadaksa biasanya
dimulai dari kegiatan sehari-hari, disertai penerapan kebiasaan reinforcement
(penguatan) dan model pembelajaran kognitif.

B. Saran
Dalam mendukung perkembangan pendidikan terutama pendidikan
anak berkebutuhan khusus, masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan
diharapkan tidak melakukan diskriminatif terhadap anak yang
mengalami kebutuhan khusus. Serta dalam melakukan kegiatan belajar
di sekolah guru dapat menerapkan esensi kemerdekaan berpikir.

DAFTAR PUSTAKA

Sulistijowati, Endang. "PENINGKATAN KEMAMPUAN PENJUMLAHAN


MENYIMPAN DENGAN MEDIA KOTAK SIMPAN PADA ANAK TUNA
DAKSA DISERTAI LAMBAN BELAJAR KELAS 9 SMPLB NEGERI 1
BANTUL YOGYAKARTA." Exponential (Education For Exceptional Children)
Jurnal Pendidikan Luar Biasa 1.1 (2020): 20-26.

Soemantri, Sutjihati.1996.Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta.Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan

Stiati, Citra, and Setia Budi. "Mengintegrasikan Nilai-Nilai Merdeka Belajar


Kedalam Pendidikan Dan Penanganan Anak Tunadaksa." (Webinar) Seminar
Nasional Pendidikan 2020. Vol. 1. No. 1. 2020.

Vardaro, M. J., Systems, H. I. T., AG, H. T., Jari, A., Pentti, M., Information,
B. G., ... Measurements, C. (2016). Layanan anak berkebutuhan khusus di
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif (sppi) sekolah dasar wilayah
kecamatan lendah kabupaten kulon progo. 2002 (1), 35–40.
https://doi.org/10.1109/ciced.2018.8592188

Widiastuti, N. L. G. K. (2019). Model Layanan Pendidikan Bagi Anak


Berkebutuhan Khusus Yang Mengalami Kecacatan Fisik. Jurnal Ilmiah Ilmu
Sosial, 5(1), 46.
https://doi.org/10.23887/jiis.v5i1.187

Anda mungkin juga menyukai