Anda di halaman 1dari 12

DRUG INDUCED LIVER INJURY (DILI)

A. PENDAHULUAN
Drug Induced Liver Injury (DILI) adalah jejas hati oleh karena keadaan inflamasi
yang diakibatkan oleh obat-obatan maupun supplement makanan. Obat-obatan yang
sering menjadi penyebab DILI adalah obat-obatan anti-tuberculosis dan anti-retroviral.
Luputnya diagnosis DILI sering terjadi karena DILI memiliki spektrum yang luas, mulai
dari tidak bergejala sama sekali sampai gagal hati akut yang mengancam nyawa. 1
B. EPIDEMIOLOGI
Berbagai survei di dunia menunjukkan bahwa frekuensi DILI sebagai penyebab
penyakit hati akut maupun kronik relatif rendah. Insidens hepatotoksisitas imbas obat
dilaporkan sebesar 1:10.000 sampai 1:100.000 pasien. Dilaporkan sebesar 5%-33%
pasien yang menerima pengobatan OAT didiagnosis mengalami DILI. Meskipun
demikian, insidens DILI yang sebenarnya sulit diketahui. Jumlah aktual dapat jauh lebih
besar karena sistem pelaporan yang belum memadai, kesulitan mendeteksi atau
mendiagnosis, dan kurangnya observasi terhadap pasien-pasien yang mengalami DILI. 1,3
C. KLASIFIKASI
Hepatotoksisitas akibat obat secara umum dibagi menjadi dua kategori besar,
yaitu hepatotoksisitas intrinsik dan hepatotoksisitas idiosinkratik. 2,3
1. Hepatotoksisitas intrinsik disebut juga hepatotoksisitas direk atau dapat diprediksi
Contoh hepatotoksisitas intrinsik adalah hepatotoksisitas akibat pajanan terhadap zat
kimia industri maupun lingkungan atau toksin, seperti karbon tetraklorida, fosfor,
atau beberapa jenis jamur yang menyebabkan jejas hati.
2. Hepatotoksisitas idiosinkratik disebut juga hepatotoksisitas indirek atau tidak dapat
diprediksi merupakan hepatotoksisitas yang disebabkan oleh faktor dari host atau
pasien itu sendiri berupa genetik, hormon, gender, dan lainnya. Sehingga obat-obat
konvensional dan produk herbal dapat menyebabkan hepatotoksisitas dalam sejumlah
kecil resipien (1:10.000-1:100.000).
Pada tahun 2001, American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD)
menetapkan bahwa peningkatan kadar alanine aminotransferase (ALT) lebih dari tiga kali
batas atas normal (BAN) dan peningkatan bilirubin total lebih dari dua kali BAN dapat
digunakan sebagai kriteria untuk menentukan ada tidaknya kelainan signifikan pada
parameter laboratorik hati. Peningkatan kadar enzim hati alanin transaminase (ALT),
aspartate aminotransferase (AST), dan fosfatase alkali (ALP) dianggap sebagai indikator
jejas hati, sedangkan peningkatan bilirubin total dan terkonjugasi merupakan parameter
untuk menilai fungsi hati secara keseluruhan. 1,2,4
Klasifikasi lainnya yaitu berdasarkan pola jejas hati, terdapat tiga macam yaitu
pola jejas hepatoseluler, jejas kolestatik, dan campuran. Pada jejas hepatoselular biasanya
ditandai dengan didahuluinya peningkatan ALT dan AST dibandingkan dengan
bilirubin. Sedangkan jejas kolestatik ditandai dengan peningkatan ALP yang didahului
dibandingkan dengan ALT maupun AST. Selain itu, terdapat jejas mitokondria. Pada
jejas mitokondria terjadi steatosis mikrovaskular yang hanya dapat dinilai melalui biopi
hati, adanya asidosis laktat, dan peningkatan enzim aminotransferase. Berikut tabel obat-
obatan yang menyebabkan jejas hepatoselular, jejas kolestatik, dan campuran.6,7

Tabel 1. Pola jejas hati dan obat-obat penyebab. 3


D. FAKTOR RESIKO
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang lebih rentan mengalami
hepatotoksisitas imbas obat. Ada bukti bahwa seiring bertambahnya usia, risiko
mengalami DILI meningkat. Hal ini terjadi karena tampaknya banyak orang usia lanjut
yang mengonsumsi sejumlah obat yang dapat menyebabkan perubahan farmakokinetik
obat dan berhubungan dengan proses penuaan yang mengakibatkan penurunan
metabolisme, distribusi, serta eliminasi obat. Prediktor penting lainnya adalah hepatitis
viral kronik, baik hepatitis B maupun C yang telah ada sebelumnya. Pada beberapa
penelitian, didapatkan peningkatan risiko DILI pada pasien hepatitis kronik yang diterapi
dengan INH (Isoniaid) dan rifampisin. Risiko DILI juga meningkat pada pasien HIV
(Human Immunodeficiency Virus) dengan koinfeksi hepatitis B atau C yang mendapat
terapi antiretroviral. Obesitas dan non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) dikatakan
tidak meningkatkan risiko DILI. 6
E. PATOGENESIS
Kematian hepatosit pada DILI dapat terjadi melalui dua proses, yaitu proses yang
diperantarai apoptosis atau nekrosis. Pada apoptosis, terjadi pengerutan dan fragmentasi
sel menjadi pecahan-pecahan kecil dengan membran sel tetap utuh. Pecahan-pecahan ini
akan dibersihkan melalui proses fagositosis dan umumnya tidak merangsang respons
imun pejamu. Sebaliknya, nekrosis menyebabkan hilangnya fungsi mitokondria dan
deplesi ATP yang menyebabkan pembengkakan dan lisis sel yang merangsang terjadinya
proses inflamasi lokal. Proses apoptosis dan nekrosis tersebut dapat tercetus melalui
berbagai mekanisme. Pada sebagian besar kasus, DILI diawali dengan bioaktivasi obat
menjadi metabolit reaktif yang mampu berinteraksi dengan makromolekul seluler, seperti
protein, lemak, dan asam nukleat. Hal ini menyebabkan disfungsi protein, peroksidasi
lipid, kerusakan DNA, dan stres oksidatif. Selain itu, metabolit reaktif ini dapat
mencetuskan gangguan pada gradien ionik dan penyimpanan kalsium intraseluler,
menyebabkan terjadinya disfungsi mitokondria dan gangguan produksi energi. Gangguan
fungsi seluler ini pada akhirnya dapat menyebabkan kematian sel dan gagal hati. 6,8,9
F. GEJALA
Gejala yang dapat timbul berupa lemas, mual, muntah, kehilangan nafsu makan,
nyeri perut terutama pada kuadran kanan atas, icterus, dan gejala-gejala hipersensitifitas
obat, seperti demam, gatal, dan kemerahan pada kulit. Gejala-gejala tersebut biasanya
terjadi pada DILI tipe hepatoselular. Sedangkan pada tipe kolestatik sendiri biasanya
asimtomatik. Bila gejala icterus telah muncul, hal tersebut dapat dijadikan alaram bahwa
kerusakan hepar yang terjadi sudah parah, bahkan angka mortalias pada pasien DILI
dengan gejala tersebut lebih tinggi dibandingkan gejala lainnya. 5, 9

G. DIAGNOSIS
Terdapat dua metode utama untuk menentukan kausalitas pada DILI, yaitu
penilaian berdasarkan kondisi klinis pasien dan penggunaan sistem penskoran. Metode
pertama menekankan ketajaman analisis seorang dokter terhadap kondisi klinis dan
biokimia pasien yang berhubungan dengan penggunaan obat atau produk herbal. Akan
tetapi, pendekatan ini terlalu subjektif dan akurasinya sangat tergantung pada
keterampilan melakukan anamnesis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab
hepatotoksisitas lain. Sewaktu melakukan evaluasi terhadap tersangka DILI, hal pertama
yang harus dilakukan adalah menyingkirkan penyebab lain jejas hati, seperti hepatitis A,
hepatitis B, dan terkadang hepatitis C akut, hepatitis autoimun atau alkoholik, kelainan
traktus biliaris, dan gangguan hemodinamik. Setelah menyingkirkan penyebab jejas hati
akut lain, langkah berikutnya adalah menetapkan jenis obat penyebab. Hal ini dapat
dilakukan dengan anamnesis teliti mengenai semua jenis obat yang diberikan dalam 12
bulan terakhir, termasuk herbal maupun suplemen. Hal penting lain dalam menegakkan
diagnosis adalah menentukan jangka waktu dari pertama kali konsumsi obat hingga onset
penyakit hati, pola atau tipe jejas hati (hepatoselular, kolestasis, atau campuran), juga
menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan setelah obat
dihentikan. 1,2,7,9
Pendekatan lebih objektif adalah penilaian kausalitas menggunakan metode
RUCAM (Roussel-Uclaf Causality Assessment Method). Dalam metode ini, terdapat tujuh
parameter yang dinilai, yaitu jangka waktu terjadinya penyakit hati dari pertama kali
mengonsumsi obat, perjalanan penyakit hati yang dialami saat ini, faktor risiko untuk
mengalami jejas hati, eksklusi penyebab jejas hati lain, informasi mengenai
hepatotoksisitas yang ditimbulkan oleh obat tersangka, serta respons terhadap pemberian
ulang obat. Instrumen tersebut saat ini digunakan secara luas dalam berbagai penelitian
untuk menilai hepatotoksisitas, tetapi masih sulit diaplikasikan dalam praktik klinis
sehari-hari, sehingga sebagian besar dokter masih menggunakan penilaian klinis dalam
mendiagnosis DILI. 7,9
Gambar 1. RUCAM Diagnostic Score. 2
Tabel 2. RUCAM Scale. 2
Pasien yang dicurigai sebagai TB-DILI sangat diperlukan untuk me-review detail
diagnosis TB dan sedang dalam pengobatan fase apa, apakah fase intensif atau fase
lanjut. Pasien juga harus ditanyakan mengenai konsumsi obat lainnya yg bersifat
hepatotoksik seperti antiretroviral, cotrimoksazol, maupun obat herbal lainnya.
Dianjurkan juga untuk melakukan pemeriksaan USG jika ALP atau bilirubin meningkat
untuk menyingkirkan kemungkinan kausa lainnya seperti obstruksi duktus bilier
ekstrahepatik dan IRIS (Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome). TB-DILI
paling banyak disebabkan oleh obat anti-tuberkulosis seperi isoniazid, rifampisin, dan
pirazinamid. 1,2
TB DILI dapat didiagnosis bila nilai serum ALT >120 disertai dengan gejala
seperti mual, muntah, icterus, dan nyeri perut kanan atas, atau nilai ALT >200 dengan
tanpa gejala. 3, 7
H. TATALAKSANA TB DI INDONESIA
Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia adalah10:
-Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru TB paru yang terkonfirmasi
bakteriologis, terdiagnosis klinis, dan TB ekstra paru.
-Kategori 2 : 2 (HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pasien kambuh), pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya, dan pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow
up).
-Kategori anak: 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)4-10HR.
-Obat yang digunakan dalam tatalaksana TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT
lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,
Moksifloksasin, serta OAT lini 1, yaitu pirazinamid dan etambutol.

Tabel 3. OAT lini pertama. 10


Tabel 4. OAT yang digunakan dalam TB-MDR. 10
I. TATALAKSANA
Tatalaksana DILI yang paling penting adalah segera menghentikan obat yang
dicurigai sebagai penyebab. Pada sebagian besar kasus, jejas hati akan menyembuh
sendiri setelah obat dihentikan. Akan tetapi, apabila DILI bermanifestasi sebagai hepatitis
autoimun dan penyembuhan tidak terjadi dengan penghentian obat, kortikosteroid sering
digunakan sebagai terapi meskipun bukti ilmiahnya masih kontroversial. Overdosis
asetaminofen harus ditangani segera dengan pemberian N-asetilsistein (NAC). Untuk
orang dewasa yang menelan asetaminofen kurang dari 24 jam sebelum ke rumah sakit,
dosis awal NAC sebesar 140 mg/ kgBB harus diberikan, dilanjutkan 70 mg/kgBB setiap
4 jam, sebanyak 17 dosis, dimulai 4 jam setelah dosis awal diberikan. Asam
ursodeoksikolat dapat diberikan pada DILI tipe kolestatik dengan dosis 20-30 mg/
kgBB/hari dalam dua dosis terbagi. Apabila timbul rasa gatal yang hebat, dapat diberikan
kolestiramin, tetapi obat ini harus diberikan pada waktu yang berbeda dengan saat
pemberian asam ursodeoksikolat dan obatobat lain karena kolestiramin akan mengikat
dan menghalangi penyerapan obat lain. Kolestiramin disarankan diberikan pada pagi hari
ketika terjadi regenerasi maksimal biliary pool. 1,2,3
Penatalaksanaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan TB
tergantung dari:10
• Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan
• Berat ringannya gangguan fungsi hati
• Berat ringannya TB
• Kemampuan fasyankes untuk menatalaksana efek samping obat
Langkah langkah tindak lanjut adalah sebagai berikut, sesuai kondisi:10
1. Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena OAT,
pemberian semua OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan. Pengobatan yang
diberikan Streptomisin dan Etambutol sambil menunggu fungsi hati membaik. Bila
fungsi hati normal atau mendekati normal, berikan Rifampisin dengan dosis bertahap,
selanjutnya Isoniasid secara bertahap.
2. TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan pasien, dapat
diberikan paduan pengobatan non hepatatotoksik terdiri dari S, E dan salah satu OAT dari
golongan fluorokuinolon.
3. Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi hati kembali
normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum memulai pengobatan
kembali.
4. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu
sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan lemas serta pemeriksaan palpasi hati
sudah tidak teraba sebelum memulai kembali pengobatan.
5. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati berat, paduan
pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan salah satu golongan kuinolon dapat
diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan.
6. Setelah gangguan fungsi hati teratasi, paduan pengobatan OAT semula dapat dimulai
kembali satu persatu. Jika kemudian keluhan dan gejala gangguan fungsi hati kembali
muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati kembali tidak normal, OAT yang ditambahkan
terakhir harus dihentikan. Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan dengan
Rifampisin. Setelah 3-7 hari, Isoniazid dapat ditambahkan. Pada pasien yang pernah
mengalami ikterus akan tetapi dapat menerima kembali pengobatan dengan H dan R,
sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan Pirazinamid.
7. Paduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan fungsi hati.
Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian: 2HES/10HE. Apabila H sebagai
penyebab, dapat diberikan : 6-9 RZE. Apabila Z dihentikan sebelum pasien
menyelesaikan pengobatan tahap awal, total lama pengobatan dengan H dan R dapat
diberikan sampai 9 bulan. Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, paduan
pengobatan OAT non hepatotoksik terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan
kuinolon harus dilanjutkan sampai 18-24 bulan.
8. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap awal
dengan H,R,Z,E (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, berikan
kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan dengan S untuk menyelesaikan 2
bulan tahap awal diikuti dengan pemberian H dan R selama 6 bulan tahap lanjutan.
9. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap lanjutan
(paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, mulailah kembali
pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan. 10

Gambar 2. Alur monitoring hepatotoksisitas selama mendapat pengobatan TB. 7


J. PROGNOSIS
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang jejas tipe hepatoselular
mengikuti “hukum Hy”. Hukum ini dipopulerkan oleh Hyman Zimmerman, seorang
hepatolog yang tertarik pada DILI. Hukum Hy menyebutkan bahwa 10% pasien DILI
mengalami icterus dan, dari jumlah tersebut, 10% akan meninggal karena DILI. Angka
fatalitas kasus (case fatality rates) pasien gagal hati fulminan imbas obat terlapor sangat
tinggi (sekitar 75%) untuk obat-obat selain asetaminofen. Sebaliknya, angka fatalitas
kasus gagal hati fulminan yang disebabkan asetaminofen jauh lebih rendah, kurang lebih
25%. 3
DAFTAR PUSTAKA
1. Chughlay MF, et al. A Clinical Approach to Drug-Induced Injury. 2015. Current
Allergy and Clinical Immunology. Cape Town. vol;28 p252-6
2. Kullack U, et al. Drug-induced Liver Injury: Recent Advances in Diagnosis and Risk
Assessment. 2017. BMJ Publishing Group. Switzerland. p1-13
3. Maria IL, Hasan I. Drug-Induced Liver Injury- Tantangan dalam Diagnosis. 2014.
CDK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. vol 41 p167-70
4. Tendean M. Hepatitis Imbas Obat. 2014. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta. p1-20
5. Abbara A, et al. Drug-Induced Liver Injury from Antituberculous Treatment: A
Retrospective From A Large TB Centre in the UK. 2017. Biomed Central Research
Article. London. Vol 17 p1-12
6. Chen M, et al. Drug-Induced Liver Injury: Interactions Between Drug Properties and
Host Factors. 2015. Journal of Hepatology Elsevier. Germany. vol 63 p503-14
7. Jussi J, et al. An Official ATS Statement: Hepatotoxicity Of Antituberculosis Therapy.
2006. Am J Respiratory Critical Care Med. United States. vol 174 p935-48
8. Dolores B. Drug-Induced Hepatotoxicity: Metaboic, Genetic, and Immunological
Basis. 2014. Int J Mol SCI. United States. vol 15 p6990-7001
9. Fisher K, et al. Drug Induced Liver Injury. 2015. Arch Pathol Lab Med. vol 139
p876-85
10. Triya N, et al. Tatalaksana Pasien Tuberculosis, Chap 3. Pedoman Nasional P-TB.
2014. p22-37

Anda mungkin juga menyukai