net/publication/332494743
CITATIONS READS
0 3,022
2 authors:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
The causes of flooding in rice fields and subsequent food insecurity, Sumba, eastern Indonesia View project
Impact of an unmanaged ephemeral stream on channel irrigation in eastern Indonesia View project
All content following this page was uploaded by Norman Riwu Kaho on 18 April 2019.
KUPANG,
2018
Daftar Isi
Halaman
DAFTAR ISI I
ANALISIS JARAK PELAYANAN PUSKESMAS MENGGUNAKAN SAGA GIS & QGIS ...... 73
Gambar.
Keterkaitan Berbagai Komponen SIG
1
Raster dan Vektor. Apa Bedanya?
Dalam modul ini akan ditemui banyak istilah raster dan vektor yang merupakan 2 tipe file SIG
yang paling umum ditemui.
a. Raster
Data raster merupakan suatu permukaan kontinu yang akan terbagi dalam sel-sel grid yang
memiliki besaran yang sama. Setiap sel akan nampak sebagai warna tertentu berdasarkan
nilai-nilai tertentu (contoh : pada pemantulan cahaya). File dalam format raster termasuk
didalamnya foto udara, citra satelit atau peta yang telah di-scan. Selain itu, file raster juga
dapat terdiri dari citra atau foto yang telah digeneralisasi atau memiliki nilai yang
ditambahkan untuk menciptakan suatu lapisan (layer). Format umum dari raster ini antara
lain .tif, jpg, .sid, dan lain-lain.
b. Vektor
Vektor merupakan permukaan yang diskrit yang direpresentasi sebagai titik (point), garis,
atau poligon (area). Data vektor selalu terlihat sebagai “seperti peta” dan selalu kelihatan
sebagai suatu abstrak jika dibandingkan gambar asli (contoh : shape yang merepresentasikan
batas desa/kelurahan/negara, titik yang merepresentasikan kota/kabupaten, dll). Data
vektor ini umumnya akan memiliki format ESRI shapefiles (.shp), ESRI coverages (.cov),
google Keyhole Markup Language (.kml) dan lain-lain.
2
Apa Saja Jenis SIG yang Digunakan dalam Modul ini?
Web GIS. Merupakan SIG dalam jaringan (online) yang ditampilkan dalam situs internet
berbasis peta seperti google maps, google earth dan openstreetmap.
Dekstop GIS. Merupakan software SIG yang diinstal atau dijalankan di
computer/laptop/notebook. Beberapa software SIG yang digunakan dalam
modul ini, yaitu Quantum GIS (versi long-term release, 2.18) dan SAGA GIS.
Kedua software ini adalah software SIG gratis dan terbuka (free & open source
software) sehingga tidak bermasalah dari segi lisensi dan penggunaan software
SIG bajakan.
Field GIS. Merupakan alat dan program yang memungkinkan
pengguna (user) dapat merekam informasi berbasis peta di
handphone atau global positioning system (GPS). Bahkan membuat
form isian secara digital yang dapat digunakan secara
offline di lapangan (tanpa sinyal telekomunikasi atau internet) sehingga dalam
pengumpulan data dapat dilakukan secara mudah, tanpa membawa banyak
alat sekaligus, serta memudahkan dalam proses tabulasi dan pengiriman data.
Field GPS yang digunakan dalam modul ini yaitu Avenza Maps yang dapat
diunduh gratis di playstore (os android) atau apple store (os Apple).
PENGUMPULAN
INFORMASI
ANALIISIS
INFORMASI SIG PENGELOLAAN
INFORMASI
MENAMPILKAN
INFORMASI
Dalam bidang kesehatan masyarakat, para praktisi kesehatan mengakui bahwa dengan
menggunakan GIS untuk analisis hubungan spasial dan epidemiologi penyakit menjadi lebih
mudah dipahami (Hightower et al., 1998; Tim, 1995). Dewasa ini, GIS telah banyak digunakan
oleh ahli epidemiologi sebagai alat yang berharga dalam pengawasan dan pemantauan penularan
penyakit, managmen dan pengawasan kesehatan lingkungan, dan analisis kebijakan,
perencanaan kesehatan yang berhubungan dengan penyebaran penyakit (Clarke et al., 1996).
3
Bagi para ahli epidemiology GIS sangat berguna karena dapat mengungkap dan menangalisa tren
atau kecendurungan pola suatu penyakit tertentu; menggambarkan keterkaitan dan hubungan
antar variable dalam jumlah besar dengan informasi yang kompleks dari berbagai sector atau
sumber informasi (Johnson & Johnson, 2002).
Selain itu, GIS dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan suatu intervensi dan kebijakan
yang mempengaruhi status kesehatan. GIS dapat digunakan untuk menjelaskan pola penyebaran
penyakit dalam kaitannya dengan lingkungan sosial, budaya, kemajuan teknologi, dan kondisi
lingkugan atau alam tertentu (Tim, 1995).
Untuk praktisi kesehatan dan epidemilogi, GIS merupakan suatau alat yang “powerful” dengan
beberapa keuntungan sebagai berikut:
a. GIS dapat digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, dan mengintegrasikan data
spasial dan non-spasial dalam jumlah yang besar dan kompleks (Tim, 1995). Dalam GIS, koordinat
geografis suatu obyek atau lokasi adalah alat pengindeksan yang efisien dimana data spasial dan
non-spasial yang besar dapat ditangani dan dianalisa secara efisien (Clarke et al., 1996; Johnson &
Johnson, 2002; Tim, 1995).
b. GIS memungkinkan pengambilan data secara spasial melalui kueri yang fleksibel sesuai kebutuhan
dan keinginan pengguna (Tim, 1995). Dengan menggunakan GIS, berbagai jenis acara dan informasi
dari berbagai sumber dapat dihubungkan untuk menghasilkan peta overlay. Akibatnya, pola spasial
penyakit dapat diidentifikasi pada berbagai skala geografis. GIS sangat efektif dalam
menggambarkan transmisi penyakit dari waktu ke waktu dan lokasi (Brêtas, 1996; Clarke et al.,
1996; Johnson & Johnson, 2002; Tim, 1995).
c. GIS menyediakan metode dan operasi untuk analisis dan sintesis data (Tim, 1995). Metode
pendekatan spasial dengan GIS memungkinkan akses yang mudah ke database untuk
memanipulasi informasi secara efisien, untuk mendapatkan wawasan baru dan untuk
mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan. GIS dapat digunakan untuk memeriksa
kecendurangan pola-pola penyebaran penyakit secara spasial (tempat atau ruang) dan temporal
(waktu atau musim). GIS dapat menunjukkan hubungan spasial dari informasi sosio-ekonomi,
demografi, dan lingkungan yang berhubungan dengan sector kesehatan (Brêtas, 1996; Clarke et al.,
1996; Johnson & Johnson, 2002; Tim, 1995).
d. Menurut Brêtas (1996) peta adalah sebuah model yang heuristik. Heuristik berasal dari kata
Yunani, heuriskein, artinya menemukan. Para ahli mengatakan heuristik adalah suatu tehnik,
suatu seni, dan bukan suatu ilmu. Peta sebagai model yang heuristik Karena GIS mampu
memfasilitasi penyajian data dalam bentuk peta berkualitas tinggi. GIS memungkinkan informasi
yang berbeda dari insiden penyakit dan masalah kesehatan yang dipetakan, dipantau, dan
diperbarui melalui presentasi visual (Tim, 1995). GIS dapat meningkatkan akurasi dan memberikan
informasi yang lebih menarik (Clarke et al., 1996; Johnson & Johnson, 2002). Selanjutnya, GIS
memungkinkan pencarian kemungkinan hubungan kausal etiologi penyakit (Tim, 1995).
4
k. Memetakan dan menganalisa rute petugas kesehatan, jalur transportasi dan pengiriman
peralatan dan persediaan logistic kesehatan ke lokasi layanan
l. Menyediakan informasi kesehatan berbasis peta di Internet secara real time
m. Dan untuk Menemukan fasilitas kesehatan terdekat (Johnson & Johnson, 2002).
Meski malaria mendatangkan dampak yang luar biasa, namun tidak mudah untuk mengatasinya.
Hal ini yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain kelangkaan data dan sangat kurang
pemahaman akan situasi dan berbagai factor determinan (Ndoen & Gilarsi, 2001). Para peneliti
yang sama juga menyatakan bahwa data yang detail terhadap risiko malaria serta perspektif
fundamental dimana (distribusi/sebaran), mengapa (factor determinan lingkungan), bagaimana
(intensitas penyebaran) dan kapan (musim/waktu) sangat minim tersedia atau bahkan tidak ada
sama sekali informasi tersebut. Padahal terdapat 3 pilar untuk mencapai visi ‘a world free of
malaria’ pada tahun 2030 (WHO, 2018) yaitu (a) memastikan akses bersama untuk pencegahan,
diagnosis dan pengobatan malaria; (b) mempercepat upaya menuju eliminasi dan pencapaian
status bebas malaria; serta (c) transformasi surveilans malaria menjadi suatu tindakan intervensi
utama. Pada titik inilah, SIG dapat memainkan peran untuk menjawab kekurangan data atau
membantu memahami sejumlah pertanyaan diatas (Pam et al, 2017; Sipe & Dale, 2000).
Geografi informasi system (GIS) juga telah banyak digunakan dalam kegiatan program
pengendalian malaria di berbagai belahan dunia. Banyak peneliti telah mengakui bahwa peta
yang baik adalah alat penting untuk program pengendalian malaria (Kleinschmidt et al., 2000).
Salah satu implementasi GIS yang luar biasa dalam program pengendalian malaria adalah Atlas
5
Risiko Malaria di Afrika – ARMA atau Malaria Afrika Risk Atlas (MARA) tahun 1998 . Atlas ini telah
menjadi salah satu contoh yang baik tentang bagaimana GIS dapat digunakan untuk memahami
determinan penyakit (malaria) dan skala spasial. Atlas MARA menunjukkan kolaborasi jaringan
yang luar biasa untuk menghasilkan informasi GIS dari berbagai sumber, serta mampu
menyediakan database malaria yang kuat (lihat Gambar di bawah ini).
MARA Atlas telah menjadi sumber informasi yang fundamental bagi para perencana, donor, dan
peneliti dalam memberi pemahaman yang komprehensif tentang malaria dalam perspektif di
mana (distribusi), berapa banyak (intensitas transmisi), kapan (musim), mengapa (factor risiko
lingkungan), dan siapa (populasi berisiko) yang terkena dampak malaria.
Sistem informasi berbasis untuk pemetaan malaria sangat penting untuk sejumlah alasan.
Pertama, ini dapat digunakan sebagai:
(1) alat sistem peringatan dini dan untuk menentukan besaran masalah malaria di daerah
yang terinfeksi malaria.
(2) Mempelajari pola malaria di daerah endemik bervariasi tergantung pada intensitas
transmisi.
(3) Menganalisa pola usia dan hubungannya dengan distribusi kasus. Di daerah endemis
malaria yang lebih rendah, malaria serebral dominan pada anak-anak di atas dua tahun.
Sebaliknya, anemia malaria berat dominan pada anak-anak dan bayi di daerah endemik
tinggi. Jadi GIS dapat digunakan untuk mengenali pola malaria, yang merupakan
kepentingan praktis untuk layanan pencegahan dan kuratif.
(4) GIS dapat digunakan alat bantu untuk membuat keputusan tentang upaya perlindungan
dan pengendalian malaria (MARA / ARMA, 1998).
Sipe & Dale (2000) dari berbagai sitasi menyatakan bahwa SIG saat ini digunakan untuk
mengontrol dan penelitian berkaitan malaria dapat dibagi kedalam beberapa kategori yaitu : (a)
pemetaan prevalensi/kejadian malaria; (b) pemetaan hubungan prevalensi/kejadian malaria
dengan sejumlah variable penyebab lainnya (suhu, hujan, tutupan lahan, elevasi, demografi,
pergerakan populasi, perubahan iklim, breeding sites, dll); (c) penggunaan metode inovatif dalam
pengumpulan data; (d) pemodelan risiko malaria. Meski demikian, terdapat paling kurang 3
tantangan (challenge) dalam penggunaan SIG berkaitan malaria (Sipe & Dale, 2000) yaitu : (a)
berkaitan dengan ketersediaan data oleh karena tanpa data, maka SIG menjadi tidak terlalu
berguna. Lebih spesifik ini akan berkaitan dengan data yang akurat dari penyakit malaria itu
sendiri dan bagaimana penyakit malaria dilaporkan, data lingkungan dasar serta data
demografis; (b) berkaitan dengan teknologi, terutama hardware, software SIG yang digunakan
6
serta pelatihan; dan (c) berkaitan dengan metode yaitu bagaimana SIG dapat digunakan untuk
meningkatkan pemahaman terhadap malaria?
Sistem informasi malaria berbasis GIS juga telah diterapkan di banyak negara. Di Israel dan
Meksiko, GIS digunakan dalam merancang sistem pengawasan nasional untuk pemantauan dan
pengendalian malaria, dan untuk mengidentifikasi desa-desa berisiko tinggi malaria (Clarke et
al., 1996). Demikian pula, GIS telah terbukti menjadi alat yang kuat untuk memantau dan
mengendalikan penularan malaria di Brasil (Bretas, 1996), Kepulauan Soloman (Sweeney, 1998),
Afrika Selatan (Booman et al., 2000; Booman et al., 2003; MARA / ARMA, 1998; Martin et al.,
2002), Kenya (Hightower et al., 1998), Mali (Kleinschmidt et al., 2000), India (Reid, 1998;
Srivastava dkk., 2003; Srivastava dkk. ., 1999; Srivastava et al., 2001), Sri Lanka (Abeysekera et
al., 1996; Klinkenberg et al., 2004), Cina (Hu et al., 1998; Yang, Zhou, Sun et al., 2002; Yang, Zhou,
Malone et al., 2002), Korea (Claborn et al., 2002; Sithiprasasna et al., 2005), Thailand
(Sithiprasasna et al., 2003a, 2003b), dan Indonesia (Nalim et al., 2002, Ndoen, 2010).
Beberapa contoh penerapan SIG dalam pengendalian malaria dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel: Beberapa Contoh Penggunaan GIS dalam Pengendalian Malaria di Berbagai Negera
di Dunia
No Researcher(s) and Year Research Topics
1 Beck et al. (1994) GIS to discriminate between high and low risk for malaria
transmission at villages level in Mexico
2 Kitron et al. (1994) GIS for malaria mosquito breeding and imported case
surveillance in Israel
3 Pope et al. (1994) Remote sensing of tropical wetlands for malaria control in
Chiapas, Mexico
4 Brêtas (1996) Remote sensing, GIS, and satellite navigation system for
assessing the environmental determinants of malaria in
Brazillian Amazon
5 Nobre et al. (1997) GISEpi to support public health surveillance and
epidemiological investigations in Brasil
6 Sharma & Srivastava application of remote sensing (RS) and geographic
(1997) information system (GIS) in understanding malaria
transmission dynamics at the local level
7 Hightower et al. (1998) A GIS application for malaria field study in Western Kenya
8 Hu et al. (1998) Spatial pattern analysis of factors influencing malaria
endemicity in Yunnan Province, PR China using GIS
9 Indaratna et al. (1998) GIS to co-analyse of disease and economic resources: dengue
and malaria in Thailand
10 MARA/ARMA (1998) Atlas of Malaria-risk in Africa
11 Omumbo et al. (1998) Mapping malaria transmission intensity using geographical
information systems in Kenya
12 Sweeney (1998) The Application of GIS in Malaria Control Programs in
Solomon Islands
13 Kleinschmidt et al. (2000) A spatial statistical approach to malaria mapping in Mali
14 Booman et al. (2000) GIS for malaria control programme planning in South Africa
15 Jeanne (2000) Two examples of using GIS and teledetection for malaria and
schistosomiasis in Madagascar
16 Rakotomanana et al. Geographic approach in malaria control in the central
(2001) highlands of Madagascar
17 Claborn et al. (2002) Remote sensing and GIS for cost comparison of two malaria
control methods in Korea
18 Martin et al. (2002) The use of a GIS-based malaria information system for
malaria research and control in South Africa
7
19 Nalim et al. (2002) Rapid assessment of correlation between remotely sensed
data and malaria prevalence in the Manoreh Hills area of
Central Java, Indonesia
20 Hassan et al. (2003) GIS-based prediction of malaria risk in Egypt
21 Sithiprasasna et al. GIS-based spatial modelling of malaria mosquito vector
(2003b) breeding habitats in northwestern Thailand
22 Srivastava et al. (2003) GIS-based malaria information management system for
urban malaria scheme in India
23 Leonardo et al. (2005) Remote sensing and GIS for study of the environmental
determinants of malaria and schistosomiasis in the
Philippines
24 Sithiprasasna et al. (2005) Use of remotely sensed data to estimate mosquito
distributions and habitats in the Republic of Korea
8
MENGUNDUH, INSTALASI & PENGENALAN INTERFACE
PERANGKAT LUNAK QGIS
Quantum GIS (QGIS) merupakan perangkat lunak SIG gratis (free) dan berbasis pengembangan
terbuka (open-source) yang menyediakan fasilitas penyuntingan dan analisis data spasial. QGIS
dapat dijalankan pada berbagai sistem operasi (operting system) atau platform seperti Microsoft
Windows, Linux, Unix, Mac OSX, dan Android. QGIS dapat diunduh secara gratis di website
http:\\www.qgis.org.
QGIS dapat menjadi pilihan alternatif dari perangkat lunak SIG komersial seperti dari produk dari
beberapa provider seperti Enviromental Systems Research Insitute Inc/ESRI. (ARCVIEW dan
ARCGIS), Pitney Bowes (MAPInfo GIS), Blue Marble (Global Mapper), selain beberapa perangkat
lunak yang gratis dan pengembangan terbuka seperti SAGA GIS, OPEN JUMP, ILWIS, dll).
QGIS dirilis dalam 2 versi : (a) latest release atau rilis versi QGIS versi terbaru dengan
sejumlah penambahan fitur terkini; dan (b) long-term release atau versi QGIS yang
meski tidak terdapat penambahan fitur baru, akan tetapi lebih stabil (sedikit bug),
lebih aman (secure) ketimbang versi QGIS terbaru serta cocok digunakan oleh
pengguna yang tidak terlalu menuntut fitur-fitur yang baru. Dengan pertimbangan ini,
maka modul ini menggunakan QGIS versi 2.18 (18) yang merupakan versi long-term
release ketimbang QGIS 3.0 (1) yang merupakan versi latest release saat ini.
A. Mengunduh QGIS
Langkah 1 : ketik http://qgis.org/id/site/ pada alat pencarian (browser) yang anda gunakan.
Dalam contoh ini pengunduhan QGIS menggunakan browser Mozilla Firefox. Klik pada tulisan
Unduh Sekarang.
Langkah 2 : Pilih versi QGIS sesuai platform dan spesifikasi (bit) laptop/komputer yang akan
diinstal perangkat lunak ini.
9
Oleh karena laptop yang akan diinstal
perangkat lunak QGIS memiliki platform
Microsoft Windows 64 bit dan ingin
menginstal versi QGIS terkini, maka klik QGIS
Standalone Installer Versi 2.18 (64 bit) dan
akan langsung mengunduh secara otomatis.
B. Menginstal QGIS
Langkah 1 : Double click pada installer QGIS versi 2.18.18 yaitu file QGIS-OSGeo4W-2.18.18-2-
Setup-x86_64.exe
Langkah 2 : Menu setup wizard akan muncul. Klik tombol Next > I Agree > Next > Instal > Finish
10
C. Pengenalan Antar Muka (Interface) QGIS
Langkah 1 : Buka Desktop dan double klik pada QGIS
Desktop 2.18.18
Langkah 2 : Setelah dibuka, Anda akan melihat tampilan seperti di bawah ini.
11
d. Map Canvas : merupakan bagian dimana peta akan ditampilkan
e. Status Bar : menunjukkan informasi tentang peta yang sedang ditampilkan (skala peta,
koordinat, magnifier dan properti proyeksi.
Memuat peta dalam bentuk vektor (polygon/titik/garis) dapat dilakukan dengan cara seperti
berikut :
12
Langkah 2 : Klik Browse untuk mencari data yang akan ditampilkan pada folder latihan
Langkah 3 : Pilih file (1) DATA API_2017_175 Desa Fix; (2) Desa SBD_175.shp; (3) Kecamatan
UTM 50_Fix.shp; (4) Lokasi Puskesmas.shp; dan (5) klik Open
ESRI Shapefile (disingkat SHP) merupakan ekstensi data vector yang popular.
Pada SIG, satu dataset SHP mempunyai beberapa tipe ekstensi yang berbeda
yang terdiri dari empat tipe file (.shp, .shx, .dbf, .prj). Untuk dapat memuat
data ke QGIS yang harus dipilih adalah file dengan tipe .shp. Anda
dapat mengatur untuk menyembunyikan ekstensi lainnya dengan cara
mengganti All files(*) menjadi ESRI shapefiles.
13
Langkah 4 : klik Open
Langkah 5 : Jika terbuka jendela Coordinate Reference System Selector seperti ini, maka : (1)
ketik 50S pada kolom Filter; (2) cari dan pilih (select) WGS 84 / UTM Zone 50S; dan (3) klik OK.
Catatan : Langkah 1 – 4 dapat dilakukan lebih mudah dan singkat dengan cara
melakukan “seret dan lepas” (drag & drop) file dengan ekstensi .shp dan
csv tersebut langsung dari folder kedalam Map Canvas QGIS. Oleh karena cara
ini lebih mudah, maka dalam tutorial selanjutnya akan digunakan cara ini
ketimbang Langkah 1-4.
14
Terkadang data akan tampil pada Map Canvas seperti gambar dibawah ini. Hal ini terjadi karena
ada dataset yang tidak berada pada sistem proyeksi yang sama. Dengan demikian, penting untuk
menyamakan sistem proyeksi dari semua dataset yang ingin ditampilkan.
atau
Langkah 7 : Klik GENERAL; dan (2) klik tanda . DAN, ULANGI LANGKAH 5 DIATAS
15
Klik toolbar ZOOM FULL untuk menampilkan seluruh dataset yang telah berada pada sistem
proyeksi yang sama.
Untuk membuat suatu peta, diperlukan styling terhadap data GIS dan
menampilkannya dalam suatu bentuk yang informative secara visual. Terdapat
sejumlah opsi yang tersedia pada software QGIS untuk menerapkan berbagai jenis
simbologi yang berbeda terhadap dataset yang dimiliki. Pada tutorial ini kita akan
mencoba membuat beberapa dasar dalam styling.
Langkah 1 : double click data Lokasi Puskesmas untuk memunculkan jendela Properties.
16
Langkah 2 : (1) klik STYLE; (2) Pilih salah satu symbol (dalam contoh ini digunakan symbol
; (3) Ubah Warna (dalam contoh ini warna diubah menjadi merah); dan (4) ubah ukuran
(size) symbol (dalam contoh ini ukuran diubah menjadi 4).
Langkah 3 : (1) klik LABELS; (2) ubah dari No Label menjadi SHOW LABELS FOR THIS LAYER
dan DESA pada Label With untuk menampilkan atribut nama desa tiap symbol Puskesmas; (3)
klik kolom TEXT; (4) Ubah Sytle menjadi BOLD (atau tulisan di-hitam-tebalkan); dan (5) klik OK.
17
Hasilnya dapat terlihat pada Map Canvas, tampilan Lokasi Puskesmas telah berubah.
Langkah 5 : (1) klik STYLE; (2) Klik Simple fill; (3) Klik tanda disamping warna kolom Fill; dan
(4) klik atau centang Transparent fill.
Langkah 6 : (1) Klik LABELS; (2) ubah dari No Label menjadi SHOW LABELS FOR THIS LAYER
dan Label With menjadi N_DESA; (3) Klik TEXT; (4) ubah ukuran huruf (size) menjadi 5; dan (5)
klik OK.
18
Hasilnya dapat terlihat pada Map Canvas, tampilan Desa SBD_175 telah berubah
Langkah 8 : (1) Klik STYLE; (2) ubah dari Single Symbol menjadi CATEGORIZED; (3) tampilkan
N_Kec pada Column; (4) Klik CLASSIFY; dan (5) Klik OK.
19
Terdapat pilihan jenis pengaturan untuk mengubah tampillan tipe data polygon pada
drop-down menu di sebelah kiri atas. Pilihan yang tersedia sebagai berikut:
1. Single symbol: Mengganti keseluruhan warna polygon Anda dengan satu warna
saja.
2. Categorized: Membuat kategori dan membuat warna sesuai kategori yang sudah
ditentukan.
3. Graduated: Membuat kategori berdasarkan atribut kuantitatif sehingga kita dapat
membuat ranking dan memberi warna sesuai ranking tersebut.
4. Rule-based: Cara paling fleksibel dan lanjut untuk mengganti tampilan polygon.
Anda dapat membuat kategori sendiri dengan beberapa kriteria dan membuat
warna sesuai kategori tersebut.
5. Point displacement: Jenis ini berguna ketika Anda mempunyai point layer yang
titiknya tumpeng tindih satu sama lain karena berlokasi berdekatan atau
koordinatnya mirip. Ini hanya dapat dilakukan pada point layer, dan akan secara
otomatis menggeser lokasi dari titik yang tumpeng tindih sehingga semua titik akan
terlihat.
6. Inverted polygons: Digunakan untuk menggubah warna pada area di luar polygon.
Inverted polygon ini Hanya dapat dilakukan pada polygon layer.
Pada latihan ini kita memilih pilihan Categorized untuk membuat pengakategorian
berdasarkan wilayah Kecamatan di Kab Sumba Barat Daya.
Hasilnya dapat terlihat pada Map Canvas, tampilan Kecamatan telah berubah dimana terdapat
simbologi warna yang sama untuk setiap desa pada kecamatan yang sama.
20
F. Menggabungkan Atribut dari Tabel ke Polygon Desa
(Joint Attribute)
Data API_2017_175 Desa_FIX.csv
merupakan data tabular yang memuat atribut
Kecamatan, Nama Desa, Nama Kecamatan tiap
desa, jumlah kasus per usia dan jenis kelamin,
serta Annual Parasite Incidence (API) dan
Annual Blood Examination Rate (ABER) dari tiap
desa tersebut di Kabupaten SBD pada tahun
2017. Untuk menampilkan atribut dari data
tabular ini, (1) klik kanan Data API_2017_175
Desa_Fix; dan (2) klik OPEN ATTRIBUTE
TABLE.
21
Pada materi pelatihan ini akan ditampilkan bagaimana menggabungkan atribut-atribut
menggunakan data tabel yang telah diinput pada Layers Panel QGIS pada tutorial sebelumnya
kedalam polygon Desa di Kab SBD dengan menggunakan tool Joint Attribute.
Langkah 3 : (1) pada kolom Join layer pilih Data API 2017_175 Desa_Fix; (2) pada Join field
pilih N_DESA; (3) pada Target field pilih N_DESA (point 2 dan 3 ini berarti penggabungan
atribut data tabular dan polygon desa akan didasari pada kesamaan nama desa
pada kedua file tersebut); (4) centang pada choose which fields are joined untuk memilih
kolom atribut yang akan digabungkan; (5) pilih POPULASI, SPR (%), API & ABER karena 4
atribut dari data tabular itu yang ingin kita gabungkan pada polygon desa (Catatan : jika anda
ingin menginput seluruh data tabular, maka tidak perlu mencentang Choose which
fields are joined); dan (6) centang pada Costum field name prefix dan ketik NEW; serta (7)
klik OK.
22
PENTING : ATRIBUT NAMA DESA ANTARA DATA TABULAR DAN POLYGON DESA
YANG AKAN DI-JOIN HARUS SAMA. JIKA ADA YANG BERBEDA DALAM PENULISAN
BAHKAN 1 HURUF SAJA NAMA DESA ANTARA KEDUA DATA TERSEBUT, MAKA
PROSES JOIN AKAN GAGAL
Langkah 4 : akan muncul notifikasi bahwa telah berhasil digabungkan atribut tabel kedalam file
polygon Desa SBD. Klik OK.
Dapat terlihat atribut Populasi, SPR, API & ABER pada tabel telah berhasil digabungkan ke
polygon desa SBD.
23
PENTING : DATA POLYGON DESA YANG TELAH DIGABUNGKAN DENGAN DATA
TABULAR TADI HARUS DISIMPAN (SAVE) SEBAGAI DATA GIS YANG BARU. JIKA
INI TIDAK DILAKUKAN, MAKA AKAN GAGAL DALAM PROSES SELANJUTNYA
Langkah 6 : Simpan file hasil penggabungan atribut dengan klik kanan pada Desa SBD_175 >
Save As
24
Langkah 7 : (1) klik BROWSE; (2) ketik nama file (dalam contoh ini nama file adalah Desa_Joint
Atribute); (3) Klik SAVE; dan (4) klik OK untuk menyimpan file.
25
Catatan : Meski Attribute Joint telah berhasil dilakukan, akan tetapi kolom atribut
POPULASI, SPR, API & ABER masih dikategorikan sebagai tipe data STRING (data
dalam bentuk pernyataan/deksripsi) sehingga tidak dapat dianalisis lebih lanjut.
Padahal seharusnya data pada kedua kolom ini harus dikategorikan sebagai
INTEGER (data dalam bentuk angka bilangan bulat) dan DOUBLE (data dalam
bentuk angka decimal). Sehingga perlu dilakukan proses lebih lanjut untuk konversi
tipe data dari string menjadi integer dan double.
Langkah 10 : (1) ubah Input layer menjadi Desa_Joint Atribut; dan (2) Jika ada notifikasi Do
you want to reset the field mapping?, klik YES
PENTING :
PERHATIKAN DAN IKUTI SECARA SEKSAMA LANGKAH 10 INI. INPUT
LAYER HARUS DIUBAH MENJADI DESA_JOINT ATRIBUT sebab polygon
hasil penggabungan atribut inilah yang akan diubah tipe datanya
26
Langkah 11 : (1) Double click Type untuk NewSPR, NewAPI & NewABER dan ubah dari String
menjadi INTEGER untuk ketiga atribut tersebut; (2) double click Precision dan ubah dari 0
menjadi 1 (artinya, 1 angka dibelakang koma. Contoh : 6,4 atau 12,5); (3) klik ... ; dan (4) klik Save
to File
27
Langkah 12 : (1) tentukan folder tempat penyimpanan file; (2) ketik nama (dalam contoh ini
nama file Joint Atribut_Refactor); (3) klik SAVE
28
Langkah 15 : Double click REFACTORED untuk menampilkan properties.
Langkah 16 : (1) Klik STYLE; (2) pilih GRADUATED; (3) pilih NewAPI; (3) pilih Mode EQUAL
INTERVAL; (4) Klik CLASSIFY; dan (5) ubah CLASSES menjadi 4. (4 kelas berdasarkan nilai API
dimana nilai API < 1 = rendah, 1 – 5 = sedang, 5-20 = tinggi; dan > 20 = sangat tinggi).
29
Langkah 18 : Ulangi langkah ini untuk 3 kelas lain sesuai kategori nilai API tadi (seperti gambar
dibawah ini
Simbologi Warna :
1. API Rendah = Hijau
2. API Sedang = Kuning
3. API Tinggi = Merah
4. API Sangat Tinggi = Merah Tua
Langkah 19 : Untuk mengubah warna, (1) double click pada warna; dan (2) pilih seperti gambar
dibawah ini.
Langkah 20 : Ulangi langkah diatas untuk kelas API sedang, tinggi dan sangat tinggi seperti
gambar dibawah ini
30
Langkah 21 : (1) double click pada kolom LEGEND dan ubah menjadi RENDAH, SEDANG,
TINGGI & SANGAT TINGGI; dan (2) Klik OK.
Hasilnya dapat terlihat 4 stratifikasi daerah malaria berdasarkan nilai API tahun 2017 di seluruh
desa Kab Sumba Barat Daya.
31
sia-sia (useless). Untungnya QGIS dapat mengeksport file peta dalam suatu format yang dapat
dibuka oleh semua orang, seperti mem-print peta tersebut jika anda memiliki printer. Pada QGIS
baik mengeksport maupun print dapat dilakukan melalui Map Composer.
Langkah 3 : Setelah jendela Map Composer terbuka, (1) Klik ITEMS dan (2) klik ITEM
PROPERTIES
32
Langkah 4 : Untuk menambahkan peta, klik LAYOUT > ADD MAP
Langkah 6 : Kita bisa menggeser peta sehingga berada tepat di tengah (lihat tanda garis merah
pada QGIS yang menunjukkan peta telah berada di tengah-tengah).
33
Langkah 7 : (1) Klik (move item content); (2) geser peta ke arah tengah; dan (3) ketik
pada SCALE yaitu 210000 (atau skala peta 1 : 210.000).
Langkah 8 : Untuk menambahkan judul peta, klik LAYOUT > ADD LABEL
Langkah 9 : Seret kursor untuk menambah judul peta, maka secara default akan muncul label
bernama QGIS
34
Langkah 10 : (1) Ketik pada kolom seperti yang terlihat pada gambar disamping untuk judul peta
(contoh : PETA STRATIFIKASI DAERAH MALARIA KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA); (2)
klik CENTER pada HORIZONTAL ALIGNMENT; dan (3) klik MIDDLE pada VERTICAL
ALIGNMENT.
Langkah 11 : (1) klik FONT; (2) pilih BOLD; (3) ubah SIZE huruf menjadi 12; dan (4) klik OK.
35
Langkah 13 : (1) klik pada area dimana kita ingin menginput scalebar; dan (2) pada SEGMENTS
LEFT ubah dari 2 menjadi 0 dan RIGHT dari 4 menjadi 3 untuk mengedit panjang scalebar.
Langkah 15 : (1) Tentukan area gambar (lihat tanda kotak); (2) ubah PLACEMENT dari TOP
LEFT menjadi MIDDLE; (3) klik tulisan SEARCH DIRECTORIES untuk mencari file gambar (svg)
pada direktori QGIS; dan (4) pilih salah satu gambar untuk orientasi.
36
Langkah 16 : Untuk menampilkan legenda klik LAYOUT > ADD LEGEND
Langkah 17 : (1) klik pada area dimana kita ingin menginput legenda; dan (2) pada TITLE ubah
dari LEGEND menjadi LEGENDA
37
Langkah 19 : (1) Pilih (select) atribut Data API_2017_17 Desa_FIX; Desa_Joint Atribut; Desa
SBD_175; dan Kecamatan sekaligus; (2) Klik untuk menghapus ketiga atribut tersebut
dari Legenda.
Langkah 20 : (1) double click pada Refactored; (2) ketik Stratifikasi Malaria dan klik OK.
38
Langkah 21 : Centang FRAME untuk menambahkan bingkai (frame) pada Legenda
Langkah 22 : untuk mengeksport peta dalam bentuk gambar, klik EXPORT AS IMAGE pada
toolbar atas
39
Langkah 24 : klik SAVE dengan default
resolusi peta 300 dpi
Selain melihat peta, pada tampilan QGIS untuk kepentingan tertentu dibutuhkan informasi
mengenai data-data apa saja yang tercakup dalam peta tersebut. Untuk mengetahui secara
khusus suatu informasi, Anda dapat melakukan QUERY. Query dapat diartikan sebagai proses
memilih sebuah atau beberapa bagian data untuk berbagai keperluan tertentu. Misalnya ingin
mengetahui lokasi dan informasi (atribut) dari suatu feature. Dengan query, kita dapat mengatur
jika Anda hanya ingin melihat nilai tertentu saja pada peta. Misalnya kita ingin mengetahui Desa
dengan jumlah penduduk < 1.000 orang di Sumba Barat Daya caranya adalah sebagai berikut :
40
Langkah 1 : Drag & drop file Joint atribut_Refactor.shp dan
Kecamatan UTM_50S_Fix.shp ke QGIS
Langkah 2 : (1) double click file di Layers Panel; (2) pilih properties GENERAL; dan (3) klik
QUERY BUILDER
Langkah 3 : (1) Double click NewPopulas (lihat syntax pada kolom Provider spesific filter
expression akan otomatis muncul ekspresi NewPopulas); (2) Klik tanda <=; (3) ketik angka
1000. Ini berarti kita hanya menginginkan desa dengan jumlah populasi penduduk kurang dari
1000 orang; dan (4) Klik OK.
41
Hasilnya adalah hanya muncul desa-desa di Kab Sumba Barat Daya dengan jumlah penduduk
kurang dari 1000 orang. Dalam contoh ini, hanya 9 Desa di Kab SBD dengan jumlah penduduk <
1000 orang.
Langkah 4 : Sekarang kita akan mencoba menampilkan desa di Lembata dengan nilai API
terkategori sangat tinggi ( > 20). Caranya ulangi Langkah 2 diatas, lalu klik CLEAR untuk
menghapus query sebelumnya.
42
Langkah 5 : (1) Double click NewAPI (atau kolom API tahun 2017); (2) klik tanda >= (atau lebih
sama dengan); (3) ketik angka 20; dan (4) klik OK
Hasilnya adalah akan terlihat 82 desa di Kab Sumba Barat Daya dengan nilai API > 20 dan
sekaligus merupakan daerah dengan angka prevalensi malaria tergolong sangat tinggi sehingga
dapat menjadi desa fokus.
43
44
PENGENALAN LAYOUT, MENGUNDUH & MENJALANKAN
PERANGKAT LUNAK SAGA GIS
45
Masing-masing jendela ini dapat dibuka dan ditutup dari bagian atas menu dengan mengklik pada
tombol yang sesuai.
Tab Workspace
Tab Tools
Tools merupakan suatu cara dimana seluruh fungsi dari proses di atur di SAGA
SAGA datang dengan sekumpulan tools/modul gratis yang komprehensif dan berkembang
sebanyak 447 pada versi 2.07. Jumlah modul ini semakin banyak pada SAGA versi 2.1.4 yang telah
mencapai 600 modul. Tidak semua modul memiliki tool untuk analisa dan pemodelan yang
sangat rumit. Banyak modul yang menunjukkan operasi data yang sederhana. Namun beberapa
modul lainnya menunjukkan sesuatu yang baru dalam bagian analisisnya. Seperti : Data Import
& Export; Cartographic Projections & Georeferencing; Raster & Vector Data Tools; Image
Processing; Terrain Analysis; Geostatistics, dan sebagainya.
46
Modul juga mudah diakses melalui top menu “Tools” pada bagian drop down menu. Saya
merekomendasikan agar anda menggunakan drop down menu ini untuk menjalankan modul
SAGA karena modul-modul itu dikelompokkan kedalam wilayah proses logika sehingga mudah
untuk diakses.
Tab Data
Data yang ditampilkan merupakan data raster (GRID), vektor atau tabel-tabel data yang telah
anda buka.
Seluruh data raster ditampilkan sebagai grid layer dalam suatu sistem grid. Suatu sistem grid
mengelompokkan grid layer yang mempunyai ukuran grid sel yang sama, jumlah baris dan
kolom yang sama dan semua itu meliputi daerah geografis yang sama. Secara umum, operasi
spasial ditampilkan pada grid dengan sistem grid yang sama.
Variasi dari segala tipe data raster dapat di impor ke SAGA namun ketika data raster tersebut
disimpan maka data tersebut akan disimpan dalam format SAGA yaitu SAGA GRID (disingkat
*.sgrd).
Perubahan nama dari sistem grid atau grid layer dapat dilakukan pada jendela properti obyek.
Ketika data vektor dibuka di SAGA maka akan terbentuk layer baru dengan data point (titik),
line (garis) atau poligon.
Klik kanan pada layer data untuk menampilkan data yang dimasukkan dan pilih show atau
secara singkat double klik pada layer tersebut. Maka data
tersebut akan terbuka di suatu jendela. Untuk menampilkan
layer data pada jendela peta maka klik tab maps.
Tab Maps
Multi layer data dari sistem grid yang berbeda dapat ditampilkan
dalam suatu peta layer tunggal:
Layer-layer peta dapat di nonaktifkan dengan klik kanan pada
suatu layer peta dan hilangkan tanda √ pada ‘show layer ‘ atau
secara mudah dengan memilih layer dan tekan “enter”. Untuk melakukan pilihan Peta layer
lainnya yang akan ditampilkan, maka klik dan pilih ‘move up’ untuk layer di atas atau ‘move down’
untuk layer dibawahnya.
47
Tab Properti Obyek (Object Properties)
Tab Setting
Ada berbagai jenis layer data tergantung pada faktor-faktor yang dapat di edit dan di tampilkan
sesuai parameter-parameter pada bagian “Setting”. Tab’ Settings’ menyediakan bagi pengguna
kesempatan untuk membuat pengaturan bagaimana layer data terlihat pada data dan pada
jendela peta.
Tab Description. Tab ini menunjukkan informasi (ukuran, proyeksi geografi) dari layer yang
dipilih. Data ini tidak dapat diperbaiki/di edit.
Tab Legend. Menampilkan legend atau menunjukkan warna yang sedang digunakan untuk
menampilkan nilai data dari layer terpilih.
Tab History. Jendela ini menampilkan proses yang sudah dilakukan untuk layer yang dipilih.
Attributes Tab
Menggunakan tool aksi/action ( ) untuk menampilkan atribut informasi untuk sel grid yang
dipilih pada suatu grid dari layer data atau atribut yang berhubungan dengan segala sesuatu
dari vektor yang dipilih pada suatu shape/bidang layer data.
Zoom to layer tools – Mendekati sampai seluruh layer kelihatan dalam jendela
48
B. Mengunduh dan Menjalankan SAGA GIS
Langkah 2 : Klik Files untuk memilih file SAGA yang akan diunduh
Langkah 3 : Pilih versi SAGA GIS yang ingin diunduh. Dalam contoh ini akan diunduh SAGA GIS
versi 4.
49
Langkah 4 : Pilih versi SAGA terkini (dalam contoh ini adalah SAGA versi 4.1.0)
Langkah 5 : klik file saga-4.1.0_x64.zip untuk mengunduh SAGA versi portable (tidak perlu
diinstal) sehingga otomatis akan langsung mengunduh perangkat lunak SAGA GIS dalam format
zip
50
PDF MAPS - BAGIAN I
PENGINSTALAN DAN PENYETELAN AKUN PDF MAPS
Aplikasi Avenza Maps atau yang juga dikenal dengan nnama PDF Maps merupakan
aplikasi geotagging dengan menggunakan fitur “GPS” atau “LOKASI” yang bisa dijalankan pada
telepon pintar (smartphone) berbasis sistem operasi Android atau IoS (produk dari Apple). Salah
satu keunggulan aplikasi ini adalah ketika telah diinstal dan disetting, maka dalam
penggunaannya di lapangan TIDAK LAGI MEMBUTUHKAN KONEKSI
INTERNET/TELEKOMUNIKASI LAINNYA. Atau dengan kata lain, aplikasi ini tetap dapat
digunakan pada lokasi yang belum ada sinyal internet maupun jaringan telekomunikasi (contoh:
Telkomsel, Indosat, dll) sekalipun. Akan tetapi, untuk dapat digunakan maka dibutuhkan koneksi
internet untuk menginstal dan menyetel (setting) akun Avenza Maps. Dalam tutorial berikut akan
dijelaskan sejumlah tahapan dengan menggunakan telepon berbasis sistem android sebagai
berikut.
Langkah 1 : Klik aplikasi PLAY STORE pada Langkah 2 : ketik “AVENZA MAPS” (tanpa
HP anda tanda kutip) dan klik pada Logo Avenza
51
Langkah 5 : aplikasi Avenza Maps yang telah Langkah 6 : Isikan (1) alamat email anda; (2)
terbuka selanjutnya klik I’M NEW untuk mulai password; (3) ketik sekali lagi password
membuat akun baru seperti pada point no (2) diatas. Setelah itu
klik SUBMIT
Alamat email bebas apakah gmail, yahoo, etc
Langkah 7 : sampai pada tahap ini kita perlu Langkah 8 : tahap ini hanya opsional. Oleh
untuk mengaktivasi akun Avenza Maps yang karena akun email yang dikirim tadi adalah
sudah kita buat pada tahapan sebelumnya. gmail maka klik aplikasi GMAIL di HP anda.
Klik tanda menu/rumah (home) pada HP anda
untuk melanjutkan pada tahap berikut.
52
Langkah 9 : pada kotak masuk (inbox) cari Langkah 10 : klik pada link dengan tulisan
email dengan judul “DONOTREPLY....” seperti berwarna biru seperti tampak gambar untuk
pada gambar dibawah ini mengaktivasi akun Avenza Map
Langkah 11 : otomatis akan terbuka link pada Langkah 12 : Buka kembali ke aplikasi
alat browser pada HP anda sebagai pertanda Avenza Maps yang tadi dan ketik password
akun anda telah teraktivasi seperti yang telah kita isi pada langkah (6)
diatas
53
Langkah 13 : Jika ada peringatan seperti ini, Langkah 14 : Aplikasi Avenza Maps siap
klik ALLOW untuk mengijinkan aplikasi untuk dilanjutkan pada tahapan berikutnya
Avenza Maps untuk mengakses fitur lokasi
54
PDF MAPS - BAGIAN II
CARA MENGIMPORT DAN MEMBUKA PETA
PADA APLIKASI PDF MAPS
Pada latihan kali ini telah disiapkan beberapa peta dasar dalam format PDF dan gambar
yang tercetak dan akan digunakan untuk membantu proses pemetaan partisipatif di lapangan.
Dalam tutorial selanjutnya akan ditampilkan cara mengimport serta membuka peta dasar Kota
Kupang. Pemilihan Kota Kupang karena alasan tutorial ini disusun oleh penulis di Kota Kupang
dan aplikasi Avanza Maps hanya akan menunjukkan lokasi secara real dari ponsel/HP pada
tempat dimana ia berada.
Akan tetapi, silahkan secara bebas untuk mencoba
mengimport peta dan membukanya sesuai area dimana anda
berasal. Akan tetapi penting untuk dicatat BATAS MAKSIMUM PETA
YANG DAPAT DIIMPORT PADA AVENZA MAPS HANYA 3 PETA.
Langkah 2 : Copy semua file peta dasar tadi (file pdf tadi) kedalam memory internal ponsel
(PHONE) dan cari folder bernama PDF MAPS
55
Langkah 3 : Tempel (paste) semua file peta
dasar tadi kedalam folder PDF Maps yang telah
terbuka sampai semua file tadi telah ada dalam
folder PDF Maps
Langkah 4 : Jika semua file sudah tersalin, silahkan cabut kabel konektor ponsel dari laptop dan
buka aplikasi Avenza Maps
56
Langkah 6 : Klik DOWNLOAD OR IMPORT A MAP
Langkah 8 : Jika terdapat peringatan seperti ini, klik ALLOW untuk mengijinkan aplikasi Avenza
Maps untuk mengakses file peta dasar tadi di ponsel kita
57
Langkah 9 : Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka kali
ini klik peta dasar Kota Kupang.pdf untuk diimport pada aplikasi
Avenza Maps
Langkah 10 : Tunggu hingga proses import ini selesai. Semakin besar ukuran file maka proses
import ini akan semakin lama, dan sebaliknya. Akan tetapi, normalnya waktu import tidak akan
lebih dari 3 menit untuk masing-masing peta.
Langkah 11 : setelah proses import telah selesai maka akan terlihat peta dasar Kota Kupang
dibawah tulisan IMPORTED
58
Langkah 12 : Pastikan fitur LOKASI/LOCATION/GPS di ponsel anda telah dinyalakan
59
Langkah 14 : Kita juga bisa menyimpan lokasi tersebut dengan cara klik simbol PIN seperti
gambar dibawah ini, maka otomatis akan langsung menandai lokasi dengan nama secara default
adalah PLACEMARK 1.
Langkah 15 : Untuk mengubah nama dari Placemark 1 menjadi Lokasi 1 maka klik tulisan
tersebut dan ubah seperti yang anda inginkan. Dapat terlihat juga akan langsung tersimpan lokasi
koordinat (derajat desimal) dari lokasi tersebut.
60
Langkah 17 : Klik Export Map Features untuk mengeksport data titik lokasi
Langkah 18 : Klik pada Choose the export format untuk memilih format data untuk dieksport
(kml/csv/gpx)
Langkah 19 : Kita dapat memilih lokasi eksport data dengan klik pada Change the export
method dimana terdapat 3 pilihan : (1) Device Storage untuk mengeksport data dalam
smartphone, (2) Email jika kita ingin mengirim data ke alamat surel tertentu, dan (3) Dropbox
jika ingin mungunggah data ke tempat penyimpanan cloud Dropbox.
61
Langkah 20 : Dalam contoh ini kita ingin mengeksport data dalam format KML maka klik Export
Langkah 21 : Cari file tersebut (biasanya ada dalam folder PDF MAPS) dan klik Kota Kupang.kml
Hasilnya adalah terlihat lokasi koordinat tempat pengambilan data menggunakan PDF Maps yang
telah dieksport pada Google Earth
62
Langkah 22 : Jika tadi kita memilih menyimpan lokasi dalam format CSV, maka kita dapat klik
Kota Kupang.csv
Hasilnya adalah terlihat tabulasi lokasi yang dapat dibuka dengan MS Excel yang telah mencakup
nama, waktu/tanggal pencuplikan data dan koordinat lintang dan bujur dalam format derajat
desimal (decimal degree).
63
PDF MAPS - BAGIAN III
MEMBUAT ATRIBUT PADA PDF MAPS
Langkah 1 : Ambil koordinat lokasi seperti cara pada Langkah
15 diatas dan klik pada New Attribute seperti gambar berikut
untuk mulai membuat atribut pada setiap lokasi koordinat
Langkah 2 : Sebagai contoh kita ingin menginput Nama Enumerator/Surveyor. Ketik judul
atribut pada Attribute Name dan tipe data klik dan pilih String.
64
Hasilnya atribut Nama Enumerator telah ada dalam atribut data lokasi koordinat
Langkah 4 : untuk membuat atribut baru klik tanda + pada Attribute Schema
Langkah 5 : Kita ingin menambahkan informasi nama desa, maka ketik Desa dan tipe String
65
Langkah 6 : Setelah klik tanda + pada Attribute Schema
untuk menambahkan atribut baru, kita ketik Jumlah
penderita malaria dan tipe data Integer karena jawaban
atribut ini dalam bentuk angka bilangan bulat.
Langkah 7 : Setelah klik tanda + pada Attribute Schema untuk menambahkan atribut baru,
kita ketik Jenis kelamin penderita, tipe data String dan klik tanda + pada Pick List untuk
menambahkan pilihan jawaban : Laki-Laki dan Perempuan
Langkah 8 : Setelah klik tanda + pada Attribute Schema untuk menambahkan atribut baru,
kita ketik Usia penderita malaria dan tipe data Integer karena jawaban atribut ini dalam bentuk
angka bilangan bulat.
66
Langkah 9 : Setelah klik tanda+ pada Attribute Schema untuk menambahkan atribut baru,
kita ketik Jenis pengobatan, tipe data String dan klik tanda + pada Pick List untuk
menambahkan pilihan jawaban : ACT, Non ACT dan Non ACT Klinis seperti pada Langkah 7
diatas.
Langkah 11 : Kita dapat mengisi Atribut Desa dengan klik seperti pada gambar berikut
67
Langkah 12 : Ketik nama desa dimana kita mengambil koordinat. Contoh : Naikoten 1.
Langkah 13 : Untuk atribut Jenis kelamin penderita, kita bisa langsung klik salah satu dari opsi
jawaban. Contoh : klik Laki-Laki.
Langkah 14 : Untuk atribut Jenis pengobatan, kita bisa langsung klik salah satu dari opsi
jawaban. Contoh : klik ACT.
68
Langkah 15 : Untuk atribut Jumlah penderita malaria
karena tipe datanya adalah Integer, maka kita langsung
mengetik angka. Contoh : ketik 1.
Langkah 16 : Untuk atribut Nama enumerator dapat mengulang Langkah 12 (Contoh : ketik
Nama anda sendiri) dan pada atribut Usia penderita malaria dapat mengulang Langkah 15
(Contoh : ketik 33).
Langkah 17 : Setelah semua atribut telah terisi maka atribut beserta koordinat lokasi sudah
dapat dieksport seperti pada Langkah 16 – 22 pada tutorial sebelumnya.
69
Hasilnya adalah data tabulasi dengan sejumlah atribut yang telah terisi serta dapat dibuka dengan
MS Excel.
70
PDF MAPS - BAGIAN IV
CARA MENGEKSPORT PETA
DARI SOFTWARE QGIS KE PDF MAPS
Pada prinsipnya semua gambar dapat dieksport kedalam aplikasi PDF Maps, akan tetapi
untuk dapat menggunakan gambar tersebut dengan fitur GPS yang built-in di smartphone adalah
gambar yang sudah tergeoreferensi. Ada berbagai cara untuk bisa mengeksport peta yang
sudah tergeoreferensi kedalam PDF Maps dan salah satu yang termudah adalah dengan
menggunakan software QGIS seperti dalam tutorial ini.
Langkah 1 : Setelah kita telah selesai membuat layout peta pada Map Composer, klik pada tab
COMPOSTION seperti pada gambar dibawah ini.
Langkah 2 : Slide kebawah dan centang Print as raster pada bagian Export Settings
71
Langkah 3 : Klik pada Export as PDF seperti gambar dibawah ini untuk mengekspor gambar
peta dengan format pdf yang telah tergeoreferensi.
Langkah 4 : Setelah diimport gambar kedalam PDF Maps dan dibuka (langkah detail dapat dilihat
pada tutorial sebelumnya), maka dapat terlihat peta yang dikerjakan dengan QGIS telah
tergeoreferensi dan dapat digunakan dalam pengambilan koordinat dan atribut di lapangan.
72
ANALISIS JARAK PELAYANAN PUSKESMAS
MENGGUNAKAN SAGA GIS & QGIS
Cakupan pelayanan kesehatan sangat tergantung pada keterjangkauan (jarak/waktu)
masyarakat terhadap suatu fasilitas/sarana pelayanan kesehatan. Penempatan suatu fasilitas
pelayanan kesehatan misalnya Puskesmas yang tidak mendekatkan pada permukinan
masyarakat, dan atau ketidakterjangkauan karena keterbatasan transportasi memberikan
implikasi pada pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat yang tidak optimal.
Analisis jarak (distance) dari titik lokasi pukesmas akan menghasilkan hasil jarak dari berbagai
lokasi puskesmas yang ada di Kabupaten Lembata.
Langkah 2 : Konversi lokasi puskemas dari format vektor ke raster dengan klik GEOPROCESSING
> GRID > GRIDDING > SHAPES TO GRID
73
Langkah 3 : (1) pada >> Shapes input Lokasi Puskesmas_UTM dan pada Attribute input
Pelayanan; (2) pada Target Grid System ubah dari User Defined menjadi Grid or grid system
dan pada Grid System ubah menjadi 30; 2641x 2976y; dan (3) Klik Okay.
Langkah 4 : Untuk menghasilkan grid jarak dari titik lokasi puskesmas klik GEOPROCESSING >
GRID > DISTANCE > PROXIMITY GRID
74
Langkah 5 : (1) pada Grid system input 30; 2641x 2976y dan pada >> Features input grid
Lokasi Puskesmas_UTM [ID]; dan (2) klik Okay
Hasilnya adalah Grid Jarak dalam satuan (unit) meter. (nb : jarak dalam meter karena sistem
koordinat yang digunakan adalah dalam bentuk UTM).
75
Langkah 6 : kita perlu memotong grid distance dengan menggunakan polygon Kabupaten
Lembata dengan cara klik GEOPROCESSING >> SHAPES >> GRID >> SPATIAL EXTENT >> CLIP
GRID WITH POLYGON
Langkah 7 : (1) pada Grid System input 30; 2641x 2976y dan pada >> Input klik dan pilih
Distance; (2) pada >> Polygons input Kabupaten Lembata_Clip; dan (3) klik Okay
76
Langkah 8 : Kita dapat membuat kelas jarak dengan cara pengkelasan ulang (reclassify) dengan
klik GEOPROCESSING >> GRID >> VALUES >> RECLASSIFY GRID VALUES
Langkah 9 : (1) pada Grid System input 30; 2641x 1529y yang merupakan grid sistem hasil
pemotongan dengan polygon dan pada >> Grid input Distance; (2) pada Method ubah menjadi
SIMPLE TABLE dan pada Operator ubah menjadi min <= value <= max; dan (3) klik pada
Lookup Table
77
Langkah 10 : (1) Klik ADD untuk menambahkan kelas dari default 2 menjadi 4; (2) isi angka 0
pada kolom minimum dan 1000 pada kolom maximum dan 1 pada kolom new dengan tujuan
untuk mengkelaskan jarak 0 – 1 km (1000m) pada kelas 1. Ini diulangi pada kelas yang lain sesuai
gambar dibawah ini sehingga akan diperoleh 4 kelas jarak dalam satuan km yaitu : 0 – 1 km, 1 –
3 km, 3 – 5 km dan > 5 km untuk menggambarkan jauh/dekatnya jangkauan wilayah pelayanan
fasilitas puskemas yang ada.
Hasilnya akan terbentuk grid baru Jarak hasil reklasifikasi (Distance_reclassified) yang
menunjukkan kelas jarak dari fasilitas puskesmas dalam km di Kabupaten Lembata
78
Langkah 11 : Untuk bisa ditampilkan di software QGIS dan dianalisis lebih lanjut maka perlu
untuk dilakukan konversi dari bentuk raster (grid) menjadi vektor (polygon) dengan cara klik
GEOPROCESSING >> SHAPES >> GRID >> VECTORIZATION >> VECTORISING GRID CLASSES
Langkah 12 : (1) pada Grid System input 30; 2641x 1529y dan pada >> Grid input
Distance_reclassified; (2) klik Okay
79
Langkah 13 : Klik kanan pada Distance_reclassified (polygon) > Attributes > Show untuk
menampilkan dan mengedit atribut polygon
Langkah 14 : ketik ganti pada kolom NAME dengan kelas seperti dibawah ini
80
Langkah 16 : Buka software QGIS dan Drag & drop files : (1) Building_Lembata_OSM.shp, (2)
Jarak Puskesmas_reklasifikasi.shp, (3) Kecamatan Lembata_clip.shp dan (4) Lokasi
Puskesmas_UTM.shp
Langkah 17 : Atur susun layer pada Layers Panel QGIS seperti gambar dibawah ini
Langkah 18 : Ubah properties lokasi Puskesmas ubah bentuk symbol seperti gambar dibawah.
81
Langkah 19 : Ubah Properties > Style Building_Lembata_OSM dengan warna kuning dan
Outline Width 0.05.
Langkah 20 : (1) Ubah Style properties Kecamatan Lembata dengan fill style > No Brush dan
Outline Width 0.5; dan (2) ubah properties Labels dengan Style Bold dan Size 7.
82
Langkah 21 : Ubah properties Style Jarak Puskesmas ubah dari Single Symbol menjadi
Categorized dan diatur warna tiap kelas
Hasilnya dapat terlihat masih terdapat polygon pemukiman/perumahan yang berada pada
wilayah dengan jarak tempuh dari Puskesmas > 5 km. Jika ini dibandingkan dengan luas wilayah
yang masih efektif untuk sebuah Puskesmas adalah suatu area dengan jari-jari 5 km, sedangkan
luas wilayah kerja yang dipandang optimal adalah area dengan jari-jari 3 km, jadi jarak antar
Puskesmas adalah 3 sampai 5 km (Departemen Kesehatan, 1991) dengan demikian diperlukan
penambahan Puskesmas baru di Kab Lembata jika ditilik dari hasil analisis ini.
83
84
ANALISIS CLUSTER TITIK KEJADIAN PENYAKIT MALARIA
MENGGUNAKAN METODE HEATMAP DI QGIS
Heatmaps merupakan salah satu alat yang baik dalam visualisasi data kepadatan titik
(point). metode ini menggunakan algoritma Kernel Density Estimation untuk mencipatakan
suatu raster kepadatan (density) dari suatu layer vektor titik. Kepadatan kemudian dihitung
berdasarkan jumlah titik pada suatu lokasi dimana makin banyak terdapat titik yang tercluster
akan berdampak pada nilai raster yang makin besar pula, dan sebaliknya. Metode ini digunakan
untuk memudahkan dalam mencari cluster dimana terdapat konsentrasi tinggi dari suatu
aktivitas.
85
Langkah 3 : ketik Kernel density estimation untuk mencari modul cluster dan klik pada Kernel
Density Estimation dalam algoritma dari SAGA (2.3.2)
86
Langkah 5 : Pada tab Radius ubah dari 10 diketik
menjadi 2500 (ini akan menghasilkan estimasi hingga
2.500 meter atau 2.5 km dari setiap titik lokasi).
Langkah 6 : Klik ... seperti pada gambar dibawah ini pada tab Output extent dan klik Use
layer/canvas extent. Pada Select extent pilih Kabupaten Lembata_Clip dan klik Okay.
Langkah 7 : Pada tab Cellsize ubah dari 100 diketik menjadi 30 (ini berarti kita ingin
menghasilkan resolusi spasial dari grid Heatmap nanti menjadi 30 meter).
87
Langkah 9 : Klik Run
88
Langkah 10 : kita dapat menyimpan file raster Kernel
tersebut dengan cara klik kanan pada Kernel > Save
As
Langkah 11 : (1) Klik Browse dan pilih folder tempat penyimpanan data serta nama file (Contoh
: Heatmaps Lembata); (2) klik OK
89
Langkah 13 : (1) Ubah Render type menjadi Singleband pseudocolor; (2) Ubah Interpolation
menjadi Discrete; (3) ubah Mode menjadi Equal Interval; (4) ubah Classes menjadi 3; (5)
Centang tanda Invert; dan (6) Klik OK.
Hasilnya adalah terlihat 3 kelas kepadatan titik lokasi penderita malaria di Kabupaten Lembata
90
BUFFER DARI TITIK (POINT) LOKASI FASKES DAN SUNGAI
Buffering merupakan proses dimana suatu area diciptakan disekitar obyek tertentu
seperti contohnya lingkaran 200 meter dari sumber polusi, dll. Proses buffer ini dapat dibuat
dengan menggunakan data garis (lines) dan titik (points). Dalam pelatihan akan ditunjukkan
bagaimana membuat buffer dari lokasi faskes dengan jarak 5000 meter (5 km) dengan asumsi
bahwa satu faskes dapat melayani pasien yang tinggal dengan radius hingga 5 km dari faskes
tersebut. Selain itu, buffer dapat dilakukan dengan membuat 5 interval jarak/zone yang sama (1
km, 2km, 3 km, 4km dan 5 km) atau jika dengan menggunakan plugin INASafe (dapat diunduh
gratis), maka dapat dihasilkan buffer dengan interval yang tidak sama (dalam tutorial ini tidak
ditampilkan penggunaan plugin INASafe ini). Selain itu akan ditampilkan bagaimana
menghasilkan buffer sungai berdasarkan orde sungai dimana orde sungai yang besar merupakan
pertemuan dari beberapa anak sungai sehingga asumsinya lebih tinggi peluang untuk air sungai
menggenang dibandingkan orde sungai yang lebih kecil.
91
Langkah 3 : Ketik Buffer pada kolom pencarian dan klik Fix
Distance Buffer
Langkah 4 : (1) ubah Shapes menjadi Lokasi Puskesmas_UTM; (2) Ketik pada Buffer distance
menjadi 5000 (atau buffer sejauh 5 kilometer tiap puskesmas); dan (3) Ketik pada Number of
buffer zones menjadi 5.
Langkah 5 : Simpan file buffer dengan klik seperti gambar dibawah ini
92
Langkah 6 : (1) pilih salah satu folder pada laptop/komputer anda sebagai tempat penyimpanan
data; (2) Ketik nama file (contoh : Buffer Lembata 5km); (3) tipe file SHP; dan (4) klik Save.
93
Dengan pengaturan simbologi tiap zona maka dapat terlihat area buffer dengan 5 zona dimana
tiap zona akan saling berjarak dengan interval 1 km.
Hasilnya dapat terlihat masih terdapat beberapa spot sebaran pemukiman warga yang masih
berada di luar dari wilayah buffer pelayanan efektif dari tiap Puskesmas di Kab Lembata.
94
Langkah 9 : Untuk membuat buffer sungai berdasarkan
orde sungai maka ulangi Langkah 2 & 3 diatas dan klik
Variable distance buffer
Langkah 10 : (1) Ubah Shapes menjadi Sungai Lembata_DEM; (2) Ketik Scalling Factor for
Attribute Values menjadi 20 (ini berarti tiap peningkatan orde sungai akan dikalikan 20x); (3)
Pada Buffer ulangi Langkah 5 & 6 diatas; dan (4) Klik Run.
Hasilnya akan terdapat perbedaan buffer dimana orde sungai makin besar, maka akan semakin
besar pula area buffer dan sebaliknya.
95
Ketika ditampilkan dengan menggunakan peta dasar ESRI (plugin Quickmapservices), maka
dapat terlihat wilayah pemukiman dan buffer orde sungai yang berbeda sekaligus ini dapat
menunjukkan tingkat risiko genangan air berdasarkan besar/kecilnya orde sungai.
Ketika di tumpang-susun (overlay) dengan buffer zona interval 1 km – 5 km, maka dapat terlihat
beberapa lokasi pemukiman berada dalam area dengan risiko malaria yang cenderung lebih
riskan karena faktor genangan air (orde sungai besar) dan jauh dari jangkauan pelayanan
Puskesmas yang ideal (> 5km).
96
ANALISIS RISIKO MALARIA :
(1) ELEVASI, (2) TOPOGRAPHIC WETNESS INDEX; DAN
(3) OVERLAY UNTUK PETA RISIKO MALARIA
Terdapat beberapa faktor lingkungan yang dapat mendeterminasi risiko penyakit malaria
diantaranya adalah elevasi/altitude dan indeks kebasahan topografis. Semakin tinggi elevasi
akan berkorelasi negatif dengan risiko malaria karena suhu udara akan makin rendah dan
sebalinya. Selain itu, semakin tinggi nilai indeks kebasahan topografis akan berkorelasi positif
dengan risiko malaria dimana semakin jauh jarak dari tubuh air (indeks kebasahan topografi
tinggi), maka akan semakin kecil risiko malaria. Jika digambarkan dalam suatu grafik keterkaitan
antara elevasi dan indeksi kebasahan topografis dan overlay keduanya untuk identifikasi risiko
malaria seperti gambar dibawah ini.
Malaria
Indeks Kebasahan
Elevasi
Topografis
Tinggi (3) : Sedang (2) : Rendah (1) : Tinggi (3): Sedang (2) : Rendah (1) :
0 – 300 mdpl 300 - 500 mdpl > 500 mdpl > 8.5 6.5 – 8.5 < 6.5
Risiko Malaria
97
Langkah 2 : Elevasi perlu dilakukan pengkelasan ulang (reclassify) sesuai dengan kelas risiko
malaria diatas dengan klik GEOPROCESSING >> GRID >> VALUES >> RECLASSIFY GRID
VALUES
Langkah 3 : (1) input Grid system dan Grid seperti gambar dibawah ini; (2) Operator pilih min
<= value <= max; dan (3) klik tanda dibawah ini
98
Langkah 4 : Input nilai minimum, maximum dan new sesuai kelas risiko malaria berdasarkan
elevasi dibawah ini
Hasilnya adalah grid elevasi yang telah direklasifikasi sesuai kelas risiko malaria.
Langkah 5 : Kita bisa mengkonversi file kelas risiko malaria berdasarkan elevasi ini dalam
bentuk vektor dengan cara klik GEOPROCESSING >> SHAPES >> GRID >> VECTORIZATION >>
VECTORISING GRID CLASSES
99
Langkah 6 : pada jendela Vectorising Grid Classes diatur seperti gambar dibawah ini.
Langkah 7 : (1) tampilkan atribut dan ubah pada kolom Name 1 = rendah, 2 = sedang, 3 = tinggi;
(2) Klik kanan pada elevasi hasil reklasifikasi; dan (3) klik Save as dan simpan file.
100
Langkah 9 : Ulangi Langkah 3 diatas, tetapi pada >> Grid pilih Topographic Wetness Index
dan << Reclassified Grid pilih Create
Langkah 10 : Input nilai minimum, maximum dan new sesuai kelas risiko malaria berdasarkan
indeks kebasahan topografis seperti dibawah ini
Hasilnya adalah grid reklasifikasi risiko malaria berdasarkan indeks kebasahan topografis
101
Langkah 11 : Ulangi Langkah 5,6 dan 7 untuk mengkonversi dari raster menjadi vektor,
mengubah atribut dan menyimpan data.
Langkah 12 : untuk mendapatkan hasil gabungan antara risiko malaria berdasarkan elevasi dan
indeks kebasahan topografis, maka klik GEOPROCESSING > GRID > CALCULUS > GRID
CALCULATOR
Langkah 13 : (1) Grid system diatur seperti gambar dibawah ini; (2) pada Formula diketik
(g1+g2)/2; (3) pada Name diketik Risiko Malaria; dan (4) klik tanda seperti gambar dibawah
ini.
102
Langkah 14 : pilih (select) DEM LEMBATA [Denoised]_reclassified dan Topographic Wetness
Index_reclassified; (2) klik tanda dibawah ini; (3) hasilnya kedua data tersebut telah berpindah
dari bilik kiri ke kanan; dan (4) klik Okay.
Hasilnya adalah akan dihasilkan grid Risiko Malaria yang merupakan perhitungan dari kedua
grid tadi (elevasi dan TWI).
Langkah 16 : Ulangi Langkah 5,6 dan 7 untuk mengkonversi dari raster Risiko
Erosi_reclassified menjadi vektor, mengubah atribut dan menyimpan data.
103
Ketika vektor Risiko Malaria dioverlay dengan Pemukiman maka dapat terlihat sebagian besar
pemukiman di Kab Lembata berada pada area dengan risiko malaria yang tinggi ditilik dari aspek
elevasi dan indeks kebasahan topografis.
104
MENGUBAH DATA KOORDINAT (LINTANG DAN BUJUR)
DARI MS EXCEL & REPROYEKSI
UNTUK DITAMPILKAN PADA PETA
Seringkali dalam kegiatan survey lapangan dilakukan pengambilan titik koordinat lokasi
dengan sistem koordinat yang paling sering digunakan yaitu bujur dan lintang (format derajat,
menit, detik) atau Universal Transverse Mercator (UTM). Akan tetapi, untuk dapat bisa
ditampilkan pada peta, maka seluruh data spasial yang digunakan harus berada dalam sistem
proyeksi yang sama. Salah satu keunggulan GIS adalah kemampuannya secara mudah untuk
mengubah sistem koordinat (reproyeksi), baik dari geografis ke UTM atau sebaliknya. Dalam
materi pelatihan ini peserta akan dilatih mengenai : (a) cara mengubah data koordinat dalam
format tabel untuk bisa diinput pada software QGIS; dan (2) untuk mengetahui cara menginput
dan menampilkan data titik koordinat pada software QGIS.
Buka file Koordinat_Siap Analisis.xls maka akan ditemukan 11 lokasi koordinat (bujur dan
lintang) yang telah ditabulasi ulang berdasarkan derajat, menit dan detik.
Terdapat 2 cara untuk mengimport koordinat dari MS Excel ke QGIS yaitu (1) secara langsung
dengan format seperti diatas; dan (2) konversi dari derajat, menit, detik menjadi derajat desimal
dengan rumus seperti diatas. Untuk cara kedua telah ada pada modul pemetaan Malaria sehingga
tidak ditampilkan lagi langkah-langkahnya.
105
Langkah 2 : Jika ada notifikasi seperti ini, klik Yes
106
Langkah 4 : (1) klik Browse dan cari file CSV yang telah disimpan pada Langkah 1; (2) pada File
Format pilih CSV (comma separated values); (3) centang DMS coordinates (karena format
data yang digunakan adalah derajat, menit, detik); (4) pada X field pilih field_2 (karena koordinat
bujur ada pada kolom/field 2) dan pada Y field pilih field_3 (karena koordinat lintang ada pada
kolom/field 3); dan (5) klik OK.
107
Langkah 5 : Karena sistem proyeksi data masih dalam sistem koordinat geografis maka harus
direproyeksi menjadi UTM 51 S sesuai dengan format data yang lain. Klik kanan pada
Koordinat_Siap_Analisis > Save As
Langkah 6 : (1) Klik Browse dan cari folder tempat penyimpanan data serta ketik nama file
(contoh : Koordinat Lembata_UTM); dan (2) klik seperti gambar dibawah ini
108
Langkah 7 : (1) Cari dan klik WGS 84 / UTM zone 51S; dan (2) klik OK.
109
Langkah 9 : Drag & drop file Kecamatan Lembata.shp ke QGIS
Hasilnya adalah dapat terlihat persebaran 11 lokasi dengan sistem proyeksi UTM pada wilayah
Kecamatan di Lembata
110
Daftar Pustaka
Beck, L.R., Rodriguez, M.H., Dister, S.W., Rodriguez, A.D., Rejmankova, E., et al. (1994). Remote
sensing as a landscape epidemiologic tool to identify villages at high risk for malaria
transmission. Am J Trop Med Hyg, 51(3), 271-280.
Booman, M., Durrheim, D., La Grange, K., Martin, C., Mabuza, A., et al. (2000). Using a geographical
Information System to Plan a Malaria Control Programme in South Africa, 2000, 78 (12).
Bulletin of The World Health Organization, 78(12), 1438-1444.
Booman, M., Sharp, B.L., Martin, C.L., Manjate, B., La Grange, J.J., et al. (2003). Enhancing malaria
control using a computerised management system in southern Africa. Malar J, 2, 13.
Brêtas, G. (1996, 23 February 1996). Geographic Information Systems for the Study and Control
of Malaria. Retrieved 23 October 2005, from
http://archive.idrc.ca/books/focus/766/bretas.html
Claborn, D.M., Masuoka, P.M., Klein, T.A., Hooper, T., Lee, A., et al. (2002). A cost comparison of
two malaria control methods in Kyunggi Province, Republic of Korea, using remote
sensing and geographic information systems. Am J Trop Med Hyg, 66(6), 680-685.
Clarke, K.C., McLafferty, S.L., & Tempalski, B.J. (1996). On epidemiology and geographic
information systems: a review and discussion of future directions. Emerg Infect Dis, 2(2),
85-92.
Dale, P., Sipe, N., Anto, S., Hutajulu, B., Ndoen, E., et al. (2005). Malaria in Indonesia: a summary of
recent research into its environmental relationships. Southeast Asian J Trop Med Public
Health, 36(1), 1-13.
ESRI. (2002). Geography Matters. An ESRI White Paper. New York: Environmental Systems
Research Institute (ESRI).
ESRI. (2007). ArcView 9.1 Retrieved 26/04/2007, 2004, from www.esri.com
Hassan, A.N., Kenawy, M.A., Kamal, H., Abdel Sattar, A.A., & Sowilem, M.M. (2003). GIS-based
prediction of malaria risk in Egypt. East Mediterr Health J, 9(4), 548-558.
Hightower, A.W. (2005). Spatial Analysis Optimizes Malaria Prevention Measures. ArcUser Online
Retrieved July, 2005, April - June 2005, from
http://www.esri.com/news/arcuser/0405/malaria1of2.html
Hightower, A.W., Ombok, M., Otieno, R., Odhiambo, R., Oloo, A.J., et al. (1998). A geographic
information system applied to a malaria field study in western Kenya. Am J Trop Med
Hyg, 58(3), 266-272.
Hu, H., Singhasivanon, P., Salazar, N.P., Thimasarn, K., Li, X., et al. (1998). Factors influencing
malaria endemicity in Yunnan Province, PR China (analysis of spatial pattern by GIS).
Geographical Information System. Southeast Asian J Trop Med Public Health, 29(2), 191-
200.
Indaratna, K., Hutubessy, R., Chupraphawan, S., Sukapurana, C., Tao, J., et al. (1998). Application
of geographical information systems to co-analysis of disease and economic resources:
dengue and malaria in Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health, 29(4), 669-
684.
Jeanne, I. (2000). [Malaria and schistosomiasis: 2 examples using systems of geographical
information and teledetection in Madagascar]. Bull Soc Pathol Exot, 93(3), 208-214.
Johnson, C.P., & Johnson, J. (2002). GIS: A tool for monitoring and management of epidemics.
GISdevelopment.net Retrieved 5 May 2002, from
http://www.gisdevelopment.net/application/health/planning/healthp0003pf.htm
Kitron, U., Pener, H., Costin, C., Orshan, L., Greenberg, Z., et al. (1994). Geographic information
system in malaria surveillance: mosquito breeding and imported cases in Israel, 1992.
Am J Trop Med Hyg, 50(5), 550-556.
Kleinschmidt, I., Bagayoko, M., Clarke, G.P., Craig, M., & Le Sueur, D. (2000). A spatial statistical
approach to malaria mapping. Int J Epidemiol, 29(2), 355-361.
111
Kleinschmidt, I., & Sharp, B. (2001). Patterns in Age-Specific Malaria Incidence in a Population
Exposed to Low Levels of Malaria Transmission Intensity. Tropical Medicine &
International Health, 6(12), 986-991.
Klinkenberg, E., van der Hoek, W., & Amerasinghe, F.P. (2004). A malaria risk analysis in an
irrigated area in Sri Lanka. Acta Tropica, 89(2), 215-225.
Koenraadt, C.J.M., & Githeko, A.K. (2003). Malaria Risk in the Highlands of Western Kenya - An
Entomological Perspective. Environmental Change and Malaria Risk: Global and Local
Implications - Frontis workshop on Environmental Change and Malaria Risk: Global and
Local Implications Retrieved 30 July 2005, 2005, from
http://library.wur.nl/frontis/environmental_change/07_koenraadt.pdf
Leonardo, L.R., Rivera, P.T., Crisostomo, B.A., Sarol, J.N., Bantayan, N.C., et al. (2005). A study of
the environmental determinants of malaria and schistosomiasis in the Philippines using
Remote Sensing and Geographic Information Systems. Parassitologia, 47(1), 105-114.
MARA/ARMA. (1998). Towards an Atlas of Malaria Risk in Africa - First Technical Report of the
MARA/ARMA Collaboration. Durban: MARA/ARMA (Mapping Malaria Risk in
AFRICA/Atlas du Risque de la Malaria en Afrique).
Martin, C., Curtis, B., Fraser, C., & Sharp, B. (2002). The use of a GIS-based malaria information
system for malaria research and control in South Africa. Health & Place, 8(4), 227-236.
Nalim, S., Bogh, C., Hartono, Sugeng, & Bos, R. (2002). Rapid Assessment of Correlation between
Remotely Sensed Data and Malaria Prevalence in the Manoreh Hills Area of Central Java,
Indonesia - Final report (No. WHO/SDE/WSH/02.06). GENEVA: WHO.
Ndoen, E.M.L. (2002). Analysis of Environmental Risk Factors for Malaria - A Study in The Timor
Tengah Selatan (TTS) District, Nusa Tenggara Timur Province, West Timor- Indonesia.
Unpublished Master Thesis, Griffith University, Brisbane.
Nobre, F.F., Braga, A.L., Pinheiro, R.S., & Lopes, J.A. (1997). GISEpi: a simple geographical
information system to support public health surveillance and epidemiological
investigations. Comput Methods Programs Biomed, 53(1), 33-45.
Omumbo, J., Ouma, J., Rapuoda, B., Craig, M.H., le Sueur, D., et al. (1998). Mapping malaria
transmission intensity using geographical information systems (GIS): an example from
Kenya. Ann Trop Med Parasitol, 92(1), 7-21.
Pearsall, J. (1999). The concise Oxford dictionary. Oxford: Oxford University Press.
Pope, K.O., Rejmankova, E., Savage, H.M., Arredondo-Jimenez, J.I., Rodriguez, M.H., et al. (1994).
Remote sensing of tropical wetlands for malaria control in Chiapas, Mexico. Ecol Appl,
4(1), 81-90.
Sharma, V.P., & Srivastava, A. (1997). Role of geographic information system in malaria control.
Indian J Med Res, 106, 198-204.
Sithiprasasna, R., Ja Lee, W., Ugsang, D., & Linthicum, K. (2005). Identification and
characterization of larval and adult anopheline mosquito habitats in the Republic of
Korea: potential use of remotely sensed data to estimate mosquito distributions.
International Journal of Health Geographics, 4(1), 17.
Sithiprasasna, R., Linthicum, K.J., Liu, G.J., Jones, J.W., & Singhasivanon, P. (2003a). Some
entomological observations on temporal and spatial distribution of malaria vectors in
three villages in northwestern Thailand using a geographic information system.
Southeast Asian J Trop Med Public Health, 34(3), 505-516.
Sithiprasasna, R., Linthicum, K.J., Liu, G.J., Jones, J.W., & Singhasivanon, P. (2003b). Use of GIS-
based spatial modeling approach to characterize the spatial patterns of malaria
mosquito vector breeding habitats in northwestern Thailand. Southeast Asian J Trop Med
Public Health, 34(3), 517-528.
Space for Species. (2005, 2005-30-September). Glossary - Geographic Information System (GIS).
Retrieved 15 October 2005, 2005, from http://www.spaceforspecies.ca/glossary/g.htm
Srivastava, A., Nagpal, B.N., Saxena, R., Eapen, A., Ravindran, K.J., et al. (2003). GIS based malaria
information management system for urban malaria scheme in India. Computer Methods
and Programs in Biomedicine, 71(1), 63-75.
112
Srivastava, A., Nagpal, B.N., Saxena, R., & Sharma, V.P. (1999). Geographic information system as
a tool to study malaria receptivity in Nadiad Taluka, Kheda district, Gujarat, India.
Southeast Asian J Trop Med Public Health, 30(4), 650-656.
Srivastava, A., Nagpal, B.N., Saxena, R., & Subbarao, S.K. (2001). Predictive habitat modelling for
forest malaria vector species An. dirus in India - A GIS-based approach. Current Science,
80(9), 1129-1134.
Sweeney, A.W. (1998, 16-19 November 1998). The Application of GIS in Malaria Control Programs.
Paper presented at the 10th Colloquium of the Spatial Information Research Centre -
University of Otago, University of Otago, New Zealand.
Tim, U.S. (1995). Review - The Application of GIS in Environmental Health Science: Opportunity
and Limitations. Environmental Research, 71, 75-88.
Tim, U.S. (1998). Understanding the Role of Geospatial Information Technologies in Environmental
and Public Health: Applications and Research Directions. Paper presented at the
Geographic Information Systems in Public Health - The Third National Conference, San
Diego.
113