Anda di halaman 1dari 4

Daerah Dimana Alam Dan Lingkungan Hidup Dipelihara

Kalimantan, pulau ketiga terbesar di dunia, surga bagi keragaman flora dan fauna. Sedikitnya
terdapat 15.000 spesies flora, 2.500-3.000-an jenis anggrek, dan 3.000 jenis pohon. Di hutan-
hutannya terdapat 222 jenis mamalia dan 420 jenis burung. Di sungai dan perairannya terdapat
430 berbagai jenis-jenis ikan.

Salah satu pusat kekayaan hayati Kalimantan terdapat di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan
Barat yang terletak di wilayah jantung Borneo. Hutan, perairan danau dan sungai menjadikan
wilayah ini kaya dengan beragam spesies.

Bagi masyarakat setempat, keberadaan satwa dan jenis-jenis tumbuhan ternyata tidak sekadar
melahirkan mitos dan cerita dalam kehidupan, namun telah terserap sebagai bagian dari
interaksi kehidupan keseharian.

Burung cangak merah (Ardea purpurea) adalah “satpam alami” untuk tambak udang. Ular
sawah dipelihara untuk menjadi bahan pengobatan gatal-gatal kulit dan kesuburan rambut.
Burung murai batu, burung hijau, dan raja udang mudah dijumpai dari pinggir sungai dan saat
akan masuk kedalam hutan. Ikan arwana merah ditangkarkan di dalam kolam-kolam pembiakan
khusus untuk diperoleh manfaat nilai ekonominya.

Berbagai kekayaan alam Kalimantan tersebut direkam dalam bentuk gambar lewat fasilitasi
program PandaCLICK WWF Indonesia, suatu program untuk melihat alam dari kacamata
masayrakat, lewat upaya mendorong upaya pendokumentasian dan pengetahuan fotografi
kepada warga masyarakat setempat. Para fotografernya adalah warga setempat yang ada di
Kecamatan Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu. Dimana sehari-harinya mereka bekerja kebun
maupun nelayan sungai. Merekalah saksi hidup dimana alam berinteraksi dengan manusia
dalam hidup sehari-harinya.

Foto-foto yang anda lihat di bawah ini diambil oleh warga setempat dengan menggunakan
kamera poket dan berbagai kamera biasa. Diantaranya yang berhasil diabadikan adalah
kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris), anggrek kupu-kupu (Tricoglottis smithii)
yang cantik, hingga tikus bulan (Echinosorex gymnurus) sejenis mamalia nokturnal pemakan
serangga yang sangat langka dan jarang dijumpai.

Mengabadikan kekakayaan alam adalah cara untuk memberi apresiasi keindahan alam agar
tetap lestari selamanya.
Ikan arwana merah asal perairan sungai Kapuas. Foto: Wasol

Jamur atau yang disebut kulat oleh masyarakat setempat, beberapa jenis diambil untuk konsumsi.
Daerah Dimana Alam Dan Lingkungan Hidup Dirusak Dan Membawa Bencana
Kabupaten Garut, Jawa Barat mengalami bencana banjir bandang hebat pada Rabu dini hari, 21
September 2016. Garut sebenarnya merupakan salah satu penyangga penting bagi kelestarian
lingkungan di Jawa Barat.
Sepuluh tahun yang lalu, hampir 40 persen luas kabupaten ini masih berupa hutan. Sayangnya,
dalam beberapa tahun terakhir, ekspansi sektor pariwisata, tambang dan pertanian mengubah
luasnya hutan itu.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat mencatat, bencana banjir kecil di Garut
sebenarnya sudah terjadi beberapa kali sebelum ini. Banjir ini seharusnya menjadi tanda bagi
pemerintah daerah setempat, bahwa ada kesalahan pengelolaan lingkungan yang terjadi.
Namun, keinginan untuk memperbesar pendapatan daerah melalui pengembangan wisata dan
pertambangan, membuat peringatan itu tidak terbaca.

Direktur Walhi Jawa Barat, Dadan Ramdan kepada VOA menceritakan, kota Garut yang
mengalami bencana banjir bandang kali ini, berada di sebuah cekungan. Sungai Cimanuk berada
tepat di pusat cekungan itu, dengan puluhan sungai kecil yang memasok airnya. Sungai-sungai
kecil ini berhulu di gunung-gunung yang mengelilingi Garut, di mana hutan sudah rusak dan
tanah tidak mampu lagi menahan air.

“Memang daerah tangkapan air inilah yang sudah berubah fungsi, sekarang sedang tren apa
yang disebut sebagai TWA atau Taman Wisata Alam. Dimana sebuah perusahaan bisa bekerja
sama dengan pemerintah, membangun sarana wisata di hutan konservasi, yang seharusnya
berfungsi sebagai hutan. Hutan konservasi, kenapa dijadikan sarana wisata? Dimana sepuluh
persen wilayahnya bisa dibangun, dibeton. Jadi pasti, semua itu akan memberikan pengaruh
pada bencana ini,” kata Dadan Ramdan.

Dadan mengatakan, kerusakan lingkungan dengan pola yang sama terjadi merata di Jawa Barat.
Walhi mencatat, sejak Januari hingga sekarang, sudah ada lebih dari 100 korban meninggal dari
berbagai bencana akibat kesalahan pengelolaan lingkungan.

Peneliti ekologi dan aktivis pecinta alam di Jawa Barat, Agung Ganthar Kusumanto menilai, dari
material banjir bandang di Garut sudah jelas terlihat bahwa bencana ini terkait dengan tutupan
lahan.
Lumpur mengalir karena minimnya pohon atau tegakan terutama di bagian hulu dan sempadan
sungai. Tidak ada yang secara efektif menahan debit air dan menahan tanah sehingga kemudian
tererosi dan terbawa arus.

Secara khusus, Agung menyoroti hilangnya hutan lindung Perhutani dari kawasan itu. Menurut
Agung, hutan lindung sudah jelas fungsinya yaitu memberikan perlindungan, terutama dari
ancaman bencana semacam ini.
“Kita lihat sekarang yang tersisa hanya hutan di wilayah Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA).
Kemana hutan lindung Perhutani? Jika kita lihat lebih dekat, kawasan yang semestinya menjadi
hutan lindung kini sudah menjadi kebun sayur,” kata Agung yang ketika dihubungi, sedang
berada di Gunung Papandayan, Garut.

Agung juga menilai, pengembangan wisata alam harus dilakukan dengan mengedepankan
kelestarian alam itu sendiri. Pemerintah juga tidak boleh membiarkan terus terjadinya
pembalakan liar dan pembangunan wisata yang merusak lingkungan. Tidak kalah penting,
adalah mengembalikan keberadaan hutan lindung di kawasan itu.
Dihubungi terpisah, Dedy Kurniawan, Ketua Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia,
kepada VOA mengatakan, bencana di Garut tidak terlepas dari pelanggaran Rencana Tata
Ruang dan Wilayah (RTRW).
Rencana ini disusun oleh pemerintah untuk menjadi acuan dalam pelaksanaan pengembangan
wilayah. Sayangnya, pemerintah jugalah yang biasanya melakukan pelanggaran. Sementara
lembaga yang semestinya mengawasi pelaksanaannya, seperti Badan Lingkungan Hidup, tidak
cukup mampu menegakkan aturan.

Pelanggaran yang jelas terjadi di Garut adalah karena kawasan konservasi telah dibangun
sedemikian rupa menjadi area wisata. Pembangunan sarana dan prasarana wisata, seperti
pembukaan jalan, pembangunan hotel dan sarana lain, dilakukan tanpa mengutamakan
kelestarian lingkungan. Dalam banyak kasus, kata Dedy, aturan yang dibuat pemerintah provinsi
tidak sejalan dengan program pemerintah kabupaten, dan lembaga milik pemerintah pusat
yang mengelola kawasan semacam ini, seperti Perhutani.

“Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Garut harus menyesuaikan dengan kebijakan
provinsi. Kemudian, keputusan ini juga harus disinkronkan dengan para pemegang kawasan
yang ada di sana. Contohnya Perum Perhutani, apakah mereka juga mengikuti atau mengacu
RTRW ini, baik untuk Garut maupun Jawa Barat secara umum,” kata Dedy Kurniawan.

Aktivis lingkungan sepakat, kerusakan alam memberikan sumbangan terhadap bencana banjir
bandang yang terjadi di Garut. Pembenahan harus dilakukan menyeluruh, khususnya di
kawasan hulu sebagai area penangkap air.
Sektor pariwisata yang mengubah kawasan konservasi menjadi hotel dan sarana penunjang
wisata lain harus memahami, bahwa jika lingkungan telah rusak, sebenarnya tidak ada lagi daya
tarik wisata di kawasan itu.

Anda mungkin juga menyukai