Anda di halaman 1dari 119

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

WAYANG “KAMPUNG SEBELAH”


Kajian Tentang Boneka Wayang Kulit Kreasi Baru
(Sebuah Pendekatan Kritik Holistik)

Skripsi

Oleh:
FIGUR RAHMAN FUAD
K 3207025

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

WAYANG “KAMPUNG SEBELAH”


Kajian Tentang Boneka Wayang Kulit Kreasi Baru
(Sebuah Pendekatan Kritik Holistik)

Oleh :
FIGUR RAHMAN FUAD
NIM K3207025

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar


Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Seni Rupa
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
commit to user

ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji


Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

Surakarta, Oktober 2011

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si. Adam Wahida, S.Pd., M.Sn.


NIP 19650521 199003 1 003 NIP 19730906 200501 1 001

commit to user

iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas


Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari : Jum’at


Tanggal : 14 Oktober 2011

Tim Penguji Skripsi :

Nama Terang Tanda Tangan


Ketua : Drs. Edy Tri Sulistyo, M.Pd. ………….
Sekretaris : Drs. Edi Kurniadi, M.Pd. ………….
Anggota I : Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si. ………….
Anggota II : Adam Wahida, S.Pd., M.Sn. ………….

Disahkan Oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan ,

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd.


NIP 19600727 198702 1 001
commit to user

iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Figur Rahman Fuad. WAYANG KAMPUNG SEBELAH: KAJIAN


TENTANG BONEKA WAYANG KULIT KREASI BARU (SEBUAH
PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK), Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Oktober, 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Latar belakang
kemunculan boneka Wayang Kampung Sebelah, (2) Proses kreatif penciptaan
boneka Wayang Kampung Sebelah, (3) Bentuk rupa dan watak boneka Wayang
Kampung Sebelah, (4) Tanggapan penghayat terhadap boneka Wayang Kampung
Sebelah.
Strategi yang digunakan adalah studi kasus tunggal terpancang. Sumber
data yang digunakan memanfaatkan informan, tempat dan peristiwa, dan
dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling (sampel
bertujuan). Validitas data dicapai dengan menggunakan triangulasi sumber dan
review informant. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kritik
holistik.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan: (1) Latar belakang
kemunculan boneka Wayang Kampung Sebelah berawal dari keprihatinan
seniman terhadap kondisi pertunjukan wayang kulit Purwa yang semakin
kehilangan fungsi tuturnya. Kesenjangan komunikasi antara dalang dan
masyarakat menjadi pemicu seniman untuk menciptakan pertunjukan wayang
kreasi baru yang akhirnya dikenal sebagai Wayang Kampung Sebelah. (2) Proses
kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah meliputi: penggalian ide,
penuangan ide ke dalam bentuk sketsa, pembuatan boneka dari kulit kerbau
dengan teknik tatah, penyatuan bagian-bagian wayang dan mewarnai. (3) Bentuk
rupa Wayang Kampung Sebelah berupa sosok-sosok masyarakat kampung dengan
berbagai profesi, berwujud manusia dengan bentuk tubuh yang dideformasi
terutama pada bagian tangannya yang panjang seperti pada boneka wayang kulit
Purwa, tokoh-tokoh boneka wayang kampung sebelah yaitu: Lurah Somad (sosok
pemimpin berwatak inkonsisten), Eyang Sidik Wacono (sosok sesepuh berwatak
egaliter dan bijaksana), Blegoh (sosok ibu rumah tangga berwatak
temperamental), Mbah Keblak (sosok Ibu berwatak bijaksana), Sodrun dan Parjo
(sosok hansip berwatak tegas serta humoris), Mbah Modin (sosok pemimpin ritual
keagamaan berwatak humoris), Silvy (sosok Pekerja Seks Komersial berwatak
genit), Karyo (sosok kepala rumah tangga, tukang becak berwatak keras dan
emosional), Kampret (sosok pemuda pengangguran berwatak kritis), Jhony (sosok
pemuda yang tidak berprinsip), Sodrun dan Parjo (sosok hansip berwatak tegas
dan humoris). (4) Tanggapan penghayat terhadap wayang kampung sebelah cukup
positif. Boneka Wayang Kampung Sebelah dinilai dengan tema yang diangkat
oleh senimannya.

commit to user

v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Figur Rahman Fuad. WAYANG KAMPUNG SEBELAH: STUDY OF THE


NEW CREATION LEATHER PUPPET (A CRITICISM HOLISTIC
APPROACH), Thesis. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education in
Sebelas Maret University of Surakarta. October, 2011.
The purpose of this study is to determine: (1) The background of the
emergence of a Wayang Kampung Sebelah, (2) The creative process is the
creation of a Wayang Kampung Sebelah, (3) The form looks and character
Wayang Kampung Sebelah, (4) The response to the Wayang Kampung Sebelah.
Strategy which is used is single case study stake. Source of data that is
used exploit the informant, place and event, and document. Sampling technique
that is used is purposive sampling. The data validity reached by using
triangulation of source and review informant. Technique analyze the data used is
analysis criticize the holistic.
Based on the results of research, it can be concluded: (1) The background
of the emergence of a Wayang Kampung Sebelah was originated from artist’s
concerns about the condition of Purwa puppet show that loss it’s function.
Communication gap between the puppeteer and the community to be triggered
artists to create a new puppet show creations that eventually became known as the
Wayang Kampung Sebelah. (2) The creative process in the creation of a Wayang
Kampung Sebelah include: excavation of ideas, pouring ideas into sketches form,
making dolls from buffalo skin with chisel techniques, unification of parts of the
puppets and coloring. (3) Form of Wayang Kampung Sebelah is the figures of the
village community with variety of professions, tangible human with deformed
shape of the body especially on the long arms as in Purwa leather puppets, puppet
figures of the Wayang Kampung Sebelah that are: Lurah Somad ( figure of the
leader of wishy-washy character), Grandmother Sidik Wacono (figure of
egalitarian character and wise elders), Blegoh (figure of housewife temperamental
character), Mbah Keblak (character wise mother figure), and Parjo Sodrun (figure
security assertive character and humorous) , Mbah Modin (the figure of the leader
of a religious ritual humorous character), Silvy (figure flirtatious character
commercial sex workers), Karyo (figure of head of household, a pedicab driver
rampart and emotional), Kampret (youth unemployment figure of a critical
character), Jhony (the figure of youth that no principled), Sodrun and Parjo (figure
security firm and humorous character). (4) The audience response to the puppet
Wayang Kampung Sebelah is quite positive. WayangKampung Sebelah was
assessed with the theme which is raised by the artist.

commit to user

vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTTO
“Sekecil apapun kebisaan kita, Tuhan tentu menganugerahkan itu sebagai rahmat
bagi semesta”.
(Figur Rahman Fuad)

commit to user

vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan


Kepada :

Keindahan absolut.
Almarhumah Ibuku.
Ayah, Kakak, adik-adikku, Guru-guruku, Rekan-rekan.
Almamater.

commit to user

viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul
“WAYANG KAMPUNG SEBELAH: KAJIAN TENTANG BONEKA
WAYANG KULIT KREASI BARU (SEBUAH PENDEKATAN KRITIK
HOLISTIK”. Penyusunan skripsi dilakukan sebagai salah satu persyaratan guna
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Banyak kesulitan dalam penyusunan skripsi ini, namun berkat bantuan dari
berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi, untuk itu
atas segala bantuannya, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
3. Dr. Slamet Supriyadi, M.Pd., selaku Ketua Program Pendidikan Seni Rupa
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si., selaku pembimbing I, atas bimbingannya
dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Adam Wahida ,S.Pd., M.Sn., selaku pembimbing II, atas bimbingannya
dalam penyusunan skripsi ini.
6. Drs. Edi Kurniadi, M.Pd., selaku pembimbing akademis.
7. Bapak Suparman (Ki Jlitheng) selaku narasumber utama penelitian ini.
8. Bapak Yayat Suhiryatna dan Bapak Suyatno selaku narasumber pendukung.
9. Bapak Bambang Suwarno S. Kar., M.Hum., Drs. Tjahjo Prabowo, M.Sn,
Bapak Sularno, S.Pd, M.Hum, Bapak Sarmin, Lilik Darmasto. Selaku
penghayat karya wayang Kampung Sebelah dalam penelitian ini.
commit
10. Ayah, Kakak, dan Adik-adikku to user
atas do’a dan dukungannya.

ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11. Rininta Citra Ayu Sari atas semua dukungan semangat yang berharga.
12. Teguh Triatmojo, atas diskusi-diskusi yang mencerahkan.
13. “Sunseters”: Alfan, Anggi, Anik, Ayu, Via.
14. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Seni Rupa JPBS FKIP UNS.
15. Angkatan 2007 Prodi Pendidikan Seni Rupa FKIP UNS..
16. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu
penyusunan skripsi ini.
Semoga segala amal kebaikan semua pihak yang telah membantu
penyusunan skripsi ini mendapat imbalan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha
Pemurah.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Surakarta, 17 Oktober 2011

Penulis

commit to user

x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PENGAJUAN ............................................................................ ii
PERSETUJUAN ............................................................................................. iii
PENGESAHAN ............................................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
ABSTRACT ...................................................................................................... vi
MOTTO .......................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ........................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
DAFTAR BAGAN .......................................................................................... xv
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 3
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 3
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 4
1. Manfaat Teoritis ............................................................................ 4
2. Manfaat Praktis ............................................................................. 4
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................ 5
A. Kajian Pustaka...................................................................................... 5
1. Tinjauan tentang Wayang ............................................................. 5
2. Jenis dan Ragam Wayang ............................................................. 6
3. Wayang Kulit Kreasi Baru ............................................................ 12
4. Sumber Gubahan Wayang Kulit Kreasi Baru ............................... 16
commit to user
5. Kritik Seni Rupa............................................................................. 17

xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6. Kritik Seni Rupa Holistik .............................................................. 18


B. Penelitian yang Relevan ..................................................................... 19
C. Kerangka Berpikir .............................................................................. 20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 21
A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 21
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ............................................................ 21
C. Sumber Data ......................................................................................... 21
1. Narasumber ................................................................................... 22
2. Tempat dan Peristiwa .................................................................... 22
3. Arsip .............................................................................................. 22
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 22
1. Wawancara Mendalam .................................................................. 23
2. Observasi Langsung ...................................................................... 23
3. Analisis Dokumen ......................................................................... 24
E. Teknik Sampling .................................................................................. 24
F. Validitas Data ....................................................................................... 24
1. Triangulasi ..................................................................................... 25
2. Review Informan ........................................................................... 25
G. Teknis Analisis ..................................................................................... 25
H. Prosedur Penelitian ............................................................................. 28
1. Tahap Persiapan ............................................................................ 28
2. Tahap Observasi Lapangan .......................................................... 28
3. Tahap Analisis Data ...................................................................... 28
4. Tahap Penyusunan Laporan .......................................................... 28
BAB IV HASIL PENELITIAN ...................................................................... 29
A. Latar Belakang Munculnya Boneka Wayang Kampung Sebelah ....... 29
1. Sejarah Wayang Kampung Sebelah .............................................. 29
2. Format Pertunjukan ......................................................................... 36
3. Format Iringan ............................................................................... 37
4. Profil Ki Jlitheng Suparman .......................................................... 38
commit to user

xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Proses Kreatif Penciptaan Boneka Wayang Kampung Sebelah .......... 42


1. Sumber Ide .................................................................................... 42
2. Teknik ............................................................................................ 42
C. Bentuk Rupa dan Watak Boneka Wayang Kampung Sebelah............. 46
1. Lurah Somad .................................................................................. 48
2. Eyang Sidik Wacono ...................................................................... 50
3. Blegoh ............................................................................................ 52
4. Mbah Keblak .................................................................................. 54
5. Sodrun .............................................................................................. 56
6. Parjo ............................................................................................... 58
7. Mbah Modin ..................................................................................... 60
8. Karyo .............................................................................................. 62
9. Silvy ............................................................................................... 64
10. Kampret ........................................................................................ 66
11. Jhony ............................................................................................ 68
12. Cak Dul ........................................................................................ 70
13. Minul Darah Tinggi ...................................................................... 72
14. Koma Ramari-mari ....................................................................... 74
D. Tanggapan Penghayat terhadap Bentuk Rupa dan Watak Boneka Wayang
Kampung Sebelah ..................................................................... 76
1. Tanggapan Dosen Pedalangan ...................................................... 76
2. Tanggapan Dosen Seni Rupa ........................................................ 79
3. Tanggapan Guru Seni Rupa .......................................................... 81
4. Tanggapan Mahasiswa Seni Rupa ................................................. 84
5. Tanggapan Penonton Serius .......................................................... 87
E. Wayang Kampung Sebelah sebagai Wayang Kreasi Baru .................. 91
1. Wayang Kampung Sebelah: Mengatasi Masalah Komunikasi ..... 91
2. Masyarakat Kampung Sebagai Tema Karya .................................. 94
3. Wayang Kampung Sebelah di Tengah Penghayatnya .................. 97
commit to user

xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ........................................ 98


A. Simpulan .............................................................................................. 98
B. Implikasi .............................................................................................. 100
C. Saran .................................................................................................. 100
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 101
LAMPIRAN .................................................................................................. 103

commit to user

xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR BAGAN

Halaman
Bagan 1. Kerangka Berpikir ............................................................................ 20
Bagan 2. Penelitian dengan Pendekatan Kritik Holistik ................................. 27

commit to user

xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Tanggapan Penghayat ....................................................................... 89

commit to user

xvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Lurah Somad ................................................................................. 48
Gambar 2. Eyang Sidik Wacono ..................................................................... 50
Gambar 3. Blegoh ........................................................................................... 52
Gambar 4. Mbah Keblak. ................................................................................ 54
Gambar 5. Sodrun ........................................................................................... 56
Gambar 6. Parjo .............................................................................................. 58
Gambar 7. Mbah Modin .................................................................................. 60
Gambar 8. Karyo ............................................................................................. 62
Gambar 9. Silvy .............................................................................................. 64
Gambar 10. Kampret ........................................................................................ 66
Gambar 11. Jhony ............................................................................................ 68
Gambar 12. Cak Dul ........................................................................................ 70
Gambar 13. Minul Darah Tinggi ...................................................................... 72
Gambar 14. Koma Ramari-mari ....................................................................... 74

commit to user

xvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Foto-foto Penelitian ................................................................... 103
Lampiran 2. Hasil Wawancara dengan Dalang .............................................. 107
Lampiran 3. Hasil Wawancara dengan Penata Musik ................................... 111
Lampiran 4. Hasil Wawancara dengan Penatah Wayang .............................. 113
Lampiran 5. Hasil Wawancara dengan Dosen Jurusan Pedalangan .............. 115
Lampiran 6. Hasil Wawancara dengan Dosen Seni Rupa.............................. 121
Lampiran 7. Hasil Wawancara dengan Guru Seni Rupa................................ 126
Lampiran 8. Hasil Wawancara dengan Mahasiswa Seni Rupa ...................... 133
Lampiran 9. Hasil Wawancara dengan Penonton Serius ............................... 139
Lampiran 10. Surat Keterangan Bukti Penelitian ............................................ 144
Lampiran 11. Surat Ijin Menyusun Skripsi ...................................................... 150

commit to user

xviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Figur Rahman Fuad. WAYANG KAMPUNG SEBELAH: KAJIAN


TENTANG BONEKA WAYANG KULIT KREASI BARU (SEBUAH
PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK), Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Oktober, 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Latar belakang
kemunculan boneka Wayang Kampung Sebelah, (2) Proses kreatif penciptaan
boneka Wayang Kampung Sebelah, (3) Bentuk rupa dan watak boneka Wayang
Kampung Sebelah, (4) Tanggapan penghayat terhadap boneka Wayang Kampung
Sebelah.
Strategi yang digunakan adalah studi kasus tunggal terpancang. Sumber
data yang digunakan memanfaatkan informan, tempat dan peristiwa, dan
dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling (sampel
bertujuan). Validitas data dicapai dengan menggunakan triangulasi sumber dan
review informant. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kritik
holistik.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan: (1) Latar belakang
kemunculan boneka Wayang Kampung Sebelah berawal dari keprihatinan
seniman terhadap kondisi pertunjukan wayang kulit Purwa yang semakin
kehilangan fungsi tuturnya. Kesenjangan komunikasi antara dalang dan
masyarakat menjadi pemicu seniman untuk menciptakan pertunjukan wayang
kreasi baru yang akhirnya dikenal sebagai Wayang Kampung Sebelah. (2) Proses
kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah meliputi: penggalian ide,
penuangan ide ke dalam bentuk sketsa, pembuatan boneka dari kulit kerbau
dengan teknik tatah, penyatuan bagian-bagian wayang dan mewarnai. (3) Bentuk
rupa Wayang Kampung Sebelah berupa sosok-sosok masyarakat kampung dengan
berbagai profesi, berwujud manusia dengan bentuk tubuh yang dideformasi
terutama pada bagian tangannya yang panjang seperti pada boneka wayang kulit
Purwa, tokoh-tokoh boneka wayang kampung sebelah yaitu: Lurah Somad (sosok
pemimpin berwatak inkonsisten), Eyang Sidik Wacono (sosok sesepuh berwatak
egaliter dan bijaksana), Blegoh (sosok ibu rumah tangga berwatak
temperamental), Mbah Keblak (sosok Ibu berwatak bijaksana), Sodrun dan Parjo
(sosok hansip berwatak tegas serta humoris), Mbah Modin (sosok pemimpin ritual
keagamaan berwatak humoris), Silvy (sosok Pekerja Seks Komersial berwatak
genit), Karyo (sosok kepala rumah tangga, tukang becak berwatak keras dan
emosional), Kampret (sosok pemuda pengangguran berwatak kritis), Jhony (sosok
pemuda yang tidak berprinsip), Sodrun dan Parjo (sosok hansip berwatak tegas
dan humoris). (4) Tanggapan penghayat terhadap wayang kampung sebelah cukup
positif. Boneka Wayang Kampung Sebelah dinilai dengan tema yang diangkat
oleh senimannya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Wayang adalah suatu kesenian warisan leluhur bangsa Indonesia yang
telah mampu bertahan berabad-abad lamanya dengan mengalami perubahan dan
perkembangan sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti sekarang ini. Dalam
perjalanannya dari zaman ke zaman wayang mengalami perubahan akibat adanya
perubahan dalam pemerintahan, politik, sosial-budaya, dan kepercayaan, sesuai
dengan perubahan yang terjadi dalam pikiran manusia. Daya tahan wayang yang
luar biasa ini membuktikan bahwa wayang mempunyai fungsi dan peranan dalam
kehidupan. Fungsi dan peranan wayang tidaklah tetap, tergantung pada
kebutuhan, tuntutan, dan penggarapan masyarakat pendukungnya (Haryanto,
1991: 1).
Sebagai salah satu produk kebudayaan wayang mengalami perubahan terus
menerus sebagaimana sifat kebudayaan itu sendiri, perubahan tersebut meliputi
aspek yang terlihat (bentuk, fungsi) maupun yang tak telihat (filosofi). Perubahan
tersebut bukan tanpa tantangan karena kadangkala terbentur dengan estetika
tradisional dan kritik-kritik dari pengamat seni wayang (wawasan lokal), seperti
mengingkari pakem, konsep inovasi yang tidak jelas dan lain sebagainya (Jazuli,
2001: 151).
Pada tahun 2001 lalu, sekelompok seniman Solo melahirkan genre wayang
baru yang dinamakan Wayang Kampung Sebelah. Penciptaan pertunjukan
Wayang Kampung Sebelah ini berangkat dari keinginan membuat format
pertunjukan wayang yang dapat menjadi wahana untuk mengangkat kisah realitas
kehidupan masyarakat sekarang secara lebih lugas dan bebas tanpa harus terikat
oleh norma-norma estetik yang rumit seperti halnya wayang klasik. Dengan
menggunakan medium bahasa percakapan sehari-hari, baik bahasa Jawa maupun
bahasa Indonesia, maka pesan-pesan yang disampaikan lebih mudah ditangkap
oleh penonton. Isu-isu aktual yang berkembang di masyarakat masa kini, baik
commit
yang menyangkut persoalan politik, to user sosial, budaya dan lingkungan,
ekonomi,

1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

merupakan sumber inspirasi penyusunan cerita yang disajikan. Boneka


wayangnya yang terbuat dari kulit tidak lagi berbentuk seperti wayang kulit klasik
pada umumnya melainkan berbentuk manusia yang distilasi. Tokoh-tokoh yang
terdapat dalam Wayang Kampung Sebelah juga tidak mengacu pada tokoh dalam
ceritera Mahabarata atau Ramayana namun menghadirkan sosok-sosok
masyarakat plural yang terdiri dari penarik becak, bakul jamu, preman, pelacur,
Pak Rukun Tetangga (RT), Pak lurah, hingga pejabat besar kota.
Kemunculan jenis wayang ini baru dapat dibaca sebagai sesuatu yang
wajar dan alamiah sesuai dengan sifat kebudayaan yang terus berubah. Namun
demikian perlu disadari bahwa sebuah karya seni tentu membawa pikiran-pikiran
atau peristiwa yang melatari kemunculannya. Jakob Sumardjo dalam bukunya
Filsafat Seni (2000: 233) dinyatakan bahwa setiap karya seni sedikit banyak
mencerminkan setting masyarakat tempat seni itu diciptakan. Sebuah karya seni
ada karena seorang seniman menciptakannya, seniman itu sendiri selalu berasal
dari masyarakat tertentu dan kehidupan masyarakat merupakan kenyatan yang
langsung dihadapi sebagai rangsangan kreativitas kesenimanannya.
Hal inilah yang menarik penulis untuk melakukan penelitian tentang
wayang kreasi baru karya Ki Jlitheng Suparman, yang populer disebut dengan
Wayang Kampung Sebelah. Adapun digunakannya pendekatan kritik dalam
penelitian ini adalah berdasarkan pertimbangan akan pentingnya penelitian
terhadap karya seni rupa yang tidak hanya bersifat deskriptif namun juga bersifat
evaluatif.
Permasalahan penting dalam metode kritik seni terletak pada pemahaman
struktur kritik yang didasarkan pada pilihan sumber nilai pendukung kualitas
karya sebagai sasaran kajian. (H. B. Sutopo 1995: 8). Perbedaan kritik yang
tampak jelas pada strukturnya terutama disebabkan karena adanya pemihakan
yang berlebihan kepada sumber nilai seni yang dianggap paling sah dalam
mengevaluasi karya. Sumber nilai pada setiap karya seni pada dasarnya berkaitan
langsung dengan tiga komponen utama penunjang kehidupan senidalam
masyarakat. Tiga komponen tersebut meliputi seniman, karya seni, dan penghayat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tiga komponen tersebut saling berinteraksi dan menentukan nilai setiap karya
seni.
Pendekatan kritik holistik tidak mengabaikan salah satu komponen dalam
kehidupan seni. Ketiga sumber tersebut (seniman, karya, dan penghayat) ditelaah
dengan berimbang, sehingga diharapkan mampu melahirkan putusan kritik yang
proporsional.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah seperti tersebut di atas, bahwa wujud visual
sangatlah penting dan merupakan kesatuan dari pertunjukan wayang kulit itu
sendiri, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang munculnya boneka Wayang Kampung Sebelah?
2. Bagaimana proses kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah?
3. Bagaimana bentuk rupa dan watak boneka Wayang Kampung Sebelah?
4. Bagaimana tanggapan penghayat terhadap boneka Wayang Kampung
Sebelah?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan:
1. Mengetahui latar belakang munculnya boneka Wayang Kampung Sebelah.
2. Mengetahui proses kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah.
3. Mengetahui bentuk rupa dan watak tokoh boneka Wayang Kampung
Sebelah.
4. Mengetahui tanggapan penghayat terhadap boneka Wayang Kampung
Sebelah.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi baik untuk
kepentingan teoretis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoretis bagi kajian
kesenirupaan yang terkait dengan kreatifitas dalam penciptaan wayang,
karena hasil penelitian ini akan menyadarkan tentang pentingnya
kreatifitas dalam upaya melestarikan nilai-nilai luhur dalam seni wayang,
bagaimana mengolah idiom-idiom baru dari aspek rupa agar wayang
menjadi menarik, relevan dengan zaman, dekat dengan masyarakatnya,
dan tetap sarat makna.
2. Manfaat Praktis
a. Menambah referensi kajian wayang kulit kreasi baru.
b. Menjadi bahan evaluasi terhadap karya Wayang Kampung Sebelah.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

1. Tinjauan Tentang Wayang


Wayang dalam bahasa Jawa berarti “bayangan” dalam bahasa Melayu
disebut “bayang-bayang'”, dalam bahasa Aceh “bayeng”, dalam bahasa Bugis
“wayang atau bayang”. Akar kata dari wayang adalah “Yang”, akar kata ini
bervariasi dengan Yung, Yong dan Ying, antara lain terdapat dalam kata layang
“terbang”, doyong “miring”, tidak stabil “royong” selalu bergerak dari satu tempat
ke tempat lain, poyang-payungan “berjalan sempoyongan, tidak tenang” (Sri
Mulyono, 1982: 9).
Awalan “Wa” di dalam bahasa Jawa Modern tidak mempunyai fungsi lagi,
tetapi dalam bahasa Jawa kunci awalan tersebut masih jelas memiliki fungsi tata
bahasa. Jadi dalam bahasa Jawa Wayang mengandung pengertian "berjalan kian-
kemari, tidak tetap, sayup-sayup (bagi substansi bayang-bayang) telah terbentuk
pada waktu yang amat tua ketika awalan wa masih mempunyai fungsi tata bahasa.
Oleh karena itu boneka-boneka yang digunakan dalam pertunjukan itu
berbayangan atau memberi bayang-bayang, maka dinamakan Wayang. Awayang
atau hawayang pada waktu itu berarti “bergaul dengan wayang, mempertunjukkan
wayang”. Lambat laun wayang menjadi nama dari pertunjukan bayang-bayang
atau pentas bayang-bayang. (Sri Mulyono, l982: 10).
Wayang adalah berasal dari kata “Hyang” yang berarti persembahan pada
Hyang Widhi” (Adhiman Sajuddin Rais, 1970: 8). Nenek moyang bangsa
Indonesia beberapa puluh tahun sebelum Masehi telah rnengenal wayang yaitu
suatu bentuk pentas sebagai sarana upacara keagamaan yang bersifat ritual dengan
menggunakan bayangan (wayang) dalam membawakan acara-acaranya. Wayang
merupakan dongeng, khayal dan mitos yang diapat membangkitkan daya mistik
dalam diri penghayatnya. Penafsiran orang Barat bahwa wayang kulit hanya
commit to user

5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

"Shadow Play" belaka adalah kurang tepat, karena wayang bukanlah obyek visual
belaka (S. Haryanto, 1988: 4).
Masih banyak lagi tulisan-tulisan dan pendapat mengenai wayang yang
masih memerlukan penyelidikan-penyelidikan seksama mengenai kebenarannya.
Bila ditelaah dengan seksama maka kata wayang tersebut berasal dari bahasa Jawa
yang berarti bayangan. Karena pengaruh warga-aksara, maka kata wayang
menjadi bayang, wesi menjadi besi dan watu menjadi batu (Haryanto, 1988: 28).

2. Jenis dan Ragam Wayang


Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau Jawa,
Bali, Lombok, Kalimantan, dan lain-lain. Berkembangnya wayang di daerah,
mempunyai hubungan yang sangat errat dengan masuknya kebudayaan Hindu
serta terdapat prasasti-prasasti kuno di daerah itu. Seni pewayangan tersebut telah
menjadi milik daerah itu dengan nama tersendiri dimana wayang itu hidup dan
verkembang. Oleh karena itu tidaklah tepat jika wayang-wayang tersebut disebut
wayang Palembang atau wayang Bengkulu, sedangkan bentuk wayang serta
pergelarannya serupa dengan pergelaran wayang Purwa Jawa, hanya bahasa serta
gendhing-gendhing pengiringnya saja yang berbeda (Haryanto, 1988: 145).
a. Wayang Kulit
Wayang kulit adalah suatu kesenian yang mempergunakan boneka
wayang sebagai salah satu peralatannya. Boneka yang dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti “tiruan untuk anak permainan”, sedangkan
Wayang berarti “boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau
kayu dsb, yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam
pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb), biasanya dimainkan
oleh seseorang yg disebut dalang”. Bentuk boneka wayang dibuat dari kulit
binatang (kerbau) yang dibuat pipih atau ditipiskan, kemudian digambar dan
ditatah, baru kemudian disungging (diwarna) dan terakhir dilangkapi
dengan cempurit atau gapit (tangkai/ penjepit) yang terbuat dari tanduk
kerbau sebagai alat pegangannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kesenian ini berkembang pesat dalam masyarakat Jawa, bukan


hanya dalam perupaan dan pementasan, tetapi juga berkembang dalam
peragaman jenis dan cerita yang dipergelarkan.
Macam-macam wayang kulit yang ada (pernah ada) di pulau Jawa
antara lain adalah:
1) Wayang Purwa
Wayang kulit Purwa adalah pertunjukan wayang yang
pementasan ceritanya bersumber pada kitab Mahabharata atau
Ramayana. Pendapat para ahli, istilah Purwa tersebut berasal dari kata
“Parwa” yang berarti bagian dari cerita Mahabharata atau Ramayana.
Di kalangan masyarakat Jawa, terutama orang-orang tua kata purwa
sering diartikan pula purba (zaman dahulu). sesuai dengan pengertian
tersebut, maka wayang purwa diartikan pula sebagai wayang yang
menyajikan cerita-cerita zaman dahulu (purwa). (S. Haryanto,
1998:48).
2) Wayang Gedog
Pada tahun 1583 (1505 Çaka) Raden Jaka Tingkir yang
bergelar sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang, membuat wayang
Gedog dengan sengkalan: “panca boma marga tungga” dan Sunan
Bonang membuat wayang Beber Gedog pada tahun 1565 (1487 Çaka,
dengan sengkalan “wayang wolu kinarya tunggal”).
Bentuk seni rupa wayang Gedog yang terbuat dari kulit yang
ditatah dengan sunggingan yang serasi mengambil pola dasar wayang
kulit Purwa jenis satria sabrangan. Busana kain berbentuk rapekan
elengan berselip keris. Hanya empat jenis muka yang terdapat pada
wayang Gedog ini antara lain muka dengan mulut gusen seperti muka
tokoh wayang Purwa Dursasana, wajah dengan mata miring
kedondongan seperti muka tokoh wayang Setiyaki, muka bermata
kliyepan seperti muka tokoh wayang Arjuna dan muka berhidung
dempak seperti muka tokoh wayang Wrekudara. Untuk tokoh wanita
commit to user
sama halnya dengan tokoh-tokoh wayang putri Purwa lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Atribut (irah-irahan) untuk satria pada umumnya bersumping


sekar keluih dengan rambut terurai lepas antara lain ngore polos,
ngore gembel, ngore gimbal ataupun ngore udalan. Muka-muka jenis
raksasa ataupun kera tidak terdapat dalam wayang Gedog ini. Busana
tokoh-tokoh raja pada urnumnya mengenakan irah-irahan garuda
mungkur dengan menyelip dua buah keris, sedang perlengkapan
busana lainnya, sama seperti yang terdapat pada wayang kulit Purwa,
namun tidak memakai praba, ataupun topong.
Dalam pementasan wayang Gedog ini tidak menggunakan
cerita-cerita dari kitab Ramayana ataupun Mahabharata, tetapi cerita-
cerita Panji. Selain terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging,
terdapat pula yang terbuat dari kayu pipih (papan) yang diukir dan
disungging, letapi tangan-tangannya masih terbuat dari kulit. Untuk
pementasan wayang ini diambilnya cerita Damarwulan Menakjingga
dan wayang tersebut kemudian dinamakan wayang Klitik (Haryanto,
1988: 97).
3) Wayang Madya
Wayang ini dicipta pada waktu Pangeran Adipati
Mangkunegoro IV (1853- 1881) berusaha menggabungkan semua
jenis wayang yang ada menjadi satu kesatuan yang berangkai serta
disesuaikan dengan sejarah Jawa sejak beberapa abad yang lalu
sampai masuknya agama Islam di Jawa dan diolah secara kronologis.
Semula Sri Mangkunegoro IV menerima buku Serat Pustaka
Raja Madya dan Serat Witaradya dari Raden Ngabehi Ronggo
Warsito pada tahun 1870 Masehi (I792 Çaka). Buku tersebut berisikan
cerita riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra dari negeri
Mamenang di Kediri, yang kemudian kerajaan tersebut pindah ke
Pengging dan disebut Pengging Witarodya. Kesimpulan dari isi buku
tersebut berkaitan dengan buku Serat Pustaka Raja Purwa, yang
menceritakan riwayat dewa-dewa, riwayat para Pendawa sampai akhir
perang Bharatayuda. commit to user gagasan Sri Mangkunegoro IV
Lalu timbullah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

untuk membuat jenis wayang baru, untuk meyambung sejarah zaman


Purwa dengan zaman Jenggala dalam cerita-cerita Panji. Dari gagasan
tersebut, maka terciptalah jenis wayang baru yang disebut wayang
Madya, satu jenis wayang yang menggambarkan dari badan tengah ke
atas berwujud wayang Purwa, sedang dari badan ke bawah berwujud
wayang Gedog. Wayang Madya tersebut memakai keris dan dibuat
dnri kulit, ditatah dan disungging.
Tokoh wayang Parikesit merupakan tokoh wayang pemula dari
wayang Madya, meskipun bentuk busana serta atribut-atributnya
masih nampak bentuk wayang Purwa. Bentuk wayang Purwa tersebut
nampak pada tokoh-tokoh wayang Patih Negara Aslina, Harya Dwara,
Anak Samba, serta Ramayana dan Ramaparwa putra-putra dari Prabu
Parikesit (Haryanto, 1988: 95).
4) Wayang Dobel
Pencipta wayang ini adalah Kyai Amad Kasman dari desa
Slametan daerah Yogyakarta. Pementasan wayang Dobel ini
berdasarkan cerita-cerita nuansa Islam, yang diambil dari serat
Ambyah. Wayang ini disebut wayang Dobel, karena isi cerita dari
negeri Arab, sedang bahasa yang dipakai ialah bahasa Jawa. Sebagai
pengiring pergelaran, menggunakan terompet dan rebana seperti orang
selawatan, Menggunakan kelir berwarna merah dengan garis tepi
putih, berlainan dengan kelir wayang kulit biasa yang berwarna putih
dengan garis tepi merah, biru ataupun hitam.
Wayang yang disimping (dijajarkan), sebelah kanan terdiri atas
wayang-wayang Malaikat Jibril dan Malaikat Israpil, sedang yang
disimping sebelah kiri terdiri atas wayang-wayang Malaikat Ijrail.
Wayang Malaikat Ijrail mempunyai bentuk yang aneh, ia berbadan
tiga yang merekat menjadi satu, mempunyai tiga buah kepala dan dua
kaki bersila. Ketiga badan tersebut merupakan lambang Amarah,
Mutmainah dan Supiah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

Wayang Dobel tersebut tidak jauh berbeda dengan wayang


wahyu, yang menceritakan kisah-kisah para Nabi. Jika wayang Wahyu
dalam pementasannya mengambil kisah-kisah dari Kitab Injil, maka
wayang Dobel menceritakan kisah- kisah dari Kitab Al-Qur’an.
(Haryanto, 1998: 120).
b. Wayang Klitik atau Krucil
Raden Pekik di Surabaya membuat wayang krucil pada tahun
1648 (1570 Çaka, dengan, sangkalan: “watu tunggangane buta
widadari”). Wayang ini dibuat dari kayu pipih (papan) berbentuk seperti
wayang kulit dan diukir seperlunya. Hanya tangan-tangannya tetap dibuat
dari kulit. Pertunjukan wayang ini dilakukan pada siang hari dan tidak
menggunakan kelir. Kemudian untuk seterusnya wayang Klitik
digunakan untuk pergelaran cerita Damarwulan Menakjingga, sedang
wayang Krucil untuk cerita-cerita dari kitab Mahabharata, disebut
wayang Golek Purwa. Wayang Klitik merupakan wayang wasana (akhir)
dari zaman Wasana, setelah zaman Madya yang diwakili oleh wayang
Madya, sedang wayang Purwa (Mahabharata dan Ramayana) merupakan
wayang yang mewakili pada zaman Purwa (Haryanto, 1988: 63).
c. Wayang Golek
Sesuai dengan bentuk atau cirinya yang mirip boneka, bulat dan
dibuat dari kayu seperti boneka, sehingga benda wayang tersebut
dinamakan wayang Golek. Dalam bahasa Jawa, Golek berarti boneka.
Pada akhir pergelaran wayang kulit Purwa, biasanya para dalang
memainkan wayang yang bentuknya mirip boneka dan dinamakan Golek.
Dalam bahasa Jawa, Golek berarti juga “mencari”. Dengan memainkan
wayang golek tersebut, dalang bermaksud memberikan isyarat kepada
para penonton agar seusai pergelaran, penonton nggoleki atau mencari
intisari dari nasehat yang terkandung dalam pergelaran yang baru usai.
Mungkin berdasarkan kemiripan bentuk itulah, wayang Golek dinamakan
demikian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

Berbeda dengan wayang kulit, wayang Golek yang terbuat dari


kayu dan berbentuk tiga dimensional itu; kepalanya terlepas dari
tubuhnya. Ia dihubungkan oleh sebuah tangkai yang menembus rongga
tubuh wayang dan sekaligus merupakan pegangan dalang. Melalui
tangkai itulah dalang dapat memalingkan wajah wayang ke kiri atau ke
kanan, hingga wayang tersebut nampak hidup. Atau dengan
menggerakkan badan wayang itu ke atas ke bawah berulang kali, ki
dalang dapat menunjukkan seolah-olah wayang tersebut sedang bernafas.
Seperti halnya dengan tangan-tangan wayang kulit, sendi-sendi tangan
wayang Golek pun dihubungkan dengan seutas benang, sehingga sang
dalang dapat bebas menggerakkan tangan wayangnya (Haryanto, 1988:
59).
d. Wayang Beber
Wayang Beber termasuk bentuk wayang yang tua usianya, berasal
dari masa akhir zaman Hindu di Jawa. Pada mulanya wayang Beber
melukiskan cerita wayang dari kitab Mahabharata, tetapi kemudian
beralih dengan cerita-cerita Panji yang berasal dari Kerajaan Jenggala
dan mencapai jayanya pada zaman Majapahit (Haryanto, 1988: 41).
Prabu Bratono dari Kerajaan Majapahit membuat wayang Beber
Purwa untuk ruwatan pada tahun 1361 M (1283 Çaka, dengan sengkalan:
“gunaning pujangga nembah ing dewa”) (pendapat tersebut tidak sesuai
dengan ilmu sejarah, karena pada tahun 1350-1389 yang bertahta di
Majapahit adalah Raja Hayam Wuruk; kecuali apabila Prabu Bratono
adalah juga Prahu Hayam Wuruk). Wayang Beber Purwa maksudnya
adalah suatu pagelaran Wayang Beber yang menggunakan cerita dari
wayang Purwa.
g. Wayang Topeng
Pada masa kekuasaan kerajaan Demak, salah satu Wali Sanga
yang bernama Sunan Kalijaga menciptakan wayang Topeng yang mirip
dengan wayang Purwa pada tahun 1586 Masehi (1508 Çaka, dengan
commit
sengkalan: “hangesti sirna to user
yakseng bawana”). Wayang Topeng ciptaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

Sunan Kalijaga tersebut tersebar luas hingga dewasa ini masih hidup dan
berkembang sebagai seni budaya tradisional dengan corak tersendiri di
tempat Wayang Topeng tersebut berkembang.
Penampilan wayang Topeng tersebut dilakukan bersama dengan
pentas wayang, baik wayang Purwa maupun wayang Gedog, sehingga
pertunjukan itu dikenal sebagai Wayang Topeng atau dengan sebutan
suatu nama daerah tempat wayang Topeng itu berkembang, misalnya:
wayang Topeng Losari, wayang Topeng Malang atau wayang Topeng
Madura. Kemudian sebutan wayang Topeng menjadi nama suatu
pertunjukan seperti halnya dengan sebutan wayang Purwa (Haryanto,
1988:129).
h. Wayang Alternatif
Selain jenis-jenis wayang seperti tersebut di atas ternyata masih
banyak lagi wayang-wayang yang ada dan pernah populer, meskipun
dalam tingkat lokal. Wayang-wayang tersebut sebagian besar
pembuatannya menginduk pada wayang Purwa. Macam-macam wayang
ini antara lain adalah: wayang Kertas (1244), wayang Demak (1478),
wayang Keling (1518), wayang Jengglong, wayang Kidang Kencana
(1556), wayang Purwa Gedog (1583), wayang Rama (1788), wayang
Babad, wayang Kuluk (1830), wayang Kaper, wayang Taspirin, wayang
Kulit Betawi dan termasuk wayang baru yaitu: wayang Ukur ciptaan
Sukasman, Yogyakarta (1964), wayang Golek Modern ciptaan Parta
Suwanda dari Bandung (1960), wayang Budha (1978), wayang Sadat
(1985), belum termasuk wayang dolanan anak-anak dari kertas dan
rumput (S. Haryanto, 1988: 47).

3. Wayang Kulit Kreasi Baru.


Seni pertunjukan wayang merupakan kesenian yang sangat populer dan
akrab bagi segenap lapisan masyarakat etnis Jawa. Bagi penggemarnya, wayang
selain merupakan ekspresi seni yang bernilai seni juga merupakan sumber acuan
hidup, dimana pergelaran wayang commit to user
bernilai etika, filsafat, sosial, dan religius
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

(Wahyono, 2007: 166). Di Jawa wayang telah dikenal bertahun-tahun bahkan


beratus tahun-ratus tahun lamanya. Tokoh-tokoh Harjuna, Bima, Raden
Gatotkaca, sampai dengan sampai dengan tokoh punakawan seperti Semar,
Gareng, Petruk, dan Bagong sudah dikenal secara mendalam oleh masyarakat
pendukungnya.
Memang, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa bila membicarakan wayang
yang terlintas dalam pikiran kita hanyalah wayang kulit Purwa beserta gambaran
tentang induk ceritanya yaitu cerita Mahabarata dan Ramayana. Sebetulnya di
Jawa ini masih banyak dijumpai jenis wayang lain yang saat ini kurang dikenal
dalam masyarakat. Wayang kulit Purwa sering dijumpai dalam masyarakat luas,
baik dalam pertunjukan-pertunjukan maupun wayang kulit sebagai kelangenan.
Oleh karena seringnya pertunjukan dilakukan atau dikenalkan wayang kulit
Purwa secara terus-menerus, maka jenis wayang kulit Purwa ini lebih dikenal
secara luas dibandingkan dengan jenis wayang lainnya.
Seperti diketahui wayang kulit yang bercerita Mahabarata dan Ramayana
ini sangat digemari oleh sebagian masyarakat pendukungnya. Hal ini disebabkan
berbagai variasi cerita (lakon) dan karakter-karakter tokohnya yang khas. Cerita
yang diceritakan dibuat sedemikian rupa sehingga peristiwa yang terjadi seakan-
akan di bumi nusantara ini, seolah-olah masyarakat turut terlibat di dalamnya.
(Sunarto, 1997: 132)
Bambang Suwarno dalam Sunarto (1997: 132) mengatakan bahwa bila
dicermati dalam wayang kulit Purwa kaitannya dengan kegiatan berbudaya,
memiliki dua fungsi utama. Pertama berfungsi sebagai sarana pengungkap
kreatifitas seni, kedua berfungsi sebagai sarana berkomunikasi dalam berbagai
kepentingan.
Fungsi ganda yang dimiliki wayang kulit Purwa itu telah lama
dimanfaatkan oleh para ahli untuk berbagai kepentingan dan berhasil tanpa
menimbulkan gejolak berarti dalam masyarakat luas. Keberhasilan wayang kulit
Purwa yang memiliki beberapa peran itu pula yang menyebabkan muculnya
berbagai kreasi baru dalam wayang kulit. Munculnya wayang alternatif dengan
commit
cerita yang baru, membuat khazanah to user menjadi kaya dan bervariasi.
pewayangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

Munculnya bentuk dan cerita wayang baru itu dipengaruhi oleh


perkembangan yang sedang bergejolak dalam masyarakat pendukungnya. Dasar
penciptaan yang berbeda satu dengan lainnya itu melahirkan bentuk wayang yang
bervariasi, namun dari setiap bentuk wayang memiliki kelebihannya masing-
masing. Dalam kenyataannya beberapa wayang kreasi baru itu belum mampu
menggeser kedudukan wayang Purwa dalam masyarakat. Sebagai contoh dapat
dikemukakan munculnya wayang kreasi baru dipengaruhi oleh alam lingkungan
atau keadaan masyarakat pendukung waktu wayang itu diciptakan.
Seperti pada masa-masa perang kemerdekaan bangsa Indonesia, muncul
wayang kulit yang bertema perjuangan. Hal itu sesuai dengan keadaan masyarakat
pendukung wayang kulit tersebut yang bersemangat dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan dengan semangat juang yang tinggi, wayang kulit
baru itu disebut dengan wayang Pancasila (Sunarto, 1997: 133).
Diantara wayang-wayang kreasi baru yang cukup terkenal adalah wayang
Williem van Oranje yang merupakan maha karya Ki Ledjar Soebroto yang secara
khusus dipesan oleh Museum Nusantara. Bagi bangsa Belanda, Pangeran William
yang lahir di Castle Dillenburg pada tanggal 24 April 1533, mendapat tempat
istimewa di hati mereka. Pangeran William yang dijuluki dan dikenal sebagai
William dari Orange atau nama panggilan William Diam, dan di Belanda sering
disebut sebagai Bapa Bangsa.
Ki Ledjar membuat desain wayang atas sesuai dengan lukisan-lukisan
wajah para tokoh yang terdapat pada cerita sejarah perjuangan William yang
lukisannya sudah berumur ratusan tahun dan selama ini masih tersimpan didalam
koleksi Prinsenhof Museum. Selain membuat desain karakter para tokoh, Ki
Ledjar juga mendesain beberapa wayang berupa artefak peninggalan sejarah yang
berada di Kota Delft seperti Gereja atau disebut dengan Nieuwe Kerk tempat
Pangeran Willem dan para raja Belanda dimakamkan. Dibuatnya wayang yang
mengisahkan perjuangan
Pangeran William dalam bentuk wayang bertujuan sebagai wahana
pendidikan anak-anak untuk memahami tentang sejarah Belanda.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

(http://www.antaranews.com/berita/249471/dalang-ki-ledjar-tampilkan-wayang-
william-van-oranje).
Wayang ukur lahir didorong oleh kreativitas Sukasman yang mencurahkan
perhatiannya dalam pengembangan wayang kulit Purwa gagrag Yogyakarta dan
Surakarta. Wayang ukur diciptakan oleh Sukasman pada tahun 1974, yang
menekankan kejelasan bentuk figur wayang kulit Purwa gagrag Yogyakarta dan
Surakarta. Wayang ukur memiliki unsur-unsur bentuk yang sangat istimewa bila
dilihat dari sudut pandang seni rupa. Hasil dari eksplorasi yang terwujud dalam
bentuk wayang ukur ini sebenarnya tidak sekedar sebagai hasil karya seni yang
tidak memiliki arti apa-apa, tetapi memiliki nilai estetik yang tinggi. Misalnya,
pada bentuk dan karakter tokoh-tokohnya. Keunikan tersebut yaitu segi bentuk
dan warna sunggingan serta pahatan yang tampak lain dari wayang kulit Purwa
yang merupakan ciri khas wayang ukur ciptaan Sukasman. Keistimewaan yang
lain bahwa, wayang ukur merupakan wayang kreasi baru yang diciptakan
Sukasman dengan melakukan perubahan-perubahan pada bentuk dan teknik tatah
sunggingnya. Perubahan tersebut dengan membuat ukuran-ukuran tersendiri atau
selalu diukur-ukur dengan rasa, sehingga berdasarkan teknik pembuatannya,
wayang kreasi Sukasman dinamakan wayang ukur.
Keistimewaan yang lain apabila dilihat secara keseluruhan, pelukisan
sikap Tubuh tokoh-tokohnya lebih variasi dibanding dengan jenis wayang Purwa.
Wayang ukur tidak jauh berbeda dengan wayang kulit Purwa pada umumnya.
Obyek yang digambarkan terdiri dari bentuk wayang Purwa gagrag Yogyakarta
dan Surakarta, hanya pada beberapa unsur telah ada perubahan. Sukasman
mengadakan perubahanperubahan yaitu dengan membuat ukuran-ukuran
tersendiri. Hasil kreasi Sukasman terlihat dari sunggingan, tatahan yang tampak
berbeda dengan wayang Purwa pada umumnya. Pementasan wayang ukur di
sesuaikan dengan tuntutan perubahan jaman. Pementasan wayang ukur berdurasi
dua jam, menjadikan wayang ukur seperti cerita pendek. Dalang tidak hanya satu,
tetapi bisa tiga atau bahkan empat. Di samping Dalang, dalam satu pementasan
ditambah dua narator untuk karakter suara laki-laki dan perempuan, dengan
menggunakan bahasa Indonesia. commit
Cerita to user pementasan wayang ukur untuk
dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

penggambaran tokoh-tokohnya tidak terpancang pada cerita wayang klasik.


Penceritaan pada wayang ukur menggambil tokoh-tokoh yang terpinggirkan
seperti sang pencipta wayang ukur itu sendiri. Tokoh-tokoh yang ditampilkan di
antaranya tokoh Bisma, Sukrasana, Ekalaya, Semar, dan Togog. (Salim, 2011:
78-79)

4. Sumber Gubahan Wayang Kulit Kreasi Baru


Munculnya wayang kreasi baru itu menambah semaraknya dunia
pewayangan. Dengan latar belakang dan dasar pemikiran yang berbeda-beda
dalam mencipta wayang sehingga mengenai makna atau nilai beragam pula.
Namun bila diperhatikan secara mendasar, kebanyakan dari wayang kulit kreasi
baru mempunyai sumber gubahan yang sama. Dua sumber gubahan dalam
mewujudkan wayang kreasi baru, ialah:
a. Cerita (Lakon)
Pada umumnya cerita memiliki tokoh-tokoh yang karakteristik, dari tokoh
itu dapat diklasifikasikan yang kemudian dapat diwujudkan menjadi suatu
kriteria. Berdasar cerita kriyawan dapat berkreasi mencipta beberapa
alternatif bentuk wayang dengan kriteria yang mantap. Misalnya mengenai
atribut akan dipengaruhi oleh latar belakang ceritanya.
b. Bentuk (Wujud)
Bentuk (wujud) merupakan sumber kedua yang lebih mengarah pada
pengolahan bentuk tokoh-tokohnya. Pertimbangan utama dalam
penciptaan wayang berdasar bentuk ini adalah aspek teknik dan estetis seni
rupa. Dalam mewujudkan wayang kreasi baru, beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian adalah komposisi warna (tata warna), tatahan yang
dapat mewujudkan karakter tertentu, untuk mendukung cerita yang
dilakonkan. (Sunarto, 1997: 134)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

5. Kritik Seni Rupa


a. Pengertian Kritik Seni Rupa
Istilah “kritik seni”, dalam bahasa indonesia, sering juga disebut dengan
istilah “ulas seni”, “kupas seni”, “bahas seni”, atau “bincang seni”. Hal itu
disebabkan istilah “kritik” bagi sebagian orang sering berkonotasi negatif yang
berarti kecaman, celaan, gugatan, hujatan, dan lain-lain (Bahari, 2008: 1)
Di pandang dari segi keilmuan, kritik seni rupa adalah basis pengetahuan
teoretis dan teknis penilain mengenai prestasi kesenirupaan. Dari segi proses,
kritik seni rupa adalah kegiatan perorangan, baik lisan mauapun tulisan, yang
dipublikasikan kepada khalayak ramai. Dan dari segi produk, kritik seni rupa
adalah sekumpulan hasil oponi para pengamat tentang prestasi kesenirupaan yang
mengandung nilai apresiatif (Bangun, 2000: 1)
b. Tujuan dan Fungsi Kritik Seni Rupa
Feldman seperti yang dikutip Bahari (2008: 3) berpendapat bahwa tujuan
dari kritik seni adalah memahami karya seni (rupa), dan ingin menemukan suatu
cara untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi suatu karya seni dihasilkan,
serta memahami apa yang ingin disampaikan oleh pembuatnya, sehingga hasil
kritik seni benar-benar maksimal, dan secara nyata dapat menyatakan baik dan
buruknya sebuah karya. Akhir dari tujuan kritik seni adalah supaya orang yang
melihat karya seni memperoleh informasi dan pemahaman yang berkaitan dengan
mutu suatu karya seni, dan menumbuhkan apresiasi serta tanggapan terhadap
karya seni.
Kritik seni berfungsi sebagai jembatan atau mediator antara pencipta
dengan penikmat karya seni, serta antara karya seni itu sendiri dengan
penikmatnya. Fungsi yang demikian sangat penting dan strategis, karena tidak
semua penikmat karya seni dapat mengetahui dengan pasti apa yang ingin
disampaikan dan dikomunikasikan oleh pencipta karya seni dengan wujud karya
yang dihadirkan. Di sisi lain, kritik seni juga dapat dimanfaatkan oleh pencipta
karya seni untuk mengevaluasi diri, sejauh mana prestasi kerjanya dapat dipahami
manusia di luar dirinya (Bahari, 2008 : 3).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

6. Kritik Seni Rupa Holistik


Istilah kritik seni sudah lama didengungkan oleh para peneliti seni, kritikus
seni maupun pemerhati sastra. Bahkan, dalam bidang ilmu lain, kritik seni dapat
digunakan. Dalam disiplin ilmu humaniora, misalnya, Eliot Eisner dalam Sutopo
(1995: 6) menekankan perlunya penelitian dan evaluasi dengan menggunakan
pendekatan kritik seni. Seperti halnya sifat kegiatan kritis yang bersifat evaluatif,
kegiatan Eisner ini lebih memfokuskan kepada aktivitas evaluasi program
pendidikan. Dari pengalaman penelitian-penelitiannya Eisner semakin mantap dan
mempertegas bahwa kritik mampu menyajikan tiga aspek pokok dalam evaluasi,
yaitu (1) aspek deskriptif, (2) aspek interpretatif, dan (3) aspek evaluatif.
Menurut Stolnitz (dalam Sutopo, 1995:7) kritik seharusnya berupa
aktivitas evaluasi yang memandang seni sebagai objek untuk pengalaman estetik.
Pengalaman itu dihasilkan lewat kajian teliti atas karya seni sejalan dengan
pandangan Flaccus dalam Sutopo (1995: 7) yang merumuskan kritik sebagai studi
rinci dan apresiatif tentang karya seni. Dari pandangan ini, di satu sisi kritik
merupakan keyakinan dan semangat yang lebih besar dari logika seorang pecinta
seni yang berusaha mendukung karya, sedang di sisi lain ia merupakan analisis
cendekia dan teliti atas karya seni disertai berbagai tafsir dengan alasan-alasannya.
Sudah diakui bahwa di dalam dunia kritik seni terdapat beragam struktur
yang sering saling bertentangan. Menurut Osbone (dalam Sutopo, 1995:8) para
kritikus sering saling berbenturan tidak hanya penggunaan metode yang
dianggapnya sah tetapi juga berbeda mengenai peran yang harus dipenuhinya.
Perbedaana itu itu kemudian memunculkan kritikus yang cenderung berkelompok
untuk menjaga aktivitas kritiknya supaya tetap mencerminkan secara kuat
disiplin ilmunya. Adanya kritik aliran sosiologis dan psikologis yang selanjutnya
pecah menjadi dua arah yaitu aktivitas psikologis senimannya dan aktiviats
psikologis penghayatnya, lebih menjelaskan adanya keragaman kritik tersebut.
Perbedaan kritik yang tampak jelas pada strukturnya terutama disebabkan
adanya pemihakan yang berlebihan pada sumber nilai seni yang dianggap paling
sah dalam mengevaluasi karya. Sumber nilai setiap karya seni pada dasarnya
commit to user
berkaitan langsung dengan tiga komponen utama, yaitu (1) seniman, (2) karya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

seni (dalam hal ini seni rupa) dan (3) penghayat. Menurut Sutopo (1995 : 8), tidak
ada kehidupan seni dalam masyarakat manapun yang salah satu komponen seni
itu ditiadakan. Inilah yang menjadikan proses tersebut tidak cukup dengan
sebutan kritik seni saja tetapi kritik seni holistik. Kritik seni harus
melibatkan tiga komponen itu dalam satu kesatuan yang saling berkaitan. Dalam
mengevaluasi sebuah karya seni tidak bisa mengabaikan salah satu komponen
sumber nilai tersebut jika ingin mendapatkan pemahaman yang utuh.

B. Penelitian yang Relevan


Adapun penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang
relevan dengan penelitian yang dilakukan dalam upaya menyusun sripsi ini
adalah:

1. Sularno dalam penelitian tesisnya dengan judul Bentuk Rupa dan Makna
Simbolik Wayang Kulit Purwa Kreasi Baru Ki Manteb Sudarsono tahun
2009, memfokuskan diri pada identifikasi bentuk rupa wayang kulit Purwa
kreasi baru karya Ki Manteb Sudarsono dengan membandingkannya
dengan wayang kulit Purwa klasik, kemudian berusaha menemukan
makna simbolik baru dengan bersandar pada metode Hermeneutik
Fenomenologis.
2. Subandi dkk. (1995) dalam penelitiannya memaparkan wayang kulit kreasi
seniman Surakarta yaitu Ki Manteb Sudarsono, Ki Bambang Suwarno, dan
Hajar Satoto. Dalam penelitian tersebut dikaji tokoh-tokoh wayang kulit
Purwa yang menjadi pilihan seniman untuk digubah, bentuk-bentuk
gubahannya, serta alasan seniman dalam upaya penggubahan bentuk
boneka wayang kulit Purwa. Hasil penelitian tersebut sangat rinci dalam
memaparkan detail wayang Purwa yang telah digubah, baik dari aspek
bentuk, tatahan, maupun sunggingan.

Dari pengamatan penulis terhadap penelitian di atas, penelitian wayang di


commit kulit
Surakarta masih sebatas pada wayang to userPurwa dan belum ada penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

tentang boneka Wayang Kampung Sebelah dalam perspektif seni rupa. Untuk
itulah penulis ingin mengungkap latar belakang munculnya Wayang Kampung
Sebelah, proses kreatif penciptaannya, bentuk dan watak boneka wayangnya, serta
tanggapan penghayat terhadap bentuk rupa boneka Wayang Kampung Sebelah.

C. Kerangka Berpikir
Wayang adalah sebuah karya seni rupa yang tidak terlepas dari aspek
pikiran seniman pembuatnya maupun budaya masyarakat yang melatarinya.
Bentuk rupa wayang itu sendiri telah melalui tahapan-tahapan baik dalam tataran
ide maupun teknik. Setelah wayang tersebut menjadi suatu karya yang disuguhkan
kepada masyarakat, maka masyarakat sebagai penghayat karya memiliki respon
tersendiri terhadap karya wayang tersebut. Hal-hal tersebut ditelaah untuk
menghasilkan simpulan dalam keseluruhan penelitian ini. Lebih jelasnya dapat
dilihat dalam bagan berikut:

Wayang Kampung Sebelah

Kritik Holistik

Boneka Wayang
Seniman Sebagai Penghayat
Sebagai Sumber
Sumber Informasi Sebagai Sumber
Informasi
Genetik Informasi Afektif
Objektif

Latar Belakang
Bentuk Rupa dan Tanggapan
dan Proses
Watak Penghayat
Kreatif

Simpulan

Bagan 1. Kerangka Berpikir


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di rumah Ki Jlitheng Suparman. RT 05 RW 02,
Desa Siwal, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Adapun
penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2011.

B. Bentuk dan Strategi Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang ditetapkan dalam penelitian, maka
jenis dan strategi yang cocok adalah penelitian kualitatif deskriptif. Dengan jenis
penelitian dan strategi ini dapat ditangkap berbagai informasi kualitatif dengan
deskripsi yang penuh nuansa (Sutopo, 2002: 35).
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini bentuk rancangan adalah
studi kasus tunggal terpancang. Model studi kasus lebih sesuai bagi penyajian
realitas multi perspektif dengan kekayaan deskripsinya, dan berhubung penelitian
ini dilakukan pada satu sasaran karakteristik, artinya penelitian ini dilakukan pada
satu lokasi maka studi kasusnya adalah studi kasus tunggal. Berhubung
permasalahan dan fokus penelitian sudah ditentukan dan dibatasi, maka jenis
strategi studi kasus ini adalah studi kasus terpancang.

C. Sumber Data
Menurut Lofland dan Loftland: ”Sumber data utama dalam penelitian
kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan sepertu
dokumen dan lain-lain” (Moleong, 2009: 157)
Dalam penelitian ini mengambil sumber data :
1. Informan, 2. Tempat dan peristiwa, 3. Arsip atau dokumen yang
berhubungan dengan masalah penelitian.
Ketiga sumber data tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

commit to user

21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

1. Narasumber atau Informan


Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi
tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong, 2009: 132).
Sumber data yang berupa narasumber atau informan dalam penelitian ini
adalah seniman penggagas Wayang Kampung Sebelah. Sedangkan Informan
pendukung adalah Dosen Seni Rupa, Dosen Pedalangan, Mahasiswa Seni Rupa,
Guru Seni Rupa, dan Penonton Serius Wayang Kampung Sebelah sebagai
penghayat Wayang Kampung Sebelah.

2. Tempat dan Peristiwa


Tempat atau lokasi yang berkaitan dengan sasaran atau permasalahan
penelitian juga merupakan salah satu jenis sumber data yang bisa dimanfaatkan
oleh peneliti (Sutopo, 2002: 52).
Tempat dan peristiwa merupakan salah satu sumber data yang sangat
penting, sebab di lokasi tersebut penelitian akan dilaksanakan. Tempat dan
peristiwa yang dimaksud adalah rumah Ki Jlitheng Suparman RT.05 RW.02, Desa
Siwal, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, juga di tempat
digelarnya pertunjukan Wayang Kampung Sebelah. Sedang peristiwa yang akan
diamati adalah pertunjukan Wayang Kampung Sebelah.

3. Arsip atau Dokumen


Dokumen merupakan sumber data yang berupa benda, gambar, dan
rekaman peristiwa. Dalam penelitian ini dokumen yang diambil adalah boneka
Wayang Kampung Sebelah, video dokumentasi Wayang Kampung Sebelah, serta
buku-buku tentang wayang.

D. Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian pengumpulan data merupakan persyaratan yang sangat
dibutuhkan, maka dalam penelitian ini diperlukan teknik-teknik untuk menunjang
pengumpulan data.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

Dalam penelitian ini teknik yang akan digunakan dalam pengumpulan data
adalah sebagai berikut :

1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan kedua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu. (Moleong, 2009: 186).
Wawancara di dalam penelitian kualitatif pada umumnya tidak dilakukan
secara terstruktur ketat dan dengan pertanyaan tertutup seperti di dalam penelitian
kuantitatif, tetapi dilakukan secara tidak terstruktur, atau sering disebut dengan
“wawancara mendalam” (Sutopo, 2002: 59). Dalam wawancara mendalam teknik
interview-nya bersifat lentur dan terbuka, tidak terstruktur ketat, tidak dalam
suasana formal dan bisa dilakukan berulang pada informan yang sama.
Dalam penelitian ini wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh
informasi tentang latar belakang munculnya Wayang Kampung Sebelah, proses
kreatif penciptaannya, serta untuk mendapatkan informasi tentang pesan yang
terdapat dalam Wayang Kampung Sebelah.

2. Observasi Langsung
Observasi adalah suatu kegiatan pengamatan terhadap perilaku yang
relevan dengan kondisi lingkungan yang tersedia di lokasi penelitian. Teknik
observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa,
tempat atau lokasi dan benda serta rekaman gambar (Sutopo, 2002: 64).
Dalam penelitian ini penulis mengadakan observasi secara langsung, yaitu
penulis secara langsung terjun ke lokasi tujuan penelitian untuk mengamati
kegiatan yang relevan dengan penelitian.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

Analisis Dokumen/ Arsip


Dokumen tertulis dan arsip merupakan sumber data yang sering memiliki
posisi yang sangat penting dalam penelitian kualitatif (Sutopo, 2002: 69). Dalam
penelitian ini dokumen yang dianalisis berupa boneka Wayang Kampung Sebelah,
video dokumentasi Wayang Kampung Sebelah, serta buku-buku-buku yang
memuat teori mengenai masalah yang diteliti, yang diharapkan mampu membantu
memecahkan permasalahan dalam penelitian ini.

E. Teknik Sampling
Teknik sampling atau teknik cuplikan adalah suatu bentuk khusus atau
proses bagi pemusatan atau pemilihan dalam penelitian yang mengarah pada
seleksi (Sutopo, 2002: 55).
Dalam penelitan ini teknik sampling yang digunakan adalah purposive
sampling, yaitu suatu teknik pengambilan sampel yang dipilih berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sutopo (2002: 56) menyatakan bahwa dalam
purposive sampling, peneliti cenderung memilih informan yang dianggap
mengetahui informasi dan masalahanya secara mendalam dan dapat dipercaya
untuk menjadi sumber data yang mantap.
Dalam penelitian ini, sampel yang diambil adalah seniman penggagas
Wayang Kampung Sebelah. Adapun sampel wayang yang akan dianalisis adalah
tokoh-tokoh baku dalam wayang kampung sebelah, yaitu: Lurah Somad, Eyang
Sidik Wacono, Karyo, Kampret, Parjo, Silvy, Blegoh, Joni, Sudrun, Mbah Modin,
Mbah Keblak, Cak Dul, Komaramarimari, dan Minul Darah Tinggi.

F. Validitas Data
Data yang berhasil digali, dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan
penelitian harus diusahakan kemantapan dan keabsahannya. Karena validitas dan
kebenaran data merupakan sesuatu yang sangat penting dalam penelitian.
Sehingga atas dasar tersebut maka data perlu diuji kebenaran dan keabsahannya
dengan melalui cara sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

1. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai data pembanding terhadap data itu (Moleong: 2009: 330).
Dalam penelitian ini digunakan triangulasi sumber, yaitu membandingkan
berbagai sumber data yang diperoleh berupa daftar hasil wawancara informan,
observasi dan analisis dokumen/ arsip.
2. Review Informan
Review informan merupakan usaha pengembangan validitas penelitian
yang sering digunakan oleh peneliti kualitatif. Pada waktu peneliti sudah
mendapatkan data yang cukup lengkap dan berusaha menyusun sajian datanya
walaupun mungkin masih belum utuh dan menyeluruh, maka unit-unit laporan
yang telah disusunnya perlu dikomunikasikan dengan informannya, khususnya
yang dipandang sebagai informan pokok (key informan). Hal ini perlu dilakukan
untuk mengetahui apakah laporan yang ditulis tersebut merupakan pernyataan
atau deskripsi sajian yang disetujui mereka (Sutopo, 2002: 83). Dalam penelitian
ini data yang sudah disusun akan ditunjukkan kepada para informan untuk
diperiksa kembali untuk menjaga keabsahannya.

G. Teknik Analisis Data


Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2009: 280) mendefinisikan bahwa
analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan
tema dan merumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang disarankan oleh data dan
sebagai usaha secara formal untuk memberikan bantuan pada tema hipotesis kerja
itu.
Proses analisis data dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman data
dan penarikan simpulan data yang telah terkumpul melalui wawancara, observasi
dan dokumentasi. Analisis data dilakukan untuk mencari dan menata kembali
secara sistematis catatan dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi.
Analisis data yang digunakan bertujuan untuk pemahaman penelitian tentang
commit to user
masalah yang diteliti dan penyajiannya dalam bentuk laporan hasil penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

Untuk menganalisis latar belakang kemunculan Wayang Kampung


Sebelah, bentuk rupa Wayang Kampung Sebelah dan tanggapan masyarakat
(apresiator), digunakan analisis kritik holistik Sutopo (1995). Kerja analisis kritik
holistik berorientasi pada faktor genetik (seniman), obyektif (karya), dan afektif
(apresiator). Tiga sumber nilai tersebut dikaji secara lengkap dan seimbang agar
tidak terjadi kepincangan evaluasi (Sutopo, 1995: 14).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

Kesimpulan

Analisis Laporan
-Sajian:
Latar Belakang
Kondisi Formal
Dampak -Interpretasi:
Deskripsi Analisis
persepsi/ Diskusi
Latar Formal/
Intepretasi- -Kesimpulan &
Belakang Kondisi
Pembahasan Rekomendasi
Objektif

Jenis Data/
Informasi Informasi Informasi Hasil- Informasi
Latar Belakang Obyektif Dampak Bahan Analisis
Kondisi Persepsi Pelaku Hasil:
Proses
Sasaran Studi Wawancara
Observasi
Analisis Isi

Memilih Sumber
Jenis Data:
Latar Karya-Peristiwa Hasil Informan
Belakang Program sasaran Dampak Tempat/ Peristiwa
Proses Studi Persepsi Benda/ Dokumen
Terjadinya Pelaku

Kerangka Kerja
Konseptual

Holistisisme
Historisme

Emosionalisme

Formalisme

Bagan 2. Penelitian dengan Pendekatan Kritik Holistik


(Sutopo, 1995: 16)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

H. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah tahap-tahap atau langkah-langkah yang harus


ditempuh seorang peneliti agar penelitian yang akan dilakukannya berjalan
dengan sistematis, sehingga dapat mencapai tujuan. Sedangkan prosedur yang
ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tahap pra lapangan


a. Menyusun proposal penelitian.
b. Mengurus perijinan.
c. Mengadakan pra survey.
d. Memilih dan memanfaatkan informasi yang bersifat informal.
e. Menyiapakan perlengkapan penelitian.
2. Tahap observasi lapangan
a. Memahami latar belakang penelitian dan persiapan diri.
b. Mendapatkan data selengkap mungkin, dengan terlibat langsung
dalam kancah.
3. Tahap analisis data.
a. Memantapkan analisis awal pada data-data yang sudah masuk.
b. Melaksanakan analisis pada kasus tunggal sesuai dengan teknik
analisisnya sehingga diperoleh simpulan dan saran-saran.
c. Menyusun simpulan akhir sebagai hasil penelitian dan saran-saran
keseluruhan dari proses pengumpulan data dan analisis.
4. Tahap penyusunan laporan.
a. Mengatur data serta memeriksa kembali kelengkapannya.
b. Menulis laporan lengkap.
c. Memeriksa kesatuan laporan.
d. Memperbanyak laporan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Munculnya Boneka Wayang Kampung Sebelah

Munculnya boneka Wayang Kampung Sebelah sebagai sebuah karya


wayang kreasi baru tidak dapat dipisahkan dari lahirnya pertunjukan Wayang
Kampung Sebelah dan kreator yang memprakarsainya. Pertunjukan wayang
yang di dalamnya terdapat beberapa cabang kesenian yaitu seni rupa, seni
musik, dan seni sastra tentu memiliki keterkaitan satu sama lain, yang
semuanya mengarah pada satu tujuan, yaitu menyampaikan pesan. Boneka
Wayang Kampung Sebelah, sebagai sebuah hasil karya rupa yang menjadi
bagian dari pertunjukan memiliki peran sebagai media penyampai pesan yang
terkandung dalam cerita (lakon) yang dibawakan dalam pertunjukan. Untuk
itulah aspek sejarah perlu ditelaah untuk dapat memahami karya rupa yang
berbentuk boneka wayang ini.

1. Sejarah Wayang Kampung Sebelah


Awal lahirnya Wayang Kampung Sebelah tidak bisa dilepaskan dari
sosok Suharman atau yang akrab dipanggil “Mance”, salah seorang dosen seni
rupa IKIP Surabaya (sekarang UNESA). Dosen yang berlatar belakang disiplin
seni lukis itu melahirkan karya seni rupa berbentuk boneka wayang. Namun,
boneka wayang hasil karya cipta Suharman tersebut jauh berbeda dengan
boneka wayang yang banyak dikenal oleh masyarakat. Boneka Wayang dua
dimensi buatannya berbahan dari kulit yang berbentuk manusia masa kini yang
dideformasi. Seperti yang dikatakan salah seorang perintis Wayang Kampung
Sebelah (WKS), Yayat Suhiryatna sebagai berikut:
“Sejarah singkatnya itu ada pelukis dan dosen dari Surabaya
namanya Suharman, dia bikin boneka seperti wayang Purwa
tapi bentuknya sudah lain samasekali, lebih pada bentuk
manusia yang dideformasi gitu lah. Tangannya lebih panjang,
kakinya agak berbeda commitdengan
to user ukuran manusia yang
proporsional.” (Wawancara 12 Juli 2011).
29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

Semula karya itu memang sebatas sebagai karya seni rupa yang
merupakan bagian dari keinginan menginterpretasi medium kulit binatang
sebagai bahan boneka. Akan tetapi kemudian terbersit keinginan untuk
"menghidupkan" boneka wayang ke dalam bentuk seni pertunjukan. Untuk
merealisasikan keinginannya tersebut, Suharman bersama sejumlah mahasiswa
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya (sekarang berganti
nama menjadi UNESA) dan didukung oleh beberapa seniman berusaha
melakukan eksplorasi. Langkah eksploratif tersebut telah menghasilkan sebuah
bentuk pertunjukan dalam format teatrikal. Dalam pelaksanaannya setiap tokoh
boneka dimainkan oleh satu orang tanpa menggunakan medium layar, tetapi
dengan medium ruang yang lengkap dengan properti dekoratif. Dialog
dilakukan oleh individu-individu memegang boneka tersebut dan dibantu oleh
narator. Demikian pertunjukan hasil eksplorasi dan dinamakan Wayang
Kampung (selanjutnya disingkat WK).
Hasil eksplorasi tersebut sempat dipentaskan di dua kota, yakni di
Surabaya dan di Surakarta. Dari kedua pementasan tersebut Suharman
mendapat masukan dan saran dari para seniman yang sempat mengikuti
pertunjukannya. Opini terbesar mengatakan bahwa pertunjukan wayang yang
dimaksudkan oleh Suharman untuk "menghidupkan" boneka wayangnya
dinilai kurang berhasil. Suharman dan kawan-kawan dinilai terjebak pada
permainan yang mengaburkan posisi boneka wayang sebagai media utama
untuk penyampaian cerita. Boneka wayang sebatas tampil sebagai properti
dekoratif terbiaskan oleh dominasi akting individu pemegang boneka.
Beberapa seniman menyarankankan agar Suharman mencari mitra yang tepat
untuk dapat benar-benar menghidupkan boneka karya ciptanya menjadi sebuah
pertunjukan sesuai yang dikehendaki.
Ketika Suharman melanjutkan studinya di Program Pascasarjana
Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta (sekarang menjadi Institut
Seni Indonesia/ ISI) Surakarta pada tahun 1999, ia berusaha menindaklanjuti
saran-saran yangditerimanya agar dapat merealisasikan obsesinya
"menghidupkan" boneka WK commit
tersebut.toKemudian
user Suharman bertemu dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

beberapa seniman Solo, antara lain Ki Jlitheng Suparman (dalang), Yayat


Suhiryatna (musisi dan komposer) dan Sosiawan Leak (penyair dan
dramawan). Sebelum pertemuan tersebut terjadi, Ki Jlitheng Suparman dan
Yayat Suhiryatna juga memiliki obsesi untuk membuat pertunjukan wayang
yang untuk berekspresi tanpa terbelenggu oleh norma-norma estetik yang ketat
seperti yang terjadi pada pertunjukan wayang tradisional, seperti wayang kulit
Purwa, menyambut dengan antusias tawaran Suharman untuk melakukan
eksplorasi bersama.
Pertemuan Suharman dengan ketiga tokoh seniman dari Solo tersebut
membuahkan gagasan konseptual yang menjadi landasan bereksplorasi. Ki
Jlitheng Suparman yang memang berbasis disiplin seni pedalangan wayang
kulit Purwa memiliki pandangan bahwa boneka wayang karya cipta Suharman
yang berwujud dua dimensi tidak bisa lepas dari unsur media latar seperti
halnya wayang kulit Purwa. Untuk menghidupkan boneka WK tidak ada
buruknya mengadopsi media yang digunakan dalam pertunjukan wayang kulit
Purwa, yakni unsur layar sebagai latar, unsur batang pohon pisang untuk
menancapkan boneka, dan unsur blencong (lampu untuk layar) sebagai
penerangan sekaligus pembentuk bayang- bayang. Perihal pemakaian unsur
perlengkapan bantu lain seperti keprak, cempala, dan lain sebagainya, dapat
dipertimbangkan selanjutnya menyesuaikan kebutuhan dalam proses
eksplorasi.
Yayat Suhiryatna yang berbasis disiplin musik, baik tradisonal maupun
modern memiliki pandangan bahwa iringan WK semestinya dibuat spesifik dan
unik sesuai dengan karakter boneka berikut kisah yang dibawakannya. Secara
kebetulan Yayat Suhiryatna yang komposer sudah melakukan eksplorasi
musikal dan melahirkan sebuah kelompok dengan gaya musik alternatif
lengkap dengan repertoar karya ciptanya. Hasil eksplorasi musikal tersebut
yang ditawarkan untuk menjadi bagian dari pertunjukan WK.
Sosiawan Leak yang berbasis kepenyairan dan teater berpandangan
bahwa boneka Wayang karya cipta Suharman memang tepat untuk mengangkat
commit
kisah masyarakat kampung atau to user urban yang plural dan dinamis.
masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

Keliaran, kenakalan, dan cairnya kehidupan kampung dapat menjadi orientasi


karakteristik pengkisahan wayang kampung. Keliaran, kenakalan dan cairnya
nuansa kehidupan kampung sekaligus dapat menjadi wahana menyalurkan
pemikiran-pemikiran kritis terhadap persoalan-persoalan kekinian yang
berkembang di masyarakat.
Tiga gagasan konseptual dari tiga tokoh seniman tersebut melandasi
proses awal eksplorasi pencarian bentuk pertunjukan WK. Dalam kurun waktu
tidak lebih dari satu minggu, tercipta sebuah pertunjukan WK yang melakukan
pentas perdana di Pendopo Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) sebagai
rangkaian dari acara bertajuk "Menutup Abad Gelap" yang diselenggarakan
pada 31 Desember 2000.
Pementasan WK tersebut mendapat respon positif dari sejumlah
kalangan. Walaupun masih terdapat kritikan yang berorientasi kepada
penyempurnaan bentuk pertunjukan, lahirnya pertunjukan WK tersebut dinilai
sebagai sebuah gebrakan baru di dunia pertunjukan wayang. Apresiasi pun
berkembang ditandai oleh datangnya permintaan dari masyarakat, terutama
kalangan seniman, agar WK menggelar pementasan untuk berbagai
kepentingan mereka.
Setengah tahun lebih proses WK berjalan terhitung sejak pentas
perdananya. Di tengah perjalanan, Suharman tidak menyelesaikan studinya dan
harus kembali ke Surabaya. Boneka wayang karya ciptanya harus ikut
bersamanya kembali ke Surabaya. Hijrahnya kembali boneka WK ke Surabaya
niscaya akan meniadakan bentuk pertunjukan wayang yang telah dirintis
bersama dan mendapat respon positif dari masyarakat tersebut. Ki Jlitheng
Suparman Suparman, Yayat Suhiryatna, Sosiawan Leak dan sejumlah seniman
pendukung lain merasa sayang bila pertunjukan WK tersebut tidak
ditindaklanjuti. Ki Jlitheng Suparman yang memiliki keterampilan dalam
menggambar, atas inisiatif dan desakan kelompok WK pasca Suharman hijrah
ke Surabaya, membuat sendiri boneka wayang baru sesuai dengan daya
imajinasi dan interpretasinya. Penunjukan Ki Jlitheng Suparman sebagai
kreator boneka wayang yang commit to user untuk pertunjukan berdasarkan
akan digunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

pada alasan bahwa Ki Jlitheng Suparman sebagai dalang memiliki pemahaman


tentang bentuk wayang yang ideal untuk dimainkan. Hal ini diungkapkan oleh
Yayat Suhiryatna sebagai berikut:
“Pertimbangannya ya sebisa mungkin boneka wayang itu dibuat
oleh orang yang memiliki pengalaman memainkan wayang,
karena wayang ini kan untuk dimainkan, bukan hanya sekedar
boneka yang merupakan bentuk karya seni rupa, melainkan juga
berfungsi maksimal sebagai wayang yang dimainkan dengan
layar”. (Wawancara 12 Juli 2011).
Setelah sejumlah boneka berhasil atau selesai dikerjakan, proses
pertunjukan WK berlanjut kembali. Untuk menghargai cetusan ide Suharman
namun juga sebagai pembeda antara WK versi Suharman dengan WK versi Ki
Jlitheng Suparman, kelompok seniman pengampu pertunjukan wayang tersebut
bersepakat memberikan nama seni pertunjukannya yakni "Wayang Kampung
Sebelah".
Ki Jlitheng Suparman dan Yayat Suhiryatna yang hingga kini masih
mengampu perjalanan Wayang Kampung Sebelah - di mana Sosiawan Leak
terpaksa berhenti di tengah jalan karena harus konsentrasi di dunia kepenyairan
dan teater – menuturkan panjang lebar tentang latar orientasi dari penciptaan
pertunjukan WK yang kemudian bermetamorfosa menjadi Wayang Kampung
Sebelah (WKS).
Ki Jlitheng Suparman yang notabene juga dalang wayang kulit Purwa,
dan Yayat Suhiryatna memiliki pandangan yang sama terhadap perkembangan
kondisi pertunjukan wayang kulit Purwa di penghujung tahun 2000 hingga
kini. Pressure atau tekanan muatan kepentingan di luar kepentingan estetika
seni pedalangan membuat pertunjukan wayang kulit Purwa seperti makin
kehilangan arah. Fungsi utama seni pertunjukan tradisional Jawa tersebut,
yakni sebagai seni tutur, semakin kehilangan potensi bertuturnya. Label
“adiluhung” yang mengisyaratkan keseimbangan antara aspek hiburan
“tontonan” dan aspek edukasi “tuntunan” tidak lagi terefleksikan. Muatan
hiburan lebih tebal ketimbang muatan edukasinya bahkan prosentase muatan
edukasi tersebut jauh lebih kecil.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

Mengenai perkembangan wayang kulit Purwa dewasa ini Ki Jliteng


Suparman menuturkan pandangannya sebagai berikut:
“Menurut saya perkembangan wayang kulit Purwa saat ini
secara kuantitas cukup menggembirakan, karena banyak
bermunculan dalang-dalang muda, apalagi dengan adanya
pendidikan formal pedalangan. Namun sayang sekali
perkembangan kuantitas itu tidak diimbangi dengan kualitas,
dalam arti secara estetik kesenian wayang Purwa saya nilai
semakin mengalami kemunduran karena lemahnya aspek
komunikasi dan potensi dalang dalam menangkap
perkembangan situasi sekeliling kemudian mentransfer ke dalam
pakeliran. Sehingga tidak mampu mewacanakan persoalan-
persoalan yang ada di sekelilingnya melalui wayang kulit
Purwa”. (Wawancara 13 April 2011)
Yayat Suhiryatna yang bergabung dengan Wayang Kampung Sebelah
sebagai penata musik karena merasa memiliki pandangan yang sama dengan Ki
Jlitheng Suparman menegaskan pendapatnya tentang pertunjukan wayang kulit
Purwa sebagai berikut:
“Kebetulan saya sependapat dengan mas Parman tentang
kemandekan pertunjukan wayang kulit Purwa, saya mengamati
bahwa orang lihat wayang itu lebih kepada mencari hiburan saja,
biasanya kan pertunjukan wayang itu menyertakan hiburan
musik dangdut, nah orang lebih suka musik dangdut ini, saya
pikir ya kenapa nggak sekalian saja musik pengiring wayang itu
dangdut saja, supaya orang lihat wayang selain terhibur dengan
musik dangdutnya juga mendapatkan pesan dalam cerita
wayang”. (Wawancara 12 Juli 2011)
Makin hilangnya muatan pesan edukatif, seperti pesan nilai-nilai
filosofis, etis, dan estetis dalam pertunjukan wayang kilit Purwa bukan sebatas
karena makin tebalnya warna hiburan, tetapi juga karena adanya kesenjangan
komunikasi. Saat ini telah terjadi ketidaksinambungan pertunjukan wayang
dengan masyarakat penonton dengan tingkat hayatan yang berbeda-beda.
Dengan kondisi perubahan sosiokultural yang terjadi di Indonesia saat ini dan
kondisi kultur budaya yang beragam, ragam bahasa dan penggunaan simbol-
simbol dalam pertunjukan wayang menjadi faktor penyebab
ketidaknyambungan maksud, tujuan, maupun pesan pertunjukan wayang

commit
kepada penonton. Seperti halnya to yang
bahasa user dipergunakan dalam pertunjukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

wayang klasik pada umumnya adalah bahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi,
yang membuat sebagian masyarakat sekarang kurang dapat memahami Bahasa
Kawi yang digunakan dalam pertunjukan tersebut.
Berangkat dari keprihatinan terhadap masalah kesenjangan komunikasi
tersebut, Wayang Kampung Sebelah berusaha menjari jalan untuk membuat
pertunjukan wayang yang komunikatif dalam menyampaikan pesan. Dalam hal
ini Ki Jlitheng Suparman Suparman bertolak pada salah satu aspek pertunjukan
wayang yang merupakan seni bertutur. Seperti yang dikatakan oleh Ki Jlitheng
Suparman:
“Kami lebih menekankan fungsi dari dalang dan seni
pewayangan itu sendiri dimana tugas pokoknya adalah bercerita,
kalau zaman dahulu disebut wiracarita, yaitu ahli bercerita,
dalang pun demikian”. (Wawancara 20 April 2011)
Dalam mengkomunikasikan pesan dan makna dalam cerita, Wayang
Kampung Sebelah memilih menggunakan ragam bahasa yang variatif untuk
tujuan komunikatif. Variasi bahasa yang digunakan Wayang Kampung Sebelah
adalah dialek Jawa Tengah (berbagai tingkatan seperti Kawi, krama inggil,
krama alus, ngoko alus, ngoko), dialek Jawa Timur, Sunda, Banyumasan,
Betawi, Bahasa lndonesia (EYD dan bahasa gaul - kosakata bahasa yang
digunakan anak muda zaman sekarang): hingga ungkapan-ungkapan dalam
bahasa asing (lnggris).
Kedua tokoh Wayang Kampung Sebelah menyatakan bahwa tidak
layak menyejajarkan Wayang Kampung Sebelah dengan wayang kulit Purwa
sebagai sebuah mahakarya. Wayang Kampung Sebelah bukanlah apa-apa
dibanding dengan wayang kulit Purwa. Namun setidaknya kondisi yang
berlangsung pada pertunjukan wayang kulit Purwa saat ini dapat menjadi
sumber acuan untuk membangun format pertunjukan Wayang Kampung
Sebelah agar maksud dan tujuannya tampil sebagai seni tutur dapat tercapai.
Disamping berangkat dari upaya mengkritisi perihal kesenjangan
komunikasi pada pertunjukan wayang kulit Purwa, orientasi penciptaan
Wayang Kampung Sebelah juga didasarkan pada pemikiran bagaimana
commit
kepentingan hiburan, informasi, dan toedukasi
user dapat tercakup dalam sebuah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

pertunjukan. Maka, Wayang Kampung Sebelah tetap berusaha menyajikan


sehuah format pertunjukan yang segar, menghibur, kritis dan penuh muatan
edukatif bagi masyarakat. Ki Jlitheng Suparman berpikir bagaimana
memanfaatkan humor sebagai sebuah metode menghibur, namun tetap berisi
pesan-pesan. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan Ki Jlitheng Suparman
sebagai berikut:
“Kami ingin menyampaikan hal yang serius tapi jangan dengan
cara yang serius, karena hidup kita setiap hari sudah sangat
serius, dengan persaingan yang begitu berat, dengan rutinitas
yang begitu menguras tenaga dan pikiran. Lha itu dalam wayang
kampung kita mencoba memberi hiburan, tetapi ada suatu pesan
yang kita sampaikan, yang kita harapkan pesan ataupun
informasi ataupun apa yang kita sampaikan itu sampai kepada
penonton”. (Wawancara 20 April 2011).

2. Format Pertunjukan
Format pertunjukan Wayang Kampung Sebelah secara konseptual
mengadopsi format pertunjukan wayang kulit Purwa, secara struktur
pertunjukannya terdapat dalang, lakon atau cerita, boneka wayang, layar (kelir)
dan iringan.
Dalam format pertunjukan Wayang Kampung Sebelah terdapat unsur
dalang yang berposisi sebagai pemimpin pertunjukan atau konduktor, sutradara
sekaligus aktor. Terdapat perilaku yang unik dan agak berbeda dengan dalang
pada pertunjukan wayang kulit Purwa pada umumnya. Dalang sebagai
pemimpin pada pertunjukan wayang kulit Purwa memegang kekuasaan absolut
dalam membawakan kisah dan dialognya, terutama dalam adegan-adegan baku.
Berbeda dengan Wayang Kampung Sebelah, kisah atau dialog di depan layar
tidak semata-mata milik kekuasaan dalang. Pemain musik maupun penonton
memiliki ruang untuk berkomentar atau bahkan ikut menjadi bagian dari dialog
tersebut.
Lakon atau kisah yang di bawakan oleh Wayang Kampung Sebelah
terdapat perbedaan dengan lakon dalam pertunjukan wayang kulit Purwa.
Wayang Kampung Sebelah tidak menyajikan lakon yang bersumber dari epos
commit to user
Mahabarata dan Ramayana melainkan lakon yang bersumber dari kisah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

kehidupan sehari-hari masyarakat sekarang. Hal itu juga disesuaikan dengan


karakter boneka wayang yang memang menggambarkan figur manusia zaman
sekarang. Tokoh-tokohnya sebagaimana masyarakat kampung yang plural,
terdiri atas petani, preman, penarik becak, penjual jamu, pelacur, banci,
pedagang, hansip, tokoh spiritualis, pak RT (Rukun Tetangga), lurah, hingga
pejabat besar kota.
Dalam menyajikan pertunjukannya, Wayang Kampung Sebelah
mengedepankan sajian dengan topik bahasan yang mudah dipahami, berkesan
santai penuh humor namun meliputi muatan-muatan kritis terhadap aspek-
aspek kehidupan. Sisipan pesanedukatif juga tidak terlupakan dalam
pertunjukan Wayang Kampung Sebelah. Pesan tersebut tersalurkan melalui
berbagai cara, baik itu melalui syair lagu, melalui dialog, maupun tersirat
melalui alur cerita. Ungkapan-ungkapan Jawa yang mengandung muatan pesan
atau ajaran moral menjadi salah satu materi yang senantiasa mewarnai
pertunjukan Wayang Kampung Sebelah.
Permasalahan ataupun isu aktual yang berkembang di masyarakat
merupakan sumber inspirasi penyusunan cerita atau lakon. Permasalahan atau
isu menyangkut perihal politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan
sebagainya. Bahkan untuk mempertajam pembicaraan sesuai tema yang
diangkat, pertunjukan wayang ini membuka peluang terhadap hadirya
narasumber yang berkompeten untuk melakukan dialog bersama-semacam
diskusi. Guna memperkuat aspek hiburan, selain telah didukung oleh karakter
musik iringan dan karakter humoristiknya, Wayang Kampung Sebelah juga
membuka peluang hadirnya bintang tamu dari berbagai bidang entertainment,
seperti penyanyi dan pelawak ternama. Dengan catatan, bintang tamu tersebut
tidak merupakan bagian terpisah, tetapi tetap menjadi bagian kesatuan
pertunjukan.

3. Format Iringan
Mengingat bahwa
konsep Wayang Kampung Sebelah adalah
commit
pertunjukan wayang kreasi baru, to user
Yayat Suhiryatna sebagai penata musik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

merasa perlu diciptakannya suatu bentuk iringan yang baru pula. Iringan
musiknya tidak terikat oleh aturan-aturan yang berlaku seperti pada
pertunjukan wayang konvensional. Pada pertunjukan Wayang Kampung
Sebelah tidak dijumpai iringan dengan menggunakan instrumen gamelan.
Secara keseluruhan iringan musiknya berupa lagu dengan nada diatonis,
menggunakan instrumen musik diatonis pula.
Wayang Kampung Sebelah mengupayakan menciptakan lagu-lagu
karangan sendiri dalam memenuhi kebutuhan iringan adegan. Bentuk
aransemen musik Wayang Kampung Sebelah menggunakan bermacam-macam
jenis atau genre musik, seperti Rock, Metal, Pop, Blues, Country, Jazz,
Reggae, Junk, Punk, Samba, Salsa, Bossas, Arabian, Keroncong, Dangdut,
bahkan struktur pola pada gamelan pun diterapkan dan dimainkan ke dalam
format iringannya. Dalam proses aransemen, ketika lagu “mentah” (belum
teraransir) serta lirik lagu menjadi kerangka yang baku, dilakukan pemilihan
pola atau pattern pada struktur lagu. Langkah-langkah tersebut menjadi disiplin
penata musik dalam menciptakan karya/ lagu, sehingga waktu, tenaga dan
pikiran yang tercurah dalam mencipta karya lebih efisien.
Format iringan musiknya adalah combo band, dengan instrumen musik
terdiri dari drum set, gitar elektrik, bass elektrik, alto saxophone, flute, djimbe,
menggunakan beberapa instrumen tradisional seperti kendang Sunda. Hal ini
telah menjadi pertimbangan Yayat Suhiryatna, mengingat jumlah penonton
yang nantinya tak terbatas, dan bagaimana membuat format iringan yang
nantinya dapat didengarkan oleh sekian banyak orang di tempat pementasan,
pertimbangan yang kedua adalah melalui format combo band, diharapkan
membangkitkan kembali rasa kecintaan anak muda terhadap pertunjukan
wayang.

4. Profil Ki Jlitheng Suparman


Ki Jlitheng Suparman lahir pada tanggal 1 Desember 1966 di Surakarta
dari pasangan Sarimin dan Suyatmi. Suparman merupakan anak pertama dari
enam bersaudara dan semenjakcommit to user dalam keluarga yang merupakan
kecil berada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

keturunan dalang, kakek Ki Jlitheng Suparman yang bernama Guno Sudaryo


adalah seorang dalang wayang kulit.
Sebutan “Jlitheng” sebenarnya adalah nama panggilan Suparman sejak
masa kanak-kanak, karena kulitnya hitam maka Suparman dipanggil dengan
sebutan “Jlitheng”, nama panggilan masa kecil tersebut dipakai hingga
sekarang, yang membuat Suparman dikenal dengan “Ki Jlitheng Suparman”
atau “Jlitheng Suparman”. Hal ini seperti yang dikatakan Ki Jlitheng
Suparman:
“Nama asli saya Suparman, tapi untuk mendongkrak popularitas
saya lengkapi dengan Jlitheng Suparman, Jlitheng itu sebenrana
nama julukan masa kecil yang diberikan oleh tetangga dan guru
saya karena kulit saya memang hitam, akhirnya itu saya pakai
hingga saya lebih dikenal dengan nama Jlitheng Suparman”.
(Wawancara 28 April 2011)

Ki Jliheng Suparman menempuh pendidikan dasar di SD Taman Siswa


Surakarta hingga kelas 3 SD. Kemudian pindah ke SD Negeri Ngadirojo
Wonogiri karena mengikuti kakeknya hingga lulus SD Tahun 1979. Kemudian
melanjutkan ke SMP Negeri 17 Surakarta. Setelah lulus, pada tahun 1982
melanjutkan ke SMKI jurusan pedalangan hingga lulus tahun 1986. Pada tahun
itu juga melanjutkan di perguruan tinggi yaitu di jurusan Sastra daerah Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Unversitas Sebelas Maret Surakarta, lulus pada tahun
1995.
Ki Jlitheng Suparman menikah dengan Sukamti dan dikarunia 2 orang
putra yaitu Bagas Kartiko Kresno dan Bagus Cahyo Kesowo. Sepanjang
kariernya di dunia pedalangan, Ki Jlitheng Suparman telah membidani lahirnya
beberapa komunitas sekaligus meraih berbagai penghargaan, yaitu:
a. Tahun 1980, juara II Lomba dalang remaja kabupaten Wonogiri.
b. Tahun 1990-1991, ketua Badan Koordinasi Kesenian Tradisional (BKKT)
Universitas Sebelas Maret. Pendiri Ketoprak Wiswakarman UNS.
c. Tahun 1995, masuk 10 besar Festival Greget 50 Dalang di Solo dan
mendapat penghargaan dari menteri penerangan.

commit
d. Tahun 1996, bersama Slamet to user
Gundono membuat wayang gremeng.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

e. Tahun 1998, memprakarsai Forum Silaturahmi Dalang Se-Jawa dengan


tujuan sebagai gerakan mencabut komunitas dalang dari kooptasi partai.
f. Tahun 1999, bersama Sujiwo Tejo dan Enthus Suseno mendeklarasikan
Jaringan Dalang Indonesia di Tegal.
g. Tahun 2000, mendirikan paguyuban Dalang Wonogiri (Pandawi)
h. Tahun 2001, membidani lahirnya Wayang Kampung Sebelah bersama
Yayat Suhiryatna dan Sosiawan Leak.
i. Tahun 2004, mendirikan Sanggar “Purbokayun”, yang merupakan tempat
untuk berlatih karawitan, Wayang Kampung Sebelah, tari.
j. Tahun 2010, nembentuk komunitas wayang Climen, yang merupakan
upaya membuat pertunjukan wayang Purwa minimalis.
Adapun saat ini Ki Jlitheng Suparman selain aktif mendalang juga aktif
menulis artikel di media massa. Ki Jlitheng Suparman merupakan salah satu
kontributor untuk rubrik “Lincak” di harian Solopos semenjak pertengahan
tahun 2010.
Sebagai seorang dalang wayang kulit Purwa Ki Jlitheng Suparman
telah akrab dengan bentuk rupa wayang kulit. Ki Jliheng mengagumi sekaligus
memahami boneka wayang kulit sebagai sebuah karya seni rupa yang
adiluhung. Meskipun dalam boneka Wayang Kampung Sebelah pengaruh
estetika rupa wayang kulit Purwa ini tak nampak dengan jelas, namun dalam
beberapa boneka Wayang Kampung Sebelah Ki Jlitheng Suparman masih
mengikuti pola dasar bentuk wayang kulit Purwa seperti penampang wayang
yang muka/ wajahnya terlihat dari samping, bahunya dari depan kemudian dari
samping, bagian torso dari depan dan berakhir dengan kaki yang nampak
samping. Sedangkan tangan wayang lebih panjang dan telapak kakinya
dimiringkan sehingga kelima jarinya terlihat seluruhnya. Bentuk boneka
wayang didasarkan pada perbandingan tidak mengikat dengan bentuk proporsi
manusia. Ukuran besar kecil, panjang pendek anggota badan wayangnya
berbeda dengan ukuran manusia.
Ki Jlitheng Suparman semenjak kecil telah gemar menggambar
terutama menggambar boneka commit
wayangtokulit
userPurwa. Kegemaran ini menurut Ki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

Jlitheng adalah sesuatu yang wajar bagi seorang anak kecil seusianya pada saat
itu. Hal ini seperti yang diungkapkan sendiri oleh Ki Jlitheng Suparman:
“....dari kecil saya suka menggambar, ya terutama menggambar
wayang, tapi ya sekedar hobi saja sebenarnya, seperti rata-rata
anak kecil yang suka menggambar”.(Wawancara 28 April 2011).
Ki Jlitheng Suparman mengakui bahwa keterampilan menggambar yang
diperolah dari kegemaran menggambar sejak masa kecil tersebut sangat
membantu dalam proses penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah, karena
kebetulan personel Wayang Kampung Sebelah tidak ada yang berbasis disiplin
seni rupa, yang pada akhirnya membuat Ki Jlitheng Suparman selain menjadi
dalang juga menjadi kreator boneka Wayang Kampung Sebelah. Dengan
berbekal kesenangan menggambar wayang kulit Purwa inilah Ki Jlitheng
Suparman berkreasi menuangkan ide-idenya dalam mencipta boneka Wayang
Kampung Sebelah.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

B. Proses Kreatif Penciptaan Boneka Wayang Kampung Sebelah

1. Sumber Ide
Dalam mencipta wayang, ide Ki Jlitheng Suparman bersumber dari
imajinasi dan lingkungan sekitar. Imajinasi di sini adalah gambaran mental
tentang bentuk wayang yang ada di dalam pikiran Ki Jlitheng Suparman. Hal
ini diungkapkan Ki Jlitheng Suparman sebagi berikut:
“Pada awalnya muncul dalam benak saya gambaran sosok
manusia tertentu, berawal dari situ saya menuangkannya ke
dalam bentuk sketsa, kebanyakan bentuk wayang yang saya buat
ya awalnya dari imajinasi saya, jadi ya begitu saja, saat di
pikiran saya tergambar sosok manusia dengan bentuk tertentu
kemudian saya buat gambarnya”. (Wawancara 20 April 2011)
Selain ide-ide yang muncul dari imajinasi, faktor lingkungan juga
merupakan sumber ide dalam penciptaan boneka wayang. Saat Ki Jlitheng
Suparman melihat seseorang dengan penampilan tertentu yang menarik bagi Ki
Jlitheng Suparman kemudian dibuatlah boneka wayang yang mengacu pada
penampilan seseorang tersebut. Hal ini sejalan dengan penuturan Ki Jlitheng
Suparman:
“Kadangkala saya melihat seseorang, tetangga misalnya, yang
memiliki karakter wajah, cara bicara, atau bentuk tubuh yang
menarik bagi saya, dari situ saya mendapatkan ide untuk
membuat boneka wayang”. (Wawancara 20 April 2011)
Imajinasi dan lingkungan sehari-hari ini merupakan sumber ide
penciptaan boneka-boneka wayang yang dibuatnya. Ide-ide yang berasal dari
dua sumber ini kemudian diwujudkan dalam bentuk rupa boneka-boneka
Wayang Kampung Sebelah.

2. Teknik
Ketika Ki Jlitheng Suparman sudah mempunyai gambaran tentang
tokoh yang akan dibuatnya, ia kemudian membuat sketsa dengan pensil di atas
kertas. Selama proses membuat sketsa ini banyak aspek yang dipertimbangkan
seperti keindahan gerak yang banyak ditentukan oleh ukuran panjang tangan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

43

boneka wayang yang diciptakan, sambungan-sambungan pada tubuh wayang


tertentu yang diinginkan memiliki kemungkinan gerak yang lebih kompleks.
Setelah sketsa boneka wayang selesai, kemudian sketsa itu diserahkan
kepada perajin wayang kulit untuk dibuat boneka wayangnya lengkap dengan
tatahan. Adapun proses pembuatan boneka wayang kulit adalah sebagai
berikut:

a. Memilih kulit dan menyiapkan Kulit


Persiapan bahan baku kulit kerbau merupakan tahap paling
awal dalam pembuatan boneka wayang. Suyatno, selaku perajin
yang menatah boneka Wayang Kampung Sebelah mengatakan
bahwa kulit yang digunakan memiliki ketebalan sekitar 1
milimeter. Bahan kulit kerbau yang digunakan untuk membuat
boneka ini adalah kulit yang telah siap pakai (untuk ditatah) yang
dibeli dari penjual kulit.
b. Menatah Wayang
Kulit yang sudah pakai tersebut kemudian memasuki proses
penatahan. Penatahan ini mengikuti desain boneka wayang yang
telah dibuat oleh Ki Jlitheng Suparman. Adapun langkah paling
awal sebelum penatahan dimulai adalah memindahkan desain
tersebut ke atas permukaan kulit. Teknik yang digunakan adalah
dengan meletakkan desain yang tergambar di kertas di bawah
permukaan kulit untuk kemudian pola tersebut dikutip dengan cara
nyorek yaitu membuat guratan di atas kulit sesuai dengan pola yang
ada. Setelah proses nyorek selesai langkah selanjutnya adalah
menatah bagian luar desain boneka wayang tersebut (out line)
untuk mendapatkan bentuk global dari boneka wayang yang dibuat.
Dalam proses penatahan, peralatan yang digunakan adalah:
pandukan, palu atau gandhen, tindih, malam dan pahat.
Pak Yatno mengungkapkan bahwa dalam pembuatan
commit toSebelah
boneka Wayang Kampung user ini tidak ada kendala apapun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

karena bentuknya yang sederhana dan tidak menggunakan tatahan


yang rumit. Tatahan hanya terdapat pada garis pakaian, bagian
mata, jari, dan hidung. Adapun tatahan yang dominan dalam
boneka wayang kampung adalah tatahan tratas bubuk, yaitu tatahan
yang terdiri atas tatahan bubukan dan tratasan. Tatahan ini
biasanya digunakan untuk membuat tepi sebuah bidang, seperti
pada lipatan kain, tepi baju, badan, dan lain-lain.
c. Pembuatan tangan wayang.
Pembuatan tangan merupakan salah satu rangkaian dalam
menatah wayang kulit. Proses membuat tangan wayang ini tak jauh
berbeda dengan proses membuat tubuh boneka wayang, yaitu
dengan terlebih dahulu menatah bagian luarnya (out line),
kemudian dilanjutkan dengan membuat detail jari-jari boneka
wayang.
d. Menyambung bagian tubuh wayang.
Setelah tangan wayang selesai, proses selanjutnya adalah
memasang atau merangkainya dengan badan wayang yang telah
lebih dahulu selesai. Adapun penyambungan ini mempergunakan
gegel atau penyambung yang terbuat dari logam.
e. Pewarnaan
1) Memberi warna dasar
Boneka wayang yang akan diwarnai diberi dengan
warna dasar putih dengan menggunakan cat akrilik, warna
dasar putih ini digunakan untuk menutup permukaan kulit yang
masih transparan agar warna yang dihasilkan lebih padat dan
cerah. Boneka wayang kemudian diangin-anginkan hingga
mengering.
2) Mewarnai
Setelah warna dasar kering, boneka wayang memasuki
tahap pewarnaan. Bahan pewarna yang digunakan adalah zat
commitcair
pewarna (pigment) to user
yang dicampur dengan cat akrilik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

warna putih. Pewarnaan ini dilakukan dengan kuas sebagai alat


untuk mengoles cat akrilik yang telah dicampur dengan
pigment di atas permukaan boneka wayang kulit.
Dalam proses pewarnaan ini Ki Jlitheng Suparman
mengandalkan spontanitas, artinya pewarnaan yang dilakukan
tidak didasari oleh perencanaan yang matang tentang
pemilihan warna atau motif-motif pakaian yang terwujud
dalam boneka wayang.
3) Finishing
Untuk finishing, bahan yang digunakan adalah lem
kayu yang diencerkan dengan air, kemudian dioleskan secara
merata di atas permukaan wayang setelah keseluruhan
pewarnaan selesai dan cat telah kering sempurna. Lapisan ini
berguna untuk melindungi warna boneka wayang dari
perubahan suhu serta gesekan saat wayang dimainkan atau
disimpan dalam kotak. Dalam proses pelapisan digunakan kuas
untuk menyapukan cairan pelapis akhir.
f. Memasang gapit wayang
Gapit wayang yang juga disebut cempurit merupakan
tangkai wayang kulit. Adapun untuk pembuatan dan pemasangan
gapit ini dilakukan oleh Ki Jlitheng Suparman sendiri. Gapit ini
biasanya terbuat dari tanduk kerbau. Namun Ki Jliteng membuat
gapit ini dengan bahan bambu dengan pertimbangan bahwa bambu
mudah didapat dan mudah dikerjakan. Setelah gapit ini selesai
dipasang, boneka wayang kulit ini telah selesai dan siap dimainkan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

C. Bentuk Rupa dan Watak Boneka Wayang Kampung Sebelah

Boneka Wayang Kampung Sebelah seperti yang dijabarkan sebelumnya


merupakan bagian dari perwujudan konsep pertunjukan wayang yang ingin
mengangkat kehidupan kampung. Maka dari itu kebutuhan akan boneka
wayang yang dapat mengakomodir tujuan tersebut niscaya diperlukan. Hal ini
mengingat pentingnya kesesuaian antara jalan cerita yang ingin disampaikan
dengan pelaku-pelaku dalam cerita.
Sebagaimana konsep Wayang Kampung Sebelah yang ingin membuat
sebuah pertunjukan wayang yang mudah dipahami dan dekat dengan realitas
kehidupan masyarakat saat ini, maka dibuatlah wayang yang merupakan
tuntutan dari cerita atau lakon yang dimainkan. Secara umum, tema dari karya
rupa yang berupa boneka wayang ini adalah kehidupan kampung yang berisi
sosok-sosok yang beraneka macam yang merupakan warga masyarakat
kampung dengan berbagai profesi dan karakternya.
Fungsi boneka wayang sendiri sebagai media dalam menyampaikan
cerita, sekaligus sebagai metafor untuk berbagai karakter manusia yang ada di
kampung yang menjadi setting cerita (lakon) Wayang Kampung Sebelah.
Fungsi boneka sebagai medium bercerita ini ditekankan oleh Ki Jlitheng
Suparman sebagai berikut:
“Boneka itu adalah alat untuk membantu menyampaikan pesan-
pesan dalam cerita wayang, jadi ya yang penting boneka itu
sesuai dengan cerita yang kita mainkan”. (Wawancara 20 april
2011)
Karena fungsinya sebagai medium bercerita, maka kesesuaian bentuk
rupa wayang dengan karakter yang ingin ditampilkan menjadi pertimbangan
tersendiri dalam mencipta boneka wayang. Seluruh boneka Wayang Kampung
Sebelah yang diciptakan tidak terlepas dari pandangan dan Ki Jlitheng
Suparman terhadap fungsi ini.
Wayang Kampung Sebelah yang terinspirasi dari wayang kampung
karya Suharman merupakan hasil dari upaya penciptaaan wayang yang
commit
sederhana. Ki Jlitheng Suparman to usermemiliki pandangan bahwa dari
sendiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

wayang yang sederhana ini dalang dituntut untuk memacu kreaifitasnya untuk
menghidupkan wayang ini. Hal ini diungkapkap Ki Jlitheng Suparman sebagi
berikut:
“Saya ingin membuktikan bahwa dengan boneka yang
sederhana saya bisa bercerita, justru dengan kesederhanaan
bentuk wayang itulah saya merasa tertantang bagaimana
menghidupkan boneka wayang yang sederhana itu dalam sebuah
pertunjukan wayang”. (Wawancara 20 April 2011).
Adapun bentuk dasar boneka wayang ini adalah sosok manusia yang
dideformasi dengan ukuran tubuh yang tidak terikat dengan proporsi manusia
normal, terutama pada bagian tangan wayang yang panjang. Hal ini merupakan
hasil pertimbangan bahwa wayang kampung ini akan dimainkan seperti
wayang kulit Purwa sehingga pemanjangan lengan boneka wayang pada
dasarnya merupakan upaya membuat boneka wayang memiliki keindahan
gerak saat dimainkan.
Berikut ini dibahas bentuk rupa dan karakter (watak) tokoh-tokoh
bonekaWayang Kampung Sebelah. Adapun boneka wayang yang dibahas
merupakan boneka-boneka yang merupakan boneka baku dalam cerita Wayang
Kampung Sebelah yang telah memiliki perwatakan yang tetap dalam setiap
cerita dan tidak digunakan untuk menggantikan tokoh lain dalam cerita
tertentu.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

1. Lurah Somad

Gambar 1. Lurah Somad


(Sumber: Dokumentasi Wayang Kampung Sebelah)

Boneka wayang ini menampilkan sosok laki-laki yang berambut


hitam klimis, bermata sayu, berhidung besar dan berbibir tebal. Perutnya
buncit dan mengenakan safari warna biru laut dengan celana senada.
Tokoh ini mengenakan arloji, bersepatu pantofel coklat tanpa kaos kaki,
dan di saku bajunya terselip dua buah ballpoint. Kulit tubuhnya berwarna
kemerahan, dan salah satu lengannya berada di belakang tubuh. Boneka
wayang ini dibuat untuk menggambarkan sosok pemimpin (lurah)
kampung yang berwatak inkonsisten.
Unsur-unsur dalam karya ini berupa: garis, bidang (shape), dan
warna. Garis yang terdapat dalam karya ini adalah garis dengan raut lurus
dan lengkung. Bidang yang terdapat dalam karya ini berupa bidang
commit
organik. Warna yang terdapat to user
dalam karya ini adalah biru untuk pakaian;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

coklat muda untuk kulit tubuh; coklat tua untuk sepatu dan kulit tubuh;
hitam untuk rambut, alis, mata, arsiran untuk aksentuasi bentuk; serta
warna putih untuk mata.
Pengorganisasian unsur dalam bentuk rupa boneka ini
menampilkan kesatuan (unity), keseimbangan (balance), dan aksentuasi.
Kesatuan diperoleh dari arsiran garis hitam yang membuat keseluruhan
warna pada boneka ini terikat. Keseimbangan (balance) dari aspek bentuk
diperoleh dari ukuran pantat, bahu, dan posisi lengan yang berada di
belakang tubuh dengan ukuran perut dan kepala serta posisi kepala yang
condong ke depan. Titik pusat (center of interest) dalam boneka ini berada
di kepala boneka yang dicapai dengan menonjolkan bentuk bibir dan
hidung. Aksentuasi dalam boneka ini merupakan aksentuasi ukuran.
Boneka wayang ini merupakan bagian dari sosok-sosok manusia
yang hidup di kampung, lurah yang dalam hal ini adalah pimpinan
pemerintahan di kampung digambarkan dengan atributnya berupa baju
safari. Rambut yang tersisir rapi menunjukkan bahwa sosok ini
memperhatikan penampilannya. Baju safari dalam kultur kita identik
dengan pakaian yang dikenakan pejabat atau pegawai. Bisa dikatakan
bahwa pakaian merupakan tanda bagi identitas atau profesi seseorang.
Secara keseluruhan, pakaian memiliki kode atau kombinasi aturan yang
biasanya dikenakan dalam lingkup aturan tertentu. Berpakaian resmi
memiliki arti mengenakan pakaian lengkap beserta sepatu, bukan dengan
bertelanjang kaki atau bersandal, dan boneka ini ditampilkan secara
lengkap dalam kode berpakian. Jam tangan atau arloji dikenakan
menandakan seseorang yang memperhatikan waktu. Dua ballpoit yang
terselip di kantong menegaskan profesinya sebagai pemimpin yang sering
bekerja dengan ballpoint (tanda tangan/ legalisasi dokumen, dsb). Jari
tangan boneka wayang yang menunjuk menegaskan tipikal pemimpin yang
memiliki tugas mengatur orang lain.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

2. Eyang Sidik Wacono

Gambar 2. Eyang Sidik Wacono


(Sumber: Dokumentasi Wayang Kampung Sebelah)

Boneka wayang ini menampilkan sosok laki-laki tua yang berkulit


coklat kemerahan, bermata sayu, dengan dahi yang sedikit menonjol di
daerah pangkal hidung, berkumis dan berjenggot putih. Tokoh ini
mengenakan tutup kepala berupa blangkon, mengenakan pakaian berupa
destar berwarna hitam dengan bawahan berupa jarik. mengenakan alas
kaki berupa sandal selop berwana hitam. Tokoh ini memegang tongkat
kayu lurus berwarna coklat di salah satu tangannya. Boneka wayang ini
dibuat untuk menggambarkan sosok sesepuh kampung yang berwatak
bijak, njawani dan egaliter.
Unsur-unsur dalam karya ini berupa: garis, bidang (shape), dan
warna. Garis yang terdapat dalam karya ini adalah garis dengan raut lurus
dan lengkung. Bidang yang terdapat dalam karya ini berupa bidang
commit
organik. Warna yang terdapat to user
dalam karya ini adalah hitam untuk pakaian,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

51

blangkon dan selop; warna coklat kemerahan untuk kulit tubuh; coklat tua
untuk motif batik pada jarik dan blangkon.
Pengorganisasian unsur dalam bentuk rupa boneka ini
menampilkan kesatuan (unity), keseimbangan (balance), aksentuasi.
Kesatuan diperoleh dari motif batik yang sama antara tutup kepala dengan
jarik yang dikenakan. Selain itu penggunaan warna hitam pada tutup
kepala, baju, sarung, dan alas kaki membuat boneka ini memiliki kesatuan
(unity) yang baik. Warna hitam sekaligus mendominasi dalam boneka
wayang ini.
Keseimbangan (balance). Aksentuasi dalam boneka ini didapatkan
dengan menyandingkan kain jarik yang bermotif dengan warna hitam
polos pada baju dan sarung, dalam karya ini aksentuasi dicapai dengan
aksentuasi warna. Dalam pengorganisasian unsur, karya ini memiliki
kesatuan (unity) yang baik, terutama didapatkan dari warna yang
ditampilkan.
Sosok Eyang Sidik Wacono menggambarkan seorang sesepuh desa.
Dalam kehidupan masyarakat di desa (terutama di Jawa) biasanya di desa-
desa ada seseorang yang “dituakan”, seorang yang dituakan itu dinilai
memiliki kebijaksanaan. Warna hitam yang dipilih sebagai warna pakaian
sosok ini merupakan sinsign atau tanda yang muncul karena kualitas tanda
itu sendiri, yang melambangkan keagungan dan formalitas. Kode pakaian
(keseluruhan pakaian) yang dikenakan juga merupakan simbol dari status
sosial penyandangnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

52

3. Blegoh

Gambar 3. Blegoh
(Sumber: Dokumentasi Wayang Kampung Sebelah)

Boneka wayang ini menampilkan sosok wanita setengah baya


dengan rambut beruban yang diikat di belakang kepala. Bermata merah,
berbibir merah, mengenakan kebaya polos berwarna oker, pakaian dalam
berwarna biru muda tak beralas kaki. Tokoh ini memakai jarik berwarna
putih dengan motif segitiga berwarna merah muda, lingkaran berwarna
hijau dengan pusat hitam, dan spiral dengan warna merah muda. Sebelah
tangannya memegang ulegan berwarna hitam, sedang satu tangan yang
lain menyingsingkan jarik yang dikenakannya, yang menyibak bentuk
kakinya hingga paha. Boneka wayang ini dibuat untuk menggambarkan
sosok ibu rumah tangga yang berwatak keras dan temperamental.
Unsur-unsur dalam karya ini berupa: garis, bidang (shape), dan
commit to user
warna. Garis yang terdapat dalam karya ini adalah garis dengan raut lurus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

dan lengkung. Bidang yang terdapat dalam karya ini berupa bidang
organik. Warna yang terdapat dalam karya ini adalah oker untuk pakaian;
coklat kemerahan untuk kulit tubuh; biru muda untuk pakaian rangkap
dalam; hitam untuk rambut, dan ulegan; warna putih untuk mata; hijau
muda dan merah muda pada motif jarik yang dikenakan.
Pengorganisasian unsur dalam bentuk rupa boneka ini
menampilkan kesatuan (unity), keseimbangan (balance), aksentuasi,
proporsi. Kesatuan diperoleh dari warna yang mirip dan berdekatan.
Keseimbangan (balance) dari aspek bentuk diperoleh dari posisi lengan
yang berada di belakang tubuh dengan posisi kaki yang condong ke depan.
Boneka ini tidak memiliki point of interest karena warna-warna yang
digunakan memiliki value yang hampir sama.
Boneka wayang ini menggambarkan sosok ibu rumah tangga yang
sedang memegang uleg-uleg, uleg-uleg ini menegaskan identitas sebagai
seorang ibu rumah tangga yang identik dengan pekerjaan dapur namun
dalam boneka ini uleg-uleg secara keseluruhan lebih berfungsi sebagai
senjata. Kesan pemarah muncul terutama dari raut wajah dan gesture
boneka yang menyingsingkan kain jariknya. Boneka wayang ini
merupakan bentuk ikonis dari perempuan yang sedang dalam keadaan
marah. yang dipertegas dengan motif jarik yang menampilkan garis zig-
zag yang memberi kesan kaku dan keras.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

4. Mbah Keblak

Gambar 4. Mbah Keblak


(Sumber: Dokumentasi Wayang Kampung Sebelah)

Sosok wanita tua berkulit keabu-abuan, bermata sayu, berambut


hitam yang diikat di belakang kepala. Tubuhnya agak membungkuk, salah
satu tangannya memegang tongkat, dan tidak mengenakan alas kaki.
Tokoh ini mengenakan pakaian bermotif lurik berwarna abu-abu dengan
garis coklat, sedangkan bagian bawah mengenakan kain jarik. Boneka
wayang ini dibuat untuk menggambarkan sosok wanita tua yang berwatak
sabar.
Unsur-unsur dalam karya ini berupa: garis, bidang (shape), dan
warna. Garis yang terdapat dalam karya ini adalah garis dengan raut lurus
dan lengkung. Bidang yang terdapat dalam karya ini berupa bidang
organik. Warna yang terdapat dalam karya ini adalah abu-abu dengan
commit to user
value tinggi untuk pakaian; abu-abu dengan value rendah untuk kulit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

tubuh; coklat tua untuk jarik dan motif garis pada baju; hitam untuk
rambut, mata, dan outline.
Pengorganisasian unsur dalam bentuk rupa boneka ini
menampilkan kesatuan yang baik yang dicapai dengan penggunaan warna-
warna analog pada kulit dan pakaian. Keseimbangan (balance) tidak
nampak karena posisi tubuh yang janggal, posisi kaki boneka wayang
nampak miring (menjorok ke arah depan).
Boneka ini menggambarkan sosok wanita tua dengan tongkatnya
dengan tubuh yang bungkuk dan membawa tongkat. Tongkat yang
dipegang menegaskan kerentaan dan kerapuhan tubuh manusia lanjut usia
pada umumnya. Adapun beberapa tambalan pada baju memberi kesan
yang keterbatasan (kemiskinan) orang-orang kampung yang rata-rata
hidup dengan kondisi ekonomi yang lemah. Bentuk mata yang sayu seperti
mata jenis liyepan (dalam wayang kulit Purwa) dan bibir yang terkatup
rapat membuat kesan lembut atau kalem sangat menonjol dalam sosok ini.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

56

5. Sodrun

Gambar 5. Sodrun
(Sumber: Dokumentasi Wayang Kampung Sebelah)

Boneka wayang ini menampilkan sosok laki-laki berkulit coklat


kemerahan dengan alis tebal, mata besar dengan bola mata menggantung
di atas, berhidung besar dan berbibir tebal. Pundaknya meninggi, perutnya
buncit, dan memiliki pantat yang besar. Tokoh ini mengenakan pakaian
hansip lengan panjang berwarna hijau, mengenakan tutup kepala berupa
topi dengan warna serupa, berikat pinggang hitam dan bersepatu Lars.
Boneka wayang ini dibuat untuk menggambarkan sosok hansip yang
berwatak tegas.
Unsur-unsur dalam karya ini berupa: garis, bidang (shape), dan
warna. Garis yang terdapat dalam karya ini adalah garis dengan raut lurus
dan lengkung. Bidang yang terdapat dalam karya ini berupa bidang
commit to user
organik. Warna yang terdapat dalam karya ini adalah hijau untuk pakaian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

57

(baju, celana, topi); coklat kemerahan untuk kulit tubuh; hitam untuk
rambut, alis, mata, sepatu; kuning pada logam ikat pinggang, baju dan
aksentuasi pada topi.
Pengorganisasian unsur dalam bentuk rupa boneka ini
menampilkan kesatuan (unity), keseimbangan (balance), aksentuasi, dan
proporsi. Kesatuan diperoleh dari warna pakaian yang sama antara topi,
baju dan celana. Keseimbangan (balance) dari aspek bentuk diperoleh dari
ukuran patat, bahu, dan posisi lengan yang berada di belakang tubuh
dengan ukuran perut dan kepala serta posisi kepala yang condong ke
depan. Titik pusat (center of interest) dalam boneka ini berada di kepala
boneka yang dicapai dengan menonjolkan bentuk bibir dan hidung.
Aksentuasi dalam boneka ini merupakan aksentuasi ukuran.
Boneka wayang ini merupakan gambaran dari sosok hansip sebagai
aparat keamanan desa. Wajahnya yang nampak sayu kurang mengesankan
sifat tegas yang lazimnya melekat pada sosok aparat keamanan. Postur
tubuhnya yang berperut buncit justru mengesankan kesan lamban pada
sosok aparat ini.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

58

6. Parjo

Gambar 6. Parjo
(Sumber: Dokumentasi Wayang Kampung Sebelah)

Boneka wayang ini menampilkan sosok laki-laki berkulit


kemerahan dengan alis tipis, bermata sayu, gusi yang besar dan menjorok
ke depan. Rambutnya pendek, perutnya buncit. Tokoh ini mengenakan
pakaian hansip lengkap berwarna hijau, dengan topi warna serupa, berikat
pinggang hitam dan bersepatu Lars yang dimasukkan ke dalam celana.
mengenakan tutup kepala berupa topi yang warnanya senada dengan
warna baju dan celana. Boneka wayang ini dibuat untuk menggambarkan
sosok hansip yang berwatak tegas dan humoris.
Unsur-unsur dalam karya ini berupa: garis, bidang (shape), dan
warna. Garis yang terdapat dalam karya ini adalah garis dengan raut lurus
dan lengkung. Bidang yang terdapat dalam karya ini berupa bidang
commit
organik dan campuran. Warna to user
yang terdapat dalam karya ini adalah biru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

hijau untuk pakaian; kemerahan untuk kulit tubuh; hitam untuk sepatu
dan rambut; serta warna putih untuk mata dan gigi.
Pengorganisasian unsur dalam bentuk rupa boneka ini
menampilkan kesatuan, keseimbangan (balance), dan aksentuasi.
Kesatuan diperoleh dari warna pakaian yang sama antara baju dan celana.
Keseimbangan (balance) dari aspek bentuk diperoleh dari ukuran patat,
bahu, dan posisi lengan yang berada di belakang tubuh dengan ukuran
perut dan kepala serta posisi kepala yang condong ke depan. Titik pusat
(center of interest) dalam boneka ini berada di kepala boneka yang dicapai
dengan menonjolkan bentuk bibir dan hidung. Aksentuasi dalam boneka
ini merupakan aksentuasi ukuran.
Boneka wayang ini merupakan gambaran dari sosok hansip sebagai
aparat keamanan desa. Raut wajah boneka hansip ini terkesan lucu dengan
giginya yang tonggos. Hansip yang juga berperut buncit seperti Ttokoh
“Sodrun” ini tidak terkesan lamban karena memiliki kesan bergerak yang
muncul akibat posisi kaki yang seakan sedang melangkah.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

7. Mbah Modin

Gambar 7. Mbah Modin


(Sumber: Dokumentasi Wayang Kampung Sebelah)

Boneka wayang ini menampilkan sosok laki-laki tua yang berkulit


kuning langsat, beralis hitam dengan mata berwarna merah, bibir berwarna
merah, berambut putih, dan perut sedikit buncit. Tokoh ini mengenakan
penutup kepala kopiah berwarna hitam, mengenakan jas hitam dengan
kaos merah, bersarung biru dan mengenakan alas kaki berupa sandal.
Boneka wayang ini secara keseluruhan menampilkan tubuh yang nampak
dari samping. Hal ini nampak pada posisi bahu yang hanya terlihat sebelah
dan kedua tangannya berada di bagian belakang tubuh. Boneka wayang
ini dibuat untuk menggambarkan sosok pemimpin keagamaan (kepala
urusan keagamaan), yang berwatak humoris.
Unsur-unsur dalam karya ini berupa: garis, bidang (shape), dan
warna. Garis yang terdapat dalam karya ini adalah garis dengan raut lurus
dan lengkung. Bidang yang terdapat
commit to userdalam karya ini berupa bidang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

organik dan campuran. Warna yang terdapat dalam karya ini adalah hitam
untuk baju; biru untuk pakaian; kuning langsat untuk kulit tubuh; coklat
tua untuk sepatu dan kulit tubuh; putih untuk rambut dan mata; merah
untuk mata, bibir, kaos dan sandal.
Pengorganisasian unsur dalam bentuk rupa boneka ini
menampilkan keseimbangan (balance) dan aksentuasi. Kesatuan diperoleh
dari warna pakaian yang sama antara baju dan celana. Keseimbangan
(balance) dari keseluruhan bentuk bahu, posisi lengan yang berada di
belakang tubuh dengan ukuran perut dan posisi kepala yang condong ke
depan. Aksentuasi boneka yang dicapai dengan menonjolkan bentuk bibir
dan hidung. Aksentuasi dalam boneka ini merupakan aksentuasi ukuran.
Boneka wayang ini menggambarkan sosok pemimpin keagamaan
di kampung yang biasa di sebut “Modin”. Modin ini bertugas memimpin
ritual keagamaan di kampung, seperti upacara kelahiran, kematian, dan
bersih desa. Bentuk rupa yang ditampilkan cukup mampu mewakili sosok
modin yang identik dengan kopiah dan sarungnya. Sisi homoris dari watak
boneka ini ditampilkan dengan raut wajahnya yang sedang tersenyum dan
menghadirkan kesan lucu.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

62

8. Karyo

Gambar 8. Karyo
(Sumber: Dokumentasi Wayang Kampung Sebelah)

Boneka wayang ini menampilkan sosok laki-laki paruh baya


dengan kulit berwarna coklat tua, berkepala besar, berambut sepanjang
bahu, bermata sayu dengan bola mata berwarna merah, dan bertubuh
pendek dengan perut buncit. Tokoh ini mengenakan tutup kepala berupa
kopiah berwarna merah, mengenakan pakaian berupa kaos oblong
berwarna kuning dengan garis merah pada bagian leher, ujung bawah kaos
dan ujung lengan. Kaos ini menyibak, membuat perut buncitnya terlihat
jelas. Pada bagian bawah memakai sarung dengan warna hijau bermotif
daun dan bunga berwana putih dan tidak beralas kaki. Boneka wayang ini
dibuat untuk menggambarkan sosok laki-laki kampung yang miskin dan
berwatak temperamental.
Unsur-unsur dalam karya ini berupa: garis, bidang (shape), dan
warna. Garis yang terdapat dalam karya ini adalah garis dengan raut lurus
commit to user
dan lengkung. Bidang yang terdapat dalam karya ini berupa bidang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

63

organik dan campuran. Warna yang terdapat dalam karya ini adalah
kuning untuk baju; coklat tua untuk kulit tubuh; hitam untuk rambut,
merah untuk bola mata dan tutup kepala.
Pengorganisasian unsur dalam bentuk rupa boneka ini
menampilkan keseimbangan (balance). Keseimbangan diperoleh dari
ukuran patat, bahu, dan posisi lengan yang berada di belakang tubuh
dengan ukuran perut.
Boneka wayang ini menggambarkan sosok laki-laki dengan tubuh
pendek dan perut buncit, kaos yang dikenakannya tampak tidak sesuai
warnanya dengan sarung yang dikenakan. Kedua lengan wayang yang
terletak di belakang tubuh membuat bentuk tubuh bagian depan wayang
menjadi nampak jelas, perut buncit yang tersibak menjadi jelas.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

9. Silvy

Gambar 9. Silvy
(Sumber: Dokumentasi Wayang Kampung Sebelah)

Boneka wayang ini menampilkan sosok wanita dengan kulit


kemerahan, berambut pendek berwarna hitam dengan sedikit warna merah.
Bermata lancip dengan bibir berwarna merah. Berpayudara menonjol
dengan bentuk pantat yang menonjol pula. Tokoh ini mengenakan pakaian
atas berupa tank top berwarna merah menyala, dengan dipadu celana ketat
berwarna kuning dengan motif bunga berwarna merah yang panjangnya
sebatas bawah lutut. Mengenakan kalung berwarna emas, dan mengenakan
alas kaki berupa sandal selop berwarna kuning.
Salah satu tangan boneka wayang ini memengang alat komunikasi
berupa Handphone berwana warna hitam, sedang tangan yang lain
menggenggam dompet. Boneka wayang ini dibuat untuk menggambarkan
sosok pekerja seks komersial (PSK) yang genit.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

Unsur-unsur dalam karya ini berupa: garis, bidang (shape), dan


warna. Garis yang terdapat dalam karya ini adalah garis dengan raut lurus
dan lengkung. Bidang yang terdapat dalam karya ini berupa bidang
organik dan campuran. Warna yang terdapat dalam karya ini adalah merah
untuk pakaian bibir, dan motif bunga pada celana; coklat kemerahan untuk
kulit tubuh; kuning untuk celana dan sepatu; hitam untuk rambut, alis,
mata; serta warna putih untuk mata.
Pengorganisasian unsur dalam bentuk rupa boneka ini
menampilkan kesatuan keseimbangan (balance), dan aksentuasi.
Keseimbangan (balance) dari aspek bentuk diperoleh dari ukuran patat,
bahu, kepala serta posisi kepala yang condong ke depan. Aksentuasi
dicapai dengan warna merah menyala pada baju yang mendominasi
keseluruhan warna boneka yang ditampilkan.
Boneka wayang ini menggambarkan seorang wanita yang
berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK). Pakaiannya yang ketat
menonjolkan lekuk tubuh dan menegaskan bahwa sosok ini memang
mengumbar lekuk tubuhnya untuk menarik laki-laki hidung belang. Ikon
handphone yang selalu digenggam merupakan memberi kesan bahwa
sosok ini sering melakukan komunikasi dengan orang lain berkaitan
dengan profesinya. Warna pakaian yang terang dan mencolok (merah dan
kuning terang) menghadirkan kesan norak, tidak harmonis, dan
kampungan. Hal ini memperkuat kesan tentang sosok PSK yang tidak bisa
bersolek dan berasal dari kalangan bawah (miskin).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

10. Kampret

Gambar 10. Kampret


(Sumber: Dokumentasi Wayang Kampung Sebelah)

Sosok pria dengan kulit berwarna coklat kemerahan, berambut


hitam tak tertata rapi, bermata besar dengan bola mata berwarna
kecoklatan, serta berperut buncit. Bermulut lebar dengan gigi yang
berawarna kehitaman. Tokoh ini mengenakan baju berwarna kuning terang
dengan motif titik-titik berwarna coklat. Kancing bajunya terbuka di
bagian perut, membuat perut buncitnya nampak jelas.bagian bawah
mengenakan celana berwarna gelap. Mangenakan alas kaki berupa sepatu
berwarna abu-abu. Boneka wayang ini dibuat untuk menggambarkan
sosok pemuda pemabuk yang berwatak kritis dan humoris.
Unsur-unsur dalam karya ini berupa: garis, bidang (shape), dan
warna. Garis yang terdapat dalam karya ini adalah garis dengan raut lurus
dan lengkung. Bidang yang terdapat dalam karya ini berupa bidang
organik dan campuran. Warna yang terdapat dalam karya ini adalah
commit
kuning untuk pakaian; hijau to user
terang untuk saku baju; coklat kemerahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

untuk kulit tubuh; abu-abu untuk sepatu; hitam untuk rambut, alis, mata,
dan celana.
Pengorganisasian unsur dalam bentuk rupa boneka ini
menampilkan kesatuan (unity), keseimbangan (balance). Keseimbangan
(balance) dari aspek bentuk diperoleh dari ukuran patat, bahu, dan posisi
lengan yang berada di belakang tubuh dengan ukuran perut dan kepala
serta posisi wayang.
Boneka wayang ini dalam lakon Wayang Kampung Sebelah
menyandang karakter pemuda pemabuk yang gemar berbicara seenaknya
namun pada dasarnya apa yang dibicarakan mengandung kebenaran dan
pemikiran kritis terhadap masalah-masalah yang sedang terjadi. Kesan
pemuda pemabuk yang awut-awutan (berantakan, tidak rapi) secara visual
ditegaskan dengan rambut acak-acakan dan pakaian yang tidak
dikancingkan dengan baik. Kesan tidak rapi juga dipertegas dengan cara
sosok ini mengenakan sepatu yang tidak sempurna (tumit tidak masuk ke
dalam sepatu, melainkan menginjak bagian belakang sepatu). Perut buncit
yang nampak menonjol menegaskan kebiasaan meminum-minuman keras
yang memiliki dampak membuat perut menjadi buncit, dan menurunkan
elastisitas kulit.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

11. Jhony

Gambar 11. Jhony


(Sumber: Dokumentasi Wayang Kampung Sebelah)

Boneka wayang ini menampilkan sosok laki-laki dengan kulit


hitam, berambut kribo berwarna kuning, berhidung bulan dan berbibir
merah. Tokoh ini mengenakan pakaian berupa kaos tanpa lengan berwarna
pink, dengan garis kuning pada bagian lengkung leher dan lengan, di
bagian dada terdapat gambar berupa lingkaran yang terbagi menjadi empat
bagian. Di bawah lingkaran tersebut terdapat tulisan “Peace Sonsway”.
Pada bagian bawah mengenakan celana dengan motif doreng dengan
paduan warna biru, hitam dan coklat. Berikat pinggang dan tergantung
sebuah belati di pinggangnya. Mengenakan alas kaki berupa sepatu tinggi
yang berwarna hitam dan putih. Tokoh juga ini mengenakan kaca mata
berbingkai coklat pastel dengan bagian kaca berwarna abu-abu.
Mengenakan gelang di kedua lengannya dan mengenakan jam tangan
berwarna kuning di salah satu lengannya. Boneka wayang ini dibuat untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

69

menggambarkan sosok pemuda yang norak, suka ikut-ikutan, dan


berwatak humoris.
Unsur-unsur dalam karya ini berupa: garis, bidang (shape) , dan
warna. Garis yang terdapat dalam karya ini adalah garis dengan raut lurus
dan lengkung. Bidang yang terdapat dalam karya ini berupa bidang
organik, geometris, dan campuran. Warna yang terdapat dalam karya ini
adalah pink (merah muda) untuk pakaian; hitam untuk kulit tubuh; celana
dan sepatu; coklat tua dan biru untuk celana, sepatu dan kulit tubuh;
kuning untuk rambut, garis baju, logam di kepala ikat pinggang, tangkai
kacamata dan jam tangan; serta abu-abu untuk kacamata dan putih untuk
sepatu.
Pengorganisasian unsur dalam bentuk rupa boneka ini
menampilkan keseimbangan (balance). Keseimbangan (balance) dari
aspek bentuk diperoleh posisi kepala, bahu, dan kaki yang hampir
semetris.
Boneka ini menggambarkan seorang pemuda yang norak, kesan
norak ini secara visual ditegaskan dengan warna kulit tubuh yang hitam
legam dengan warna pink pada kaos dan rambut yang berwarna kuning
yang menghasilkan kesan kontras yang ekstrim. Kesan feminin pada warna
pink ini memberi kesan yang tidak sesuai dengan postur tubuh boneka
wayang yang kekar, kesan tidak pas semakin kuat dengan motif celana
loreng yang digunakan, motif loreng yang menyerupai motif celana tentara
yang memberi kesan maskulin. Pencampuran kode berpakaian dalam
sosok boneka wayang ini membuat kesan norak menjadi sangat menonjol.
Jam tangan kuning terang yang dikenakan tidak menghadirkan kesan
tentang seseorang perhatian terhadap waktu, melainkan sekedar aksesoris
yang semakin menambah kesan norak pada boneka ini karena jam tangan
yang dikenakan seperti jam tangan yang dikenakan anak-anak.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

70

12. Cak Dul

Gambar 12. Cak Dul


(Sumber: Dokumentasi Wayang Kampung Sebelah)

Boneka wayang ini menampilkan sosok laki-laki dengan kepala


sedikit mendongak ke atas, berkulit coklat muda, berdahi lebar, dan
rambut yang beruban, bermata biru, berkumis dan berbibir biru. Tokoh ini
Mengenakan kaos bermotif garis-garis putih-hijau muda dengan celana
pendek yang senada. Di pinggangnya dibebat dengan kain jarik yang
dilengkapi dengan ikat pinggang dan terselip sebilah golok di ikat
pinggangnya. Kaki boneka wayang ini dapat digerakkan karena memiliki
sambungan di bagian lutut. Boneka wayang ini dibuat untuk menjadi tokoh
hiburan, boneka ini sebenarnya diadaptasi dari tokoh boneka wayang kulit
Purwa yang bernama “Demang Sarapada” yang tampil saat adegan perang
ampyak dan berperan menghalau binatang buas saat para prajurit dalam
perjalanan.
Unsur-unsur dalam karya ini berupa: garis, bidang (shape), dan
commit to user
warna. Garis yang terdapat dalam karya ini adalah garis dengan raut lurus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

71

dan lengkung. Bidang yang terdapat dalam karya ini berupa bidang
organik. Warna yang terdapat dalam karya ini adalah hijau untuk pakaian;
coklat muda untuk kulit tubuh; coklat tua golok; biru untuk bibir dan
kumis; serta hitam untuk mata dan gigi.
Pengorganisasian unsur dalam bentuk rupa boneka ini
menampilkan kesatuan (unity), keseimbangan (balance). Kesatuan
diperoleh dari warna pakaian yang sama antara baju dan celana.
Keseimbangan (balance) dari aspek bentuk diperoleh posisi lengan bahu,
kaki, yang membentuk komposisi bentuk simetris.
Adaptasi tokoh yang telah ada dalam wayang Purwa dan alih peran
yang dilakukan cukup menarik. Tokoh ini diadaptasi dari wayang kulit
Purwa karena profil wayang yang memiliki kesan lucu, hal ini sesuai
dengan fungsi wayang ini dalam pertunjukan Wayang Kampung Sebelah
yang digunakan untuk menampilkan joget (tarian). Persendian wayang
yang banyak mengandung patahan memungkinkan boneka wayang ini
bergerak dengan lebih variatif dan luwes mengikuti irama musik iringan.
Golok yang terselip sebenarnya tidak “nyambung” dengan peran boneka
ini dalam pertunjukan Wayang Kampung Sebelah. Namun golok ini
menjadi identitas asalnya (dalam wayang kulit Purwa), sebagai penakluk
binatang buas.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

72

13. Minul Darah Tinggi

Gambar 13. Minul Darah Tinggi


(Sumber: Dokumentasi Wayang Kampung Sebelah)

Boneka wayang ini menampilkan sosok wanita dengan kulit


berwarna kuning langsat, dengan rambut berwarna hitam yang diikat ke
atas dengan tali berwarna biru. Bermata lancip, berhidung yang lancip, dan
berdada menonjol. Tokoh ini mengenakan pakaian terusan ketat tanpa
lengan berwarna pink (merah muda) yang mengkuti lekuk tubuhnya
hingga kaki, mengenakan alas kaki berupa sepatu berhak tinggi berwarna
biru. Kaki dan pinggang boneka wayang ini dapat digerakkan karena
memiliki sambungan pada bagian lutut dan perut. Boneka wayang ini
dibuat untuk menjadi tokoh hiburan, wayang ini identik dengan penyanyi
dangdut Inul Daratista yang terkenal.
Unsur-unsur dalam karya ini berupa: garis, bidang (shape), dan
warna. Garis yang terdapat dalam karya ini adalah garis dengan raut lurus
dan lengkung. Bidang yang terdapat dalam karya ini berupa bidang
commit to user
organik. Warna yang terdapat dalam karya ini adalah merah muda untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

73

pakaian; kuning langsat untuk kulit tubuh; hitam untuk rambut, alis, dan
mata; putih untuk mata; biru untuk ikat rambut, ikat pinggang dan sepatu.
Pengorganisasian unsur dalam bentuk rupa boneka ini
menampilkan kesatuan (unity), keseimbangan (balance), aksentuasi,
proporsi. Kesatuan diperoleh dari warna pakaian yang sama antara baju
dan celana. Keseimbangan (balance) dari aspek bentuk diperoleh posisi
lengan bahu, kaki, yang membentuk komposisi bentuk simetris.
Boneka wayang yang identik dengan penyanyi dangdut yang
terkenal akan goyangannya menjadi daya tarik tersendiri. Persendian
wayang yang dibuat dengan banyak patahan membuat boneka wayang ini
dapat bergoyang dengan gerakan yang variatif sesuai dengan fungsinya
sebagai boneka hiburan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

74

14. Koma Ramari-mari

Gambar 14. Koma Ramari-Mari


(Sumber: Dokumentasi Wayang Kampung Sebelah)

Boneka wayang ini menampilkan sosok seorang laki-laki yang


berkulit kemerahan berambut keriting, beralis tebal, berbibir merah,
berjenggot. Tokoh ini mengenakan pakaian berwarna dasar kuning, dipadu
dengan warna oranye pada bagian krah hingga ke bawah dan warna hijau
muda pada bagian samping mulai dari bagian bawah ketiak. Pada bagian
bawah mengenakan celana berwarna hijau muda. Mengenkan alas kaki
berupa sepatu berwarna oranye, dengan hak berwarna merah. Boneka
wayang ini dibuat untuk menjadi tokoh hiburan, wayang ini identik dengan
Rhoma Irama, penyayi dangdut yang terkenal.
Unsur-unsur dalam karya ini berupa: garis, bidang (shape), dan
warna. Garis yang terdapat dalam karya ini adalah garis dengan raut lurus
dan lengkung. Bidang yang terdapat dalam karya ini berupa bidang
commit
organik. Warna yang terdapat to user
dalam karya ini adalah kuning dan hijau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

75

muda untuk pakaian; coklat muda kemerahan untuk kulit tubuh; hitam
untuk rambut, alis, mata, dan kumis; warna putih untuk mata, dan gitar;
merah muda, coklat muda dan biru untuk gitar; merah dan oranye untuk
sepatu.
Pengorganisasian unsur dalam bentuk rupa boneka ini
menampilkan, keseimbangan (balance). Keseimbangan (balance) dari
aspek bentuk diperoleh posisi lengan, bahu, dan kaki yang membentuk
komposisi bentuk simetris.
Boneka wayang ini dibuat untuk dimainkan saat pentas Wayang
Kampung Sebelah memainkan lagu-lagu dalam sesi hiburan, pemilihan
tokoh wayang yang merupakan bentuk ikonis dari penyanyi dangdunt
Rhoma Irama yang telah dikenal hampir seluruh lapisan masyarakat
membuat boneka wayang ini mudah menarik perhatian. Rhoma Irama
yang identik dengan gitarnya juga ditampilkan demikian pada boneka
wayang ini. Boneka wayang ini juga dibuat dengan banyak patahan pada
persendiannya agar dapat digerakkan dengan berbagai variasi gerakan
yang merupakan daya tarik utamanya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

76

D. Tanggapan Penghayat terhadap Bentuk Rupa Wayang Kampung Sebelah

Dalam kritik emosionalisme, nilai sebuah karya seni terletak pada


penghayat karya seni tersebut. Dalam penelitian ini respon atau tanggapan
penghayat merupakan salah satu sumber informasi yang akan mendukung
dalam memahami bentuk rupa Wayang Kampung Sebelah.
Berikut ini dipaparkan tanggapan penghayat yang terdiri dari tanggapan
Dosen Pedalangan, Dosen Seni Rupa, Guru Seni Rupa, Mahasiswa Seni Rupa,
serta penonton Wayang Kampung Sebelah. Adapun aspek yang ditanggapi oleh
penghayat adalah tema karya Wayang Kampung Sebelah, keseimbangan
bentuk, proporsi, warna, serta perwatakan yang ditangkap penghayat pada
karya wayang yang ditanggapi.

1. Tanggapan Dosen Pedalangan


Menurut penghayat boneka “Lurah Somad” kurang baik. Proporsi
tubuhnya berlebihan, hal ini nampak pada perut yang buncit sedangkan
tubuh bagian atas berukuran kecil, warnanya monoton dan boneka wayang
ini lebih condong kepada bentuk karikatur. Boneka wayang ini
menampilkan kesan sosok yang menjengkelkan.
Boneka “Eyang Sidik Wacono” cukup baik. Pakaian yang
dikenakan mencitrakan sosok priyayi, dengan bentuk tubuh wayang
seimbang. bentuk tubuh, raut wajah, dan pakaian yang dikenakannya baik.
Warna-warna dalam boneka ini serasi. Secara keseluruhan, boneka ini
memberi kesan sosok yang berwibawa.
Boneka “Blegoh” menampilkan gaya tubuh (gesture) boneka
wayang yang menantang, tubuh boneka wayang ini cukup seimbang
namun proporsi tubuhnya kurang baik karena ukuran kepala nampak
terlalu besar. Warna-warna dalam boneka wayang ini sudah cukup baik.
Raut wajah boneka wayang ini memberi kesan seseorang yang watak galak
atau keras.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

77

Boneka “Mbah Keblak” yang mengenakan pakaian berwarna


coklat memberi kesan kalem pada boneka wayang yang merupakan
representasi dari manula ini. Proporsi tubuhnya cukup baik, bentuk tubuh
wayang ini nampak kurang seimbang, namun ketidakseimbangan ini dapat
menjadi tanda bahwa boneka wayang ini memang mewakili sosok yang
telah lemah fisiknya karena usianya yang lanjut. Boneka ini menampilkan
kesan seseorang yang berwatak kalem namun lucu.
Boneka “Sodrun” memiliki bentuk seperti karikatur. Warna dalam
boneka ini cukup sesuai dengan warna seragam hansip pada umumnya,
bentuk tubuh wayang ini cukup seimbang, proporsinya kurang baik karena
bagian perut terlalu besar. Boneka ini menampilkan kesan lucu.
Boneka “Parjo” menampilkan warna yang kurang menarik karena
terkesan datar tanpa gelap terang yang dapat memberi kesan volume.
Proporsi tubuhnya kurang baik karena bagian kaki terlalu kecil, bentuk
keseluruhan boneka ini juga kurang seimbang. Raut wajah boneka ini
menampilkan kesan lucu dengan gusinya yang menjorok ke depan.
Boneka “Mbah Modin” sebenarnya cukup menarik karena mampu
menghadirkan kesan lucu dengan jelas dari aspek visualnya terutama
karena bentuk wajah dan mulutnya yang menjorok ke depan dengan gigi
bawah yang menonjol. Proporsi sudah baik, namun bentuk wayang ini
menurut penghayat kurang seimbang, Warna hitam yang dominan pada
boneka ini terkesan datar. Boneka ini menampilkan kesan lucu.
Boneka “Silvy” memiliki komposisi warna yang norak pada
pakaiannya, hal ini cukup sesuai untuk memberi kesan sosok pekerja seks
komersial kelas bawah yang memang cenderung norak dalam berdandan.
Proporsi tubuh cukup baik, keseimbangan bentuk juga cukup baik.
Menurut penghayat wajah boneka ini kurang mencerminkan wajah seorang
wanita. Yang menarik dari boneka ini adalah karena boneka ini memegang
HP sebagai alat komunikasi. Gesture tubuh boneka ini kurang baik,
nampak pada posisi kaki dan tangan yang terlihat kaku. Secara
commit to user
keseluruhan boneka ini menampilkan kesan nakal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

78

Boneka “Karyo” menarik. Pakaian yang dikenakan dengan warna-


warna yang kontras menjadikannya jelas dan menonjol, bentuk tubuh
cukup seimbang, proporsinya juga cukup baik. Yang menjadi daya tarik
dari boneka wayang ini adalah bentuk tubuh, raut wajah, dan warna kulit
dan pakaian yang sangat kontras warnanya. Boneka ini menampilkan
kesan seseorang yang menjengkelkan.
Boneka wayang “Kampret” cukup menarik. Warna dalam boneka
ini cukup beragam, bentuk tubuhnya kurang seimbang, sedangkan
proporsinya sudah baik. Yang paling menonjol dari boneka wayang ini
adalah raut wajahnya. Watak boneka ini sulit terbaca dari bentuk rupanya.
Menurut penghayat, boneka “Jhony” menarik karena bentuknya
menampilkan sosok yang unik dan nyentrik, seperti orang negro dengan
rambut yang diwarnai. Warna dalam boneka wayang ini terkesan ramai,
bentuk tubuh boneka wayang cukup seimbang, proporsi tubuhnya juga
cukup baik. Yang tampak menonjol dari boneka wayang ini adalah bentuk
tubuh, raut wajah, pakaian, dan asesoris yang dikenakan. Kesan tegas
muncul karena kulitnya berwarna hitam legam.
Boneka “Cak Dul” menarik karena memakai sistem angkrok.
Warna dalam boneka ini cukup baik dengan dominasi garis putih-hijau
muda pada pakaian, bentuk tubuh wayang cukup seimbang, proporsinya
juga cukup baik. Yang menonjol dari boneka wayang ini adalah bentuk
tubuhnya yang terkesan luwes, raut wajahnya yang terkesan lucu, dan
warna pakaian yang dikenakannya.
Boneka “Minul Darah Tinggi” juga menarik karena memakai
sistem angkrok. Warna dalam boneka ini kurang baik, karena terkesan
monoton. Bentuk tubuh wayang cukup seimbang, proporsinya juga cukup
baik. Yang nampak menonjol dari boneka wayang ini adalah bentuk tubuh
dan tata rambutnya.
Boneka “Koma Ramari-mari” menarik karena memakai sistem
angkrok. Warna dalam boneka ini cukup baik dengan penggunaan warna
commityang
kuning dan hijau pada pakaian to user
memberi kesan “ramai” tapi tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

79

terlalu norak karena memiliki garis batas warna yang terpola. Bentuk
tubuh wayang cukup seimbang, proporsi tubuhnya baik. Yang menonjol
dari boneka wayang ini adalah bentuk tubuhnya.
Menurut penghayat, tema yang diangkat dalam pertunjukan
Wayang Kampung Sebelah yang secara langsung memengaruhi bentuk
rupa boneka wayangnya cukup menarik mengingat setting kehidupan
kampung lebih dekat dengan masyarakat banyak, dari aspek komunikasi,
bentuk rupa wayang yang semuanya termasuk dalam bentuk wayang
humor seperti kelompok wayang Punakawan menjadi daya tarik tersendiri
bagi masyarakat awam yang belum akrab dengan pertunjukan wayang
kulit. Dengan bentuk rupa wayang semacam ini masyarakat cepat tertarik
terhadap pertunjukan wayang yang dipentaskan.

2. Tanggapan Dosen Seni Rupa


Menurut penghayat, boneka “Lurah Somad” menarik. Warna
dalam boneka ini yang terdiri dari warna kulit dan pakaian seragam cukup
baik, bentuk tubuh wayang kurang seimbang. Proporsi tubuh boneka
wayang ini kurang baik karena perbandingan ukuran bahu, dan dada
terlalu kontras dengan ukuran perut dan pantat. Boneka ini menampilkan
kesan seseorang yang lucu namun juga galak.
Boneka “Eyang Sidik Wacono” cukup baik. Bentuknya
menampilkan sosok yang terkesan berwibawa. Warna hitam pada pakaian
boneka wayang ini terkesan datar karena hue-nya sama. Bentuk tubuh
wayang kurang seimbang karena pinggul dan pantat terlalu besar, proporsi
tubuhnya kurang baik. Boneka ini menampilkan kesan seseorang yang
tegas.
Boneka “Blegoh” kurang menarik. Warna-warna yang digunakan
dalam boneka ini tidak cukup baik, terkesan mentah dan kurang harmonis.
Keseimbangan bentuk boneka wayang ini kurang, namun proposi
tubuhnya cukup baik. Boneka wayang ini memiliki kesan gerak karena
posisi kakinya yang seolahcommit to user
melangkah, namun gerak tubuh ini tidak sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

80

dengan draperi atau arah lipatan kain. Boneka wayang ini menampilkan
sosok yang galak.
Boneka “Mbah Keblak” menarik karena warna dalam boneka ini
cukup harmonis. Bentuk tubuh boneka wayang ini kurang seimbang
karena posisi bungkuk boneka wayang ini nampak janggal, proporsi
tubuhnya juga kurang baik karena kepala boneka wayang ini terlalu besar.
Boneka wayang ini menampilkan sosok yang lucu.
Boneka “Sodrun” kurang menarik karena dalam boneka ini
warnanya terkesan datar. Bentuk tubuh wayang cukup seimbang, namun
proporsinya cukup baik. Boneka wayang ini menampilkan kesan sosok
yang memelas.
Boneka “Parjo” kurang menarik karena dalam boneka ini warnanya
terkesan datar. Bentuk tubuh wayang cukup seimbang, namun proporsinya
kurang baik. Boneka wayang ini menampilkan kesan seseorang yang usil.
Boneka “Mbah Modin” secara keseluruhan cukup baik. Bentuk
tubuh boneka ini wayang kurang seimbang, namun proporsi tubuhnya
cukup baik. Gesture boneka wayang cukup membantu membuat boneka
ini menarik secara visual meski warna boneka ini terkesan monoton dan
datar. Boneka wayang ini menampilkan sosok yang berwibawa.
Boneka “Silvy” kurang menarik karena dalam boneka ini warnanya
terkesan datar. Bentuk tubuh wayang ini cukup seimbang, namun proporsi
boneka ini kurang baik. Boneka ini memiliki gesture yang kurang luwes.
Boneka wayang ini menampilkan sosok yang norak.
Boneka “Karyo” menarik karena warna dalam boneka ini cukup
harmonis. Bentuk tubuh ini cukup seimbang, proporsinya juga cukup baik.
Yang menonjol dari boneka wayang ini adalah bentuk tubuh, raut wajah
dan pakaian yang dikenakan. Boneka wayang ini menampilkan sosok yang
lucu.
Boneka “Kampret” cukup menarik. Bentuk tubuh boneka wayang
kurang seimbang, namun proporsi dan warna boneka wayang ini cukup
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

81

baik. Boneka wayang ini secara keseluruhan mengesankan seorang


pemuda yang “kampungan”.
Boneka “Jhony” menarik. Bentuk tubuh wayang kurang seimbang,
proporsi tubuh wayang juga kurang baik karena lehernya yang pendek dan
ukuran pantat yang telalu besar. Warna dalam boneka wayang ini terkesan
“ramai”. Boneka wayang ini menampilkan sosok yang lucu.
Boneka “Cak Dul” menarik. Bentuk tubuh wayang cukup
seimbang, proporsi dan warna-warna dalam boneka ini cukup baik.
Boneka “Minul Darah Tinggi” kurang menarik karena warna
dalam boneka ini terkesan datar. Bentuk tubuh wayang ini kurang
seimbang, proporsi tubuhnya juga kurang seimbang.
Menurut penghayat, boneka “Koma Ramari-mari” kurang menarik
karena warna dalam boneka ini terkesan datar. Bentuk tubuh wayang ini
kurang seimbang, proporsinya juga kurang baik.
Penghayat memberi catatan tambahan terhadap wujud visual
boneka Wayang Kampung Sebelah yaitu warna kulit boneka yang hampir
seluruhnya nampak kurang natural. Sedangkan dari aspek tema, Wayang
Kampung Sebelah sangat menarik karena menyuguhkan sesuatu yang
segar dan berbeda. Bentuk rupa boneka Wayang Kampung Sebelah juga
sudah sesuai dengan tema yang diangkat.

3. Tanggapan guru seni rupa


Menurut penghayat, boneka “Lurah Somad” menarik karena
boneka ini berbeda dengan tokoh lainnya yang cenderung seperti karikatur
dan warna yang digunakan dalam boneka ini didominasi oleh warna biru
yang mengesankan kewibawaan. Keseimbangan bentuk dan proporsi tubuh
boneka ini kurang baik, selain karena ukuran wajah dan kaki yang tidak
seimbang, gaya karikaturalnya yang tidak sesuai dengan tokoh-tokoh
lainnya. Boneka wayang ini menampilkan sosok yang berwibawa.
Boneka “Eyang Sidik Wacono” menarik. Bentuk boneka ini
commit
mengesankan karakter sosok yangto bijaksana.
user Selain itu, jika dilihat dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

82

wujud rupanya karakter yang muncul dari boneka ini adalah kewibawaan.
Komposisi warna yang digunakan sudah sesuai karena warna-warna yang
digunakan adalah warna-warna yang cenderung berat. Hal itu tepat atau
sesuai dengan karakter yang dimunculkannya, yakni orang tua yang
berilmu dan berwibawa. Dari segi keseimbangan bentuk dan proporsi,
boneka wayang ini cukup baik.
Boneka “Blegoh” secara jelas memunculkan karakter orang yang
sedang marah melalui raut wajah dan gesture-nya. Komposisi warna sudah
sesuai karena sudah mendukung karakter pakaian orang-orang kampung
khususnya wanita kampung. Menurut penghayat, boneka wayang ini
kurang memiliki keseimbangan bentuk karena gerak kakinya terkesan
janggal, meski proporsi tubuhnya sudah baik. Boneka wayang ini
menampilkan sosok yang galak.
Boneka “Mbah Keblak” memiliki bentuk yang sesuai dengan
karakter yang bentuk seorang nenek-nenek, sehingga karakter yang
ditimbulkan cepat tertangkap secara visual. Warna-warna yang dipakai
pada boneka ini sudah sesuai untuk menggambarkan seorang nenek yang
berwatak lugas, yakni warna-warna gelap. Keseimbangan bentuk boneka
wayang ini kurang baik, proporsi tubuh boneka wayang ini juga kurang
baik karena ukuran kepalanya terlalu besar. Boneka wayang ini
menampilkan sosok yang lugas.
Boneka “Sodrun” memiliki bentuk yang sesuai dengan karakter
seorang hansip. Komposisi warna yang digunakan juga sudah sesuai
dengan wataknya. Namun, menurut penghayat, segi keseimbangan bentuk
dan proporsi tubuh boneka wayang ini kurang sesuai karena bagian tubuh
boneka khususnya bahu dan kaki mengganggu sehingga menjadi tidak
berimbang.. Boneka wayang ini menampilkan sosok yang berwibawa.
Boneka “Parjo” cukup menarik. Komposisi warna pada boneka
juga sudah baik dalam arti sudah sesuai dengan warna seragam hansip
yang sebenarnya. Sedangkan dari aspek keseimbangan bentuk, penghayat
menyatakan bahwa boneka commit to usersesuai karena bagian bahu tidak
ini tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

83

berimbang (bagian depan), proporsi tubuh boneka ini juga kurang baik.
Boneka wayang ini menampilkan sosok yang galak.
Boneka “Mbah Modin” secara keseluruhan sudah sesaui
menggambarkan seorang modin atau pemimpin ritual-ritual keagamaan di
kampung. Hal tersebut tercermin dari komposisi warna yang digunakan
yang cenderung didominasi warna tua. Mengenai keseimbangan bentuk,
boneka ini juga cukup baik karena pembagian bagian tubuh boneka enak
dilihat (perut maju dan kedua tangan di belakang tubuh), dan apabila
dilihat secara keseluruhan, proporsi tubuh boneka ini sudah sesuai (bagian
kepala, tubuh, kaki dan tangan sudah baik). Boneka wayang ini
menampilkan sosok yang lucu.
Boneka “Silvy” memiliki warna yang mencolok dan terkesan genit.
Komposisi warna sudah baik, keseimbangan bentuk dan proporsi tubuh
juga cukup baik. Secara keseluruhan boneka wayang ini sudah baik, hanya
bagian wajah kurang mengesankan wajah seorang wanita. Boneka wayang
ini menampilkan sosok yang lucu.
Boneka “Karyo” sangat menggambarkan sosok orang kampung
yang miskin, hal ini nampak pada warna pakaian yang mencolok dan
terkesan “norak” karena mungkin disebabkan oleh keterbatasan pakaian.
Bentuk tubuh ini wayang cukup seimbang, proporsinya juga cukup baik.
Boneka wayang ini menampilkan sosok yang lucu.
Boneka “Kampret” memiliki bentuk yang baik dalam
menggambarkan seorang pemuda kampung. Warna yang terdapat dalam
boneka ini cukup baik namun sedikit terganggu karena warna saku baju
yang warnanya tidak sesuai dan terkesan “tidak nyambung” . Bentuk tubuh
wayang cukup seimbang, proporsi tubuhnya juga cukup baik. Gesture
wayang ini cukup baik dan terkesan dinamis. Boneka wayang ini
menampilkan sosok yang lucu.
Menurut penghayat, boneka “Jhony” menampilkan bentuk sosok
pemuda yang unik, dengan warna kontras yang ekstrim antara kulit,
commitituto cepat
rambut, dan pakaian. Semua user menarik perhatian mata yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

84

melihatnya. Bentuk tubuh wayang ini cukup seimbang, proporsinya juga


cukup baik. Boneka wayang ini menampilkan sosok yang galak
Boneka “Cak Dul” menampilkan warna yang terkesan sejuk, yaitu
hijau yang dipadu putih yang merupakan warna pakaian yang dikenakan.
Bentuk tubuh wayang cukup seimbang (cenderung simetris), perbandingan
kepala, tubuh, tangan dan kaki baik.
Boneka “Minul Darah Tinggi” menampilkan warna yang mencolok
sehingga menarik perhatian, bentuk tubuh wayang cukup seimbang.
Perbandingan kepala, tubuh, tangan dan kaki cukup baik.
Boneka “Koma Ramari-mari” memiliki warna yang dinamis,
bentuk tubuh wayang cukup seimbang, namun proporsi tubuh perlu
mendapat perhatian karena kakinya nampak terlalu pendek.
Penghayat menilai boneka tema karya Wayang Kampung Sebelah
cukup menarik dan merupakan sebuah kreativitas yang pantas diapresiasi.
Boneka wayangnya secara keseluruhan mampu menggambarkan sosok-
sosok masyarakat kampung. Penghayat juga berpandangan bahwa
eksplorasi pada bentuk rupa boneka wayang yang cenderung ekspresif
merupakan suatu langkah yang berani dalam upaya pengembangan
kesenian wayang kulit.

4. Tanggapan Mahasiswa Seni Rupa


Menurut penghayat, boneka “Lurah Somad” menampilkan warna
kurang baik, sedikit terganggu karena warna wajah terlalu gelap, bentuk
tubuh wayang kurang seimbang, proporsi tubuhnya juga kurang baik
karena ukuran pantat terlalu besar. Boneka wayang ini menampilkan sosok
yang berwibawa.
Boneka “Eyang Sidik Wacono” menampilkan warna yang
monoton dan datar. Bentuk tubuh wayang ini kurang seimbang karena
posisi bungkuknya yang janggal, proporsi tubuhnya juga kurang baik.
Boneka wayang ini menampilkan sosok yang berwibawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

85

Boneka “Blegoh” menampilkan warna yang cukup baik, bentuk


tubuh wayang juga cukup seimbang, proporsi tubuhnya juga cukup baik.
Yang menonjol dari boneka wayang ini adalah raut wajahnya yang
memberi kesan seseorang yang sedang marah dan benda yang dipegang
(ulegan). Boneka wayang ini menampilkan sosok yang galak.
Boneka “Mbah Keblak” cukup baik dalam menggambarkan sosok
wanita tua. Warna dalam boneka ini cukup baik dan sesuai dengan sosok
manula yang ingin ditampilkan, namun sedikit terganggu karena warna
saku baju yang warnanya tidak sesuai. Bentuk tubuh boneka wayang
kurang seimbang,proporsinya juga kurang baik. Boneka wayang ini
menampilkan sosok yang memelas.
Boneka “Sodrun” cukup jelas menampilkan sosok hansip. Warna
dalam boneka ini kurang baik, sedikit terganggu karena warna wajah
terlalu gelap. Bentuk tubuh wayang cukup seimbang, namun proporsi
tubuhnya kurang baik. Boneka wayang ini menampilkan kesan sosok yang
bodoh.
Boneka “Parjo” juga menampilkan sosok hansip dengan baik,
karena seragam yang dikenakannya dengan jelas menunjukkan profesinya
tersebut. Bentuk tubuh wayang ini cukup seimbang, proporsinya juga
cukup baik. Bentuk tubuh dan raut wajah boneka ini yang menghadirkan
kesan lucu.
Boneka “Mbah Modin” sudah sesuai menggambarkan karakter
yang ingin ditampilkan yaitu seorang Modin. Bentuk tubuh boneka
wayang ini juga cukup seimbang, proporsi tubuhnya cukup baik. Yang
tampak menarik dari boneka wayang ini adalah raut wajahnya yang
memiliki rahang bawah dan mulut yang panjang dan menjorok ke depan.
Boneka wayang ini menampilkan sosok yang lucu.
Boneka “Silvy” menampilkan warna yang kurang baik karena
warna baju terlalu kuat. Bentuk tubuh boneka wayang ini cukup seimbang,
proporsinya juga cukup baik. Pakaian yang dikenakan nampak mencolok
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

86

dan handphone yang dipegang oleh boneka wayang ini cukup menarik
perhatian. Boneka wayang ini menampilkan sosok yang centil.
Boneka “Karyo” menggambarkan sosok orang kampung miskin.
Warna dalam boneka ii cukup baik namun sedikit terganggu karena warna
merah di lengan kaos dan bagian bawah kurang sesuai. Bentuk tubuh
boneka wayang ini cukup seimbang, proporsi tubuhnya juga cukup baik.
Boneka wayang ini menampilkan sosok yang memelas.
Boneka “Kampret” cukup baik dalam menghadirkan sosok
pemuda kampung. Warna pakaian sudah cukup variatif namun sedikit
terganggu karena warna saku baju yang warnanya tidak sesuai, bentuk
tubuh boneka wayang ini cukup seimbang, proporsinya juga cukup baik.
Boneka wayang ini menampilkan sosok yang santai.
Boneka “Jhony” menghadirkan warna kontras yang ekstrim antara
kulit, rambut, dan pakaian. Bentuk tubuh wayang ini cukup seimbang,
namun proporsinya kurang baik karena ukuran pantat yang terlalu besar.
Yang menonjol dari boneka wayang ini adalah pakaian dan akesesoris
yang dikenakannya. Boneka wayang ini menampilkan sosok yang lucu.
Boneka “Cak Dul” menarik karena memakai sistem angkrok.
Warna dalam boneka ini kurang baik karena warna kulit terlalu gelap.
Bentuk tubuh wayang cukup seimbang, dan proporsinya cukup baik.
Boneka “Minul Darah Tinggi” menarik karena memakai sistem
angkrok dan menggambarkan sosok biduan yang menarik. Warna dalam
boneka ini kurang variatif. Bentuk tubuh wayang cukup seimbang,
proporsi tubuhnya juga cukup baik.
Boneka “Koma Ramari-mari” menarik karena memakai sistem
angkrok. Warna boneka ini cenderung norak, bentuk tubuh wayang cukup
seimbang, proporsi tubuh boneka wayang ini juga cukup baik.
Secara keseluruhan bentuk rupa Wayang Kampung Sebelah
menarik untuk kalangan generasi muda yang kurang mengenal dan
menyukai pertunjukan wayang kulit. Terlepas dari kekuatan narasi dalang
yang membawakan cerita commit
(lakon), to user rupa Wayang Kampung Sebelah
bentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

87

yang menampilkan sosok-sosok masyarakat kampung menjadi angin segar


dalam dunia wayang kulit. Wayang Kampung Sebelah berpotensi
menembus dunia anak muda yang cenderung sulit menerima dan mencerna
idiom-idiom yang terdapat dalam wayang Purwa.

5. Tanggapan Penonton Serius


Menurut penghayat, boneka “Lurah Somad” menampilkan sosok
seprti kartun. Warna dalam boneka ini cukup baik, bentuk tubuh wayang
kurang seimbang karena ukuran perutnya terlalu besar, proporsinya juga
kurang baik. Yang menonjol dari boneka wayang ini adalah pakaian yang
dikenakan yang berwarna tunggal dan menjadi dominan. Boneka wayang
ini menampilkan sosok yang galak.
Boneka “Eyang Sidik Wacono” kurang baik dalam menampilkan
sosok orang tua karena kulit boneka wayang ini kurang keriput, bentuk
tubuh wayang kurang seimbang, proporsinya juga kurang baik karena
pinggul dan pantat terlalu besar. Boneka wayang ini menampilkan sosok
yang berwibawa.
Boneka “Blegoh” memiliki gesture yang menarik dan dinamis.
Warna dalam boneka ini cukup bervariasi. Boneka wayang ini kurang
memiliki keseimbangan bentuk, proporsinya juga kurang baik. Raut wajah
boneka wayang ini memberi kesan orang yang sedang berteriak. Boneka
wayang ini menampilkan sosok yang galak.
Boneka “Mbah Keblak” memiliki bebtuk rupa yang cukup baik,
namun untuk sosok orang tua, kulit boneka wayang ini kurang keriput.
Bentuk tubuh wayang kurang seimbang, proporsi tubuh wayang ini juga
kurang baik karena ukuran kepala yang terlalu besar. Boneka wayang ini
menampilkan sosok yang berwibawa.
Boneka “Sodrun” memiliki warna cukup baik. Bentuk tubuh
wayang kurang seimbang, proporsi tubuhnya juga kurang baik karena
leher boneka wayang ini kurang panjang, mata dan hidungnya juga
commit
nampak terlalu besar. Boneka to user
wayang ini menampilkan sosok yang lucu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

88

Boneka “Parjo” ini cukup baik dari aspek bentuk, sudah sesuai
menggambarkan sosok hansip lengkap dengam seragamnya yang berwarna
hijau. Tubuh boneka wayang ini juga sudah cukup seimbang, namun
proporsinya kurang baik karena bagian kaki terlalu kecil. Raut wajah
wayang ini menghadirkan kesan lucu.
Boneka “Mbah Modin” kurang menarik. Warna dalam boneka ini
cukup baik, namun untuk sosok orang tua, kulit boneka wayang ini kurang
keriput. Bentuk tubuh wayang kurang seimbang, proporsinya juga kurang
baik karena pinggul dan pantat terlalu besar. Boneka wayang ini
menampilkan sosok yang lucu.
Boneka “Silvy” menampilkan warna yang kurang baik, bentuk
tubuh wayang ini juga kurang seimbang dengan gesture yang kurang
luwes, proporsi tubuhnya juga kurang baik. Boneka wayang ini
menampilkan sosok yang galak.
Boneka “Karyo” secara umum cukup baik. Warna dalam boneka
ini cukup baik, bentuk tubuh wayang kurang seimbang, proporsinya
kurang baik karena bagian kepala nampak terlalu besar. Boneka wayang
ini menampilkan sosok yang galak.
Boneka “Kampret” kurang menarik. Warna dalam boneka wayang
ini kurang baik. Bentuk boneka ini kurang seimbang, proporsi tubuh
boneka wayang ini juga kurang baik karena badannya kurus dan perutnya
gendut. Boneka wayang ini menampilkan sosok yang pemarah.
Boneka “Jhony” kurang menarik. Warna dalam boneka ini kurang
baik karena terkesan “tidak nyambung” (tidak memiliki kesatuan warna).
Bentuk boneka wayang ini kurang seimbang, proporsi tubuh boneka
wayang ini juga kurang baik karena lehernya terlalu pendek. Boneka ini
memberi kesan lucu.
Boneka “Cak Dul” kurang menarik. Warna dalam boneka ini cukup
baik. Bentuknya cukup seimbang karena cenderung simetris, proporsi
tubuhnya juga cukup baik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

89

Boneka “Minul Darah Tinggi” menarik. Warna dalam boneka ini


cukup baik dan sesuai dengan sosok penyanyi yang biasanya berpakaian
mencolok. Bentuknya cukup seimbang, proporsi tubuhnya juga cukup
baik..
Boneka “Koma Ramari-mari” menarik. Warna dalam boneka ini
cukup baik, bentuk tubuh wayang cukup seimbang, proporsi tubuh boneka
wayang ini juga cukup baik.
Penghayat menyatakan bahwa dengan membuat boneka wayang
yang secara spesifik mewakili masyarakat kampung tentunya akan
memudahkan dalam penyampaian pesan. Karena menurut penghayat
Wayang Kampung Sebelah sarat dengan kritik sosial, secara keseluruhan
idiom-idiom visual yang tercermin dalam boneka wayang cukup mampu
menjadi jalan untuk tujuan tersebut.
Berbagai tanggapan penghayat di atas dapat diringkas seperti yang
tersaji dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1. Tanggapan Penghayat

TANGGAPAN PENGHAYAT

BONEKA Aspek yang Dosen Dosen Seni Guru Seni Mahasiswa Penonton
WAYANG Ditanggapi Pedalangan Rupa Rupa Seni Rupa Serius

1. Lurah Somad Keseimbangan Kurang Kurang Kurang Kurang Kurang


Proporsi Kurang Kurang Kurang Kurang Kurang
Warna Kurang Baik Baik Baik Baik
Perwatakan Menjengkelkan Lucu, Galak Berwibawa Berwibawa Galak

2. Eyang Keseimbangan Baik Kurang Baik Kurang Baik


Sidik Wacono Proporsi Baik Kurang Baik Kurang Baik
Warna Baik Kurang Baik Kurang baik Baik
Perwatakan Berwibawa Tegas Berwibawa Berwibawa Berwibawa
3. Blegoh Keseimbangan Baik Kurang Kurang Baik Baik
Proporsi Kurang Baik Kurang Baik Kurang
Warna Baik Kurang Baik Baik Kurang
Perwatakan Galak, Cerewet Galak Galak Galak Galak
4. Mbah Keblak Keseimbangan Kurang Kurang Kurang Kurang Kurang
Proporsi Baik Kurang Kurang Kurang Baik
commit to user
Warna Baik Baik Baik Kurang Baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

90

Perwatakan Lucu, Kalem Lucu Lugas Memelas Berwibawa


5. Sodrun Keseimbangan Baik Baik Kurang Baik Baik
Proporsi Kurang Baik Kurang Kurang Kurang
Warna Baik Baik Baik Kurang Baik
Perwatakan Lucu Memelas Berwibawa Bodoh Lucu
6. Parjo Keseimbangan Kurang Baik Kurang Baik Baik
Proporsi Kurang Kurang Kurang Baik Kurang
Warna Kurang Baik Baik Baik Kurang
Perwatakan Lucu Usil Galak Lucu Lucu
7. Mbah Modin Keseimbangan Kurang Kurang Baik Baik Kurang
Proporsi Baik Baik Baik Baik Kurang
Warna Kurang Baik Baik Baik Kurang
Perwatakan Lucu Berwibawa Lucu Lucu Lucu
8. Silvy Keseimbangan Baik Baik Baik Baik Kurang
Proporsi Baik Kurang Baik Baik Kurang
Warna Baik Kurang Baik Kurang Kurang
Perwatakan Nakal Norak Lucu Centil Galak
9. Karyo Keseimbangan Baik Baik Baik Baik Kurang
Proporsi Baik Baik Baik Baik Kurang
Warna Baik Baik Baik Kurang Kurang
Perwatakan Lucu, Lucu Lucu Memelas Galak
Menjengkelkan
10. Kampret Keseimbangan Kurang Kurang Baik Baik Kurang
Proporsi Baik Kurang Baik Baik Kurang
Warna Baik Baik Baik Kurang Kurang
Perwatakan Tidak Jelas Kampungan Lucu Santai Pemarah
11. Jhony Keseimbangan Baik Baik Baik Baik Kurang
Proporsi Baik Kurang Baik Baik Kurang
Warna Baik Baik Baik Baik Kurang
Perwatakan Tegas Lucu Galak Lucu Lucu
12. Cak Dul Keseimbangan Baik Baik Baik Baik Baik
Proporsi Baik Baik Baik Baik Baik
Warna Baik Baik Baik Kurang Baik
Perwatakan - - - - -
13. Minul Keseimbangan Baik Kurang Baik Baik Baik
Darah Tinggi Proporsi Baik Kurang Baik Baik Baik
Warna Baik Kurang Baik Kurang Baik
Perwatakan - - - - -
14. Koma Keseimbangan Baik Kurang Baik Baik Baik
Ramari-mari Proporsi Baik Kurang Baik Baik Baik
Warna Baik Kurang Baik Baik Baik
Perwatakan - - - - -

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

91

E. Wayang Kampung Sebelah sebagai Wayang Kreasi Baru

1. Wayang Kampung Sebelah: Mengatasi Masalah Komunikasi


Sejarah muculnya wayang kampung ini tidak dapat dilepaskan dari
keinginan untuk membuat pertunjukan wayang menjadi lebih komunikatif.
Keinginan membangun komunikasi adalah motivasi utama dalam penciptaan
Wayang Kampung Sebelah, yang pada akhirnya juga memengaruhi boneka
wayang yang diciptakan karena merupakan bagian dari konsep pertunjukan
wayang yang dirancang penggagasnya.
Sebagai dalang wayang kulit Purwa yang telah aktif mendalang sejak
masa remaja, Ki Jlitheng Suparman mengetahui secara mendalam berbagai
respon masyarakat terhadap pertunjukan wayang kulit Purwa yang
diungkapkannya dengan pernyataan bahwa wayang kulit Purwa telah
kehilangan fungsi tuturnya. Hilangnya fungsi tutur ini bersumber dari dalang
yang kurang kreatif dan idiom-idiom yang dipakai dalam pertunjukan wayang
kulit Purwa sendiri yang sudah mulai tidak relevan dengan pemahaman
masyarakat saat ini. Alasan yang terakhir ini dapat dibaca sebagai
konsekuensi dari perubahan masyarakat.
Pergeseran dari masyarakat feodal ke masyarakat yang demokratis
telah menimbulkan perubahan kebudayaan yang sangat besar. Keterikatan
gagasan, pola perilaku yang bersifat feodal lalu bergeser dengan paham-
paham yang lebih terbuka. Masyarakat yang semula bersifat kolektif
(homogen) berangsur pada pola yang mengarah keindividuan, dari pola
hidup yang bersifat seremonial kini secara berangsur menuju pola hidup yang
lebih praktis. Persepsi terhadap lingkungan yang bersumberkan mitos
kemudian bergeser pada asumsi yang didasarkan atas fakta (kenyataan).
Singkatnya adalah bahwa pergeseran yang tengah terjadi pada dasarnya
merupakan proses rasionalisasi kebudayaan yang mengarah pada
penyesuaian-penyesuaian (Subiyantoro, 2011: 47).
Penyesuaian adalah kata kunci dalam upaya mempertahankan sebuah
bentuk kesenian di tengah perubahan
commit to masyarakat.
user Penyesuaian-penyesuaian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

92

ini merupakan tanggung jawab seniman sebagai individu sudah semestinya


memiliki sifat kreatif dan inovatif. Dengan didukung oleh kepekaan dalam
membaca kondisi masyarakat, inovasi-inovasi yang dilakukan oleh seniman
akan lebih terarah dan selaras dengan kebutuhan masyarakatnya yang pada
akhirnya menjadi jalan bagi diterimanya sebuah karya seni dalam masyarakat.
Dalam wayang kreasi baru ini inovasi yang dilakukan berupa; (1)
Cerita (lakon) yang dimainkan, yang sudah tidak lagi bersumber pada dua
epos besar cerita wayang (Mahabharata dan Ramayana) melainkan cerita-
cerita yang diangkat dari peristiwa kekinian dengan setting di kampung
dengan berbagai karakter manusianya, (2) Bentuk rupa boneka wayang yang
digunakan yang merupakan bentuk-bentuk manusia yang dideformasi
sedemikian rupa dan mencerminkan manusia-manusia kampung pada
umumnya dengan berbagai profesi dan status sosialnya, (3) Iringan musik
yang mengadopsi berbagai aliran musik seperti dangdut, jazz, bossas, pop,
rock, sebagai sebuah upaya penyegaran terhadap pertunjukan wayang secara
keseluruhan.
Semenjak awal kelahirannya, Wayang Kampung Sebelah telah
memikul konsep sebagai wayang yang mengisahkan kehidupan orang
kampung. Hal ini tentu bukan tanpa pertimbangan, audiens yang nantinya
akan menjadi penonton wayang kampung sebelah tentu menjadi alasan yang
kuat untuk mendasari pembentukan konsep awal pertunjukan Wayang
Kampung Sebelah. Audiens bagi Ki Jlitheng Suparman tidak lain adalah
masyarakat kampung itu sendiri. Pendapat Ki Jlitheng Suparman mengenai
kurang dapat dipahaminya idiom-idiom wayang kulit Purwa oleh masyarakat
secara implisit dapat menggiring kita untuk memahami bahwa Ki Jlitheng
Suparman berbicara dengan menggunakan perspektif pemahaman orang
kampung (awam).
Upaya penyegaran yang dilakukan seniman pada dasarnya adalah
usaha untuk mengatasi masalah kesenjangan komunikasi antara suatubentuk
kesenian dengan masyarakatnya (dalam hal ini adalah pertunjukan wayang
kulit Purwa). Wayang kulitcommit to user
Purwa, yang merupakan salah satu bentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

93

kesenian tradisi tentu memiliki akar dalam masyarakat (khususnya Jawa),


namun demikian seniman merasakan adanya disfungsi pertunjukan wayang
kulit Purwa sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkait
dengan segala macam persoalan kehidupan yang sangat beragam. Untuk
itulah perlu adanya perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian.
Perubahan atau perombakan yang dilakukan dalam kesenian tradisi
sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar karena bagaimanapun kesenian itu
(baik tradisi maupun non-tradisi/ modern) merupakan suatu hasil pemikiran
manusia yang terus berkembang. Semakin kompleksnya kehidupan
masyarakat membuat kebutuhan terhadap penyesuaian-penyesuaian dalam
kesenian menjadi sesuatu yang rasional. Dalam hal ini Subiyantoro (2011:
42) menjelaskan bahwa sesungguhnya esensi seni rupa tradisi bukanlah seni
yang purna atau seni yang sama sekali tidak berubah atau dalam pengertian
mati (statis). Seni tradisi pada dasarnya adalah seni yang tidak statis, karena
keberadaannya secara faktual dari generasi ke generasi selalu mengalami
tahapan penyempurnaan yang mewakili zamannya.
Wayang Kampung Sebelah dapat dipandang sebagai salah satu contoh
nyata dari berbagai macam bentuk perubahan kesenian tradisi. Adapun
pemicu dari perubahan dalam hal ini (munculnya Wayang Kampung Sebelah)
lebih condong kepada tekanan dari dalam masyarakat sendiri (internal forces)
yang meliputi pergeseran ide-ide yang menyertai pergantian sebuah generasi.
Keadaan masyarakat penghayat seni dan tingkat pemahaman mereka
terhadap kesenian ditangkap dengan cermat oleh Ki Jlitheng Suparman
sebagai seniman yang memiliki keyakinan bahwa seni harusnya tidak terlepas
dari kehidupan yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat. Seni dengan
daya komunikasinya yang khas harus mampu menjadi wahana dalam upaya
memahami berbagai fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Terkait fungsi seni sebagai media komunikasi, Leo Tolstoy dalam
Soedarso (2006: 124) menyatakan bahwa seni adalah sarana komunikasi bagi
emosi. Komunikasi selalu memerlukan adanya komunikator (seniman) dan
commit
komunikan (masyarakat), maka to user
seni adalah penghubung antara seniman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

94

dengan masyarakatnya. Artinya, apapun yang disampaikan oleh seniman


harus bisa ditangkap dan dimengerti oleh masyarakat penerimanya.
Berpijak pada pandangan inilah maka Wayang Kampung Sebelah
dapat dipandang sebagai sebuah karya seni yang tidak hanya merupakan
perwujudan kreativitas, namun juga sebagai jalan keluar untuk membangun
komunikasi antara seniman dengan penghayat/ penontonnya.

2. Masyarakat Kampung Sebagai Tema Karya


Wayang Kampung Sebelah sebagai sebuah wayang kreasi baru
mengambil sudut pandang masyarakat bawah (rakyat jelata) dalam
menyampaikan berbagai topik yang diangkat dalam cerita (lakon) yang
dimainkan.
Karya-karya boneka Wayang Kampung Sebelah menurut status
sosialnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: tokoh pemimpin (Lurah
Somad), tokoh sesepuh (Eyang Sidik Wacono), tokoh pemimpin ritual
keagamaan (Mbah Modin), tokoh pelindung masyarakat (Sodrun dan Parjo),
tokoh ayah (Karyo), tokoh ibu (Blegoh dan Mbah Keblak), tokoh wanita
Pekerja Seks Komersial (Silvy), tokoh pemuda (Kampret dan Jhony), serta
tokoh-tokoh yang berfungsi sebagai tokoh hiburan yang bersifat netral dari
alur cerita wayang kampung sebelah (Cak Dul, Minul Darah Tinggi, dan
Koma Ramari-mari). Adapun boneka Wayang Kampung Sebelah secara
umum memiliki wujud yang sederhana, baik dari aspek bentuk maupun
pewarnaan serta penggarapannya cenderung ekspresif. Penonjolan watak
wayang secara visual dicapai dengan aksentuasi pada bagian wajah, pakaian
yang dikenakan, serta gesture wayang.
Tokoh yang dihadirkan adalah masyarakat manusia, sedangkan
wayang kulit Purwa memiliki tokoh-tokoh yang selain manusia juga terdiri
dari dewa dan raksasa. Hazim Amir, (1997: 59) menjelaskan bahwa cerita
wayang kulit Purwa yang bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana
membuat wayang kulit Purwa memiliki tokoh-tokoh atau pelaku-pelaku yang
berasal dari tiga dunia: daricommit
dunia to user
atas (Tuhan, dewa-dewa dan bidadari-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

95

bidadari), dari dunia tengah (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam),


dan dari dunia bawah (raksasa, makhluk-makhluk halus).
Penghadiran tokoh-tokoh yang hanya terdiri dari masyarakat manusia
(dalam hal ini masyarakat kampung) merupakan upaya seniman dalam
menghadapi pola pikir masyarakat sekarang yang lebih rasional dalam arti
alam pikirannya tidak lagi terikat oleh hal-hal yang tidak mempunyai
referensi dalam dunia nyata (mitos). Masyarakat kampung hadir dalam tokoh-
tokoh atau pelaku dalam Wayang Kampung Sebelah sebagai cermin dari
kehidupan masyarakat atau audiens Wayang Kampung Sebelah yang
menyasar masyarakat awam sebagai audiens utamanya. Seperti ujaran dalang
Wayang Kampung Sebelah setiap kali pementasan dimulai: “Ini wayang
kampung, yang dimainkan oleh orang-orang kampung, dipersembahkan
untuk orang-orang kampung juga”. Walaupun pada perkembangannya
audiens Wayang Kampung Sebelah tidak hanya terbatas pada masyarakat
kampung, namun titik berangkat penciptaan bentuk Wayang Kreasi baru ini
adalah mengangkat kehidupan masyarakat kampung.
Wayang kulit Purwa sebetulnya juga merupakan cermin dari
masyarakat karena tokoh-tokoh wayang kulit Purwa merupakan visualisasi
dari watak atau karakter manusia. Namun pada akhirnya memang representasi
watak ke dalam bentuk rupa wayang kulit Purwa menjadi penghalang untuk
masyarakat awam dalam memahami simbol-simbol dalam bentuk rupa
wayang kulit Purwa yang rumit.
Dalam teknis pembuatan boneka wayangnya, Ki Jlitheng Suparman
tidak melakukanya sendirian melainkan bekerjasama dengan orang lain yang
memiliki kemampuan teknis dalam pembuatan boneka wayang kulit
(penatah). Sketsa-sketsa buatan Ki Jlitheng Suparman yang kemudian
diserahkan kepada penatah merupakan suatu proses penciptaan karya seni
yang melibatkan interaksi antara konseptor (Ki Jlitheng Suparman) dan
eksekutor (penatah), walaupun sebenarnya Ki Jlitheng Suparman sendiri
dapat disebut merangkap sebagai eksekutor karena terlibat dalam proses
commitdan
pembuatan sketsa awal, pewarnaan, to user
pemasangan gapit/ tangkai wayang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

96

Meski secara umum boneka Wayang Kampung Sebelah tergolong


sederhana wujud rupanya, bukan berarti tidak ada upaya dalam
merepesentasikan watak atau karakter tokoh-tokohnya dalam wujud bentuk
yang terlihat (visual). Jika diamati, Wayang Kampung Sebelah
menitikberatkan pengolahan bahasa tubuh (gesture) untuk menampilkan
watak tokohnya. Aspek pakaian yang dikenakan tokoh-tokoh Wayang
Kampung Sebelah memegang peranan cukup penting terutama untuk
membedakan profesi atau jabatan tokoh-tokoh wayangnya. Misalnya Lurah
Somad sebagai pejabat yang tampil dengan baju safarinya, Eyang Sidik
Wacono seorang sesepuh yang nJawani tampil dengan busana yang khas
Jawa, Mbah Modin dengan peci atai kopiah dan sarung khas santri, atau Silvy
dengan pakaiannya yang minim dan terbuka.
Perihal pentingnya pakaian ini dijelaskan oleh Dillistone (2002: 55)
bahwa pakaian telah dikaitkan erat dengan jati diri (identitas, kepribadian)
nasional, dengan struktur kelas, dengan kualifikasi personal dengan konvensi
masa tertentu, dengan tahap-tahap pertumbuhan dan penuaan, dengan
pertunjukan perayaan kesenian. Namun, perbedaan pakaian tidak berlaku
sebagai simbol di mana pun juga sesimbolis di bidang kehidupan beragama.
Orang laki-laki atau orang perempuan yang disendirikan, atau untuk hidup
sebagai biarawan/ biarawati untuk menjalankan fungsi-fungsi keagamaan,
hampir selalu mengenakan pakaian yang berbeda. Orang yang tugas
kewajibannya atau berdiri di hadapan allah untuk memaklumkan amanat-Nya
kepada mereka, orang seperti itu harus mengenakan pakaian yang selaras
untuk memperlihatkan bahwa ia dikhususkan untuk karya pelayanan.
Menilik bentuk rupa dan pakaian yang dikenakan tokoh-tokoh
Kampung Sebelah Wayang Kampung Sebelah memperkuat gambaran yang
lugas dari struktur masyarakat kampung yang pilar-pilarnya terdiri dari
pemimpin pemerintahan, pemimpin ritual keagamaan, pengendali keamanan
dan masyarakat biasa.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

97

3. Wayang Kampung Sebelah di Tengah Penghayatnya


Masyarakat sebagai penghayat seni merupakan tempat di mana sebuah
karya seni menemukan maknanya yang utuh. Apalagi seni yang sejak awal
kelahirannya diciptakan tidak semata-mata untuk mewadahi ekspresi
senimannya melainkan diciptakan untuk menjadi sarana komunikasi antara
seniman dan masyarakat.
Penghayat Wayang Kampung Sebelah menilai boneka wayang ini
cukup sesuai mewakili tujuan dan tema yang diangkat senimannya. Dari
aspek visual beberapa kekurangan dalam pengorganisasian unsur-unsur visual
memengaruhi persepsi penghayat dan membuat terjadinya perbedaan
pendapat tentang perwatakan boneka Wayang Kampung Sebelah. Meskipun
demikian, humor sebagai salah satu aspek yang ingin ditonjolkan oleh
seniman pencipta wayang mampu ditangkap dengan baik oleh penghayat, hal
ini terbukti dari dominannya kesan lucu yang ditangkap penghayat dari
bentuk rupa Wayang Kampung Sebelah.
Kurangnya perhatian pada detail boneka wayang tidak menurunkan
respek dari penghayatnya. Karya ini tetap mendapatkan respon positif dari
penghayatnya, karena dinilai mampu mengangkat realita kehidupan yang
dekat dengan penghayat Wayang Kampung Sebelah itu sendiri. Kepekaan
seniman mengangkat berbagai fenomena yang terjadi dalam masyarakat
kedalam idiom-idiom seni yang mudah dipahami menjadi penunjang karya
Wayang Kampung Sebelah dalam menyentuh kesadaran masyarakat
penghayatnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan tentang latar belakang
munculnya boneka Wayang Kampung Sebelah, proses kreatif penciptaan
boneka Wayang Kampung Sebelah, bentuk rupa dan watak boneka Wayang
Kampung Sebelah, serta tanggapan penghayat terhadap bentuk rupa wayang
kampung sebelah, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Boneka Wayang Kampung Sebelah muncul sebagai bagian dari


pertunjukan Wayang Kampung Sebelah yang didasari oleh keprihatinan
Ki Jlitheng Suparman dan beberapa rekan seniman yaitu Yayat Suhiryatna
dan Sosiawan Leak terhadap kondisi pertunjukan wayang kulit Purwa
yang dinilai lemah dalam aspek komunikasi dengan masyarakatnya.
Pertemuan dengan Suharman sebagai kreator Wayang Kampung pada
akhirnya diadaptasi oleh Ki Jlitheng Suparman dengan dibantu oleh rekan-
rekan sesama seniman di Solo. Lahirnya Wayang Kampung Sebelah
merupakan sebuah upaya untuk melahirkan genre wayang baru karena
pertunjukan wayang kulit Purwa yang dipandang kurang sesuai dalam
menampung gagasan yang diusung senimannya. Sebaliknya, Wayang
Kampung Sebelah dinilai mampu menjadi wahana dalam menyampaikan
pemikiran-pemikiran kritis yang sedang terjadi dalam kehidupan
masyarakat.
2. Proses kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah mencakup
sumber ide yang diperoleh dari imajinasi dan lingkungan keseharian, yang
kemudian dilanjutkan dengan proses pembuatan sketsa di atas kertas. Hasil
sketsa ini kemudian diserahkan kepada penatah wayang untuk dibuat
boneka wayangnya dari bahan kulit kerbau. Setelah proses penatahan dan
penyambungan antar bagian tubuh boneka wayang selesai, proses
commit to user

98
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

99

selanjutnya adalah pewarnaan yang dilanjutkan dengan proses finishing,


penyatuan bagian-bagian boneka wayang dan pemasangan gapit wayang.
3. Bentuk rupa boneka Wayang Kampung Sebelah yang berupa sosok-sosok
manusia dengan proporsi tubuh yang telah dideformasi, deformasi yang
paling dominan terutama terdapat pada panjang lengan wayang. Sementara
bagian tubuh yang lain tidak mengalami perubahan yang terlampau jauh.
Boneka Wayang kampung Lurah Somad yang berprofesi sebagai pimpinan
dengan watak “plin-plan”/ inkonsisten, Eyang Sidik Wacono merupakan
sosok sesepuh kampung yang ormati dengan watak yang egaliter dan
bijaksana, Blegoh sosok wanita dan ibu rumah tangga yang berwatak
temperamental, Mbah Keblak adalah sosok Ibu yang bijaksana, Sodrun
dan Parjo merupakan sosok hansip dengan watak tegas serta humoris,
Mbah Modin adalah sosok pemimpin ritual keagamaan yang humoris,
Silvy sosok Pekerja Seks Komersial yang genit, Karyo merupakan sosok
kepala rumah tangga dengan pekerjaan sebagai tukang becak dengan
watak keras dan emosional, Kampret adalah sosok pemuda pengangguran
yang pemabuk dengan watak yang kritis, Jhony adalah sosok pemuda yang
norak dan suka ikut-ikutan.
4. Penghayat boneka Wayang Kampung Sebelah memberi tanggapan positif
terhadap bentuk rupa boneka wayang kampung sebelah yang dinilai cukup
baik dalam merepresentasikan sosok-sosok masyarakat kampung sesuai
setting cerita Wayang Kampung Sebelah. Beberapa catatan kekurangan
yang terdapat pada bentuk rupa Wayang Kampung Sebelah menurut
penghayat meliputi aspek warna, proporsi, dan keseimbangan bentuk.

Boneka Wayang Kampung Sebelah sebagai sebuah wayang kreasi baru


menunjukkan keluasan kemungkinan dalam eksplorasi bentuk kesenian
wayang kulit, baik dalam aspek tema maupun teknik perwujudan karyanya.
Karya-karya wayang pada dasarnya merupakan upaya kreatif seniman untuk
mendekatkan wayang dengan masyarakatnya. Upaya ini merupakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

100

rasionalisasi kesenian wayang kulit menghadapi tantangan yang muncul dari


perubahan kebudayaan dan masyarakat.

B. Implikasi
Boneka Wayang Kampung Sebelah dari aspek bentuk sudah cukup baik
dalam merepresentasikan sosok-sosok masyarakat kampung yang menjadi
tema penciptaan boneka wayang ini. Namun dari aspek pewarnaan yang
berdasarkan pada spontanitas cenderung membuat warna pada boneka wayang
kurang maksimal, hal ini nampak pada pilihan warna yang memiliki hue
(intensitas warna) yang setara dalam sebuah boneka wayang yang
menyebabkan warna boneka yang kurang dinamis.

C. Saran
Berdasar implikasi di atas, maka dapat dikemukakan saran sebagai
berikut:

1. Bagi seniman pencipta boneka Wayang Kampung Sebelah sebaiknya


mempertimbangkan dengan matang warna-warna yang akan digunakan
dalam proses pewarnaan boneka wayang. Perencanaan dalam pewarnaan
perlu dilakukan dengan mempertimbangkan hue pewarna (campuran cat
akrilik dan zat pewarna/ pigment), agar warna-warna yang ditampilkan
secara visual mampu memperkuat watak wayang yang diinginkan.
2. Bagi para peneliti wayang, terutama wayang kulit, hendaknya banyak
memperbanyak penelitian dan dokumentasi wayang kulit kreasi baru yang
muncul agar gejala perubahan dan perkembangan bentuk-bentuk wayang
kulit baru dapat terekam dengan baik.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai