Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH ILMU NEGARA

“TEORI KEKUASAAN DAN LEGITIMASI KEKUASAAN NEGARA "

DOSEN PEMBIMBING :
Tri Suhendra Arbani, S.H., M.H.
DISUSUN OLEH KELOMPOK : 2
• PUTRI NOVIANTI
• TRISNAWATI
• ASWAL .k
• ANDI MUNIFAH MUSABBIHAH
• AYU PUSPITASARI
• TRI BUWONOT TUNGGA DEWI
• ZAHRA QURROTAN AINY
• ANDI SYAMSU RIJAL
• A.BASO ISRAM
• MUH.FARHAN HARIS
• MAYFISAR SALSABILA PUTRI
• NADIA RISKA YANTI
• ANDI MUH.FATIR

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam selalu
kami limpahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para
sahabatnya, atas jasa beliau kita sebagai umat islam bisa melihat dunia ini dipenuhi akhlaq
yang mulia , rahmat, dan kasih sayang yang selalu tumbuh diantara umatnya.
Kami menyusun makalah yang bertema Teori Kekuasaan dan Legitimasi Kekuasaan Negara
ini dalam rangka agar pembaca dapat mengetahui dan memahami Teori Kekuasaan dan
Legitimasi Kekuasaan Negara .

Di dunia ini tidak ada yang sempurna, oleh karena itu kami memohon maaf apabila dalam
makalah kami terdapat kesalahan yang tidak kami sengaja. Dan kami mengharap kritik dan
saran dari pembaca, agar kami dapat menjadi lebih baik lagi dan makalah ini bisa lebih
sempurna dan lebih bermanfaat bagi pendidikan kami khususnya dan pembaca umumnya.

Gowa, 28 Oktober 2021


Penulis

2
DAFTAR ISI

JUDUL.............................................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB 1 (pendahuluan)
1. Latar belakang......................................................................................4
2. Rumusan masalah.................................................................................5
3. Tujuan penulisan makalah.....................................................................5

BAB 2 PEMBAHASAN
1. Kekuasaan Negara.....................................................................................6

2. Legitimasi Kekuasaan ............................................................................7

3. Legitimasi Kekuasaan menurut para ahli .................................................9

BAB 3 (PENUTUP)
1. Kesimpulan.........................................................................................11
2. Saran..................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................12

3
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Istilah Negara diterjemahkan dari kata-kata asing Staat (bahasa Belanda dan Jerman); State
(bahasa Inggris); Etat (bahasa prancis). Istilah Staat mempunyai sejarah sendiri, dipergunakan dalam
abad ke-15 di Eropa Barat. Anggapan umum Staat itu dialihkan dari kata Latin status atau statum
(tegak/tetap). Niccolo Machiavelli, bapak Ilmu Politik Modern, dalam bukunya The Prince, memulai
dengan kalimat: “Semua negara (stati) dan bentuk-bentuk pemerintahan yang pernah ada dan yang
sekarang menguasai manusia adalah republik dan kerajaan.” Machiavelli yang pertama
memperkenalkan istilah lo stato dalam kepustakaan Ilmu Politik. Kata “Negara” mempunyai dua arti.
Pertama, negara adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan satu kesatuan politis. Kedua,
negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis itu, yang menata dan dengan demikian
menguasai wilayah itu. Sementara dalam Ilmu Politik, istilah “negara” adalah agency (alat) dari
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam
masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Istilah “Ilmu Negara” diambil
dari istilah bahasa Belanda Staatsleer yang diambilnya diistilah bahasa Jerman, Staatslehre. Dalam
bahasa Inggris disebut Theory of State atau The General Theory of State atau Political Theory, sedang
dalam bahasa Prancis dinamakan Theorie d’etat. Ilmu Negara, sebagai istilah teknik, akibat hasil
penyelidikan sarjana Jerman, George Jellinek, yang juga disebut sebagai bapak Ilmu Negara. Ilmu
Negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok
tentang Negara dan Hukum Tata Negara. George Jellinek membagi Ilmu Negara: (1) Ilmu Negara dalam
arti sempit (staatswissenschften); (2) Ilmu Pengetahuan Hukum (recht swissens chaften), yakni HTN,
HAN, H. Pidana, dsb. Ilmu Negara dalam arti sempit

1. Berschreibende Staatswissenchaft: Sifat ilmu kenegaraan ini adalah deskriptif yang hanya
menggambarkan dan menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berhubungan
dengan negara.
2. Theoretische Staatswissenschaft: Melanjutkan penelitian dari bahan-bahan Beschrebende
Staatswissenschaft dg mengadakan analisis-analisis dan memisahkan mana yang mempunyai
ciri-ciri yang khusus. Lalu menyusun hasil-hasil penyelidikannya dalam satu kesatuan yang
teratur dan sistematis. Inilah Ilmu kenegaraan sebagai ilmu pengetahuan yang sebenarnya.
3. Praktische Staatswissenschaft: Ilmu pengetahuan yang mencari upaya bagaimana hasil
Theoritische Staatswissenschaft dapat dilaksanakan dalam praktik dan berguna Untuk tujuan
praktik.
4. Negara juga menjadi objek kajian HTN dan HAN, yang menitikberatkan pada pengertian yang
konkret. Artinya objek negara itu terikat pada tempat, keadaan, dan waktu tertentu.
5. Sistematika Ilmu Negara, dalam bukunya George Jellinek: Algemeene Staatslehre:
6. Staatswissenschften (Ilmu Negara dalam arti luas)
7. Staatswissenschften (dalam arti sempit) Rechtswissenschaften (I. Peng. Hk)
8. Theoretische Sw (Staatslehre) - Theoretiche Sw (Staatslehre) – Practische Sw
9. Algemeene Staatslehre (Ilmu Negara Umum) Besondre Staatslehre (Ilmu Negara Khusus
10. Allgemieine Soziale SL Allgemeine Staatsrecht Lehre Spezialle SL Individualle SL.

4
2. RUMUSAN MASALAH
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai :
1. Penjelasan Kekuasaan Negara
2. Penjelasan Legitimasi kekuasaan
3. Penjelasan Legitimasi Kekuasaan Menurut Para Ahli

3. RUMUSAN MAKALAH
1. Mengetahui Kekuasaan Negara
2. Mengetahui Legitimasi Kekuasaan

3. Mengetahui Legitimasi Kekuasaan Menurut Para Ahli

5
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

1. KEKUASAN NEGARA
• Max Weber: “Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial,
melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun
dasar kemampuan ini”;
• Harold D. Laswell & Abraham Kaplan: “Kekuasaan adalah suatu hubungan dimana
seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau
kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama”;
• Talcott Parsons: “Kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya
kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem
organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan kolektif.
Jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap
wajar, terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu”.

A. Teori Kekuasaan
• Ibnu Khaldun: “Kekuasaan negara adalah dominasi dan memerintah atas dasar
kekerasan. Kekuasaan tidak dapat ditegakkan tanpa kekuatan yang menunjangnya.
Kekuatan penunjang ini hanya dapat diberikan oleh solidaritas dan kelompok yang
mendukungnya. Tanpa suatu kekuatan yang selalu dalam keadaan siap siaga, dan
bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kepentingan bersama, maka
kekuasaan penguasa tidak akan dapat ditegakkan. Kekuatan seperti itu hanya dapat
ditegakkan dengan solidaritas (‘ashabiyah)”.
• Kekuasaan negara juga disebut ‘otoritas’ (authority)/wewenang:
• Robert Bierstedt: “wewenang adalah institutionalized power (kekuasaan yang
dilembagakan), yaitu kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan
juga berhak untuk menguasai”;
• Harold D. Laswell & Abraham Kaplan: “wewenang adalah kekuasaan formal (formal
power). Dianggap bahwa yang mempunyai wewenang (authority) berhak untuk
mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk
mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya. Wewenang
semacam itu bersifat deontis (yang harus, Yunani).

B. Wewenang
Max Weber membagi wewenang menjadi 3 macam:
1. Tradisional: berdasarkan kepercayaan diantara anggota masyarakat bahwa
tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah
wajar dan patut dihormati;

6
2. Kharismatik: berdasarkan kepercayaan masyarakat pada kesaktian dan
kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin;
3. Rasional-legal: berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang
melandasi kedudukan seorang pemimpin. Yang ditekankan bukan orangnya
akan tetapi aturan-aturan yang mendasar tingkah lakunya.

C. Logeman membagi wewenang menjadi 5 macam:


1. Berdasarkan ‘magic’/kekuasaan ghaib;
2. Berdasarkan ‘dinasti’ atau hak keturunan;
3. Berdasarkan ‘kharisma’;
4. Berdasarkan atas ‘kehendak rakyat melalui perwakilan’;
5. Daripada ‘elite’.

2. LEGITIMASI KEKUASAAN
• Miriam Budiardjo: Legitimasi atau keabsahan adalah keyakinan anggota-
anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang,
kelompok, atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati. Kewajaran itu
berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan
asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat
dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang sah;
• David Easton: Keabsahan adalah keyakinan dari pihak anggota masyarakat
bahwa sudah wajar baginya untuk menerima baik dan menaati penguasa
dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu;
• A.M. Lipset: Legitimasi mencakup kemampuan untuk membentuk dan
mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga-lembaga atau bentuk-
bentuk politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat itu.

1. Legitimasi dari segi objek:


• Legitimasi Materi Wewenang, mempertanyakan wewenang dari segi
fungsinya: untuk tujuan apa wewenang dapat dipergunakan dg sah?
Wewenang tertinggi dalam dimensi politis kehidupan manusia menjelma
dalam 2 lembaga yang sekaligus merupakan 2 dimensi hakiki kekuasaan
politik; dalam hukum sebagai lembaga penataan masyarakat yang normatif,
dan dalam kekuasaan (eksekutif) negara sebagai lembaga penataan efektif
dalam arti mampu mengambil tindakan. Terhadap hukum dikemukakan
pertanyaan tentang hukum yang macam apa yang boleh dianggap sah.
Apakah sembarang hukum asal pernah ditetapkan? Apakah hukum harus
mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat tertentu sehingga kita dapat

7
membedakan antara hukum yang sah dan hukum yang tidak sah?.
Terhadap negara, pertanyaan paling fundamental adalah apakah negara
memang berhak ada: apakah dapat dibenarkan bahwa dalam setiap
masyarakat terdapat lembaga pusat yang berwenang untuk menetapkan
norma-norma kelakuan bagi para anggota masyarakat dan memaksakan
ketaatan? Sejauh mana negara berhak untuk menuntut ketaatan dari
warga-warganya dan sejauh mana para warga wajib taat terhadap negara?
• Legitimasi Subjek Kekuasaan (wewenang), mempertanyakan apa yang
menjadi dasar wewenang seseorang atau sekelompok orang untuk
membuat UU dan peraturan bagi masyarakat dan untuk memegang
kekuasaan negara.

2. Frans Magnis Suseno: Ada 3 macam legitimasi subjek kekuasaan:


• Legitimasi Religius: mendasarkan hak untuk memerintah pada faktor-faktor
yang adi duniawi, jadi bukan pada kehendak rakyat atau pada suatu
kecakapan empiris khusus penguasa;
• Legitimasi Eliter: mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan
khusus suatu golongan untuk memerintah. Paham legitimasi itu
berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintah masyarakat diperlukan
kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh rakyat. Mereka yang
memilikinya merupakan elite masyarakat dan dg sendirinya berhak untuk
memegang kekuasaan. Dibedakan menjadi 4: legitmasi Aristokratis,
Legitimasi Pragmatis, Legitimasi Ideologis, & Legitimasi Teknokratis.
• Legitimasi demokratis: mendasarkan prinsip kedaulatan rakyat.

3. kriteria legitimasi untuk menilai keabsahan suatu wewenang/kekuasaan


• Legitimasi Sosiologis: mempertanyakan mekanisme motivatif mana yang
nyata-nyata membuat masyarakat mau menerima wewenang penguasa.
Atau motivasi-motivasi manakah yang mendasari keyakinan anggota-
anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang,
kelompok, atau penguasa adalah wajar dan patut dihormat;
• Legalitas: kesesuaian dengan hukum yang berlaku;
• Legitimasi Etis: mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik
dari segi norma-norma moral.

8
3. LEGITIMASI KEKUASAAN MENURUT PARA AHLI
1) Plato: Negara memerlukan kekuasaan yang mutlak, diperlukan untuk
mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional. Negara ideal
mengandung ketidak-adilan terhadap manusia; tidak ada kebebasan bagi
manusia individu, sebab Plato mengucilkan semua keindividuan yang
pribadi dari konsep negaranya, demi mempertahankan moral yang baku;
2) Thomas Aquinas: Negara harus tunduk pada gereja (Katolik), negara adalah
wakil gereja di dunia, karena itu sudah sepatutnyalah kalau negara
memperoleh kekuasaan yang mutlak;
3) Niccolo Machiavelli: “Tidak ada manfaatnya kalau kita mempersoalkan
legitimasi moral kekuasaannya. Yang menentukan ialah teknik untuk
merebut dan untuk mempertahankannya”.
4) Hugo de Groot: Kemutlakan kekuasaan negara diperoleh bukan karena
negara dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia, tetapi karena hal ini
sebenarnya menguntungkan rakyat sendiri;
5) Thomas Hobbes: Negara harus (1) kuat tanpa tanding sehingga dapat
memastikan, seperlunya memaksakan, ketaatan para anggota masyarakat
terhadap peraturan-peraturannya; (2) negara harus menetapkan suatu
tatanan hukum, tentangnya berlaku, bahwa setiap orang yang tidak
menaatinya akan dihukum mati;
6) George Hegel: Negara modern memiliki hak untuk memaksakan
keinginannya kepada warganya. Karena negara mewakili keinginan umum,
negara merupakan manifestasi dari sesuatu yang ideal dan universal.
Negara adalah penjelmaan dari kemerdekaan rasional, yang menyatakan
dirinya dalam bentuk yang objektif. Karena itu, negara berada di atas
masyarakat, lebih utama dan lebih tinggi daripada masyarakat yang
dibawahinya.
7) Karl Marx, murid spiritual Hegel, namun pandangannya bertolak belakang:
Negara pada hakikatnya adalah aparat atau mesin opresi (penindasan),
tirani dan eksploitasi kaum pekerja oleh pemilik alat-alat produksi (kaum
kapitalis) dan pemegang distribusi kekayaan yang mencelakakan kelas
pekerja. Jadi tidak aneh kita temukan dalam khazanah Marxisme konsep
mengenai layunya negara setelah terjadi revolusi sosialis. Artinya setelah
berlangsungnya revolusi sosialis, akan terbentuk suatu kediktatoran
proletariat dan kemudian melalui kekuasaan kaum proletar itu perbedaan
kelas dapat dimusnahkan sampai terwujud masyarakat tanpa kelas. Dalam
masyarakat tanpa kelas inilah negara sebagai aparat penindas kelas
kapitalis akan layu dg sendirinya, akan lenyap untuk selama-lamanya (the
whitering away of the state). Jika Hegel berpendapat bahwa kuat dan
mekarnya negara berarti tercapainya cita-cita manusia (the flowering of the
state is the fulfillment of the destiny of man), maka Marx justru
menganggap lenyapnya negara sebagai summum bonum, sebagai
kebijakan puncak. Masyarakat mengurus dirinya sendiri, tanpa ada lembaga

9
kekuasaan yang permanen, kalau ada persoalan diselesaikan secara ad hoc,
masyarakat komunis adalah masyarakat tanpa negara.
8) Antonio Gramsci, yang mengembangkan teori tentang ‘kekuasaan
hegemonik’, yakni kekuasaan dari satu kelompok masyarakat yang diterima
atau dianggap sah oleh kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Jadi
walaupun partai politik sebenarnya melayani kepentingan kaum borjuasi,
ternyata kaum buruh tetap mendukung pemerintah yang dijalankan oleh
partai ini. Kekuasaan hegemonik melalui ideologi, seperti di negara-negara
dunia ketiga yang menganut sistem kapitalis mempersembahkan kebijakan-
kebijakan pembangunan;
9) Francis Fukuyama: Dengan berakhirnya Perang Dingin yang berlangsung +
50 tahun antara komunisme ala Uni Soviet dan demokrasi liberal Barat,
maka kita mencapai “akhir sejarah”. Sejarah perkembangan ideologi politik
umat manusia akan berakhir dg kemenangan kapitalisme dan demokrasi
liberal. Suatu negara yang kuat ditandai oleh kemampuannya menjamin
bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat,
tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan yang
berlebihan. Elemen dasar negara yang kuat adalah torita yang efektif dan
terlembaga. Negara membatasi pada hal-hal yang elementer, seperti:
sistem pertahanan dan peradilan, sarana infrastruktur, dan pencetakan
mata uang. Sifat Intervensionis bisa dilakukan untuk menjaga otoritas.

10
BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Dari berbagai penjelasan yang dikemukakan, ada beberapa hal yang bisa ditarik
kesimpulan. Pertama, legitimasi adalah sikap penerimaan masyarakat terhadap suatu
kekuasaan atau otoritas yang sedang memerintah. Kedua, sikap penerimaan sebagai konsep
yang kita kenal sebagai legitimasi itu penting bagi bekerjanya praktik kekuasaan.
Ketiga, dalam beberapa bentuk, legitimasi menempel dalam kewenangan seperti dalam
kekuasaan formal kenegaraan. Hal ini seperti yang disinggung sebelumnya, kewenangan
adalah kekuasaan yang mengandung legitimasi. Keempat, ada berbagai cara untuk bisa
mendapatkan legitimasi di luar menggunakan jalur kekuasaan formal, yakni dengan cara
memanipulasi moral, nilai dan tradisi yang ada di masyarakat, sehingga bisa mendapatkan
keabsahan untuk memerintah.

2. Saran
Kami menyadari bahwa makalah kami masih belum sempurna, dikarenakan keterbatasan,
pengetahuan kami dan oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini, sangat kami harapkan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Buku Ilmu Negara Karya Dr. Ni'matul Huda, S.H., M.Hum.

12

Anda mungkin juga menyukai