LAPORAN PENDAHULUAN
yaitu lebih dari 150mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140mg/m2.
c. Penyakit ginjal diabetik
Pada pasien Diabetes, berbagai gangguan pada ginjal dapat terjadi,
seperti terjadinya batu saluran kemih, infeksi saluran kemih, pielonefritis,
yang selalu disebut sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien
diabetes.
d. Amiloidosis ginjal
Adalah penyakit dengan karakteristik penimbunan polimer protein di
ekstraseluler dan gambaran dapat diketahui dengan histokimia dan
gambaran ultrastruktur yang khas.
e. Diabetes militus adalah penyebab utama dan terjadi lebih dari 30% klien
yang menerima dialisis.hipertensi adalah penyebab utama ESRD kedua.
2.1.3 Patofisiologi
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya dieksresikan kedalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Banyak gejala uremia yang
membaik setelah di dialysis (Smeltzer & Bare, 2013).
Gangguan clearance renal terjadi akibat penurunan jumlah glomerulus
yang berfungsi. Penurunan laju filtasi glomerulus dideteksi dengan
memeriksa clearance kreatinin urine tampung 24 jam yang menunjukkan
penurunan clearance kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum.
Retensi cairan dan natrium dapat mengakibatkan edema, CHF, dan
hipertensi. Hipotensi dapat terjadi karena aktivitas, aksis renin angitensin
dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Kehilangan
garam mengakibatkan risiko hipotensi dan hipovolemia (Price & Wilson,
2012).
Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai,
memendeknya usia sel darah merah, defesiensi nutrisi dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari
saluran pencernaan. Eritropoitein yang diproduksi oleh ginjal, menstimulasi
sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah, dan produksi
eritropoitein menurun sehingga mengakibatkan anemia berat yang disertai
kelelahan, angina dan sesak nafas (Price & Wilson, 2012).
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan
metabolisme. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan
timbal balik. Jika salah satunya meningkat, maka fungsi lain akan menurun.
Tetapi, gagal ginjal tubuh tidak merespons normal terhadap peningkatan
sekresi parathormon, sehingga kalsium di tulang menurun, menyebabkan
terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang. Demikian juga, vitamin D
(1,25 dihidrokolekalsiferol) yang dibentuk di ginjal menurun seiring
perkembangan gagal ginjal (Sudoyo, 2009).
a. Manifestasi kardiovaskuler
Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki, tangan,
sakrum), pembesaran vena leher.
b. Manifestasi dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis,
kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Manifestasi Pulmoner
Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan Kussmaul.
d. Manifestasi Gastrointestinal
Napas berbau amonia, ulserasi dan pendarahan pada mulut, anoreksia,
mual, muntah, konstipasi dan diare, pendarahan saluran gastrointestinal
e. Manifestasi Neurologi.
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan
tungkai, panas pada telapak kaki, perubahan perilaku.
f. Manifestasi Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop.
g. Manifestasi Reproduktif
Amenore dan atrofi testikuler.
2.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju
Filtration Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2.
Adapun klasifikasi penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya menurut
Sudoyo (2009), antara lain sebagai berikut :
Tabel Klasifikasi penyakit ginjal kronik sesuai dengan
derajatnya
2.1.6 Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, klien CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Suwitra (2006) antara
lain adalah :
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata
bolisme, dan masukan diit berlebih.
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
renin angiotensin aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal
dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
2.1.7 Penatalaksanaan
Klien CKD perlu mendapatkan penatalaksanaan secara khusus sesuai
dengan derajat penyakit CKD, bukan hanya penatalaksanaan secara umum.
Menurut (Sudoyo, 2015), sesuai dengan derajat penyakit CKD dapat dilihat
dalam tabel berikut :
LFG
Derajat Rencana tatalaksana
(ml/mnt/1,73m
1 >90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komoroid, evaluasi pemburukan fungsi
ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskular.
2 60-89 Menghambat pemburukan fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 Terapi pengganti ginjal
Sumber : Sudoyo, 2015.
a. Penatalaksanaa keperawatan
1) Cairan
a) Klien yang tidak didialisa
Bila ada oliguria, cairan yang diperbolehkan biasanya 400-500 ml
(untuk menghitung kelebihan cairan rutin) ditambah volume yang
hilang lainya seperti urin, diare, dan muntah selama 24 jam
terakhir.
b) Klien dialysis
Pemasukan cairan terbatas jumlahnya sehingga kenaikan berat
badan tidak lebih dari 0,45 kg/hari diantara waktu dialisis. Ini
umumnya akibat dari pemasukan 500 ml sehari ditambah volume
yang hilang melalui urin, diare dan muntah.
2) Elektrolit
a) Klien yang tidak dialysis
Pemasukam kalium harus dibatasi 1,5-2,5 g (38,5-64 mEq)/hari
pada dewasa dan sekitar 50 mg (1,9 mEq)/kg/hari untuk anak-
anak.
b) Klien yang didialisis
Ini dapat diberikan lebih bebas untuk mempertahankan kadar
natrium dan kalium serum normal pada Klien dengan dialisis.
selama CAPD (cronik ambulatory peritonial dealysis), kalium
yang dapat diberikan sekitar 2,7-3,1g (70-80 mEq)/kg/hari pada
anak, untuk mempertahankan keseimbangan cairan.
3) Diet rendah protein untuk membatasi akumulasi produk akhir
metabolisme protein yang tidak dapat diekresikan ginjal.
4) Persiapan yang harus dilakukan perawat sebelum operasi AV –
Shunt:
a) Berikan informasi yang jelas pada klien karena sering terjadi
kesalah pahaman. Klien sering menganggap Operasi AV-Shunt
adalah pemasangan alat untuk HD padahal hanya
menyambungkan pembuluh darah yang ada pada tubuh klien.
b) Batasan laboratorium untuk operasi AV-Shunt biasanya
direkomendasikan dari dokter penyakit dalam dan ahli bedahnya.
Selama ini Rekomendasi untuk Periksakan laboratorium yaitu ,
Hb > 8 mg/dl, Trombosit dalam batas normal, Gula Darah
Sewaktu dalam batas normal untuk klien tanpa riwayat DM dan
untuk klien dengan DM harus dikonsultasikan lagi dengan ahli
bedahnya.
c) Lakukan program free heparin sebelum dilakukan operasi,
menurut literatur sebaiknya heparin tidak diberikan 6-8 jam
sebelum operasi dan diharapkan tidak diberikan kembali setelah
12 jam post operasi atau dikondisikan sampai luka operasi
mengering.
d) Sebelum operasi perawat HD bisa melakukan palpasi pada arteri
radialis dan ulnaris untuk merasakan kuat tidaknya aliran darah
arterinya kemudian dilaporkan ke ahli bedah. bila salah satu arteri
(radilis/ ulnaris ) tidak teraba dan tidak ditemukan dengan alat
penditeksi (dopler) maka kontra indikasi untuk dilakukan AV-
Shunt.
b. Penatalaksanaa kolaboratif
1) Diuretik kuat untuk mempertahankan keseimbangan cairan.
2) Glikosida jantung untuk memobilisasi cairan yang menyebabkan
edema.
3) Kalsium karbonat atau kalsium asetat untuk mengobati osteodistropi
ginjal dengan mengikat fosfat dan menambah kalsium.
4) Anthi hipertensi (ACE inhibitor) untuk mengontrol tekanan darah
dan edema.
5) Famotidin dan ranitidin untuk mengurangi iritasi lambung.
6) Suplemen besi dan folat atau tranfusi sel darah merah untuk anemia.
7) Eritropoitin sintetik untuk menstimulus sumsum tulang,
memproduksi sel darah merah.
8) Suplemen besi, estrogen konjugata, dan desmopresin untuk melawan
efek hematologik.
9) Terapi dialysis (pengganti ginjal)
10) Dialysis digunakan untuk mengeluarkan produk sisa cairan dan
uremik dari tubuh bila ginjal tidak mampu melakukanya.juga dapat
digunakan untuk mengobati klien dengan edema yang tidak
meresponpengobatan lain, hepatic, hiperkalemia, hiperkalsemia,
hipertensi, dan dialysis peritonial, untuk menggantikan ginjal yang
tidak berfungsi. Dialisis adalah pergerakan cairan dan butir-butir
(partikel) memlalui membaran semipermeabel. Dialisis adalah suatu
tindakan yang dapat memulihkan keseimbangan cairan dan
elektrolit, mengendalikan keseimbangan asam-basa, dan
mengeluarkan sisa metabolisme dan bahan dari tubuh.
Ada tiga prinsip yang mendasari dialisis, yaitu disfungsi, osmosis, dan
ultrafiltrasi. Disfungsi adalah pergerakan butir-butir (partikel) dari tempat
yang berkonsentrasi tinggi ke tempat yang berkonsentrasi rendah. Dalam
tubuh manusia, hal ini terjadi memlalui membran semipermeabel. Difusi
menyebabkan urea, kreatinin, adan asam urat dari darah klien masuk ke
dalam dialisiat. Walaupun konsentrasi eritrosit dan protein da;lam darah
tinggi, meteri ini tidak dapat menebus membran semipermeabel katrena
eitrosit dan prtotein mempunyai mokelul yang besar. Osmosi menyangkut
pergerakan air melakui membran semipermeabel dari tempat yang
berkonsentrasi rendah ke tempat yang berkonsentrasi tinggi (osmolalitas).
Ultrafiltrasi adalah pergerakan cairan melalui membran semipermeabel
sebagai akibat tekanan gradien buatan. Tekanan gradien buatan dapayt
bertekanan positif (didorong) atauu negatif (ditarik). Ultrafiltrasi lebih
efisien daripada osmosisi dalam mengambil cairan dan diterapkan dalam
hemodialisa. Pada saat dialissi, prinsip osmosis, dan difusi atau ultrafiltrasi
digunakan secara simultan atau persamaan.
a. Perubahan Fisik
Perubahan yang terjadi pada fisik pasien penyakit ginjal kronik
tergantung pada kerusakan ginjal dan keadaan lainnya yang
mempengaruhi seperti usia dan kondisi tubuh pasien. Perubahan
fisik yang dapat terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik dibagi
menjadi 8 bagian yaitu :
1) Sistem Neurologi
Kelemahan/fatigue, kecemasan, penurunan konsentrasi,
disorientasi, tremor, seizures, nyeri pada telapak kaki, perubahan
tingkah laku.
2) Sistem Integumen
Kulit berwarna coklat keabu-abuan, kering, kulit mudah
terkelupas, pruritus, ekimosis, purpura tipis, kuku rapuh, rambut
tipis.
3) Sistem Kardiovaskular
Hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, dan sakrum), edema
periorbita, precordial friction rub, pembesaran vena pada leher,
perikarditis, efusi perikardial, tamponade pericardial,
hiperkalemia, hiperlipidemia.
4) Sistem Pernafasan
Cracles, sputum yang lengket dan kental, depresi refleks batuk,
nyeri pleuritik, napas pendek, takipnea napas kussmaul, uremic
pneumonitis.
5) Sistem Gastrointestinal
Bau ammonia, napas uremik, berasa logam, ulserasi pada mulut
dan berdarah, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi atau diare,
perdarahan pada saluran pencernaan.
6) Sistem Hematologi
Anemia, trombositopenia.
7) Sistem Reproduksi
Amenorrhea, atropi testis, infertil, penurunan libido.
8) Sistem Muskuloskeletal
Kram otot, hilangnya kekuatan otot, nyeri tulang, dan fraktur.
b. Perubahan Psikologis
Perubahan fungsi fisik secara progresif akibat penyakit ginjal
yang diderita membuat pasien penyakit ginjal kronik mengalami
berbagai stres psikologis. Perubahan keseharian akibat terapi yang
harus dijalani, kewajiban melakukan kunjungan ke rumah sakit dan
laboratorium secara rutin untuk pemeriksaan darah, dan perubahan
finansial untuk biaya pengobatan membuat pasien mengalami stres
dan membuat mereka tidak dapat menjalankan peran secara holistik.
c. Perubahan Sosial
Beberapa pasien timbul gangguan psikis seperti stres, depresi,
cemas, putus asa, konflik ketergantungan, denial, frustasi, keinginan
untuk bunuh diri, dan penurunan citra diri. Selain itu, karena
keterbatasan fisik yang dialaminya maka pasien pun akan mengalami
perubahan peran dalam keluarga maupun peran sosialdi masyarakat.
Peran sosial lain yang berubah pada pasien penyakit ginjal kronik
adalah perubahan pekerjaan. Pasien dengan keterbatasan fisik akan
mengalami penurunan kemampuan kerja. Pasien dapat mengambil
cuti atau kehilangan pekerjaannya. Hal ini akan menimbulkan
permasalahan lain yaitu penurunan kualitas hidup pasien. Pasien
penyakit ginjal kronik yang tidak mempunyai pekerjaan mempunyai
penurunan skor yang sangat signifikan pada dimensi fungsi fisik,
peran fisik, kesehatanumum, vitalitas, peran emosional dan
peningkatan intensitas nyeri.
d. Perubahan Ekonomi
Perubahan ekonomi akibat dari penyakit ginjal dan dialisis
tidak hanya terjadi pada individu dan keluarga pasien. Masalah
ekonomi ini juga akan berakibat kepada perekonomian negara
sebagai penanggung jawab atas penduduknya. Biaya dialisis yang
mahal akan membuat pengeluaran di sektor kesehatan akan
meningkat. Biaya perawatan yang mahal membuat pasien yang harus
menjalani hemodialisis di negara berkembang sebagian besar
meninggal atau berhenti melakukan dialisis setelah 3 bulan
menjalani terapi. Di sisi lain kapasitas kerja dan fisik mereka
mengalami penurunan yang sangat drastis sehingga terjadi
penurunan penghasilan.
2.2 Hemodialisa
Hemodialisa adalah prosedur pembersihan darah melalui suatu ginjal buatan
dan dibantu penatalaksanaanya oleh semacam mesin. Hemodialisa sebagai terapi
yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia. Hemodialisa
merupakan metode pengobatan yang sudah dipakai secara luas dan rutin dalam
program penanggulangan gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik.
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan
sakit akut dan memerlukan terapi dialysis jangka pendek (beberapa hari hingga
beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang
membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. Akan tetapi
hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal (Smeltzer &
Bare, 2013).
Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi seperti
nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal (Black &
Hawks, 2014).
Hemodialisis pada penyakit gagal ginjal kronik dilakukan dengan
mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari
dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke
kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial)
dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialysis yang
bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan
tidak mengandung sisa metabolism nitrogen. Cairan dialysis dan darah yang
terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari
konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah (Sudoyo, 2009).
2.2.1 Tujuan Hemodialisa
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen dan
toksin dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan kemudian
dialihkan dari pasien ke mesin yaitu mesin dialyzer, dimana darah diberikan
dan kemudian dikembalikan ke tubuh pasien (Smeltzer & Bare, 2013).
2.2.2 Prinsip Hemodialisa
Ada 3 prinsip dasar yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu : difusi,
osmosis, dan ultrafiltrasi. Racun dan limbah dalam darah dibuang oleh
proses difusi, yaitu bergerak dari daerah yang konsentrasi yang lebih tinggi
dalam darah ke area konsentrasi yang lebih rendah dialisat. Dialisa terdiri
dari semua elektrolit penting dalam konsentrasi esktraseluler ideal. Tingkat
elektrolit dalam darah pasien dapat dikendalikan dengan cairan dialisat
(Smeltzer and Bare, 2008).
Kelebihan air akan dibuang dari dalam darah melalui proses osmosis,
dimana bergerak dari daerah konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi ke
daerah konsentrasi zat terlarut yang lebih rendah. Ultrafiltrasi didefinisikan
sebagai air yang bergerak di bawah tekanan tinggi ke daerah tekanan
rendah. Ultrafiltrasi dicapai dengan menerapkan tekanan negatif atau
kekuatan penyedotan ke membran dialisis (Smeltzer and Bare, 2008).
a. Fistula aerteriovena
Pemeriksaan fisik
1) Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
klien dari compos mentis sampai coma.
2) Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler.
3) Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi,
atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
4) Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran
telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum,
bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
5) Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
6) Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat
otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara
tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung,
terdapat suara tambahan pada jantung.
7) Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut
buncit.
8) Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.
9) Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas klien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refill lebih dari 1 detik.
10) Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan
mengkilat / uremia, dan terjadi perikarditis.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengam Chronic Kidney Disease (CKD)
menurut trucker, 2008; sudoyo, 2015.
1) Urinalisasi : PH asam, SDP, SDM, berat jenis urin (24 jam) : volume
normal, volume kosong atau rendah, proteiurea, penurunan klirens
kreatinin kurang dari 10 ml permenit menunjukan kerusakan ginjal yang
berat.
2) Hitungan darah lengakap : penurunan hematokrit / HB , trombosit,
leukosit, peningkaanj SDP.
3) Pemerikasaan urin : Warna PH, kekeruhan, glukosa, protein, sedimen,
SDM, keton, SDP, CCT.
4) Kimia darah : kadar BUN, kreatinin, kalium, kalsium, fosfor, natrium,
klorida abnormal.
5) Uji pencitraan : IVP, ultrasonografi ginjal, pemindaian ginjal, CT scan.
6) EKG : distritmia
7) Poto polos abdomen, bias tampak batu radio opak
8) Pielografi intra vena jarang dikerjakan, karena kontras tidak dapat
melewati filter glomerolus, disamping kekawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
9) Piolografi antegrad atau retrograt sesuai dengan indikasi.
10) Pemeriksaan lab CCT (Clirens Creatinin Test) untuk mengetahui laju
filtrasi glomerulus. Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) /
CCT (Clearance Creatinin Test) dapat digunakan dengan rumus :