Dengue Haemoragic Fever (DHF) Anak-4
Dengue Haemoragic Fever (DHF) Anak-4
Dengue Haemoragic Fever (DHF) Anak-4
KEPERAWATAN ANAK I
Disusun oleh:
Ghina Regiana
1710711082
C. ETIOLOGI
Virus dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam
Arbovirus (Arthrropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus
dengue tipe 1, 2, 3 dan 4, keempat virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan
dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara serologis virus dengue yang
termasuk ke dalam genus flavivirus ini berdiameter 40 nonometer dapat
berkembang biak dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan baik yang
berasal dari sel-sel mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster Kidney) maupun
sel-sel Arthropoda misalnya sel aedes Albopictus (Soedarto, 1990; 36).
Vector
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vector yaitu
nyamuk aedes aegepty, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan
beberapa spesies lain merupakan vector yang kurang berperan. Infeksi dengan
salah satu serotipe akan menimbulkan antibody seumur hidup terhadap serotipe
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya
(Arief Mansjoer & Suprohaita, 2000; 420).
Nyamuk Aedes Aegepty maupun Aedes Albopictus merupakan vector
penularan virus dengue dari penderita kepada orang lainnya melalui gigitannya.
Nyamuk Aedes Aegepty merupakan vector penting di daerah perkotaan
sedangkan di daerah pedesaan kedua nyamukmtersebut berperan dalam
penularan. Nyamuk Aedes berkembang biak pada genangan air bersih yang
terdapat dalam bejana-bejana yang terdapat di dalam rumah maupun yang
terdapat di luar rumah di lubang-lubang pohon di dalam potongan bamboo,
dilipatan daun dan genangan air bersih alami lainnya. Nyamuk betina lebih
menyukai menghisap darah korbannya pada siang hari terutama pada waktu pagi
hari dan seja hari (Soedarto, 1990; 37).
Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya makai a
akan mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga ia
masih mungkin untuk terinfeksi virus dengue yang sam tipenya maupun virus
dengue tipe lainnya. DHF akan terjadi jika seseorang yang pernah mendapatkan
infeksi virus dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua
kalinya atau lebih dengan pula terjadi pada bayi yang mendapat infeksi virus
dengue pertama kalinya jika ia mendapat imunitas terhadap dengue dari ibunya
melalui plasenta (Soedarto, 1990; 38).
D. KLASIFIKASI
Menurut derajat ringannya penyakit, DHF dibagi menjadi 4 tingkat (UPF IKA,
1994; 201) yaitu :
1. Derajat I : panas 2-7 hari, gejala umum tidak khas, uji tourniquet hasilnya
positif.
2. Derajat II : sama dengan derajat I di tambah dengan gejala-gejala pendarahan
spontan seperti petekia, ekimosa, epimosa, epistaksis, haematemesis,
perdarahan gusi, telinga dan sebagainya.
3. Derajat III : penderita syok ditandai dengan gejala kegagalan peredaran darah
seperti nadi lemah dan cepat ( > 120 menit ) dan tekanan nadi sempit ( < 20
mmHg ) tekanan darah menurun ( 120/80 mmHg ) sampai tekanan sistolik
dibawah 80 mmHg.
4. Derajat IV : nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur (denyut jantung >
-140 mmHg) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.
Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun/ hipotensi disertai dengan kulit dingin
lembab dan pasien menjadi gelisah.
Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat diukur.
E. PATOFISIOLOGI
Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegepty.
Pertama-tama yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan penderita
mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh,
ruam atau bitnik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan
hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening,
pembesaran hati (hepatomegaly) dan pembesaran limfa (splenomegaly).
Kemudian virus akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah
kompleks virus-antibodi. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen.
Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptidaa yang berdaya
untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat sebagai faktor
meningkatnya permea bilitas dinding kapiler pembuluh darah yang
mengakibatkan terjadinya pembesaran plasma ke ruang ekstra seluler.
Perembesan plasma ke ruang ekstra seluler mengakibatkan berkurangnya
volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hypoproteinemia serta
efusi dan renjatan (syok). Hemokonsentrasi (peningkatan hematocrit > 20%)
menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perebesan) plasma
sehingga nilai hematocrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan
intravena.
Terjadinya trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunya
faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab
terjadinya perdarahan hebat terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada
DHF.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan sengan
ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga
peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang
diberikan melalui infus.
Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit
menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan
intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya
edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang
cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan
kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.
Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia
jaringan, metbolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik.
Gangguan hemostatis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler,
trombositopenia, dan gangguang koagulasi.
Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir
diseluruh tubuh seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.
Virus
dengue
Viremia
- Anoreksia Mk : Resiko
- Muntah kekurangan Manifestasi
volume cairan perdarahan Mk : Perubahan Efusi
Resiko perfusi pleura
Mk : perubahan perdarahan jaringan Ascites
nutrisi kurang dari Kehilangan perifer Hemo-
kebutuhan tubuh konsentrasi
Hypovolem
ia
Mk : Resiko syok
hipovolemik
Syok
Kematian
F. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala penyakit DHF adalah :
Meningkatnya suhu tubuh ( demam tinggi selama 5-7 hari)
Mual, muntah, tidak nafsu makan, diare, konstipasi
Nyeri kepala menyeluruh atau berpusat pada supra orbita, retroorbital
Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, petekie, ekimosis, hematoma
Epistaksis, hemaatemisis, melena, hematuria
Nyeri otot, tulang sendi, abdomen, dan ulu hati
Pembengkakan sekitar mata
Pembesaran hati, limfa, dan kelenjar getah bening
Tanda-tanda renjatan ( sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah
menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah)
G. KOMPLIKASI
a. DHF mengakibatkan perdarahan pada semua organ tubuh, seperti pendarahan
ginjal, otak, jantung, paru-paru, limfa, dan hati. Sehingga tubuh kehabisan
darah dan cairan serta menyebabkan kematian.
b. Ensepalopati.
c. Gangguan kesadaran yang disertai kejang.
d. Disorientasi, prognosa buruk.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk mendiagnosis DHF dapat dilakukan pemeriksaan dan didapatkan gejala
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya juga dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan laboratorium yaitu :
Tromboditopenia ( < 100.000 mm3 ), Hb dan PCV meningkat (20%)
leukopenia (mungkin normal atau leukositosis), isolasi virus, serologis (UPF
IKA, 1994).
Pemeriksaan serologic yaitu titer CF (complement fixation) dan antibody HI
(haemoglutination ingibition) (WHO, 1998; 69) yang hasilnya adalah :
Pada infeksi pertama dalam fase akut titer antibody HI adalah kurang
dari 1/20 dan akan meningkat sampai kurang dari pada 1/1280 pada
stadium rekovalensensi pada infeksi kedua atau selanjutnya, titer
antibody HI dalam fase akut lebih dari 1/20 dan akan meningkat dalam
stadium rekovalensi sampai lebih dari pada 1/2560.
Apabila titer HI pada fase akut lebih dari 1/1280 maka kadang titernya
dalam stadium rekonvalensi tidak naik lagi (UPF IKA, 1994; 202).
Pada renjatan yang berat maka diperiksa : Hb, PCV berulang kali (setiap jam
atau 4-6 jam apabila sudah menunjukkan tanda perbaikan) faal haemostatis x-
foto dada, elektro kardiogram, kreatinin serum.
Laboratorium : Trombositopenia ( <100.000/ uL ) dan terjadi
hemokonsentrasi lebih dari 20%.
a. Darah
1) Trombosit menurun
2) HB meningkat lebih 20%
3) HT meningkat lebih 20%
4) Leukosit menurun pada hari ke 2 dan ke 3
5) Protein darah rendah
6) Ureum PH bisa meningkat
7) NA dan CL rendah
b. Serologi : HI (hemaglutination inhibition test)
1) Rontgen thorax : Efusi pleura
2) Uji test tourniquet (+)
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pada dasarnya pengobatan pasien DHF bersifat simtomatis dan suportif
(Ngastiyah,1995; 344). DHF ringan tidak perlu dirawat, DHF sedang kadang-
kadang tidak memerlukan perawatan, apabila orang tua dapat diikutsertakan
dalam pengawasan penderita di rumah dengan kewaspadaan terjadinya syok yaitu
perburukan gejala klinis pada hari 3-7 sakit (Purnawan dkk, 1995; 571).
Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus dengue (UPF IKA, 1994; 203)
yaitu :
Panas 1-2 hari disertai dehidrasi ( karena panas, mual, muntah, masukan
kurang ) atau kejang-kejang.
Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati uji tourniquet
positif/negative, kesan sakit keras (tidak mau bermain), Hb dan Ht/PCV
meningkat.
Panas disertai perdarahan-perdarahan.
Panas disertai renjatan.
a) Berikan cairan RL sebanyak 30 mL/Kg BB/1 jam, bila keadaan baik (TD > 80
mmHg dan nadi < 120x/menit) akral hangat lanjutkan dengan RL sebanyak 10
mL/Kg BB/1 jam. Jika keadaan umum tidak stabil infus RL dilanjutkan
sampai perhitungan sebagai berikut :
Kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi
sisa waktu setelah dapat mengatasi reenjatan.
b) Apabila setelah pemberian RL 30 mL/Kg BB/1 jam keadaan umum masih
buruk. Tensi tak terukur dan nadi tak teraba maka klien harus dipasang infus 2
tempat dengan maksud satu tempat untuk RL 10 mL/Kg BB/1 jam dan tempat
lain untuk pemberian plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya)
sebanyak 20 mL/Kg BB/1 jam selama 1 jam. Jika keadaan umum membaik
lanjutkan pemberian RL dengan perhitungan sebagai berikut :
Kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi
sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan.
c) Apabila setelah pemberian RL 30 mL/Kg BB/1 jam keadaan umum masih
buruk. Tensi tak terukur secara palpasi dan nadi teraba cepat lemah, akral
dingin maka klien ini sebaiknya diberikan plasma atau plasma ekspander
(dextran L atau lainnya) sebanyak 20 mL/Kg BB/1 jam. Jika keadaan umum
membaik lanjutkan pemberian RL dengan perhitungan sebagai berikut :
Kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi
sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan.
d) Apabila setelah pemberian RL 30 mL/Kg BB/1 jam keadaan umum membaik
tetapi tensi terukur kurang dari 80 mmHg dan nadi > 120x/menit, akral hangat
atau akral dingin maka klien ini sebaiknya diberikan plasma atau plasma
ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 mL/Kg BB/1 jam dan dapat
diulangi maksimal sampai 30 mL/Kg BB/24 jam. Jika keadaan umum
membaik lanjutkan pemberian RL dengan perhitungan sebagai berikut :
Kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi
sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan.
e) Jika tata laksana grade IV setelah 2 jam sesudah plasma atau plasma
ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 20 mL/Kg BB/1 jam dan RL 10
mL/Kg BB/1 jam tidak menunjukkan perbaikan T=0, N=0 maka klien ini
perlu dikonsultasikan ke bagian anestesi untuk dievaluasi kebenaran cairan
yang dibutuhkan apabila sudah sesuai dengan yang masuk. Dalam hal ini
perlu monitor dengan pemasangan CVP, gunakan obat Dopamin,
Kortikosteroid dan perbaiki kelainan yang lain.
f) Jika tata laksana grade IV setelah 2 jam sesudah plasma atau plasma
ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 20 mL/Kg BB/1 jam dan RL 30
mL/Kg BB/1 jam belum menunjukkan perbaikan yang optimal (TD <
80mmHg, N > 120x/menit), maka klien ini perlu diberikan lagi plasma atau
plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 mL/Kg BB/1 jam.
Jika reaksi perbaikan tidak tampak, maka klien ini perlu dikonsultasikan ke
bagian anestesi.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Hipertermi b.d proses infeksi virus dengue
Risiko deficit volume cairan b.d pindahnya cairan intravaskuler ke
ekstravaskuler
Risiko syok hipovolemik b.d perdarahan yang berlebihan, pindahnya
cairan intravaskuler ke ekstravaskuler
Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b.d intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan anoreksia
Risiko terjadi perdarahan b.d penurunan faktor-faktor pembekuan darah
(trombositopenia)
Ansietas b.d kondisi klien yang memburuk dan perdarahan
Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi terkait penyakit
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Junadi, Purnawan. 1982. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer, Arif & Suprohaita. 2000. Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Kedua. Jakarta : FKUI.
Suharso Darto. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya : Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.