HUBUNGAN INDUSTRIAL
Nama : Ahlis Ainur Rohim
NIM : 042104552
1. Ada dua perspektif yang lazim dipakai untuk melihat hubungan antarpelaku hubungan
industrial, yaitu:perspektif fungsional dan perspektif konflik (Batubara, 2008).
1) Perspektif Fungsional
Para ahli penganut perspektif fungsional melihat masyarakat sebagai organisme hidup,
sehingga bagian satu dengan yang lain saling terkait. Masyarakat terdiri dari struktur dan
dinamikanya. Adanya kesamaan yang khusus antara sistem biologis dengan sistem sosial,
yaitu persamaan dari perbandingan bahwa setiap bagian tubuh mempunyai fungsi, begitu
juga dalam masyarakat tiap-tiap bagian ada fungsi dan tujuannya. Apabila pandangan ini
dipakai untuk politik maka dapat dikatakan bahwa kehidupan politik merupakan suatu
sistem dengan berbagai komponen politik yang melakukan fungsi-fungsi tertentu, dan
satu fungsi dengan fungsi yang lain saling terkait sehingga dapat dilihat sebagai satu
kesatuan. Di dalam sistem politik ada komponen yang melakukan fungsi tertentu secara
terus-menerus sehingga melahirkan struktur.
2) Perspektif Konflik
Selain perspektif fungsional, pandangan lain adalah perspektif konflik. Perspektif konflik
menyatakan bahwa perspektif fungsional tidak akan mampu mengatasi keseluruhan
fenomena sosial. Pendekatan perspektif fungsional lebih merupakan suatu pendekatan
utopia ketimbang realitas. Perspektif konflik berpendapat bahwa masyarakat bersisi
ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. Oleh karena itu, perspektif konflik
digunakan dalam memahami fenomena sosial secara lebih baik.
Perbedaan :
Perspektif Fungsionalis
Dalam Perspektif ini, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang
bekerjasama secara terorganisasi yang berkerja dalam suatu cara yang agak teratur
menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat
tersebut.
Perspektif Konflik
Perspektif konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Marx (1818-1883),
yang melihat pertentangan dan eksploitasi kelas sebagai penggerak utama kekuatan-
kekuatan dalam sejarah.Wright Mills (1956-1959), Lewis Coser (1956), Aron (1957),
Dahrendorf (1959, 1964), Chambliss (1973), dan Collines (1975): Bilamana, para
fungsionalis melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang
mantap, maka para teoretisi konflik melihat masyarakat sebagai berada dalam konflik
yang terus-menerus di antara kelompok dan kelas.
Sumber : Modul Hubungan Industrial/EKMA4367
2. Kostova dan Roth (2003) mendefinisikan modal sosial sebagai nilai-nilai potensial yang
berasal dari kondisi psikologis tertentu, persepsi, dan perilaku yang diharapkan bahwa
bentuk aktor sosial merupakan hasil dari struktur sosial dan ciri hubungannya dalam
struktur tersebut. Tingkat modal sosial yang tinggi menunjukkan motivasi bagi aktor
sosial untuk mempertahankan hubungan tersebut, perasaan bertanggung jawab untuk
membalas kebaikan di masa lalu dari aktor sosial lain, harapan bahwa aktor sosial lain
juga akan membalas kebaikannya, dan kenyamanan psikis penggunaan sumber daya
dengan menyediakan, menerima, dan meminta bantuan dari aktor sosial lain.
Ada tiga dimensi dalam modal sosial, yaitu struktural, relasional, dan kognitif.
3) Dimensi ketiga modal sosial adalah dimensi kognitif yang melekat pada atribut
seperti peraturan milik bersama dan paradigma milik bersama. Dimensi kognitif
membantu pemahaman umum mengenai sasaran bersama dan cara yang tepat
untuk melakukan kegiatan dalam sistem sosial. Dimensi ketiga ini menunjukkan
pada penyediaan, penyebaran, interpretasi, dan pemberian arti. Dimensi kognitif
menunjukkan interpretasi yang sama dalam sistem dan tata nilai (Nahapiet &
Ghoshal, 1998) yang memungkinkan individu dalam jaringan kerja menggunakan
dan mengartikan informasi serta mengklasifikasinya ke dalam kategori perseptual
(De Carolis & Saparito, 2006).
3) Teori Produktivitas
Menurut teori ini, upah ditentukan oleh produktivitas karyawan. Maka
produktivitas yang lebih tinggi harus memperoleh upaya yang lebih tinggi pula.
4) Teori Bargainning
Menurut teori bargainning modern, baik karyawan maupun majikan memasuki
pasar tenaga kerja tanpa harga permintaan/penawaran yang pasti. Tetapi ada batas
harga permintaan/penawaran tertinggi dan terendah. Dalam batas-batas harga
tersebut, tingkat upah ditentukan oleh kekuatan bargainning kedua belah pihak.
Buruh individual yang berkekuatan lemah harus menerima tingkat upah yang
terendah. Sebaliknya, serikat buruh dapat menggunakan kekuatan ekonominya
yang lebih besar untuk menuntut tingkat upah yang lebih tinggi.
Sumber :
https://hukumketenagakerjaandanhubunganindustrial.wordpress.com/2016/10/28/teori-
teori-lahirnya-serikat-buruh/