Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Taeniasis adalah penyakit yang disebabkan oleh Taenia saginata dengan hospes
perantaranya sapi dan Taenia solium dengan hospes perantaranya babi, merupakan 2 jenis
cacing pita yang dapat menginfeksi manusia dan dapat menyebabkan penyakit zoonosis
parasitik yang disebut taeniasis (Bakta, 1996 :520)
Infeksi kedua cacing pita tersebut pada manusia sebagai hospes definitif terjadi saat
parasit tersebut berada dalam bentuk larva yang lazim disebut sistierkus. Jika manusia makan
daging sapi atau babi yang dimasak tidak sempurna dan mengandung sistiserkus bovis atau
sistiserkus sellulose, maka dalam usus manusia sistiserkus ini akan menjadi cacing pita
saginata atau solium. Manusia yang mendapatkan infeksi cacing pita akan mengeluarkan telur
dan telur tersebut akan menginfeksi hospes perantara (Koesharjono;dkk., 1987 :23)
Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia solium yaitu cacing
pita pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista atau
Cysticercus cellulosae. Sampai saat ini, sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia
termasuk Indonesia. Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis terutama ditemukan
di tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara. Prevalensi taeniasis/
sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada pada rentang 1,0%-42,7% dan
prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%. Sistiserkosis
dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak,
sedangkan taeniasis menyebabkan gejala-gejala saluran pencernaan yang lebih ringan.
Kasus taeniasis di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi Taenia solium dilaporkan
pertama kali di Kalimantan Barat oleh Bonne pada tahun 1940. Di Indonesia taeniasis
dilaporkan terdapat di daerah Bali (0,4- 7,1 %), Nusa Tenggara Timur (7%), Irian jaya (8%),
dan lokasi transmigrasi asal Bali seperti di Sulawesi Tenggara dan Lampung (Bakta, 1996 :
521)
Biasanya tidak disadari bahwa manusia dapat menjadi induk semang cacing pita,
tetapi pada pertengahan abad 19, ketika cacing pita ini menyebar, sistiserkusnya ditemukan
pada 2 % manusia yang diotopsi di Berlin. Tetapi sekarang, sejak tinja manusia dibuang lebih
efisien, kejadian sistiserkus pada manusia banyak menurun sedemikian banyak sehingga
secara praktis dapat diabaikan. Kenyataannya C. cellulosae jarang pada babi di AS.

1|Page
Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh stadium larva Taenia solium
(cacing pita babi), sedangkan taeniasis solium disebabkan cacing dewasa yang hidup di
dalam rongga usus halus manusia. Penyakit ini sampai sekarang terutama ditemukan di tiga
propinsi yaitu Bali, Sumatera Utara dan Papua. Prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi
Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%
Dari beberapa kasus taeniasis solium yang telah diteliti maka dilaporkan bahwa kasus
kasus tersebut dikarenakan masuknya babi yang dibawa oleh penduduk yang dibawa pada
saat pindah ke daerah tersebut atau oleh penderita langsung yang bertransmigrasi ke daerah-
daerah tersebut (Rasidi; dkk., 1990 : 379)
Di Bali kehadiran taeniasis solium pada penduduknya telah dikenal sejak lama yaitu
dengan istilah penyakit beberasan. Berbeda dengan daerah Indonesia lainnya, hampir seluruh
penduduk bali memeluk agama Hindu yang dalam upacara adat dan keagamaan  atau dalam
kehidupan sehari-hari penduduk mempunyai keniasaan makan -makanan tradisional yang
disebut lawar, yang terbuat dari daging babi mentah atau setengah matang yang diduga
menyebabkan taeniasis solium (Arwati ; Supari, 1977 : 1; sutisna : 227)
Selain itu kemungkinan masih adanya penduduk, terutama di desa yang buang air
besar tidak di jamban atau di kakus melainkan di sungai atau di teba (halaman rumah)
sehingga tinja manusia dimakan oleh babi dan dapat mencemari pakan babi. Semuanya ini
dapat memberi kesempatan daur hidup taenia- sistiserkus berlangsung tanpa hambatan.
Keadaan- keadaan inilah yang mungkin masih ada dan berjalan di Bali sehingga
menimbulkan kejadian- kejadian taeniasis (Waruju, 1988 : 19)
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut yaitu :
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan taeniasis?
1.2.2 Apa penyebab dari penyakit taeniasis ?
1.2.3 Bagaimana cara penularan taeniasis ?
1.2.4 Bagaimana manifestasi klinik jika terinfeksi cacing tersebut ?
1.2.5 Bagaimana morfologi dari taenia solium ?
1.2.6 Bagaimana siklus hidup dari taenia solium ?
1.2.7 Bagaimana pencegahan dan pengobatannya ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1.3.1 Untuk mengetahui dan memahami apa itu taeniasis (taenia solium)

2|Page
1.3.2 Untuk mengetahui dan memahami apa penyebab dari penyakit taeniasis
1.3.3 Untuk mengetahui dan memahami bagaimana cara penularan taenia solium
1.3.4 Untuk mengetahui gejala atau manifestasi dari penyakit taeniasis
1.3.5 Untuk mengetahui dan memahami apa morfologi atau ciri-ciri dari taenia solium
1.3.6 Untuk mengetahui dan memahami bagaimana siklus hidup dari taenia solium
1.3.7 Untuk mengetahui dan memahami bagaimana pencegahan dan pengobatan nya

3|Page
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Taeniasis adalah suatu infeksi pada saluran pencernaan oleh cacing taenia dewasa;
sistiserkosis adalah penyakit/infeksi yang terjadi pada jaringan lunak yang disebabkan
oleh larva dari salah satu spesies cacing taenia yaitu spesies Taenia solium. Gejala-gejala
klinis dari penyakit ini jika muncul sangat bervariasi seperti, gangguan syaraf, insomnia,
anorexia, berat badan yang menurun, sakit perut dan atau gangguan pada pencernaan.
Terkecuali merasa terganggu dengan adanya segmen cacing yang muncul dari anus,
kebanyakan penyakit ini tidak menunjukkan gejala. Taenasis biasanya tidak fatal,
akantetapi pada stadium larva cacing Taenia solium mungkin menyebabkan sistiserkosis
yang fatal. Larva penyebab sistiserkosis pada manusia adalah larva dari cacing Taenia
solium pada babi, sistiserkosis ini dapat menimbulkan penyakit yang serius biasanya
menyerang SSP. Jika telur atau proglotids dari cacing yang berada dalam daging babi
termakan atau tertelan oleh manusia, maka telur tersebut akan menetas pada usus halus
dan selanjutnya larva tersebut akan migrasi ke jaringan tubuh yang lunak seperti jaringan
bawah kulit, otot, jaringan tubuh lain dan organ-organ vital dari tubuh manusia yang
kemudian membentuk sistisersi.
Infeksi T. solium ditemukan pertama kali di Kalimantan Barat oleh Bonne pada th.
1940
2.2 Penyebab
Penyebab penyakit Taeniasis adalah Taenia soliumyang biasanya terdapat
pada daging babi, dimana cacing tersebut dapat menyebabkan infeksi pada saluran
pencernaan (oleh cacing dewasa), dan bentuk larvanya dapat menyebabkan infeksi
somatik (sistisersi).
2.2.1 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoidea
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Taeniidae
Genus : Taenia
Spesies : solium

4|Page
2.2.2 Hospes dan Nama penyakit
Hospes definitif cacing Taenia solium adalah manusia, sedangkan hospes
perantaranya adalah manusia dan babi . Manusia yang dihinggapai cacing Dewasa
Taenia solium juga menjadi hospes perantara cacing ini. Nama penyakit yang
disebabkan oleh cacing Taenia solium adalah taeniasis dan sistiserkosis. Taeniasis
adalah penyakit akibat parasit berupa cacing  yang tergolong dalam genus taenia yang
dapat menular dari hewan ke manusia, maupun sebaliknya. Sistiserkosis ialah infeksi
jaringan oleh bentuk larva Taenia solium (sistiserkus sellulosa) pada manusia akibat
termakan telur cacing Taenia solium pada daging babi. Sedangkan istilah
Neurosistiserkosis digunakan untuk infeksi oleh larva yang mengenai sistem saraf
pusat (SSP).
Cacing pita babi diberi nama khusus solium karena biasanya hanya ditemukan
cacing pita tunggal pada satu induk semang. Sistiserkusnya dikenal sebagai
Cysticercus cellulosae, ditemukan pada urat daging babi, anjing dan kadang – kadang
manusia. Kemungkinan sistiserkus tersebut sebesar 20 x 10 mm, tetapi biasanya jauh
lebih kecil. Sistiserkus ini menyebabkan suatu kondisi yang dikenal sebagai bintil
daging.

2.3 Manifestasi Klinik


Gejala dari Taeniasis adalah tidak spesifik yaitu berupa gejala gangguan perut yang
bersifat ringan. Proglotid dapat bergerak dan menimbulkan rasa gatal di sekitar anus,
dan bila lepas lalu keluar bersama tinja. Komplikasi taeniasis ialah apendisitis,
sumbatan/radang pada saluran empedu, gangguan pada organ otak, mata, jantung, dan
perilaku (behavior).

2.4 Cara Penularan


Cysticercus cellulosa yang terdapat dalam daging babi yang mentah atau tidak
dimasak kurang sempurna , termakan oleh manusia dan akan menimbulkan penyakit
Taeniasis.  Bila menelan telur Taenia sp atau proglotid gravid yang terdapat pada
makanan atau minuman yang terkontaminasi akan teradi Cysticercosis. Infeksi terhadap
dirinya sendiri yang berasal dari keberadaan cacing dewasanya di dalam usus dan
mungkin terjadi autoinfeksi internal dimana telurnya akan bercampur dengan asam
lambung sehingga menetas dan larvanya masuk kedalam jaringan.

5|Page
Manusia dapat terinfeksi cysticerci, larva dari Taenia solium, dengan mencerna telur
cacing pita tersebut. Konsumsi daging babi yang belum benar-benar matang dimasak
dapat menyempurnakan siklus hidup cacing pita tersebut. Frekuensi terjadinya penyakit
sistiserkosis di negara berkembang sudah berkurang karena standar inspeksi daging yang
semakin diperketat, peningkatan higienitas dan fasilitas sanitasi yang lebih baik.
Penularan juga bisa karena autoinfeksi interna, yaitu infeksi yang berlangsungdengan
sendirinya. Hal ini disebabkan oleh gerakan batik peristaltic usus, misalnya pada keadaan
muntah-muntah sehingga proglotid atau telur cacing naik ke lambung lalu pecah dan
isinya keluar dan menembus dinding lambung kemudian masuk ke peredaran darah dan
pada akhirnya menjadi cysticercus di dalam organ-organ.
Cysticercus yang berbentuk kista dapat tumbuh hampir pada semua organ clan sering
multipel. Organ yang paling sering kena adalah otot bergaris dan otak. Ukuran diameter
kista pada umumnya 5-10 milimeter. Namun kista yang mengenai otak dan mata,
diameternya bisa mericapai 20 milimeter bahkan pernah ditemukan cysticercus
berdiameter 60 milimeter di dalam otak. Kista di dalam jaringan dapat menimbulkan
reaksi radang, penekanan pada organ sekitarnya, mengeluarkan toksin. Sedangkan kista
yang telah mati akan menimbulkan jaringan fibrotik dan kalsifikasi.
2.4.1 Sumber penularan
Adanya sumber infeksi taeniasis yaitu :
a. Cara pembuangan tinja sembarangan sehingga terjadi kontaminasi tanah atau
tumbuh-tumbuhan oleh telur taenia.
b. Adanya binatang perantara yang dipelihara pada tempat yang terkontaminasi
c. Pengawasan pemotongan daging yang tidak sempurna.
d. Kebiasaan makan daging yang tidak dimasak sempurna.

2.5 Morfologi
Taenia solium merupakan cacing pita babi pada manusia. Cacing dewasa terdapat
pada usus halus mannusia, dan dapat mencapai 2 sampai 7 m dan dapat bertahan hidup
selama 25 tahun atau lebih. Organ pelekat atau skoleks, mempunyai empat batil isap yang
besar serta rostelum yang bundar dengan dua baris kait berjumlah 22-32 kait. Kait besar
(dalam satu baris) mempunyai panjang 140 – 180 mikron dan bagian yang kecil (dalam
baris yang lain) panjangnya 110-140 mikron. Bagian lehernya pendek dan kira – kira
setengah dari lebar skoleks. Jumlah keseluruhan dari proglotid kurang dari 1000,
proglotid imatur bentuknya lebih melebar daripada memanjang, yang matur berbentuk

6|Page
mirip segi empat dengan lubang kelamin terletak di bagian lateral secara berselang seling
di bagian kiri dan kanan proglotid berikutnya, sedang segmen gravid bentuknya lebih
memanjang daripada melebar. Proglotid gravid panjangnya 10-12 x 5-6 mm, dan uterus
mempunyai cabang pada masing – masing sisi sebanyak 7 – 12 pasang. Segmen yang
gravid biasanya dilepas secara berkelompok 5-6 segmen tetapi tidak aktif keluar dari
anus. Proglotid gravid dapat mengeluarkan telur 30.000 – 50.000 butir telur. Telurnya
berbentuk bulat atau sedikit oval (31 -43 mikro meter),mempunyai dinding yang tebal,
bergaris garis, dan berisi embrio heksakan berkait enam atau onkosfer. Telur – telur ini
dapat tetap bertahan hidup di dalam tanah untuk berminggu –minggu.
                                
2.6 Siklus hidup
Infeksi cacing pita (taeniasis) merupakan penyakit zoonosis parasiter yang dapat
menyebar dan menular di antara hewan vertebrata termasuk juga manusia. Cacing pita
termasuk ke dalam genus Taenia, yang terdiri dari 3 spesies, yaitu Taenia saginata, Taenia
solium dan Taenia asiatica. Cacing pita jenis T. saginata dan T. solium banyak terdapat
pada daging sapi, berbeda dengan jenis T. asiatica yang banyak ditemukan pada daging
babi. Daur hidup cacing pita dapat berlangsung di dalam 2 tubuh inang (hospes), yaitu
manusia sebagai inang definitif dan babi/sapi sebagai inang perantara. Infeksi cacing pita
pada manusia terjadi karena mengkonsumsi daging sapi atau babi yang terkontaminasi
cacing pita dewasa, sedangkan sapi dan babi terinfeksi cacing pita melalui tumbuh-
tumbuhan yang dimakannya.
Pada manusia cacing pita hidup dan berkembang di dalam saluran pencernaan. Di
dalam usus, telur cacing (proglotid gravid) akan menetas membentuk larva yang disebut
onkosfer. Larva cacing pita ini berbentuk bulat telur berukuran 10 x 5 mm, berwarna
jernih dan mengandung cairan yang khas. Sel larva yang masih muda ini kemudian akan
berkembang menjadi cacing pita dewasa. Selanjutnya, cacing pita dewasa akan melekat
dan tinggal di dalam usus kecil, panjang cacing pita dewasa sendiri dapat mencapai 2
sampai 5 meter. Sedangkan sebagian larva cacing lainnya akan berkembang menjadi
sistiserkus, dan menginvasi jantung, hati, otot, dan organ-organ lainnya pada tubuh
sehingga mengakibatkan infeksi sistemik. Daur hidup cacing pita tidak berhenti sampai
disini saja, dalam waktu kurang dari dua hingga tiga bulan cacing telah matang secara
seksual dan mampu menghasilkan telur lagi untuk melanjutkan keturunannya. Untuk satu
cacing pita saja dapat menghasilkan rata-rata 1000 telur. Telur-telur tersebut kemudian

7|Page
dikeluarkan bersama dengan tinja. Di lingkungan telur cacing pita dapat bertahan selama
beberapa hari hingga berbulan-bulan lamanya.
Infeksi cacing pita pada saluran pencernaan manusia dapat terjadi karena
mengkonsumsi daging mentah yang terkontaminasi atau dimasak kurang matang. Dari
sekian besar kasus kejadianinfeksi cacing pita, infeksi cacing pita jenis T. saginata adalah
yang paling banyak. Hal ini disebabkan cacing pita ini mempunyai ukuran yang lebih
besar (dapat mencapai 10 meter) dibanding cacing pita jenis T. solium atau T. asiatica.
Kebanyakan dari penderita akan menunjukkan gejala klinis yang ringan atau
asimptomatik. Gejala yang ditimbulkan sering kali berbeda-beda atau tidak patognomonis
(khas), seperti nyeri abdominal, anoreksia, penurunan berat badan dan malaise. Namun,
pada beberapa kasus cacing pita dapat ditemukan di bagian apendiks, kandung empedu,
dan duktus pankreatikus. Khususnya, infeksi T. solium dapat mengakibatkan sistiserkosis
parah pada manusia yang berpotensi menyebabkan terjadinya kejang dan kerusakan pada
organ tubuh, terutama infeksi pada otak (neurosistiserkosis). Oleh karena itu, untuk
mencegah penularannya adalah dengan memutus jalur daur hidup cacing pita, contohnya
dengan memasak terlebih dahulu daging dengan matang sebelum dikonsumsi.
Cacing pita Taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan induk semang
definitif. Segmen tubuh Taenia yang telah matang dan mengandung telur keluar secara
aktif dari anus manusia atau secara pasif bersama-sama feses manusia. Bila inang definitif
(manusia) maupun inang antara (sapi dan babi) menelan telur maka telur yang menetas
akan mengeluarkan embrio (onchosphere) yang kemudian menembus dinding usus.
Embrio cacing yang mengikuti sirkulasi darah limfe berangsur-angsur berkembang
menjadi sistiserkosis yang infektif di dalam otot tertentu. Otot yang paling sering
terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma, lidah, otot pengunyah, daerah esofagus,
leher dan otot antar tulang rusuk.
Infeksi Taenia dikenal dengan istilah Taeniasis dan Sistiserkosis. Taeniasis adalah
penyakit akibat parasit berupa cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia yang dapat
menular dari hewan ke manusia, maupun sebaliknya. Taeniasis pada manusia disebabkan
oleh spesies Taenia solium atau dikenal dengan cacing pita babi, sementara Taenia
saginata dikenal juga sebagai cacing pita sapi.
Sistiserkosis pada manusia adalah infeksi jaringan oleh bentuk larva Taenia
(sistiserkus) akibat termakan telur cacing Taenia solium (cacing pita babi).Cacing pita
babi dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, sedangkan cacing pita sapi tidak
dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia. Sedangkan kemampuan Taenia asiatica

8|Page
dalam menyebabkan sistiserkosis belum diketahui secara pasti. Terdapat dugaan bahwa
Taenia asiatica merupakan penyebab sistiserkosis di Asia.
Manusia terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau babi yang setengah
matang yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia
dewasa dalam usus manusia. Manusia terkena sistiserkosis bila tertelan makanan atau
minuman yang mengandung telur Taenia solium. Hal ini juga dapat terjadi melalui proses
infeksi sendiri oleh individu penderita melalui pengeluaran dan penelanan kembali
makanan.
Sumber penularan cacing pita Taenia pada manusia yaitu Penderita taeniasis sendiri
dimana tinjanya mengandung telur atau segmen tubuh (proglotid) cacing pita.
a. Hewan, terutama babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita (sistisekus).
b. Makanan, minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita

2.7 Pengendalian Upaya Pencegahan dan Pengobatan


Pengendalian cacing pita Taenia dapat dilakukan dengan memutuskan siklus
hidupnya. Pemutusan siklus hidup cacing Taenia sebagai agen penyebab penyakit dapat
dilakukan melalui diagnosa dini dan pengobatan terhadap penderita yang terinfeksi.
Beberapa obat cacing yang dapat digunakan yaitu : Atabrin, Librax dan niklosamida dan
Prazikuantel. Sedangkan untuk mengobati sistiserkosis dapat digunakan Albendazola dan
dexametason. Untuk mengurangi kemungkinan infeksi oleh Taenia ke manusia,
diperlukan peningkatan daya tahan tubuh inang. Hal ini dapat dilakukan melalui vaksinasi
pada ternak, terutama pada babi didaerah endemik Taeniasis dan cysticercosis serta
peningkatan kualitas dan kecukupan gizi pada manusia.
Lingkungan yang bersih sangat diperlukan untuk memutuskan siklus hidup Taenia,
karena lingkungan yang kotor dapat menyebabkan menjadi sumber penyebaran penyakit.
Pelepasan telur Taenia dalam feces ke lingkungan menjadi sumber penyebaran taeniasis
,sistiserkosis. Faktor fresiko utama transmisi telur Taenia ke babi yaitu pemeliharaan babi
secara ekstensif, defikasi manusia didekat pemeliharaan babi sehingga babi memakan
feces manusia dan pemeliharaan babi dekat manusia. Hal yang sama juga berlaku pada
taenia ke sapi. Telur cacing ini dapat terbawa oleh air ke tempat – tempat lembab
sehingga telur cacing lebih lama bertahan hidup dan penyebarannya semakin luas.
Kontrol penyakit akibat Taenia dilingkungan dapat dilakukan melalui peningkatan
sarana sanitasi dan pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi, pencegahan
kontaminasi tanah dan tinja pada makanan dan minuman. Pembangunan sarana sanitasi
9|Page
misalnya kaskus dan septic tank serta penyediaan sumber air bersih sangat diperlukan.
Pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi dapat dilakukan melalui pemusatan
pemotongan ternak di rumah pemotongan hewan (RPH) yang diawasi oleh dokter Hewan.
Pencegahan Taeniasis yang utama adalah menghilangkan sumber infeksi dengan
mengobati semua penderita Taeniasis disuatu daerah. Pencegahan juga dapat dilakukan
dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan, salah satunya dengan menyediakan
jamban keluarga. Penyediaan jamban keluarga bertujuan untuk mencegah agar tinja
manusia tidak dimakan oleh babi dan tidak mencemari tanah / rumput peternak.
Pemelihara sapi atau babi juga harus dijaga agar hewan peliharaannya tidak berkeliaran
sehingga tidak mencemari lingkungan.
Pemeriksaan daging oleh dokter hewan pun harus dilakukan sehingga masyarakat
tidak mengkonsumsi daging yang mengandung kista selain itu perlu dilakukan
penyuluhan mengenai bahaya mengkonsumsi daging yang mengandung kista, oleh karena
itu masyarakat juga harus mengetahui bentuk kista dalam daging. Hal tersebut penting
dilakukan di daerah yang banyak memotong babi untuk upacara adat seperti di Sumatera
Utara, Bali, dan Irian Jaya.
Di beberapa daerah di tanah air yang memiliki kebiasaan memakan daging setengah
matang atau mentahpun perlu dilakukan penyuluhan untuk menghilangkan kebiasaan
tersebut. Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang resiko yang akan diperoleh apabila
memakan daging mentah / setengah matang. Penting pula bagi masyarakat untuk
mengetahui manfaat memasak daging sampai matang (> 57 o C dalam waktu cukup lama)
atau membekukan (< 10o C selama 5 hari). Pendekatan tersebut biasanya tidak selalu
dapat diterima oleh masyarakat setempat karena keputusan akhir yang diambil harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah yang bersangkutan (Primz sumber
www.depkes.org.maret 2007).
Secara garis besar cara pengendalian agar mengurangi atau terhindar dari infeksi
cacing yaitu :
a. Pemakaian jamban keluarga ,sehingga tinja manusia tidak dimakan oleh babi dan
tidak mencemari tanah atau rumput.
b. Pemelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan
sehingga tidak dapat Berkeliaran
c. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di RPH, sehingga daging yang
mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor
dengan dinas Peternakan)

10 | P a g e
d. Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran
tentang bentuk kista tersebut dalam daging, hal ini penting dalam daerah yang banyak
memotong babi untuk upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan Irian
jaya.
e. Menghilanglkan kebiasaan maka makanan yang mengandung daging setengah matang
atau mentah.
f. Memasak daging sampai matang ( diatas 57 º C dalam waktu cukup lama ) atau
membekukan dibawah 10º selama 5 hari . Pendekatan ini ada yang dapat diterima
,tetapi dapat pula tidak berjalan , karena perubahan yang bertentangan dengan adat
istiadat setempat akan mengalami hambatan. Untuk itu kebijaksanaan yang diambil
dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.

TIPS penanganan daging yang higienis :


 Sesegera mungkin daging yang telah dibeli diolah/ dimasak
 Bila akan dimasak lebih dari 4 jam dianjurkan disimpan pada suhu dingin (di
bawah 4o C)
 Bila akan disimpan beku, dianjurkan daging dipotong – potong terlebih dahulu
sesuai kebutuhan, lalu dimasukkan kedalam kemasan atau wadah tertutup
yang bersih kemudian disimpan pada suhu dibawah -18o C
 Cucilah tangan sebelum dan sesudah mengolah/ memasak daging
 Tutup luka dengan plester yang kedap air
 Hindari bersin dan batuk langsung di depan daging
 Usahakan ruang memasak daging bebas dari insekta
(lalat,nyamuk,kecoa,semut) dan rodensia (tikus)
 Gunakan peralatan yang bersih untuk menyimpan, mempersiapkan, mengolah,
dan memasak daging
 Cuci peralatan dengan baik setelah digunakan
(Buletin Penyakit Zoonosa : edisi keempat 2009)
Pengobatan Cacing dewasa dianjurkan penggunaan praziquantel atau
niklosamid (Sotelo dkk, 1985). Karena kemungkinan sistiserkosis dapat terjadi
melalui autoinfeksi, pasien harus segera diobati setelah diagnosis ditegakkan.
Sistiserkosis apabila memungkinkan dianjurkan tindakan bedah. Pada kasus
sistiserkosis mata, lebih dianjurkan pengambilan kista daripada enukleasi. Untuk
mencegah hilangnya bola mata, dianjurkan untuk mengambil sistiserkusnya ketika

11 | P a g e
masih hidup (Junior, 1949). Beberapa obat telah dicoba dengan derajat keberhasilan
yang berbeda – beda dalam memberantas sistiserkus; praziquantel, yang mungkin
membutuhkan pengobatan ulang (Rim dkk, 1980; Botero dan Castano, 1981); dan
metrifonat untuk sistiserkosis kutan (Tschen dkk, 1981).
Prognosis pada pasien sangat baik bila terdapat cacing dewasanya, baik bila
Sistiserkus dapat diambil dengan tindakan bedah, dan buruk bila terdapat parasit
dalam bentuk rasemosa, terutama dalam otak. Beberapa regimen obat baru juga
terbukti sangat efektif untuk membunuh sistiserkus.
Cacing dewasa dianjurkan penggunaan praziquantel atau niklosamid (Sotelo
dkk, 1985). Karena kemungkinan sistiserkosis dapat terjadi melalui autoinfeksi,
pasien harus segera diobati setelah diagnosis ditegakkan.
Sistiserkosis apabila memungkinkan dianjurkan tindakan bedah. Pada kasus
sistiserkosis mata, lebih dianjurkan pengambilan kista daripada enukleasi. Untuk
mencegah hilangnya bola mata, dianjurkan untuk mengambil sistiserkusnya ketika
masih hidup (Junior, 1949). Beberapa obat telah dicoba dengan derajat keberhasilan
yang berbeda – beda dalam memberantas sistiserkus; praziquantel, yang mungkin
membutuhkan pengobatan ulang (Rim dkk, 1980; Botero dan Castano, 1981); dan
metrifonat untuk sistiserkosis kutan (Tschen dkk, 1981).
Prognosis pada pasien sangat baik bila terdapat cacing dewasanya, baik bila
Sistiserkus dapat diambil dengan tindakan bedah, dan buruk bila terdapat parasit
dalam bentuk rasemosa, terutama dalam otak. Beberapa regimen obat baru juga
terbukti sangat efektif untuk membunuh sistiserkus.
Cacing dewasa dianjurkan penggunaan praziquantel atau niklosamid (Sotelo
dkk, 1985). Karena kemungkinan sistiserkosis dapat terjadi melalui autoinfeksi,
pasien harus segera diobati setelah diagnosis ditegakkan.
Sistiserkosis apabila memungkinkan dianjurkan tindakan bedah. Pada kasus
sistiserkosis mata, lebih dianjurkan pengambilan kista daripada enukleasi. Untuk
mencegah hilangnya bola mata, dianjurkan untuk mengambil sistiserkusnya ketika
masih hidup (Junior, 1949). Beberapa obat telah dicoba dengan derajat keberhasilan
yang berbeda – beda dalam memberantas sistiserkus; praziquantel, yang mungkin
membutuhkan pengobatan ulang (Rim dkk, 1980; Botero dan Castano, 1981); dan
metrifonat untuk sistiserkosis kutan (Tschen dkk, 1981).
Prognosis pada pasien sangat baik bila terdapat cacing dewasanya, baik bila
Sistiserkus dapat diambil dengan tindakan bedah, dan buruk bila terdapat parasit

12 | P a g e
dalam bentuk rasemosa, terutama dalam otak. Beberapa regimen obat baru juga
terbukti sangat efektif untuk membunuh sistiserkus.
Cacing dewasa dianjurkan penggunaan praziquantel atau niklosamid (Sotelo
dkk, 1985). Karena kemungkinan sistiserkosis dapat terjadi melalui autoinfeksi,
pasien harus segera diobati setelah diagnosis ditegakkan.
Sistiserkosis apabila memungkinkan dianjurkan tindakan bedah. Pada kasus
sistiserkosis mata, lebih dianjurkan pengambilan kista daripada enukleasi. Untuk
mencegah hilangnya bola mata, dianjurkan untuk mengambil sistiserkusnya ketika
masih hidup (Junior, 1949). Beberapa obat telah dicoba dengan derajat keberhasilan
yang berbeda – beda dalam memberantas sistiserkus; praziquantel, yang mungkin
membutuhkan pengobatan ulang (Rim dkk, 1980; Botero dan Castano, 1981); dan
metrifonat untuk sistiserkosis kutan (Tschen dkk, 1981).
Prognosis pada pasien sangat baik bila terdapat cacing dewasanya, baik bila
Sistiserkus dapat diambil dengan tindakan bedah, dan buruk bila terdapat parasit
dalam bentuk rasemosa, terutama dalam otak. Beberapa regimen obat baru juga
terbukti sangat efektif untuk membunuh sistiserkus.
Cacing dewasa dianjurkan penggunaan praziquantel atau niklosamid (Sotelo
dkk, 1985). Karena kemungkinan sistiserkosis dapat terjadi melalui autoinfeksi,
pasien harus segera diobati setelah diagnosis ditegakkan.
Sistiserkosis apabila memungkinkan dianjurkan tindakan bedah. Pada kasus
sistiserkosis mata, lebih dianjurkan pengambilan kista daripada enukleasi. Untuk
mencegah hilangnya bola mata, dianjurkan untuk mengambil sistiserkusnya ketika
masih hidup (Junior, 1949). Beberapa obat telah dicoba dengan derajat keberhasilan
yang berbeda – beda dalam memberantas sistiserkus; praziquantel, yang mungkin
membutuhkan pengobatan ulang (Rim dkk, 1980; Botero dan Castano, 1981); dan
metrifonat untuk sistiserkosis kutan (Tschen dkk, 1981).
Prognosis pada pasien sangat baik bila terdapat cacing dewasanya, baik bila
Sistiserkus dapat diambil dengan tindakan bedah, dan buruk bila terdapat parasit
dalam bentuk rasemosa, terutama dalam otak. Beberapa regimen obat baru juga
terbukti sangat efektif untuk membunuh sistiserkus.
    

13 | P a g e
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
1. Taeniasis adalah suatu infeksi pada saluran pencernaan oleh cacing taenia dewasa;
sistiserkosis adalah penyakit/infeksi yang terjadi pada jaringan lunak yang disebabkan
oleh larva dari salah satu spesies cacing taenia yaitu spesies Taenia solium.
2. Manusia dapat terinfeksi cysticerci, larva dari Taenia solium, dengan mencerna telur
cacing pita tersebut. Konsumsi daging babi yang belum benar-benar matang dimasak
dapat menyempurnakan siklus hidup cacing pita tersebut. Frekuensi terjadinya penyakit
sistiserkosis di negara berkembang sudah berkurang karena standar inspeksi daging
yang semakin diperketat, peningkatan higienitas dan fasilitas sanitasi yang lebih baik.
3. Penyebab penyakit Taeniasis adalah Taenia soliumyang biasanya terdapat pada daging
babi, dimana cacing tersebut dapat menyebabkan infeksi pada saluran pencernaan (oleh
cacing dewasa), dan bentuk larvanya dapat menyebabkan infeksi somatik (sistisersi).
4. Morfologi:
a. Taenia solium (linnaeus, 1758) mempunyai panjang 4-10 meter dg 1000 – 2000
proglotid.
b. Skoleks mempunyai 4 batil isap dg 25-30 alat pengait. Uterus gravid mempunyai
percabangan lateral 7-13 buah.
c. Telur berbentuk bulat dg ukuran 30-40 mikron, berwarna kuning tengguli dg dinding
telur berstruktur radier dan terdapat embryo hexacanth dg 6 alat pengait didalamnya.
5. Pada manusia cacing pita hidup dan berkembang di dalam saluran pencernaan. Di
dalam usus, telur cacing (proglotid gravid) akan menetas membentuk larva yang disebut
onkosfer. Larva cacing pita ini berbentuk bulat telur berukuran 10 x 5 mm, berwarna
jernih dan mengandung cairan yang khas. Sel larva yang masih muda ini kemudian akan
berkembang menjadi cacing pita dewasa. Selanjutnya, cacing pita dewasa akan melekat
dan tinggal di dalam usus kecil, panjang cacing pita dewasa sendiri dapat mencapai 2
sampai 5 meter. Sedangkan sebagian larva cacing lainnya akan berkembang menjadi
sistiserkus, dan menginvasi jantung, hati, otot, dan organ-organ lainnya pada tubuh
sehingga mengakibatkan infeksi sistemik. Daur hidup cacing pita tidak berhenti sampai
disini saja, dalam waktu kurang dari dua hingga tiga bulan cacing telah matang secara
seksual dan mampu menghasilkan telur lagi untuk melanjutkan keturunannya. Untuk satu
cacing pita saja dapat menghasilkan rata-rata 1000 telur. Telur-telur tersebut kemudian

14 | P a g e
dikeluarkan bersama dengan tinja. Di lingkungan telur cacing pita dapat bertahan selama
beberapa hari hingga berbulan-bulan lamanya.
6.Pengendalian
Secara garis besar cara pengendalian agar mengurangi atau terhindar dari infeksi cacing
yaitu:
a. Pemakaian jamban keluarga, sehingga tinja manusia tidak dimakan oleh babi dan
tidak mencemari tanah atau rumput.
b. Pemelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan
sehingga tidak dapat Berkeliaran
c. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di RPH, sehingga daging yang
mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor
dengan dinas Peternakan)
d. Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran
tentang bentuk kista tersebut dalam daging, hal ini penting dalam daerah yang banyak
memotong babi untuk upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan Irian
jaya.
e. Menghilangkan kebiasaan maka makanan yang mengandung daging setengah matang
atau mentah.
f. Memasak daging sampai matang ( diatas 57 º C dalam waktu cukup lama ) atau
membekukan dibawah 10º selama 5 hari . Pendekatan ini ada yang dapat diterima
,tetapi dapat pula tidak berjalan , karena perubahan yang bertentangan dengan adat
istiadat setempat akan mengalami hambatan. Untuk itu kebijaksanaan yang diambil
dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.
Pengobatan
a. Pengobatan dengan Praziquantel dan Albendazole. Pemberian praziquantel maupun
albendazole harus dibawah pengawasan petugas kesehatan atau dilakukan dirumah
sakit

3.2 SARAN
Diharapkan adanya peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat sehingga program
pemberantasan penyakit cacingan dapat dilakukan dengan tuntas.
Diharapkan adanya peningkatan sarana sanitasi guna menunjang kehidupan yang lebih
bersih dan sehat

15 | P a g e
Diperlukan adanya terobosan baru untuk menemukan tehnik pemeriksaan yang relatif
sederhana, namun dapat memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang lebih baik.

16 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai