Anda di halaman 1dari 2

Polemik pembubaran ormas (organisasi masyarakat) di Indonesia terus bergulir, isu

ini dimulai sejak Mei 2016 dan makin memanas sejak Mei 2017. Penegasan ini dimulainya
Perppu No. 2 Tahun 2017 yang kemudian menjadi UU No. 16 Tahun 2017, terlepas dari
dasar hukum pembubaran ormas yang merubah ketetntuan pembubaran organisasi
masyarakat yang diatur di dalam UU No. 17 Tahun 2013. UU No. 16 Tahun 2017
memberikan otoritas yang besar pada Pemerintah (ranah eksekutif) dan mengambil alih
kekuasaan pembubaran ormas yang sebelumnya berada pada ranah badan peradilan. Hal ini
mencederai amanat konstitusi yang termaktub dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang
memberikan hak warga negara dalam kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat dan juga merupakan Hak Asasi Manusia (freedom of association) [ CITATION Kur18 \l
1057 ]
Dengan adanya UU No.16 Tahun 2017, seakan-akan memperlihatkan
kesewewenangan pemerintah dalam mengambil alih kekuasaan yudikatif dalam pembubaran
ormas, yang sewaktu-waktu undang-undang tersebut menjadi senjata pemerintah dalam
membatasi hak kebebasan berserikat dengan membubarkan dan memberikan sanksi pidana
terhadap organisasi masyarakat tanpa proses peradilan.[ CITATION Kur18 \l 1057 ] UU No.16
Tahun 2017 dengan mengeliminasi mekanisme pemberian sanksi ormas yang terdapat dalam
UU Nomor 17 tahun 2013 dalam Pasal 61 dan 62. Pasal 62 ayat (2) menyebutkan bahwa
“Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan
hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan”
yang kemudian diafirmasi dalam Pasal 82 bahwa pencabutan tersebut bermakna sebagai
pembubaran ormas.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari berpendapat bahwa dinilai
bermasalah sejak awal pembentukan UU tersebut, UU tersebut menghapus mekanisme
pembubaran ormas melalui peradilan yang sesungguhnya diatur dalam UU Ormas lama. UU
Ormas baru yang dibentuk dari Perpu Presiden Jokowi ini bermasalah [ CITATION Nur201 \l
1057 ]. Hal ini bertentangan dengan semangat reformasi yang digaungkan dan diamanatkan
konstitusi. Namun, berbeda dengan pandangan Pakar Ahli Hukum Pidana, Prof Romli
Atmasasmita berpendapat sudah tepat lahkan pemerintah (Perppu Ormas) tinggal satu
pengawasan orang-orangnya bijak dua menteri yaitu Menkumham dan Mendagri yang
mengkontrol dan pengawasan ormas dan menurutnya justru yang bermasalah adalah Undang-
Undang (UU) yang dibuat oleh DPR Nomor 17 Tahun 2013. Karena dalam UU tersebut,
proses membubarkan ormas terlalu lambat, sehingga diperlukan Perppu untuk mencegah
delay justice (Merdeka, 2018).
Ketentuan tersebut menunjukan hadirnya Pro dan Kontra dalam beberapa pasal yang
ditetapkan yang memberikan kewenang penuh kepada eksekutif untuk melakukan pencabutan
badan hukum ormas. Akibatnya bisa jadi pembubaran organisasi masyarakat hanya
berdasarkan keputusan politik pemerintah yang sangat bergantung pada kepentingan-
kepentingan parsial pemerintah dan pertimbangan-pertimbangan politik semata. Hal ini dapat
memberikan implikasi negatif terhadap iklim kemerdekaan berserikat dan berkumpul di
Indonesia. Selain itu mengenai UU Ormas baru tentunya tergantung kebutuhan yang dihadapi
dalam praktik (the actual legal necessity). Ketentuan dalam UU Ormas baru dapat
menyangkut perlindungan hak asasi manusia termasuk hak untuk berserikat yang dijamin
dalam undang-undang dasar.

Anda mungkin juga menyukai