Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

“KASUS DISINTEGRASI DAN


INTEGRASI SOSIAL DI INDONESIA”
Dosen Pengampu : Rizki Yunanda, M.Si

Mata Kuliah : Sistem Sosial Budaya Indonesia

Kelompok 6:

Lisma Yani (200230024)

Nurdinda (200230003)

Sutiya Anggriyani (200230029)

Yulia Tryani (200230013)

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

TAHUN AJARAN 2020-2021

1
Kata Pengantar

Segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan hikmah, hidayah, kesehatan serta umur yang panjang sehingga
makalah ini yang berjudul “Kasus Disintegrasi dan Integrasi Sosial di
Indonesia” ini dapat terselesaikan. Kami juga berterima kasih kepada bapak
Rizki Yunanda. yang memberikan tugas ini untuk pembelajaran dan
penilaian untuk mata kuliah ini.

Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah


membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Lhokseumawe, 20 Mei 2021 

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER.............................................................................. 1

KATA PENGANTAR....................................................... 2

DAFTAR ISI ..................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN................................................... 4

A. LATAR BELAKANG................................................. 4
B. TUJUAN ..................................................................... 4

BAB II ISI............................................................................ 5

A. KASUS KALIMANTAN............................................. 5
B. KASUS MADURA...................................................... 8
C. KASUS PAPUA............................................................ 15

BAB III PENUTUP.............................................................. 23

A. KESIMPULAN............................................................... 23
B. SARAN........................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA............................................................ 25

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini, bangsa Indonesia banyak mengalami krisis persatuan dan


kesatuan. Banyak orang yang lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada
kepentingan umum, sehingga hilangnya persatuan dan kesatuan ini dapat
menyebabkan timbulnya Disintegrasi bangsa, sedangkan arti dari Disintegrasi
menurut KBBI adalah hilangnya keutuhan atau persatuan.

Potensi terjadinya disintegrasi di Indonesia sangatlah besar, hal ini dapat


terjadi karena permasalahan kompleks yang terjadi tetapi tidak dicari solusinya
secepat mungkin, sehingga menyebabkan eskalasi konflik. Dampaknya
terjadilah upaya pemisahan diri dari NKRI.

Bangsa Indonesia yang kaya dengan keragaman yang dimiliki


masyarakatnya menempatkan dirinya sebagai masyarakat yang plural.
Masyarakat yang plural juga berpotensi dan sangat rentan kekerasan etnik.
Apabila msalah ini tidak tidak di tangggani secara cepat dan tepat maka konflik
yang terjadi pun akan sulit dihentikan.

B. TUJUAN
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut :
a. Memahami arti Disintegrasi dan Integerasi
b. Hal-hal yang menyebabkan Disintegrasi dan Integrasi di Kalimantan,
Madura, dan Papua.
c. Bagaimana cara mencegah terjadinya Disintegerasi Sosial.

4
BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Integrasi dan Disintigrasi

Pengertian Integrasi
Integrasi tentu sudah tidak asing di telinga kita. Kata Integrasi berasal dari
bahasa Inggris yaitu “integration” yang berarti keseluruhan atau kesempurnaan.
Dalam Kamus Besar Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2002, dikemukakan
pengertian integrasi sebagai “pembauran atau penyatuan hingga menjadi
kesatuan yang utuh dan bulat”. Hal ini dapat diartikan bahwa integrasi
merupakan upaya untuk mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada di suatu
negara untuk mencapai keselarasan dan kesatuan secara utuh. Perbedan-
perbedaan tesebut dapat meliputi Budaya-budaya suatu kelompok sosial dalam
suatu wilayah.
Faktor Pendorong yang melatar belakangi terjadinya Integrasi di Indonesia ;
5
a.Adanya Persamaan Sejarah
b.Adanya Ideologi Nasional
c.Adanya Keinginan untuk Bersatu
d.Adanya Ancaman dari luar

Faktor Pendukung Integrasi di Indonesia ;


a.Penggunaan Bahasa Indonesia
b.Semangat Persatuan dan Kesatuan dalam Bangsa.
c.Adanya Kepribadian dan Pandangan hidup kebangsaan yang sama, yakni
Pancasila
a.Adanya Semangat Gotong-Royong.

Faktor Penghambat Integrasi di Indonesia ;


Kurangnya Penghargaan terhadap Kemajemukan
Kurangnya Toleransi antar sesama golongan.
Kurangnya Kesadaran dalam diri masing-masing rakyat Indonesia.
Adanya Ketimpaan dan Tidak Meratanya Pembangunan

KASUS KALIMANTAN
1. Disintegrasi

Secara umum, terdapat empat kelompok etnis besar di Kalimantan Barat, masing-
masing Melayu, Dayak, Cina dan Madura (Cahyono-Adam, dkk, 2006: 27-78).11
Kelompok etnis Melayu berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesiatermasuk
penduduk lokal atau Dayak, yang setelah memeluk agama Islam dikategorikan sebagai
orang Melayu.

Pekerjaan di wilayah Provinsi Kalimantan Barat telah terpolakan berdasar kelompok


etnis tertentu . Sebagai contoh, etnis Melayu menguasai sektor pemerintahan dan
kelompok suku Cina menguasai jalur perdagangan besar, menengah dan kecil.
Selanjutnya penduduk lokal (Dayak) berangsur-angsur tersisihkan dari panggung
kehidupan sosial masyarakat di daerah ini, dan lebih banyak bekerja di sektor pertanian,
6
kehutanan dan sektor informal serta di sektor pemerintahan tetapi dalam jumlah
terbatas. Fenomena dari ‘pembagian’ wilayah kerja mungkin tidak termasuk dalam
faktor dominan pemicu konflik, tetapi dapat dipertimbangkan sebagai faktor
kecemburuan sosial, yang secara tidak langsung ikut memicu konflik etnis di Provinsi
Kalimantan Barat.

Apabila ditelaah dari sisi geografis, warga Melayu, Madura, Dayak dan kelompok
etnis lainnya tinggal dalam sebuah wilayah yangsama, yakni Kabupaten Sambas,
Provinsi Kalimantan Barat. Walaupun demikian, afiliasi etnis dan geografis tidak
sepenuhnya menjamin stabilitas sosial dan relasi sosial yang setara dari para warga
berbeda etnis. Perbedaan yang ikut memicu konflik dapat ditelusuri juga pada aspek
asal usul dan keturunan, yang sering dipakai untuk memperlebar jarak sosial
antarkelompok, sehingga kasus sekecil apapun dapat dikonstruksikan untuk menyulut
konflik. Kasus premanisme atau pencurian dan penusukan oleh pemuda Madura
sehingga mengakibatkan konflik etnis di Kalimantan Barat itu, hanyalah puncak dari
kegelisahan dan perasaanmenolak kehadiran kelompok lain, seperti warga Madura,
yang dalam pandangan kelompok Melayu dan Dayak menjadi akar dari berbagai
gangguan sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Atau dalam perspektif lokal Kabupaten
Sambas khususnya dan Provinsi Kalimantan Barat umumnya, terdapat dua unsur utama
yang menjadi faktor pemicu konflik yaitu wilayah atau tanah dan penduduk.

Menurut Bahari (2005), latar belakang dugaan dan penyebab terjadinya konflik,
khususnya antara etnik Dayak dengan Madura itu bermacam-macam, misalnya, pihak
pemerintah termasuk aparat keamanan menduga terjadinya konflik sosial dengan
kekerasan antara etnik itu disebabkan oleh adanya dalang yang menggunakan isu SARA
sebagai pemicunya. Tujuannya adalah untuk mengacaukan stabilitas politik nasional
dan mengganggu dinamika pembangunan. Para pengamat sosial, budaya, politik, dan
ekonomi menilai bahwa kesenjangan ekonomi, integrasina sional yang lemah,
pertentangan para elit, pertentangan primordial, ketidakadilan penyelenggaraan
pemerintahan, ketidakadilan penerapan dan penegakan hukum, ketimpangan sosial dan
sistem nilai dan orientasi budaya yang telah lama terpendam, yang menjadi akar
masalahnya.

7
Sangat mudahnya kedua etnik (Dayak dan Madura) terlibat pertikaian, ada kaitannya
dengankebiasaan tradisional yang sering dilakukan oleh kedua etnik ini sejak zaman
nenek moyang merekasampai sekarang masih melekat, yaitu kebiasaan mengayau pada
etnik Dayak dan kebiasaan carokpada etnik Madura. Kebiasaan tradisional pada kedua
etnik ini memang tidak tampak lagi dalambentuk aslinya dalam praktik, tetapi pada
hakekatnya kebiasaan ini masih memengaruhisecara psikologis sikap dan tindakan
kedua etnik ini dalam menghadapi kompetisi sosial. Budaya yang terkait dengan
kekerasa padaorang Dayak adalah budaya mengayau. Mengayaupada etnik Dayak
berasal dari kata kayau artinyamusuh, jadi mengayau berarti mencari musuh
ataumemotong kepala manusia(Lontaan,1975:523). Pada saat sekarang, pelaksanaan
mengayau tidaklagiberhubungan dengan upacara yang bersifatritual yaitu penyembahan
kepada Tuhan mereka,tetapi dilaksanakan dengan berbagai motif, dansalah satu
tujuannya adalah motif balas dendam.Artinya, jika anggotasuku atau kelompok
merekaterbunuh, maka seluruh anggota yang lain akanmengambil tindakan berupa balas
dendam. Di pihaklain, budaya yang terkait dengan kekerasan padaorang Maduradikenal
sebutan carok. Dalam studitentang carok, Wiyata 2002:170-185)mengungkapkan bahwa
harga diri atau kehormatandiri orang Madura akan terusik jika ia dipermalukan(malo)
atau dilecehkan secara sosial.

Setiap konflik meninggalkan trauma bagi masyarakat, khususnya pihak-pihak yang


terlibat di dalamnya dengan korban jiwa dan material. Oleh karena itu, pemulihan pasca
konflikmembutuhkan usaha serius yang mencakup bidang material, mental dan
kejiwaan. Upaya-upaya yang melibatkan para pihak (stakeholders) ini, tidak seluruhnya
dapat menghilangkan trauma akibat kehilangan jiwa anggota keluarga dan harta benda.

2. Integrasi
Integrasi sosial masyarakat multietnis di Kalimantan dikaji berdasarkan konsep
empat imperatif AGIL TalcotParsons, yaitu adaptasi (adaptation), pencapaian tujuan
(goalattainment), integrasi (integration), dan latensi (latency).
1. Adaptasi (Adaptation)
a. Kemampuan Masyarakat Multietnis Menyesuaikan Diri dengan Lingkungan Sosial
8
b. Relatif Tingginya Sikap Toleransi Masyarakat MultietnisSikap toleran masyarakat
multietnis tergambar dari adanya sumbangan sosial dan relativisme budaya, melalui
bahasa.
2. Pencapaian Tujuan (Goal Attaniment)
Pencapaian tujuan dalam hal ini adalah relatif tingginya rasa damai
(harmonisasi), rasa kekeluargaan dalam masyarakat multietnis, yakni hidup dengan
rukun dan memiliki sikap empati sosial.
a. Harmoni Sosial
b. Rasa Kekeluargaan
3. Integrasi (Integration)
Adapun kesatuan sosial masyarakat Multietnis tergambar dari hubungan sosial
antar komunitas etnis yang membaur dan timbulnya saling ketergantungan
(interdependency).
a. Bersatu dalam Relasi Sosial
b. Kesalingketergantungan antar Komunitas Etnis (Sosial-Ekonomi)
4. Pemeliharaan Nilai dan Norma (Latency) oleh Masyarakat Multietnis
a. Upacara Keagamaan
b. Upacara Adat
c. Siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan)
d. Musyawarah Desa (Lintas Agama dan Etnis)

A. KASUS MADURA
1. Desintegrasi
Konflik Sampit adalah pecahnya kerusuhan antaretnis di Indonesia, berawal pada
Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu. Konflik ini dimulai di kota Sampit,
Kalimantan Tengah dan meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya.
Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau
Madura.Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura
diserang oleh sejumlah warga Dayak.Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500
kematian, dengan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal.Banyak
warga Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.

9
Konflik Sampit yang berada di lokasi Pulau Kalimantan (Kota Sampit, Kota
Sambas, Kota Palangkaraya, Kota Pontianak).Pihak yang terlibat yaitu antar Etnis
Dayak dan Etnis Madura.Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi,
karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura.
Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang
mengakibatkan 600 korban tewas.Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun
1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial
Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia.Tahun 2000, transmigran
membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah.Suku Dayak merasa tidak puas dengan
persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif. Hukum-hukum
baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri
komersial di provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan

Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi
mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak.
Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian
sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman
Madura.Skala pembantaian membuat militer dan polisi sulit mengontrol situasi di
Kalimantan Tengah. Pasukan bantuan dikirim untuk membantu pasukan yang sudah
ditempatkan di provinsi ini. Pada 18 Februari, suku Dayak berhasil menguasai Sampit.
Polisi menahan seorang pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu otak pelaku di
belakang serangan ini. Orang yang ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk
memprovokasi kerusuhan di Sampit. Polisi juga menahan sejumlah perusuh setelah
pembantaian pertama. Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di
Palangkaraya sambil meminta pelepasan para tahanan. Polisi memenuhi permintaan ini
dan pada 28 Februari, militer berhasil membubarkan massa Dayak dari jalanan, namun
kerusuhan sporadis terus berlanjut sepanjang tahun.
2. Integrasi
Proses Integrasi Sosial Masyarakat multietnis dalam Perspektif Struktural
Fungsional di Desa Durian Kecamatan Sungai Ambawang.Dalam penelitian ini,
integrasi sosial masyarakat multietnis Desa Durian dikaji berdasarkan konsep empat
imperatif AGIL Talcot Parsons, yaitu adaptasi (adaptation), pencapaian tujuan (goal

10
attainment), integrasi (integration), dan latensi (latency).
1. Adaptasi (Adaptation)
a. Kemampuan Masyarakat Multietnis Menyesuaikan Diri dengan Lingkungan
Sosial.
Adanya sikap percaya (trust) orang Dayak dan Melayu kepada orang Madura
yaitu yang berkenaan dengan kebiasaan hidup orang Madura yang tidak lagi membawa
senjata tajam cluritdan tidak pernah ada kasus carok di Desa Durian. Sementara,
kemampuan adaptasi masyarakat multietnis di Desa Durian menimbulkan relasi
kedekatan hubungan sosial (social relation intimacy) dikalangan etnis Dayak, Madura
dan Melayu, hal ini tergambar dari:
(1) Kedekatan Lokasi Tempat Tinggal.
Pemukiman tempat tinggal antara orang Madura, Dayak dan Melayu di Desa Durian
tergolong saling berdekatan yakni di sekitar sungai (tepian sungai ambawang) dan darat
(jalan utama penghubung antar RT/RW). Orang Dayak tidak mengalami kesulitan
berarti saat bergaul dengan orang Madura, Melayu. Hal ini disebabkan hubungan
bertetangga yang terjalin selama ini terikat hubungan emosional, yaitu sama-sama satu
desa dan sudah mengenal satu sama lain serta mengikuti belbagai kegiatan seperti
gotong royong, peringatan hari besar keagamaan dan pesta pernikahan. Bahkan terlihat
bahwa antar etnis dapat membaur dengan sangat baik.
(2) Kedekatan Nasib (Sosial-Ekonomi).
Pekerjaan masyarakat multietnis di Desa Durian adalah mayoritas memilliki
kesamaan pekerjaan yaitu bertani atau berkebun. Kondisi sosial ini juga mengandung
unsur perasaan bersama atau senasib sepenanggungan dalam status sosial warga.
Menurut informan, mengatakan bahwa “Tidak jarang, saat musim bertani atau
berkebun, warga saling tolong menolong membuka lahan dan menanam.” Hal ini juga
menginterpretasikan sifat solidaritas mekanik warga yang masih kental di Desa Durian.
Masyarakat yang dibentuk oleh solidaritas mekanik, kesadaran kolektif melingkupi
seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya terutama dalam hal menjaga kondusifitas
dan suasana hubungan antar suku bangsa yang baik.
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat nilai-nilai sosial yang berkembang di Desa
Durian yang berpengaruh terhadap hubungan sosial antar etnis, yakni nilai inklusif

11
(inclusive value), nilai saling percaya (mutual trust value) dan nilai tolong menolong
(mutual help value).
b. Relatif Tingginya Sikap Toleransi Masyarakat Multietnis
Sikap toleran masyarakat multietnis tergambar dari adanya sumbangan
sosial dan relativisme budaya melalui bahasa.
(1) Sumbangan Sosial
Kedekatan hubungan sosial secara religi tidak hanya terjadi antara orang
Madura dan orang Melayu (Islam) tetapi juga antara orang Dayak (Nasrani) dengan
orang Melayu dan Madura (Islam). Dalam hal ini adalah pertama, sembayang
bersama (Jumat-an) dan adanya majelis Taklim (pengajian seminggu sekali) bagi
warga penganut agama Islam (orang Madura dan Melayu) dan kedua, terdapatnya
bentuk soldiaritas religi orang Dayak (Nasrani) terhadap orang Madura dan Melayu
yaitu dalam hal pemberian sumbangan sosial berupa uang (materi) untuk
pembangunan masjid atau surau yang diwakili oleh pemuka adat Dayak
(Temenggung). Arti penting fenomena ini adalah terdapat semangat solidaritas
sosial yang tinggi antar warga meskipun berbeda suku maupun agama.

(2) Relativisme Budaya melalui Bahasa


Pada saat berinteraksi antar warga yang terdiri dari berbagai etnis, cukup sering
menggunakan perpaduan bahasa, baik itu bahasa persatuan Indonesia, Dayak,
Madura dan Melayu. Bahkan dikantor pemerintahan (kantor desa) warga dan
aparatur desa berkomunikasi dengan bahasa Indoensia dan bahasa daerah untuk
menjalin keakraban. Kebiasaan menggunakan berbagai bahasa derah (bahasa
Madura, Dayak Kanayatn, dan Melayu) membuat masyarakat multietnis di Desa
Durian dapat hidup dengan suasana kekeluargaan. Implikasi sosial dari persesuaian
sosiolinguistik ini menimbulkan komunikasi sosial semakin akrab dan hangat dan
kehidupan sosial semakin harmonis, bahkan yang paling ekstrem terbukanya sistem
perjodohan antara dua etnis yang berbeda, misalnya di desa ini terjadi amalgamasi,
yakni adanya orang Dayak menikah dengan orang Madura.
Berdasarkan penjelasan diatas, terdapat nilai-nilai sosial yang berkembang di
Desa Durian yang berpengaruh terhadap perilaku hubungan sosial antar etnis, yakni

12
nilai toleransi (tolerance value) dan nilai relativisme budaya (relativisme cultural
value).
2. Pencapaian Tujuan (Goal Attaniment)
Pencapaian tujuan dalam hal ini adalah relatif tingginya rasa damai
(harmonisasi), rasa kekeluargaan dalam masyarakat multietnis, yakni hidup dengan
rukun dan memiliki sikap empati sosial.
a. Harmoni Sosial
Relasi sosial antar etnis di Desa Durian terjalin harmonis tanpa adanya sikap
prasangka negatif yang berarti (prejudice dan stereotype). Misalnya pada masyarakat
multietnis Desa Durian, orang Madura menilai orang Dayak sebagai orang yang ramah,
bersahaja dan terbuka. Orang Dayak menilai orang Madura sebagai orang yang pekerja
keras, dapat dipercaya dan menghargai adat lokal. Sementara orang Madura menilai
orang Melayu sebagai orang yang seiman (Islam) dan dapat diajak kerjasama.
b. Rasa Kekeluargaan
Masyarakat multietnis Desa Durian sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
kebersamaan serta kekerabatan. Misalnya pada acara pernikahan warga etnis Dayak
(Kristen/Katolik), warga dari etnis Madura dan Melayu membantu membuat panggung
atau tenda, memasak dan menjadi pelayan tamu undangan. Hal ini dilakukan bukan
didasari oleh hubungan darah tetapi karena mereka merasa orang lain adalah seperti
saudara. Mereka melakukan itu tanpa pamrih dan tidak memersoalkan latar etnis atau
agama seseorang atau keluarga besar yang bersangkutan. Saat resepsi pernikahan, orang
Dayak membuat hidangan dua jenis, yaitu konsumsi untuk orang Muslim (Madura dan
Melayu) dan Non-Muslim (Dayak).
3. Integrasi (Integration)
Adapun kesatuan sosial masyarakat multietnis di Desa Durian tergambar dari
hubungan sosial antar komunitas etnis yang membaur dan timbulnya kesaling
ketergantungan (interdependency).
a. Bersatu dalam Relasi Sosial
Jika dilihat dari dimensi interaksi sosial di Desa Durian, sejak dulu interaksi
masyarakat asli dengan kaum pendatang sudah berjalan sejak lama dan relatif baik.
Kelompok masyarakat asli tidak pernah menolak kehadiran kaum pendatang ditengah-

13
tengah mereka, baik yang datang sebagai buruh tani, pedagang, penyebar agama, dan
pegawai negeri sipil. Masyarakat asli di Desa Durian dianggap adalah orang Dayak.
Sifat menghormati yang tinggi antar etnis sangat berkontribusi penting dalam
menjaga keseimbangan hidup masyarakat multietnis di Desa Durian, baik antar sesama
etnis maupun dalam perbedaan kepercayaan atau agama. Penghargaan terhadapadat dan
hukum adat Dayak sangat tinggi baik oleh komunitas orang Dayak itu sendiri maupun
komunitas dari orang Madura dan Melayu sehingga warga lintas etnis hidup dengan
rukun dan tertib sosial.
b. Kesalingketergantungan antar
Komunitas Etnis (Sosial-Ekonomi)Adanya praktek pekerjaan (usaha ekonomi
produktif) yang saling menguntungkan (reciprocity) dan menimbulkan saling
ketergantungan (interdependency) dalam hal pertanian dan perkebunan pada masyarakat
multietnis di Desa Durian tergambar dari adannya gabungan anggota dari pelbagai etnis
(orang Madura, Dayak dan Melayu) pada masi-masing kelompok, yaitu terdapat
sembilan (9) kelompok usaha pertanian dan empat (4) kelompok usaha perkebunan.
Dalam konteks ini, warga tidak pernah mempersoalkan identitas etnis atau latar
belakang sosial seseorang dalam hal praktik pertanian maupun transaksi ekonomi,
bahkan diantara warga sudah saling mengenal dengan baik dan berbagi berkat satu sama
lain. Kebersamaan antar warga dalam penggarapan lahan pertanian dan adanya
simbiosis mutualisme secara ekonomi menimbulkan suatu jalinan hubungan sosial yang
baik dan perasaan senasib sepenanggungan untuk memenuhi kebutuhan
hidup.Berdasarkan penjelasan diatas, terdapat nilai-nilai sosial yang berkembang di
Desa Durian yang berpengaruh terhadap hubungan sosial antar etnis, yakni nilai
persatuan (unity value) dan nilai saling ketergantungan (interdependency value).
4. Pemeliharaan Nilai dan Norma (Latency) oleh Masyarakat Multietnis
Latensi dilakukan oleh warga bersama para tokoh masyarakat. Pemeliharaan
nilai-nilai dan norma-norma dilakukan dalam pelbagai kegiatan, seperti:
a. Upacara Keagamaan
Satu upacara keagamaan yang rutin dilakukan oleh komunitas orang Madura dan
Melayu (Islam) adalah pengajian setiap hari kamis malam (Majelis Taklim). Mereka
biasanya melakukan pengajian di masjid-mesjid, bahkan di rumah-rumah secara
bergantian. Sementara pada orang Dayak (Nasrani), kegiatan rutin keagamaan adalah
14
dalam bentuk ibadah keluarga (setiap sabtu malam), ibadah kaum ibu-ibu (setiap rabu
sore), ibadah kaum bapak-bapak (setiap minggu malam) dan ibadah pemuda/pemudi
(setiap jumat malam) dimana anggota jemaat saling bergantian beribadah bersama
dirumah-rumah warga.
Pada dasarnya, upacara keagamaan rutin merupakan sesuatu yang bernilai dalam
proses latensi. Karena didalamnya terintegrasi penanaman nilai-nilai (internalisasi)
sekaligus pembudayaan nilai-nilai dan norma-norma (enkulturasi) sehingga dengan
kegiatan upacara rutin keagamaan tersebut membuat masyarakat yang multietnis
dipersatukan dalam semangat persaudaraan dalam kebersamaan (kekeluargaan).
Implikasi dari kegiatan keagamaan adalah masyarakat multietnis dapat menghayati
nilai-nilai universal dalam ajaran suatu agama dan bertindak konformitas maupun saling
menghargai
b. Upacara Adat
Upacara adat atau adat istiadat adalah suatu kebudayaan masyarakat yang sarat
mengandung nilai-nilai kearifan lokal serta bersifat sakral dan dihormati oleh
masyarakat. Berbicara adat istiadat masyarakat multietnis Desa Durian saat ini masih
dilestarikan. Menurut informan, menyatakan bahwa “Tradisi yang masih dilestarikan di
Desa Durian diantaranya tradisi “Robo-robo” dari etnis Melayu, tradisi “Ngawah Abut”
dari etnis Dayak, dan tradisi “Slametan”dari etnis Madura. Dalam setiap pelaksanaan
upacara adat di Desa Durian, masyarakat multietnis berpartisipasi aktif meskipun acara
tersebut tidak identik dengan adat dari etnisnya. Keterlibatan masyarakat mulitetnis ini
menimbulkan semangat empati dan solidaritas sosial antar warga dalam upaya
membangun rasa kepedulian sosial.

Hasil Integrasi Sosial Masyarakat Multietnis dalam Perspektif Struktural


Fungsional di Desa Durian Kecamatan Sungai Ambawang. Adapun hasil integrasi sosial
masyarakat multietnis Desa Durian terdiri dari akomodasi (acommodation) dan
kerjasama (cooperation).
a. Akomodasi (Acommodation)
Akomodasi pada masyarakat multietnis di Desa Durian misalnya dalam kasus
perselisihan antara orang Dayak dengan orang Madura dan Melayu terkait pemeliharaan

15
hewan Babi tanpa dikandang. Dari permasalah tersebut, sedikitnya terdapat empat (4)
bentuk akomodasi yang terjadi pada masyarakat multietnis di Desa Durian, yaitu:
1) Kompromi, yakni orang Madura dan orang Melayu mengurangi tuntutan
sehingga dapat menerima kondisi hidup di lingkungan orang Dayak yang
sukar untuk dipisahkan dari adanya peliharaan hewan Babi;
2) Toleransi, yakni orang Madura dan Melayu (Muslim) menghindari diri
dari perselisihan dan menghargai pendirian orang Dayak dalam
memelihara hewan Babi dilingkungannya;
3) Konversi, yakni orang Madura dan Melayu mengalah dan menerima
kenyataan bahwa orang Dayak dilingkungannya masih ada yang
memelihara hewan Babi tanpa dikandang; dan
4) Mediasi, terdapat intervensi pihak ketiga sebagai penengah (mediator)
untuk mengusahakan penyelesaian masalah secara damai, yaitu tokoh
masyarakat dan aparat kepolisian.

b. Kerjasama (Cooperation)
Kerjasama di masyarakat multietnis di Desa Durian terjadi karena adanya iklim
yang menyenangkan antar kelompok etnis serta kesadaran masing-masing kelompok
etnis bahwa tujuan yang dicapai dalam kerjasama adalah bermanfaat bagi semua.
Adapun kerjasama pada masyarakat multietnis di Desa Durian yaitu:
a. Gotong royong, yakni membuat jalan poros desa dengan rabat beton
menggunakan anggaran aspirasi atau bantuan dari pemerintah, dan
kegiatan bercocok tanam dalam masingmasing kelompok pertanian.
b. Kooptasi (cooptation), yakni aparatur Desa Durian yang terdiri dari
bebagai anggota dari etnis yang berbeda, sehingga dapat mengurangi
kecemburuan sosial.

B. KASUS PAPUA
1. Disintegrasi
Papua yang terletak di wilayah paling timur dari kesatuan Republik Indonesia
masuk dalam NKRI pada tanggal 19 Nopember 1969 melalui resolusi PBB No. 2504.
Hal ini sekaligus menjadi pengakuan atas integrasi Papua ke Indonesia menurut hukum
16
internasional. Selanjutnya, Papua menjadi daerah otonom yang absah bagi Indonesia
pada tahun yang sama melalui UU No.12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Daerah
Otonomi Irian Barat dan Kabupaten- Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat.
Akan tetapi sejak menjadi bagian NKRI, sebagian penduduk Papua merasa kurang
puas karena secara fakta mereka masih marginal dan miskin. Papua yang luasnya empat
kali lipat pulau Jawa dan memiliki sumber daya alam yang sangat besar seharusnya
mampu membuat rakyatnya hidup sejahtera. Kondisi kemiskinan tersebut tampak pada
terisolirnya kehidupan sekitar 74% penduduk Papua. Tempat tinggal mereka tidak
memiliki akses sarana transportasi ke pusat pelayanan ekonomi, pemerintahan dan
pelayanan sosial.
Ketidakpuasan secara ekonomis itulah, yang memunculkan semangat untuk
memerdekakan diri. Pemerintah Pusat dinilai gagal dalam membangun kesejahteraan di
Papua, apalagi dengan diadakannya Operasi Militer oleh Pemerintah Pusat untuk
mengatasi pemberontakan separatisme di Papua yang dalam faktanya justru banyak
menimbulkan pelanggaran HAM. Hal ini memperkuat rakyat Papua berkeinginan untuk
melepaskan diri dari NKRI.
Selain aspek ekonomis, separatisme di Papua di picu juga oleh konflik yang berakar
dari kekecewaan historis, peminggiran sosial budaya, nasionalisme Papua dan
diskriminasi politik dan hukum. Dalam perspektif kekecewaan historis, Ferry Kareth
mempersoalkan keabsahan Pepera. Kondisi sosial dan politik yang tidak kondusif di
dalam Papua memaksa beberapa warga Papua keluar meninggalkan negaranya. Inilah
yang menjadi alasan utama 42 warga Papua meminta suaka politik ke pemerintahan
Australia pada tahun 2006. Mereka keluar dari Papua menggunakan perahu dan
memanfaatkan kelemahan pengawasan perairan diIndonesia. Mereka bertolak dari
Merauke, berlayar selama lima hari dan akhirnya mendarat di tepi pantai terpencil Cape
York, Australia.3 Selanjutnya, pada bulan Maret 2006, Departemen Imigrasi dan
Masalah-masalah penduduk asli Australia (DIMIA) memberikan Temporary Protection
Visa (visa tinggal sementara) kepada 42 dari 43 warga Papua yang mencari suaka.
Dengan demikian, keputusan Australia di atas sangat melecehkan Papua dalam
integritas NKRI.
Konflik yang terjadi di Papua menunjukan munculnya rasa nasionalisme sebagai
pribumi Papua terhadap bangsa luar yang merupakan suatu bentuk kesadaran politik

17
dari bangsa Papua. Menurut Natalius Pigay (2001) konflik nasionalisme tersebut terjadi
diantara tiga kelompok yang berbeda. Pertama, konflik antara warga Papua sebagai
etnik pribumi dan Belanda yang dimulai tahun 1828-1962; kedua, konflik antara
Indonesia dengan Belanda yang terjadi tahun 1946-1962; dan ketiga, konflik antara
orang Papua dan Indonesia yang terjadi pada tahun 1962 sampai sekarang.
Kondisi dan keadaan Papua yang terus saja seperti ini seringkali menimbulkan
Ketidak percayaan orang Papua terhadap pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Akibat dari rasa ketidakpercayaan tersebut mereka seringkali melakukan pertentangan
dan perlawanan sampai dengan sekarang ini. Lebih lanjut lagi kini semakin banyak dari
masyarakat Papua yang terus menyuarakan referendum dan ancaman disintegrasi
bangsa di beberapa daerah Papua, sehingga negara melakukan pendekatan keamanan
untuk menangani berbagai konflik di Papua. Fenomena gerakan OPM dalam konflik
yang terjadi di Papua, menjadikan OPM sebagai sumber berita yang menarik bagi media
massa untuk diekspos ke masyarakat. Dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada enam
kejadian konflik yang melibatkan OPM dan aparat pemerintahan TNI-Polri. Termasuk
kasus penembakan terhadap 31 pekerja pembangunan jembatan di Kali Yigi-Kali Aurak
Kabupaten Nduga, Papua, pada 4 Desember 2018 lalu.

2. Integrasi

Terlepas dari kontroversi yang terus ada hingga kini, Papua telah menjadi bagian
Indonesia yang sah dan diakui dunia internasional dengan disahkannya hasil Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) oleh PBB melalui resolusi no 2504 pada tahun 1969

Namun Papua bukanlah tanah kosong tak berpenghuni. Terdapat tujuh wilayah adat
yang dihuni oleh ratusan suku di sana Integrasi teritorial Papua ke Indonesia
semestinyadilanjutkan dengan integrasi sosial, yakni memastikan masyarakat Papua dari
Sorong sampai Merauke, merasa menjadi bagian dari Bangsa Indonesia.

Selain berdampak destruktif terhadap integrasi sosial dan memperlebar


kesenjangan, orientasi terhadap pembangunan ekonomi telah menciptakan legitimasi
18
semu. Meledaknya amuk massa di Manokwari, Sorong, dan Fak Fak menjadi bukti kuat
dan mengejutkan akan hal itu.

Secara historis ketiga kota itu dikenal sebagai basis awal perlawanan rakyat Papua
terhadap pemerintah Indonesia Sejalan dengan kemajuan pembangunan, intensitas
perlawanan di kota-kota ini jauh menurun. Meledaknya amarah masyarakat Manokwari,
Sorong, dan Fak Fak menunjukkan bahwa pembangunan tidak cukup berhasil meredam
kekecewaan masyarakat Papua.

Berkobarnya bara Papua saat ini bertepatan dengan agenda perubahan UU Otsus
yang ditetapkan tahun 2001 dan pernah dipandang sebagai jalan tengah penyelesaian
persoalan PapuaNamun hingga 18 tahun pelaksanaan Otsus, persoalan Papua tak
kunjung reda. Gejolak Papua kali ini merupakan momentum yang tepat untuk
merancang ulang skema penyelesaian yang tuntas dan bermartabat, sehingga persoalan
Papua tidak terus menerus mengganggu perjalanan bangsa.

Untuk itu pelibatan seluruh elemen masyarakat Papua adalah keniscayaan, terutama
kelompok-kelompok yang selama ini berseberangan dengan pemerintah seperti United
Liberation Movement for West Papua, Komite Nasional Papua Barat, para tokoh adat,
tokoh agama, serta elemen-elemen kepemudaan dan mahasiswa Papua.

Pemerintah tidak perlu terlalu khawatir bahwa membuka ruang dialog dengan
mereka sama artinya dengan membuka jalan bagi referendum yang berakhir seperti
Timor Timur. Pengalaman Aceh menunjukkan bahwa solusi damai dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa dicapai.

Terakhir, upaya merangkul Papua bukan hanya tugas negara tapi juga tugas seluruh
warga bangsa. Setelah 74 tahun merdeka sudah semestinya bangsa ini mampu
menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang berperikemanusian, berperikeadilan, dan
berkeadaban.Dalam menyelesaikan masalah di Papua, kalau kita mengambil inspirasi
dari kebijakan Gus Dur, dengan menggunakan tiga kunci: sosial, agama, dan adat
(budaya). Karena pendekatan politik apalagi birokrasi pemerintahan di Papua tidaklah
efektif, apalagi pendekatan militer yang hanya menambah ketakutan dan
ketidakpercayaan. Gus Dur waktu itu meskipun menjabat sebagai presiden, dalam
19
menyikapi masalah di Papua tidaklah dengan menggunakan pendekatan politik dan
birokrasi pemerintahan, tapi dengan tiga kunci tadi. Bahkan saat itu Gus Dur malah
berbenturan dengan kelompok militer.

Masyarakat Papua memiliki ikatan sosial yang kuat, menghormati ajaran agama,
dan patuh pada hukum adat. Pelibatan tokoh-tokoh masyarakat sipil non politik, tokoh-
tokoh dari lintas agama, hingga para tokoh dan ketua adat dan lembaga adat

Kasus Disintegrasi di Papua

1. Kasus radikalisme

Akhir-akhir ini kata radikalisme semakin gencar menyebar membuat tegang kondisi
masyarakat negri ini. Radikalisme bagaikan momok yang menakutkan dan mengancam
Indonesia.Polri mendeteksi berkembangnya paham radikalisme ISIS di Papua, bahkan
organisasi itu diduga sudah mulai mengembangkan jaringannya dua tahun lalu di Tanah
Papua.Adanya keberadaaan kelompok teroris ISIS diketahui setelah Densus 88
menangkap pelaku yang berencana melakukan aksi teror di Polres Manokwari pada
2017 lalu.ISIS yang berkembang di Papua, umumnya merupakan kelompok Jamaah
Ansharut Daulah.Fakta di atas menunjukan dengan gamblang potret nyata radikalisme
dan terorisme dimana Gerakan Papua Merdeka terus merongrong negeri ini.

Gerakan sparatisme yang menggunakan kekerasan dan tak henti-henti nya terus
menelan korban. Inilah ancaman nyata bagi Indonesia.Konflik OPM yang sejak dulu
tak pernah terselesaikan justru semakin tumbuh subur. Namun pada fakta nya kelompok
OPM yang sudah jelas-jelas telah melakukan tindakan meneror dan membuat
keresahan, bahkan kekerasan dan sparatisme justru tak pernah di sebut sebagai
kelompok Radikal. Dan yang lebih mirisnya lagi istilah radikalisme dan terorisme justru
disematkan pada ormas-ormas Islam yang tak pernah melakukan kekerasan, teror
maupun gerakan sparatisme.

Di Manokwari beberapa fasilitas negara dirusak. Nah itu berarti massa yang
melakukan demonstrasi telah disusupi oleh kelompok-kelompok radikal.

20
Sebelumnya, untuk menolak paham radikalisme, dalam pelaksanaan Rapat kerja
(Raker) Bupati dan Walikota tahun ini, menghasilkan empat kesepakatan. Kesepakatan
itu pun, disetujui dan ditandatangani seluruh pimpinan daerah di Bumi Cenderawasih,
termasuk Forkompinda Papua. Pertama ,Pemerintah Provinsi Papua dan seluruh rakyat
meminta pemerintah pusat menghapus dan melarang berkembangnya paham
radikalisme (ISIS, HTI, FPI, Gafatar dan Salafi wahabi) di seluruh Indonesia.
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh
masyarakat, Forum Kerukuunan Umat Beragama (FKUB), Perguruan Tinggi dan swasta
serta tokoh perempuan wajib, mendeteksi dini ormas radikal yang berpotensi muncul di
Papua, baik keagamaan maupun organisasi kemasyarakatan yang bertentangan dengan
ideologi Pancasila dan undang-undang dasar 1945. Ketiga, Pemerintah provinsi Papua
menolak dan melarang keras segala bentuk paham radikalisme yang mengatasnamakan
agama dan organisasi melalui dakwah atau pengajaran (penyebaran kebencian, terror,
fitnah dan aduh domba) di Tanah Papua., Keempat, jika ditemukan indikasi penyebaran
paham radikalisme tersebut, masyarakat diminta segera melaporkan kepada pihak
berwajib untuk segera ditangkap dan dikeluarkan dari tanah Papua.

2. Kasus Rasis

Rasisme bisa berakibat serius. Rasisme menyebabkan orang tidak dilibatkan dalam
pembahasan tentang masa depan dirinya sendiri. Hal ini bisa digunakan untuk mencabut
martabat, lahan, otonomi, dan hak, ”. Masalah rasisme memang dibicarakan secara
terbuka, bersama-sama, dengan kepala dingin tentunya

Dalam hal rasisme terhadap orang Papua, akar rasisme ini sudah berjalan lama dan
mencakup berbagai aspek bernegara dan berbangsa di Indonesia. Bahkan nasionalisme
Indonesia bisa dibilang berakar pada denigrasi / perendahan orang Papua. Georgetown
University, Amerika Serikat, kasus rasisme terhadap Orang Asli Papua (OAP) selalu
berulang. Perulangan itu menunjukkan bahwa rasisme terhadap OAP itu adalah masalah

21
struktural dan sistematik yang melibatkan kebudayaan dan kepercayaan yang mengakar.
area rasisme bukan masalah individu, tetapi berakar pada kepercayaan, perilaku, dan
sistem sehari-hari masyarakat yang menganggap satu lebih rendah dari ras lain.Dalam
sejumlah kecil kasus rasisme terhadap orang Papua, ditempatkan secara hukum, namun
hanya mendapat izin ringan. “Padahal Indonesia Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008
tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

Perbuatan tindakan rasis tidak cukup di level pribadi orang per orang, misalnya
dengan minta maaf. “Rasisme adalah masalah sosial dan hukum. Perubahan di level
pribadi saja tidak cukup. Harus ada pembenahan besar-besaran di sistem kepercayaan,
termasuk sistem pendidikan, sistem hukum, politik dan lainnya untuk menciptakan
masyarakat yang antirasis.

Pada Agustus 2019, publik di Indonesia terkejut melihat kematian orang Papua atas
kasus rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019.
Polisi sempat menyangkal rasisme itu dan berencana memburu penyebar video ujaran
rasis terhadap Polisi sempat menyangkal rasisme itu dan berencana memburu penyebar
video ujaran rasis terhadap mahasiswa Papua .Akhirnya, sejumlah unjuk rasa
memprotes kasus rasisme di Surabaya itu berkembang menjadi massa.

3.Pelanggaran HAM

Hampir sebagian besar kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di


Papua tak pernah tuntas diselesaikan. Bahkan di Kejaksaan Agung terkesan dibiarkan
dengan alasan kurang bukti lapangan yang kuat. Padahal banyak saksi yang masih ingat
betul peristiwa itu dan terkadang suara korban tak didengar.

Salah seorang korban Biak Berdarah, Tineke Rumkabu, menyatakan sudah tak
berharap lagi penyelesaian dalam bentuk apapun, baik secara yudisial maupun
nonyudisial.

macam macam pelanggaran Hak Asasi Manusia :

22
A. Pembunuhan

Amnesty International menemukan setidaknya 95 kasus warga Papua meninggal


di tangan aparat keamanan, antara Januari 2010-14 Mei 2020. Kematian terjadi ketika
aparat menggunakan kekuatan berlebihan tanpa melalui proses hukum, misalnya ketika
menangani protes damai, kerusuhan, perkelahian atau berupaya menangkap tersangka.
Hingga saat ini, tak ada mekanisme independen yang efektif dan imparsial untuk
keluhan publik tentang pelanggaran HAM aparat keamanan. Korban jadi sulit mendapat
keadilan, kebenaran dan reparasi. Investigasi atas pembunuhan di luar proses hukum ini
juga jarang dilakukan.

B. Pelanggaran Hak berserikat dan berkumpul

Agustus-September tahun lalu, sekelompok orang menyerang asrama mahasiswa


Papua di Malang dan Surabaya, sembari menyerukan ucapan rasis seperti “monyet”.
Video penyerangan ini lantas viral, memicu orang Papua turun ke jalan di beberapa
kota. Walau beberapa protes berujung ribut, sebagian besar berlangsung damai. Tapi,
polisi tetap bertindak berlebihan. Setidaknya 96 orang ditangkap karena menggunakan
hak mereka berserikat dan berkumpul. Salah satu kasus menimpa enam orang aktivis
yang dituduh makar karena diduga menggalang aksi di depan istana Presiden pada 28
Agustus. Tak boleh ada yang ditangkap hanya karena menggunakan hak mereka secara
damai. Jika ada yang ditangkap karena melakukan kekerasan, penahanannya hanya
boleh menggunakan kekuatan seperlunya, secara wajar dan proporsional.

C. kasus biak berdarah ,06 juli 1998

Kasus Biak hanyalah salah satu kasus yang terjadi di awal reformasi setelah rezim
tumbangnya Orde Baru dibawah kepemimpinan Jenderal Soeharto. Reformasi yang
diharapkan warga Papua terutama korban yang ternyata tidak memberikan banyak
harapan. Mungkin hanya Presiden Gus Dur yang memperbolehkan pengibaran bendera
Bintang Kejora sebagai simbol lambing bendera budaya. Hanya boleh berkibar tetapi
tidak boleh sejajar dengan bendera Merah Putih, harus dibawah bendera Nasional
Indonesia.

23
24
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:

a. Disintegrasi bangsa, separatisme merupakan merupakan permasalahan


kompleks, akibat akumulasi permasalahan politik, ekonomi dan keamanan yang
saling tumpang tindih sehingga perlu penanganan khusus dengan pendekatan
yang arif serta mengutamakan aspek hukum, keadilan, sosial budaya.
b. Pemberlakuan otonomi daerah merupakan implikasi positif bagi masa depan
daerah di Indonesia namun juga berpotensi untuk menciptakan mengentalnya
heterogental dibidang SARA.
c. Pertarungan elit politik yang diimplementasikan kepada penggalanganmassa
yang dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal harus dapat
diantisipasi.
d. Kepemimpinan dari elit politik nasional hingga kepemimpinan daerahsangat
menentukan meredamnya konflik pada skala dini. Namun pada skala kejadian
diperlukan profesionalisme aparat kemanan secara terpadu.
e. Efek global, regional dengan faham demokrasi yang bergulir saat ini perlu
diantisipasi dengan penghayatan wawasan kebangsaan melalui eduksi dan
sosialisasi.

25
B. SARAN

Untuk mendukung terciptanya keberhasilan mencegah terjadinya disintegrasi :

a. Penyelesaian konflik yang bernuansa separatisme bersenjata harus diselesaikan


dengan pendekatan militer terbatas dan profesional guna menghindari korban
dikalangan masyarakat dengan memperhatikan aspek ekonomi dan sosial budaya
serta keadilan yang bersandar pada penegak hukum.
b. Penyelesaian konflik yang bernuansa SARA diatasi melalui pendekatan hukum
dan HAM.
c. Penyelesaian konflik akibat peranan otonomi daerah yang menguatkan faktor
perbedaan, disarankan kepemimpinan daerah harus mampu meredam dan
memberlakukan reward and punishment dari strata pimpinan diatasnya.
d. Guna mengantisipasi segala kegiatan separatisme ataupun kegiatan yang
berdampak disintegrasi bangsa perlu dibangun dan ditingkatkan institusi
intelegen yang handal.

26
DAFTAR PUSTAKA

 Effendi, Tenas. (2004). Pemakaian Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Orang


Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.
 Fatmawati, dkk. (2016). Social Control Pattern Based on Local Regulation in the
Area of Falm Plantation in Sanggau Regency. International Journal of Scientific
and Research Publications, Volume 6, Issue 1, January 2. ISSN 2250-3153. Pp 603-
609.
 Fatmawati, dkk. (2016). Strenghtening “Pangari Culture” in Preventing
Environmental Damage by The Existence of Baukxite Mining in Tayan Hilir
Subdistrict, Sanggau Regency. Icemal Proceeding. International Seoul Conference
on Social Science and management, Januari 5-7 2016. ISBN. 978-986-5654-10-8.
ICEMAL SEOUL.
 Giring. (2004). Madura di Mata Dayak dari Konflik ke Rekonsiliasi. Yogyakarta:
Galang Press (Anggota IKAPI).
 Setiadi dan Kolip. (2013). Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana
Prenadamed
 Rinakit, Sukardi (2005). The Indonesian Military After the New Order. Nordic
Institute of Asian Studies. ISBN 8791114063.
 : The Indonesian Journal of Public Administration …, 2017 -
journal.uta45jakarta.ac.id
 Marsh, David and Stoker, Gerry, (Ed.), Theory and Method in Political Science,
London: Macmillan, 1995.
 Nash, Kate, (Ed), Readings in Contemporary Political Sociology. Oxford:
Blackwell, 2000.
 Robert, Ron E. dan Kloss, Robert Marsh, Social Movements: Between the
Balcony and Barricade, St.Louis, Missouri: The CV. Mosby Company,
1979.
 Sjamsuddin, Nazarudin, Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia,
1989.
 Sukmana, Oman, Konsep dan Teori Gerakan Sosial, Malang: Intrans Publishing,
2016.
27
 Suseno, Nuri, Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu-Isu Kontemporer,
Depok : Dept. Ilmu Politik FISIP UI, 2010.
 Suseno, Frans Magnis, Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikir Marxis Dari
Lenin Sampai Tan Malaka. Jakarta: PT Gramedia, 2003.

28

Anda mungkin juga menyukai