Anda di halaman 1dari 38

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Lanjut Usia

Lanjut usia (lansia) adalah kelompok penduduk berusia 60

tahun ke atas (Hardywinoto dan Tony, 2005). Menurut Undang-undang

Republik Indonesia tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia

pasal 1 ayat 2, lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia

60 (enam puluh) tahun keatas.

Lansia (lanjut usia) atau manusia usia lanjut (manula) adalah

kelompok penduduk berumur tua. Golongan penduduk yang mendapat

perhatian atau pengelompokan tersendiri ini adalah populasi berumur

60 tahun atau lebih (Bustan, 2007).

Masa Lansia sering dimaknai sebagai masa kemunduran,

terutama pada keberfungsian fungsi-fungsi fisik dan psikologis.

Elizabeth Hurlock dalam Maryam dkk (2008) mengemukakan bahwa

penyebab fisik kemunduran ini merupakan suatu perubahan pada sel-

sel tubuh bukan karena penyakit khusus tetapi karena proses menua.

Kemunduran dapat juga mempunyai penyebab psikologis. Sikap tidak

senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan dan penghidupan

pada umumnya dapat menuju kepada keadaan uzur, karena terjadi

perubahan pada lapisan otak, akibatnya, orang menurun secara fisik

dan mental dan mungkin akan segera mati.


10

B. Batasan Lanjut Usia

Umur kronologis (kalender) manusia dapat digolongkan dalam

berbagai masa, yakni Masa Anak, Remaja, dan Dewasa. Masa

dewasa dapat dibagi atas dewasa muada (18-30 tahun), dewasa

setengah baya (30-60 tahun), dan masa lanjut usia (lebih 60 tahun).

WHO mengelompokkan usia lanjut atas tiga kelompok (Bustan,

2007):

1. Kelompok middle age (45-59)

2. Kelompok eldery age (60-74)

3. Kelompok old age (75-90).

Sedangkan menurut Prayitno dalam Aryo (2002) mengatakan

bahwa setiap orang yang berhubungan dengan lanjut usia adalah

orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan

dan tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi

kehidupannya sehari-hari.

Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia

(Maryam, 2008):

1. Pralansia

Seseorang yang berusia antara 45-49 tahun

2. Lansia

Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

3. Lansia resiko tinggi

Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang

yang berusia 60 tahun lebih dengan masalah kesehatan


11

4. Lansia potensial

Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau

kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa

5. Lansia tidak potensial

Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya

bergantung pada bantuan orang lain.

C. Karakteristik Lanjut Usia

Data yang diperlukan dari lansia tidaklah serupa dengan

masyarakat atau subjek penelitian pada umumnya. Beberapa

karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui masalah

kesehatan lansia adalah:

1. Jenis kelamin

Jumlah penduduk lansia wanita pada umumnya lebih banyak

dibanding pria. Hal ini dapat dilihat dari persentase pria dan

wanita serta ratio jenis kelamin penduduk lansia pria dan wanita.

Tabel 2.1 Presentase Penduduk Lanjut Usia 60+ di Asia

Tenggara dan Indonesia pada Tahun 1970, 1995,

2025, dan 2025

1970 1995 2025 2050


Negara/Kawasan
Wanita Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita Pria
Asia Tenggara 5.7 4.9 7.2 6.0 13.3 10.9 21.7 18.3
Indonesia 5.5 4.9 7.2 6.3 13.8 11.6 23.1 20.0
Sumber : United Nations, World Demographic Estimates and

Projections 1950-2050, New York, 1998 dalam Bustan,

2007.
12

2. Status perkawinan

Mengingat umur harapan hidup pada penduduk lansia

wanita lebih tinggi daripada pria, jumlah penduduk lansia wanita

yang mempunyai status menikah lebih kecil daripada penduduk

lansia pria. Karena tingkat pendidikan lansia wanita rendah dan

partisipasi angkatan kerja golongan ini tidak tinggi, mereka harus

menanggung beban ekonomi lebih berat setelah suaminya

meninggal. Banyak diantara mereka tidak dapat hidup secara

mandiri lagi dan terpaksa menjadi tanggungan anak serta

keluarganya (Hardywinoto dan Tony, 2005)..

3. Tatanan Hidup

Misalnya, keadaan pasangan, tinggal sendiri atau bersama

istri, anak atau keluarga lainnya.

a. Tanggungan keluarga; masih menanggung anak atau

anggota keluarga.

b. Tempat tinggal; rumah sendiri, tinggal dengan anak. Dewasa

ini kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian

keluarganya, baik lansia sebagai kepala keluarga atau bagian

dari keluarga anaknya. Namun akan cenderung bahwa lansia

akan ditinggalkan oleh keturunannya dalam rumah yang

berbeda.
13

4. Kondisi kesehatan umum

a. Kondisi umum; kemampuan umum untuk tidak tergantung

kepada orang lain dalam kegiatan sehari-hari seperti mandi,

buang air kecil dan besar.

b. Frekuensi sakit; frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan

menjadi tidak produktif lagi bahkan mulai bergantung pada

orang lain. Bahkan ada yang karena penyakit kroniknya

sudah memerlukan perawatan khusus.

5. Keadaan ekonomi

a. Sumber pendapatan resmi; pensiunan ditambah sumber

pendapatan lain kalau masih bisa aktif.

b. Sumber pendapatan keluarga; ada tidaknya bantuan

keuangan dari anak/keluarga lainnya, atau bahkan masih

ada anggota keluarga yang tergantung padanya.

Kemampuan pendapatan; lansia memerlukan biaya yang lebih

tinggi, sementara pendapatan semakin menurun, sampai

seberapa besar pendapatan lansia dapat memenuhi

kebutuhannya (Bustan, 2007).

D. Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan kesehatan yang

berupa kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula

(glukosa) darah akibat kekurangan ataupun resistensi insulin.


14

Kejadian DM diawali dengan kekurangan insulin sebagai

penyebab utama. Di sisi lain timbulnya DM bisa berasal dengan

kekurangan insulin yang bersifat relatif yang disebabkan oleh adanya

resistensi insulin. Keadaan ini ditandai dengan ketidakmampuan organ

menggunakan insulin, sehingga insulin tidak bisa berfungsi optimal

dalam mengatur metabolisme glukosa. Akibatnya kadar glukosa darah

meningkat. Sebagai pedoman dalam diagnosa DM, WHO

mengeluarkan panduan diagnosis DM (Bustan, 2007).

Tabel 2.2 Rekomendasi WHO Kriteria Diagnosis DM dan

Hiperglikemis Intermediat

Jenis Pemeriksaaan Nilai Normal

Diabetes:
- Glukosa puasa > = 7.0 mmol/l (126 mg/dl), atau
- Glukosa 2 jam pp > = 11.1 mmol/l (200 mg/dl),
Impaired Glucose Tolerance (IGT)
- Glukosa puasa < 7.0 mmol/l (126 mg/dl), dan
- Glukosa 2 jam pp >= 7.8 mmol/l dan < 11.1 mmol/l
(140 mg/dl dan 200 mg/dl)
Impaired Fasting Glucose (IFG)
- Glukosa puasa 6.1 - 6.9 mmol/l (110 - 125 mg/dl)
- Glukosa 2 jam pp Dan < 7.8 mmol/l (140 mg/dl)
Sumber : Bustan (2007).

Diabetes merupakan gangguan metabolisme dari distribusi gula

oleh tubuh. Penderita diabetes tidak dapat memproduksi insulin dalam

jumlah yang cukup, atau tubuh tak mampu menggunakan insulin

secara efektif, sehingga terjadilah kelebihan gula dalam darah.

Sebagian glukosa darah yang tertahan di dalam darah itu melimpah ke


15

system urine untuk dibuang melalui urine. Sisanya disimpan dalam

jaringan sebagai senyawa lemak yang disebut glikogen, yang pada

waktunya akan digunakan pada saat tubuh mengalami kekurangan

pasokan gula dari luar. Tugas pengaturan pengiriman glukosa ke

jaringan yang membutuhkan tersebut dibebankan pada hormon insulin

yang diproduksi oleh kelenjar pankreas (Sustrani dkk, 2004).

Kriteria prediabetes adalah mereka yang tergolong Impaired

Fasting Glucose (IFG) atau Gula Darah Puasa Terganggu (GDPT)

yang artikan sebagai peningkatan kadar gula darah puasa, dan

Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau Toleransi Glukosa Terganggu

(TGT) yang diartikan sebagai peningkatan kadar gula darah plasma

dua jam setelah intake 75 gram glukosa pada tes toleransi glukosa

oral.

Penemuan kasus IFG dikaitkan dengan beberapa faktor seperti

genetik, jenis kelamin lelaki, dan kebiasaan merokok pada individu

yang bersangkutan. Sedangkan IGT dikaitkan dengan inaktivitas fisik,

diet yang tidak sehat, dan postur tubuh pendek. Risiko IGT untuk

menjadi diabetes lebih besar dibanding IFG. Suatu studi

menyimpulkan bahwa mereka dengan IGT,atau IFG, atau sindroma

metabolik mengalami konversi menjadi diabetes 8-10% pertahun,

sedangkan apabila memiliki ketiganya, lebih dari 10% pertahun

(Manaf, 2007).

Gejala khas yang sering dikeluhkan oleh penderita DM antara

lain (Wirakusumah, 2002):


16

1. Trias poli atau poliura (banyak kencing), polidipsia (banyak

minum), polifagia (banyak makan)

2. Lemas

3. Berat badan turun

4. Kesemutan, mata kabur.

E. Jenis Diabetes

Berdasarkan jenis gangguannya DM dibagi menjadi dua tipe,

yaitu DM tipe I (IDDM=Insuline Dependent Diabetes Mellitus) dan DM

tipe II (NIDDM= Non-Insuline Dependent Diabetes Mellitus). DM tipe I

biasanya terjadi secara tiba-tiba sebelum penderita berumur 40 tahun.

Penderita diabetes tipe I ini mengalami gangguan produksi insulin

dalam tubuhnya sehingga bentuk terapinya adalah dengan pemberian

suntikan insulin. DM tipe II pada umumnya muncul setelah umur 40

tahun. Diabetes tipe II ini biasanya terjadi bertahap (dengan atau tanpa

gejala) (Sustrani dkk, 2002).

Menurut Bustan (2007) dikenal 2 jenis DM. Kedua jenis ini

dibagi dengan melihat faktor etiologisnya.

1. DM tipe I (IDDM) disebabkan oleh gangguan sel Beta

pankreas. DM ini berhubungan dengan antibodi berupa Islet Cell

Antobodies (ICA), Insulin Autoantibodies (IAA), dan Glutamic Acid

Decarboxylase Antibodies (GADA).

2. DM tipe II (DDM) terjadi dari bervariasi sebab, dari dominasi

insulin resisten relatif sampai defek sekresi insulin. DM tipe II akan


17

kebanyakan menyerang usia lanjut, karena berhubungan dengan

degenerasi atau kerusakan organ dan faktor gaya hidup. Sebagai

gambaran perbandingan DM tipe I dan tipe II dilihat dalam tabel 2.2

Tabel 2.3 Perbandingan Keadaan DM tipe I dan DM tipe II

DM Tipe I DM Tipe II
- Sel pembuat insulin rusak - Lebih sering dari tipe I
- Mendadak, berat dan fatal - Faktor turunan positif
- Umumnya usia muda - Muncul saat dewasa
- Insulin absolut dibutuhkan - Biasanya diawali dengan
seumur hidup kegemukan
- Bukan turunan tapi autoimun - Komplikasi kalau tidak terjadi
Sumber : Bustan (2007).

3. DM gestational adalah diabetes karena dampak kehamilan.

4. DM tipe lain bisa berupa defek genetik fungsi insulin, defek

genetik kerja insulin, infeksi, karena obat/kimiawi, sebab

imunologis lain, sindro genetik yang terkait DM.

F. Faktor Risiko Diabetes Melitus (DM)

DM tipe II adalah hasil interaksi faktor genetik dan keterpaparan

lingkungan. Faktor genetik akan menentukan individu yang rentan

terkena DM. Faktor lingkungan di sini berkaitan dengan 2 faktor utama

kegemukan (obesitas) dan kurang aktivitas fisik. Karena itu, kelak

kedua faktor ini ternyata kalau dikendalikan akan memberikan hasil

yang efektif dalam pengendalian diabetes.

Bukti peran faktor genetik diperoleh dari penelitian pada anak

kembar yang keduanya berisiko terhadap DM. Jika seorang kembar

kena DM, maka 50% kemungkinan kembarannya menderita DM pula.


18

Sekitar 4% anak Eropa berasal dari keluarga atau orang tua yang DM.

Pengaruh lingkungan dapat dibuktikan denan migrant study. Misalnya,

orang Jepang yang pindah ke Hawaii lebih tinggi DM-nya dibandingkan

mereka yang tetap di Jepang.

Diabetes Prevention Program (DPP) yang merupakan program

yang melibatkan 3.234 orang yang mengalami peningkatan kadar gula

darah tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatakan DM. DPP merupakan

penelitian terbesar tentang diabetes yang berpusat pada perubahan

gaya hidup. Peserta DPP terdiri atas berbagai etnis, termasuk sekitar

50% dari ras Kaukasia dan 50% dari ras lain yang mewakili berbagai

populasi dunia. DPP dibuat berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu

bahwa DM dapat dikendalikan dengan perubahan gaya hidup yaitu

obesitas melalui perbaikan pola makan, peningkatan aktivitas fisik, dan

pengelolaan stress. Setelah peserta beberapa hari mengkonsumsi

makanan berkalori rendah, kadar gula darah menurun sehingga obat-

obatan tidak diperlukan. Peningkatan aktivitas fisik juga dapat

menurunkan kadar gula darah, karena aktivitas tersebut membuat otot

lebih sensitif terhadap insulin, yang mendorong gula darah menuju otot

(Nathan dan Linda, 2009).

Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang

mengidap diabetes, karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuh

tidak dapat menghasilkan insulin dengan baik (Bustan, 2007).

Secara singkat faktor-faktor yang mempertinggi risiko DM

adalah (Sustrani dkk, 2004) :


19

1. Kelainan Genetika

Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap

diabetes, karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tak

dapat menghasilkan insulin dengan baik. Tetapi risikonya diabetes

juga tergantung pada faktor kelebihan berat badan, stress, dan

kurang bergerak.

2. Usia

Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara

drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. DM sering

muncul setelah seseorang memasuki usia rawan tersebut, terutama

setelah usia 45 tahun pada mereka yang berat badannya berlebih,

sehingga tubuhnya tidak peka lagi terhadap insulin.

3. Gaya Hidup Stress

Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan

yang manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar

serotonin otak. Serotonin ini memiliki efek penenang sementara

untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak itulah yang

berbahaya bagi mereka yang berisiko kena DM.

4. Pola Makan yang Salah

Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama-sama meningkatkan

risiko kena DM. Kurang gizi dapat merusak pankreas, sedangkan

obesitas mengakibatkan gangguan kerja insulin.

G. Aktivitas Fisik
20

Kunci utama pencegahan diabetes dalam Bustan (2007) terletak

pada tiga titik saling berkaitan: pengendalian berat badan, olahraga,

dan makan sehat. Bentuk pengendalian ini dilakukan dengan

menurunkan berat badan sedikit disertai dengan 30 menit kegiatan

fisik/olahraga 5 hari per minggu, sambil makan secukupnya yang

sehat.

Menurut penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada

tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa penyakit DM melibatkan faktor

genetik dan lingkungan. Penyakit DM terjadi akibat pola hidup yang

berubah salah satunya adalah kurang melakukan aktivitas fisik

terutama pada usia lanjut.

Perubahan aktivitas fisik sudah diterapkan dalam tiga dari

empat penelitian utama yang berhasil mencegah perkembanngan

diabetes pada orang-orang yang rentan terhadapnya. Berikut ini

pengaruh aktivitas fisik (Nathan dan Linda, 2009):

1. Aktivitas fisik langsung memperbaiki

sensitivitas otot-otot terhadap insulin, sehingga kadar gula lebih

mudah ditimbun dalam otot daripada dibiarkan meningkat dalam

peredaran darah.

2. Efek terbaik dari aktivitas fisik diperoleh bila

dilakukan dengan teratur, setidaknya tiga sampai empat kali

seminggu.

3. Selain efek langsungnya, aktivitas fisik bisa

membantu menurunkan berat badan, dan khususnya lebih berguna


21

untuk mempertahankan berat badan yang diperoleh berkat

perubahan komposisi makanan.

4. Program pencegahan dan pengobatan

diabetes yang paling berhasil memasukkan peningkatan aktivitas

fisik dengan intensitas sedang dalam kehidupan sehari-hari.

Analisis hasil Survei Kesehatan Nasional (SURKESNAS) tahun

2004 yang dilakukan oleh Handayani (2007) menggambarkan

pemodelan terhadap kejadian DM pada usia > 25 tahun. Beberapa

variabel dikenal sebagai variabel yang berpengaruh terhadap kejadian

diabetes yaitu aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi serat,

derajat kegemukan (obesitas), tekanan darah, kadar kolesterol darah.

Untuk menentukan kandidat dilakukan seleksi terhadap independen

variabel dengan ketentuan masuk kandidat apabila siknifikansi < 0,25.

Diperoleh hasil variabel obesitas, aktivitas fisik dan hipertensi masuk

sebagai kandidat. Uji regresi logistik ganda menunjukkan bahwa

obesitas dan aktivitas fisik terbukti secara bermakna berpengaruh

terhadap kejadian DM. Keadaan ini dapat dimanfaatkan untuk

menguatkan bukti klinis dan dijadikan dasar dalam pencegahan

diabetes yaitu dengan mengendalikan berat badan agar mencapai

berat badan ideal/normal.

Menurut Depkes RI (2006) aktivitas fisik adalah pergerakkan

anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga secara

sederhana minimal 30 menit dalam sehari selama 5 hari dalam


22

seminggu yang sangat penting bagi pemeliharaan fisik, mental, dan

kualitas hidup sehat.

Aktivitas fisik yang benar dapat dilakukan secara bertahap

hingga mencapai 30 menit. Jika belum terbiasa dapat dimulai dengan

beberapa menit setiap hari dan ditingkatkan secara bertahap. Aktivitas

fisik yang dilakukan secara teratur mampu membakar kalori dari

makanan yang dikonsumsi. Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat

untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan

pembuluh darah.

Ada 3 tipe/macam/sifat aktivitas fisik yang dapat dilakukan untuk

mempertahankan kesehatan tubuh yaitu:

1. Ketahanan (endurance)

Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan, dapat

membantu jantung, paru-paru, otot, dan sistem sirkulasi darah tetap

sehat dan membuat lebih bertenaga. Untuk mendapatkan

ketahanan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (4-7

minggu perhari).

Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti :

a. Berjalan kaki, misalnya turunlah dari bus lebih awal menuju

tempat kerja kira-kira menghabiskan 20 menit berjalan kaki dan

saat pulang berhenti di halte yang menghabiskan 10 menit

berjalan kaki menuju rumah

b. Lari ringan

c. Berenang, senam
23

d. Bermain tenis

e. Berkebun dan kerja di taman.

2. Kelenturan (flexibility)

Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat

membantu pergerakan lebih mudah, mempertahankan otot tubuh

tetap lemas (lentur) dan sendi berfungsi dengan baik. Untuk

mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan

selama 30 menit (4-7 hari per minggu).

Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti:

a. Peregangan, mulai dengan perlahan-lahan tanpa kekuatan atau

sentakan, lakukan secara teratur untuk 10-30 detik, bisa mulai

dari tangan dan kaki

b. Senam taichi, yoga

c. Mencuci pakaian, mobil

d. Mengepel lantai.

3. Kekuatan (strength)

Aktifitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu

kerja otot tubuh dalam menahan sesuatu beban yang diterima,

tulang tetap kuat, dan mempertahankan bentuk tubuh serta

membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit seperti

osteoporosis (keropos pada tulang). Untuk mendapatkan

kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (2-4

hari per minggu).


24

Bertambahnya usia akan disertai penurunan fungsi dan

metabolisme serta komposisi tubuh. Proses degeneratif pada otot

ditandai dengan berkurangnya jumlah dan ukuran serabut otot.

Pergeseran komposisi tubuh dari berkurangnya massa otot ke arah

bertambahnya lemak sering bersamaan dengan menurunnya

kandungan protein plasma dan bertambahnya lemak di dalam plasma

dalam bentuk peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida.

Kurang kuatnya otot dan ditambah dengan rasa nyeri atau kaku

pada sendi dan tulang menyebabkan aktivitas fisik para lansia

menurun sehingga kebutuhan energi untuk aktivitas fisik akan

menurun pula (Maryam dkk, 2008).

Sampai saat ini belum ada metode pengkajian yang dapat

menangkap semua dimensi yang berlainan dari aktivitas fisik. Para

periset harus memilih dimensi mana yang paling disukainya. Terdapat

keterkaitan antara waktu, biaya, serta upaya

Ketika menilai aktivitas fisik paling tidak terdapat empat dimensi

utama yang menjadi fokus yaitu tipe, frekuensi, durasi, dan intensitas

aktivitas fisik; keempat dimensi ini penting bagi tujuan deskriptif dan

analitik. Para periset harus memilih dimensi aktivitas mana yang

disukainya dalam melakukan pengukuran dan kemudian memutuskan

metode mana yang paling tepat. Lebih lanjut, tampaknya ada

keterkaitan antara biaya, waktu, serta upaya di satu sisi dan

keakuratan metode di sisi lainnya. Metode yang menghasilkan

keakuratan data paling tinggi merupakan metode yang tercanggih dan


25

yang paling menghabiskan waktu dan tenaga. Jadi, ketika memilih

instrument tertentu, ilmuwan harus memikirkan keseimbangan antara

keakuratan, biaya, karakteristik subjek penelitian, kelayakan, dan

keseluruhan tujuan penelitian.

Sebagian besar orang menghabiskan bagian terbesar waktu

sadar mereka (lebih kurang 85-90%) dalam bentuk aktivitas fisik

duduk, berdiri, dan berjalan; kontribusi relative setiap aktivitas tersebut

sangat penting. Frekuensi aktivitas fisik mengacu kepada jumlah

aktivitas fisik per satuan waktu. Durasi aktvitas fisik merupakan

lamanya waktu yang dihabiskan ketika melakukan aktivitas fisik ini.

Intensitas aktivitas fisik sering dinyatakan dengan istilah ringan,

sedang atau moderat, keras atau vigourus, dan sangat keras atau

strenuous. Kategori intensitas ini dapat didefinisikan dengan

pengertian absolute dan relative. Pengelompokan absolut yang sering

dipakai untuk aktivitas fisik adalah klasifikasi MET (metabolic energy

turnover). Satu MET sama dengan pengeluaran energi pada saat

istirahat. Klasifikasi MET merupakan alat yang berguna pada saat kita

menghitung pengeluaran energi dari instrument pengkajian subjektif

seperti buku harian dan kuesioner tentang aktivitas.

Aktivitas fisik dapat pula dinilai dalam bentuk total volume

aktivitas fisik atau pengeluaran energi yang berkaitan dengan aktivitas

fisik. Ketika mengkaji aktvitas fisik bagi tujuan kesehatan masyarakat,

total volume aktivitas fisik dapat sangat penting karena dimensi


26

tampaknya memberikan dampak yang signifikan pada status

kesehatan.

Total volume aktvitas fisik dapat ditentukan kuantitasnya

dengan satuan MET-hours perhari atau perminggu. Yaitu, intensitas

semua aktivitas yang berbeda selama periode pengkajian dinyatakan

dalam ekuivalen MET yang dikalikan dengan waktu yang digunakan

bagi semua aktivitas. Cara ini sering digunakan untuk menyatakan

total volume aktivitas fisik ketika menggunakan metode kuesioner

(Gibney, 2009).

International Physical Activity Questionnare (IPAQ)

dikembangkan pertama kali di Geneva pada tahun 1998 kemudian

terus diujikan validitas dan realibilitasnya mencakup 12 negara pada 6

benua hingga tahun 2002. Hasil pengujian menunjukkan bahwa

metode pengukuran ini dapat digunakan untuk monitoring dan sistem

surveilans secara daerah, nasional maupun internasional serta dapat

digunakan untuk proyek penelitian dan perencanaan dan evaluasi

program kesehatan masyarakat. IPAQ mengukur berbagai aktivitas

yang mencakup:

1. aktivitas di waktu luang

2. aktivitas pekerjaan rumah tangga dan berkebun

3. aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan

4. aktivitas yang berhubungan dengan transportasi.

IPAQ terdiri atas IPAQ short forms dan IPAQ long form. IPAQ

short forms adalah instrumen yang terutama didesain untuk mengukur


27

aktivitas fisik pada orang dewasa untuk usia di atas 15 tahun. IPAQ

short forms berisi tentang 3 aktivitas spesifik utama yang terdapat

dalam 4 domain di atas. Aktvitas fisik spesifik tersebut adalah berjalan,

aktivitas dengan intensitas sedang, dan aktivitas dengan intensitas

keras. Aktvitas fisik yang diukur dalam kuesioner ini adalah yang

dilakukan minimal 10 menit dalam 1 kali kegiatan. IPAQ long forms

mencakup 4 domain yang diukur yaitu aktivitas di waktu luang,

aktivitas pekerjaan rumah tangga dan berkebun, aktivitas yang

berhubungan dengan pekerjaan, aktivitas yang berhubungan dengan

transportasi.

Tabel 2.4 Aktivitas Fisik Harian berdasarkan Level Intensitas

Sedang Keras
3.0 – 6.0 METs > 6.0 METs
(3.5 -7 kkal/min) (> 7 kkal/menit)
Berjalan : Jalan cepat
Berjalan ke kantor, ke pasar, ke toko Jogging atau berlari
atau pasar Menggerakkan kursi roda
Berjalan menuruni/menaiki
bukit/tanjakan, menaiki atau
menuruni tangga
Bersepeda Bersepeda di medan berliku
Yoga atau tanjakan
Senam Karate, Yudo, Jujitsu atau bela
Golf diri lainnya
Tenis
Voli
Bulu tangkis
Berolahraga di rumah seperti sit
up, push up
Dansa Dansa professional
Tari tradisional Tari tradisional yang
Balet menggunakan banyak gerakan
Berkebun: Berkebun:
Membersihkan rumput dan daun Menggunakan peralatan berat,
yang berserakan, mencangkul, menebang pohon secara
menanam, pekerjaan manual, menggunakan kapak,
menggunakan mesin dan memanjat dan memotong
dilakukan sambil berjalan ranting pohon
28

Pekerjaan Rumah tangga: Pekerjaan rumah tangga:


mengepel lantai dan memindahkan furniture (sofa,
membersihkan rumah dengan meja, lemari), membawa
banyak menggunakan tangan, belanjaan dan benda berat
menjemur pakaian, mengelap sambil menaiki atau menuruni
kaca jendela, memindahkan tangga
barang ringan, membereskan Berbelanja dengan mendorong
peralatan, membuang sampah, troli berisi barang dan anak-
dan berbagai pekerjaan rumah anak, atau mendorong dua troli
tangga sehari-hari belanja bersamaan
Bermain bersama anak-anak Bermain dengan anak-anak
Berjalan dengan menggendong seperti berlari dan bersepeda,
anak-anak merawat orang dewasa seperti
Memandikan, memakaian membantu berjalan dan menaiki
pakaian, memberikan makan tangga
anak-anak
Pekerjaan yang menggunakan Pekerjaan yang banyak
banyak pergerakan tubuh menggunakan pergerakan
khususnya tangan anggota tubuh terutama
Contohnya: mengangkat benda berat,
Cleaning service atau pelayan mendorong atau menarik benda
Penjaga meja atau pencuci piring berat serta berjalan sambil
Mengemudi kendaraan berat membawa benda berat
(bus, truk, traktor) Contohnya:
Pertaniaan dan peternakan Berlari menaiki atau menuruni
(menanam, memanen, tangga sambil membawa koper
memelihara hewan ternak) Mengajar di kelas yang
Pengantar surat (berjalan sambil memerlukan banyak gerakan
membawa tas berisi surat-surat) seperti guru aerobic atau
Perawat (memandikan, olahraga
memakaikan pakaian, membantu Pemadam kebakaran
bergerak, dan melakukan terapi Pekerja konstruksi, buruh
pada pasien) bangunan
Penambang batu bara
Sumber: IPAQ (2005).

Level MET setiap intensitas adalah berjalan sebanyak 3.3

METs, aktivitas sedang sebanyak 4.0 METs, dan aktivitas keras

sebanyak 8.0 METs. Total aktivitas fisik atau total MET/menit-minggu

dihitung dengan: Berjalan (MET x menit x hari) + Sedang (MET x menit

x hari) + Keras (MET x menit x hari).


29

Contoh perhitungan total aktivitas fisik misalnya, seseorang

melakukan aktvitas fisik sebanyak 30 menit selama 5 hari:

Level METs METs x Durasi x Frekuensi

Berjalan 3.3 x 30 x 5 = 495 MET-menit/minggu


Sedang 4.0 x 30 x 5 = 600 MET-menit/minggu

Keras 8.0 x 30 x 5 = 1200 MET-menit/minggu

TOTAL = 2295 MET-menit/minggu


Kemudian total aktivitas fisik tersebut disesuaikan dengan

kategori di bawah ini (IPAQ, 2005) :

1. Ringan

Merupakan level terendah dalam aktivitas fisik. Seseorang

yang termasuk ke dalam kategori ini adalah apabila tidak

melakukan aktivitas fisik apapun atau tidak memenuhi kriteria

aktivitas fisik sedang dan berat.

2. Sedang

Dikatakan termasuk dalam aktivitas fisik sedang jika

memenuhi kriteria berikut:

a. Melakukan aktivitas fisik dengan intensitas kuat minimal 20

menit selama 3 hari atau lebih,

b. atau melakukan aktivitas fisik dengan intenistas sedang

selama minimal 5 hari dan atau berjalan minimal 30 menit setiap

hari,
30

c. atau kombinasi berjalan, aktivitas fisik dengan intenistas

sedang atau keras selama 5 hari atau lebih yang menghasilkan

total aktivitas fisik dengan minimal 600 MET-menit/minggu.

3. Berat

Dikatakan termasuk dalam aktivitas fisik berat jika memenuhi

kriteria berikut:

a. Melakukan aktivitas fisik dengan intensitas keras selama 3

hari atau lebih yang menghasilkan total aktivitas fisik minimal

sebanyak 1500 MET-menit/minggu,

b. atau jika melakukan kombinasi berjalan, aktivitas fisik

dengan intenistas keras atau kuat selama 7 hari atau lebih yang

menghasilkan total aktivitas fisik minimal sebanyak 3000 MET-

menit/minggu.

H. Stress

Faktor risiko DM berikutnya yang harus diwaspadai adalah

stress. Tingkat gula darah tergantung pada kegiatan hormon yang

dikeluarkan kelenjar adrenal, yaitu adrenalin dan kortikosteroid. Kedua

hormon tersebut mengatur kebutuhan ekstra energi tubuh dalam

menghadapi keadaan darurat (fight or flight). Adrenalin akan memacu

kenaikan kebutuhan gula darah dan kortikosteroid akan

menurunkannya kembali. Adrenalin yang dipacu terus menerus akan


31

mengakibatkan insulin kewalahan mengatur kadar gula darah yang

ideal, dan kadar gula darah jadinya naik secara drastis

(Mangoenprasodjo, 2005).

Berdasarkan Data Survei Nasional Departemen Kesehatan

tahun 2008 dalam Suyono (2010), didapat 5,7% penderita diabetes

dari 225 juta jiwa penduduk indonesia dengan rincian 1,5%

terdiagnosis dan 4,2% tidak terdiagnosis. Banyak makan dan kurang

exercise menjadi pemicu utamanya. Lebih lanjut stress juga

memegang peranan dalam meningkatnya penderita DM. Kondisi

lingkungan yang tidak nyaman, polusi, kemacetan dan beragam

problematika hidup yang dihadapi setiap orang berpengaruh besar

terhadap timbulnya stress.

Stres kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan

yang manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar

lemak seretonin otak. Seretonin ini mempunyai efek penenang

sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak itulah

yang berbahaya bagi mereka yang berisiko kena diabetes (Sustrani

dkk, 2004).

Menurut Sunaryo (2004) secara umum, yang dimaksud stress

adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan,

perubahan, ketegangan, dan emosi. Perilaku manusia pada dasarnya

dipengaruhi oleh dua faktor penting, yaitu adanya kebutuhan baik

somatik maupun psikologis serta dorongan untuk memenuhi

kebutuhan. Mungkin kita beranggapan bahwa kehidupan akan terasa


32

enak dan juga mungkin membosankan apabila segala kebutuhan akan

terasa enak dan jug mungkin membosankan apabila segala kebutuhan

hidup dapat diperoleh dengan cepat dan mudah sehingga tidak ada

tantangan hidup. Akan tetapi, untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam

mencapai tujuan adakalanya dicapai dengan susah payah, dihadapkan

berbagai kendala, rintangan, kebimbangan, aral melintang, yang

menuntut kita untuk dapat menyesuaikan diri atau sebaliknya dapat

menimbulkan stress pada diri kita. Stress dapat terjadi apabila tuntutan

atau keinginan diri kita tidak terpenuhi. Vincent Cornelli mendefinisikan

stress sebagai gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan

oleh perubahan baik oleh lingkungan maupun penampilan individu di

dalam lingkungan tersebut.

Meskipun tidak timbul atau tidak disebabkan oleh kesedihan,

diabetes merupakan salah satu penyakit yang dapat lebih parah

karena stress. Selain masalah-masalah praktis yang berkaitan dengan

makanan dan menu yang diperhitungkan dengan cermat, dalam

keadaan tertekan terdapat kenyataan bahwa pasien yang mengalami

masalah emosional atau memendam emosi, akan mengalami

penambahan kadar gula dalam darahnya. Bukti mengenai hal itu

sudah ditemukan sejak tahun 1925 oleh Bulatao di American Journal

of Phsysiology.

Mungkin itulah sebabnya pengendalian penderita diabetes

dapat terganggu oleh kesedihan, sedang pada beberapa kasus


33

memperlihatkan tanda dan gejala diabetes untuk pertama kali dalam

keadaan tertekan (Coleman, 1991).

Pengukuran stress menggunakan Rahe Holmes Social

Readjustment Rating Scale, dikenal juga dengan nama Rahe Holmes

Stress Scale.

Holmes, T. H. and Rahe, R. H. pada tahun 1967 menerbitkan

Journal of Psychosomatic Research dan mencoba mengklasifikasikan

peristiwa-peristiwa yang memicu stres. Dikarenakan hampir semua

stress diakibatkan adanya perubahan dalam hidup, maka dari itu

Holmes dan Rahe memfokuskan pada perubahan-perubahan dalam

hidup yang menuntut penyesuaian diri.

Salah satu perubahan besar yang terjadi pada hampir seluruh

umat manusia dan menuntut penyesuaian diri adalah pernikahan.

Holmes dan Rahe melakukan penelitian dengan memberikan kuisioner

dimana diberikan daftar-daftar kejadian yang dapat menimbulkan

perubahan dan meminta responden memberikan jawaban dengan

membandingkan perubahan yang terjadi dengan peristiwa pernikahan.

Pernikahan diberikan nilai 50 dan responden memberikan

perbandingan nilai peristiwa-peristiwa lainnya dengan peristiwa

pernikahan. Hasilnya ditemukan bahwa rata-rata kematian pasangan

hidup 2 kali lebih stressful dibanding pernikahan, dan ada 6 peristiwa

lainnya yang lebih membutuhkan penyesuaian diri dibanding

pernikahan.
34

Skala ini memiliki korelasi yang berada di tingkat cukup/sedang

ketika dikorelasikan antara kejadian di tahun kemarin dan kesehatan

seseorang di tahun yang sedang dijalani. Terutama kejadian seperti

serangan jantung, diabetes, masalah kehamilan dan kelahiran,

kegagalan akademis, absen pegawai dan kesulitan lainnya (Nelwandi,

2010).

Setiap pertanyaan memiliki skor yang berbeda-beda, penilaian

stress dilakukan dengan menjumlah seluruh skor, jika skor > 250,

maka dalam kondisi sangat stress. Dikatakan tidak stress bila nilainya

dibawah 150 (Nurmianto, 2004).

Tabel 2.5 Skala Stress Holmes

No Stress Skor
1 Kematian Pasangan Hidup 100
2 Perceraian 60
3 Berpisah tempat tinggal dengan pasangan 60
4 Dipenjara 60
5 Kematian anggota keluarga selain pasangan hidup 60
6 Menopause 60
7 Sakit serius 45
8 Menikah 45
9 Dipecat 45
10 Rujuk 40
11 Pensiun 40
12 Perubahan kondisi kesehatan 40
13 Kerja lebih 40 jam seminggu 35
14 Gangguan seks 35
15 Ada tambahan anggota keluarga 35
16 Kehamilan 35
17 Perubahan tugas/peran di tempat kerja 35
18 Perubahan kondisi keuangan 35
19 Kematian teman dekat (bukan keluarga) 30
20 Bertengkar dengan pasangan 30
21 Dapat kredit dalam jumlah besar 25
22 Kredit jatuh tempo 25
23 Tidur kurang dari 18 jam seminggu 25
24 Masalah dengan keluarga atau anak 25
35

25 Mencapai prestasi luar biasa 25


26 Pasangan mulai atau berhenti kerja 20
27 Mulai atau lulus sekolah 20
28 Perubahan di rumah (tamu, menginap, renovasi rumah) 20
29 Perubahan kebiasaan hidup (diet, puasa dll) 20
30 Alergi kronis 20
No Stress Skor
31 Masalah dengan bos 20
32 Perubahan jam kerja 20
33 Pindah rumah 15
34 Menjelang mens 15
35 Perubahan di sekolah 15
36 Perubahan aktivitas religious 15
37 Perubahan aktivitas sosial 15
38 Utang kecil-kecilan 15
39 Perubahan frekuensi bertemu keluarga 10
40 Liburan 10
Sumber: Nurmianto (2004)

Proses menua yang dialami oleh lansia menyebabkan mereka

mengalami berbagai macam perasaan seperti sedih, cemas, kesepian,

dan mudah tersinggung. Masalah tersebut merupakan masalah

kesehatan jiwa yang terjadi pada lansia. Masalah gangguan kesehatan

jiwa muali dialami oleh golongan lansia pada saat mereka merasakan

adanya tanda-tanda terjadinya proses penuaan pada dirinya. Ada

beberapa faktor risiko yang mendukung terjadinya masalah kesehatan

jiwa pada lansia. Faktor tersebut adalah:

1. Kesehatan fisik yang buruk

2. Perpisahan dengan pasangan

3. Perumahan dan transportasi yang tidak memadai

4. Sumber finansial berkurang

5. Dukungan sosial berkurang.

Berbagai aspek yang harus diperhartikan dalam pemeliharaan

kesehatan mental lansia adalah (Maryam dkk, 2008):


36

1. Perpindahan tempat tinggal

Perpindahan tempat tinggal bagi lansia merupakan suatu

pengalaman traumatis, karena pindah tempat tinggal berarti akan

mengubah kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan oleh

lansia di lingkungan tempat tinggalnya.

2. Penyesuaian terhadap pendapatan yang menurun

Ketika lansia memasuki pensiun, maka terjadi penurunan

pendapatan secara tajam dan semakin tidak memadai, karena

biaya hidup terus meningkat, sementara tabungan/pendapatan

berkurang.

Dengan seiring munculnya masalah kesehatan, pengeluaran untuk

biaya kesehatan merupakan masalah fungsional yang utama.

Adanya harapan hidup yang meningkat memungkinkan lansia

untuk dapat hidup lebih lama dengan masalah kesehatan yang ada.

3. Mempertahankan hubungan perkawinan

Hal ini menjadi lebih penting dalam mewujudkan kebahagiaan

keluarga. Perkawinan mempunyai kontribusi yang besar bagi moral

dan aktivitas yang berlangsung dari pasangan lansia.

4. Penyesuaian diri terhadap kehilangan pasangan

Tugas perkembangan ini secara umum merupakan tugas

perkembangan yang paling traumtis. Lansia biasanya menyadari

bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan normal, tetapi

kesadaran akan kematian tidak berarti bahwa pasangan yang

ditinggalkan akan menemukan penyesuaian dengan mudah.


37

5. Pemeliharaan ikatan keluarga antar generasi.

Ada kecenderungan bagi lansia untuk menjauhkan diri dari

hubungan sosial, tetapi keluarga tetap menjadi fokus interaksi

lansia dan sumber utama dukungan sosial. Oleh karena lansia

menarik diri dari aktivitas dunia sekitarnya, maka hubungan dengan

pasangan, anak-anak, cucu, serta saudaranya menjadi lebih

penting.

I. Pola Makan

Makan adalah perilaku yang kompleks, khususnya pada

manusia karena dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.

Jika makan dilakukan hanya pada saat lapar dan berhenti ketika sudah

kenyang, maka jumlah orang yang kegemukan akan jauh lebih sedikit.

Kenyataannya banyak orang makan dengan berbagai alasan selain

lapar sehingga mereka tidak ingat lagi kapan terakhir kalinya mereka

merasa lapar.

Alasan orang makan berlebihan terutama karena makanan

mudah diperoleh di sekitar mereka. Dengan adanya mekanisasi di

bidang pertanian, makanan tersedia lebih banyak dan lebih murah dari

sebelumnya. Tersedianya pasokan makanan dalam jumlah besar

sebenarnya bukanlah hal buruk, tetapi membuka peluang terjadinya

kelebihan nutrisi. Artinya, jumlah kalori yang masuk lebih besar dari

jumlah kalori yang dibakar.


38

Inti dari pengendalian pola makan adalah jumlah kalori. Jumlah

kalori yang masuk ke dalam tubuh harus sesuai dengan kebutuhan.

Selain itu, makanan yang “sehat” tentu lebih baik jika dibandingkan

dengan makanan “tidak sehat”. Artinya jika seseorang mengkonsumsi

2.000 kalori makanan sehat setiap hari, maka kesehatan akan

keseluruhan lebih baik daripada jika mengkonsumsi 2.000 kalori dari

makanan yang tidak sehat (Nathan dan Linda, 2009).

Penelitian mengenai DM pernah dilakukan pada penderita DM

di Laboratorium Klinik Pekalongan. Penelitian ini merupakan penelitian

penjelasan ( explanatory research ) yaitu menjelaskan pengaruh

antara variabel terikat dan variabel bebas dengan pengujian hipotesis.

Rancangan penelitian ini adalah cross sectional. Hasil penelitian

menunjukan bahwa umur sampel paling banyak (82,60%) terdapat

pada kelompok umur dewasa tua 50-69 tahun, pola makan sampel

terbanyak (59,50%) terdapat pada pola makan yang tidak baik. Kadar

gula darah buruk (>>200mg/dl) dengan persentase terbanyak pada

sampel dengan pola makan tidak baik (41,20%). Dari hasil uji statistik

didapatkan persentase kadar gula darah buruk dengan pola makan

tidak baik sebesar 76,00%. Ada hubungan yang signifikan antara pola

makan dengan kadar gula darah pada penderita diabetes melitus

dengan p < 0,05 (p=0,023) (Febriana, 2005).

1. Pola makan nasi

Menurut Rudijanto dalam Wahyuni (2008) di Indonesia

angka penderita diabetes juga terbilang tinggi. Diperkirakan,


39

jumlahnya mencapai lebih dari 11 juta orang. Hal itu membuat

Indonesia berada pada peringkat keempat setelah Amerika Serikat,

India, dan China. Banyak masyarakat kita yang beranggapan,

diabetes hanya akan menjangkiti orang yang suka makan fastfood.

Pendapat itu benar, tapi makanan tradisional seperti nasi yang

dimakan dengan jumlah yang berlebihan juga bisa menyebabkan

diabetes.

Penyakit Diabetes sebenarnya bisa dihindari yaitu, dengan

menjaga pola makan yang sehat dan seimbang serta berolahraga

yang teratur. Jika seseorang telah divonis DM maka, dia akan

hidup selamanya dengan penyakitnya itu. Namun, jangan khawatir

dan putus asa. Penderita DM bisa “hidup nyaman dan berumur

panjang”, karena penyakit ini bisa dikendalikan.

Jadwal makan untuk penderita DM adalah 3 kali makanan

utama dan 3 kali makanan selingan. Penderita DM dianjurkan untuk

menghindari gula sederhana atau gula murni dan lebih banyak

mengkonsumsi karbohidrat kompleks seperti nasi beras merah,

gandum, kentang dan sereal.

Karbohidrat yang tidak mudah dipecah menjadi glukosa

banyak terdapat pada kacang-kacangan, serat (sayur dan buah),

pati, dan umbi-umbian. Oleh karena itu, penyerapannya lebih

lambat sehingga mencegah peningkatan kadar gula darah secara

drastis. Sebaliknya karbohidrat yang mudah diserap seperti gula

(baik gula pasir, gula merah, maupun sirup), produk padi-padian


40

(roti dan pasta), dan makanan panggang justru akan mempercepat

peningkatan gula darah.

Indeks Glikemik (IG) makanan adalah angka yang diberikan

kepada makanan tertentu yang menunjukkan seberapa tinggi

makanan tersebut meningkatkan gula darah setelah di komsumsi.

Angka yang digunakan adalah 0-100. Makanan yang memiliki IG

yang tinggi berarti makanan tersebut meninggikan gula darah

dalam waktu yang lebih cepat, lebih fluktuatif, lebih tinggi, dari

makanan yang memiliki IG yang rendah. Oleh karena itu pada

penderita diabetes baik tipe 1 maupun tipe 2 sangat dianjurkan

untuk memilih makanan dengan IG yang rendah. Naiknya gula

darah atau glukosa darah hanya disebabkan oleh zat karbohidrat

saja sementara protein dan lemak tidak meninggikan glukosa darah

setelah konsumsi. Jadi indeks glikemik ini paling penting untuk

memilih makanan yang mengandung banyak karbohidrat sebagai

sumber tenaga.

Badan Kesehatan Dunia WHO bersama dengan FAO

menganjurkan konsumsi makanan dengan IG rendah untuk

mencegah penyakit-penyakit degeneratif yang terkait dengan pola

makan seperti penyakit jantung, diabetes, dan obesitas.

Pangan yang menaikkan kadar gula darah dengan cepat

memilki IG tinggi (> 70) sebaliknya pangan yang menaikkan kadar

gula darah dengan lambat memiliki IG rendah (< 55). Makanan

yang memiliki IG rendah dapat mengendalikan rasa lapar dan nafsu


41

makan karena glukosa akan dilepaskan ke dalam darah dengan

lambat. Hampir semua kacang-kacangan, umbi-umbian (singkong,

kentang, ubi) yang tidak dipanggang, sayuran, dan buah-buahan

memiliki IG rendah. Sedangkan nasi pulen dan roti memiliki IG

yang tinggi (Nunung dan Elisa, 2008).

2. Pola minum teh

Kebiasaan masyarakat Indonesia meminum teh merupakan

salah satu pemicu terjadinya diabetes. Penjelasannya sederhana.

Tingginya asupan gula menyebabkan kadar gula darah melonjak

tinggi. Belum risiko kelebihan kalori. Segelas teh manis kira-kira

mengandung 250-300 kalori (tergantung kepekatan). Contohnya

kebutuhan kalori wanita dewasa rata-rata adalah 1.900 kalori per

hari (tergantung aktivitas). Dari teh manis saja sudah didapatkan

1.000-1.200 kalori. Belum ditambah tiga kali makan nasi beserta

lauk pauk.

Penelitian di Kota Palembang menggunakan rancangan

studi kasus control dengan sampel 482 kelompok diabetes Tipe 2

dengan kriteria gula darah sewaktu ≥ 200 mg% atau gula darah

puasa ≥ 125 mg% dan kelompok kontrol non DM tipe 2 diambil

secara acak dengan penyepadanan kelompok umur dengan

batasan usia subjek penelitian lebih dari 45 tahun.

Kebiasaan minum teh lebih tinggi pada kelompok diabetes

tipe 2 dibandingkan dengan kelompok non DM dengan odd ratio =

1.91 (p=0.000012). Dengan lamanya minum teh diantara 3–10


42

tahun dapat disimpulkan teh merupakan salah satu faktor resiko

kejadian DM.

Lamanya minum teh berhubungan secara bermakna dengan

kejadian diabetes tipe 2 (χ2=21.17, p=0.02) dan frekuensi minum

teh lebih tinggi pada kelompok Diabetes tipe 2 dibandingkan

kelompok non diabetes akan tetapi tidak berbeda secara bermakna

(χ2=6.477, p=0.166) (Tjekyan, 2007).

Salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk

individu adalah metode frekuensi makanan. Metode frekuensi

makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi

sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu

seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Selain itu, dengan metode

frekuensi makanan dapat memperoleh gambaran pola konsumsi

bahan makanan secara kualitatif, tapi karena periode pengamatannya

lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan ranking

tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan dalam

penelitian epidemiologi gizi.

Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan

makanan atau makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut

pada periode tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar

kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang

cukup sering oleh responden.

Langkah-langkah metode frekuensi makanan (Supariasa, 2002):


43

1. Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar

makanan yang tersedia pada kuesioner mengenai frekuensi

penggunaannya dan ukuran porsinya.

2. Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-

jenis bahan makanan terutama bahan makanan yang merupakan

sumber-sumber zat gizi tertentu selama periode tertentu pula.

Menurut Melly G Tan dkk dalam Suyatno (2007) data frekuensi

makan bisa dianalisis dan diuji statistik/dihubungkan dengan variabel

lain. Adapun frekuensi yang yang biasa diukur adalah

1. Tidak Pernah

2. Jarang

3. > 3 x seminggu

4. ≥ 3 x seminggu

5. 1 hari sekali

6. Setiap makan

J. Kerangka Teori
Unmodified Modified
Factors Factors

Faktor Faktor Lingkungan,


Faktor Genetik
Endogenik Gaya Hidup
Penuaan dini
Perubahan Pola makan
Riwayat
struktural dan Keadaan geografis,
keturunan
fungsional ekonomi
Resiko penyakit
Kemampuan/ Aktivitas fisik
(hipertensi)
skilll Kondisi Kejiwaan
Tipe kepribadian
Daya adaptasi (Stress)
penyakit
ya
datangn
Beresiko
(Diabet
Mellitu
s)

es
44

Diadopsi dari S. Batson dalam Wirakusumah (2000) dan Bustan

(2007).

Beberapa faktor yang memicu proses penuaan akan banyak

berpengaruh terhadap datangnya berbagai penyakit. Faktor-faktor

tersebut adalah :

1. Faktor genetika merupakan faktor bawaan (keturunan) yang

berbeda pada setiap individu. Seperti seseorang yang mempunyai

bawaan penuaan dini, mempunyai keturunan mengidap penyakit

tertentu, atau tipe kepribadian. Seseorang yang memahami adanya

faktor keturunan yang dapat mempercepat proses penuaan harus

lebih hati-hati. Ia harus berusaha menangkal efek negatif yang

ditimbulkan oleh faktor genetiknya. Misalnya seseorang yang

mempunyai keturunan terkena diabetes maka perilaku pola makan,

aktivitas, atau perilaku lainnya tidak bisa sama dengan orang yang

tidak berisiko.

Perbedaan tipe kepribadian juga dapat memicu seseorang lebih

awal memasuki masa lansia. Kepribadian yang selalu ambisius

senantiasa dikeja-kejar tugas, cepat gelisah, mudah tersinggung,

cepat kecewa akan mendorong seseorang cepat stress dan


45

frustasi. Akibatnya, orang tersebut akan mudah mengalami

berbagai penyakit. Selain itu, tipe kepribadian ini umumnya akan

membawa sesorang malas berolahraga, mengabaikan asupan jenis

dan kualitas makanan yang dianjurkan sehingga mereka semakin

rentan terhadap penyakit.

2. Faktor lingkungan dan gaya hidup

Faktor ini terkait dengan pola makan dan asupan gizi, pendidikan,

kebiasaan beraktivitas (aktivitas fisik), keadaan geografis dan sosial

ekonomi.

3. Faktor Endogenik

Terkait dengan proses penuaan yaitu perusakan sel yang berjalan

seiring perjalanan waktu. Terjadi perubahan-perubahan pada lansia

seperti perubahan struktural dan perubahan fungsional.

Berbagai bentuk faktor risiko DM, seperti modified dan

unmodified risk factors, risiko sosial, ekonomi, lingkungan, genetik, dan

gizi. Risiko lingkungan DM berkaitan dengan faktor-faktor :

1. Geografic variation (ditemukan variasi geografis diberbagai

bagian negeri di Cina).

2. Temporal variation

3. Migrant risk in new environment (ditemukan pada kelompok

migran Cina dan Jewis

Berikut merupakan Unmodified risk factor terjadinya DM:

1. Kelainan Genetika

2. Riwayat BBLR
46

3. Ibu dengan riwayat melahirkan bayi > 4000 gram

4. Pernah diabetes sewaktu hamil

5. Hipertensi

Berikut merupakan modified risk factors terjadinya DM

1. Keadaan ekonomi

2. Kondisi geografis

3. Kondisi Kejiwaan (stress)

4. Aktivitas Fisik

5. Pola makan

Anda mungkin juga menyukai