Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DAN PASANG SURUT

TENTANG

“METODE PENDUGAAN CADANGAN KARBON DIATAS PERMUKAAN DAN DI


BAWAH PERMUKAAN”

Disusun Oleh :

TIARA

203030404134

JURUSAN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PALANGKARAYA

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan
karunia-Nya makalah “METODE PENDUGAAN CADANGAN KARBON DIATAS
PERMUKAAN DAN DI BAWAH PERMUKAAN” dapat terselesaikan dengan baik dan
lancar. Walaupun dalam penyusunan maupun isi dari makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, saya selaku penyusun memohon maaf apabila ada materi yang tidak sesuai. Saya
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang, terutama dalam memahami
dan mengerti tentang Metode pendugaan cadangan karbon diatas permukaan dan dibawah
permukaan.

Saya menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan,
sehingga saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga
makalah ini dapat berguna dan bermanfaat.Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Palangkaraya,

Penyusun,
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...............................................................................................................

Daftar Isi.........................................................................................................................

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang.........................................................................................................

Bab II Pembahasan

2. METODE PENDUGAAN CADANGAN KARBON DIATAS PERMUKAAN


2.1 Teknik Penginderaan Jauh.....................................................................................
2.1.1 Interpretasi citra satelit.........................................................................................
2.1.2 Pendugaan biomassa.............................................................................................
3.1 Teknik pengamatan lapangan.................................................................................
4. METODE PENDUGAAN KARBON DIBAWAH PERMUKAAN
4.1 Pengukuran luas lahan.............................................................................................
4.2 Pengukuran ketebalan gambut................................................................................
4.3. Penentuan tingkat kematangan gambut................................................................
4.4. Bobot isi gambut dan C-organik............................................................................

Bab III Penutup


3.1 Penutup......................................................................................................................
3.2 Saran..........................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hutan merupakan komponen penting dalam hal penyerapan karbondioksida (CO2)
yang ada di atmosfer. Dengan komposisi yang ada di dalamnya, baik itu pohon, pancang,
tiang, semai dan tumbuhan bawah dan bahkan bagian yang sudah mati sekalipun berperan
dalam menyerap karbon. Karbon yang diserap oleh pohon, serasah dan bagian yang sudah
mati itu akan disimpan dalam bentuk biomassa. Dengan demikian dapat diartikan
bahwasanya semakin besar kuantitas hutan, maka karbon yang diserap juga akan semakin
banyak, dan sebaliknya, semakin banyaknya deforestasi dan pembakaran hutan, karbon
yang ada di atmosfer juga akan semakin meningkat dan dalam kondisi tertentu karbon
dapat berubah menjadi molekul berbahaya (CO2, CH4, N2O) di atmosfer dalam bentuk
gas rumah kaca (GRK) yang akhirnya akan menimbulkan pemanasan global. (Hairiah et
al, 2011).
Pemanfaatan hutan untuk keperluan yang bersifat destruktif seperti pengambilan kayu
juga tidak bisa dihindari karena kayu juga merupakan kebutuhan dari manusia, sedangkan
disisi lain pohon hidup dapat menyerap dan menyimpan cadangan karbon yang akan
semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan laju pertambahan biomassanya.
Kondisi saling ketergantungan seperti ini harus dijaga agar tetap seimbang dan tidak
membahayakan bagi kelangsungan hidup manusia. Untuk menjaga keseimbangan itu
maka penghitungan kuantitas penyerapan karbon sangat perlu dikembangkan agar bisa
memprediksi kandungan karbon yang ada diatmosfer dan yang bisa terserap pada
tumbuhan.
BAB II
PEMBAHASAN
2. METODE PENDUGAAN KARBON DIATAS PERMUKAAN

2.1 Teknik Penginderaan Jauh


Penggunaan teknik penginderaan jauh dimaksudkan untuk memberikan penilaian
umum tentang penutupan vegetasi, tidak hanya tentang lokasi proyek tetapi juga daerah
di sekitarnya. Penilaian semacam ini dapat memberikan gambaran mengenai
kemungkinan terjadinya kebocoran proyek. Mengingat mahalnya teknologi ini, maka
dianjurkan penggunaan teknik penginderaan jauh hanya dilakukan sekali dalam lima
tahun.

2.1.1 Interpretasi citra satelit


Hasil interpretasi citra satelit harus diverifikasi dengan melakukan pengecekan
lapangan melalui tahapan sebagai berikut:
• Perhatikan tanda-tanda lapangan seperti sungai dan jalan;
• Periksa penutupan vegetasi;
• Catat dan uraikan tipe vegetasi yang dijumpai (tinggi tajuk,
kerapatan pohon, dan spesies atau jenis yang dominan);
• Klasifikasi ulang hasil interpretasi dan buat kelas-kelas vegetasi.
Deskripsi vegetasi di lapangan dan di dalam plot yang ditentukan, dan dapat dilakukan
secara cepat dengan mengikuti tahapan sebagai berikut:
• Hitung jumlah pohon;
• Ukur tinggi pohon dominan di dalam plot untuk mendapatkan
tinggi tajuk;
• Catat spesies atau jenis dominan;
• Amati dan catat tumbuhan bawahnya;
• Amati dan catat jenis tumbuhan pioner (khususnya pada hutan
yang terganggu).
2.1.2 Pendugaan biomassa

Kelas-kelas vegetasi yang telah ditentukan kemudian dirubah menjadi informasi


distribusi biomassa dengan mengkonversi nilai spektralnya menjadi biomassa
berdasarkan pengukurannya. untuk tipe vegetasi tertentu serta menghubungkannya
dengan nilai NDVI yang di peroleh dengan rumus berikut :

Normalized Difference Vegetation Index (NDVI): NDVI = Band NIR - Band R


Band NIR + Band R
Catatan:
NIR = infra-merah dekat
R = merah
NDVI berkisar antara -I sampai I
NDVI = -I berarti air (makin negatif makin dalam)
NDVI = 0 berarti tanah gundul
NDVI = I berarti hijau (lebat)
Band NIR = TM4, TM 5 (Landsat-TM), Xs3 (SPOT)
Band R = TMI, TM2, TM3 (Landsat-TM), XsI, Xs2 (SPOT)
Tahap berikutnya adalah membuat peta distribusi/penyebaran biomassa berdasarkan
peta penyebaran tipe vegetasi hasil interpretasi citra satelit dan cek lapangan, kemudian
mengkonversi peta biomassa menjadi peta sebaran cadangan carbon dengan
mengalikan nilai biomassa dengan faktor 0,5 (Murdiyarso, 2002).
Untuk menduga biomassa atas-permukaan, persamaan alometrik yang
menghubungkan biomassa dan komponen tegakan yang mudah diukur seperti diameter
batang sangat diperlukan. Persamaan semacam ini biasanya memerlukan pengukuran
langsung dengan menebang pohon (destructive sampling). Berikut ini adalah salah satu
contoh persamaan umum yang diusulkan oleh Brown (1997):
X D9E
dimana:
W = biomassa kering pohon (kg)
D = diameter pohon setinggi dada (cm) a, b = konstanta
Berdasarkan pengukuran biomassa pohon di lahan gambut yang dilakukan oleh
Istomo (2002) di Riau, konstanta yang diperoleh masing- masing adalah a= 0,19 dan b=
2,37. Konstanta ini diadopsi untuk pendugaan biomassa komunitas pohon.
Untuk memperbaiki pendugaan biomassa yang dikemukakan oleh Ketterings et al.
(2001), maka dalam Petunjuk ini diusulkan untuk menggunakan rumus pendugaan sbb:
W = Bj 0,19 D2PDQU
dimana:
W = biomassa kering pohon (kg)
Bj = berat jenis pohon (g/cc), lihat contoh pada Lampiran 1 D = diameter pohon
setinggi dada (cm)

3.1 Teknik pengamatan lapangan


Tiga plot permanen berukuran 20 x 50 m2 dipilih untuk setiap zone dimana
pengamatan/pengukuran diameter pohon (D) dilakukan. Semua pohon yang memiliki
diameter setinggi dada lebih dari 10 cm diukur diameternya. Pohon-pohon ini perlu
ditandai melingkar dengan cat berwarna kuning dan masing-masing dinomori untuk
memudahkan pengukuran berikutnya.
Sebaiknya, plot atau petak lapangan pengamatan yang telah ditentukan ini masuk ke
dalam liputan citra satelit yang dianalisis dengan metode yang diuraikan di atas.
Bentang alam ekosistem gambut dan bentuk batang pohon yang tumbuh di atasnya
mungkin tidak beraturan. Oleh karena itu harus diantisipasi cara-cara mengatasinya
sehingga pengukuran yang dilakukan tetap konsisten dari plot yang satu ke plot yang
lain.

4. Metode Pendugaan Karbon Dibawah Permukaan

Untuk menduga kandungan cadangan Karbon (C) di bawah permukaan lahan gambut,
terlebih dahulu harus diketahui volume gambut pada wilayah tertentu dan klasifikasi
tingkat kematangannya. Volume gambut dapat diketahui dengan mengalikan ketebalan
lapisan gambut dengan luasan wilayah lahan gambutnya. Ketebalan gambut diukur pada
beberapa titik/lokasi yang berbeda (agar datanya mewakili) dengan cara menusukkan
tongkat kayu atau bor tanah ke dalam lapisan gambut hingga mencapai/mengenai lapisan
tanah mineralnya, sedangkan luasan lahan gambut dapat diketahui dari hasil pengukuran
langsung di lapangan atau dari peta dasar/tanah atau citra landsat.
Prosedur pengukuran yang harus diikuti adalah pengukuran luas lahan, ketebalan
gambut, penentuan tingkat kematangan, bobot isi gambut dan C-organik, dan pendugaan
cadangan karbon bawah-permukaan.

4.1 Pengukuran luas lahan


Penentuan luas lahan yang sederhana yaitu dengan mengukur panjang dan lebar lahan.
Namun pada kenyataan di lapangan mengukur luas tidak semudah yang dibayangkan
karena bentuk dan tofografi lahan yang bervariasi. Untuk keperluan tersebut, maka dapat
dipenggunaan peta dasar (base map) pada skala besar (1 : 25.000 - 1 : 50.000) sebagai
dasar untuk membatasi (delineasi) luas areal lahan.

4.2 Pengukuran ketebalan gambut


Pengukuran ketebalan gambut dilakukan pada sebuah titik boring (pengeboran) yang
dilakukan pada beberapa plot. Tahap- tahapan yang harus dilakukan adalah:
 Masukan bor gambut atau bor Eijkelkamp yang dimodifikasi secara bertahap, angkat bor
untuk dicatat dan diambil contoh tanahnya, apabila bor belum mencapai lapisan mineral
maka sambungkan dengan bor berikutnya, ulangi pencatatan pada setiap penyambungan
bor sampai mencapai tanah mineral. Untuk praktisnya, bor bisa diganti dengan tongkat
kayu panjang yang ujungnya diruncingkan dan sebagian sisi ujungnya disodet agar
contoh tanah mineral dapat sedikit terambil dan terlihat jelas. Akan tetapi dengan alat
semacam ini, contoh tanah gambut dari berbagai kedalaman tidak dapat terambil.
 Disamping mencatat ketebalan, juga catat sifat lainnya seperti kedalam paras (muka) air
tanah, jenis kematangan gambut, perubahan warna, kelembaban lapisan atas
(kering/basah diamati secara visual), kongkresi arang (ada tidaknya gambut bekas
terbakar).
 Untuk keperluan analisa tanah gambut (fisik dan kimia), ambil contoh tanah seberat 1 -
1,5 Kg. Contoh diambil secara komposit, yaitu dari campuran tanah gambut yang berasal
dari berbagai lapisan kedalaman pada titik bor yang sama. Simpan contoh dalam kantong
plastik dan diberi label.
4.3. Penentuan tingkat kematangan gambut
Dalam key to soil taxonomy (Soil Survey Staff, 1998) tingkat kematangan /pelapukan
tanah gambut dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi dari bahan-bahan (serat)
tanaman asalnya. Ketiga macam tingkat kematangan tersebut adalah: (1) fibrik, (2)
hemik dan (3) saprik. Karena pentingnya tingkat kematangan ini untuk diketahui, maka
untuk memudahkan penciriannya di lapangan, definisi tentang serat-serat ini harus
ditetapkan terlebih dahulu.
Serat-serat diartikan sebagai potongan-potongan dari jaringan tanaman yang sudah
mulai melapuk atau lapuk (tidak termasuk akar-akar yang masih hidup) dengan
memperlihatkan adanya struktur sel dari tanaman asalnya.
Potongan-potongan serat mempunyai ukuran diameter sama dengan atau kurang dari
2 cm, sehingga dapat diremas dan mudah dicerai- beraikan dengan jari. Potongan-
potongan kayu berdiameter lebih dari 2 cm dan belum melapuk sehingga sulit untuk
dicerai-beraikan dengan jari, seperti potongan-potongan cabang kayu besar, batang kayu
dan tunggul tidak dianggap sebagai serat-serat, tetapi digolongkan sebagai fragmen
kasar.
Penetapan tingkat kematangan/pelapukan tanah gambut di lapangan:
Ambil segenggam tanah gambut (hasil kegiatan 4.2 di atas) kemudian peras dengan
telapak tangan secara pelan-pelan, lalu lihat sisa serat- serat yang tertinggal di dalam
telapak tangan:
(1). Bila kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan,
adalah tiga perempat bagian atau lebih (≥3⁄4), maka tanah gambut tersebut digolongkan
kedalam jenis fibrik.
(2). Bila kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan,
adalah antara kurang dari tiga perempat sampai seperempat bagian atau lebih (≥1⁄4 dan
<3⁄4), maka tanah gambut tersebut digolongkan kedalam jenis hemik.
(3). Bila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan, adalah
kurang dari seperempat bagian (<1⁄4), maka tanah gambut tersebut digolongkan kedalam
jenis saprik.
Cara lain untuk mendukung penggolongan tingkat kematangan/ pelapukan tanah gambut
diatas adalah dengan memperhatikan warnanya. Jenis tanah gambut fibrik memperlihat
warna hitam muda (agak terang), kemudian disusul hemik dengan warna hitam agak
gelap dan seterusnya saprik berwarna hitam gelap.
4.4 Bobot isi gambut dan C-organik
Sebetulnya penetapan bobot isi (Bulk Density-BD) tanah gambut dapat dilakukan
secara langsung di lapangan dengan menggunakan metode bentuk bongkah atau clod
(Golavanov A.J., 1967 dan Notohadiprawiro, 1983), tetapi kedua metode ini
menghasilkan angka-angka BD yang lebih besar karena kandungan air dalam bongkahan
gambut masih tinggi. Sementara itu, pengukuran bobot isi tanah gambut lebih banyak
dilakukan di laboratorium dengan menggunakan ring core. Dalam metode ring core ini,
untuk menghilangkan kandungan air dalam contoh, maka tanah gambut dikeringkan
dalam oven (suhu 105oC selama 12 jam) dan diberi tekanan sebesar 33 - 1500 kPa,
sehingga tanah menjadi kompak dan stabil.
Kandungan C-organik dalam tanah gambut tergantung tingkat dekomposisinya.
Umumnya pada tingkat dekomposisi lanjut seperti hemik dan saprik, maka kadar C-
organik lebih rendah dibanding dengan fibrik. Proses dekomposisi menyebabkan
berkurangnya kadar C- organik dalam tanah gambut.
Dalam makalah ini, metoda penentuan nilai bobot isi (BD) dan kandungan Karbon (C-
organik) pada tanah gambut tidak disajikan.
Tapi untuk menghitung kandungan cadangan Karbon di lahan gambut (lihat rumus di
bawah), dapat digunakan nilai BD dan kandungan C-organik yang berasal dari data hasil
penelitian sebelumnya (misalnya data dari Institut Pertanian Bogor, dari Pusat Penelitian
Tanah dsb). Wahyunto et. al. (2003), telah membuat tabel nilai-nilai BD dan C-organik
pada berbagai tingkat kematangan/pelapukan tanah gambut di Sumatera. Nilai-nilai yang
dikumpulkan ini berasal dari berbagai laporan hasil penelitian tanah gambut di Sumatera
yang dilakukan selama bertahun-tahun. Nilai-nilai tersebut dapat digunakan untuk
menghitung kandungan cadangan karbon pada tanah gambut di Sumatera dan
kemungkinan juga untuk lokasi-lokasi lainnya di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
5. Kesimpulan
5.1 Karbon tersimpan di atas permukaan tanah dan biomassa tanaman kayu paling
besar terdapat pada lahan dengan tutupan vegetasi pohon berkayu paling rapat,
yaitu pada satuan lahan 5.

5.2 LLT memiliki total karbon tersimpan di atas permukaan tanah sebesar 1.815,35
ton/ha dengan jumlah biomassa tanaman 4.812,27 ton/ha dan LLT mempunyai
serapan karbondioksida sebesar 6.656,88 ton/ha .
DAFTAR PUSTAKA
Brady, M. A. 1997. Organic matter dynamics of coastal peat deposit in Sumatra, Indonesia.
PhD thesis. The University of British Columbia.
Brown, S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forests, a primer. FAO
Forestry Paper 134. FAO, Rome.
Hairiah K, Sitompul SM, Van Noordwijk M dan Palm C. 2001a.
Carbon stocks of tropical land use systems as part of the global C balance: effects of
forest conversion and options for clean development activities, ASB-Lecture Note
4A. ICRAF-SEA. Bogor.
Hairiah K, Sitompul SM, Van Noordwijk M dan Palm C. 2001b. Methods for sampling
carbon stocks above and below ground, ASB- Lecture Note 4B. ICRAF-SEA. Bogor.
Harden, W. H., Sundquist, E. T., Stallard, R. F., dan Mark, R. K. 1992.
Dynamics of soil carbon during deglaciation of the Laurentide ice sheet. Science
258:1921-1924.
IPCC. 2001. Climate Change 2001: The scientific basis. Cambridge University Press.
Istomo. 2002. Kandungan Fosfor dan Kalsium serta penyebarannya pada tanah dan tumbuhan
hutan rawa gambut: Studi kasus di wilayah bagian KPH Bagan Siapi Api Kabupaten
Rokan Hilir, Riau. Disertasi Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Joosten, H, dan Clarke, D. 2002. Wise use of mires and peatlands, background and principles
including a framework for decision- making. ICMG and IPS. 304 hal.
Ketterings QM, Coe, R, van Noordwijk, M, Ambagau, Y, Palm, CA. 2001. Reducing
uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground
tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management 120:199-
209.

Maltby dan Immirizi. 1993. Carbon dynamics in peatlands and other wetlands soils: regional
and global perspective. Chemosphere 27:999 - 1023.

Murdiyarso, D., Widodo, M, dan Suyanto, D. 2002. Fire risks in forest carbon projects in
Indonesia. Science in China (Series C). Vol 45 Supp : 65 – 74

Neuzil, S.G. 1997. Onset and rate of peat and carbon accumulation in four domed
ombrogenous peat deposits in Indonesia. In Biodiversity and Sustainability of
Tropical Peatlands. (eds. Rieley, J.O., and S. E. Page). Samara Publishing Ltd. pp. 55-
72.

Notohadiprawiro, T. 1983. Selidik cepat ciri tanah di lapangan. Ghalia Indonesia. 94 hal.

Page, S.E. dan Rieley, J.O. 1998. Tropical peatlands: a review of their natural
resource functions with particular reference to Southeast Asia. Int. Peat J. 8, 95-106.

Page, S.E, Siegert, F, Rieley, J.O, Boehm, H.D.V, Jaya, A. 2002. The amount of carbon
released from peat and forest fire in Indonesia during 1997. Nature 420 : 61 - 65.

Post, R.M., Emanuel, W.R., Zinke, P.J., dan Stangenberger. 1982. Soil carbon pools and
world life zones. Nature 298 : 156-159.

Soil Survey Staff. 1998. Key to Soil Taxonomy. United States Departement of Agriculture
(USDA). National Resources Conservation Services.

Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2003 (dalam persiapan). Sebaran Gambut dan
Kandungan Karbon Pulau Sumatera dan Kalimantan. Proyek CCFPI (Climate
Change, Forests and Peatlands in Indonesia). Wetlands International - Indonesia
Programme (WI- IP) dan Wildlife Habitat Canada (WHC). Bogor.

Anda mungkin juga menyukai