A. Tujuan Pembelajaran
Pada pertemuan ini akan dijelaskan hal-hal yang terkait dengan penegakan hukum
lingkungan dalam bingkai pengelolaan lingkungan hidup. Setelah menyelesaikan
perkuliahan mahasiswa diharapkan dapat memahami tentang hukum lingkungan yang
mampu menjelaskan tentang penegakan hukum lingkungan baik administrasi, pidana dan
perdata.
B. Uraian Materi.
Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Bingkai Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dalam penulisan ini, sesuai dengan fokus permasalahan yang diketengahkan, maka dalam
konteks penegakan hukum lingkungan ini adalah fokus pada penegakan hukum
lingkungan administratif (administrative environmental law enforcement). Terdapatnya
pembidangan penegakan hukum lingkungan dalam tiga rumpun hukum tersebut
merupakan konsekuensi logis dari kedudukan hukum lingkungan sebagai hukum
fungsional. Dalam pandangan pakar hukum lingkungan terkait dengan pengawasan
lingkungan, beberapa ahli hukum menggunakan istilah pengawasan lingkungan kedalam
terminologi penegakan hukum lingkungan. Aktivitas penegakan hukum lingkungan
adalah merupakan suatu tahapan atau proses terakhir dalam rangkaian regulatory chain
yang meliputi: legislation, regulation, issueing permits, implementation dan enforcement.
Penegakan hukum lingkungan adalah merupakan langkah penting dalam mengkonstalasi
pentaatan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan.
Dengan kata lain, bahwa perumusan terhadap delik lingkungan sebagaimana telah
diatur dalam UUPPLH memiliki dua elemen dasar, yaitu perbuatan dan akibat yang
ditimbulkan. Kedua elemen ini dapat digunakan sebagai pedoman pengkualifikasian
delik lingkungan sebagai “delik materiil dan delik formal”. Delik materiil berorientasi
pada akibat konstitutifnya, sedangkan delik formal menekankan pada perbuatannya.
Perumusan delik lingkungan tersebut menyangkut penyajian alat bukti serta
penentuan hubungan kausal antara perbuatan pencemar dengan tercemarnya
lingkungan. Dalam rumusan delik materiil menuntut suatu pembuktian yang lebih
rumit dibandingkan dengan rumusan delik formil yang didalamnya tidak memerlukan
suatu pembuktian akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pencemar.
Menurut pandangan George Whitecross Paton, menyatakan bahwa: “The task of the
court in actual litigation is to discover the fact on the case, to declare the rule of law
that is aplicable, and than to make a spesific order which is that result of the
application of the law to such fact as are considered relevant. The distinction between
fact and law is important in pleading and proof,...”. Berdasarkan pada pandangan dari
George WP. dimaksud, maka esensi dari environmental criminal law enforcement,
adalah berkaitan dengan fungsi utama penyidikan delik lingkungan dan prosesi
perkaranya di pengadilan adalah dalam kerangka memeriksa fakta dan bukan
hukumnya. Kebenaran fakta harus ditemukan dalam prosedur peradilan pidana
(penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan) agar hakim dapat memilih
hukum yang tepat “in abstracto” untuk dapat diterapkan pada delik yang
bersangkutan guna membuat keputusan “in concreto” yang executable.
Ketentuan sebagaimana dimaksud tentu saja sejalan dengan ketentuan Pasal 183
KUHAP yang menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Adapun alat bukti yang sah menurut
ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Kehakiman dan Pasal 183 KUHAP dalam Hukum
Acara Pidana telah diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP, yang menyatakan
bahwa:
a. Alat bukti yang sah adalah: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk,
Keterangan terdakwa.
b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Dengan demikian, penyelesaian yuridis yang dapat dijadikan sebagai pegangan bagi
aparatur penegak hukum lingkungan kepidanaan terhadap peraturan perundang-
undangan lingkungan yang didalamnya mengandung sanksi pidana yang tidak serasi
dengan ketentuan UUPPLH sebagaimana salah satu adagium dalam ilmu hukum: (i)
lex specialis derogat legi generali, (ii) lex superior gerogat legi inferiori, dan (iii) lex
posterior derogat legi priori. Penggunaan terhadap ketiga adagium dimaksud dalam
kontek pemidanaan terhadap delik lingkungan adalah merupakan “solusi konflik
norma hukum” dalam penegakan hukum lingkungan (kepidanaan) niscaya diterapkan
“case-by-case”.
D. Pustaka
Rahmadi Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2011).
Silalahi Daud M, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum
Lingkungan di Indonesia, (Bandung: Penerbit alumni, 2001).
Suparni Niniek, Pelestarian pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan.
Edisi Revisi. (Jakarta : Sinar Grafika, 1982).
Asshiddiqie Jimly. Green constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Jakarta : Rajawali Pers, 2010).
Supriadi. Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)
Mukhlis. Buku Ajar Hukum Lingkungan, (Jakarta: Scopindo Media Pustaka, 2019.
Simanullang Jatino. Lingkungan Sahabat Kita,
Wibisana Andri G. Hukum Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi Kasus, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, Tahun 2010)
Fadli Mohammad. Muchlish, Lutfi Mustafa. Hukum dan Kebijakan Lingkungan.
(Jakarta: Tahun 2016)