Anda di halaman 1dari 10

1.

Latar Belakang

Filsafat atau philosophy dalam bahasa inggris, atau falsafah dalam bahasa arab merupakan istilah
yang diwariskan dari tradisi pemikiran Yunani Kuno. Filsafat secara harfiah berarti “cinta
kebijaksanaan”. Mendefinisikan filsafat tidaklah mudah, karena pengertian filsafat yang ada
adalah sejumlah pemikiran para filsosof yang memberikan definisinya masing-masing, sehingga
secara subjektif para filosof memiliki pengertiannya masing-masing. Dengan demikian, definisi
yang mereka buat saling melengkapi.

Plato mengatakan : “filsafat memang tidak lain dari pada usaha mencari kejelasan dan
kecermatan secara gigih yang dilakukan secara terus menerus.” Aristoteles mendefenisikan
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-
ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan menurut
Descartes, filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi
pokok penyelidikannya (Konrad Kebung, 2005). Selain pendapat-pendapat para filsuf tersebut,
filsafat bisa diartikan sebagai penjelasan, yaitu menjelaskan semua yang ada dan yang mungkin
ada. Sehingga metode yang digunakan dalam berfilsafat adalah metode terjemah dan
menerjemahkan.

Filsafat bukan merupakan sesuatu yang bersifat abstrak karena filsafat tidak hanya berkutat
dengan buku-buku sulit. Akan tetapi filsafat berangkat dari pergulatan hidup manusia di dunia
atau berangkat dari realitas kehidupan sehari-hari. Dimulai dengan pertanyaan yang mendasar
tentang kehidupan lalu dilanjutkan dengan penggalian. Filsafat dapat dicapai oleh makhluk hidup
yang berakal (manusia) yang ingin memahami dirinya sendiri dan dunianya. Kemudian hasil dari
filsafat adalah cara berfikir yang mendalam dan tepat tentang kehidupan.

Sehingga secara singkat filsafat dapat dianggap sebagai berpikir atau pola pikir. Berfikir yang
dimaksud adalah berfikir yang bersifat menyeluruh, mendasar dan spekulatif. Sehingga orang
yang berfilsafat berarti orang tersebut berupaya melakukan pemikiran yang mendalam dan
sistematis tertang berbagai permasalahan yang berkembang agar memiliki posisi dan pandangan
yang jelas tentang suatu permasalahan tersebut. Akan tetapi sebenarnya berfilsafat itu lebih dari
sekedar pola pikir, karena berfilsafat juga merupakan pola rasa atau pola hati dan pola krida.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa berfikir secara filsafat berbeda dengan berfikir biasa, yang membedaka
digunakannya. Berfikir biasa adalah berfikirnya orang awam, yaitu berfikirnya masih tercampur, tidak berpola da
berfikir secara filsafat adalah berfikir secara ilmiah, logis dan diperkuat oleh efiden.

Berfikir memang merupakan hal yang lazim dilakukan oleh semua orang, tidak hanya dari
kalangan tertentu saja, tapi semua kalangan masyarakat. Tetapi tidak semua dari mereka yang
berfikir filsafat dalam kehidupan sehari-harinya. Padahal berfikir filsafat sangatlah penting untuk
semua orang dalam rangka menjalani aktivitas sehari-hari, atau untuk mencari solusi bagi sebuah
permasalahan. Jika ditelaah secara mendalam, begitu banyak manfaat, serta pertanyaan-
pertanyaan yang mungkin orang lain tidak pernah memikirkan jawabannya. Karena filsafat
merupakan induk dari semua ilmu.
Beberapa manfaat berfikir filsafat, yaitu mengajarkan cara berpikir kritis, sebagai dasar
dalammengambil keputusan, menggunakan akal secara proporsional, membuka wawasan
berpikir menuju kearah penghayatan, dan masih banyak lagi. Itulah sebabnya mengapa setiap
orang diharapkan untuk selalu berfikir filsafat kapanpun, dimanapun, dan dalam situasi apapun ia
berada.

Namun kenyatannya, banyak orang yang masih bingung atau tidak tahu tentang perbedaan cara
berfikir secara filsafat dan berfikir biasa. Banyak orang yang salah mengartikan, bahwa orang
yang berfikir berarti berfilsafat. Padahal sebenarnya orang berfikir belum tentu berfilsafat
walaupun oarang yang berfilsafat berarti berfikir. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
dibahas tentang cara berfikir secara filsafat.

 Topik Pembahasan

1. Ciri-Ciri Berpikir Filsafat


2. Bagaimana karakteristik berfikir secara filsafat
3. Beberapa Metode Berpikir Filsafat
4. Tujuan Pembahasan
5. Mengetahui Ciri-ciri Berpikir Filsafat
6. Mengetahui Bagaimana Karakteristik Berpikir secara Filsafat
7. Memahami Beberapa Metode Berpikir Filsafat

BAB II

PEMBAHASAN

1. Ciri-ciri berpikir filsafat

Berfilsafat itu berpikir, tapi tidak semuanya itu berfikirdikatakan berfilsafat. Berpikir nonfilsafati
dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Berfikir tradisional
2. Berfrikir ilmiah

Berfikir tradisional, yaitu berfikir tanpa mendasarkan pada aturan-aturan berfikir ilmiah. Artinya
berfikir yang hanya mendasarkan pada tradisi atau kebiasaan yang sudah berlaku sejak nenek
moyang, sehingga merupakan warisan lama.

Sedangkan yang dimaksud berfikir ilmiah, berfikir yang memakai dasar-dasar / aturan-aturan
pemikiran ilmiah, yang diantaranya:

a.Metodis
b.Sistematis

c.Obyektif

1. Umum

Berfilsafat termasuk dalam berfikir namun berfilsafat tidak identik dengan berfikir. Sehingga,
tidak semua orang yang berfikir itu mesti berfilsafat, dan bisa dipastikan bahwa semua orang
yang berfilsafat itu pasti berfikir. Misalnya, seorang siswa yang berfikir bagaimana agar bisa
lulus dalam Ujian Akhir  Nasional (UAN), maka siswa ini tidaklah sedang berfilsafat atau
berfikir secara filsafat melainkan berfikir biasa yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran
yang mendalam dan menyeluruh. Oleh karena itu ada beberapa ciri berfikir secara filsafat,
seperti yang diungkapkan dalam buku metodologi penelitian filsafat[1], antara lain adalah:

1.Metodis

Menggunakan metode, cara, jalan yang lazim digunakan oleh pa


2.Sistematisra filsuf dalam proses berfikir filsafati.

Dalam berfikir, masing-masing unsur saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu
keseluruhan, sehingga dapat tersusun suatu pola pemikiran yang filosofis.

3.Koheren

Dalam berfikir unsur-unsurnya tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan satu sama lain
namun juga memuat uraian yang logis.

4.Rasional

Harus mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar (logis).

5.Komprehensif

Berfikir secara menyeluruh, artinya melihat objek tidak hanya dari satu sisi sudut pandang,
melainkan secara multidimensional. Disinilah perlunya filsafat dan ilmu pengtahuan saling
menyapa dan menjenguk.

6.Radikal

Berfikir secara mendalam, sampai akar yang paling ujung, artinya sampai menyentuh akar
persoalannya, esensinya.

7.Universal

Muatan kebenarannya sampai tingkat umum universal, mengarah pada pandangan dunia,
mengarah pada realitas hidup dan realitas kehidupan umat manusia secara keseluruhan.
1. Bagaimana Karakteristik Berfikir Secara Filsafati

Dan menurut Drs.Suryadi MP pemikiran kefilsafatan memiliki karakter tersendiri, yaitu


menyeluruh, mendasaar, dan spekulatif.hal ini sama dengan pendapat Drs.Suprapto
Wirodiningrat yang menyebut juga pemikiran kefilsafatan mempunyai tiga ciri, yaitu
menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Lain halnya Sunoto menyebutkan ciri-cirri berfilsafat,
yaitu deskriptif, kritik, atau analitik, evaluatik atau normatif, speklatif, dan sistematik[2].
Menurut Alkhawaritzmi (2009)[3], ada tiga macam karakteristik berfikir secara filsafat, antara
lain:

1.Menyeluruh

Artinya pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari satu
sudut pandang tertentu.. pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan-hubungan antara
ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, hubungan ilmu dengan moral, seni dan tujuan hidup.

2. Mendasar

Artinya pemikiran yang dalam sampai pada hasil yang fundamentalis atau esensial objek yang
dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Jadi tidak
hanya berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi tembus sampai ke kedalamannya.

3. Spekulatif

Artinya hasil pemikiran yang dapat dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya. Hasil pemikiran
selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajah wilayaha pengetahuan nyang baru.
Meskipun demikian tidak berarti hasil pemikiran kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah
mencapai keselesaian.

Selain mempunyai ciri diatas, bagi seorang filsuf harus memiliki 5 prinsip penting dalam
berfilsafat, yaitu :

1.Tidak boleh merasa paling tahu dan paling benar sendiri (congkak).

2.Memiliki sikap mental, kesetiaan dan jujur terhadap kebenaran.

3.Bersungguh-sungguh dalam berfilsafat serta berusaha dalam mencari  jawabannya.

4.Latihan memecahkan persoalan filsafati dan bersikap intelektual secara tertulis maupun lisan.

5. Bersikap terbuka.
6. Beberapa Metode Berpikir Filsafat

Para filsuf dikenal telah banyak menyumbangkan metode berfikir filsafati, dalam proses mencari
kebenaran. Mereka mampu menyumbangkan konsepsi pemikiran unntuk menngungkap misteri
kehidupan manusia. Bahkan tidak  hanya manusia yang menjadi objek pemikiran, tetapi meliputi
segala yang ada dan mungkin ada. (tuhan,  alam  semesta, manusia). Pola pemikiran dalam
metode berfikir (berfilsafat) berawal dari titik pangkal dan dasar kepastian, seperti logika
konsepsional dan intuisi, seperti penalaran (induktif) dan penalaran (deduktif).

Metode Intuitif (Plotinus dan  Henri Bergson)Beberpa metode berfikir (berfilsafat) yang telah
dirumuskan oleh Dr. Anton Bakker dalam buku yang berjudul metode-metode filsafat antara lain
dijelaskan sebagai berikut:

1. Metode Skolastik (Thomas Aquinas 1225-1247)


2. Metode Geometris (Rene Descartes 1596-1650)
3. Metode Eksperimental (David Hume)
4. Metode Kritis-Transendental (Immanuel Kant 1724-1804)
5. Metode Dialektis (G.W.F. Hegel 1770-1831)
6. Metode Fenomenologis (Edmund Husserl 1859-1938)

Manusia diciptakan oleh Allah dengan kemampuan yang lebih di banding dengan makhluk
ciptaan Allah yang lain. Misalnya perbedaan manusia dengan hewan, manusia diberi anugerah
berupa akal pikiran yang bisa digunakan untuk bernalar, sedangkan hewan tidak dianugerahi akal
pikiran. Hal itulah yang mengakibatkan derajat manusia lebih tinggi dibanding dengan makhluk
yang lain.

Kemampuan bernalar pada manusia menyebabkan manusia mampu mengembangakan ilmu


pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-Nya. Sedangkan karena binatang tidak
memiliki nalar, maka binatang tidak bisa mengembangkan pengetahuannya, hanya untuk
kelangsungan hidupnya (survival). Karena setiap orang diberi anugerah berupa kemampuan
untuk bernalar, maka sebenarnya setiap orang memiliki kemampuan untuk berfikir secara
filsafati. Hanya saja yang membedakan orang yang satu dengan yang lain adalah apakah orang
itu berusaha melakukan kegaiatan berfikir dengan mengunakan penalaran atau tidak. Misalnya
saja orang gila, maka dia tidak bisa menggunakan akalnya untuk berfikir secara nalar.

Contoh lain yang sangat sederhana, misalnya kita menemukan bunga mawar merah muda di
sebuah taman diantara bunga-bunga melati. Jika kita hanya melihat sekilas bunga mawar
tersebut, mungkin hal itu akan menjadi sangat sederhana. Akan tetapi, akan sangat berbeda jika
kita benar-benar mau memikirkannya. Semuanya tak akan tampak mudah dan sederhana karena
akan muncul pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran kita yaitu siapa yang menanam bunga itu dan
untuk apa bunga itu ditanam? Padahal diantaranya sudah banyak sekali bunga melati. Yang
kedua, misalnya setelah bunga mawar tersebut dicermati ternyata warnanya sangat unik, dan
bentuknya pun sangat berbeda dengan bunga mawar yang biasanya. Hal tersebut akan menjadi
karakteristik tersendiri bagi bunga mawar tersebut dan hanya akan bisa dijelaskan oleh ahli
botani/tanaman. Ketika kita mengamati dan timbul pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita, maka
berarti kita telah menggunakan penalaran kita.

Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam
menemukan kebenaran. Penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan
yang berupa pengetahuan. Adapun ciri-ciri penalaran :
1. Adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Maksudnya penalaran
merupakan suatu proses berpikir logis dalam artian kegiatan berpikir menurut suatu pola
tertentu, atau logika tertentu.
2. Bersifat analitik dari proses berpikirnya. Artinya penalaran merupakan suatu kegiatan
analisis yang mempergunakan logika ilmiah.

Berdasarkan ciri-ciri di atas, maka dapat kita katakan bahwa tidak semua kegiatan berpikir
bersifat logis dan analitik. Atau dapat disimpulkan cara berpikir yang tidak termasuk penalaran
bersifat tidak logis dan tidak analitik.

Aristoteles menegaskan bahwa “setiap orang menurut kodratnya memiliki hasrat ingin tahu”
(Melia, 2010). Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran,
maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu. Cara itu disebut logika.
Oleh karena itu berfikir filsafati dapat dialakukan oleh manusia dengan cara menggunakan
logika. Menurut saya, logika adalah jalan pikiran yang masuk akal. Logika digunakan untuk
menarik suatu kesimpulan dari suatu analisis dengan benar. Logika juga menjadi sarana untuk
berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggung jawabkan karena itu berpikir logis adalah
berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar daripada
satu.
Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam
semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.Logika dimulai sejak Thales (624 SM
– 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-
cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta.

Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica.
Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta
dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu.

Dalam logika Thales (Haris, 2012), air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles
disimpulkan dari:

–       Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)

–       Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia

–       Air jugalah uap

–       Air jugalah es

Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta.

Sejak saat Thales mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis
beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang
ini. Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica, yang secara khusus meneliti
berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara
khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya.
Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme. Selanjutnya muncul tokoh-tokoh logika modern,
kemudian logika berkembang terus menerus hingga sekarang.

Metode yang ditempuh agar bisa berfikir secara logis atau berfikir dengan menggunakan logika
adalah dengan dengan cara melakukan anlisa dan sintesa. Analisa merupakan kegiatan untuk
merinci atau memeriksa sesuatu. Dalam kegiatan analisa ini ada dua hal yang bisa ditmpuh,
yaitu: (1) menguji istilah dari segi penggunaannya, bisa denganmelakukan pengamatan terhadap
contoh-contoh penerapan istilah yang dimaksud. Dalam hal ini seseorang memahami suatu kata
atau istilah secara ekstensif. Misalnya seseorang ingin memahami kata atau istilah “keberanian”.
Dari segi ekstensi, dia mengungkapkan makna kata ini berdasarkan bagaimana kata ini
digunakan, sejauh mana kata “keberanian” menggambarkan realitas tertentu, bagaimana
“keberanian” dikomparasikan dengan sifat atau trait lainnya dari “yang ada”, dan sebagainya.
Untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah, orang tersebut  juga bisa melakukannya
dengan mendefinisikan kata atau istilah itu secara langsung. (2) menyingkapkan makna kata
dengan menganalisa sifat-sifat kata atau istilah tersebut.

Sedangkan sintesa merupakan lawan dari analisa. Sintesa ialah mengumpulkan semua
pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun suatu pandangan baru. Dengan metode
sintesa ini akan memungkinkan seorang untuk mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat
diperoleh sehingga dapat menyusun suatu pandangan baru terhadap hal-hal yang diamati.

Adapun cara yang dapat dialakukan untuk penarikan kesimpulan dengan menggunkan logika ada
dua macam (The Liang Gie, 2000: 21), yaitu :

1. Logika Induktif

Logika induktif yaitu penarikan kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang
bersifat khusus.

Contoh 1:

Kambing mempunyai mata

Gajah mempunyai mata

Kucing mempunyai mata

Burung mempunyai mata

Jadi”semua binatang itu mempunyai mata”.

Contoh 2:

Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu

Buncis ini (adalah) putih


Jadi “semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih”

2. Logika Deduktif

Logika deduktif adalah cara berpikir dimana penarikan kesimpulan yang bersifat khusus dari
kasus yang bersifat umum.

Contoh 1:

Semua logam dipanasi memuai

Seng termasuk logam

Jadi “seng dipanasi pasti memuai”

Contoh 2:

Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih

Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu

Jadi “Buncis ini (adalah) putih.”

Baik logika induktif dan logika deduktif, dalam proses penalarannya mempergunakan premis-
premis yang berupa pengetahuan yang dianggap benar. Adapun cara untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar itu adalah berdasrkan rasio dan pengalaman. Kaum yang
mengembangkan rasio dikenal dengan nama kaum rasionalisme, sedangkan mereka yang
mengembangkan pengalaman disebut dengan empirisme.

Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis


yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat
diterima. Pengalaman tidak membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya dengan
pengetahuan prisip yang dapat dilewat penalaran rasional itulah maka kita dapat mengerti
kejadian. Kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita.

Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia
itu bukan di dapat lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang
kongkrit. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah kongkrit dan dapat
dinyatakan lewat tanggapan panca indera manusia sebagai contoh langit mendung diikuti dengan
turunnya hujan.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
2. Ciri-ciri berfikir secara filsafat ada delapan, yaitu:
3. Berfikir secara radikal
4. Berfikir secara universal
5. Berfikir secara konseptual
6. Berfikir secara koheren dan konsisten
7. Berfikir secara sistematik
8. Berfikir secara komprehensif
9. Berfikir secara bebas
10. Berfikir secara bertanggung jawab
11. Karakteristik berfikir secara filsafat ada tiga, yaitu:
12. Menyeluruh
13. Mendasar
14. Spekulatif
15. Cara berfikir filsafati adalah dengan menggunakan logika, karena logika dapat menjadi
sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggung jawabkan. Dengan
menggunkan logika kita juga bisa menarik kesimpulan  dari suatu analisis dengan benar.
Metode yang digunakan untuk dapat berfikir secara logis ada dua, yaitu analisa dan
sintesa. Sedangakan cara penarikan kesimpulan dengan logika ada dua macam, yaitu:
16. Logika induktif, yaitu penarikan kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus
yang bersifat khusus.
17. Logika deduktif adalah cara berpikir dimana penarikan kesimpulan yang bersifat khusus
dari kasus yang bersifat umum.
18. Saran

Kami selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yangterdapat dalam makalah ini,
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dansaran dari teman-teman semua agar makalah ini
dapat dibuat dengan lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Sudarto, Metodologi penelitian filsafat –Ed. 1-cet 1-(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


1996), hal. 52.

Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia: suatu pengantar/ Surajio; editor, Tarmizi.—ed.
1, Cet. 1. –Jakarta: Bumi Askara, 2007.

Alkhawaritzmi.(2009). Karakter berpikir filsafat. Artikel Online.


Melalui:http://alkhawaritzmiWORDPRESS.com/2009/09/13/karakter-berpikir-filsafat/.

Anda mungkin juga menyukai