Anda di halaman 1dari 14

GENDER DAN PENDIDIKAN

OLEH : KELOMPOK 6

NONI ARNISA SAHARANI 200901021

REHAN KURNIAWAN 200901025

TITIN LIDIA NAPITUPULU 200901079

ADE IKHSAN HARAHAP 200901109

DWI INDRAWATI 190910302058

Dosen Pengampu : Dr.Harmona Daulay,M.Si

Mata Kuliah : SOSIOLOGI GENDER

SOSIOLOGI FISIP USU

T.A 2021/2022
Pengertian Gender (RehanKurniawan_20901025)

Kata “Gender” berasal dari bahasa inggris, gender yang berarti “jenis
kelamin”. Dalam Webster’s New World Dictionary, jender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku.1 Didalam Webster’s Studies Encylopedia dijelaskan bahwajender
adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam
hal peran, prilaku, mentalitas dan karakterstik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam memahami konsep gender, Mansour Fakih membedakannya antara


gender dan seks (jenis kelamin). Pengertian seks lebih condong pada pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia berdasarkan ciri biologis yang melekat, tidak
berubah dan tidak dapat dipertukarkan. Dalam hal ini sering dikatakan sebagai
ketentuan Tuhan atau 'kodrat'. Sedangkan konsep gender adalah sifat yang melekat
pada laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural dan
dapat dipertukarkan.

Sehingga semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan
perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat lainnya,
maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang disebut dengan
gender. Jadi gender diartikan sebagai jenis kelamin sosial, sedangkan sex adalah jenis
kelamin biologis. Maksudnya adalah dalam gender ada perbedaan peran, fungsi dan
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial.

Gender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila
dilihat dari nilai dan tingkah laku. Gender merupakan suatu istilah yang digunakan
untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial.
Gender adalah kelompok atribut dan perilaku secara kultural yang ada pada laki-laki
dan perempuan. Sejalan dengan itu, Gender merupakan konsep hubungan sosial yang
membedakan (memilahkan atau memisahkan) fungsi dan peran antara perempuan dan
lak-laki. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak
ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan
dibedakan menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai
kehidupan dan pembangunan.

Kesetaraan Gender dalam Pendidikan

Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama
peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan
kehidupan bermasyarakat, bernegara dan membangun keluarga berkualitas.
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan,
pertahanan dan keamanan nasional serta kesamaan dalam menikmati hasil
pembangunan.

Keadilan gender adalah suatu perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-
laki. Perbedaan biologis tidak bisa dijadikan dasar untuk terjadinya diskriminasi
mengenai hak sosial, budaya, hukum dan politik terhadap satu jenis kelamin tertentu.
Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dan dengan demikian mereka memiliki
akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh
manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.

1. Definisi Pendidikan

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan


sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan
orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Secara bahasa
definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran dan
pelatihan.

Arti pendidikan sendiri menurut Ki Hajar Dewantara adalah daya upaya untuk


memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam
dan masyarakat. Menurut Ki Hadjar Dewantara hakikat pendidikan adalah seluruh
daya upaya yang dikerahkan secara terpadu untuk tujuan memerdekaan aspek lahir
dan batin manusia.

Pendidikan adalah usaha membina dan mengembangkan kepribadian manusia


baik dibagian rohani atau dibagian jasmani. Ada juga para beberapa
orang ahli mengartikan pendidikan itu adalah suatu proses pengubahan sikap dan
tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam mendewasakan melalui
pengajaran dan latihan.

GENDER DAN PENDIDIKAN (Titin Lidia Napitupulu_200901079)


1. Rasio melek huruf perempuan dan laki-laki telah tercapai pada kelompok
usia 15-24 tahun (Target MDG NO.31)
Berbagai program pemerintah untuk membantu anak-anak di tempat terpencil
agar tidak terhambat dalam akses pendidikan. Salah satu programnya ialah Sekolah
Satu Atap(menyatukan SD dan SMP),Pembangunan Sekolah Kecil,Sekolah Satelit di
daerah miskin dan terpencil,BOS,Beasiswa Miskin,dll. Pada tahun 2009 Indeks
Paritas Gender (IPG) nasional melek huruf untuk kelompok usia 15-24 tahun hampir
11,dengan tingkat melek huruf perempuan sebesar 99,4% dan laki-laki 99,5%.
2. Disparitas gender antar provinsi masih ditemukan pada jenjang sekolah
menegah pertama,menegah atas dan pendidikan tinggi.
Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan dalam kesetaraan gender untuk
Angka Partisipasi Murni (APM) di tingkat nasional. Pada 2009,IPG jenjang sekolah
di Indonesia
tingkat  angka terendah_provinsi angka tertinggi_provinsi

SD 96,39_Papua Barat 102,5_Kepri

SMP 89,54_Papua 116,17_Gorontalo

SMA 68,60_Papua Barat 143,22_Kepri

Disparitas antar provinsi dan dalam provinsi yang sama tetap ada.
3. Kurangnya penelitian di tingkat provinsi untuk mengidentifikasi faktor yang
menentukan transissi anak laki-laki atau perempuan ke pendidikan tingkat
lanjut.
Penelitian dibutuhkan untuk memberikan masukan dalam perencanaan dan
pengaanggran responsif gender di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Salah satu
studi yang berdasar pemetaan terhadap 2.126 sekolah menunjukkan bhwa angka
transisi ke jenjang yang lebih tinggi jauh lebih rendah(sekita 20,3%) pada anak
perempuan yang selesai di sklsh madrasah tingkat menegah dibanding tingkat dasar.
studi ini juga menunjukkan bahwa anak perempuan yang melanjut pada pendidikan
berikutnya di pengaruhi oleh kualifikasi guru yg lebih tinggi,ketersediaan materi,dll
untuk mendukung proses pembelajaran siswa dan ketersediaan toilet terpisan anak
laki-laki dan perempuan. Hasil ini menunjukkan bawah kebijakan dan program yang
dirancang untuk mengingkatkan faktor-aktor terkait kualitas sekolah akan
memberikan kontribusi dalam menigngkatkan angka transisi dan anka retensi sekolah
anak perempuan.
4. Program pemerintah telah berhasil mengurangi hambatan akses terhadap
fasilitas sekolah untuk perempuan dan laki-laki,tetapi ada hambatan yang
signifikan dalam menyelesaikan pendidikan berkualitas yang responsif gender.
Kurangnya kemampuan menjadi masalah utama bagi laki-laki dengan 10,78%
diantaranya mengatakan bahwa mereka putus sekolah untuk bekerja dan memperoleh
penghasilan. Semetrara pada anak perempuan 8,69%,adat masih merupakan faktor
kuat yang mempengaruhi akses dan pernikahan dini masih menjadi penghalang
utama. Jarak jauh juga menjadi penghalang untuk melanjutkan oendidikan bagi lebih
dari 0,32% perempuan dibanding 0,66%laki-laki di kota dan 4,18% perempuan
dibanding 3,98%laki-laki di wilayah pedesaan(BPS-Susenas,2009). Terbatasnya
fasilitas sanitasi yang terpisah bagi perempuan untuk keperluan mensturasi
berpengaruh terhadap kehadiran di sekolah.
5. Angka putus sekolah anak laki-laki lebih tinggi disemua jenjang pendidikan
dan bervariasi berdasar provinsi.
Pada tingkat SMA,data nasional menunjukkan bahwa di 8 provinsi terlihat lebih
banyak perempuan putus sekolah dibanding laki-laki. Di prov.NTT anglka putus
sekolah anak laki-laki di tingkat SD 8 kali kebih tinggi dibanding perempuan
(masing-masing 8% dan 0,02%). Di propinsi Bangka Belitung angka putus sekolah
anak laki-laki di tingkat SMP 7 kali lebih tinggi dibanding perempuan. Di Propinsi
Sulawesi Tenggara angka putus sekolah di SMA adalah 10,98% untuk laki-laki dan
8,41% untuk perempuan. Angka putus sekolah ditingkat pendidikan tinggi
menunjukkan 22,5% laki-laki dan 14,5% perempuan(Kemendiknas,2008) di sekolah
madrasah anak laki-laki putus sekolah jauh lebih banyak disemua tingkatan.
6. jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki di perguruan tinggi.
Jumlah perempuan : 3.250.158 orang
Jumlah laki-laki : 3.099.783 orang

sumber :PDDikti.kemendikbud
7. Tahun 2019, Menurut UNICEF, 92,8 % anak perempuan dan 92,7 % anak
laki-laki terdaftar di sekolah dasar. Juga, 62,4% anak perempuan dan 60,9%
anak laki-laki terdaftar di sekolah menengah.
8. Pada tahun 2019 Indonesia telah mencapai kesetaraan gender dalam hal
partisipasi sekolah di tingkat nasional, dengan GPI (GenderParityIndex) 1,00
untuk angka partisipasi sekolah pada anak-anak usia 7-12 tahun.

9. Perundungan (bullying disekolah) berbeda dampaknya pada anak laki-laki


dan perempuan.
Perundungan yang terjadi disekolah memiliki dampak yang berbeda
pada anak laki-laki dan anak perempuan. Dimana pada anak lai-laki memiliki resiko
yang lebih tinggi menalami perundungan atau kekerasan fisik. Sementara pada
anakperempuan lebih mengarah pada kekerasanberbasis seksual dan kekerasan
emosional/psikologis.

HAMBATAN GENDER DALAM PENDIDIKAN ( Dwi Indrawaty


190910302058)

Seperti yang kita ketahui, di masa sekarang ini isu kesetaraan gender dalam
pendidikan sudah mulai disuarakan, kesetaraan hak untuk memperoleh pendidika baik
laki-laki maupun perempuan sudah tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945
bahwa pendidikan nasional ditujukan untuk semua warga negara. Namun pada
realitanya masih banyak permasalahan dan hambatan terhadap laki-laki maupun
perempuan yang mengakibatkan tidak adanya kesetaraan hak yang didapat, atau
menyebabkan adanya bias gender. Gender sendiri merupakan perbedaan jenis kelamin
berdasarkan budaya yang mana membeddakan perempuan dan laki-laki berdasarkan
perannya. Sebenarnya keberadaan gender tidak akan menjadi masalah selama tidak
melahirkan ketidakadilan gender didalamnya, namun pada kenyataannya, adanya
perbedaan gender ini banyak melahirkan ketidak adilan yang dinilai sangat
merugikan.

Masalah gender dalam pendidikan seperti pemenuhan fasilitas, pertisipasi, manfaat


dan penguasaan yang didapat sepertinya dirasakan oleh semua gender baik laki-laki
maupun perempuan. Namun berbeda dengan hambatan untuk mgakses pendidikan,
dimana hambatan gender dalam mengakses pendidikan lebih dirasakan oleh
perempuan, adanya subordinasi yang diakibatkan oleh kultur patiarki yang masih
melekat pada masyarakat mengakibatkan perempuan dinomor duakan. Masyarakat
yang menganut budaya patriarki menempatkan peran laki-laki lebih dominan
dibanding perempuan, sehingga imbasnya pada perempuan adalah ketidakadilan
pemenuhan hak seperti mengakses pendidikan. Konstruksi budaya patriarki yang
diterapkan dalam lingkup keluarga sangat merugikan anggota keluarga yang berjenis
kelamin perempuan terlebih dalam hal pemenuhan akses pendidikan karena keluarga
yang menganut system patriarki memberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan
yang lebih tinggi kepada anak laki-laki daripada anak perempuan, sehingga terjadi
subordinasi terhadap perempuan dan hak untuk mengenyam pendidikan menjadi
terhambat. realita ini tentunya bertentangan dengan tujuan dari pendidikan nasional.

Melekatnya budaya patriarki menjadi pemicu adanya ketidak adilan pemenuhan hak,
berikut faktor-faktor terjadinya kesenjangan atau hambatan bagi perempuan dalam
mengakses pendidikan, diantaranya :

- Kultur Yang Menomor Dua-Kan Perempuan (subordinasi, yang lebih


mengutamakan laki-laki)
- Lemahnya Kesetaraan Gender (adanya marginalisasi terhadap perempuan)
- Manajemen Rumah Tangga Belum Seimbang (ibu rumah tangga yang ingin
lanjut study S2, S3 mewurungkan niat demi peran sebagai ibu, bias dibilang,
adanya triple burden/peran rangkap 3)
- Adanya stereotype masyarakat terhadap perempuan, bahwa ranah perempuan
hanya sebatas domestik saja dan hal ini menjadi stigma di masyarakat. Seperti
contoh kata*kata seperti ini “ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi toh
nanti ujung-ujungnya juga ke dapur”

Permasalahan Gender di Dunia Pendidikan (Noni Arnisa Saharani_200901021)


Beberapa alasan bahwa kualitas pendidikan yang rendah adalah diakibatkan oleh
adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ada tiga aspek permasalahan
gender dalam pendidikan yaitu:

Akses
Akses merupakan fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Banyak sekolah dasar di
tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan
SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan
seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk
mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua
segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena
mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang
‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak
dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah.
Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat
meninggalkan bangku sekolah.
Partisipasi
Aspek partisipasi di dalamnya mencangkup faktor bidang studi dan statistik
pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai
budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik,
seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas
untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-
sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah
adalah anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila
sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah
tangga dan pencari nafkah.
Manfaat dan penguasaan
Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum
perempuan. Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan
salah satu ”narasumber” bagi segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif
transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu gender. Dengan demikian
pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal
termasuk di sekolah.
Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu
”narasumber” bagi segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai
termasuk nilai yang berkaitan dengan isu gender. Dengan demikian pendidikan juga
sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.

Murid laki-laki dan perempuan dapat memiliki pengalaman yang berbeda pada saat
mereka belajar di kelas. Hal ini dapat mempengaruhi berbagai faktor seperti tingkat
partisipasi di kelas dan pencapaian hasil belajar. Nilai sosial dan budaya dan stereotip
gender dapat dengan tidak sengaja terjadi di dalam kelas dan di sekolah melalui
interaksi antara guru dan murid maupun diantara murid.

Pendekatan mengajar dan metode yang digunakan dalam mengajar, menilai, dan
berinteraksi dengan murid bisa menjadikan murid laki-laki sebagai favorit ketimbang
murid perempuan. Hal ini berhubungan dengan kebiasaan di Indonesia di mana murid
perempuan sering tidak didorong untuk berbicara di depan umum untuk menyatakan
opini mereka atau mempertanyakan otoritas yang sebagian besar di bawah kendali
laki-laki.

Perilaku yang tampak dalam kehidupan dalam kehidupan sekolah interaksi guru-guru,
guru-murid, dan murid-murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran
berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang
terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan,
pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu
ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi
siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan bertanya
dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul
dalam proses pembelajaran di sekolah.
Pada kasus ketidakpemerataan gender yang terdapat pada dunia pendidikan Indonesia
ini mencerminkan mendarahdagingnya teori Nurture. Teori gender ini dicetuskan
pertama kali oleh John B. Watson pada tahun 1925 (catilla.wordpress.com). Menurut
teori ini adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil dari konstruksi sosial
budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut
yang membuat perempuan tertinggal dan terabaikan.

Kontribusi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki diidentikkan dengan kelas


borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar. Seperti halnya pada masyarakat kita,
secara tidak langsung kesalahan gender yang terjadi sekian abad silam menjadi
membudaya. Mulai dari zaman prasejarah yang menganggap bahwa perempuan
sebagai makhluk yang lemah, sehingga tugasnya hanya meramu dan menjaga anak.
Dan dewasa ini perempuan masih juga di subordinasikan sebagai perempuan yang
kurang mampu mengemban tugas yang dirasa berat, dikarenakan perempuan lebih
cenderung lebih memakai perasaannya dibanding dengan logika.

Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep


nurture yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan
berkeluarga maupun bermasyarakat. Yaitu terjadi ketidakadilan gender, maka beralih
pada teori nature(Teori nature memandang perbedaan psikologis antara perempuan
dan laki-laki disebabkan oleh faktor-faktor biologis kedua jenis kelamin tersebut).

Adanya ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh
perempuan, namun berdampak pula terhadap laki-laki. Hal ini sejalan dengan
Marhaeni Tri (2011)menyatakan bahwa suatu system dan struktur yang disengaja atau
tidak disengaja diciptakan oleh laki-laki dan untuk laki-laki. Karena masalah gender
adalah masalah tentang sosial yang harus dibicarakan olah pihak perempuan maupun
laki-laki.

Merujuk pada teori Nurture dan jika dikaitkan dengan fenomena pendidikan di
Indonesia saat ini, sangat nampak dengan jelas bahwa pemikiran kolotyang bersarang
pada persepsi manusia Indonesia tentang perbedaan kelas yang dimiliki oleh kaum
laiki-laki dan perempuan masih susah untuk dihilangkan. Dengan masuknya ke dalam
sistem pendidikan, hal ini menimbulkan ketakutan apabila siswa yang membaca
buku-buku dengan persepsi ini, lalu ilmu tersebut merasuk dan bersarang dipikiran
mereka, maka persepsi ini tentu saja akan semakin melekat dan berturun kepada
generasi-generasi berikutnya sehingga ketimpangan gender ini tidak akan pernah
pudar.

Upaya untuk mengatasi bias gender dalam pendidikan yang dapat dilakukan sebagai
berikut:

1. Reintepretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang bias gender dilakukan


secara kontinu (sudut pandang Islam).
2. Muatan kurikulum nasional yangMenghilangkan dikotomis antara laki-laki
dan perempuan, demikian pula kurikulum lokal dengan berbasis kesetaraan,
keadilan dan keseimbangan. Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan
tipologi daerah yang dimulai dari tingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak
sampai ke tingkat Perguruan Tinggi.
3. Pemberdayaan kaum perempuan di sektor pendidikan informal seperti
pemberian fasilitas belajar mulai di tingkat kelurahan sampai kepada tingkat
kabupaten disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
Contoh langkah kongkrit yang bisa diambil:
a. Kemendiknas, Kemenag dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPA) mengkoordinasikan kebijakan dan strategi yang terfokus
pada penghapusan disparitas rasio gender untuk indikator pendidikan pada semua
jenjang pendidikan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, serta
Memperkuat pelaksanaan pengarusutamaan gender di semua tingkatan di bidang
pendidikan.

b. Kemendiknas mengkaji kemajuan yang dicapai dalam pelaksanaan Peraturan


Menteri No. 84/2008 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan di tingkat
sekolah dan kabupaten/kota dan untuk memperkuat pelaksanaan Keputusan Menteri
yang bertujuan mencapai pendidikan yang responsif gender dengan pengembangan
kapasitas di semua tingkatan dalam sistem pendidikan.

C. Kemendiknas dan Kemenag melakukan penilaian terhadap sejumlah sekolah


sampel di beberapa lokasi geografis yang berbeda tentang cara-cara pengintegrasian
kebijakan gender dalam rencana dan pelaksanaan manajemen sekolah.

d. Kemendiknas dan Kemenag mengkaji dengan menggunakan perspektif gender,


Peraturan Pemerintah tentang Anggaran propinsi dan kabupaten/kota, dan Peraturan
Kemendagri No. 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Keputusan
Menteri Keuangan No. 119/2009 tentang Anggaran responsif gender.

e. Kemendiknas dan Kemenag memberikan lebih banyak perhatian pada propinsi


yang belum berhasil dalam menurunkan rasio paritas gender, transisi dan angka putus
sekolah, dengan membuat rancangan strategi berdasar kebutuhan yang ada, dengan
memperhitungkan faktor-faktor dasar yang berkontribusi terhadap rendahnya
pencapaian indikator di propinsi dan kabupaten/kota.

f. Kemendiknas mempercepat program pelatihan yang ada untuk meningkatkan


kapasitas pengumpulan data terpilah berdasargender, analisa dan perencanaan dan
penganggaran responsif gender di tingkat propinsi dan kabupaten/kota untuk indikator
tertentu.
g. Mempercepat program yang ada yang terkait akses pendidikan dan
memprioritaskan propinsi yang memiliki kesenjangan paritas gender yang signifikan
dalam indikator pendidikan. Ini termasuk Program Sekolah Satu Atap (gabungan SD
dan SMP), Sekolah Kecil, Sekolah Satelit di daerah miskin dan terpencil dan program
Bantuan Langsung Tunai Bersyarat. Meningkatkan cakupan dan kualitas program
pemerataan (Paket A, B dan C), khususnya jika disparitas rasio gender terjadi pada
angka putus sekolah untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan berkualitas. Perlu
juga dilakukan kajian untuk melihat efektifitas skema yang digunakan untuk
mengatasi kesenjangan gender.

h. Mengembangkan kebijakan dan mensinkronisasinya di tingkat nasional, daerah dan


sekolah untuk memastikan bahwa perempuan yang menikah dini, hamil dan ibu muda
bisa melanjutkan pendidikan. Melaksanakan kampanye untuk membangun kesadaran
akan pentingnya mengurangi insiden pernikahan dini dan mendorong kelangsungan
pendidikan bagi laki-laki, dan apalagi perempuan, yang menikah dini.

i. Lembaga Pendidikan Tenaga


Kependidikan/LPTK perlu mengkaji kurikulum pelatihan guru untuk memperbaiki
penyusunan materi dan keterampilan mengajar sehingga responsif gender.

j. Kemendiknas dan Kemenag mengkaji dan meningkatkan penyediaan buku teks


pelajaran responsif gender.

j. Kemendiknas dan Kemenag mengkaji dan meningkatkan penyediaan buku teks


pelajaran yang peka gender pada semua tingkat pendidikan, termasuk teks, gambar
dan akses yang sama terhadap kegiatan ekstra-kurikuler olahraga, seni dan sains.

k. Kemendiknas memastikan mekanisme pembiayaan pendidikan bersifat responsif


gender. Misalnya, ketika membiayai infrastruktur dan rehabilitasi sekolah baru, dan
merancang bangunan sekolah, maka harus memenuhi kebutuhan praktis laki-laki dan
perempuan. Di SMP dan SMA, perlu ada fasilitas sanitasi yang terpisah dan memadai
bagi perempuan, untuk keperluan terkait menstruasi.

I. Kemendiknas dan Kemenag merumuskan kebijakan yang jelas, yang


mengatur penempatan laki-laki dan perempuan yang memenuhi kualifikasi
di semua kegiatan pendidikan (termasuk pendidikan Islam), terutama
dalam posisi kepemimpinan, manajemen, dan akademik di semua
tingkatan pendidikan (sistem sejenis sudah terlaksana di lapangan dengan
adanya perwakilan dalam partai politik dan parlemen).
Kesimpulan (Ade Ikhsan Harahap_20901109)
gender adalah sebuah konstruksi sosial tentang feminitas dan maskulinitas. gender
bukan lah kodrat Tuhan dan tidak sama dengan seks.
pendidikan ialah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok
orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran,
pelatihan, atau penelitian.
jika dilihat data mengenai gender dan pendidikan masih ada keadaan yang cukup
memprihatinkan seperti tingginya angka rasio melek huruf,tingginya angka putus
sekolah pada anak laki-laki dibandingkan perempuan ,masih terjadinya perundungan
pada anak laki-laki dan perempuan di sekolah,dll. sebenarnya apa yang menghambat
kesetaraan gender dalam pendidikan? dalam pembahasan ini kami menyampaikan
bahwa: subordinasi pada anak perempuan,ketidakseimbangan dalam managemet
peran dalam rumah tangga,streotype anak perempuan akan didapur juga,dll. Namun di
samping itu,kita tetap bersyukur karena sampai sekarang pemerintah terus berupaya
untuk meningkatkan kesetaragaan gender dalam pendidikan. anak laki-laki dan
perempuan sama hak nya dalam memperoleh kesempatan dalam dunia pendidikan.

REFERENSI
http://repository.uin-suska.ac.id/20488/7/7.%202018205TMPI_BAB%20II.pdf
https://www.akseleran.co.id/blog/pendidikan-adalah/#:~:text=Pendidikan%20adalah
%20suatu%20pondasi%20dalam%20hidup%20yang%20harus,Proses
%20pembelajaran%20ini%20melalui%20pengajaran%2C%20pelatihan%20dan
%20penelitian
https://www.bappenas.go.id/files/8613/5229/8462/1-laporan-pencapaian-tujuan-
pembangunan-milenium-indonesia-
2010201011181321170__20101223204310__2813__0.pdf
https://pddikti.kemdikbud.go.id/mahasiswa
https://www.bps.go.id/subject/40/gender.html
https://blogs.worldbank.org/id/eastasiapacific/gender-dan-pendidikan-di-indonesia-
kemajuan-yang-masih-membutuhkan-kerja-keras
https://www.mkorsoutlet.com.co/10-fakta-tentang-pendidikan-perempuan-di-
indonesia/
https://kulpulan-materi.blogspot.com/2017/10/gender-dan-pendidikan.html
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/9aeb5-3.-kesetaraan-gender-dan-
pendidikan.pdf
https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/pendidikan-ala-ki-hadjar-
dewantara-pendidikan-yang-memerdekakan#:~:text=Menurut%20Ki%20Hadjar
%20Dewantara%20hakikat,aspek%20lahir%20dan%20batin%20manusia.
https://eprints.umm.ac.id/41375/3/BAB
%20II.pdfhttps://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan
https://medium.com/@monibeltim/gender-dalam-pendidikan-dd6ca967be24
Nursaptini, N., et al. "Budaya Patriarki dan Akses Perempuan dalam Pendidikan."
AL-MAIYYAH 12.2 (2019): 16-26.
https://kumparan.com/rchmdiniii28/ketidaksetaraan-gender-dalam-dunia-pendidikan-
di-indonesia-1vo4jTWZamR/4
https://www.kompasiana.com/fathurrahman_fathurrahman/permasalahan-
gender-di-dunia-pendidikan-terbaru-2017_5938e82a1397739d289b9e97
http://puslit.kemsos.go.id/download/147
https://brainly.co.id/tugas/10112374?
utm_source=android&utm_medium=share&utm_campaign=question

Anda mungkin juga menyukai