Anda di halaman 1dari 14

َ ‫ إِيَّاكَ ن َۡعبُ ُد َوإِيَّا‬٤ ‫ِّين‬

‫ك‬ ِ ِ‫ ٰ َمل‬٣ ‫َّح ِيم‬


ِ ‫ك يَ ۡو ِم ٱلد‬ ِ ‫ ٱلر َّۡح ٰ َم ِن ٱلر‬٢ َ‫ ۡٱل َحمۡ ُد هَّلِل ِ َربِّ ۡٱل ٰ َعلَ ِمين‬١ ‫بِ ۡس ِم ٱهَّلل ِ ٱلر َّۡح ٰ َم ِن ٱل َّر ِح ِيم‬
٧ َ‫ب َعلَ ۡي ِهمۡ َواَل ٱلضَّٓالِّين‬ ,ِ ‫ ٱلَّ ِذينَ أَ ۡن َعمۡ تَ َعلَ ۡي ِهمۡ غ َۡي ِر ۡٱل َم ۡغضُو‬,َ‫ص ٰ َرط‬
ِ ٦ ‫ ۡٱل ُم ۡستَقِي َم‬,َ‫ٱه ِدنَا ٱلصِّ ٰ َرط‬
ۡ ٥ ُ‫ن َۡست َِعين‬
1. Surah al-Fatihah dimulai dengan Basmalah

Ada beberapa pendapat ulama berkenaan dengan Basmalah yang terdapat pada permulaan surah
Al-Fatihah. Di antara pendapat-pendapat itu, yang termasyhur ialah:

1. Basmalah adalah ayat tersendiri, diturunkan Allah untuk jadi kepala masing-masing surah,
dan pembatas antara satu surah dengan surah yang lain. Jadi dia bukanlah satu ayat dari al-Fatihah
atau dari surah yang lain, yang dimulai dengan Basmalah itu. Ini pendapat Imam Malik beserta ahli
qiraah dan fuqaha (ahli fikih) Medinah, Basrah dan Syam, dan juga pendapat Imam Abu Hanifah dan
pengikut-pengikutnya. Sebab itu menurut Imam Abu Hanifah, Basmalah itu tidak dikeraskan
membacanya dalam salat, bahkan Imam Malik tidak membaca Basmalah sama sekali.

Hadis Nabi saw:

Dari Anas bin Malik, dia berkata, "Saya salat di belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Usman.
Mereka memulai dengan al-hamdulillahi rabbil 'alamin, tidak menyebut Bismillahirrahmanirrahim di
awal bacaan, dan tidak pula di akhirnya."(Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

2. Basmalah adalah salah satu ayat dari al-Fatihah, dan pada surah an-Naml/27:30, /27:30)
yang dimulai dengan Basmalah. Ini adalah pendapat Imam Syafi'i beserta ahli qiraah Mekah dan
Kufah. Sebab itu menurut mereka Basmalah itu dibaca dengan suara keras dalam salat (jahar). Dalil-
dalil yang menunjukkan hal itu antara lain Hadis Nabi saw:

Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata, Rasulullah saw mengeraskan bacaan Bismillahirrahmanirrahim.


(Riwayat al-hakim dalam al-Mustadrak dan menurutnya, hadis ini sahih)

Dari Ummu Salamah, katanya, Rasulullah saw berhenti berkali-kali dalam bacaanya
Bismillahirrahmanirrahim, al-hamdulillahi Rabbil- 'alamin, ar-Rahmanir-rahim, Maliki Yaumid-din.
(Riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah dan al-hakim. Menurut ad-Daruqutni, sanad hadis ini
sahih).

Abu Hurairah juga salat dan mengeraskan bacaan basmalah. Setelah selesai salat, dia berkata,
"Saya ini adalah orang yang salatnya paling mirip dengan Rasulullah." Muawiyah juga pernah salat di
Medinah tanpa mengeraskan suara basmalah. Ia diprotes oleh para sahabat lain yang hadir disitu.
Akhirnya pada salat berikutnya Muawiyah mengeraskan bacaan basmalah.

Kalau kita perhatikan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw telah sependapat menuliskan
Basmalah pada permulaan surah dari surah Al-Qur'an, kecuali surah at-Taubah (karena memang dari
semula turunnya tidak dimulai dengan Basmalah) dan bahwa Rasulullah saw melarang menuliskan
sesuatu yang bukan Al-Qur'an agar tidak bercampur aduk dengan Al-Qur'an, sehingga mereka tidak
menuliskan 'amin pada akhir surah al-Fatihah, maka Basmalah itu adalah salah satu ayat dari Al-
Qur'an. Dengan kata lain, bahwa "basmalah-basmalah" yang terdapat di dalam Al-Qur'an adalah
ayat-ayat Al-Qur'an, lepas dari pendapat apakah satu ayat dari al-Fatihah atau dari surah lain, yang
dimulai dengan Basmalah atau tidak.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa surah al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat. Mereka yang
berpendapat bahwa Basmalah itu tidak termasuk satu ayat dari al-Fatihah, memandang:

adalah salah satu ayat, dengan demikian ayat-ayat al-Fatihah itu tetap tujuh.
"Dengan nama Allah" maksudnya "Dengan nama Allah saya baca atau saya mulai". Seakan-akan
Nabi berkata, "Saya baca surah ini dengan menyebut nama Allah, bukan dengan menyebut nama
saya sendiri, sebab ia wahyu dari Tuhan, bukan dari saya sendiri." Maka Basmalah di sini
mengandung arti bahwa Al-Qur'an itu wahyu dari Allah, bukan karangan Muhammad saw dan
Muhammad itu hanyalah seorang Pesuruh Allah yang dapat perintah menyampaikan Al-Qur'an
kepada manusia.

Makna kata Allah

Allah adalah nama bagi Zat yang ada dengan sendirinya (wajibul-wujud). Kata "Allah" hanya dipakai
oleh bangsa Arab kepada Tuhan yang sebenarnya, yang berhak disembah, yang mempunyai sifat-
sifat kesempurnaan. Mereka tidak memakai kata itu untuk tuhan-tuhan atau dewa-dewa mereka yang
lain.

Hikmah Membaca Basmalah

Seorang yang selalu membaca Basmalah sebelum melakukan pekerjaan yang penting, berarti ia
selalu mengingat Allah pada setiap pekerjaannya. Dengan demikian ia akan melakukan pekerjaan
tersebut dengan selalu memperhatikan norma-norma Allah dan tidak merugikan orang lain.
Dampaknya, pekerjaan yang dilakukannya akan berbuah sebagai amalan ukhrawi.

Seorang Muslim diperintahkan membaca Basmalah pada waktu mengerjakan sesuatu yang baik.
Yang demikian itu untuk mengingatkan bahwa sesuatu yang dikerjakan adalah karena perintah Allah,
atau karena telah diizinkan-Nya. Maka karena Allah dia mengerjakan pekerjaan itu dan kepada-Nya
dia meminta pertolongan agar pekerjaan terlaksana dengan baik dan berhasil.

Nabi saw bersabda:

"Setiap pekerjaan penting yang tidak dimulai dengan menyebut Basmalah adalah buntung (kurang
berkahnya)." (Riwayat Abdul-Qadir ar-Rahawi).

Orang Arab sebelum datang Islam mengerjakan sesuatu dengan menyebut al-Lata dan al-'Uzza,
nama-nama berhala mereka. Sebab itu, Allah mengajarkan kepada penganut-penganut agama Islam
yang telah mengesakan-Nya, agar mereka mengerjakan sesuatu dengan menyebut nama Allah.

2. Pada ayat di atas, Allah memulai firman-Nya dengan menyebut "Basmalah" untuk mengajarkan
kepada hamba-Nya agar memulai suatu perbuatan yang baik dengan menyebut basmalah, sebagai
pernyataan bahwa dia mengerjakan perbuatan itu karena Allah dan kepada-Nyalah dia memohonkan
pertolongan dan berkah. Maka, pada ayat ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya agar selalu
memuji-Nya.

Al-hamdu artinya pujian, karena kebaikan yang diberikan oleh yang dipuji, atau karena suatu sifat
keutamaan yang dimilikinya. Semua nikmat yang telah dirasakan dan didapat di alam ini dari Allah,
sebab Dialah yang menjadi sumber bagi semua nikmat. Hanya Allah yang mempunyai sifat-sifat
kesempurnaan. Karena itu Allah sajalah yang berhak dipuji. Orang yang menyebut al-hamdu lillah
bukan hanya mengakui bahwa puji itu untuk Allah semata, melainkan dengan ucapannya itu dia
memuji Allah.

Rabb artinya pemilik, pengelola dan pemelihara. Di dalamnya terkandung arti mendidik, yaitu
menyampaikan sesuatu kepada keadaan yang sempurna dengan berangsur-angsur.
'alamin artinya seluruh alam, yakni semua jenis makhluk. Alam itu berjenis-jenis, yaitu alam tumbuh-
tumbuhan, alam binatang, alam manusia, alam benda, alam makhluk halus, umpamanya malaikat, jin,
dan alam yang lain. Ada mufasir mengkhususkan 'alamin pada ayat ini kepada makhluk-makhluk
Allah yang berakal yaitu manusia, malaikat dan jin. Tetapi ini mempersempit arti kata yang
sebenarnya amat luas.

Dengan demikian, Allah itu Pendidik seluruh alam, tak ada sesuatu pun dari makhluk Allah yang
terlepas dari didikan-Nya. Tuhan mendidik makhluk-Nya dengan seluas arti kata itu. Sebagai
pendidik, Dia menumbuhkan, menjaga, memberikan daya (tenaga) dan senjata kepada makhluk itu,
guna kesempurnaan hidupnya masing-masing.

Siapa yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, menyelidiki kehidupan tumbuh-tumbuhan dan


binatang di laut dan di darat, mempelajari pertumbuhan manusia sejak dari rahim ibunya sampai ke
masa kanak-kanak, lalu menjadi manusia yang sempurna, tahulah dia bahwa tidak ada sesuatu juga
dari makhluk Allah yang terlepas dari penjagaan, pemeliharaan, asuhan dan inayah-Nya.

3. Pada ayat dua di atas Allah swt menerangkan bahwa Dia adalah Tuhan seluruh alam. Maka untuk
mengingatkan hamba kepada nikmat dan karunia yang berlipat-ganda, yang telah dilimpahkan-Nya,
serta sifat dan cinta kasih sayang yang abadi pada diri-Nya, diulang-Nya sekali lagi menyebut ar-
Rahman ar-Rahim. Yang demikian dimaksudkan agar gambaran keganasan dan kezaliman seperti
raja-raja yang dipertuan dan bersifat sewenang-wenang lenyap dari pikiran hamba.

Allah mengingatkan dalam ayat ini bahwa sifat ketuhanan Allah terhadap hamba-Nya bukanlah sifat
keganasan dan kezaliman, tetapi berdasarkan cinta dan kasih sayang. Dengan demikian manusia
akan mencintai Tuhannya, dan menyembah Allah dengan hati yang aman dan tenteram, bebas dari
rasa takut dan gelisah. Malah dia akan mengambil pelajaran dari sifat-sifat Allah. Dia akan
mendasarkan pergaulan dan tingkah lakunya terhadap manusia sesamanya, atau terhadap orang
yang di bawah pimpinannya, malah terhadap binatang yang tak pandai berbicara sekalipun, atas sifat
cinta dan kasih sayang itu. Karena dengan jalan demikianlah manusia akan mendapat rahmat dan
karunia dari Tuhannya.

Rasulullah bersabda:

Allah hanya sayang kepada hamba-hamba-Nya yang pengasih. (Riwayat at-tabrani)

Orang-orang yang penyayang, akan disayangi oleh Allah yang Rahman Tabaraka wa Ta'ala.(Oleh
karena itu) sayangilah semua makhluk yang di bumi, niscaya semua makhluk yang di langit akan
menyayangi kamu semua. (Riwayat Ahmad, Abu Dawud at-Tirmidzi dan al-hakim).

Rasulullah bersabda:

"Siapa yang kasih sayang meskipun kepada seekor burung (pipit) yang disembelih, akan disayangi
Allah pada hari Kiamat. (Riwayat al-Bukhari)

Maksud hadis yang ketiga ialah menggunakan aturan dan tata cara pada waktu menyembelih burung,
misalnya memakai pisau yang tajam. Dapat pula dipahami dari urutan kata ar-Rahman, ar-Rahim,
bahwa penjagaan, pemeliharaan dan asuhan Allah terhadap seluruh alam, bukanlah karena
mengharapkan sesuatu dari alam itu, tetapi semata-mata karena rahmat dan kasih sayang-Nya.

Boleh jadi ada yang terlintas dalam pikiran orang, mengapa Allah membuat peraturan dan hukum,
dan menghukum orang-orang yang melanggar peraturan itu? Pikiran ini akan hilang bila diketahui
bahwa peraturan dan hukum, begitu juga azab di akhirat atau di dunia yang dibuat Allah untuk
hamba-Nya yang melanggar tidaklah berlawanan dengan sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, karena peraturan dan hukum itu rahmat dari Allah demi untuk kebaikan manusia itu
sendiri. Begitu pula azab dari Allah terhadap hamba-Nya yang melanggar peraturan dan hukum itu
sesuai dengan keadilan-Nya.

4. Sesudah Allah menyebutkan beberapa sifat-Nya, yaitu: Tuhan seluruh alam, Yang Maha
Pengasih, Maha Penyayang, maka diiringi-Nya dengan menyebutkan satu sifat-Nya lagi, yaitu
"menguasai hari pembalasan". Penyebutan ayat ini dimaksudkan agar kekuasaan Allah atas alam ini
tak terhenti sampai di dunia ini saja, tetapi terus berkelanjutan sampai hari akhir.

Ada dua macam bacaan berkenaan dengan Malik. Pertama, dengan memanjangkan ma, dan kedua
dengan memendekkannya. Menurut bacaan yang pertama, Malik artinya "Yang memiliki" (Yang
empunya). Sedang menurut bacaan yang kedua, artinya "Raja". Kedua bacaan itu benar.

Baik menurut bacaan yang pertama ataupun bacaan yang kedua, dapat dipahami dari kata itu arti
"berkuasa" dan bertindak dengan sepenuhnya. Sebab itulah diterjemahkan dengan "Yang
menguasai". "Yaum" artinya hari, tetapi yang dimaksud di sini ialah waktu secara mutlak.

Ad-din banyak artinya, di antaranya: (1) perhitungan, (2) ganjaran, pembalasan, (3) patuh, (4)
menundukkan, dan (5) syariat, agama. Yang selaras di sini ialah dengan arti "pembalasan". Jadi,
Maliki yaumiddin maksudnya "Allah itulah yang berkuasa dan yang dapat bertindak dengan
sepenuhnya terhadap semua makhluk-Nya pada hari pembalasan."

Sebetulnya pada hari kemudian itu banyak hal yang terjadi, yaitu Kiamat, kebangkitan, berkumpul,
perhitungan, pembalasan, tetapi pembalasan sajalah yang disebut oleh Allah di sini, karena itulah
yang terpenting. Yang lain dari itu, umpamanya kiamat, kebangkitan dan seterusnya, merupakan
pendahuluan dari pembalasan, apalagi untuk targib dan tarhib (menggalakkan dan menakut-nakuti),
penyebutan "hari pembalasan" itu lebih tepat.

Hari Akhirat Menurut Pendapat Akal (Filsafat)

Kepercayaan tentang adanya hari akhirat, yang di hari itu akan diadakan perhitungan terhadap
perbuatan manusia pada masa hidupnya dan diadakan pembalasan yang setimpal, adalah suatu
kepercayaan yang sesuai dengan akal. Sebab itu adanya hidup yang lain, sesudah hidup di dunia ini,
bukan saja ditetapkan oleh agama, tetapi juga ditunjukkan oleh akal.

Seseorang yang mau berpikir tentu akan merasa bahwa hidup di dunia ini belumlah sempurna, perlu
disambung dengan hidup yang lain. Alangkah banyaknya orang yang teraniaya hidup di dunia ini
telah pulang ke rahmatullah sebelum mendapat keadilan. Alangkah banyaknya orang yang berjasa
kecil atau besar, belum mendapat penghargaan atas jasanya. Alangkah banyaknya orang yang telah
berusaha, memeras keringat, membanting tulang, tetapi belum sempat lagi merasakan buah
usahanya itu. Sebaliknya, alangkah banyaknya penjahat, penganiaya, pembuat onar, yang tak dapat
dijangkau oleh pengadilan di dunia ini. Lebih-lebih kalau yang melakukan kejahatan atau aniaya itu
orang yang berkuasa sebagai raja, pembesar dan lain-lain. Maka biarpun kejahatan dan aniaya itu
telah merantai bangsa seluruhnya, tidaklah akan digugat orang, malah dia tetap dipuja dan dihormati.
Maka, dimanakah akan didapat keadilan itu, seandainya nanti tidak ada mahkamah yang lebih tinggi,
Mahkamah Allah di hari kemudian?

Sebab itu, para pemikir dari zaman dahulu telah ada yang sampai kepada kepercayaan tentang
adanya hari akhirat itu, semata-mata dengan jalan berpikir, antara lain Pitagoras. Filsuf ini
berpendapat bahwa hidup di dunia ini merupakan bekal hidup yang abadi di akhirat kelak. Sebab itu
sejak dari dunia hendaklah orang bersedia untuk hidup yang abadi. Sokrates, Plato dan Aristoteles
berpendapat, "Jiwa yang baik akan merasakan kenikmatan dan kelezatan di akhirat, tetapi bukan
kelezatan kebendaan, karena kelezatan kebendaan itu terbatas dan mendatangkan bosan dan jemu.
Hanya kelezatan rohani, yang betapa pun banyak dan lamanya, tidak menyebabkan bosan dan
jemu."
Kepercayaan Masyarakat Arab Sebelum Islam tentang Hari Akhirat

Di antara masyarakat Arab sebelum Islam terdapat beberapa pemikir dan pujangga yang telah
mempercayai adanya hari kemudian, seperti Zuhair bin Abi Sulma yang meninggal dunia setahun
sebelum Nabi Muhammad saw diutus Allah sebagai rasul.

Ada pula di antara mereka yang tidak mempercayai adanya hari kemudian. Dengarlah apa yang
dikatakan oleh salah seorang penyair mereka: "Hidup, sesudah itu mati, sesudah itu dibangkitkan
lagi, itulah cerita dongeng, hai fulan." Karena itu, datanglah agama Islam, membawa kepastian
tentang adanya hari kemudian. Pada hari itu akan dihisab semua perbuatan yang telah dikerjakan
manusia selama hidupnya, besar atau kecil. Allah berfirman:

(7) Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya, (8) dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. (az-Zalzalah/99: 7-8)

Tidak sedikit ayat di dalam Al-Qur'an yang menjelaskan bahwa di antara mereka memang banyak
yang tidak percaya adanya hari akhirat; hidup hanya di dunia, setelah itu selesai (al-An'am/6: 29 ; al-
Mu'minun/23: 37). Mereka berkata, bila seorang bapak mati, maka lahir anak, bila suatu bangsa
punah, maka datang bangsa lain. Mereka tidak percaya, bahwa sesudah mati manusia masih akan
hidup kembali (Hud/11: 7; al-Isra'/17: 49) dan banyak lagi ayat senada yang menggambarkan
pendirian demikian. Di dalam sejarah pemikiran tercatat bahwa sejak dahulu kala banyak anggapan
yang demikian itu.

5. Di dalam ayat-ayat sebelumnya disebutkan empat macam dari sifat-sifat Allah, yaitu: Pendidik
seluruh alam, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Yang menguasai hari pembalasan. Sifat-sifat
yang disebutkan itu adalah sifat-sifat kesempurnaan yang hanya Allah saja yang mempunyainya.
Sebab itu pada ayat ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya bahwa Allah sajalah yang patut
disembah, dan kepada-Nya sajalah seharusnya manusia memohon pertolongan, dan bahwa hamba-
Nya haruslah mengikrarkan yang demikian itu.

Iyyaka (hanya kepada Engkau). Iyyaka adalah dhamir untuk orang kedua dalam kedudukan mansub
karena menjadi maf'ul bih (obyek). Dalam tata bahasa Arab maf'ul bih harus sesudah fi'il dan fa'il. Jika
mendahulukan yang seharusnya diucapkan kemudian dalam Balagah menunjukkan qasr, yaitu
pembatasan yang bisa diartikan "hanya". Jadi arti ayat ini "Hanya kepada Engkau saja kami
menyembah, dan hanya kepada Engkau saja kami mohon pertolongan".

Iyyaka dalam ayat ini diulang dua kali, gunanya untuk menegaskan bahwa ibadah dan isti'anah
(meminta pertolongan) itu masing-masing khusus dihadapkan kepada Allah serta untuk dapat
mencapai kelezatan munajat (berbicara) dengan Allah. Karena bagi seorang hamba Allah yang
menyembah dengan segenap jiwa dan raganya tak ada yang lebih nikmat dan lezat perasaannya
daripada bermunajat dengan Allah.

Baik juga diketahui bahwa dengan memakai iyyaka itu berarti menghadapkan pembicaraan kepada
Allah, dengan maksud mengingat Allah swt, seakan-akan kita berada di hadapan-Nya, dan kepada-
Nya diarahkan pembicaraan dengan khusyuk dan tawaduk. Seakan-akan kita berkata:

"Ya Allah, dzat yang wajibul wujud, Yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, Yang menjaga
dan memelihara seluruh alam, Yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dengan berlipat ganda,
Yang berkuasa di hari pembalasan, Engkau sajalah yang kami sembah, dan kepada Engkau sajalah
kami minta pertolongan, karena hanya Engkau yang berhak disembah, dan hanya Engkau yang
dapat menolong kami".
Dengan cara seperti itu orang akan lebih khusyuk dalam menyembah Allah dan lebih tergambar
kepadanya kebesaran yang disembahnya itu. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah dengan
sabdanya:

"Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari
'Umar bin al-Khatthab).

Karena surah al-Fatihah mengandung ayat munajat (berbicara) dengan Allah menurut cara yang telah
diterangkan maka hal itu merupakan rahasia diwajibkan membacanya pada tiap-tiap rakaat dalam
salat, karena jiwanya ialah munajat, dengan menghadapkan diri dan memusatkan ingatan kepada
Allah.

Na'budu pada ayat ini didahulukan menyebutkannya daripada nasta'inu, karena menyembah Allah
adalah suatu kewajiban manusia terhadap Tuhan-nya. Tetapi pertolongan dari Allah kepada hamba-
Nya adalah hak hamba itu. Maka Allah mengajar hamba-Nya agar menunaikan kewajibannya lebih
dahulu, sebelum ia menuntut haknya.

Melihat kata-kata na'budu dan nasta'inu (kami menyembah, kami minta tolong), bukan a'budu dan
asta'inu (saya menyembah dan saya minta tolong) adalah untuk memperlihatkan kelemahan
manusia, tidak selayaknya manusia mengemukakan dirinya seorang saja dalam menyembah dan
memohon pertolongan kepada Allah. Seakan-akan penunaian kewajiban beribadah dan permohonan
pertolongan kepada Allah itu belum lagi sempurna, kecuali kalau dikerjakan bersama-sama.

Kedudukan Tauhid di dalam Ibadah dan Sebaliknya

Ibadah secara istilah ialah semua perkataan, perbuatan dan pikiran yang bertujuan untuk mencari
rida Allah. Arti "ibadah" sebagai disebutkan di atas ialah tunduk dan berserah diri kepada Allah, yang
disebabkan oleh kesadaran bahwa Allah yang menciptakan alam ini, Yang menumbuhkan, Yang
mengembangkan, Yang menjaga dan memelihara serta Yang membawanya dari suatu keadaan
kepada keadaan yang lain, hingga tercapai kesempurnaannya.

Tegasnya, ibadah itu timbulnya dari perasaan tauhid. Oleh karenanya, orang yang suka memikirkan
keadaan alam ini, yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, kehidupan tumbuh-tumbuhan,
binatang dan manusia, bahkan yang mau memperhatikan dirinya sendiri, yakinlah dia bahwa di balik
alam yang zahir ada Zat yang gaib yang mengendalikan alam ini, yang bersifat dengan segala sifat
kesempurnaan, yakni Dialah Yang Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Mengetahui dan sebagainya.
Maka tumbuhlah dalam sanubarinya perasaan bersyukur dan berutang budi kepada Zat Yang
Mahakuasa, Maha Pengasih dan Maha Mengetahui itu.

Perasaan inilah yang menggerakkan bibirnya untuk menuturkan puji-pujian, dan yang mendorong jiwa
dan raganya untuk menyembah dan merendahkan diri kepada Allah Yang Mahakuasa itu sebagai
pernyataan bersyukur dan membalas budi kepada-Nya. Tetapi ada juga manusia yang tidak mau
berpikir, dan selanjutnya tidak sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah, sering melupakan-Nya.
Sebab itulah, setiap agama mensyariatkan bermacam-macam ibadah, gunanya untuk mengingatkan
manusia kepada kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan keterangan ini terlihat bahwa tauhid dan
ibadah itu saling mempengaruhi, dengan arti bahwa tauhid menumbuhkan ibadah, dan ibadah
memupuk tauhid.

Pengaruh Ibadah terhadap Jiwa Manusia

Tiap-tiap ibadah yang dikerjakan karena didorong oleh perasaan yang disebutkan itu, niscaya
berpengaruh kepada tabiat dan budi pekerti orang yang melakukannya. Umpamanya, orang yang
melaksanakan salat karena sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah, dan didorong oleh perasaan
bersyukur dan berutang budi kepada-Nya, akan terjauhlah dia dari perbuatan-perbuatan yang tidak
baik. Dengan demikian salatnya itu akan mencegahnya dari mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
tidak baik itu, sesuai dengan firman Allah swt:

"Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar." (al-'Ankabut/29: 45)

Begitu juga ibadah puasa. Ibadah ini akan menimbulkan perasaan cinta dan kasih sayang terhadap
orang-orang miskin. Demikian pula seterusnya dengan ibadah-ibadah yang lain. Ibadah yang
sebenarnya adalah ibadah yang ditimbulkan oleh keyakinan kepada kebesaran dan kekuasaan Allah,
serta didorong oleh perasaan bersyukur kepada Allah. Ibadah yang hanya karena ikut-ikutan, atau
karena memelihara tradisi yang sudah turun-temurun, bukanlah ibadah yang sebenarnya. Kendatipun
seakan-akan berupa ibadah, tetapi tidak mempunyai jiwa ibadah. Tidak ubahnya seperti patung,
bagaimanapun miripnya dengan manusia, tidaklah dinamai manusia. Ibadah yang semacam itu tidak
ada pengaruhnya kepada tabiat dan akhlak.

Berusaha, Berdoa dan Bertawakal

Isti'anah (memohon pertolongan) seperti disebutkan di atas khusus dihadapkan kepada Allah, dengan
arti bahwa tidak ada yang berhak dimohonkan pertolongan kecuali Allah. Pada ayat yang lain Allah
menyuruh manusia untuk tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan.

Allah berfirman:

"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa". (al-Ma'idah/5: 2)

Adakah Pertentangan antara Dua Ayat itu?

Tercapainya suatu maksud, atau terlaksananya suatu pekerjaan dengan baik, tergantung kepada
terpenuhinya syarat-syarat yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan itu, dan tidak adanya
rintangan-rintangan yang menghalanginya. Manusia telah diberi potensi oleh Allah, baik berupa
pikiran maupun kekuatan tubuh, agar bisa mencukupkan syarat-syarat atau menolak rintangan-
rintangan dalam menuju suatu maksud, atau mengerjakan suatu pekerjaan. Tetapi, ada di antara
syarat-syarat itu yang manusia tidak kuasa mencukupkannya. Di samping itu, ada juga rintangan
yang tidak mampu ditolaknya. Begitu pula ada di antara syarat-syarat itu atau di antara halangan-
halangan itu yang tidak dapat diketahui.

Kendatipun menurut pikiran semua syarat yang diperlukan telah cukup, dan semua rintangan yang
menghalangi telah berhasil diatasi, tetapi kadang-kadang hasil pekerjaan tidak seperti yang
diharapkan. Ada hal-hal yang berada di luar batas kekuasaan dan kemampuan manusia. Itulah yang
dimintakan pertolongan khusus kepada Allah. Sebaiknya, sesuatu yang masih dalam batas
kekuasaan dan kemampuan, manusia disuruh tolong menolong, agar timbul pada masing-masing
individu sifat saling mencintai, menghargai, dan gotong-royong.

Dengan perkataan lain, manusia disuruh Allah berusaha dengan sekuat tenaga, dan disuruh saling
menolong, dan membantu. Di samping menjalankan ikhtiar dan usaha, dia harus pula berdoa,
memohon taufik, hidayah dan ma'unah. Ini hendaknya dimohonkan khusus kepada Allah, karena
hanya Dia yang kuasa memberinya. Sesudah itu semua, barulah dia bertawakal kepada-Nya.

Ibadah itu sendiri pun suatu pekerjaan yang berat, sebab itu haruslah dimintakan ma'unah dari Allah
agar semua ibadah terlaksana sesuai dengan yang dimaksud oleh agama. Oleh karena itu,
seseorang hendaknya menuturkan bahwa hanya kepada Allah sajalah kita beribadah, diikuti lagi
dengan pernyataan bahwa kepada-Nya saja minta pertolongan, terutama pertolongan agar amal
ibadah terlaksana sebagaimana mestinya. Ayat di atas, sebagaimana telah disebutkan, mengandung
tauhid, karena beribadah semata-mata kepada Allah dan meminta ma'unah khusus kepada-Nya,
adalah intisari agama, dan kesempurnaan tauhid.

6. Ihdi: pimpinlah, tunjukilah, berilah hidayah. Arti "hidayah" ialah menunjukkan suatu jalan atau cara
menyampaikan orang kepada orang yang ditujunya, dengan baik.

Macam-macam Hidayah (Petunjuk)

Allah telah memberi manusia bermacam-macam hidayah, seperti yang juga dibahas dalam Tafsir Al-
Fatihah oleh Muhammad Abduh.

1. Hidayah Naluri (Garizah)

Manusia begitu juga binatang-binatang, dilengkapi oleh Allah dengan bermacam-macam sifat, yang
timbulnya bukan dari pelajaran, bukan pula dari pengalaman, melainkan telah dibawanya dari
kandungan ibunya. Sifat-sifat ini namanya "naluri", dalam bahasa Arab disebut garizah. Umpamanya,
naluri "ingin memelihara diri" (mempertahankan hidup). Seorang bayi bila merasa lapar dia menangis.
Sesudah terasa di bibirnya puting susu ibunya, dihisapnya sampai hilang laparnya. Perbuatan ini
dikerjakannya tanpa seorang pun yang mengajarkan kepadanya, bukan pula timbul dari
pengalamannya, hanya semata-mata ilham dan petunjuk dari Allah kepadanya, untuk
mempertahankan hidupnya.

Contoh lain adalah lebah membuat sarangnya, laba-laba membuat jaringnya, semut membuat
lubangnya dan menimbun makanan dalam lubang itu. Semua itu dikerjakan oleh binatang-binatang
itu untuk mempertahankan hidupnya dan memelihara dirinya, dengan dorongan nalurinya semata-
mata. Banyak lagi naluri yang lain, umpamanya rasa "ingin tahu", "ingin mempunyai", "ingin
berlomba-lomba", "ingin bermain", "ingin meniru", "takut", dan lain-lain.

Sifat-sifat Naluri

Naluri (garizah), sebagaimana disebutkan, terdapat pada manusia dan binatang. Perbedaannya ialah
naluri manusia bisa menerima pendidikan dan perbaikan, tetapi naluri binatang tidak. Sebab itulah
manusia bisa maju, sedangkan binatang tidak, ia tetap seperti sediakala.

Naluri-naluri itu adalah dasar bagi kebaikan, dan juga dasar bagi kejahatan. Umpamanya, naluri
"ingin memelihara diri", orang berusaha, berniaga, bertani, artinya mencari nafkah secara halal.
Sebaliknya karena naluri "ingin memelihara diri" itu pula orang mencuri, menipu, merampok dan lain-
lain. Karena naluri "ingin tahu" orang belajar, sehingga memiliki pengetahuan yang banyak dan
pendidikan yang tinggi. Sebaliknya karena naluri "ingin tahu" itu pula orang suka mencari-cari 'aib dan
rahasia sesamanya, yang mengakibatkan permusuhan dan persengketaan. Demikianlah seterusnya
dengan naluri-naluri yang lain.

Naluri-naluri itu tidak dapat dihilangkan dan tidak ada faedahnya membunuhnya. Ada pemikir dan
pendidik yang hendak memadamkan naluri, karena melihat segi yang tidak baik (jahat) itu. Sebab itu
mereka membuat bermacam peraturan untuk mengikat kemerdekaan anak-anak agar naluri itu
jangan tumbuh, atau mana yang telah tumbuh menjadi mati. Tetapi perbuatan mereka itu besar
bahayanya terhadap pertumbuhan akal, tubuh dan akhlak anak-anak. Bagaimanapun orang berusaha
hendak membunuh naluri itu, namun ia tidak akan mati.

Boleh jadi karena kerasnya tekanan dan kuatnya rintangan terhadap suatu naluri, maka kelihatan ia
telah padam, tetapi manakala ada yang membangkitkannya, ia timbul kembali. Oleh karena itu,
sekalipun naluri itu dasar bagi kebaikan, sebagaimana ia juga dasar bagi kejahatan, kewajiban
manusia bukanlah menghilangkannya, tetapi mendidik dan melatihnya, agar dapat dimanfaatkan dan
disalurkan ke arah yang baik.

Allah telah menganugerahkan kepada manusia bermacam-macam naluri untuk jadi hidayah
(petunjuk) yang akan dipakainya secara bijaksana.

2. Hidayah Pancaindra

Karena naluri itu sifatnya belum pasti sebagaimana disebutkan di atas, maka ia belum cukup untuk
jadi hidayah bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sebab itu, manusia dilengkapi
lagi oleh Allah swt dengan pancaindra. Pancaindra itu sangat besar perannya terhadap pertumbuhan
akal dan pikiran manusia. Sehubungan dengan itu ahli-ahli pendidikan berkata:

(Pancaindra adalah pintu-pintu pengetahuan).

Maksudnya ialah: dengan perantaraan pancaindra itulah manusia dapat berhubungan dengan alam
sekitar, dengan arti bahwa sampainya sesuatu dari alam sekitar ini ke dalam otak manusia adalah
melalui pintu-pintu pancaindra. Tetapi naluri ditambah dengan pancaindra, juga belum cukup untuk
jadi pokok-pokok kebahagiaan manusia. Banyak lagi benda-benda dalam alam ini yang tidak dapat
dilihat oleh mata. Banyak macam suara yang tidak dapat didengar oleh telinga. Malah selain dari
alam mahsusat (yang dapat ditangkap oleh pancaindra), ada lagi alam ma'qulat (yang hanya dapat
ditangkap oleh akal).

Indra penglihatan (mata) hanya dapat menangkap alam mahsusat, tangkapannya tentang yang
mahhsusat itu pun tidak selamanya betul, kadang-kadang salah. Inilah yang dinamakan dalam ilmu
jiwa "ilusi optik" (tipuan pandangan), dalam bahasa Arab disebut khida' an-nadhar. Sebab itu manusia
masih membutuhkan hidayah yang lain. Maka Allah menganugerahkan hidayah yang ketiga, yaitu
"hidayah akal".

3. Hidayah Akal (pikiran)

a. Akal dan kadar kesanggupannya

Dengan adanya akal manusia dapat menyalurkan naluri ke arah yang baik, agar naluri itu menjadi
sumber bagi kebaikan, dan manusia dapat membetulkan kesalahan-kesalahan pancaindranya,
membedakan yang buruk dengan yang baik. Akal bahkan sanggup menyusun mukadimah untuk
menyampaikannya kepada natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang mahsusat
sebagai tangga kepada yang ma'qulat, mempergunakan yang dapat dilihat, diraba dan dirasakan
untuk sampai kepada yang abstrak, maknawi, dan gaib, mengambil dalil dari adanya makhluk untuk
menetapkan adanya khalik, dan begitulah seterusnya.

Tetapi akal manusia juga belum memadai untuk membawanya kepada kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat di samping berbagai macam naluri dan pancaindra itu. Apalagi pendapat akal itu
bermacam-macam, yang baik menurut pikiran si A belum tentu baik menurut pandangan si B, malah
banyak manusia yang mempergunakan akalnya, tetapi akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu dan
sentimennya, hingga yang buruk itu menjadi baik dalam pandangannya, dan yang baik itu menjadi
buruk.

Dengan demikian nyatalah bahwa naluri ditambah dengan pancaindra, dan ditambah pula dengan
akal belum cukup untuk menjadi hidayah yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan
hidup jasmani dan rohani, di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, manusia membutuhkan hidayah lain,
di samping pancaindra dan akalnya, yaitu hidayah agama yang dibawa oleh para rasul 'alaihimus-
salatu was-salam.
b. Benih agama dan akidah tauhid pada jiwa manusia

Jika menilik kepada agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang diciptakan oleh manusia (al-
adyan al-wadh'iyyah) terlihat bahwa pada jiwa manusia telah ada bibit-bibit kecenderungan
beragama. Hal itu karena manusia mempunyai sifat merasa berutang budi, suka berterima kasih dan
membalas budi kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Maka, ketika ia memperhatikan dirinya
dan alam di sekililingnya, umpamanya roti yang dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya,
binatang ternak yang digembalakannya, matahari yang memancarkan sinarnya, hujan yang turun dari
langit yang menumbuhkan tanam-tanaman, dia akan merasa berutang budi kepada "suatu Zat" yang
gaib yang telah berbuat baik dan melimpahkan nikmat yang besar itu kepadanya.

Manusia memahami dengan akalnya bahwa Zat yang gaib itulah yang menciptakannya, yang
menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia seluruhnya, segala sesuatu yang
dibutuhkannya yang ada di alam ini, untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya. Karena
merasa berutang budi kepada suatu Zat Yang Gaib itu, maka dia berpikir bagaimana cara berterima
kasih dan membalas budi itu, atau dengan perkataan lain bagaimana cara "menyembah Zat Yang
Gaib itu".

Perihal bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib, adalah suatu masalah yang sukar, yang tidak
dapat dicapai oleh akal manusia. Sebab itu, di dalam sejarah terlihat tidak pernah ada keseragaman
dalam hal ini. Bahkan akal pikiran manusia akan membawanya kepada kepercayaan mengagungkan
alam di samping mengagungkan Zat Yang Gaib itu.

Karena pikirannya masih bersahaja dan belum tergambarkan di otaknya bagaimana menyembah "Zat
Yang Gaib", maka dipilihlah di antara alam ini sesuatu yang besar, yang indah, yang banyak
manfaatnya, atau sesuatu yang ditakutinya untuk jadi lambang bagi Zat Yang Gaib itu. Ketika dia
mengagumi matahari, bulan dan bintang-bintang, sungai-sungai, binatang dan lain-lain, maka
disembahnya benda-benda itu, sebagai lambang menyembah Tuhan atau Zat Yang Gaib itu, dan
diciptakannya cara-cara beribadah (menyembah) benda-benda itu.

Dengan cara itu timbul suatu macam kepercayaan, yang dinamakan dengan "kepercayaan
menyembah kekuatan alam", seperti yang terdapat di Mesir, Kaldea, Babilonia, Asiria dan di tempat-
tempat lain di zaman purbakala. Dengan keterangan ini: tampak bahwa manusia menurut fitrahnya
cenderung beragama, acap memikirkan dari mana datangnya alam ini, dan ke manakah kembalinya.

Bila manusia mau memikirkan: "Dari mana datangnya alam ini", akan sampai pada keyakinan tentang
adanya Tuhan, bahkan akan sampai kepada keyakinan tentang keesaan Tuhan (tauhid), karena
akidah (keyakinan) tentang keesaan Tuhan ini lebih mudah, dan lebih cepat dipahami oleh akal
manusia. Karena itu dapat kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya adalah beragama
tauhid.

Sejarah telah menerangkan bahwa bangsa Kaldea pada mulanya adalah beragama tauhid, kemudian
mereka menyembah matahari, planet-planet dan bintang-bintang yang mereka simbolkan dengan
patung-patung. Sesudah raja Namrudz meninggal, mereka pun mendewakan dan menyembah
Namrudz itu. Bangsa Asiria pun pada mulanya beragama tauhid, kemudian mereka lupa kepada
akidah tauhid itu dan mereka sekutukan Tuhan dengan binatang-binatang, dan inilah yang dipusakai
oleh orang-orang Babilonia.

Adapun bangsa Mesir, bila diperhatikan nyanyian-nyanyian yang mereka nyanyikan dalam upacara-
upacara peribadatan, jelas bahwa tidak semua orang Mesir purbakala itu orang-orang musyrik dan
watsani (penyembah berhala), melainkan di antara mereka ada juga muwahhidin, penganut akidah
tauhid. Di dalam nyanyian-nyanyian itu terdapat ungkapan sebagai berikut:

"Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya"

"Dia mencintai seluruh makhluk, sedang Dia sendiri tak ada yang menciptakan-Nya"

"Dialah Tuhan Yang Mahaagung, Pemilik langit dan bumi, Pencipta seluruh makhluk"
Dapat ditegaskan bahwa akidah tauhid ini tidak pernah lenyap sama sekali, dan tetap ada. Tuhan
Yang Maha Esa adalah pencipta seluruh yang ada di alam ini. Tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang
lain itu mereka anggap hanyalah sebagai pembantu dan pelayan atau simbol bagi Yang Maha Esa.

c. Pendapat Orang-orang Arab sebelum Islam tentang Khalik (Pencipta)

Orang-orang Arab sebelum datang agama Islam, kalau ditanyakan kepada mereka, "Siapakah yang
menjadikan langit dan bumi ini?" Mereka menjawab, "Allah." Kalau ditanyakan, "Adakah al-Lata dan
al-Uzza itu menjadikan sesuatu yang ada pada alam ini?" Mereka menjawab, "Tidak!" Mereka
sembah dewa-dewa itu hanya untuk mengharapkan perantaraan dan syafaat dari mereka terhadap
Tuhan yang sebenarnya. Allah berfirman tentang perkataan musyrikin Arab itu:

"Kami tidak menyembah mereka, melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada
Allah, dengan sedekat-dekatnya." (az-Zumar/39: 3)

d. Kepercayaan tentang akhirat bisa dicapai oleh akal

Manakala manusia memikirkan "kemanakah kembalinya alam ini?" akan sampailah dia pada
keyakinan bahwa di balik hidup di dunia yang fana ini akan ada lagi hidup di hari kemudian yang
kekal dan abadi. Tetapi dapatkah manusia dengan akal dan pikirannya semata-mata mengetahui
apakah yang perlu dikerjakan atau dijauhinya sebagai persiapan untuk kebahagiaan di hari kemudian
(hari akhirat) itu? Jawabnya, "Tentu saja tidak, sejarah pun telah membuktikan hal ini."

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa manusia telah diberi akal oleh Allah untuk jadi hidayah
baginya, di samping naluri dan pancaindra. Tetapi hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk
kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.

Begitu juga manusia mempunyai tabiat suka beragama, dengan akalnya dia kadang-kadang telah
sampai kepada tauhid. Tetapi tauhid yang telah dicapainya dengan akalnya itu sering pula menjadi
kabur dan tidak murni lagi.

Dengan mempergunakan akalnya, manusia juga dapat sampai kepada kesimpulan tentang adanya
akhirat, tetapi hidayah akal itu belum mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.
Maka untuk menyampai-kan manusia kepada akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit
pun oleh kepercayaan-kepercayaan menyembah dan membesarkan selain Allah, untuk
membentangkan jalan yang benar yang akan ditempuhnya dalam perjalanan mencari kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat, dan untuk jadi pedoman dalam hidupnya di dunia ini, dia membutuhkan
hidayah yang lain di samping hidayah-hidayah yang telah disebutkan itu. Maka Allah mendatangkan
hidayah yang keempat yaitu "agama" yang dibawa oleh para rasul 'alaihimus-salatu was-salam.

4. Hidayah Agama

a. Pokok-pokok agama ketuhanan

Allah mengutus rasul-rasul untuk membawa agama yang akan menunjukkan kepada manusia jalan
yang harus mereka tempuh untuk kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Mula-mula yang
ditanamkan oleh rasul-rasul itu adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan
segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, guna membersihkan itikad manusia dari syirik
(mempersekutukan Allah).
Rasul membawa manusia kepada kepercayaan tauhid dengan melalui akal dan logika, yaitu dengan
mempergunakan dalil-dalil yang tepat dan logis. Dialog antara Nabi Ibrahim dengan Namrudz, Nabi
Musa dengan Fir'aun, dan seruan-seruan Al-Qur'an kepada kaum musyrikin Quraisy semuanya
mengajak agar mereka mempergunakan akal.

Di samping kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, rasul-rasul juga menyeru untuk
percaya pada akhirat, dan para malaikat.

Percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, serta
adanya malaikat dan hari kemudian dinamakan al-iman bi al-gaib (percaya kepada yang gaib). Itulah
yang menjadi pokok bagi semua agama samawi, dengan arti bahwa semua agama yang datangnya
dari Tuhan adalah mempercayai keesaan Tuhan, para malaikat dan hari akhirat.

Di samping Akidah (kepercayaan) yang disebutkan itu, para rasul juga membawa hukum-hukum,
peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran. Hukum-hukum dan peraturan-peraturan ini tidak
seluruhnya sama, artinya apa yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim tidak sama dengan yang
diturunkan kepada Nabi Musa, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa, tidak serupa dengan yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw. Hal ini dikarenakan hukum-hukum dan peraturan-peraturan itu haruslah
sesuai dengan keadaan tempat dan masa. Maka syariat yang dibawa oleh nabi-nabi itu adalah sesuai
dengan masanya masing-masing. Jadi yang berlainan itu ialah hukum-hukum furu' (cabang-cabang),
sedangkan pokok-pokok hukum agama seperti akidah adalah sama. Karena Muhammad saw adalah
Nabi penutup maka syariat yang dibawanya, diberi oleh Allah sifat-sifat tertentu agar sesuai dengan
segala masa dan keadaan.

b. Hidayah yang dimohonkan kepada Tuhan

Allah telah menganugerahkan agama Islam sebagai hidayah dan senjata hidup yang penghabisan,
atau jalan kepada kebahagiaan yang terakhir, tetapi adakah semua orang, pandai mempergunakan
senjata itu, dan adakah semua hamba Allah sukses dalam menempuh jalan yang telah dibentangkan
oleh Tuhan?

Banyak manusia salah menerapkan agama, tidak beribadah (menyembah Allah) sesuai dengan yang
diridai oleh yang disembah, tidak melaksanakan syariat sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat
syariat itu. Karena itu Allah mengajarkan kepada manusia cara memohon kepada-Nya agar diberi-
Nya ma'unah, dibimbing dan dijaga selama-lamanya, serta diberi-Nya taufik agar dapat
memanfaatkan semua macam hidayah yang telah dianugerahkan itu menurut semestinya. Naluri-
naluri agar dapat disalurkan ke arah yang baik, pancaindra agar betul, akal agar sesuai dengan yang
benar, tuntunan-tuntunan agama agar dapat dilaksanakan menurut yang dimaksudkan oleh yang
menurunkan agama itu, tanpa ada cacat, janggal dan salah.

Tegasnya, manusia yang telah diberi Allah bermacam-macam hidayah yang disebutkan di atas
(naluri, pancaindra, akal dan agama) belumlah cukup, tetapi dia masih membutuhkan ma'unah dan
bimbingan dari Allah (yaitu taufik-Nya). ) Maka ma'unah dan bimbingan itulah yang kita mohonkan,
dan kepada Allah sajalah kita hadapkan permohonan itu. Dengan perkataan lain, Allah telah memberi
manusia hidayah-hidayah tersebut, seakan-akan Dia telah membentangkan jalan raya yang akan
menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Kemudian yang
dimohonkan kepada-Nya lagi, ialah "agar membimbing kita dalam melalui jalan yang telah terbentang
itu."

Dengan ringkas hidayah dalam ayat ihdinas-siratal-mustaqim ini berarti "taufik" (bimbingan), dan
taufik itulah yang dimohonkan di sini kepada Allah. Taufik ini dimohonkan kepada Allah sesudah kita
berusaha dengan sepenuh tenaga, pikiran dan ikhtiar, karena berusaha dengan sepenuh tenaga
adalah kewajiban kita, tetapi keberhasilan suatu usaha adalah termasuk kekuasaan Allah. Dengan ini
terlihat pertalian ayat ini dengan ayat yang sebelumnya. Pada ayat yang sebelumnya Allah mengajari
hamba-Nya agar menyembah dan memohon pertolongan kepada-Nya, sedangkan pada ayat ini Allah
menerangkan apa yang akan dimohonkan, dan bagaimana memohonkannya. Maka tidak ada
pertentangan antara kedua firman Allah tersebut dan firman Allah yang ditujukan kepada Nabi:
¦ Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus. (asy-Syura/42:
52).

Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi,
tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-
orang yang mau menerima petunjuk. (al-Qasas/28: 56).

Sebab yang dimaksud dengan hidayah pada ayat pertama ialah menunjukkan jalan yang harus
ditempuh, dan ini memang tugas nabi. Yang dimaksud dengan hidayah pada ayat kedua ialah
membimbing manusia dalam menempuh jalan itu dan memberikan taufik agar sukses dan berbahagia
dalam perjalanannya, dan ini tidaklah masuk dalam kekuasaan nabi, tetapi hak Allah semata-mata.

Jalan yang lurus (yang menyampaikan kepada yang dituju).

Apakah yang dimaksud dengan jalan lurus itu? Di atas telah diterangkan bahwa rasul-rasul telah
membawa aqa'id (kepercayaan-kepercayaan), hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak, dan
pelajaran-pelajaran. Pendeknya, para rasul telah membawa segala sesuatu yang perlu untuk
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.

Maka aqa'id, hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran itulah yang


dimaksud dengan jalan lurus itu, karena dialah yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat sebagaimana disebutkan. Jadi dengan menyebut ayat ini seakan-akan kita
memohon kepada Allah, "Bimbing dan berilah kami taufik, ya Allah dalam melaksanakan ajaran-
ajaran agama kami. Betulkanlah kepercayaan kami. Bimbing dan berilah kami taufik dalam
melaksanakan kepercayaan kami. Bimbing dan berilah kami taufik dalam melaksanakan hukum,
peraturan-peraturan, serta pelajaran-pelajaran agama kami. Jadikanlah kami mempunyai akhlak yang
mulia, agar berbahagia hidup kami di dunia dan akhirat."

7. Setelah Allah swt mengajarkan kepada hamba-Nya untuk memohon agar selalu dibimbing-Nya
menuju jalan yang lurus dan benar, pada ayat ini Allah menerangkan apa jalan yang lurus itu.
Sebelum Al-Qur'an diturunkan, Allah telah menurunkan kitab-kitab suci-Nya yang lain, dan sebelum
Nabi Muhammad diutus, Allah telah mengutus rasul-rasul, karena sebelum umat yang sekarang ini
telah banyak umat terdahulu.

Di antara umat-umat yang terdahulu itu terdapat nabi-nabi, siddiqin yang membenarkan rasul-rasul
dengan jujur dan patuh, syuhada' yang telah mengorbankan jiwa dan harta untuk kemuliaan agama
Allah, dan orang-orang saleh yang telah membuat kebajikan dan menjauhi larangan Allah.

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, dan kita diajari agar memohon kepada-
Nya, agar diberi-Nya taufik dan bimbingan sebagaimana Dia telah memberi taufik dan membimbing
mereka. Artinya sebagaimana mereka telah berbahagia dalam aqa'id, dalam menjalankan hukum-
hukum dan peraturan-peraturan agama, serta telah mempunyai akhlak dan budi pekerti yang mulia,
maka demikian pula kita hendaknya. Dengan perkataan lain, Allah menyuruh kita agar mengambil
contoh dan teladan kepada mereka yang terdahulu.

Timbul pertanyaan: mengapa Allah menyuruh kita mengikuti jalan mereka yang terdahulu itu, padahal
dalam agama kita ada pelajaran-pelajaran, hukum dan petunjuk-petunjuk yang tak ada pada mereka.
Jawabnya: sebetulnya agama Allah itu adalah satu. Kendatipun ada perbedaannya, tetapi perbedaan
itu pada bagian-bagiannya, sedang pokok-pokoknya serupa, sebagaimana telah disebutkan.
Sebagaimana halnya dalam umat-umat yang terdahulu itu terdapat orang-orang yang diberi nikmat
oleh Allah, juga terdapat di antara mereka orang yang dimurkai Allah dan orang yang sesat. Orang
yang dimurkai Allah itu mereka yang tak mau menerima seruan Allah yang disampaikan oleh rasul-
rasul, karena berlainan dengan kebiasaan mereka, atau karena tidak sesuai dengan hawa nafsu
mereka, kendatipun telah jelas bahwa yang dibawa oleh rasul-rasul itu adalah benar. Termasuk juga
ke dalam golongan ini, mereka yang mulanya telah menerima apa yang disampaikan oleh rasul-rasul,
tetapi kemudian karena suatu sebab mereka membelok, dan membelakangi pelajaran yang dibawa
oleh rasul-rasul itu.

Di dalam sejarah banyak ditemukan orang yang dimurkai Allah, sejak di dunia mereka telah diazab
Allah, sebagai balasan yang setimpal bagi keingkaran dan sifat angkara murka mereka. Umpamanya
kaum 'ad dan samud yang telah dibinasakan oleh Allah. Sampai sekarang masih ada bekas-bekas
peninggalan mereka di Jazirah (semenanjung) Arab. Begitu juga Fir'aun dan kaumnya yang telah
dibinasakan Allah di Laut Merah. Mumi Fir'aun sampai sekarang masih tersimpan di museum di
Mesir.

Orang-orang yang sesat ialah mereka yang tidak betul kepercayaannya, atau tidak betul pekerjaan
dan amal ibadahnya serta rusak budi pekertinya. Bila akidah seseorang tidak betul, atau pekerjaan
dan amal ibadahnya salah, dan akhlaknya telah rusak, akan celakalah dia, dan kalau suatu bangsa
berada pada situasi seperti itu akan jatuhlah bangsa itu.

Maka dengan ayat ini Allah mengajari hamba-Nya untuk memohon kepada-Nya agar terjauh dari
kemurkaan-Nya, dan terhindar dari kesesatan. Di dalamnya juga tersimpul perintah Allah agar
manusia mengambil pelajaran dari sejarah bangsa-bangsa yang terdahulu. Alangkah banyaknya
dalam sejarah kejadian-kejadian yang dapat dijadikan iktibar dan pelajaran. Di dalam Al-Qur'an
banyak ayat yang berkenaan dengan kisah umat dan bangsa-bangsa yang dahulu. Memang tak ada
sesuatu yang lebih besar pengaruhnya kepada jiwa manusia daripada contoh-contoh orang dan
perbandingan-perbandingan yang terdapat dalam kisah-kisah dan sejarah.

Anda mungkin juga menyukai