SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
i
ii
i
ii
ABSTRAK
Kata kunci : Biokonversi, darah sapi, larva lalat black soldier fly (Hermetia
illucens), sampah organik
iii
ABSTRACT
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pengaruh Pemberian Darah Sapi Pada Biokonversi Sampah
Organik Restoran Terhadap Reproduksi Larva Lalat Black Soldier Fly
(Hermetia illucens L)”. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah
SAW sebagai teladan yang baik pemimpin umat yang telah membawa umat
manusia dai zaman jahiliyah menuju zaman yang berilmu.
Skripsi merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Sains di Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penyelesaian skripsi ini penulis
banyak mendapatkan bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penulisan skripsi ini, antara lain kepada :
1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env. Stud. selaku Dekan Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Priyanti, M.Si. selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Narti Fitriana, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas
Sains dan Teknologi Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si. selaku pembimbing I yang telah memberikan
arahan, bimbingan serta saran kepada penulis dalam melakukan penelitian
dan penulisan.
5. Dr. Melta Rini Fahmi, S. Pi, M. Si. selaku pembimbing II atas kesediaan
dalam membimbing dan memberikan nasihat yang membangun kepada
penulis dalam melakukan penelitian dan penulisan.
6. Orang tua tercinta yaitu Sri Wuryanto dan Mimi Maisyaroh yang telah
mendoakan dan memberikan izin kepada penulis, serta bantuan moril
maupun materil dengan tulus dan ikhlas sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
iii
7. Balai Riset dan Budidaya Ikan Hias (BRBIH) Depok yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian, terutama
Bapak Marjono dan Bapak Ateng selaku Teknisi yang telah membantu
penulis baik moril maupun materiil selama penelitian, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Bapak Ade selaku pegawai Unit Pengelolaan Sampah Kota Depok yang
telah memberikan bantuan moril maupun materil selama penelitian.
9. Teman-teman Biologi angkatan 2014 khususnya kelas A yang turut
membantu dan mendukung dalam proses belajar sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan.
10. Almira yang telah memberikan bantuan dukungan dan semangat sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian
dan penyusunan skripsi hingga selesai.
Semoga pihak-pihak yang telah membantu penulis dibalas semua amal
baiknya oleh Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini
masih belum sempurna dan masih terdapat kekurangan, sehingga penulis berharap
saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Besar harapan
penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca guna meningkatkan
ilmu pengetahuan untuk kemajuan umat manusia. Amin.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ........................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ ix
v
3.4.4 Tingkat Kelulusan Hidup .....................................................................16
3.4.5 Analisis Proksimat................................................................................ 16
3.5 Analisis Data .............................................................................................. 17
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Panjang, lebar, dan bobot tubuh larva BSF pada hari ke 18 ................... 18
Tabel 2. Pengukuran suhu dan pH media pertumbuhan larva BSF ..................... 22
Tabel 3. Pengamatan prepupa dan pupa ............................................................... 23
Tabel 4. Bobot pupa total ...................................................................................... 25
Tabel 5. Bobot telur .............................................................................................. 27
Tabel 6. Kandungan protein dan lemak larva BSF pada jenis pakan berbeda ...... 30
Tabel 7. Persyaratan mutu pakan ikan sesuai standar nasional Indonesia (SNI) . 31
Tabel 8. Perbandingan nilai parameter pada tiap perlakuan ................................. 33
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian ................................................................. 4
Gambar 2. Siklus hidup black soldier fly ................................................................ 8
Gambar 3. Media peletakkan telur imago black soldier fly .................................. 15
Gambar 4. Bobot tubuh larva selama masa pemeliharaan .................................... 20
Gambar 5. Telur BSF yang diletakkan pada media kayu...................................... 26
Gambar 6. Kandungan nutrisi larva BSF .............................................................. 29
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada panjang tubuh larva BSF ....... 44
Lampiran 2. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada lebar tubuh larva BSF ............ 45
Lampiran 3. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada bobot tubuh larva lalat BSF ... 46
Lampiran 4. Morfologi larva lalat BSF ................................................................. 47
Lampiran 5. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada pupa BSF ............................... 48
Lampiran 6. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada konsumsi substrat................... 49
Lampiran 7. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada indeks pengurangan limbah ... 50
Lampiran 8. Hasil uji ANOVA dan Duncan efisiensi konversi pakan tercerna ... 51
Lampiran 9. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada tingkat kelulusan hidup .......... 52
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sampah merupakan masalah yang akan selalu dihadapi oleh manusia.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kegiatan ekonomi, perluasan
daerah pemukiman, dan perubahan pola konsumsi masyarakat mengakibatkan
peningkatan jumlah timbunan sampah, jenis, dan karakteristik sampah yang
semakin beragam. Pengelolaan sampah merupakan hal penting yang harus
dihadapi karena sampah dapat menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan,
ekonomi, dan sosial. Jumlah timbunan sampah di Indonesia telah mencapai 65
juta ton per tahun dengan pengelolaan 64% diangkut dan ditimbun di Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) sampah, 10% dikubur, 7% dikompos dan didaur ulang,
5% dibakar, dan 7% tidak terkelola (KLHK, 2018). Berdasarkan data tersebut,
pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh dinas terkait hanya berfokus pada
pengumpulan dan pengangkutan ke TPA tanpa melalui proses pengolahan
tertentu.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) (2018)
komposisi sampah di Pulau Jawa periode 2017-2018 terdiri dari 46,75% sisa
makanan, 13,01% kayu ranting daun, 9,36% kertas, 14,43% plastik, 2,14% logam,
2,84% kain tekstil, 1,49% karet kulit, 1,59% kaca, dan 6,14% lainnya. Data
tersebut menunjukkan bahwa jenis sampah organik berupa sisa makanan memiliki
ketersedian paling melimpah karena proses dekomposisi alami yang
membutuhkan waktu cukup lama dan sebagian besar belum dimanfaatkan secara
optimal. Hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan serius yaitu menimbulkan
bau busuk, menjadi sumber penyebab penyakit, menghasilkan gas metan
penyebab pemanasan global dan menghasilkan limbah cairan lindi yang dapat
mencemari air tanah. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an :
1
2
Menurut Fahmi (2015), kunci sukses pemanfaatan larva black soldier fly
dalam proses biokonversi adalah produksi telur black soldier fly dalam jumlah
masal. Kualitas nutrisi pakan larva black soldier fly berpengaruh terhadap massa
dan ukuran tubuh untuk memaksimalkan produksi telur secara masal dalam
budidaya (Gobbi, Martínez-Sánchez dan Rojo, 2013). Larva BSF memiliki
potensi untuk dijadikan pakan ikan. Penelitian mengenai potensi larva BSF
sebagai pakan ikan telah dilakukan, diantaranya pada ikan Botia (Ananta, 2007),
ikan Balashark (Fahmi, Hem dan Subamia, 2009), dan ikan gurame (Fahmi,
2015). Oleh karena itu perlu dilakukan pengkayaan (enrichment) pada pakan larva
untuk meningkatkan kualitas nutrisi pakan, yakni dengan penambahan darah sapi.
Darah sapi merupakan limbah hasil ikutan ternak yang dimanfaatkan
sebagai bahan pakan penyusun ransum ternak unggas (Ramadhan, Marlida dan
Wizna, 2015). Penelitian Monita (2017) membandingkan telur black soldier fly
yang dihasilkan dari kombinasi pakan sampah organik, sampah organik
ditambahkan silase ikan, dan sampah organik yang ditambahkan darah sapi. Hasil
penelitian tersebut mendapatkan penambahan darah sapi dapat meningkatkan
produksi telur black soldier fly, namun belum mendapatkan dosis yang tepat
dalam penambahan darah sapi. Penelitian ini penting dilakukan untuk
mempercepat proses dekomposisi dan meningkatkan produksi telur black soldier
fly guna mengoptimalkan pengolahan sampah organik.
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana pengaruh penambahan limbah darah sapi pada sampah organik
terhadap produksi telur black soldier fly?
2) Bagaimana konsumsi substrat, indeks pengurangan limbah, dan efisiensi
pakan tercerna pada biokonversi sampah organik menggunakan larva lalat
black soldier fly?
1.3 Tujuan
1) Menganalisis pengaruh penambahan limbah darah sapi pada sampah
organik terhadap produksi telur black soldier fly.
4
5
6
tanpa proses pengolahan dapat menimbulkan bau dan sumber penyakit (Arif,
2016).
Persentase darah di dalam tubuh sapi adalah sekitar 3,5-7% dari total berat
tubuh (Ernawati, 2015). Hasil analisa biokimiawi darah sapi yang dilakukan oleh
Prihatno, Kusumawati, dan Wayan (2013), mendapatkan kandungan nutrisi darah
sapi yaitu total protein 6,82 g/dl, total kolesterol 166,08 mg/dl, glukosa 68,40
mg/dl, dan kalsium 9,90 mg/dl. Darah sapi dapat dimanfaatkan sebagai pakan
dalam bentuk tepung yang memiliki kandungan protein sebesar 80-85%
(Ramadhan, Marlida and Wizna, 2015). Menurut Wibowo (2010) darah sapi dapat
digunakan sebagai pupuk cair untuk meningkatkan pertumbuhan cabai rawit.
Pemanfaatan limbah darah darah sapi telah banyak dilaporkan, diantaranya yaitu
bahan tambahan pakan ikan (Jamila, 2012), sumber nutrien pada budidaya
Daphnia sp (Purnamasari, Berta dan Siti, 2015), dan pupuk organik cair (Arif,
2016),
2.3 Biologi Lalat Black Soldier Fly (Hermetia illucens L.)
2.3.1 Morfologi
Hermetia illucens atau dikenal sebagai Black Soldier Fly (BSF)
merupakan lalat yang termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda,
kelas Insekta, ordo Diptera, famili Stratiomyidae, genus Hermetia dan spesies H.
illucens (Popa & Green, 2012). Black Soldier Fly memiliki tubuh berwarna hitam
dan bagian segmen basal abdomennya berwarna transparan sehingga sekilas
menyerupai abdomen lebah. Panjang lalat berkisar antara 15-20 mm dan memiliki
waktu hidup berkisar lima sampai delapan hari (Wardhana, 2016). Bentuk tubuh
jantan dan betina mirip namun ukuran tubuh betina lebih besar dan bagian perut
pada segmen kedua lebih kecil daripada individu jantan. Bagian kaki atas
berwarna hitam dengan tanda putih pada kaki belakang dan kaki bagian bawah.
Secara lateral antena tersusun atas 3 segmen dengan panjang 2 kali lipat panjang
kepala. (Popa & Green, 2012).
Saat lalat dewasa berkembang dari pupa, kondisi sayap masih terlipat
kemudian mulai mengembang sempurna hingga menutupi bagian torak. Lalat
dewasa tidak memiliki bagian mulut yang fungsional, karena lalat dewasa hanya
7
atas media pertumbuhan sebagai tempat telur (Wardhana, 2016). Kunci sukses
pemanfaatan larva Black Soldier Fly dalam proses biokonversi adalah produksi
telur Black Soldier Fly dalam jumlah masal (Fahmi, 2015). Lalat betina
dilaporkan hanya bertelur satu kali selama masa hidupnya, setelah itu akan mati
(Tomberlin, Sheppard dan Joyce, 2002). Telur akan menetas menjadi larva dalam
waktu 2-4 hari (Popa & Green, 2012).
Telur akan menetas menjadi larva instar satu dan berkembang hingga larva
instar enam dalam waktu 22-24 hari dengan rata-rata 18 hari (Barros, Bao dan
Luz, 2014). Larva yang baru menetas dari telur berukuran sekitar 2 mm dan
bersifat photophobic, yaitu perilaku larva yang bersifat menjauhi cahaya. Perilaku
tersebut dilakukan untuk mengontrol pergerakan larva dalam kondisi gelap untuk
mendapatkan makanan. Larva memakan bahan-bahan organik yang tersedia di
lingkungan (Popa & Green, 2012). Larva Black Soldier Fly merupakan larva yang
termasuk ke dalam jenis larva vermiform, yaitu larva dengan bentuk tubuh
menyerupai cacing, memanjang (elongate), tidak memiliki kaki (apoda) sehingga
bergerak menggunakan gerakan peristaltik hidroskeleton tubuhnya (Borror,
Triplehorn dan Johnson, 1992). Larva BSF merupakan serangga yang memiliki
kemampuan adaptasi yang tinggi, yang mampu memperpanjang siklus hidupnya
dalam kondisi yang kurang menguntungkan sekalipun (Dortmans, Diener dan
Verstappen, 2017).
Fase larva merupakan fase paling lama dalam siklus hidup Black Soldier
Fly, sehingga dikelompokkan sebagai agen biokonversi karena sebagian besar
fase hidupnya berperan sebagai dekomposer (Fahmi, 2015). Black Soldier Fly
hanya makan pada saat masih di fase larva, sehingga pada tahap perkembangan
larva menyimpan cadangan lemak dan protein untuk fase pupa hingga menjadi
lalat (Dortmans, Diener dan Verstappen, 2017). Laju pertumbuhan larva sangat
pesat hingga hari ke-8, bobot tubuh larva juga terus bertambah sampai ketika
hendak memasuki tahapan prepupa (Monita, 2017). Perkembangan larva dapat
diamati dengan melihat perubahan warna kulit dari putih menjadi coklat
kehitaman (Popa & Green, 2012). Tahapan larva yang masih memiliki warna
kulit putih berlangsung kurang lebih 12 hari. Menurut Rachmawati, Buchori dan
10
Hidayat (2010) larva mulai berubah warna menjadi coklat dan semakin gelap
seminggu kemudian. Fase larva berlangsung selama 18-21 hari (Fahmi, 2015).
Fase larva terakhir yaitu fase prepupa. Larva pada fase ini tidak melakukan
aktifitas makan lagi dan bermigrasi dari sumber makanan mencari tempat kering
dan terlindungi untuk memasuki tahap pupa (Dortmans, Diener dan Verstappen,
2017). Secara alami, prepupa akan meninggalkan media pakannya ke tempat yang
kering, misalnya ke tanah kemudian membuat terowongan untuk menghindari
predator dan cekaman lingkungan (Wardhana, 2016). Struktur mulut pada fase
prepupa berubah menjadi struktur yang bentuknya seperti kait dan warnanya
menjadi cokelat tua hinga abu-abu. Mulut berbentuk kait ini memudahkannya
untuk keluar dan berpindah dari sumber makanannya ke lingkungan baru yang
kering (Dortmans, Diener dan Verstappen, 2017). Prepupa membutuhkan
lingkungan yang kering, lembap dan gelap (Alvarez, 2012).
Dortmans, Diener dan Verstappen (2017), menyatakan bahwa fase pupa
dimulai saat prepupa menemukan tempat yang cocok untuk berhenti beraktivitas
dan menjadi kaku. Agar proses pupasi berhasil, sebaiknya tempat memiliki
kondisi lingkungan yang tidak banyak mengalami perubahan, atau dapat
dikatakan tempat yang selalu hangat, kering, dan teduh. Berakhirnya fase pupa
ditandai dengan keluarnya lalat dari dalam pupa. Holmes, Vanlaerhoven dan
Tomberlin (2013), membandingkan lima substrat dalam fase pupa, yaitu serbuk
gergaji, tanah, humus, pasir dan tidak menggunakan substrat. Fase pupa yang
dipelihara pada substrat pasir dan humus lebih lama dibandingkan pada substrat
tanah dan serbuk gergaji. Fase pupa tanpa substrat berjalan paling cepat karena
untuk mengurangi risiko dari predator atau ancaman lingkungan. Kondisi ini
menyebabkan daya tetas pupa menjadi imago (lalat dewasa) lebih rendah
dibandingkan dengan yang lain. Hal ini diduga karena energi yang tersimpan
selama menjadi larva banyak digunakan untuk mempertahankan diri dari kondisi
lingkungan yang tidak sesuai (Wardhana, 2016). Bobot pupa betina rata-rata 13%
lebih berat dibandingkan dengan bobot pupa jantan (Tomberlin, Adler dan Myers,
2009). Fase pupa berlangsung selama 6-7 hari dan setelah itu serangga akan
bermetamorfosis menjadi serangga dewasa (Fahmi, 2015).
11
13
14
Tabel 1. Panjang, lebar, dan bobot tubuh larva BSF pada hari ke 18
Parameter
Perlakuan
Panjang (mm) Lebar (mm) Bobot (g)
A 17,21 ± 1,19 a 4,68 ± 0,30 a 7,38 ± 0,75a
B 16,88 ± 1,18 a 4,67 ± 0,24 a 7,08 ± 0,76a
C 18,21 ± 1,08 b 4,93 ± 0,24 b 9,19 ± 0,47b
Keterangan : Perlakuan A = 5 Kg sampah organik tanpa penambahan, Perlakuan B = 5 Kg organik
ditambah 5 % darah sapi, Perlakuan C = 5 Kg sampah organik ditambah 10 % darah
sapi. Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (p<0,05).
18
19
pada penelitian ini yang telah dicacah serta takaran antara jumlah makanan yang
diberikan dengan kepadatan larva di dalam wadah perlakuan yang berbeda dari
penelitian sebelumnya. Sampah yang telah dicacah dapat memudahkan larva BSF
untuk mencerna sampah tersebut. Takaran antara jumlah makanan dengan
kepadatan larva yang tepat akan mengoptimalkan pertumbuhan larva BSF.
12,00
10,00
Bobot Larva
8,00
Perlakuan A
6,00
Perlakuan B
4,00
Perlakuan C
2,00
0,00
2 4 6 8 10 12 14 16 18
Hari Ke
aktif makan dan mengkonversi sampah organik menjadi cadangan lemak dan
energi untuk mendukung siklus hidupnya hingga fase imago (Monita, 2017).
Penurunan bobot larva pada tiap perlakuan terjadi pada hari ke-16, hingga hari ke-
18 selama masa pemeliharaan larva. Hal ini dikarenakan larva telah berada pada
fase prepupa, sehingga tidak melakukan aktivitas makan (Tabel 4). Perbedaan
perlakuan akan mempengaruhi pertumbuhan larva BSF. Komposisi nutrisi pada
pakan akan mempengaruhi pertumbuhan larva Hermetia illucens (Tomberlin,
Sheppard dan Joyce, 2002).
Hasil penelitian Wicaksono, Petrus dan Yuliansah (2017), menggunakan
media palm kernel meal dan kompos tandan kosong kelapa sawit menunjukkan
bahwa, penurunan bobot larva terjadi pada hari ke-12 hingga hari ke-18. Hasil
penelitian Rachmawati, Buchori dan Hidayat (2010), menggunakan media bungkil
kelapa sawit menunjukkan bahwa, penurunan bobot larva terjadi pada hari ke-19.
Penurunan bobot larva disebabkan oleh larva yang telah memasuki fase prepupa.
Larva pada fase prepupa akan berhenti mengkonsumsi pakan untuk
mengosongkan ususnya (self-cleansing) dan larva akan bergerak mencari tempat
yang kering untuk menjadi pupa (Hall & Gerhardt, 2002). Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa larva BSF dapat dipanen pada hari ke-14
untuk digunakan sebagai pakan ikan.
Pengukuran suhu dan pH media dilakukan saat larva dipindahkan ke
wadah perlakuan. Suhu dan pH media berperan penting dalam proses biokonversi
sampah organik oleh larva BSF dalam mempercepat proses biokonversi dan
mendukung pertumbuhan larva. Berdasarkan hasil pengukuran pada penelitian ini
didapatkan suhu media pada ketiga perlakuan berkisar 31,7-32,3 oC dan pH media
berkisar 5,9-6,4 (Tabel 2). Hasil pengukuran suhu media pada penelitian ini
menunjukkan bahwa suhu tergolong tinggi, namun suhu dan pH masih berada
pada batas yang bisa ditolerir oleh larva BSF.
Aktivitas larva selama fase makan sangat aktif dan lahap sehingga suhu
tubuh larva mempengaruhi perubahan suhu media. Larva mengeluarkan energi
untuk mengkonsumsi sampah restoran pada penelitian ini yang sangat beragam
(heterogen) terdiri dari berbagai jenis produk makanan, yaitu produk hewani,
22
nabati, nasi, dan roti. Kondisi ini menyebabkan suhu media cukup tinggi (Monita,
2017). Suhu merupakan parameter utama untuk perkembangan dan tingkat
kelangsungan hidup larva BSF (Tomberlin, Adler dan Myers, 2009). Menurut
Caruso, Devic dan Subamia (2014), suhu optimal media pertumbuhan larva yaitu
berkisar 20-30o C. Menurut Alattar (2012) larva BSF mampu mentolerir dalam
kondisi lingkungan dengan etanol, asetat, suhu dan pH ekstrim. Larva BSF toleran
terhadap tingkat pH 0,7-13,7 dan mampu mengubah pH awal dari 2,7 sampai 12,7
menjadi antara 7,8 dan 8,9.
Prepupa Pupa
Perlakuan Umur (Hari)
16 18 19 20
Mulai muncul
warna Tidak
kekuningan, melakukan
A - Muncul pupa
kuning aktivitas
kecoklatan, dan makan
coklat
Mulai muncul
warna Tidak
kekuningan, melakukan
B Muncul pupa -
kuning aktivitas
kecoklatan, dan makan
coklat
Mulai muncul
warna Tidak
kekuningan, melakukan
C - Muncul pupa
kuning aktivitas
kecoklatan, dan makan
coklat
Keterangan : Perlakuan A = 5 Kg sampah organik tanpa penambahan, Perlakuan B = 5 Kg organik
ditambah 5 % darah sapi, Perlakuan C = 5 Kg sampah organik ditambah 10 % darah
sapi.
Larva BSF memasuki fase prepupa pada penelitian ini antar perlakuan
tidak ada perbedaan, yaitu semua perlakuan pada hari ke-16 telah memasuki tahap
prepupa (Tabel 3). Hal tersebut dicirikan dengan terjadinya perubahan warna pada
24
larva, dari warna putih kekuningan menjadi kuning kecoklatan hingga coklat. Fase
prepupa diakhiri dengan larva sudah tidak melakukan aktivitas makan, yaitu pada
penelitian ini terjadi pada hari ke-18. Fase prepupa pada tiap perlakuan
berlangsung selama 3 hari. Fase prepupa juga merupakan tahap berada pada
ukuran maksimum dengan penyimpanan lemak yang banyak sebagai cadangan
makanan sampai menjadi serangga dewasa (Larry Newton, Craig Sheppard, Wes
D, Watson, Gary Burtle, 2005). Fase prepupa selanjutnya bermetamorfosis
menjadi fase pupa, dicirikan dengan adanya perubahan warna tubuh yaitu coklat
gelap sampai hitam legam, pergerakan tubuh prepupa menjadi melambat
berangsur-angsur tidak bergerak (pasif) dengan tekstur kulit pupa lebih keras,
berkerut serta bobot tubuh lebih ringan (Monita, 2017).
Munculnya pupa pada perlakuan B lebih cepat dibanding dengan
perlakuan A dan C. Produksi pupa pada perlakuan B (266,28 g) dan perlakuan C
(167,15 g) juga lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (118,33 g) (Tabel
4). Hasil statistik menunjukkan bahwa bobot pupa pada perlakuan B berbeda
nyata dengan perlakuan A dan perlakuan C (Lampiran 5). Hal ini menunjukan
bahwa penambahan darah sapi sebesar 5% pada sampah organik restoran
memberikan pengaruh yang signifikan dibandingkan dengan tanpa penambahan
pakan tambahan. Hal ini dapat disebabkan larva selama fase makan pada kedua
perlakuan tersebut mampu mengakumulasi makanannya secara optimal untuk
digunakan sebagai cadangan makanan, selain itu kandungan nutrisi pada sampah
organik restoran yang ditambahkan dengan darah sapi juga diduga lebih tinggi
dibandingkan dengan tanpa perlakuan penambhan darah sapi.
Beberapa hasil penelitian tentang waktu perkembangan serangga BSF
pada media yang berbeda telah dikaji. Pada media pakan ayam, waktu
perkembangan BSF dari telur sampai prepupa 16-33 hari, pada media limbah
feses 27 hari, dan pada media kombinasi limbah feses dengan sampah pasar 18
hari serta pada media hanya sampah pasar 18 hari (Diener et al., 2011a). Pada
media PKM, telur serangga BSF menetas setelah 3-6 hari, tahap larva 3-4 minggu,
pupa mencapai tahap dewasa sekitar 1 minggu dan masa hidup dewasa 1-2
minggu (Fahmi 2015).
25
Pada media sampah organik ditambah dengan darah sapi dan silase ikan,
waktu memasuki fase pupa pada hari ke-16 dengan presentase munculnya pupa
berkisar antara 85-95% (Monita, 2017). Perkembangan dan siklus hidup BSF
bervariasi antara populasi (liar atau budidaya) dan lingkungan (suhu, kelembaban,
intensitas cahaya) serta kualitas dan kuantitas makanan. Kualitas dan kuantitas
makanan berpengaruh penting terhadap mortalitas, perkembangan ovarium BSF
dan perkembangan baik fisiologis maupun morfologi dari BSF dewasa.
4.1.3 Fase Imago
Berdasarkan hasil pengamatan pupa akan menetas menjadi imago setelah
5 hari. Pupa yang telah menetas menjadi imago langsung terbang dan aktif. Imago
yang telah memadati kandang tiap perlakuan, terlihat aktivitas imago sangat aktif
pada pagi hari hingga siang hari. Hal ini dicirikan dengan imago yang aktif
terbang dan melakukan proses kawin. Saat sore hari aktivitas imago mulai
menurun. Aktivitas imago pada penelitian ini terlihat mulai pukul 09:00 WIB
dengan suhu berkisar 28-32 oC. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Monita
(2017) yang mengungkapkan bahwa aktivitas imago terlihat mulai pukul 08:00
WIB dan sangat aktif mulai pukul 09:00 WIB sampai pukul 14:00 WIB dengan
suhu kandang berkisar 30-40 oC dan kelembaban udara berkisar 27-60%.
Menurut Monita (2017), imago BSF sangat membutuhkan kondisi di
bawah sinar matahari penuh, karena pada kondisi tersebut aktivitas imago sangat
baik dan aktif untuk mendukung proses kawin dan bertelur. Serangga BSF toleran
terhadap berbagai suhu dan kelembaban udara. Serangga dewasa biasanya kawin
dan bertelur pada suhu 24-40 oC (Sheppard, Tomberlin dan Joyce, 2002). Hasil
penelitian (Diener et al., 2011) berhasil membentuk koloni BSF yang stabil
26
dengan suhu 31,8 oC merupakan kondisi optimal untuk reproduksi dan imago BSF
toleran terhadap berbagai suhu dengan kisaran 15-47 oC.
Aktivitas kawin dan bertelur dipengaruhi oleh lingkungan dan waktu,
khususnya intensitas cahaya matahari dan ketersediaan ruang yang cukup sangat
penting selama aktivitas kawin (Tomberlin & Sheppard, 2002). Menurut
Sheppard, Tomberlin dan Joyce (2002), suhu optimal lingkungan untuk aktivitas
kawin imago BSF yaitu berkisar 27,5–37,5⁰ C. Waktu, suhu dan kelembaban
udara secara signifikan berkorelasi dengan perilaku bertelur, sedangkan intensitas
cahaya berkorelasi dengan jumlah BSF dewasa kawin dengan pasangan serangga
BSF kawin 75% ketika pagi hari (Tomberlin & Sheppard, 2002). Keberhasilan
proses kawin bergantung pada intensitas cahaya, panjang paparan cahaya dan
panjang gelombang serta kepadatan (densitas) serangga dewasa dalam ruang
aktivitas kawin (Alvarez, 2012).
Gambar 5. Telur black soldier fly yang diletakkan pada media kayu
Berdasarkan hasil pengamatan, imago BSF mulai bertelur pada hari ke-5
setelah pupa menetas. Imago yang telah kawin akan meletakkan telurnya di celah
kecil pada antara media lembaran kayu yang telah disediakan. Telur BSF yang
diletakkan pada media akan membentuk koloni dan berwarna putih kekuningan
(Gambar 5). Fase imago berlangsung selama 15 hari. Telur dipanen secara berkala
setiap dua hari sekali hingga hari ke-15, ditandai dengan kondisi semua imago
tiap perlakuan di dalam kandang sudah mati. Bobot telur yang dipanen selama
periode pengamatan pada ketiga perlakuan disajikan dalam Tabel 5.
Berdasarkan hasil panen telur imago BSF yang disajikan dalam Tabel 5
didapatkan hasil pada perlakuan B (3,34 g) dan perlakuan C (3,43 g) memiliki
bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (2,34). Hal ini
27
dengan limbah ikan sebesar 9,94 g. Penelitian Rachmawati, Buchori dan Hidayat
(2010), mengemukakan bahwa rata-rata 464.000 BSF muncul di insektarium
dengan rasio jenis kelamin seimbang (1:1) menghasilkan jumlah telur setiap
minggu 4,2 kg (jumlah rata-rata 637 butir per betina).
Jumlah telur yang dihasilkan oleh imago BSF dari ketiga perlakuan selama
periode pengamatan dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan
penelitian Ardianti (2011) dan Istirokhah (2012). Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu ukuran kandang yang cukup kecil, tidak terdapatnya
sumber air di dalam kandang, dan setiap panen telur terdapat telur yang diletakkan
oleh imago BSF di media PKM, sehingga lengket pada media tersebut dan tidak
dapat dipanen. Jumlah imago yang sangat padat dengan ukuran kandang yang
cukup kecil, menyebabkan imago tidak memiliki ruang pergerakan yang leluasa
untuk melakukan aktivitas kawin dan juga dapat menyebabkan stress bagi imago,
faktor tersebut kemungkinan dapat memengaruhi jumlah imago yang kawin dan
bertelur (Monita, 2017).
Sumber air juga merupakan faktor yang penting bagi imago BSF dalam
melakukan aktivitas kawin dan bertelur. Hal ini dikemukakan oleh Tomberlin,
Sheppard dan Joyce, (2002), yang menyatakan bahwa koloni imago BSF tanpa
pemberian air menyebabkan imago mengalami dehidrasi dan kurang kuat,
sehingga tidak dapat bereproduksi secara efektif untuk bertelur. Imago BSF
bereproduksi tanpa makan dan mengandalkan cadangan lemak yang diperoleh
selama fase larva untuk kelangsungan hidup imago untuk kawin dan bertelur
(Monita, 2017). Ukuran kandang dan jumlah imago juga berpengaruh terhadap
aktivitas kawin dan bertelur pada imago BSF. Penelitian Tomberlin, Sheppard dan
Joyce, (2002) mengungkapkan bahwa ukuran kandang imago BSF (2 x 2 x 3 m3)
berisi 500 imago menghasilkan 72% pasangan imago BSF kawin dengan jumlah
telur per individu berkisar 206-639 butir dengan berat per individu telur berkisar
0,02-0,03 mg. Sheppard, Tomberlin dan Joyce (2002), mengungkapkan bahwa
kondisi yang mendukung aktivitas kawin imago BSF yang dapat diandalkan yaitu
dengan ukuran kandang (2 x 2 x 4 m3), memiliki ketersediaan intensitas cahaya
matahari, dan ruang udara yang cukup.
29
40 35,85
31,74 34,79 33,94
Kandungan Nutrisi (%)
35
31,17 30,95
30
25
Perlakuan A
20 17,55
15,39 Perlakuan B
15
11,75
10 4,78 Perlakuan C
4,35 3,89
5
0
Kadar Abu Kadar Kadar Kadar Serat
Lemak Protein Kasar
Jenis Nutrien
Tabel 6. Kandungan protein dan lemak larva BSF pada jenis pakan berbeda
Sampah organik
33,94-35,85 30,95-31,74 restoran + darah sapi Hasil penelitian ini
5% dan 10%
Kadar abu yang rendah pada penelitian ini dapat disebabkan oleh
tingginya kadar air pada pakan. Menurut Mangunwardoyo (2011) menyatakan
bahwa kadar air yang tinggi pada substrat dapat menyebabkan rendahnya kadar
abu. Rachmawati, Buchori dan Hidayat (2010), menjelaskan bahwa abu
31
Tabel 7. Persyaratan mutu pakan ikan sesuai standar nasional Indonesia (SNI)
Jenis Ikan Protein min (%) Lemak, min (%)
Mas 30 5
Bawal 30 6
Nila 30 5
Patin 30 5
Lele 30 5
Gurame 32 6
32
dalam produksi minyak (black soldier oil) (Li, Zeng dan Qiu, 2017).
Penggunaanya diduga mampu menggantikan penggunaan minyak kedelai (Peng et
al., 2008; Deng et al., 2014; Emre et al., 2016; Li et al., 2017), minyak biji bunga
matahari (Bransden, 30 Carter & Nichols, 2003) atau minyak kelapa dalam
pembuatan pakan ikan (Luo et al., 2014; Li et al., 2017).
4.3 Konsumsi Substrat (Substrate Consumption)
Konsumsi substrat merupakan jumlah substrat yang dikonsumsi oleh larva
yang dinyatakan dalam persen selama masa pemeliharaan larva. Berdasarkan hasil
perhitungan yang disajikan pada Tabel 8 didapatkan konsumsi substrat pada
perlakuan A sebesar 83,33%, perlakuan B sebesar 80%, dan perlakuan C sebesar
73,33%. Nilai konsumsi substrat dengan perlakuan ditambahkan darah sapi yaitu
perlakuan B dan perlakuan C memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan
dengan tanpa penambahan darah sapi yaitu perlakuan A. Hasil statistik
menunjukkan bahwa konsumsi substrat pada perlakuan C berbeda nyata
dibandingkan dengan perlakuan A dan perlakuan B (Lampiran 6). Hal ini diduga
kadar air pada perlakuan C lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A dan
perlakuan B, karena akibat dari pemanambahan darah sapi sebesar 10%.
berkembang dengan baik dan bahkan tidak dapat tumbuh pada media dengan
kadar air >70%. Media pakan larva BSF dengan kadar air tinggi akan
menyebabkan kondisi anaerobik yang akan menghasilkan ammonia (NH3) dan
metana (CH4), sehingga dapat menghambat proses konsumsi substrat oleh larva
dan memengaruhi pertumbuhannya (Saragi & Bagastyo, 2015).
Penelitian mengenai konsumsi substrat larva BSF telah dilakukan
sebelumnya dengan media yang berbeda. Penelitian Diener, Zurbrügg dan
Tockner (2009), dengan media pakan ayam memperoleh nilai konsumsi substrat
sebesar 26,2-39,7%, penelitian Manurung et al. (2016) dengan media limbah
jerami padi dihasilkan nilai konsumsi substrat sebesar 9,58-31,53%, Supriyatna &
Putra (2017) dengan media limbah singkong memperoleh nilai konsumsi substrat
sebesar 9,29-36,82%, Hakim, Prasetya dan Petrus (2017) dengan media jeroan
dan kepala ikan tuna sebesar 52,33-77,09%, dan Wicaksono, Petrus dan Yuliansah
(2017) dengan media palm kernel meal dan kompos tandan kosong kelapa sawit
sebesar 9,46-48,08%.
Perbedaan nilai konsumsi substrat pada media yang berbeda diduga
disebabkan oleh kualitas media yang berbeda, sehingga berpengaruh terhadap
nutrisi yang diperoleh oleh larva BSF untuk berkembang. Pertumbuhan dan
perkembangan larva BSF dipengaruhi oleh kandungan nutrisi media. Media pakan
dengan kandungan protein dan lemak yang tinggi akan mempercepat kenaikan
bobot larva (Tomberlin, Sheppard dan Joyce, 2002).
4.4 Indeks Pengurangan Limbah (Waste Reduction Index / WRI)
Indeks pengurangan limbah (WRI) merupakan indeks pengurangan limbah
oleh larva BSF per hari. Menurut Hakim, Prasetya dan Petrus (2017), nilai WRI
digunakan untuk menghitung kemampuan larva BSF dalam mengkonsumsi media
pakan dengan mempertimbangkan waktu atau periode pemberian pakan. Nilai
WRI yang tinggi menunjukkan bahwa kemampuan larva dalam mereduksi pakan
juga tinggi. Berdasarkan Tabel 8, nilai WRI yang diperoleh pada penelitian ini
yaitu pada perlakuan A sebesar 4,67%, pada perlakuan B sebesar 4,43%, dan pada
perlakuan C sebesar 4,10%. Hasil statistik menunjukkan bahwa indeks
pengurangan limbah pada perlkuan C berbeda nyata dibandingkan dengan
35
dengan diberi penambahan darah sapi sebesar 10%. Nilai ECD berbanding lurus
dengan bobot larva, semakin tinggi nilai ECD maka semakin tinggi pula
peningkatan bobot larva BSF. Hal ini dapat dilihat pada perlakuan C yang
memiliki nilai ECD paling tinggi juga diperoleh bobot yang tertinggi
dibandingkan dengan perlakuan A dan perlakuan B (Tabel 1).
Hakim, Prasetya dan Petrus (2017), dalam penelitiannya yang
menggunakan media pakan jeroan dan kepala ikan tuna mendapatkan nilai ECD
dan bobot larva pada media kepala ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan
media jeroan ikan tuna. Hal tersebut disebabkan kualitas jeroan ikan tuna lebih
rendah dibandingkan dengan kepala ikan tuna. Kualitas nutrisi media yang kurang
bagus akan memberikan nilai ECD yang lebih rendah, sehingga peningkatan
bobot larva juga rendah.
4.6 Tingkat Kelulusan Hidup (Survival Rate / SR)
Tingkat kelulusan hidup merupakan jumlah larva yang masih hidup hingga
akhir masa pemeliharaan larva. Berdasarkan Tabel 8, tingkat kelulusan hidup
yang diperoleh pada penelitian ini yaitu, pada perlakuan A sebesar 98,71%,
perlakuan B sebesar 98,73% dan perlakuan C sebesar 98,64%. Nilai tingkat
kelulusan hidup atau survival rate (SR) terendah pada perlakuan C yaitu sebesar
98,53 % larva hidup (Lampiran 7). Hal ini diduga disebabkan oleh kandungan air
yang tinggi pada media sampah organik yang ditambahkan darah sapi sebesar
10%.
Berdasarkan hasil statistik pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa, tidak
ada pengaruh yang signifikan dari penambahan darah sapi sebesar 5% dan 10%
pada sampah organik restoran terhadap tingkat kelulusan hidup larva BSF. Kadar
air pada media berpengaruh terhadap nilai SR pada larva BSF. Hal ini
dikemukakan oleh Fatchurochim et al. (1989) yang melakukan penelitian terhadap
pengaruh kadar air dalam pakan (kotoran ternak) BSF. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa larva BSF masih mampu hidup pada pakan yang
mengandung kadar air sebesar 20-90% dengan nilai SR rendah, sedangkan SR
larva tertinggi tercapai pada pakan dengan kadar air 40-60%. Hasil penelitian
Hakim, Prasetya dan Petrus (2017), mendapatkan bahwa nilai tingkat kelulusan
37
hidup larva BSF pada media limbah kepala ikan tuna lebih tinggi dibandingkan
dengan pada media limbah jeroan ikan tuna. Hal ini dikarenakan kandungan
protein yang lebih tinggi dan kadar air yang sesuai, sehingga menyebabkan larva
BSF pada media limbah kepala ikan tuna memiliki nilai tingkat kelulusan hidup
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada media limbah jeroan ikan tuna.
38
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1) Perlakuan penambahan darah sapi sebesar 10% pada sampah organik
dapat meningkatkan produksi telur black soldier fly, guna memaksimalkan
biokonversi sampah organik menggunakan larva lalat black soldier fly
untuk menghasilkan produk bahan pakan ikan yang potensial dan bernilai
tinggi.
2) Penambahan darah sapi pada sampah organik untuk proses biokonversi
menggunakan larva lalat black soldier fly dapat meningkatkan nilai
efisiensi pakan tercerna namun belum dapat meningkatkan nilai konsumsi
substrat dan indeks pengurangan limbah pada proses biokonversi tersebut.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengkaji lebih dalam mengenai
analisis proksimat pada pakan, dosis dan jenis pakan tambahan lainnya untuk
menghasilkan produksi telur dan larva BSF paling baik dalam skala produksi
masal, serta takaran yang optimal antara jumlah larva yang digunakan dengan
jumlah sampah organik. Perlu dikaji jenis pakan tambahan lainnya untuk
mengoptimalkan proses biokonversi menggunakan larva BSF. Perlu diperhatikan
wadah pemeliharaan larva agar dapat mengurangi kadar air pada pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Alvarez, L. (2012). The role of black soldier fly, Hermetia illucens (L.)
(Diptera: Stratiomyidae) in sustainable waste management in northern
climates. University of Windstor. Ontario, Canada.
Arif, Z. (2016). Uji kualitas pupuk organik cair yang dibuat dari limbah rumah
potong hewan. [Skripsi]. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Caruso, D., Devic, E., Subamia, I. W., Talamond, P., & Baras, E. (2014).
Technical handbook of domestication and production of diptera black
soldier fly (BSF) Hermetia illucens, Stratiomyidae. IRD-DIVA-ISEM. No
2014-038.
Dortmans, B., Diener, S., Verstappen, B., & Zurbrugg, C. (2017). Black soldier
fly biowaste processing a step-by-step guide. Eawag: Swiss Federal
Institute of Aquatic Science and Technology, Dübendorf, Switzerland.
39
40
Ernawati, H., Nur, C. C., Susi, K., & Gusti, I. I. (2015). Pemanfaatan limbah
darah sapi dan kiambang sebagai pupuk ramah lingkungan untuk
mendukung pertanian lahan gambut yang berkelanjutan. Udayana
Mengabdi 14 (1) : 13 – 17.
Fahmi, M. R., Hem, S., & Subamia, I. W. (2009). Potensi maggot untuk
peningkatan pertumbuhan dan status kesehatan ikan. J. Ris. Akuakultur 4
(2) :221-232.
Gobbi, P., Martínez-Sánchez A, & Rojo S. (2013). The effects of larval diet on
adult life-history traits of the black soldier fly, Hermetia illucens (Diptera:
Stratiomyidae). Eur J Entomol. 110:461-468.
Hall, D. C., & Gerhardt, R. R. (2002). Flies (Diptera). Medical and veterinary
entomology. 8:127-161. Academic Press. Sandiago. California.
Hakim, A. R., Agus, P., & Hilmawan, T. B. M. P. (2017). Studi laju umpan pada
proses biokonversi limbah pengolahan ikan tuna menggunakan larva
Hermetia illucens. JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 12 No. 2 Tahun
2017: 179-192.
Katayane, F.A., Bagau, B., Wolayan, F.R., Imbar, M.R. (2014). Produksi dan
kandungan protein maggot (Hermetia illucens) dengan menggunakan
media tumbuh berbeda. Jurnal Zootek. Vol 34, edisi khusus, hal 27-36.
Kim, W., Bae, S., Kim, A., Park, K., Lee, S., Choi, Y., Han, S., Park, Y., & Koh,
Y. (2011). Biochemical characterization of digestive enzymes in the black
soldier fly, Hermetia illucens (Diptera: Stratiomyidae). Journal of asia
pasific entomology. 14: 11-14.
Li, Q., Zheng, L., Qiu, N., Cai, H., Tomberlin, J, K., & Yu, Z. (2011).
Bioconversion of dairy manure by black soldier fly (diptera :
41
Makkar, H. P. S., Tran, G., Heuzé, V., & Ankers, P. (2014). State of the art on use
of insects as animal feed. Animal Feed Science and Technology, 197 (14),
1–33.
Newton L., Sheppard, C., Watson, D.W., Burtle, G., Dove, R. (2005). Using the
black soldier fly, Hermetia illucens, as a value-added tool for the
management of swine manure. Report for The Animal and Poultry waste
Management Center. North Carolina State University Raleigh.
Pangestu, W., Agus, P., & Rochim, B. C. (2017). Pengelolaan limbah kulit
pisang dan nangka muda menggunakan larva black soldier fly (Hermetia
illucens). Simposium Nasional RAPI XVI-2017. FT UMS.
Popa, R., & Green, T. (2012). Biology and ecology of the black soldier fly. Lake
Oswego, Oregon. USA.
Prihatno, Surya, A., Kusumawati, A., Karja, N. W. K., & Sumiarto, B. (2013).
Profil biokimia darah pada sapi perah yang mengalami kawin berulang.
Jurnal Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Purnamasari, T., Berta, P., & Siti, H. (2015). Penambahan darah sapi yang telah
difermentasi sebagai sumber nutrien dalam budidaya Daphnia sp.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas Lampung.
Purwendro, S., & Nurhidayat. (2006). Mengolah sampah untuk pupuk dan
pestisida organik. Penebar Swadaya. Depok.
Ramadhan, R. F., Marlida, Y., Mirzah, & Wisna. (2015). Metode pengolahan
darah sebagai pakan unggas. Jurnal Peternakan Indonesia. 17 (1) : 63-76.
Sheppard, D.C., J.K. Tomberlin., J.A. Joyce., B.C. Kiser., & S. M. Sumner.
(2002). Rearing methods for the black soldier fly (Diptera: Stratiomyidae).
J Med Entomol 39 (4), pp. 695-698.
Supriyatna, A., Manurung, R., Esyanthi, R.R., Putra, R.E. (2016), Growth of
black soldier larvae fed on cassava peel wastes, an agriculture waste.
Journal of Entomology and Zoology Studies, 2016; 4(6): 161-165.
Tomberlin, J.K., & D.C. Sheppard. (2002). Factors influencing mating and
oviposition of black soldier flies (Diptera: Stratiomyidae) in a colony. J
entomol sci 37 (4), pp. 345-352.
Tomberlin, J.K., D.C. Sheppard, & J. A. Joyce. (2002). Selected life history
traits of black soldier flies (Diptera: Stratiomyidae) reared on three
artificial diets Ann Entomol Soc Am 95 (3), pp. 379-386.
Tomberlin JK, Adler PH, Myers HM. 2009. Development of the black soldier fly
(Diptera: Stratiomyidae) in relation to temperature. Enviromental Entomol.
38:930-934.
Wibowo, R. (2010). Pengaruh pemberian serum darah sapi dan ayam terhadap
pertumbuhan tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.) pada tanah
ultisol. [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara. Medan.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada panjang tubuh larva BSF
ANOVA
Panjang
Panjang
Duncan
Perlakuan N 1 2
B 50 16.8832
A 50 17.2050
C 50 18.2099
Lampiran 2. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada lebar tubuh larva lalat BSF
ANOVA
Lebar
Lebar
Duncan
Perlakuan N 1 2
B 50 4.6695
A 50 4.6758
C 50 4.9272
Lampiran 3. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada bobot tubuh larva lalat BSF
ANOVA
Berat
Total 11.897 8
Berat
Duncan
Perlakuan N 1 2
B 3 7.0800
A 3 7.3800
C 3 9.1867
a b c
d e f
g h i
Keterangan : (a) larva perlakuan A hari ke 6, (b) larva perlakuan B hari ke 6, (c)
larva perlakuan C hari ke 6, (d) larva perlakuan A hari ke 14, (e) larva perlakuan
B hari ke 14, (f) larva perlakuan C hari ke 14, (g) larva perlakuan A hari ke 18, (h)
larva perlakuan B hari ke 18, (i) larva perlakuan C hari ke 18.
48
ANOVA
Pupa
Total 44676.939 8
Pupa
Duncan
Perlakuan N 1 2
A 3 118.3333
C 3 167.1533
B 3 266.2800
Lampiran 6. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada konsumsi substrat (substrate
consumption)
ANOVA
KS
Total 182.889 8
KS
Duncan
Perlakuan N 1 2
C 3 73.33
B 3 80.00
A 3 83.33
Lampiran 7. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada indeks pengurangan limbah
(waste reduction index / WRI)
ANOVA
WRI
Total .600 8
WRI
Duncan
Perlakuan N 1 2
C 3 4.100
B 3 4.433
A 3 4.667
Lampiran 8. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada efisiensi konversi pakan tercerna
(efficiency of conversion of digested feed / ECD)
ANOVA
ECD
Total 186.845 8
ECD
Duncan
Perlakuan N 1 2
A 3 10.8067
B 3 11.5533
C 3 19.5667
Lampiran 9. Hasil uji ANOVA dan Duncan pada tingkat kelulusan hidup (survival
rate / SR)
ANOVA
SR
Total 1.981 8
SR
Duncan
Perlakuan N 1
C 3 98.6400
A 3 98.7067
B 3 98.7333
Sig. .853