SIROSIS HEPATIS
Disusun Oleh :
NAMA : Jesaya D. I. Saranga
NIM : N 111 20 029
PEMBIMBING KLINIK :
dr. Sarniwaty Kamissy, Sp. PD
i
DAFTAR ISI
Halaman judul...........................................................................................................i
Lembar pengesahan.................................................................................................ii
Daftar isi.................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2
A. Anatomi hati.................................................................................................2
B. Vaskularisasi hati.........................................................................................5
C. Fisiologi hati................................................................................................8
D. Definisi........................................................................................................9
E. Epidemiologi...............................................................................................9
F. Etiologi........................................................................................................9
G. Patogenensis..............................................................................................10
H. Diagnosis dan manifestasi klinis................................................................12
I. Pemeriksaan fisik.......................................................................................12
J. Pemeriksaan penunjang.............................................................................14
K. Komplikasi................................................................................................16
L. Penatalaksanaan........................................................................................ 20
M. Prognosis ..................................................................................................21
BAB III LAPORAN KASUS……………............................................................23
Daftar Pustaka........................................................................................................24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Hati
2
Gambar 1. Permukaan anterior hati [6]
3
Histologi Hati
4
Gambar 4. Pola lobular hati normal [6]
Vaskularisasi Hati
Hati memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa
melalui vena porta, dan aorta melalui arteria hepatika. Sekitar sepertiga darah
yang masuk adalah darah arteria dan sekitar dua pertiga adalah darah dari vena
porta. Volume total darah yang melewati hati setiap menit adalah 1.500 ml dan
dialirkan melalui vena hepatika dekstra dan sinistra, yang selanjutnya bermuara
pada vena kava inferior. [4]
Vena porta bersifat unik karena terletak antara dua daerah kapiler, satu
dalam hati dan lainnya dalam saluran cerna. Saat mencapai hati, vena porta
bercabang-cabang yang menempel melingkari lobulus hati. Cabang-cabang ini
kemudian mempercabangkan vena interlobularis yang berjalan di antara lobulus-
lobulus. Vena-vena ini selanjutnya membentuk sinusoid yang berjalan diantara
lempengan hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari
beberapa lobulus membentuk vena sublobularis yang selanjutnya kembali
menyatu dan membentuk vena hepatika. Cabang-cabang terhalus dari arteria
hepatika juga mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid, sehingga terjadi campuran
darah arteria dari arteria hepatika dan darah vena dari vena porta. Peningkatan
5
tekanan dalam sistem ini sering menjadi manifestasi gangguan hati dengan akibat
serius yang melibatkan pembuluh-pembuluh darimana darah portal berasal.
Beberapa lokasi anastomosis portakaval memiliki arti klinis yang penting. Pada
obstruksi aliran ke hati, darah porta dapat dipirau ke sistem vena sistemik. [4]
Fisiologi Hati
6
Sintesis kolesterol Hati memegang peranan utama pada sintesis kolesterol,
sebagian besar diekskresi dalam empedu sebagai
kolesterol atau asam kolat.
Penyimpana lemak
Penyimpanan vitamin dan Vitamin yang larut lemak (A, D, E, K) disimpan dalam
mineral hati; juga vitamin B12, tembaga dan besi.
Metabolisme steroid Hati menginaktifkan dan mensekresi aldosteron,
glukokortikoid, estrogen, dan testosteron.
Detoksifikasi Hati bertanggung jawab atas biotransformasi zat-zat
berbahaya menjadi zat-zat tidak berbahaya yang
kemudian dieksresi oleh ginjal (misalnya obat-obatan)
Ruang penampung dan fungsi Sinusoid hati merupakan depot darah yang mengalir
penyaring kembali dari vena kava (payah jantung kanan); kerja
fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris dari
darah.
7
untuk kelangsungan hidup. Semua protein plasma, kecuali gamma globulin,
disintesis oleh hati. Protein ini termasuk albumin yang diperlukan untuk
mempertahankan tekanan osmotik koloid, dan protrombin, fibrinogen, dan faktor-
faktor pembekuan lain. Selain itu, sebagian besar degradasi asam amino dimulai
dalam hati melalui proses deaminasi atau pembuangan gugus amonia (NH 3).
Amonia yang dilepaskan kemudian disintesis menjadi urea dan disekresi oleh
ginjal dan usus. Amonia yang terbentuk dalam usus oleh kerja bakteri pada
protein juga diubah menjadi urea dalam hati. Fungsi metabolisme hati yang lain
adalah metabolisme lemak, penyimpanan vitamin, besi, dan tembaga; konjugasi
dan ekskresi steroid adrenal dan gonad, serta detoksifikasi sejumlah besar zat
endogen dan eksogen. Fungsi detoksifikasi sangat penting dan dilakukan oleh
enzim-enzim hati melalui oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau konjugasi zat-zat yang
dapat berbahaya, dan mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif.
Zat-zat seperti indol, skatol, dan fenol yang dihasilkan oleh kerja bakteri pada
asam amino dalam usus besar dan zat-zat eksogen seperti morfin, fenobarbital,
dan obat-obat lain, didetoksifikasi dengan cara demikian. [4]
Akhirnya, fungsi hati adalah sebagai ruang penampung atau saringan
karena letaknya yang strategis antara usus dan sirkulasi umum. Sel kupffer pada
sinusoid menyaring bakteri darah portal dan bahan-bahan yang membahayakan
dengan cara fagositosis. [4]
Regenerasi Hati
Berbeda dengan organ padat lainnya, hati orang dewasa tetap mempunyai
kemampuan beregenerasi. Ketika kemampuan hepatosit untuk beregenerasi sudah
terbatas, maka sekelompok sel pruripotensial oval yang berasal dari duktulus-
duktulus empedu akan berproliferasi sehingga membentuk kembali hepatosit dan
sel-sel bilier yang tetap memiliki kemampuan beregenerasi. [7,5]
Dari penelitian model binatang ditemukan bahwa hepatosit tunggal dari
tikus dapat mengalami pembelahan hingga ± 34 kali, atau memproduksi jumlah
sel yang mencukupi sel-sel untuk membentuk 50 hati tikus. Dengan demikian
dpaat dikatakan sengatlah memungkinkan untuk melakukan hepatektomi hingga
2/3 dari seluruh hati. [7,5]
8
Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi
akibat adanya nekrosis hepatoselular. Secara lengkap Sirosis hati adalah
Kemunduran fungsi liver yang permanen yang ditandai dengan perubahan
histopatologi. Yaitu kerusakan pada sel-sel hati yang merangsang proses
peradangan dan perbaikan sel-sel hati yang mati sehingga menyebabkan
terbentuknya jaringan parut. Sel-sel hati yang tidak mati beregenerasi untuk
menggantikan sel-sel yang telah mati. Akibatnya, terbentuk sekelompok-
sekelompok sel-sel hati baru (regenerative nodules) dalam jaringan parut.[2]
Epidemiologi
Lebih dari 40% pasiensirosis asimtomatis. Pada keaadaan ini sirosis
ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau waktu otopsi. Keseluruhan
insiden sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya
sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil
penelitian lain menyebutkan perlemakan hati akan mengakibatkan steatohepatitis
nonalkoholik (NASH, prevalensi 4%) dan berakhir dengan sirosis hepatis dengan
prevalensi 0,3 %. Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada, hanya
laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sarjdito
Yogyakarta jumlah pasien sirosis 4,1 % dari pasien yang dirawat dibagian
penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan dalam kurun waktu
4 tahun pasien sirosis sebanyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam.[3]
Etiologi
9
Sebagian besar jenis sirosis diklasifikasikan secara etiologis dan
morfologis menjadi alkoholik, kriptogenik dan post hepatitis (postnekrotik),
biliaris, kardiak, dan metabolik,keturunan, dan terkait obat [2]
Di negara barat, penyebab sirosis yang utama adalah alkoholik, sedangkan
di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Berdasarkan
hasil penelitian di Indonesia, disebutkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan
sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20%
penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C (non
B-non C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia diduga frekuensinya
sangat kecil walaupun belum terdapat data yang menunjukkan hal tersebut. [2]
Patofisiologi
10
sel-sel hati. Sebagai suatu akibat dari rintangan pada aliran darah melalui hati,
darah tersendat pada vena portal, dan tekanan dalam vena portal meningkat, suatu
kondisi yang disebut hipertensi portal. Karena rintangan pada aliran dan
tekanan-tekanan tinggi dalam vena portal, darah dalam vena portal mencari vena-
vena lain untuk mengalir kembali ke jantung, vena-vena dengan tekanan-tekanan
yang lebih rendah yang membypass hati. Hati tidak mampu untuk menambah atau
mengeluarkan unsur-unsur dari darah yang membypassnya. Merupakan kombinasi
dari jumlah-jumlah sel-sel hati yang dikurangi, kehilangan kontak normal antara
darah yang melewati hati dan sel-sel hati, dan darah yang membypass hati yang
menjurus pada banyaknya manifestasi-manifestasi dari sirosis.[9]
Hipertensi portal merupakan gabungan antara penurunan aliran darah porta
dan peningkatan resistensi vena portal. Hipertensi portal dapat terjadi jika tekanan
dalam sistem vena porta meningkat di atas 10-12 mmHg. Nilai normal tergantung
dari cara pengukuran, terapi umumnya sekitar 7 mmHg. Peningkatan tekanan
vena porta biasanya disebabkan oleh adanya hambatan aliran vena porta atau
peningkatan aliran darah ke dalam vena splanikus. Obstruksi aliran darah dalam
sistem portal dapat terjadi oleh karena obstruksi vena porta atau cabang-cabang
selanjutnya (ekstra hepatik), peningkatan tahanan vaskuler dalam hati yang terjadi
dengan atau tanpa pengkerutan (intra hepatik) yang dapat terjadi presinusoid,
parasinusoid atau postsinusoid dan obstruksi aliran keluar vena hepatik (supra
hepatik).[9]
Hipertensi portal adalah sindroma klinik umum yang berhubungan dengan
penyakit hati kronik dan dijumpai peningkatan tekanan portal yang patologis.
Tekanan portal normal berkisar antara 5-10 mmHg. Hipertensi portal timbul bila
terdapat kenaikan tekanan dalam sistem portal yang sifatnya menetap di atas
harga normal. Hipertensi portal dapat terjadi ekstra hepatik, intra hepatik, dan
supra hepatik. Obstruksi vena porta ekstra hepatik merupakan penyebab 50-70%
hipertensi portal pada anak, tetapi dua per tiga kasus tidak spesifik penyebabnya
tidak diketahui, sedangkan obstruksi vena porta intra hepatik dan supra hepatik
lebih banyak menyerang anak-anak yang berumur kurang dari 5 tahun yang tidak
mempunyai riwayat penyakit hati sebelumnya.[9]
11
Penyebab lain sirosis adalah hubungan yang terganggu antara sel-sel hati
dan saluran-saluran melalui mana empedu mengalir. Pada sirosis, canaliculi
adalah abnormal dan hubungan antara sel-sel hati canaliculi hancur/rusak, tepat
seperti hubungan antara sel-sel hati dan darah dalam sinusoid-sinusoid. Sebagai
akibatnya, hati tidak mampu menghilangkan unsur-unsur beracun secara normal,
dan mereka dapat berakumulasi dalam tubuh. Dalam suatu tingkat yang kecil,
pencernaan dalam usus juga berkurang.[10]
12
Gambar 5. Manifestasi klinis dari sirosis hepatis [1]
13
Pemeriksaan Fisis
14
Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan,
arthritis rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi. [8]
Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan
dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan
akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi
hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik. [8]
Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis billier. Osteoarthropati
hipertrofi suatu periostitis proliferative kronik, menimbulkan nyeri. [8]
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia Palmaris menimbulkan
kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik
berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga ditemukan pada pasien diabetes mellitus,
distrofi reflex simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol. [8]
Ginekomastia secara histologist berupa proliferasi benigna jaringan
glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion.
Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksilla pada laki-laki,
sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah feminism. Kebalikannya pada
perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga diduga fase menopause. [8]
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertile. Tanda
ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis. [8]
Hepatomegali, ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau
mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular. [8]
Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya
nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi
porta. [8]
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi
porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. [8]
Foetor Hepatikum, Bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan
peningkatan konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik yang berat.
[8]
15
Asterixis bilateral tetapi tidak sinkron berupa pergerakan mengepak-
ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan. [8]
Tanda-tanda lain lain yang menyertai diantaranya: [8]
Demam yang tidak tinggi akibat nekrosis hepar
Batu pada vesika felea akibat hemolisis
Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini
akibat sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat
resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas. [2]
Pemeriksaan Penunjang
16
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari
pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi immunoglobulin. [8]
Prothrombin time mencerminkan derajat/ tingkatan disfungsi sintesis hati,
sehingga pada sirosis memanjang. [8]
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan
dengan ketidakmampuan eksresi air bebas. [8]
Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam,
anemia normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer.
Anemia dengan trombositopenia, leukopenia, dan neutropenia akibat
splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi
hipersplenisme. [8]
17
Gambar 8. Algoritma untuk evaluasi tes fungsi hati abnormal [10]1
1
Algoritma untuk evaluasi tes fungsi hati abnormal. Pada pasiendengan dugaan penyakit hati,
pendekatan yang tepat untuk evaluasi adalah pemeriksaan awal fungsi hati rutin, seperti bilirubin,
albumin, alanin aminotransferase (ALT), aspartat aminotransferase (AST) dan alakaline
pohospatase (ALP). Hasil ini (kadang disertai dengan pemeriksaan γ-glutamyl transpeptidase ,
GGT) akan menunjukkan apakah pola kelainan yang ada merupakan hepatik, kolestatik, atau
campuran. Sebagai tambahan, durasi dari gejala akan memberikan gambaran apakah penyakit
tersebut akut atau kronik. Jika penyakit tersebut adalah akut dan jika dari adanmnesis,
pemeriksaan laboratorium, dan pencitraan tidak menunjukkan sebuah diagnosis, biopsi hati
merupakan langkah yang tepat untuk menegakkan diagnosis. Kalau penyakit tersebut kronik,
biopsi hati dapat bermanfaat bukan hanya untuk diagnosis, tetapi juga untuk menilai aktivitas dan
staging perjalanan penyakit. Pendekatan ini sebagian besar berlaku pada pasien tanpa penurunan
kekebalan tubuh. Pada pasien dengan infeksi HIV atau setelah transplantasi sumsum tulang atau
transplantasi organ padat, evaluasi diagnostik juga harus mencakup evaluasi infeksi oportunistik
(adenovirus, sitomegalovirus, coccidioidomyocosis, dll) serta pembuluh darah dan kondisi
imunologi (penyakit, venoocclusive graft-vs-host penyakit). HAV, HCV: Hepatitis A atau C virus,
HbsAg, Hepatitis B sulface antigen, anti-HBc, antibodi terhadap hepatitis B inti (antigen); ANA,
antibodi antinuklear, SMA, mulus-otot antibodi, MRI, magnetic resonance imaging, MRCP;
cholangiopancreatography resonansi magnetik; ERCP cholangiopancreatography, endoscopic
retrograde; α1AT, α1 antitrypsin; AMA; antimitochondrial antibodi; P-ANCA, antibodi sitoplasmik
antineutrofil perifer. [8]
18
Abdomen, sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya noninvasif dan
mudah dilakukan. Pemeriksaan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran,
homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan noduler,
permukaan irreguler, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu
USG juga dapat menilai asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran
vena porta, dan skrining karsinoma hati pada pasien sirosis. [8]
Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG, tidak rutin
digunakan karena biayanya relatif mahal. [8]
Magnetic Resonance Imaging, peranannya tidak jelas dalam mendiagnosis
sirosis selain mahal biayanya. [8]
Komplikasi
19
Tabel 2. Grade ensefalopati hepatik [10]
Penatalaksanaan
20
tiga kali seminggu dan dikombinasikan ribavirin 800-1000 mg/ hari selama 6
bulan. [8]
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,
menempatkan stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan
merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi sel stelata bisa
merupakan salah satu pilihan. Interferon memiliki aktifitas antifibrotik yang
dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek
antiperadangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum tebukti dalam
penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga
dicobakan sebagai antifibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam
penlitian. [8]
Asites, Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan
obat-obatan diuretic. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-
200 mg sehari. Respon diuretic bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5
kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan edema kaki. Bilamana
pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasikan dengan furosemid
dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila
tidak ada respon, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila
asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan
pemberian albumin. [8]
Ensefalopati hepatik, Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan
ammonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil
ammonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama
diberikan yang kaya asam amino rantai cabang. [8]
Varises esophagus, Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan
obat β-blocker. Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi. [8]
21
Peritonitis bakterial spontan, diberikan antibiotika seperti sefotaksim
intravena, amoksilin, atau aminoglikosida. [8]
Sindrom hepatorenal, mengatasi perubahan sirkulasi darah hati, mengatur
keseimbangan garam dan air. [8]
Transplantasi hati, terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata.
Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi
resipien dahulu. [8]
Prognosis
2
Klasifikasi Child-Pugh dihitung dengan menjumlahkan skor dari lima faktor dan dapat bernilai dari 5 sampai 15. Klasifikasi Child-Pugh
kelas A (5-6), B (7-9), atau C (10 atau lebih). Keadaan dekompensasi mengindikasikan cirrhosis dengan skor Child-Pugh 7 atau lebih (kelas
B). [8]
22
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Laporan Kasus
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. D
Umur : 57 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan :
Pendidikan terakhir : SMP
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Tanggal Masuk RS : 16 Agustus 2021
Tanggal Pemeriksaan : 18 Agustus 2021
Ruang Perawatan : Paviliun Seroja
2. Anamnesis
Keluhan Utama : Perut membesar
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk rumah sakit Undata dengan keluhan perut
membesar pada seluruh bagian perut sejak 1 bulan yang lalu sebelum
masuk rumah sakit. Perutnya dirasakan semakin hari semakin membesar
dan bertambah tegang, namun keluhan perut membesar ini tidak sampai
membuat pasien sesak ataupun kesulitan bernapas. Pasien juga
mengeluhkan nyeri ulu hati sepanjang hari. Keluhan tidak membaik
ataupun memburuk dengan makanan. Pasien juga merasakan lemas sejak
masih berada dirumah sakit sebelumnya dan dirasakan terus menerus
walaupun saat beristirahat sehingga pasien kesulitan melakukan aktivitas
sehari-hari. Pasien mengatakan BAB berwarna hitam gelap dengan
konsistensi lunak dengan frekuensi 2 kali per hari. Buang air kecil
dikatakan berwarna seperti teh dengan frekuensi 5-6 kali per hari dan
volumenya kurang lebih ½ gelas tiap kencing. Rasa nyeri ketika BAK
disangkal pasien. Keluhan demam, gusi berdarah disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah dirawat dengan keluhan DM tipe 2 sejak 1 tahun yang lalu
dan sementara berobat. Pasien juga memiliki Riwayat TB dan pernah
dinyatakan sembuh akan tetapi kembali menjalani pengobatan TB.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat diabetes mellitus (-)
Riwayat Dislipidemia (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat TB (+)
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum :
SP : Sakit Sedang / Compos Mentis (GCS : E4 V5 M6)
Vital Sign :
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 68 x/menit
Pernapasan : 18 x/menit
Suhu : 36,5oC
SpO2 : 97%
Pemeriksaan Kepala
Bentuk : Normocephal
Wajah : Simetris, tampak pucat (-), edema (-), ruam (-),
jejas (-)
Rambut : Warna hitam, distribusi normal
Deformitas : Tidak ada
Mata :
Konjungtiva : Anemis (+/+)
Sklera : Ikterus (+/+)
Pupil : Bentuk bulat, isokor (+/+), refleks pupil (+/+)
Mulut :
Bibir : Bentuk dan warna kesan normal
Lidah : Bentuk kesan normal, warna merah muda,
tremor (-), lidah kotor (-)
Mukosa Mulut : Kesan normal, lesi (-), stomatitis (-)
Faring : Warna merah muda kesan normal
Tonsil : Ukuran T0/T0
Pemeriksaan Leher
Kalenjar Getah Bening : Pembesaran tidak ada
Kelenjar Tiroid : Pembesaran tidak ada
JVP : 5 + 2 cmH2O
Massa Lain : Tidak ada
Pemeriksaan Paru-Paru
Inspeksi : Ekspansi paru simetris bilateral kanan = kiri,
retraksi interkosta (-), jejas (-), bentuk normochest,
jenis pernapasan thoraco-abdominal, pola
pernapasan kesan normal
Palpasi : Ekspansi paru simetris, vokal fremitus simetris
kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi : Bunyi sonor di semua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler di kedua lapang paru
Suara nafas bronchovesikuler di SIC I dan II
Suara nafas bronchial di manubrium sterni
Suara nafas tracheal di trachea
Suara nafas tambahan : Ronkhi (-/-),
Whezzing (-/-)
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung normal
Batas Atas : SIC II linea sternalis sinistra
Batas Kanan : SIC IV linea sternalis dextra
Batas Kiri : SIC V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni regular, murmur(-)
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Tampak membesar, kesan tidak normal
Auskultasi : Bunyi peristaltic usus terdengar, frekuensi kesan
normal
Perkusi : Bunyi tympani (+), pembesaran lien (-),
pembesaran hepar (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+) kuadran kanan atas dan bawah
abdomen, palpasi hepar teraba membesar dengan
permukaan rata dan tepi tajam , palpasi lien tidak
teraba, nyeri ketuk costovertebra (-/-).
Pemeriksaan khusus : Shifting dullness (+)
4. Resume
Seorang pasien perempuan usia 57 tahun masuk rumah sakit
Undata dengan keluhan pembesaran seluruh bagian perut dan disertai
nyeri epigastrik. Keluhan ini sudah dirasakan oleh pasien kurang lebih
sejak 1 bulan yang lalu. BAB lancar dan berwarna gelap. BAK lancar
namun berwarna kuning tua. Oligouria (+), polyuria (+), riwayat
konsumsi alkohol (+). Pasien belum pernah dirawat dengan keluhan yang
sama sebelumnya. Pasien memiliki riwayat DM tipe 2 dan TB dan
sedang menjalani pengobatan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan KU:
sakit sedang, dengan kesadaran CM. TTV; TD: 110/80, Nadi: 49x/m,
Suhu: 37 C, Respirasi: 18 x/m, SpO2: 97%. Sklera: Ikterik (+), anemis
(+), Pembesaran hepar (+), pemeriksaan shifting dullness (+).
5. Diagnosis Kerja
a. Sirosis hepatis dekompensata
b. Diabetes Mellitus tipe 2
c. TB relaps
6. Hasil Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Darah rutin :
Hasil Nilai Normal
WBC : 11,87 x 103 / uL 3.6 – 11.0
RBC : 4,57 x 106 / uL 3.8 – 5.2
HGB : 13,7 g / dL 11.7 – 15.5
HCT : 38,5 % 35 – 47
PLT : 413 x 103 / uL 150 – 440
Kimia Darah
GDS : 268,5 mg/dL
Urea : 22,2 mg / dL
Creatinin : 1,14 mg / dL
AST/GOT : 33 U/L
ALT/GPT : 30 U/L
Albumin : 2,3 g/dl
Natrium : 143 mmol/L
Kalium : 3.6 mmol/L
Clorida : 104 mmol/L
Serologi
HBsAg : Reaktif
HCV : Non reaktif
b. USG Abdomen :
- Gambaran sirosis hepatis dengan splenomegaly & ascites
- Tak tampak tanda-tanda adanya massa intraabdomen
- Efusi pleura sinistra
7. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa :
Tirah baring/rawat inap
Istirahat yang cukup
Hindari zat-zat hepatotoksik
Diet cair tanpa protein, rendah garam, pembatasan jumlah cairan
kurang lebih 1 liter/hari
Edukasi, meliputi pemahaman tentang penyakit yang diderita
Medikamentosa :
Sterilisasi usus:
- Cefotaxime 3x1 gr
- Paramomycin 4x500 mg
Hemostatik:
- Asam traneksamat 3x500 mg
8. Diagnosis Akhir
Sirosis hepatis dekompensata
DM tipe 2
TB relaps
9. Prognosis
a. Ad Vitam : Ad malam
b. Ad Functionam : Ad malam
c. Ad Sanationam : Dubia ad malam
KESIMPULAN
Sirosis hepatis secara klinis dibagi menjadi sirosis hepatis kompensata
yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hepatis
dekompensata yang ditandia gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati
kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu
tingkat tidak terlihat perbedaan secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan
melalui pemeriksaan biopsi hati.
Mengingat pengobatan sirosis hati hanya merupakan simptomatik dan
mengobati penyulit, maka prognosa Sirosis Hepatis bisa buruk. Umumnya
menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
laboratorium terhadap sirosis hepatis tersebut. Namun penemuan sirosis hati yang
masih terkompensasi mempunyai prognosa yang baik. Oleh karena itu ketepatan
diagnosa dan penanganan yang tepat sangat dibutuhkan dalam penatalaksanaan
sirosis hati.
DAFTAR PUSTAKA
1. PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia). Sirosis hati [serial online]
2013. (diunduh 8 Agustus 2021). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://pphionline.org/alpha/?p=570
2. Perz JF, Armstrong GL, Farrington LA, Hutin YJF, Bell BP.
Thecontributions of hepatitis B virus and hepatitis C virus infectionsto
cirrhosis and primary liver cancer worldwide. Hepatol.2006;45:529- 38.
3. Siti Nurdjanah. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I,
Simadibrata MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 5th ed.
Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia.
2009. Page 668-673.
4. Wilson LM, Lester LB. Hati, saluran empedu, dan pankreas. In Wijaya C,
editor. Patofisiologi konsep klinis proses proses penyakit. Jakarta: ECG;
2014. p. 426-63.
5. Guyton AC, Hall JE. The liver as an organ. In Textbook of medical
physiology. 11th ed.: Elsevier; 2010. p. 859-64.
6. Netter FH, Machade CAG. Interactive atlas of human anatomy [Electronic
Atlas].: Saunders/Elsevier; 2013.
7. Amiruddin R. Fisiologi dan biokimia hati. In Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, K. MS, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009. p. 627-33.
8. Setiati S. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Cet 3. Jakarta: Interna Publishing:
2017.
9. Porth CM. Alterations in hepatobiliary function. In Essentials of
pathophysiology: concepts of altered health states. 2nd ed.: Lippincott
Williams & Wilkins; 2014. p. 494-516.
10. Ghany M, Hoofnagle JH. Approach to the patient with liver disease. In
Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL,
editors. Harrison's principles of internal medicine. New York: McGraw-
Hill; 2010. p. 1808-13.