Anda di halaman 1dari 12

Accelerat ing t he world's research.

ITTIBA, TAQLID DAN TAFLIQ


Apit Hidayat

Ittiba', Taqlid dan Talfiq

Cite this paper Downloaded from Academia.edu 

Get the citation in MLA, APA, or Chicago styles

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Makalah revisi
nimas ekarini

Haruskah Taqlid
Amiral Put ra

Ilmu Fiqih
olha djakat ara
USHUL FIQH
“ITTIBA’, TAQLID DAN TALFIQ”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh dari Dosen
Pengajar : Hafidz Taqiyuddin, MA.Hk

Disusun oleh :
APIT HIDAYAT 181370061
FATHURYANTI 181370062
AHMAD IHKSAN 181370050

JURUSAN ILMU HADITS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN MAULANA HASANUDDIN
BANTEN
2019
I. PENDAHULUAN
Ushul fiqh merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang membahas
tentang dalil-dalil yang mendasari hukum asal dari fiqh. Dasar-dasar hukum
yang dimaksud bersumber dari al-Qur’an, Hadis Nabi, Ijma’ dan Qiyas. Ke
empat sumber tersebut merupakan landasan yang disepakati oleh jumhur Ulama.
Para ulama yang berkecimpung dalam perkara fiqh, disebut dengan Fuqaha.
Sehingga dalam Ushul Fiqh, terdapat pembahasan tentang ittiba’, taqlid dan
talfiq. Ke tiga bahasan ini mencangkup tentang bahasan menerima dan
mengikuti pendapat para Fuqaha besrta landasan dalilnya.
II. PEMBAHASAN
A. Ittiba’
1. Pengertian
Kata Ittiba’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il
ittaba’a - yattabi’u - ittiba’an, yang artinya adalah mengikuti atau
menurun.
Ittiba’ yang dimaksudkan disini adalah :
.ُ‫قَبُو ُل قَو ِل ا ْلقَا ِئ ِل َوأ َ ْنتَ ت َ ْعلَ ُم ِم ْن أَيْنَ قَالَه‬
“Menerima perkataan orang lain, dan kamu mengetahui alasan
perkataannya.”
Disamping itu ada juga yang memberi definisi :
.‫ح‬ ِ ‫قَبُو ُل قَو ِل ا ْلقَائِ ِل ِبدَ ِل ْي ٍل َر‬
ٍ ‫اج‬
“Menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapatlah kita simpulkan
bahwa ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang Faqih
atau Mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah
satu Madzhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang
dianggap lebih kuat dengan jalan membanding.1
2. Dasar Hukum

1
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), 195

1
Ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan Agama.
Adapun orang yang mengambil atau mengikuti pendapat ulama dengan
disertai alasan-alasan, dinamakan Muttabi’ (‫(ا ْل ُمتَّبِ ُع‬
Hukum ittiba’ adalah wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah
perintah Allah, sebagaimana firman-Nya :

ِ ُ ‫ٱتَّبِعُواْ َما ٓ أ‬
٣ َ‫نز َل إِلَ ۡيكُم ِمن َّربِكُ ۡم َو ََل تَتَّبِعُواْ ِمن دُونِِۦٓه أ َ ۡو ِليَا ٓ َۗ َء قَل اِيٗل َّما تَذَ َّك ُرون‬
‫۝‬

“Ikuti apa yang dirutunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain Nya. Amat sedikitlah kamu
mengambil pelajaran (daripadanya)”. (Q.S. Al-A’raf [7]:3)2
Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk mengikuti perintah-
perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib,
dan tidak terdapat dalil merubahnya.3
Ada pula firman Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 31 :

‫۝‬ ٞ ُ‫غف‬
٣١ ‫يم‬ٞ ِ‫ور َّرح‬ َّ ‫ٱَّللُ َو َي ۡغف ِۡر لَكُ ۡم ذُنُو َبكُ ۡۚۡم َو‬
َ ُ‫ٱَّلل‬ َ َّ َ‫قُ ۡل ِإن كُنت ُ ۡم تُحِ بُّون‬
َّ ‫ٱَّلل فَٱت َّ ِب ُعونِي ي ُۡح ِب ۡبكُ ُم‬
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”( Q.S. Ali ‘Imran [3]: 31)4
Juga dalam Q.S. An-Nahl ayat 43 :

٤٣ َ‫ي إِلَ ۡي ِه ۡۖۡم فَسۡ لُ ٓواْ أ َ ۡه َل ٱلذ ِۡك ِر إِن كُنت ُ ۡم ََل ت َعۡ لَ ُمون‬ ۡ َ ‫َو َما ٓ أ َ ۡر‬
‫۝‬ ٓ ِ‫سلنَا ِمن قَ ۡبلِكَ إِ ََّل ِر َج ااَل نُّوح‬
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”( Q.S. An-
Nahl [16]:43)5

2
Tim Penyusun, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Diponegoro, 2014), 151
3
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal 196
4
Tim Penyusun, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Diponegoro,2014), 54
5
Tim Penyusun, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Diponegoro, 2014), 272

2
Dari ayat-ayat di atas, Beni dan Januri mengatakan bahwa cara-cara
ittiba’ adalah sebagai berikut: 6
a. Melakukan penggalian hukum secara mendalam
b. Mempelajari dasar-dasar pijakan hukum Islam
c. Menguasai bahasa Arab sebagai bahasa yang dipergunakan oleh Al-
Qur’an
d. Memahami hadis serta seluk beluknya
e. Mengenali lebih dalam tentang ulama madzhab
f. Menghargai pendapat orang lain
g. Selalu bertanya kepada ahlinya (ulama) jika tidak mengetahui urusan
Agama.
3. Contoh Ittiba’
Makan Labu

َ ‫س ِم َع أَن‬
‫َس‬ َ ُ‫ط ْل َحةَ أَنَّه‬
َ ‫َّللا ب ِْن أ َ ِبي‬ َ ‫ع ْن ِإ ْس َحقَ ب ِْن‬
ِ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ٍ‫ع ْن َمالِك‬ ُّ ‫ [متفق عليه] َحدَّثَنَا ا ْلقَ ْعنَ ِب‬-٣٧٨٢
َ ‫ي‬
‫بْنَ َمالِكٍ َي ُقو ُل‬

‫صلَّى‬ ٌ ‫صنَعَهُ قَا َل أَن‬


ِ َّ ‫َس فَذَ َهبْتُ َم َع َرسُو ِل‬
َ ‫َّللا‬ َ ‫سلَّ َم ِل‬
َ ‫طعَ ٍام‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ َّ ‫عا َرسُو َل‬
َ ‫َّللا‬ ً ‫إِ َّن َخيَّا‬
َ َ‫طا د‬
‫ِير َو َم َرقًا‬
ٍ ‫شع‬َ ‫سلَّ َم ُخب ًْزا ِم ْن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬َّ ‫ص َّلى‬ ِ َّ ‫ب إِ َلى َرسُو ِل‬
َ ‫َّللا‬ َّ ‫سلَّ َم إِلَى ذَلِكَ ال‬
َ ‫طعَ ِام فَقُ ِر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ
َ ُ‫َّللا‬
‫ص ْحفَ ِة‬ ْ َ‫سلَّ َم يَتَتَبَّ ُع الدُّبَّا َء ِم ْن َح َوال‬
َّ ‫ي ال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ َّ ‫َس فَ َرأَيْتُ َرسُو َل‬
َ ‫َّللا‬ ٌ ‫فِي ِه دُبَّا ٌء َوقَدِيدٌ قَا َل أَن‬
7
‫فَلَ ْم أَزَ ْل أُحِ بُّ الدُّبَّا َء بَ ْعدَ يَ ْو َم ِئ ٍذ‬

Sunan Abu Daud 3782: Telah menceritakan kepada kami Al Qa'nabi


dari Malik dari Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah bahwa ia mendengar
Anas bin Malik berkata:
Seorang penjahit mengundang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
untuk menghadiri makanan yang telah ia buat. Anas berkata: Lalu aku
pergi bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghadiri
makanan tersebut, kemudian makanan tersebut didekatkan kepada

6
Beni A. Saebani dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hal. 292
7
Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani, Sunan Abu Dawud (al-Riyadh: Daarussalam, 1999), 540

3
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang berupa roti yang terbuat
dari gandum serta kuah yang padanya terdapat labu dan dendeng. Anas
berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mencari-
cari labu yang ada di nampan tersebut, maka semenjak itu aku suka makan
labu.8
B. Taqlid
1. Pengertian
Taqlid berasal dari kata qalada – yuqalidu – taqlidan, artinya meniru,
menyerahkan, menghiasi, dan menyimpangkan. Secara istilah, taqlid ialah
mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya.

.ُ‫قَبُو ُل قَو ِل القَائِ ِل َوأَنتَ ََلت َعلَ ُم ُح َّجتَهُ أَو ََلت َعلَ ُم ِمن أَينَ قَالَه‬
“Menerima pendapat orang lain (mengamalkannya) tanpa mengetahui
alasannya atau engkau tidak tahu asal perkataan tersebut”9
Ada pula pendapat Imam al-Ghazali tentang taqlid, adalah :

‫قبل قول بٗل حجة‬


“menerima ucapan tanpa adanya hujjah atau dalil”
Sedangkan Ibnu Subki mendefinisikan taqlid adalah :

.‫قبل قول الغير من غير حجة‬


“Mengambil suatu perrkataan tanpa mengetahui dalil” 10
Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaili juga berpendapat tentang taqlid, yaitu:

ِ ُ‫ أ َي َج ْع ُل ا ْل ِق َٗلدَةِ فِي عُن‬,‫ج‬


‫ق َما يَ ْه ِدي‬ ِ ‫ َو ِم ْنهُ ت َ ْق ِل ْيدُ ا ْل َهدْي ِ ِفي ا ْل َح‬,‫ق‬
ِ ُ‫ َج ْع ُل ا ْل ِق َٗلدَةِ فِي ا ْلعُن‬: ً‫الت َ ْق ِليدُ لُغَة‬
‫إِلَى ْال َح َر ِم النَّعَ ِم‬

8
Home Sweet Home, Hadits Soft, Ver. 4.0.0.0. “Kitab: Makanan, Bab: Makan buah Labu”, Sunan Abu Dawud
9
Beni A. Saebani dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), 293
10
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2015), 239

4
‫ي ُم َحا َكةُ ا ْلغَ ْي ِر فِي‬ْ َ ‫ أ‬,‫غ ْي ِر َم ْع ِرفَ ِة دَ ِل ْي ِل ِه‬ ُ ُ ‫ح ْال‬
َ ‫ هُ َو أ َ ْخذُ قَ ْو ِل ا ْلغَ ْي ِر ِم ْن‬: َ‫ص ْو ِل ْين‬ ِ ‫صطِ َٗل‬ ْ ‫َو فِي ا‬
َّ ‫ َوت َ ْركِ ا ْل ُم ْقت َ ِدي قِ َرا َءة َ ا ْلفَاتِ َحةَ فِي ال‬,ِ ‫شافِ ِعي‬
‫ص َٗل ِة‬ َّ ‫الرأْ ِس ت َ ْق ِل ْيدًا ِلل‬
َّ ‫ض‬ِ ‫ َك َم ِس َح بَ ْع‬, ِ‫ا ْلعَ َم ِل أ َ ِو الت َ ْرك‬
11
َ ‫أ َ ْخذًا بِقَ ْو ِل أ َبِي‬
. َ‫ َونَحْ َو ذَ ِلك‬,َ‫حنِ ْيفَة‬

“Taqlid Secara etimologi: dikaitkan seperti kalung di leher, sebagian


dari taqlid ialah taqlid hadiah di dalam haji. Yaitu menggunakan kalung di
leher ada hukum hadiah di tanah haram berupa beberapa hewan ternak.
Dan secara Terminologi (ahlu ushul): Taqlid adalah mengambil perkataan
dari orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Yaitu saling menghukumi orang
lain di dalam melakukan dan meninggalkan. Seperti mengusap sebagian
kepala (wudhu) dengan bertaqlid kepada Imam Syafi’i, dan seperti
Makmum meninggalkan bacaan Al-Fatihah dalam shalat dengan bertaqlid
kepada abu Hanifah, dan lainya.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa taqlid adalah mengambil
pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya serta tidak mengetahui kuat
atau tidaknya dalil tersebut.
2. Hukum Taqlid
Pada asalnya, bertaqlid dalam hukum Islam sangat dilarang. Karena ia
hanya mengikuti tanpa mengetahui alasan dan dalilnya. Namun, para
ulama menghukumi taqlid dengan tiga hukum, yaitu :
a. Haram
Ulama sepakat bahwa haram hukumnya jika melakukan tiga macam
taqlid ini :
1) Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek
moyang atau orang terdahulu yang bertentangan dengan al-Qur’an
dan Hadis
2) Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil
perkataannya.
3) Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang
bertaqlid mengetahui bahwa pendapat atau perkataan itu salah.

11
Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami (Syria: Dar Al-Fikr, 1986), 1119

5
b. Boleh
Adalah taqlid nya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk
ittiba’ kepada yang diturunkan Allah Swt. Hanya saja sebagian darinya
tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang
lebih berilmu darinya.
c. Wajib
Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai
dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rassulullah Saw. Juga
sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim “sesungguhnya Allah Swt. Telah
memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu dzikr, dan Adz-Dzikr
adalah al-Qur’an dan Hadis yang Allah Swt perintahkan agar para istri
Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:

‫۝‬
٣٤ ‫يرا‬ َ َّ ‫ٱَّلل َو ۡٱلحِ ۡك َم ۚۡ ِة إِ َّن‬
ً ِ‫ٱَّلل َكانَ لَطِ يفًا َخب‬ ِ َّ ‫ت‬ِ َ‫َو ۡٱذكُ ۡرنَ َما يُ ۡتلَ ٰى فِي بُيُوتِكُ َّن م ِۡن َءا ٰي‬
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah
dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha
Lembut lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Al-Ahzab [33]: 34)12
Inilah Adz-Dzikr yang Allah Swt. Perrintahkan agar kita selalu
mengikuti-Nya dan juga jika kita tidak memiliki pengetahuan tentang
sesuatu hal, maka bertanya kepada ahlinya (ulama). 13
3. Contoh Taqlid
a. Haram
Mengikuti kegiatan ritual yang berasal dari nenek moyang dan
bertentangan dengan syariat Islam.
b. Boleh
Taqlid kepada sebagian Mujtahid kepada Mujtahid lain karena tidak
ditemukan dalil yang kuat untuk memecahkan persoalan.
c. Wajib
Bertanya kepada para ulama jika ada yang tidak diketahui.

12
Tim Penyusun, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Diponegoro, 2014), 422
13
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2015), 240

6
C. Talfiq
1. Pengertian
Secara bahasa talfiq berarti melipat antara yang satu dengan yang
lainnya, sedangkan istilah dapat diartikan mencampuradukkan dua
pendapat atau lebih dalam sebuah permasalahan yang mempunyai hukum,
sehingga akan melahirkan pendapat ketiga yang antara kedua pendapat
tadi sama-sama tidak mengakui kebenarannya. Sehingga terjadilah sebuah
hukum baru yang membatalkan antara kedua pendapat tersebut.
Berkaitan dengan pengertian talfiq dalam pembahasan ini para ahli
ushul memberikan sebuah pengertian bahwa yang dimaksud dengan talfiq
yaitu: Menetapkan suatu perkara yang tidak dikatakan oleh seorang
mujtahid. Maksudnya adalah melakukan suatu perbuatan dengan
mengikuti suatu madzhab, dan mengambil satu masalah dengan dua
pendapat atau lebih untuk sampai kepada suatu perbuatan yang tidak di
ditetapkan oleh kedua mujtahid tersebut, baik pada imam yang diikuti
dalam madzhabnya maupun menurut pendapat imam yang baru ia ikuti.14
2. Hukum Talfiq
Secara umum dalam permasalahan talfiq ini tidah ada dalil sharih (jelas)
yang menunjukkan kebolehan ataupun pelarangan untuk melakukan talfiq.
Adapun pendapat yang mengatakan tidak boleh melakukan talfiq itu
bersumber dari apa yang dikatakan oleh ulama’ ushul di dalam ijma’
mereka, dimana mereka beranggapan bahwasanya dikhawatirkan akan
timbul pendapat ketiga setelah terjadi perbedaan pendapat antara dua
kelompok dalam madzhab tersebut. Maka, menurut para ulama’
berpendapat tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga, sehingga
akan menyalahi sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan ulama’ secara
ittifaq.15

14
Rasyida al Jasad, 2015, “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Madzhab”, CENDEKIA:Jurnal
Islam, Vol.1 No. 1, 63
15
Rasyida al Jasad, 2015, “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Madzhab”, CENDEKIA:Jurnal
Islam, Vol.1 No. 1, 70-71

7
Terdapat tiga pendapat utama sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh
Wahbah al-Zuhayli tentang talfiq :
a. Pendapat yang menyatakan bahwa seseorang wajib mengikuti satu
madzhab dan tak boleh pindah ke yang lain,
b. Pendapat yang menyatakan bahwa seseorang dibebaskan memilih dan
berpindah-pindah madzhab, dan
c. Pendapat yang menyatakan bahwa perpindahan madzhab boleh
dilakukan asal berada di luar lingkup satu ibadah tertentu.
Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat ketiga adalah yang paling
mutakhir dan merangkum kedua pendapat lainnya. Artinya, seseorang bisa
berpindah madzhab asalkan tidak dalam satu rumpun ibadah. Contoh:
ketika shalatnya mengikuti Madzhab Syafi’i, maka rumpun ibadah yang
berkaitan dengan shalat haruslah mengikuti Madzhab Syafi’i. begitu juga
wudhu yang merupakan syarat sah shalat. Tidak boleh misalnya seseorang
ketika wudhu; membasuh wajah cara Madzhab Syai’i, membasuh tangan
cara Madzhab Maliki, mengusap kepala cara Madzhab Hanafi dan
membasuh kaki cara Madzhab Maliki.16
3. Contoh Talfiq
Dalam masalah berwudhu, seseorang mengikuti madzhab Imam Syafi’i
dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian
dia menyentuh kulit wanita ajnabiyah (bukan mahramnya), setelah itu dia
langsung melaksanakan shalat tanpa berwudhu kembali dengan alasan
mengikuti madzhab Imam Hanafi yang menyatakan bahwa menyentuh
wanita ajnabiyah tidak membatalkan wudhu. 17

III. KESIMPULAN

16
Hilmy Firdausi, 2018, “Bolehkah Melakukan Talfiq”, Harakah Islamiyah : Rujukan Islam Masa Kini
(https://harakahislamiyah.com/konsultasi/bolehkah-melakukan-talfiq-memperadukkan-madzhab), diakses pada 23
September 2019, pukul 21.30 WIB
17
Rasyida al Jasad, 2015, “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Madzhab”, CENDEKIA:Jurnal
Islam, Vol.1 No. 1, 60

8
Dalam mengikuti suatu pendapat, hendaknya kita harus mengetahui dalil atau
alasan dari pendapat yang hendak kita ikuti, hal ini di sebut dengan Ittiba’. Dan
ber ittiba’ adalah anjuran dari Allah Swt. Sehingga hal ini wajib dilakukan.
Sedangkan lawan dari Ittiba’ adalah taqlid, yaitu mengikuti pendapat orang
lain sedangkan kita tidak mengetahui dalil atau alasan dari pendapat/perkataan
yang hendak kita ikuti. sehingga ber taqlid Haram hukumnya, namun para ulama
ada yang berpendapat yang membolehkan taqlid. Dengan dasar tidak
bertentangan dengan syariat Islam baik al-Qur’an dan Sunnah.
Talfiq adalah menggabungkan dua pendapat sekaligus dari madzhab yang
mengatur tentang fiqh. Hal ini boleh dilakukan asalkan tidak dilakukan dalam
satu rumpun ibadah. seperti misalnya dalam berwudhu, dari ke empat madzhab
memiliki pendapat yang berbeda, ketika membasuh bagian-bagian anggota
wudhu. Dan tidak boleh hukumnya untuk menggabungkan pendapat-pendapat
tersebut.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Djalil Basiq A. 2010. Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua. Jakarta: Kencana

Beni, Januri. 2009. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia

Sanusi Ahmad, Sohari. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Jasad al Rasyida. 2015, Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif


Empat Madzhab”. CeENDEKIA:Jurnal Islam, Vol.1 No. 1

Syaikh Abu Abdirrohman Syaroful Haq. Tanpa tahun. Aunul Ma'bud Ala Sunan
Abu Dawud. Arab Saudi: Baitul Afkar Ad-Dauliyah.

Firdausi Hilmy. 2018. “Bolehkah Melakukan Talfiq”, Harakah Islamiyah :


Rujukan Islam Masa Kini (https://harakahislamiyah.com/konsultasi/bolehkah-
melakukan-talfiq-memperadukkan-madzhab

Tim Penyusun. 2014. Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV.


Diponegoro.

As-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats. 1999. Sunan Abu Dawud. al-
Riyadh: Daarussalam.

Home Sweet Home, Hadits Soft, Ver. 4.0.0.0. “Kitab: Makanan, Bab: Makan
buah Labu”, Sunan Abu Dawud.

9
Al-Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul Al-Fiqh Al-Islami. Syria: Dar Al-Fikr.

10

Anda mungkin juga menyukai