Anda di halaman 1dari 22

Yu

MAKALAH POLITIK HUKUM

TENTANG KONFIGURASI POLITIK DAN KARAKTER PRODUK HUKUM

Di susun oleh :

Sintaulan ningsih

M.rahmat hidayat

M.rizal

Sulvandi

Dosen pembimbing: Reski Lestari, S.IP., M.SI

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) BENGKALIS
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunianya kami masih
diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa pula kami ucapkan kepada
dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan
makalah ini.

Kami menyadari dan meyakini bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Masih banyak kekurangan dan kesalahan yang kami sadari ataupun yang tidak kami sadari.
Oleh karna itu kami harapkan kritik dan saran dari makalah ini, agar masa yang akan datang
kami bisa membuat makalah yang lebih baik lagi. Namun begitu, meskipun makalah ini jauh
dari kata sempurna kami berharap agar makalah ini dapat sedikit banyak nya dapat
bermanfaat bagi yang membaca.

Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam pembuatan makalah ini. Demikian sedikit kata pengantar dari kami atas
perhatian para pembaca kami mengucapkan terimakasih.

Bengkalis, 05 maret 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu pula.
Pada dasarnya dapat dinyatakan bahwa hukum adalah produk politik. Sebagaimana yang
dinyatakan satjipto rahardjo bahwa kalau kita melihat hubungan antara subsistem politik
dengan subsistem hukum, akan tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang
lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah (satjipto rahardjo,
1985:71). Pengaruh politik dalam hukum, berarti juga berlaku untuk penegakan hukum,
karakteristik produk hukum, dan proses pembuatan hukum itu sendiri. Pernyataan yang
dikemukakan sebelumnya dapat dilihat pada fakta mengenai hukum tidak selalu sejalan
dengan perkembangan strukturnya, akan tampak jelas jika ukuran pembangunan hukum
diindonesia adalah unifikasi dan kodifikasi hukum, maka pembangunan struktur hukum
telah berjalan dengan baik dan stabil.
Pada priode 1945-1959, konfigurasi politik yang ditunjukkan diera ini adalah
konfigurasi politik demokratis. Kehidupan politik ditandai sebagai demokrasi liberal.
Konfigurasi ini muncul bahwa politik memainkan peran yng sangat dominan dalam proses
perumusan kebijakan melalui negara hukum (parlemen). Dalam era demokrasi terpimpin
tahun (1959-1966), konfigurasi politik yang ditampilkan adalah konfigurasi otoriter. Partai
politik, kecuali partai komunis Indonesia (PKI), tidak memiliki peran politik yang
signifikan dalam priode ini. Secara umum, produk hukum yang dihasilkan diera ini adalah
hukum konservatif. Pada priode 1966-1993, awal orde baru adalah demokrasi. Namun,
orde baru ini akhirnya membentuk konfigurasi otoriter. Eksekutif sangat dominan, press
atau media dikontrol legislative ditandai sebagai Lembaga yang lemah karena telah
ditanamkan ditangan eksekutif melalui golongan karya (golkar) dan Angkatan bersenjata
republik Indonesia (ABRI). Dengan demikian, produk hukum yang dihasilkan adalah
karakter konservatif. Diera reformasi, hukum yang langsung diubah, terutama hukum
publik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan (bukan konstitusi). Berbagai undang-
undang.
2. Rumusan masalah
a. Perkembangan konfigurasi politik
- Periode demokrasi liberal
- Periode demokrasi terpimpin
- Periode orde baru
- Pasang surut dan pasang naik konfigurasi politik
b. Karakter produk hukum
- Hukum pemilu
- Hukum pemda
- Hukum agraria
- Pasang surut dan pasang naik karakter produk hukum
3. Tujuan
Dari beberapa rumusan masalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
penulisan makalah ini diantaranya adalah:
a. Untuk memperkaya ilmu kita sebagai mahasiswa. Sebagai pelengkap tugas
mata kuliah politik hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konfigurasi politik dan karakter produk hukum
1. Perkembangan konfigurasi politik
a) Periode demokrasi liberal
Pada periode 1945-1959 konfigurasi politik yang tampil adalah konfigurasi
politik yang demokratis. Kehidupan politik pada periode ini diceritakan sebagai
demokrasi liberal.1 Didalam konfigurasi yang demikian tampak bahwa partai-partai
yang memainkan peranan yang sangat dominan dalam proses perumusan kebijakan
negara melalui wadah konstitusionalnya (parlemen). Seiring dengan itu Lembaga
eksekutif berada pada posisi yang “kalah kuat” dibandingkan dengan partai-partai
sehingga pemerintahan senantiasa jatuh bangun dan keadaan politik berjalan secara
tidak stabil. Kebebasan pers, bila dibandingkan dengan periode-periode lainnya, dapat
dikatakan berjalan dengan baik bahkan pada periode demokrasi liberal ini peraturan
sensor dan pembreidelan yang berlaku sejak zaman hindia belanda dicabut secara
resmi.2
Mahfud mencontohkan keterkaitan antara konfigurasi politik dengan produk
hukum agrarian nasional. Pada periode 1945-1959 ini segera bermunculan tuntutan
kepada pemerintah untuk membuat produk hukum agrarian nasional yang baru dan
berwatak responsif. Tanggapan pemerintah pada periode ini terdiri atas dua macam,
yaitu pertama, mengeluarkan berbagai UU secara parsial dalam bidang agrarian
peninggalan colonial yang sangat menindas. Dan kedua, membuat rancangan UU
Agraria Nasional untuk menggantikan Agrarische Wet (AW) 1870 melalui beberapa
panitia perancang. Dalam diktum “memutuskan” UUPA disebutkan atas:
 Agrarische wet stb. 1870 No.55 sebagai yang termuat dalam pasal 51 IS
Stb.1925 No.447 dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu.
 Peraturan-peraturan tentang domien verklaring.3
b) Periode demokrasi terpimpin
1
MOELJARTO T. Beberapa Pokok Pemikiran Tentang System Kepartaian Indonesia
(Yokyakarta Seksi Penerbitan Sospol UGM, 1968 ), hal.7

2
Yahya Muhaimin, Bisnis dan politik kebijaksanaan ekonomi indonesia 1950-1980, terj. Hasan Basari dan Muhadi Sugiono
(jakarta: LP3ES, 1990), hal 43.

3
Mufud MD, politik hukum di indonesia , hal 376
Pada periode 1959-1966 konfigurasi politik yang demokratis berakhir pada
tahun 1959, Ketika presiden soekarno mengeluarkan dekrit yang kemudian dianggap
sebagai jalan bagi tampilnya demokrasi terpimpin. Pada era demokrasi terpimpin yang
berlangsung pada tahun 1959-1966 konfigurasi politik yang ditampilkan adalah
konfigurasi yang otoriter. Partai politik, kecuali partai komunis Indonesia (PKI), tidak
mempunyai peran politik yang berarti pada periode ini. Selain soekarno, dua kekuatan
politik yang masih bisa berperan adalah Angkatan darat dan PKI. Tiga kekuatan
politik (soekarno, AD dan PKI) tersebut melakukan Tarik tambang, saling
memanfaatkan sekaligus saling bersaing, tetapi kekuatan terbesar terletak pada
soekarno. Presiden soekarno mengatasi Lembaga-lembaga konstitusional, menekan
partai-partai, dengan menutup kebebasan pers sambal sering membuat peraturan
perundang-undangan yang secara konstitusional tidak dikanal seperti penpres dan
perpres. 4
Mahfud menjelaskan, RUU tentang Agraria Nasional yang berhasil disusun
pada periode 1945-1959 kemudian diundangkan pada awal periode 1959-1966 setelah
diadakan penyesuaian dengan konstitusi dan konfigurasi politik yang baru, yakni UU
No. 5 tahun 1960 atau undang-undang tentang pokok-pokok agrarian (UUPA).5 UUPA
adalah UU yang sangat responsive karena ia merombak seluruh sistem yang dianut
didalam agrarische wet (AW) 1870 dan semua peraturan pelaksananya. Masalah-
masalah mendasar dalam hukum agrarian lama yang dihapus oleh UUPA meliputi
domeiverkelaring, feodalisme, dan hak konversi dalam hukum tanah, serta dualism
hukum. UUPA menegaskan adanya fungsi sosial bagi setiap hak milik atas tanah.6
c) Periode orde baru
Pada periode 1966-1993 ini, atas dasar logika pembangunan yang menekankan
pada bidang ekonimi dan pradigma pertumbuhan, konfigurasi politik didesain untuk
negara kuat yang mampu menjamin dan membentuk negara kuat. Kehidupan politik
yang stabil sengaja diciptakan karena pembangunan ekonomi hanya akan berhasil jika
didukung oleh stabilitas nasional yang mantap.
Pada awalnya orde baru memulai langkahnya secara demokratis. Akan tetapi,
secara pasti lama-kelamaan orde baru membentuk konfigurasi yang cenderung otoriter.
Eksekutif sangat dominan, kehidupan pers dikendalikan, legislative dicirikan sebagai
4
Sultan takdir Alisjahbana, indonesia: social and cultural Revolution, terj. Benedict R Anderson ( kuala lumpur: Oxford
University press, 1966), hal. 173

5
Mufid MH, hukum dan pilar-pilar Demokrasi (yogyakarta: Gama Media, 1999), hal 22.

6
Ibid hal 24
Lembaga yang lemah karena didalamnya telah ditanamkan tangan-tangan eksekutif
melalui golongan karya (golkar) dan Angkatan bersenjata republic Indonesia (ABRI).
Banyak identifikasi teoritis yang diberikan oleh para sarjana untuk menjelaskan realita
kepolitikan orde baru ini. Diantara identifikasi teoritis itu adalah patrimonialisme,
bureaucraric polity, rezim birokratis yang otoriter, dan sebaginya. Akan tetapi dari
sekian banyak penjelasan teoritis itu terdapat satu hal yang sama yakni realita
kepolitikan orde baru bukanlah realita yang demokratis. Oleh karenanya kualifikasi
yang muncul adalah konfigurasi politik dibawah orde baru merupakan konfigurasi non-
demokratis.7
Ketika orde baru lahir pada tahun 1966, diindonesia sudah ada hukum agrarian
nasional yaitu undang-undang tentang pokok-pokok agrarian (UUPA) sehingga sudah
tidak lagi diperlukan lagi sebuah produk hukum agrarian nasional yang baru. Yang
dihadapi pemerintah orde baru dalam bidang agrarian ini adalah tuntutan pembaruan
terhadap beberapa peraturan dalam bidang agrarian yang sifatnya parsial, pembuatan
berbagai peraturan pelaksa yang ternyata lamban, dan proses pembahasan tanah untuk
keperluan pembangunan.8
d) Pasang surut dan pasang naik konfigurasi politik
Konfigurasi politik diindonesia memperlihatkan pasang surut dan pasang naik
secara bergantian antara demokrasi dan otoriter. Tarik menarik konfigurasi politik
dengan karakter produk hukum yang berkarakter responsive populistic dan produk
hukum yang berkarakter ortodoks-konservatif dengan kecenderungan kinier yang sama.
Konfigurasi pada periode ini cenderug otoriter dengan berbagai tipilogi perpolitikan.
Ditahun 1970 an ini lahir berbagai produk hukum seperti UU No. 14 tahun 1970 dan
UU No. 1 tahun 1974 yang berkarakter ortodoks atau konsevatif atau elitis.
2. Karakter produk hukum.
a. Hukum pemilu
 Pemilu dan Partai Politik
Pemilihan umum (PEMILU) merupakan instrument penting dalam
Negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan. Oleh sebab itu, adanya
partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang
demokratis. Hal itu dimaksudkan untuk mengaktifkan pada mobilisasi rakyat,
mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat

7
manuel Kaiseipo, "dari kepolitikan birokratik ke kerporatisme Negara: Birokrasi dan politik di indonesia era Orde
Baru" , dalam Jurnal ilmu politik ( jakarta: AIPI-LIPI dan Gramedia, 1987), hal 29. Dijelaskan, indonesia pada era orde
baru merupakan bentuk pemerintahan sentralistik yang Otoriter

8
Ibid hal 30
yang berlawanan, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik
secara sah dan damai.9

 Wawasan Konstitusional
Semua konstitusi yang pernah berlaku pada periode ini, yaitu UUD
1945, Konstitusi RIS, dan UUDS 1950 menganut paham demokrasi sebagai
salah satu asasnya yang fundamental. Demokrasi yang dianutnya adalah
demokrasi perwakilan. Didalam demokrasi perwakilan ini hak demokrasi
seluruh rakyat dilakukan oleh sebagian dari mereka yang berkedudukan sebagai
wakil. Agar para wakil itu benar-benar bertindak atas nama rakyat maka
pelaksanaanya biasanya menggunakan lembaga pemilihan umum. Alasan lain
mengapa wawasan konstitusional dibawah UUD 1945 dikatakan mengenal
lembaga pemilu, yaitu bahwa menurut UUD hukum dasar yang berlaku bukan
hanya yang tertulis (UUD), tetapi juga yang tidak tertulis (konvensi).10
Berdasarkan cara penafsiran secara historis, kita dapat mencari lembaga
pemilu itu dalam sejarah persidangan BPUPKI. Disini penulis dapat mengambil
contoh ketika soekarno mengusulkan dasar Negara pancasila, terutama ketika
menguraikan sila kerakyatan, pada tanggal 1 Juni 1945 ia sudah menyebut-
nyebutkan tentang pemilihan wakil-wakil rakyat itu. Ia antara lain dengan
bersemangat mengatakan sebagai berikut: “saya yakin syarat mutlak untuk
kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakila... jikalau memang
kita rakyat islam, marilah bekerja sehebat-hebatya, agar supaya sebagain yang
terbesar daripada kursi-kursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan,
diduduki oleh utusan-utusan islam... kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa
tiap-tiap letter didalam peraturan Negara Indonesia menurut injil, bekerjalah
mati-matian, agar supaya sebagian besar utusan-utusan yang masuk badan
perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. 11Bahwa didalam sejarah persidangan
BPUPKI soekarno pernah berbicara seperti itu, berarti sejak awal sudah ada
pemikiran tentang “lembaga pemili” di kalangan para pendiri Negara Republik
Indonesia.12
 Gagasan yang terhalang: RUU pemilu menjadi pimpong
Sejak awal kemerdekaan gagasan untuk menyelenggarakan pemilu
selalu menjadi program pemerintah. Pada tanggal 5 Oktober 1945 sedah
dinyatakan untuk segera diadakan pemilu secara nasional dan ketika pada
tanggal 14 november 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang susunan
kabinet sjahrir II, dicantumkan juga pernyataan bahwa tindakan-tindakan
demokratis yang lain harus segera dilaksanakan adalah mengadakan pemilihan
umum. Setelah keluarnya UU No. 27 Tahun 1948, pemilihan local telah pula
diselenggarakan di Minahasa (1951), Sangir-Talaud (1951), Kota Madya
Makasar (1952), serta Daerah Istimewa Yogyakarta (1951).13

9
Jimli Asshiddiqie, Ke erdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik Dan Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Serikat
Jendral dan kepemimpinan MKRI, 2006) hal 52
10
Carl. J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America. Waltham
Mass: Blaisdell Publishing Company, 1967 hal 419
11
Ibid 420
12
Ibid 421
13
Miriam Budirjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama,2008), hlm. 470
 Peristiwa 17 Oktober 1952 dan UU Pemilu
Saling lempar ‘pimpong’ rencana pemilu akhirnya terhenti dan
mengkristal menjadi UU pemilu setelah terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 yang
terkenal itu. Peristiwa itu merupakan puncak dari perlawanan angkatan perang
(sekarang ABRI) terhadap parlemen yang dianggap terlalu banyak mencampuri
“urusan dapur” angkatan perang. Periwtiwa ini sebenarnya berasal dari program
penghematan pemerintah dalam Kabinet Wilopo. Sementara itu, presiden
soekarno sendiri merasakan pengaruhnya di kalangan tentara semakin berkurang
dengan adanya pemindahan di lingkungan tetara. Colonel bambang supeno yang
memimpin Akademi Chandradimuka di Bandung menuntut soekarno agar
colonel Nasution diganti. Beberapa panglima dikumpulkan tanda tangannya
oleh supeno untuk mendapatkan dukungan. Simatupang melakukab counter aksi
mengadakan pertemuan pangdam untuk meminta pertanggungjawaban supeno
atas tindakan-tindakannya.14
Rapat panglima militer di Jakarta memutuskan membuat pernyataan
kepada presiden dan kepada umum. Disebutkan dalam keputusa itu, bahwa
“melalui saluran-saluran intel dan pribadi-pribadi diusahakan pernyataan-
pernyataan dan aksi-aksi masyarakat.” Usaha “pernyataan” dan “aksi”
masyarakat itu pada tanggaal 17 Oktober 1952 meledakkan demonstreasi
menuntut pembubaran parlemen (DPRS) dan pemilu segera diselenggarakan.
Peristiwa 17 Oktober yang sering disebut “Pemberontakan Setengah Hati” itu
memperlihatkan engan jelas adanya konfrontasi terbuka dari tentara terhadap
DPR. Tentara menuntut pembubaran DPRS tetapi soekarno menolak, sebab
meskipun menurut UUDS 1950 presiden dapat membubarkan parlemen, tapi
dalam tempo 30 hari setelah pembubaran itu harus dibentuk parlemen baru
sehingga dalam waktu singkat harus diselenggarakan pemilu. Kabinet Wilopo
pada tanggal 21 Oktober 1952 dapat menyelamatkan muka dari peristiwa 17
Oktober, ketika memutuskan secara resmi untuk mempercepat pemilihan bagi
anggota konstituante dan DPR. Kemudian pada tanggal 25 November 1952
kabinet itu menyampaikan sebuah rancangan UU dan diundangkan dengan
resmi sebagai UU No. 7 Tahun 1953 tentang pemilihan anggota konstituante
dan anggota dewan perwakilan rakyat. Dalam kaitan ini Feith menyatakan
peristiwa 17 Oktober telah mengakhiri “pingpong” antara kabinet dan
parlemen.15

Demikianlah, rancangan UU pemilu telah dipersiapkan dan disahkan


dalam kabinet wilopo, namun bukan kabinet wilopo yang berkesempatan
menyelenggarakan pemilu itu sebab tidak lama setelah itu kabinet wilopo pun
jatuh. Pemilu baru dapat benar-benar dilaksanakan pada masa kabinet
Burhanuddin Harahap, tepatnya tahun 1955.16

UU No. 7 Tahun 1953


 Cakupan isi

14
Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PSHTN UI, 2005. hal 81
15
Ibid 82
16
Ibid 83
UU No. 7 Tahun 1953 yang biasa dan bisa disebut dengan UU Pemilu mencakup
electoral laws dan pengaturan electoral process. Electoral laws adalah sistem pemilihan
dan perangkat pengaturan yang menata bagaimana pemilu dijalankan serta bagaimana
distribusi hasil pemilu itu. Sedangkan electoral process adalah mekanisme yang dijalankan
dalam pemilu seperti pencalonan, kampanye, cara perhitungan, penentuan hasil, dan
sebagainya. UU No. 7 Tahun 1953 secara rinci mengatur sistem pemilu dan pedoman
mekanisme pemilu yang mencakup electoral laws dan electoral process.17

 Subjek Pemilihan

Pemilu menurut UU No. 7 Tahun 1950 diselenggarakan untuk memilih anggota


konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Hak memilih diberikan kepada
seluruh warga negara Indonesia yang sudah berumur 18 tahun atau yang sudah kawin
(Pasal 1 ayat (1). Yang tidak diperkenankan memilih hanyalah mereka yang tidak terdaftar
dalam daftar pemilih, dicabut hak pilihnya atas putusan dan pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedang menjalani hukuman penjara, serta nyata-
nyata terganggu ingatannya (pasal 2). Anggota ABRI mempunyai hak pilih seperti warga
negara lainnya, tetapi penggunaan hak suaranya dimungkinkan dilakukan pada hari lain
(menyusul) apabila pada jadwal yang ditentukan sedang menjalankan tugas operasi atau
tugas biasa di luar tempat kedudukannya (pasal 3).18

Sistem pemilihan

UU No. 7 Tahun 1953 menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional


representation ) dengan sistem daftar dan sisa suara terbanyak. Hal ini bisa dilihat dari
ketentuan cara penetapan jumlah anggota konstituante dan DPR untuk setiap daerah
pemilihan (adanya sejumlah dukungan suara minimal tertentu untuk mendapatkan satu
kursi), syarat dan cara pencalonan, serta cara pembagian kursi sisa (pasal 15,32,33,36,37).
Penetapan sistem proporsional atau perwakilan berimbang memang lebih tepat diterapkan
di Indonesia. Ada dua sistem pemilu yang sangat umum dikenal, yakni sistem
proporsional dan sistem distrik, lalu sistem mayoritas. sistem proporsional biasanya
diterapkan dalam multipartai, sedangkan sistem distrik biasanya dianggap cocok untuk
sistem dua partai. Ada tiga sistem pemilihan yang dapat dipergunakan diberbagai negara
demokrasi, yaitu sistem mayoritas, sistem pluralitas dan sistem proporsional.

Pada sistem mayoritas sebuah kontestan dinyatakan menang bila mana mampu
mengalahkan lawan-lawannya dengan memperoleh suara yang tidak dapat ditantang oleh
kontestan lainnya, meskipun keseluruhan suara kontestan lawannya digabungkan. Kondisi
mayoritas bagi pemenang berarti bahwa besarnya suara yang diperoleh tidak dapat
dilawan oleh kombinasi suara-suara yang berhasil dihimpun kontestan lain. Sistem
mayoritas ini dipraktikkan Australia untuk pemilihan anggota DPR dan di Amerika Serikat
untuk primary elections (pemilihan pendahuluan).19

Pada sistem pluralitas (yang biasanya disebut sebagai sistemdistrik), seluruh wilayah
negara dibagi-bagi dalam jumlah distrik (sesuai dengan banyaknya kursi yang
17
Imam Suhadi, Pemilihan Umum 1955, 1971, 1977; Cita-cita dan Kenyataan Demokrasi, Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 1981, hlm. 6.
18
Mifta Thoha, Birokrasi Politik di Indonesia, Jakarta: PT RajaGafindo Persada, 2005, hlm.123.
19
Lihat Undang-undang No. 7 Tahun 1953 pasal 15 tentang daerah pemilihan
diperebutkan). Untuk sebuah distrik hanya diperebutkan satu kursi di lembaga perwakilan.
Dalam sistem distrik terdapat konsekuensi atau kecenderungan terjadinya over-
repsentation atau under representation. Over- representation adalah perolehan kursi di
DPR oleh suatu partai pemenang sebenarnya lebih besar daripada suara yang
diperolehnya. 20Sedangkan Under-representation adalah keadaan yang menunjukkan
perolehan kursi oleh suatu partai di lembaga 15,32,33,36,37). Penetapan sistem
proporsional atau perwakilan berimbang memang lebih tepat diterapkan di Indonesia. Ada
dua sistem pemilu yang sangat umum dikenal, yakni sistem proporsional dan sistem
distrik, lalu sistem mayoritas. sistem proporsional biasanya diterapkan dalam multipartai,
sedangkan sistem distrik biasanya dianggap cocok untuk sistem dua partai. Ada tiga sistem
pemilihan yang dapat dipergunakan diberbagai negara demokrasi, yaitu sistem mayoritas,
sistem pluralitas dan sistem proporsional. Pada sistem mayoritas sebuah kontestan
dinyatakan menang bila mana mampu mengalahkan lawan-lawannya dengan memperoleh
suara yang tidak dapat ditantang oleh kontestan lainnya, meskipun keseluruhan suara
kontestan lawannya digabungkan. Kondisi mayoritas bagi pemenang berarti bahwa
besarnya suara yang diperoleh tidak dapat dilawan oleh kombinasi suara-suara yang
berhasil dihimpun kontestan lain. Sistem mayoritas ini dipraktikkan Australia untuk
pemilihan anggota DPR dan di Amerika Serikat untuk primary elections (pemilihan
pendahuluan).21

Pada sistem pluralitas (yang biasanya disebut sebagai sistemdistrik), seluruh


wilayah negara dibagi-bagi dalam jumlah distrik (sesuai dengan banyaknya kursi yang
diperebutkan). Untuk sebuah distrik hanya diperebutkan satu kursi di lembaga perwakilan.
Dalam sistem distrik terdapat konsekuensi atau kecenderungan terjadinya over-
repsentation atau under representation. Over- representation adalah perolehan kursi di
DPR oleh suatu partai pemenang sebenarnya lebih besar daripada suara yang
diperolehnya. Sedangkan Under-representation adalah keadaan yang menunjukkan
perolehan kursi oleh suatu partai di lembaga perwakilan yang lebih kecil dari pada
proporsi perolehan suara ditingkat nasional. Karena konsekuensi over dan under
representation itu maka sejumlah ilmuwan dan politisi merasa keberatan dengan sistem
distrik (single member district/plurality types). John stuart Mill misalnya menyatakan
keberatannya karena dua alasan. Pertama, perrwakilan diperuntukkan secara proporsional
bagi seluruh suara disetiap pemilihan, tidak hanya untuk dua partai besar saja, tetapi juga
bagi kelompok- kelompok minoritas yang ada. Kedua, tidak seorang pun diantara pemilih
yang rela diwakili oleh wakil yang tidak ia pilih. Oleh karena itu pada dekade awal abad
ke-20 banyak negara menerapkan sistem perwakilan proporsional /berimbang
(proportional representation).22

 Asas-Asas Pemilihan

Dari ketentuan pasal 35 UUDS 1950 dan muatan lengkap) UU No. 7 Tahun 1953,
dapat dikeluarkan asas-asas : umum, periodik, jujur, berkesamaan (adil), bebas, rahasia,
dan langsung. Penjelasan autentik terhadap asas tersebut tidak eksplisit, melainkan dapat,

20
Ibid hal 4
21
Ibid hal 5
22
Komisi pemilihan umum, Nuansa Pemilihan Umum, hlm. 31.
ditafsirkan dari muatan UU No. 7 Tahun 1953 atau dari pengertian yang secara umum
sudah dipahami.23

 Pengorganisasian

UU. No 7 Tahun 1953 mengatur secara rinci mengenai pengorganisasian atau


kepanitiaan. Pasal 17 menentukan adanya 5 tingkat kepanitiaan, yaitu, Panitia Pemilihan
Indonesia tingkat Nasional, Panitia Pemilihan Tingkat Daerah, Panitia Pemilihan Tingkat
Kabupaten, Panitia Pemungutan Suara untuk tingkat Kecamatan, dan Panitia.24

 Peraturan Tentang Kampanye

Dalam UU No. 7 Tahun 1953 tidak dimuat ketentuan kampanye. Dalam kaitan ini
Wilopo menulis, “Mengenai kampanye pemilihan umum itu sendiri, jika kita lakukan
pengamatan secara keseluruhan dengan melihat soal-soal atau tema yang diketengahkan,
maka sesungguhnya merupakan perdepatan antara partai pemerintah dan partai oposisi
atau dapat dikatakan yang menonjol ialah antara PNI dan Masyumi, yaitu dua partai utama
pada waktu itu.25

 Sistem Pengangkatan

Menurut UU No. 7 Tahun 1953, memungkinkan adanya pengangkatan untuk anggota


DPR dan konstituante, yakni bilamana terjadi tiga hal: Jika ada kursi yang tidak terisi
setelah diusahakan pembagian sisa kursi berdasarkan suara yang diperoleh oleh daftar
calon. Jika ada daerah yang tidak dapat menyelenggarakan pemilihan pada waktu yang
ditentukan (pengangkatan berlaku sampai selesai pemiliha susulan). Jika suara yang
diperoleh golongan minoritas Cina, Eropa dan kurang dari jatah kursi minimal menurut
pasal 58 dan 135 UUDS 1950.26

 Delegasi Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah adalah salah satu bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah
berdasarkan delegasi perundang-undangan. Artinya pembuat UU memberikan delegasi
kepada pemerintah untuk membuat peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan suatu
UU.27

 Pelaksanaan dan Hasil Pemilu

Pemilu 1955 berlangsung secara sangat fair dan dapat manghasilkan konstituante
dan DPR yang lebih dari 75% anggotanya adalah orang-orang baru. Mohammad Roem
menulis, bahwa pemilu 1955 sudah dilaksankan dengan sangat baik, hak pilih dan hak
dipilih sebagi hak asasi diakui dan dilaksanakan dengan sebebas-bebasnya, dan dengan
rule of the game yang dihormati oleh semua golongan dan dilindungi oleh penguasa secara
adil. Wilopo mengatakan, pemilu diselenggarakan tepat seperti yang dijadwalkan dan
23
Harmaily Ibrahim, S.H, Pemilihan Umum Di Indonesia (Himpunan Pemikiran), Jakarta: C.V. Sinar Bakti, 1981, hlm. 79.
24
Arbi Sanit, op.cit., hlm 84
25
Harmaily Ibrahim, S.H, op.cit,. hlm. 84
26

27
Dalam pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat,
hal ini dipertegas dengan lagi dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”
berhasil baik, jika diingat bahwa itu adalah pengalaman pertama bagi bangsa Indonesia.
Watak demokratis dan sikap fair pemerintah pada pemilu 1995 dapat disimpulkan dari
fakta bahwa pemilu itu berlangsung tanpa adanya campur tangan dan rekayasa dari
pemegang status quo. Artinya berjalan sesuai dengan ketentuan electoral laws dan
electoral processesnya.28

b. Hukum pemda
Demokarsi, Desentralisasi dan Negara Hukum Studi tentang pemerintahan daerah
(pemda) adalah asas otonomi dan pelaksanaan desentralisasi dalam hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Yamin mengatakan “Susunan tata negara yang
demokratsis membutuhkan pemecahan kekuasaan pemerintahan pada bagian pusat sendiri
dan pula membutuhkan pembagian kekuasaan antara pusat dengan daerah. Asas demokrasi
dan desentralisasi tenaga pemerintahan ini berlawanan dengan asas hendak
mengumpulkan segala- galanya pada pusat pemerintahan”. 29 Hatta juga mengatakan hal
yang sama “ Menurut dasar kedaulatan rakyat, hak rakyat untuk menentukan nasibnya
tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di
kota, desa dan didaerah. Dengan keadaan yang demikian, maka tiap-tiap bagian atau
golongan rakyat mendapat otonomi (membuat dan menjalankan peraturan-peraturan
sendiri) dan zelfbestuur (menjalankan peraturan-peraturan yang dibuat oleh dewan yang
lebih tinggi). Tocqueville seperti dikutip Rienow mengatakan suatu pemerintahan merdeka
tanpa semangat membangun instusi pemerintahan tingkat daerah sama artinya dengan
tidak mempunyai semangat kedaulatan rakyat, karena tidak ada semangat kebebasan.
Rienow mengatakan ada dua alsan pokok dari kebijaksanaan bentuk pemerintahan
ditingkat daerah. Pertama, membangun kekuasaan agar rakyat memutuskan sendiri
berbagai kepentingan yang berkaitan langsung dengan mereka. Kedua, memberiakan
kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan yang berbeda
untuk membuat aturan-aturan dan programnya sendiri.
Ada tiga factor yang memperlihatkan kaitan erat antara desantralisasi dengan
demokrasi, yaitu Untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty). Untuk menumbuhkan
kebiasaan rakyat memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang bersangkutan langsung
dengan mereka. Untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat
yang mempunyai tuntutan yang berbeda. Hubungan Kekuasaan antara Pusat dan Daerah
Dari sudut hukum, Wolfhoff mengatakan kekuasaan adalah hak mengambil tindakan yang
wajib ditaati. Kekuasaan dapat dipandang dari sudut formal dan sudut materil. Dilihat dari
sudut formal, maka kekuasaan adalah jawaban atas pertanyaan tentang siapa dan organ
mana yang berhak mengambil tindakan itu serta formalitas apa yang harus dipenuhi agar
tindakan itu sah. Dan dari sudut materil, maka kekusaan adalah jawaban atas pertanyaan
tentang bagaimana sifat-sifat tindakan Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau
kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan, sehingga daerah otonom diberi kebebasan atau
kemandirian sebagai wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Otonomi merupakan pemberian kebebasan untuk mengurus rumah tangganya sendiri,
tanpa mengabaikan kedudukan pemerintah daerah sebagai aparat pemerintah pusat untuk
menyelenggarakan urusan-urusan yang ditugaskan kepadanya. Daerah harus dipandang
dalam dua kedudukan, yaitu sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas

28
Mohammad Roem, Tinjauan Pemilihan Umum I dan II dari Sudut Hukum, Bandung: Hudaya Dokumenta, 1971, hlm. 8.
29
Ni’matul Huda ,Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung : Nusa Media, 2009), h. 43
otonomi dan sebagai agen pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat
didaerah.30
Hubungan kekuasaan antara pusat dan dan daerah berdasarkan atas tiga asas yaitu,
asas desentralisasi, dekonsentrasi dan asas pembantuan. Dalam asas desentralisasi ada
penterahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat
mengambil prakarsa sepenuhnya baik yang menyangkut policy, perencanaan, pelaksanaan,
maupun pembiayaannya. Pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan
wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan
pemerintah pusat dalam arti bahwa policy, perencanaan maupun biaya menjadi tanggung
jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertudas
melaksanakan. Dan asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk
melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi
pemerintah setempat (daerah) memperoleh tugas dan wewenang untuk membantu
melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat.31
Cara dan Cakup Otonom Bagaimana notonomi diberikan dan bagaimana batas
cangkupannya, para sarjana mengidentifikasi kedalam tiga ajaran yaitu, nonformal,
material dan nyata (rill). Asas otonomi formal Dalam asas otonomi formal pembagian
tugas, wewenang dan tanggung jawab antara pusat dan daerah untuk mengatur rumah
tangganya masing-masing tudak terinci dalam undang-undang. Pandangan dalam asas ini
adalah bahwa tidak ada perbedaan sifat antara urusan yang diselenggarakankan oleh pusat
dan daerah. Pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab semata-mata berdasarkan
atas keyakinan bahwa suatu urusan pemerintahan aka berhasil baik, jika diurus dan diatur
oleh satuan urusan pemerintahan tertentu dan sebaliknya.
Asas otonomi material Asas otonomi material membuat secara rinci (didalam
peraturan perundang-undangan) pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab antara
pusat dan daerah. Titik tolak pemikiran tas otonomi material adalah adanya perbedaan
mendasar antara urusan pemerintah ousat dan pemerintah daerah. Asas otonomi material
memiliki kelemahan, yaitu berpangkal pada pikiran yang keliru yaitu anggapan bahwa
urusan pemerintahan dapat dirinci dan piliah-pilah. Kelemahan lain dari asas ini adalah
daerah hanya mempunyai peluang kecil untuk segera menyesuaikan diri dengan perubahan
keadaan yang mungkin menurut pemindahan penanganan urusan yang telah dibagi-bagi.
Asas otonomi riil, Asas rill adalah jalan tengah antara asas otonomi formal dan asas
otonomi material. Dan dalam asas rill, penyerahan urusankepada daerah otomoni
berdasarkan pada factor-faktor riil. Dalam asas riil, asas materil berperan memberikan
kepastian sejak awal mengenai urusan daerah. Melalui asas materil, urusan pangkal
diserahkan dan dikembangkan dengan asas formal yang lebih memberi kebebasan dan
kemandirian. Aspek asas otonomi materil dalam bentuk penyerahan urusan pangkal, di
samping aspek sistem rumah tangga formal, menjadi salah satu cirri yang membedakan
asas otonomi riil dari asas otonomi lainnya.
Keputusan PPKI, UU Desentralisasi di negara Republik Indonesia segera lahir
menyusul proklamasi kemerdekaan. Alasan pembentukan UU tersebut adalah paham
kedaulatan rakyat yang dianut oleh negara yang baru merdeka ini. Kelahiran UU ini bisa
ditelusuri dari sejarah pembentukan dan perkembangan komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) yang semula berdasarkan pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, berkedudukan

30
Ibid hal 44
31
Ibid 45
sebagai pembantu presiden dalam mengemban tugas sebagai lembaga-lembaga negara
(MPR, DPR, DPA) yang belum dapat dibentuk sesuai dengan amanat UUD pada awal-
awal kemerdekaan itu.32
UUD 1945 hanya mengatur masalah pemda dalam 1 pasal, yakni, pasal 188 yang
berbunyi : “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil. Dengan bentuk
sesuai pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-
usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Peralihan UUD 1945. Tetapi
perkembangan politik ketika itu membuat pemerintah mengeluarkan maklumat No. X
Tahun 1945, yang mengubah fungsi dan kedudukan KNIP, dari pembantu presiden
menjadi lembaga legislatif dan kedudukannya sehari-hari dilakukan oleh sebuah Badan
Pekerja (BP). BP-KNIP inilah yang kemudian mensponsori dikeluarkannya UU. No. 1
Tahun 1945 yang merupakan UU Desentralisasi pertama dalam sejarah Republik
Indonesia. Presiden Suekarno pada tanggal 23 Agustus 1945 berpidato dan menyerukan
agar didaerah-daerah segeradibentuk komite Nasional. “dirikanlah Komite Nasional di
Jakarta dan seluruh tempat-tempat di Indonesia”, kata Suekarno dalam pidatonya itu.
Bahkan di beberapadaerah di bentuk juga komite nasional di tingkat desa. Komite nasional
tersebut tetap bersetatus sebagai pembantu pemerintah pada tingkat masing-masing,
sampai keluarnya maklumat No. X tahun 1945 tanggal 16 Oktober 1945.
Tujuan dikeluarkanya UU No. 1 Tahun 1945 adalah untuk menarik kekuasaan
eksekutif dari tangan komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Penarikan tersebut
disebabkan, antara lain oleh adanya dualisme pemerintahan di daerah. Oleh sebab itu,
KNID perlu dijelmakan menjadi Badan Perwakilan Rakyat untuk sementara, yakni sampai
terbentuknya Badan Perwakilan Rakyat berdasarkan pemilihan umum. Berdasarkan
penjelasan pasal 1, KNID dibentuk ditingkat keresidenan, kota, dan kabupaten, diadakan
KNID. Tetapi jika ada tingkat lain yang menghendaki adanya KND, maka dapat
mengusulkan kepada mentri dalan negeri yang nantinya akan mempertimbangkan
kelayakanya.Beberapa faktor politis lain yang mendorong lainya UU tersebut dicatat oleh
kahin: pertama, secara umum untuk menertibkan KNID. Kedua, untuk membuka jalan
bagi pemerintah pusat melakukan pengawasan terhadap KNID. Ketiga, untuk menjamin
keserasian dalam pelaksanaan kegiatan antara pusat dan daerah. Keempat, untuk
mengurangi untuk kekuatan KNID yang menentang pemerintahan pusat . perwakilan yang
lebih kecil dari pada proporsi perolehan suara ditingkat nasional. Karena konsekuensi over
dan under representation itu maka sejumlah ilmuwan dan politisi merasa keberatan dengan
sistem distrik (single member district/plurality types). John stuart Mill misalnya
menyatakan keberatannya karena dua alasan. Pertama, perrwakilan diperuntukkan secara
proporsional bagi seluruh suara disetiap pemilihan, tidak hanya untuk dua partai besar
saja, tetapi juga bagi kelompok- kelompok minoritas yang ada. Kedua, tidak seorang pun
diantara pemilih yang rela diwakili oleh wakil yang tidak ia pilih. Oleh karena itu pada
dekade awal abad ke-20 banyak negara menerapkan sistem perwakilan proporsional
/berimbang (proportional representation).
Asas-Asas Pemilihan Dari ketentuan pasal 35 UUDS 1950 dan muatan lengkap)
UU No. 7 Tahun 1953, dapat dikeluarkan asas-asas : umum, periodik, jujur, berkesamaan
(adil), bebas, rahasia, dan langsung. Penjelasan autentik terhadap asas tersebut tidak

32
Inu Kencana Syafei, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011), hal 57
eksplisit, melainkan dapat, ditafsirkan dari muatan UU No. 7 Tahun 1953 atau dari
pengertian yang secara umum sudah dipahami.33
Pengorganisasian UU. No 7 Tahun 1953 mengatur secara rinci mengenai
pengorganisasian atau kepanitiaan. Pasal 17 menentukan adanya 5 tingkat kepanitiaan,
yaitu, Panitia Pemilihan Indonesia tingkat Nasional, Panitia Pemilihan Tingkat Daerah,
Panitia Pemilihan Tingkat Kabupaten, Panitia Pemungutan Suara untuk tingkat
Kecamatan, dan Panitia. UU No. 22Tahun 1945. Salah satu kesimpulan dan realitas politik
dari hadirnya UU No. 1 Tahun 1945 adalah adanya dualisme kekuasaan eksekutif didaerah
yang menimbulkan persoalan. Sifat dualism itu dapat dilihat dalam tiga dimensi. Jenis
pemerintahan, Dualisme pemerintan, Peraturan per undang undangan.
Susunan Pemerintahan di Daerah Asas Otonominya Pengawasan produk legislasi
UU No. 1 tahun 1957
- Kesulitan Realisasi UU No. 22 Tahun 1948 UU ini mencita-citakan penghapusan
“pererbedaan” cara penyelenggaraan pemerintahan daerah antara jawa-Madura
dan luar jawa-madura yang bertujuan membangun uniformitas diseluruh
Indonesia. Selain itu, bertujuan menghapuskan dualism pemerintahan dalam
pemerintahan daerah dan memberi hak otonomi medebewind seluas-luasnya pada
daerah yang tersusun secara demokratis atas dasar permusyswaratan.
- Kenyataannya UU No. 22 Tahun 1948 baru dapat berlaku setelah dibentuk
berbagai provinsi, kabupaten, kota besar, dan kecil, dijawa dan Sumatra,
sedangkan di Indonesia timur berlaku UU desentralisasi yang sengaja di ciptakan
oleh belanda Negara bagian yang di bentuknya.
- Meskipun semula dimaksudkan untuk mengatasi berbagai dualisme dalam UU
No. 1 Tahun 1945, setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 1948, sifat dualism
dalam pemerintahan didaerah masih ada.

Program dari Kabinet ke Kabinet UUDS 1950 yang dipakai sebagai UUD sementara
sebelum terbentuknya UUD permanen (ketika Indonesia secara progresif kembali menjadi
Negara kesatuan) memberikan pokok-pokok pengaturan tentangn desentralisasi.

 Cakupan dan pokok-pokok isinya UU No. 1 Tahun 1957 tanggal 18 januari 1957
diberi nama UU tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. UU ini terdiri dari 9
bab dan 76 pasal yang dimuat dalam Nomor urut 6 lembaran Negara 1957, serta
seluruh naskah penjelasan yang dimuat dalam tambahan lembaran Negara No.
1143. Asas otonomi dan pembatasan umumnya
 Sebagai UU yang berinduk pada UUDS 1950 maka UU No. 1 Tahun 1957
menganut asas yang ditetapkan UUD induknya yakni “otonomi yang seluas-
luasnya” yang diwujudkan dalam asas otonomi yang nyata.
 Pembatasan atas prinsip seluas-luasnya hanya menyangkut hal-hal yang oleh
undang-undang diserahkan kepada instansi yang lebih tinggi atau setelah diatur
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, seperti yang dimuat
didalam pasal 38, maka pembatasan-pembatasan. Itu meliputi
 Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang
lebih tinggi tingkatnta atau kepentingan umum,Peraturan daerah tidak boleh
mengatur pokok-pokok yang diaturnya kemudian diatur dalam perundangan yang

33
Ibid hal 58
lebih tinggi tingkatnya Suatu peraturan daerah dengan sendirinya tidak berlaku
lagi jika pokok-pokok yang diaturnya kemudian diatur dalam peraturan
perundangan yang lebih tinggi tingkatnya.
 Jika dalam suatu perundangan yang lebih tinggi tingkatnya itu hanya diatur hal-
hal yang telah diatur dalam suatu peraturan daerah, mka peraturan daerah ini
hanya tidak berlaku lagi sekedar mengenai hal-hal itu.
 Dengan adanya batasan-batasan pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya itu,
maka dapat dipahami bahwa dalam desentralisasi itu keutuhan dan kepentingan
negara dijadikan sebagai batas umum. 34
b. Hukum agrarian

Membanjirna tuntutan pembaruan Penulusuran dan analisis normatif hukum agraria


pada zaman Hindia Belanda telah menunjukan bahwa hukum agraria zaman kolonial sangat
exploitatif, dualistik, feodalistik. Dengan asas domein verkalaring yang meyertainya, jelas
sangat bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masarakat.
Pemerintah republik indonesia yang baru merdeka dibanjiri tuntutan untuk mempelajari
kembali secara seksama terhadap peraturan perundang-undangan agraria lama dan melakukan
pembaruan dengan mengeluarkan perundang-undang baru. Seperti ternyata dari pembolehan
pasal II aturan peralihan UU 1945 yang menentukan, bahwa peraturan perundang-undang
yang ditinggalkan oleh kolonialisme Belanda masih tetap dapat diberlakukan selama
pemerintah belum dapat memproduk hukum-hukum baru yang sesuain dengan jiwa
kemerdekaan.35

Dua jalur langkah pembaruan Pada periode 1945- 1959 pemerintah belum berhasil
membuat UU agraria nasional yang bulat sebagai pengganti agrarische wet 1870. Ada dua
kendala pokok yang dihadapi oleh pemerintah saat itu untuk melahirkan UU agraria nasional
yang bulat dan komprehensif. Pertama,ke luar harus mempertahankan kedaulatan negara dari
usaha Belanda untuk merebutnya kembali. Kedua kedalam harus menyusun aparatur dan
administrasi pemerintahan menurut UUD berta membangun stabilitas dan melancarkan
kehudupan ekonomi negara.

Produk hukum agraria dibedakan dua :

- Pertama, pengundangan berbagai peraturan agraria yang bersifat persial, artinya


menyangkut bagian-bagian tertentu dari lingkup hukum agraria dan kedua,
membentuk panatia-panatia perancang UU Agraria yang bulat dan bersifat nasional.
- Untuk memberi warna nasional bagi hukum agraria yang berlaku di indonesia,
sebelum dapat menghasilkan UU agraria nasioanal yang bulat dan konprehensif,
pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan dalam
bidang agraria yang sifatnya parsial artinya yang menyangkut bagian-bagian tertentu
saja dari cakupan hukum agraria.

Peraturan perundang-undang menyangkut hal-hal sebagai berikut:

 Penghapusan Hak Konveksi dengan UU No. 13 tahun 1948 yang

kemudian dilengkapi UU No. 5 tahun 1950.


34
Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, (Jakarta : PT.Grasindo, 2010), hal 34
35
Pulzer, Karl J., Sangketa Agria : Pengusaha Perkebunan Melawan Petani ( Jakarta: Pustaka Harapan, 1991), hal 41.
 Penghapusan Tanah partikelir dengan UU No. 1 Tahun 1958.
 Perubahahan peraturan persewaan tanahraakyat dengan UU darurat No. 6 Tahun 1951
yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No. 6 Tahun 1952.
 Penambahan peraturan dalam pengawasan pemindahan hak atas tanah dengan UU No.
24 1954.
 Penaikan besarnya canon dan cijns dengan UU No. 78 tahun 1957.
 Larangan dan penyesuain pemakaian tanah tanpa izin dengan UU darurat No. 8 tahun
1954,kemudian diubah dan ditambah dengan UU darurat No. 1 tahun 1956, serta
berbagai peraturan perundang- undangan lain.
 Peraturan perjanjian bagi hasil dengan UU No.2 tahun 1960.
 Pengadilan tugas-tugas tentang wewenang agraria dengan kepres No. 55 tahun 1955
dan UU No. 7 tahun 1958.
 Panitia-panitia Perancang UU Agraria Perjalanan gagasan dan rancangan-rancangan
pokok-pokok 1945- 1959: Panitian Agraria Yogya, Panitia ini dibentuk pada tahun
1948 di ibukota republik Indonesia, Yogyakarta.pembentukannya dilakukan dengan
penetapan presiden No.16 tahun 1948. Panitia agraria Jakarta pada tanggal 19 Maret
1951 dengan Kepres No. 36 tahun 1951, panitia agraria Jogjakarta dibubarkan dan
digantikan dengan panitia baru yakni panitia agraria Jakarta yang tetap diketuai oleh
Sarimin Reksodihardjo dengan wakil ketua Sadjarwo. Panitia agraria Jakarta
menghasilkan beberapa kesimpulan untuk petani kecil :
- Perlu penetapan batas minimum (diusulkan).
- perlu penetapan batas maksimum (diusulkan).
- yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya WNI.
- untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum : hak milik, hak
usaha, hak sewa dan hak pakai.
- pengakuan hak rakyat oleh atas nama kuasa UU. c. Panitia Suwardjo panitia
dibentuk untuk melangkah lebih lanjut dalam upaya pembentukan hukum
agraria yang baru sesuai dengan ketentuan pasal 26, pasal 37 (1) dan pasal 38
(3) UUDS 1950
 Rancangan Soenardjo, Rancangan yang diajukan kepada DPR tanggal 24 april 1958
disebut rancangan Soenardjo karena pada saat itu mentri agraria yang mewakili
pemerintah mengajukan RUU itu kepada DPR adalah Soenardjo. Setelah dibahas
pada sidang pleno DPR melalui tingkat pemandangan umum babak pertama, DPR
membentuk panitia sebuah ad hock yang diketuai oleh A.M Tambunan dengan tgas
menghimpun bahan-bahan yang lebih lengkap.36

36
Urip Santoso, Hukum Agraria : Kajian Komprebensib (jakarta : presada Media, 2012), hal 49
BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
 Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu
pula. Pada dasarnya dapat dinyatakan bahwa hukum adalah produk politik.
 Pada periode 1945-1959 konfigurasi politik yang tampil adalah konfigurasi
politik yang demokratis. Kehidupan politik pada periode ini diceritakan
sebagai demokrasi liberal.
 Pada periode 1959-1966 konfigurasi politik yang demokratis berakhir pada
tahun 1959, Ketika presiden soekarno mengeluarkan dekrit yang kemudian
dianggap sebagai jalan bagi tampilnya demokrasi terpimpin.
 Pada periode 1966-1993 ini, atas dasar logika pembangunan yang
menekankan pada bidang ekonimi dan pradigma pertumbuhan, konfigurasi
politik didesain untuk negara kuat yang mampu menjamin dan membentuk
negara kuat.
 Konfigurasi politik diindonesia memperlihatkan pasang surut dan pasang naik
secara bergantian antara demokrasi dan otoriter. Tarik menarik konfigurasi
politik dengan karakter produk hukum yang berkarakter responsive populistic
dan produk hukum yang berkarakter ortodoks-konservatif dengan
kecenderungan kinier yang sama.

b. Saran
Demi kecintaan ilmu pengetahuan, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang dapat membangun demi perbaikan makalah ini dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

MOELJARTO T. Beberapa Pokok Pemikiran Tentang System Kepartaian Indonesia


(Yokyakarta Seksi Penerbitan Sospol UGM, 1968 ), hal.7

Yahya Muhaimin, Bisnis dan politik kebijaksanaan ekonomi indonesia 1950-1980, terj. Hasan Basari dan
Muhadi Sugiono (jakarta: LP3ES, 1990), hal 43.

Mufud MD, politik hukum di indonesia , hal 376

Sultan takdir Alisjahbana, indonesia: social and cultural Revolution, terj. Benedict R Anderson ( kuala
lumpur: Oxford University press, 1966), hal. 173

Mufid MH, hukum dan pilar-pilar Demokrasi (yogyakarta: Gama Media, 1999), hal 22.

manuel Kaiseipo, "dari kepolitikan birokratik ke kerporatisme Negara: Birokrasi dan politik di indonesia era
Orde Baru" , dalam Jurnal ilmu politik ( jakarta: AIPI-LIPI dan Gramedia,
1987), hal 29. Dijelaskan, indonesia pada era orde baru merupakan bentuk
pemerintahan sentralistik yang Otoriter

Jimli Asshiddiqie, Ke erdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik Dan Mahkamah Konstitusi (Jakarta:
Serikat Jendral dan kepemimpinan MKRI, 2006) hal 52

Carl. J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America.
Waltham Mass: Blaisdell Publishing Company, 1967 hal 419

Miriam Budirjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama,2008), hlm. 470

Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PSHTN UI, 2005. hal
81

Imam Suhadi, Pemilihan Umum 1955, 1971, 1977; Cita-cita dan Kenyataan Demokrasi, Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1981, hlm. 6.

Mifta Thoha, Birokrasi Politik di Indonesia, Jakarta: PT RajaGafindo Persada, 2005, hlm.123.

Lihat Undang-undang No. 7 Tahun 1953 pasal 15 tentang daerah pemilihan

Komisi pemilihan umum, Nuansa Pemilihan Umum, hlm. 31.

Harmaily Ibrahim, S.H, Pemilihan Umum Di Indonesia (Himpunan Pemikiran), Jakarta: C.V. Sinar Bakti,
1981, hlm. 79.

Arbi Sanit, op.cit., hlm 84

Harmaily Ibrahim, S.H, op.cit,. hlm. 84

Dalam pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang
berkedaulatan rakyat, hal ini dipertegas dengan lagi dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:
“Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat”

Mohammad Roem, Tinjauan Pemilihan Umum I dan II dari Sudut Hukum, Bandung: Hudaya Dokumenta,
1971, hlm. 8.

Ni’matul Huda ,Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung : Nusa Media, 2009), h. 43

Urip Santoso, Hukum Agraria : Kajian Komprebensib (jakarta : presada Media, 2012), hal 49

Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, (Jakarta : PT.Grasindo,
2010), hal 34
Pulzer, Karl J., Sangketa Agria : Pengusaha Perkebunan Melawan Petani ( Jakarta: Pustaka Harapan, 1991),
hal 41.
Inu Kencana Syafei, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011), hal 57
Mohammad Roem, Tinjauan Pemilihan Umum I dan II dari Sudut Hukum, Bandung: Hudaya Dokumenta,
1971, hlm. 8.

Ni’matul Huda ,Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung : Nusa Media, 2009), h. 43

Anda mungkin juga menyukai