Anda di halaman 1dari 15

A.

DEFINISI DAN PENSYARIATAN HIBAH


Hibah mencakup hadiah dan sedekah, karena hibah, sedekah, hadiah, dan'athiyah
mempunyai makna yang hampir sama.
- Sedekah => bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan memberikan
sesuatu kepada orang yang membutuhkan.
- Hadiah => memberi kepada orang yang layak mendapatkan hadiah sebagai
penghormatan dan untuk menciptakan keakraban
- Hibah => pemberian sukarela.
- 'Athiyah => pemberian seseorang yang dilakukan ketika dia dalam keadaan sakit
menjelang kematian.

Hibah menurut syara’ ialah akad pemberian kepemilikan kepada orang lain tanpa
adanya ganti, yang dilakukan secara sukarela ketika pemberi masih hidup.

Hibah disyariatkan dan dianjurkan berdasarkan firman Allah SWT.

"Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu
dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati."
(an-Nisaa':4)

"Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang
miskin,orang-orang yang dalam perjalanan (musafir)." (al-Baqarah: 177)

Juga berdasarkan sabda Rasulullah,

"Hendaklah kalian saling memberi maka kalian akan saling mencintai.”

“Janganlah seorang tetangga wanita menganggap hina pemberiannya kepada


tetangga wanitanya, walaupun sekadar ujung kaki seekor kambing"

Merupakan kesunnahan juga untuk membalas hibah dari orang lain apabila orang yang
diberi bisa melakukannya. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dari
Aisyah r.a., dia berkata, "Rasulullah menerima hadiah dan memberi imbalan
terhadapnya."
B. RUKUN HIBAH
Hanafiyah : diambil dari pasal 837 dari al-Majallah menyatakan bahwa hibah berlangsung
dengan adanya ijab dan qabul, lalu ia menjadi sempurna dengan adanya pengambilan
barang dari orang yang diberi.
Jumhur ulama : orang yang memberi (al-waahib), orang yang diberi (al-mauhuub
lah),benda yang diberikan (al-mauhuub), dan sighat (ijab qabul).
Waahib, dia adalah pemilik barang ketika dalam kondisi sehat dan memiliki
kewenangan untuk melakukan tindakan terhadap urusannya. Jika ada orang yang sakit
menghibahkan sesuatu kepada orang lain kemudian setelah itu dia mati, maka menurut
jumhur ulama, hibahnya itu masuk dalam sepertiga warisannya. Adapun orang yang diberi
(al-mauhuub lah) maka bisa siapa saja.
Al-mauhuub adalah semua yang dimiliki oleh pemberi.
Sighah adalah semua yang bisa berimplikasi pada ijab dan qabul, baik berupa perkataan
maupun perbuatan, seperti lafal hadiah, hibah, pemberian dan sejenisnya. Ijab bisa
dilakukan sarih, pada waktu itu juga, dan berlaku tanpa ada batasan. Adapun jika ia
disertai dengan suatu batasan, maka batasan itu bisa berupa waktu, syarat atau manfaat.
Pemberian dengan batas waktu (‘umra) tidak dibenarkan.
Hibah tidaklah batal dengan adanya syarat yang batil. Abu Hanifah dan Muhammad,
Abu Yusuf para ulama Mazhab Syafi'i dan para ulama Mazhab Hambali mereka
membolehkan ‘umra dan mengatakan tidak sah ruqba (jika seorang pemberi berkata
kepada orang yang dia beri, "jika saya meninggal sebelum kamu, maka barang itu menjadi
milikmu. Namun jika engkau meninggal sebelum saya, maka barang itu adalah milikku."
Hal ini disebut dengan ruqba karena masing-masing menanti dan mengharap rekannya
meninggal lebih dahulu). Adapun para ulama Mazhab Maliki membolehkan pemberian
secara 'umra, dan mereka tidak membolehkan pemberian secara ruqba.
Contoh ijab yang dibatasi pada manfaat saja (minhah) adalah jika seseorang berkata,
"Hadzihi ad-daarlaka sukna (Rumah ini untukmu untuk engkau tempati)" Demikian juga
jika pemilik berkata, "Hadzihi ad-daar hibah sukna (Rumah ini adalah hibah untuk
ditempati)" maka itu adalah pinjaman. Karena ketika dia menyebutkan kata sukna (untuk
ditempati) setelah menyebutkan kata hibah, maka kata sukna itu merupakan penjelas bagi
kata hibah, karena hibah bisa mencakup pemberian benda dan pemberian manfaat. Maka
jika dia mengatakan, "Laka sukna (untuk kau tempati)” maka dia telah menentukan
pemberian manfaat.

Syarat-syarat Hibah

Para ulama Madzhab Hambali menyebutkan sebelas syarat Hibah, diantaranya:

1. Hibah itu berasal dari orang yang boleh membelanjakan harta


2. Pemberi tidak dipaksa
3. Pemberi serius (tidak main-main) dalam pemberiannya
4. Benda yang diberikan adalah harta benda yang sah untuk dijual
5. Tanpa imbalan
6. Diberikan kepada orang yang sah untuk memilikinya
7. Adanya pengambilan barang oleh orang yang diberi atau walinya sebelum digunakan
untuk hal lain
8. Adanya pemberian langsung
9. Tidak adanya pembatasan waktu
10. Orang yang boleh membelanjakan harta adalah orang yang merdeka, mukallaf, dan
bisa mengatur penggunaan harta
11. Benda yang diberikan berupa harta benda

Syarat-syarat Sighah

Syarat-syarat sighah, menurut para ulama Madzhab Syafi’I adalah sebagai berikut:

1. Bersambungnya antara qabul dengan ijab tanpa adanya pemisah


2. Tidak adanya pengaitan dengan syarat
3. Tidak ada pengaitan dengan waktu, seperti satu bulan, satu tahun

Syarat-syarat pemberi Hibah

1. Berakal
2. Baligh
3. Dapat menjaga harta
Tidak sah pemberian seseorang dari anak kecil dan orang gila, karena keduanya tidak
memiliki kewenangan untuk memberi secara sukarela, mengingat hal itu adalah kerugian
murni.

Syarat-syarat sesuatu yang dihibahkan

a. Benda tersebut ada ketika dihibahkan


b. Benda tersebut adalah benda yang bernilai
c. Benda tersebut dapat dimiliki secara perorangan
d. Benda tersebut milik pemberi
e. Benda tersebut ditentukan
A. Benda Tersebut adalah Benda yang Bernilai
Tidak sah menghibahkan sesuatu yang pada dasarnya bukan harta benda, seperti
orang merdeka, bangkai, darah, binatang buruan di tanah haram, binatang buruan
orang yang berihram, dan yang lainnya. juga tidak boleh menghibahkan sesuatu yang
tidak bernilai, seperti minuman keras
B. Benda Tersebut Dapat Dimiliki Secara Perorangan
Tidak sah hibah terhadap benda milik umum. Syarat ini dan syarat-syarat sebelumnya
adalah syarat berlakunya hibah.
C. Benda Tersebut Milik Pemberi
Tidak sah hibah harta benda milik orang lain tanpa seizin pemiliknya, karena tidak
mungkin seseorang memberikan kepemilikan atas suatu benda yang bukan miliknya
kepada orang lain.
D. Benda Tersebut Ditentukan
Menurut para ulama Mazhab Hanafi, tidak dibolehkan hibatul muqtaa', yaitu
penghibahan sebagian dari suatu benda yang bisa dibagi tanpa ditentukan posisi
bagian itu pada benda tersebut, seperti sebagian dari tempat tinggal dan rumah besar.
Namun jika bagian yang diberikan itu ditentukan, lalu diserahkan kepada orang yang
diberi maka hibah itu sah. Dan, ini merupakan syarat sahnya hibah.
Para ulama dalam Mazhab Maliki dan Hambali mengatakan bahwa hibah sebagian
dari suatu benda tanpa menentukan posisinya di benda itu adalah berlaku, seperti jual
beli. Karena pengambilan sesuatu yang dihibahkan oleh orang yang diberi dalam
kondisi ini adalah sah, seperti pengambilan barang dalam pembelian terhadap
sebagian dari suatu benda yang posisinya pada benda itu tidak ditentukan.

E. Benda Tersebut Terpisah dari Benda yang Lainnya dan Tidak Sedang
Dimanfaatkan untuk Tempat Benda yang Lain
Hal ini karena konsekuensi dari penerimaan terhadap benda-yaitu dapat melakukan
berbagai tindakan terhadap benda tersebut tidak terealisasi jika ia masih digunakan
sebagai tempat bagi benda yang lain milik pemberi. Dan, ini merupakan syarat
sahnya hibah.
Pengecualian janin yang ada di perut. Merupakan cabang dari syarat sebelumnya
adalah berdasarkan qiyas, jika seseorang menghibahkan seekor binatang dan dia
mengecualikan janin yang ada di perutnya, maka hibah ini tidak sah. Karena, itu
adalah hibah terhadap sesuatu yang masih menjadi milik orang lain.
Benda Tersebut Terpisah dari Benda yang Lainnya dan Tidak Sedang Diman faatkan
untuk Tempat Benda yang Lain.
- Berdasarkan hal ini, seandainya seseorang memberikan kepada orang lain sebidang
tanah tanpa beserta tanaman yang sedang ditanam di atasnya, atau dia memberikan
tanaman tanpa tanah tempat tanaman itu, atau memberikan pohon kurma tanpa
buahnya yang ada di pohon, atau memberikan buah kurma yang masih di pohon tanpa
beserta pohonnya, maka pemberian itu tidak sah, walaupun orang yang diberi telah
menerimanya. Namun jika pemiliknya memetik buah kurma itu atau memanen
tanamannyaterlebih dahulu, kemudian dia menyerahkan pohon kurma atau tanahnya
itu dalam keadaan kosong, maka pemberian ini sah. Karena, penghalang dari
terlaksananya hukum akad-yaitu tetapnya kepemilikan-telah hilang.
- Demikian juga jika seseorang memberikan sebuah tempat tinggal yang di dalamnya
terdapat barang miliknya, atau memberikan sebuah kotak yang di dalamnya terdapat
benda miliknya, atau memberikan ternak yang membawa barang miliknya, dan orang
yang diberi telah menerimanya, maka hibah tersebut tidak sah. Kepemilikan pemberi
pun tidak berpindah kepada orang yang diberi, karena objek yang diberikan masih
menjadi tempat sesuatu yang lain, sehingga ia seperti pemberian sesuatu yang
musyaaimal
- Menghibahkan sesuatu yang sedang dimanfaatkan untuk tempat sesuatu yang lain
adalah tidak sah, berbeda jika yang diberikan itu sedang menempati benda yang lain.
Dan pemberian suatu benda yang menyatu dengan benda yang lain yang tidak
diberikan, padahal keduanya bisa dipisahkan, adalah tidak sah.

Pengecualian ianin yang ada di perut.

- Merupakan cabang dari syarat sebelumnya adalah berdasarkan qiyas, jika seseorang
menghibahkan seekor binatang dan dia mengecualikan janin yang ada di perutnya,
maka hibah ini tidak sah. Karena, itu adalah hibah hadap sesuatu yang masih menjadi
milik orang lain. Adapun berdasarkan dalil istihsan, maka Abu Hanifah dan kedua
muridnya mengatakan dibolehkannya menghibahkan seekor induk dan janin yang ada
diperutnya secara bersamaan, sedangkan pengecualian di dalamnya tidak sah. Dalam
masalah pengecualian ini,seluruh transaksi akad secara umum dapat diklasifikasikan
menjadi 3 macam :
1. Akad-akad yang rusak dan tidak sah karena pengecualian tersebut. Akad-akad
tersebut adalah jual beli, sewa-menyewa, dan gadai
2. Akad-akad yang tetap sah dengan adanya syarat atau pengecualian, sedangkan
syarat dan pengecualian tersebut tidak diakui. Akad-akad tersebut adalah
pernikahan, khulu' fgugat cerai), penyelesaian secara damai dalam pembunuhan
yang disengaja, dan hibah. Hal ini karena implikasi dari akad tersebut adalah
berlakunya konsekuensi hukum akad tersebut pada seluruh obiek akad, namun
ternyata ada bagian yang dikecualikan, maka pengecualian itu adalah syarat yang
tidak sah.
3. Akad yang di dalamnya pengecualian dan akad itu sendiri dibolehkan dan sah.
Akad tersebut adalah wasiat

Penerimaan atau Pengambilan Barang oleh Orang yang Diberi (al-Qabdh)

- Ini merupakan syarat terpenting. Dan, ini merupakan syarat yang membuat
terlaksananya dan sempurnanya hibah, bukan syarat sah dan bukan rukun menurut
sebagian ulama Mazhab Hanafi, dan Ibnu Aqil dari Mazhab Hambali sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya. Penyebutannya diakhirkan karena banyak hal yang
terkait dengannya. Kepemilikan orang yang diberi terhadap benda yang diberikan
kepadanya tidak terwujud sebelum dia menerimanya, bahkan hibah sendiri tidak bisa
berlangsung kecuali dengan adanya penerimaannya terhadap barang, karena dengan
adanya penerimaan maka ada hibah. Dan menurutpara ulama Mazhab Hanafi,
penerimaan orang yang diberi terhadap benda yang diberikan kepadanya (al-qabdh)
adalah yang memunculkan semua konsekuensi akad hibah
- Para ulama dalam Mazhab Hanafi dan Syafi'l mengatakan bahwa penerimaan orang
yang diberi terhadap barang merupakan syarat berlakunya hibah. Sehingga,
kepemilikan seseorang terhadap benda yang diberikan kepadanya tidak berlangsung
sebelum dia menerima sesuatu yang diberikan kepadanya.
- Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah ra. bahwa ayahnya (Abu
Bakar) memberinya dua puluh wasaq buah kurma yang dihasilkan kebun kurmanya.
Ketika menjelang kematiannya, Abu Bakar berkata kepada Aisyah, "Wahai putriku,
sesungguhnya orang yang paling saya cintai adalah dirimu. Sesungguhnya orang yang
paling saya khawatirkan akan hidup dalam kefakiran setelah kematianku adalah
dirimu. Sesungguhnya dulu saya memberimu dua puluh wasaq buah kurma yang
dihasilkan oleh kebun kurmaku. Seandainya engkau dulu mengambilnya dan
memisahkannya, maka harta itu sudah meniadi milikmu. Akan tetapi, sekarang harta
itu adalah harta waris.

SYARAT-SYARAT SESUATU YANG DIHIBAHKAN

g. Penerimaan atau Pengambilan Barang oleh Orang yang Diberi (al-


Qabdh)
Hibah tidak bisa berlangsung kecuali dengan adanya penerimaannya
terhadap barang karena dengan adanya penerimaan maka ada hibah.
Perbedaan pendapat mengenai status penerimaan barang dalam hibah menurut
para ahli fiqih, apakah ia syarat atau bukan.
 Ulama Mazhab Hanafi dan Syafi'l: Penerimaan barang termasuk syarat
terjadi hibah, kepemilikan barang tidak berlangsung kalau belum
menerima sesuatu yang diberikan padanya. Hal ini berdasarkan dalil
hadits yang diriwayatkan Aisyah ra. bahwa ayahnya (Abu Bakar)
memberinya dua puluh wasaq buah kurma yang dihasilkan kebun
kurmanya. Objek hibah menjadi milik orang yang diberi dengan
adanya penerimaan darinya terhadap barang itu berdasarkan kata-kata
Abu Bakaf, "Seandainya dulu engkau mengambilnya dan
memisahkannya, tentu ia sudah menjadi milikmu.". Secara umum para
Khulafa'ur Rasyidin dan yang lainnya sepakat bahwa hibah tidak
berlaku kecuali setelah barang yang diberikan diterima oleh orang
yang diberi.12
 Ulama Mazhab Hambali: al-qabdh (penerimaan terhadap barang)
merupakan syarat sahnya hibah dalam barang-barang yang umumnya
ditakar dan ditimbang. Buktinya adalah perkataan Ibnu Qudamah,
"Sesungguhnya sedekah dan hibah pada barang-barang yang biasanya
ditakar dan ditimbang tidaklah berlaku kecuali dengan adanya
penerimaan orang yang diberi terhadapnya. Dan ini adalah pendapat
mayoritas ahli fiqih.
Untuk barang yang tidak ditakar dan ditimbang maka hibah bisa
berlaku hanya dengan akad, dan kepemilikan berlaku sebelum ia
menerimanya. Berdasarkan riwayat dari Ali ra. dan lbnu Mas'ud r.a.
bahwa keduanya berkata, "Hibah berlaku jika diketahui objeknya, baik
orang yang diberi sudah menerima obiek pemberian tersebut maupun
belum”
 Ulama Mazhab Maliki: Penerimaan terhadap barang hanyalah syarat
sempurnanya hibah, barang yang dihibahkan menjadi milik orang yang
diberi cukup dengan akad yang berupa perkataan. Dalil mereka adalah
penyerupaan hibah dengan jual beli dan lainnya yang merupakan akad-
akad pemindahan kepemilikan. Juga berdasarkan perkataan para ulama
mereka bahwa hibah berlaku jika benda yang dihibahkan diketahui,
baik ada penerimaan terhadap barang (qabdh) oleh orang yang diberi
maupun tidak.

h. Pengambilan Barang oleh Orang yang Diberi Harus dengan Seizin Pemberi
Syarat kedelapan ini merupakan syarat sah hibah yang ditetapkan oleh jumhur ulama.
Sehingga jika orang yang diberi mengambil barang pemberian tanpa seizin pemberi,
maka barang itu tidak meniadi miliknya dan membuatnya harus menjamin ganti barang
itu jika teriadi hal-hal yang tidak diinginkan padanya.

D. Konsekuensi Hukum Akad Hibah

Menurut para ulama Mazhab Hanafi, konsekuensi hukum hibah tidak mengikat. Akan
tetapi, menurut jumhur ulama, ia mengikat, kecuali pemberian seorang ayah kepada
anaknya, sehingga seorang ayah boleh mengambil kembali pemberiannya sebelum
anaknya menerima atau mengambil pemberian itu, sebagaimana pendapat Mazhab
Maliki. Namun menurut para ulama Mazhab Syafi'i dan Hambali, sangayah tetap boleh
mengambilnya kembali walaupun setelah anaknya menerima atau mengambil barang
pemberian itu. Dan menurut Mazhab Syafi'i, kebolehan mengambil kembali pemberian
ini berlaku secara mutlak pada pemberian dari pokok keturunan (ayah, kakek dan
seterusnya) kepada cabang keturunannya.

E. Hal-Hal Yang Menghalangi Pengambilan Kembali Hibah

1. Adanya Imbalan Materi


a. lmbalan yang Ditetapkan Dalam Akad
Imbalan ini disebut juga sebagai hibah dengan syaratadanya imbalan atau
hibah balasan. Para ulama dalam Mazhab Hanafi, selain Zufar, mengatakan
bahwa akad ini pada awalnya adalah hibah namun berakhir sebagai akad jual
beli. Maka sebelum berlangsung penerimaan barang, hukum-hukum hibah
berlaku pada barang itu, sehingga tidak boleh hibah sesuatu yang musya'dan
disyaratkan adanya penerimaan atau pengambilan barang.
Jumhur ulama Mazhab Hanafi dalam pendapatnya di atas, berpijak pada
argumen bahwa dalam akad ini terdapat lafal hibah dan makna jual beli,
sehingga diberikan kepadanya semi dua akad tersebut.
Para ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa akad ini terhitung sebagai jual
beli dalam kebanyakan kondisinya, hanya dalam sedikit kondisi saja yang
berbeda dengan akad jual beli.
Para ulama Mazhab Syafi'i dan Hambali mengatakan bahwa yang benar
adalah akad ini masuk dalam akad jual beli, sehingga orang yang diberi harus
memberikan imbalan yang ditetapkan dalam akad. Di samping itu, berlaku pula
padanya hukum-hukum jual beli, seperti adanya hak syuf'ah,hak khiyaar, adanya
jaminan ganti jika ada orang lain yang berhak terhadap benda itu dan sejenisnya.
b. Imbalan yang tidak Disyaratkan dalam Akad
Imbalan yang tidak disyaratkan dalam akad ada yang dikaitkan dengan hibah
yang diterima dan ada juga yang tidak dikaitkannya. Contoh imbalan yang
dikaitkan dengan hibah yang diterima adalah jika pemberi imbalan berkata, "lni
adalah imbalan dari hibahmu", atau, "Sebagai ganti dari hibahmu."
Jika imbalan itu tidak dikaitkan dengan hibah tersebut, maka itu merupakan
hibah baru, bukan imbalan. Dengan demikian, kedua belah pihak masih
mempunyai hak untuk mengambil kembali pemberiannya masing-masing.
Sedangkan para ulama Mazhab Maliki menyatakan bahwa hibah mutlak (yang
tidak terikat oleh syarat pemberian balasan) menuntut adanya ganti atau hibah
balasan.

2. Adanya Imbalan Yang Bersifat Maknawi

a. Imbalan dari Allah (pahala). Pemberi tidak bisa mengambil kembali hibahnya
dari orang fakir setelah orang fakir itu menerima hibahnya. Karena, hibah
kepada orang fakir adalah sedekah yang diharapkan pahala darinya, dan
sedekah tidak bisa diambil kembali.

b. Hubungan kekerabatan dengan dzawil ar-ram. Terjalinnya hubungan


kekerabatan merupakan imbalan maknawi dari hibah, sehingga tidak boleh
mengambil kembali hibah yang diberikan kepada dzawil arham yang
merupakan mahram.

c. Hubungan suami istri. Suami atau istri tidak boleh mengambil kembali hibah
yang dia berikan kepada pasangannya. Karena, hubungan suami istri
menempati sepenuhnya hubungan kekerabatan. Bukti akan hal ini adalah
bahwa pewarisan antara suami istri tersebut terkait dengan hibah itu dalam
semua kondisinya.
3. Adanya Tambahan Yang Menyatu Dengan Benda Yang Diberikan, Baik Itu
Karena Perbuatan Orang Yang Diberi Maupun Karena Orang Lain
Adanya tambahan yang menyatu ini menghalangi pemberi untukmengambil
kembali pemberiannya, baik itu terlahir dari benda itu maupun tidak. Misalnya benda
yang diberikan adalah rumah, lalu orang yang diberi membuat bangunan lagi di
dalamnya. Atau pemberian itu berupa sebidang tanah, lalu orang yang diberi
menanam sejumlah pohon di atasnya, atau mendirikan pompa air dan melekatkannya
di tanah serta membuat bangunan di atasnya.
Sementara itu, berkurangnya benda yang dihibahkan, maka ia tidak
menghalangi pengambilan kembali hibah tersebut.
b. Imbalan yang tidak disyaratkan dalam akad.

Imbalan yang tidak disyaratkan dalam aka dada yang dikaitkan dengan hibah yang
diterima dan ada juga yang tidak dikaitkannya. Jika imbalam itu tidak dikaitkan dengan hibah
tersebut, maka itu merupakan hibah baru,bukan imbalan. Dengan demikian, kedua belah
pihak masih mempunyai hak untuk mengambil Kembali pemberiannya masing-masing.
Adapun jika imbalam yang tidak disyaratkan dalam akad itu dikaitkan dengan hibah, maka
para ulama sepakat bahwa imbalan ini adalah hibah tersendiri, sehingga ia menjadi sah atau
batal berdasarkan hal-hal yang membuat sah atau batalnya hibah. Namun ia berbeda dengan
hibah yang benar-benar baru, karena ia menggugurkan hak pemberi hibah untuk
mengambilnya Kembali, mengingat ia mengandung makna imbalan. Para ulama berbeda
pendapat dalam hal ini. Menurut pendapat ulama Madzhab Hanafi, Hambali dan pendapat
yang lebih kuat dalam Syafi’i, hibah semacam ini tidak menuntut adanya imbalan atau hibah
balasan, baik itu menurut adanya imbalan atau hibah balasan, baik itu dari orang yang setara,
lebih rendah maupun lebih tinggi derajatnya. Sehingga, orang yang diberi tidak wajib
memberikan atau hibah balasan kepada orang yang memberinya. Sedangkan para ulama
madzhab Maliki menyatakan bahwa hibah mutlak (yang tidak terikat oleh syarat pemberian
balasan) menuntut adanya ganti atau hibah. Hibah tersebut juga mengandung keinginan
pemberi untuk mendapatkan ganti jika dia dan penerima berbeda dalam masalah imbalan ini,
khususnya jika indikasi menunjukkan adanya tujuan pemberi untuk mendapatkan imbalan.

2. Adanya imbalan yang bersifat maknawi.

Imabalan ini tidak bersifat materi. Imbalan maknawi ada tiga macam:

a. Imbalan dari Allah (pahala). Pemberi tidak bisa mengambil Kembali hibahnya dari
orang fakir setelah orang fakir itu menerima hibahnya. Karena, hibah kepada prang
fakir adalah sedekah yang diharapkan pahala darinya dan sedekah tidak bisa diambil
Kembali.
b. Hubungan kekerabatan dengan dzawil arham. Terjalinnya hubungan kekerabatan
merupakan imbalan maknawi dari hibah, sehingga tidak boleh mengambil Kembali
hibah yang diberikan kepada dzawil arham. Hal ini disebabkan karena terjalinnya
hubungan kekerabatan tersebut dengan adanya hibah itu merupakan penyebab adanya
sikap saling membela dan saling menolong antar mereka Ketika di dunia.
c. Hubungan suami istri. Suami atau istri tidak boleh mengambil Kembali hibah yang
dia berikan kepada pasangannya. Karena, hubungan suami istri menempati
sepenuhnya hubungan kekerabatan. Bukti akan hal ini adalah bahwa pewarisan antara
suami istri tersebut terkait dengan hibah itu dalam semua kondisinya

3. Adanya tambahan yang menyatu dengan benda yang diberikan,baik itu karena perbuatan
orang yang diberi maupun karena orang lain.

Adanya tambahan yang menyatu ini menghalangi pemberi untuk mengambil Kembali
pemberiannya, baik itu terlahir dari bend aitu mapupun tidak. Misalnya benda yang diberikan
adalah rumah, lalu orang yang diberi membuat bangunan lagi di dalamnya. Atau pemberian
itu berupa sebidang tanah, lalu orang yang diberi menanam sejumlah pohon di atasnya atau
mendirikan pompa air dan meletakannya di tanah serta membuat bangunan di atasnya. Yang
bisa diambil Kembali hanyalah benda yang diberikan itu saha, namun kini ia telah bercampur
dengan benda lain yang tidak termasuk dalam pemberian itu. Ketika pemberian itu tidak bisa
diambil Kembali kecuali beserta tambahannya itu, maka secara hukum asal ia tidak boleh
diambil Kembali. Adapun tambahan yang terpisah, maka ia tidak menghalangi pemberi untuk
mengambil Kembali pemberiannya, baik itu terlahir dari pemberian aslinya. Berukurangnya
benda yang dihibahkan, makai a tidak menghalangi pengambilan Kembali hibah tersebut.
Karena selama dia mempunyai hak untuk mengambil Kembali pemberiannya secara utuh,
maka dia juga boleh mengambil nya Kembali secara tidak utuh Ketika pemberiannya itu telah
berkurang.

4. Barang yang diberikan keluar dari kepemilikan orang yang diberi.

Hal ini berlaku dengan sebab apaun, seperti karena dijual, diberikan kepada orang lain
atau sejenisnya. Semua Tindakan ini mengakibatkan perbedaan kepemilikan dan perbedaan
dua kepemilikan adalah seperti perbedaan dua benda. Oleh karena itu, sedandainya
seseorangmemberikan sebuah benda, maka dia tidak boleh mengambil benda yang berbeda
dari orang yang diberi. Demikian juga jika dia memberikan suatu benda kepada orang lain,
maka dia tidak boleh membatalkan kepemilikan orang itu dari benda yang lainnya.

5. Meninggalnya salah satu pihak dalam akad pemberian.

Jika orang yang diberi meninggal dunia, maka pemberi tidak bisa mengambil Kembali
pemberiannya. Hal ini karena pemberian itu telah berpibdah kepemilikannya kepada ahli
waris orang yang diberi, sehinggan kepemilikannya seperti telah berpindah Ketika dia masih
hidup. Ini juga berlaku jika yang meninggal dunia adalah pemberi, karena ahli warisnya
adalah orang asing bagi pemberian itu dan tidak ada hubungannya dengan pemberian itu.
6. Rusak, hilang atau dikonsumsinya barang yang diberikan.

Hal ini karena pemberi tidak bisa mengambil Kembali pemberiannya yang sudah
rusak atau hilang. Dia juga tidak bisa mengambil nya Kembali dalam bentuk nilai. Karena
nilai tersebut bukanlah yang diberikan disebabkan tidak adanya akad terhadapnya. Di
samping itu, penerimaan terhadap itulah tidaklah dijamin dengan ganti. Tidak ada perbedaan
antar ulama bahwa pengambilan Kembali terhadap hibah oleh pemiliknya berdasarkan
keputusan qadhi merupakan pembatalan pemberian tersebut. Namun para ulama berbeda
pendapat tentang pengambilan Kembali hibah berdasarkan keridhaan kedua belah pihak.
Dalam hal ini jumhur ulama madzhab Hanafi mengatakan bahwa itu adalah pembatalan juga,
sebagaimana pengambilan Kembali berdasarkan keputusan qadhi. Sehingga, hal itu
dibolehkan pada sesuatu yang musyaa dan untuk keabsahannya tidak disyaratkan adanya
penerimaan atau pengambilan uang. Jumhur ulama madzhab Hanafi berdalil bahwa dengan
pembatalan, maka pemberi mengambil Kembali hak nya. Dan pengambilan hak tidak
tergantung pada keputusan qadhi.

F. PEMBERIAN UNTUK ANAK

Tidak ada perbedaan di antara jumhur ulama bahwa orang tua disunnahkan untuk
menyamakan pemberian bagi anak-anaknya. Dan dimakruhkan membedakan pemberian
terhadap mereka ketika semua anaknya dalam kondisi sehat, sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya. Mereka berbeda pendapat dalam menjelaskan maksud penyamaan pemberian
yang disunnahkan itu. Dalam hal ini, Abu Yusuf dari kalangan ulama Mazhab Hanafi, para
ulama Mazhab Maliki, dan para ulama Mazhab Syafi'i-dan ini merupakan pendapat jumhur
menyatakan bahwa disunnahkan bagi orang tua untuk menyamakan pemberiannya kepada
anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan. Orang tua hendaknya memberi sesuatu
kepada anak perempuannya sebagaimana dia memberi sesuatu kepada anak laki-laki.

Sedangkan para ulama dari Mazhab Hambali dan Muhammad dari Mazhab Hanafi
mengatakan bahwa orangtua hendaknya membagi pemberian kepada anak-anaknya sesuai
dengan kadar pembagian Allah ta'ala dalam warisan, yaitu memberi anak laki-laki dua kali
bagian anak perempuan Karena, Allah ta'ala telah membagi pemberian untuk mereka dengan
kadar tersebut, dan yang paling utama untuk diikuti adalah pembagian Allah.

1. HUKUM MENYAMAKAN PEMBERIAN KEPADA ANAK


jumhur ulamal mengatakan bahwa tidak wajib bagi orang tua untuk menyamakan
pemberian kepada anak-anaknya, namun hal itu disunnahkan saja. jika orang tua
melebihkan pemberiannya untuk sebagian ahli warisnya, maka itu adalah sah namun
dimakhrukan. Di sisi lain, sejumlah ulama yaitu Ahmad, ats-Tsauri, Thawus, Ishaq dan
yang lainnya dengan tegas mengatakan bahwa orang tua wajib menyamakan
pemberiannya atau hibahnya kepada anak-anaknya. Pemberiannya kepada mereka tidak
sah jika tidak sama. Hal ini sebagai pengamalan terhadap makna eksplisit dari perintah di
dalam hadits-hadits Nabi saw. dalam masalah ini yang berkonsekuensi pada kewajiban.

Sedangkan para ulama dalam Mazhab Hambali mengatakan bahwa bentukpenyamaan


dalam pemberian tersebut adalah dengan menjadikan bagian anak laki-laki dua kali lipat
bagian anak perempuan, sesuai dengan pembagian dalam warisan. Diriwayatkan juga dari
Ahmad bahwa orang tua boleh membedakan pemberiannya kepada anak-anaknya jika
terdapat sebab. Misalnya salah seorang anak membutuhkannya karena menderita sakit
yang berkepanjangan, buta, untuk membantu melunasi utangnya, mempunyai anak
banyak, sibuk dengan menuntut ilmu atau sejenisnya.

2. PEMBERIAN UNTUK KEDUA ORANGTUA

Disunnahkan juga menyamakan pemberian untuk kedua orang tua. Juga dibolehkan
untuk sewaktu-waktu melebihkan pemberian kepada ibu serta mengkhususkannya dengan
pemberian dan penghormatan yang lebih.

3. PEMBER'AN UNTUK PARA SAUDARA LAKL LAKI DAN PEREMPUAN

Disunnahkan juga menyamakan pemberian, hibah, dan hadiah kepada para saudara
laki-laki dan perempuan dalam momen-momen tertentu, atau momen apa pun, jika
kebutuhan mereka adalah sama. Dibolehkan juga untuk mengkhususkan saudara yang
lebih tua dengan suatu pemberian.

Anda mungkin juga menyukai