Anda di halaman 1dari 15

Demokrasi di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Untuk dokumentasi, lihat Sejarah Indonesia.
Demokrasi di Indonesia adalah suatu proses sejarah dan politik perkembangan demokrasi di dunia
secara umum, hingga khususnya di Indonesia, mulai dari pengertian dan konsepsi demokrasi menurut
para tokoh dan founding fathers Kemerdekaan Indonesia, terutama Soekarno, Mohammad Hatta, dan
Soetan Sjahrir. Selain itu juga proses ini menggambarkan perkembangan demokrasi di Indonesia, dimulai
saat Kemerdekaan Indonesia, berdirinya Republik Indonesia Serikat, kemunculan fase kediktatoran
Soekarno dalam Orde Lama dan Soeharto dalam Orde Baru, hingga proses konsolidasi demokrasi pasca
Reformasi 1998 hingga saat ini.

Daftar isi
1 Demokrasi dalam Pandangan Para Pendiri Bangsa Indonesia
1.1 Demokrasi Menurut Soekarno
1.2 Demokrasi Menurut Mohammad Hatta
1.3 Demokrasi Menurut Soetan Sjahrir
2 Demokrasi Parlementer
3 Demokrasi Terpimpin
4 Demokrasi Pancasila
5 Era Reformasi
5.1 Transisi Demokrasi
5.2 Konsolidasi Demokrasi
5.3 Tantangan Demokrasi
6 Referensi
Demokrasi dalam Pandangan Para Pendiri Bangsa Indonesia
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, secara gamblang duet pemimpin Dwitunggal,
Soekarno dan Mohammad Hatta telah mendeklarasikan Indonesia Merdeka sebagai sebuah negara yang
demokratis karena pada kalimat terakhirnya dikatakan dalam Teks Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah
“atas nama bangsa Indonesia”, bila dikaitkan dengan definisi bangsa, maka yang dimaksud adalah
seluruh rakyat Indonesia. Jadi kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan yang diperuntukkan bagi
rakyat Indonesia sendiri.

Meskipun telah mencapai konsensus kemerdekaan sebagai sebuah bangsa, tetapi setiap tokoh
pergerakan dan pelopor kemerdekaan Indonesia memiliki konsepsi demokrasinya masing-masing,
kebanyakan dari mereka berusaha menengahi dualisme penafsiran demokrasi dari Negara Barat yang
liberalis dan kapitalis dengan Negara Timur yang komunis, terutama dalam merumuskan tentang
kebebasan politik yang diadopsi dari demokrasi Barat dan kemerataan ekonomi yang ditiru dari
demokrasi Timur. Namun, terkadang beberapa tokoh kemudian memiliki kecenderungan masing-
masing, entah itu kecenderungan pada Barat ataupun Timur, yang kemudian menjadi ciri khas dari
perkembangan demokrasi di Indonesia.

Demokrasi Menurut Soekarno


Untuk biografi, lihat Soekarno.

Soekarno
Dalam pandangan Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno, demokrasi Indonesia adalah
demokrasi yang lahir dari kehendak memperjuangkan kemerdekaan, itu artinya adalah demokrasi
Indonesia menurut Soekarno meletakan embrionya pada perlawanan terhadap imperialisme dan
kolonialisme, hal itu ditulis oleh Soekarno dalam bukunya, Indonesia Menggugat dan Di Bawah Bendera
Revolusi, yang secara eksplisit terinspirasi oleh pergerakan kemerdekaan yang dilakukan di pelbagai
belahan dunia, dari perjuangan seorang Muhammad, Yesus Kristus, William de Oranje, Mahatma
Gandhi, Mustafa Kemal Attaturk, dan tokoh-tokoh kemerdekaan bangsa-bangsa di seluruh dunia.[1]

Menurut Soekarno, demokrasi adalah suatu "pemerintahan rakyat". Lebih lanjut lagi, bagi Soekarno,
demokrasi adalah suatu cara dalam membentuk pemerintahan yang memberikan hak kepada rakayat
untuk ikut serta dalam proses pemerintahan. Namun, demokrasi yang diinginkan dan dikonsepsikan
oleh Soekarno tidak ingin meniru demokrasi modern yang lahir dari Revolusi Prancis, karena menurut
Soekarno, demokrasi yang dihasilkan oleh Revolusi Prancis, demokrasi yang hanya menguntungkan
kaum borjuis dan menjadi tempat tumbuhnya kapitalisme.[2] Oleh karena itu, kemudian Soekarno
mengkonsepsikan sendiri demokrasi yang menurutnya cocok untuk Indonesia.

Lebih jelasnya, konsepsi Soekarno mengenai demokrasi tertuang dalam konsep pemikirannya, yaitu
marhaenisme. Marhaenisme yang merupakan buah pikir Soekarno ketika masih belajar sebagai
mahasiswa di Bandung. Marhaenisme pada hakekatnya sering menjadi pisau analisis sosial, politik, dan
ekonomi di Indonesia. Marhaenisme itu terdiri dari tiga pokok atau yang disebut sebagai “Trisila”, yaitu:
[3][4]

Sosio-nasionalisme, yang berarti nasionalisme Indonesia yang diinginkan oleh Soekarno adalah
nasionalisme yang memiliki watak sosial dengan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di dalam
nasionalisme itu sendiri, jadi bukan nasionalisme yang chauvinis.
Sosio-demokrasi, yang artinya bahwa demokrasi yang dikehendaki Soekarno adalah bukan semata-mata
demokrasi politik saja, tetapi juga demokrasi ekonomi, dan demokrasi yang berangkat dari nilai-nilai
kearifan lokal budaya Indonesia, yaitu musyawarah mufakat.
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang artinya bahwa Soekarno menginginkan setiap rakyat Indonesia adalah
manusia yang mengakui keberadaan Tuhan (theis), apapun agamanya.
Di antara ketiga sila itu, pemikiran dan konsepsi Soekarno mengenai demokrasi ada di sila kedua dalam
Trisila Marhaenisme, yaitu sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi menurut Soekarno adalah suatu sistem
demokrasi yang mengakar pada nilai-nilai kemasyarakatan. Sosio-demokrasi yang diinginkan oleh
Soekarno adalah saat demokrasi itu sendiri mendasari nilai-nilainya pada seluruh masyarakat, bukan
hanya kepada sebagian masyarakat, dalam hal ini Soekarno mengkritik demokrasi Prancis dan demokrasi
Amerika Serikat yang menurut Soekarno hanya mementingkan sebagian kelompok orang saja, yaitu
kelompok borjuis, atau sederhananya, Soekarno ingin demokrasi Indonesia bukan hanya demokrasi
politik, tetapi juga demokrasi ekonomi.[5]

Masih dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno kemudian menjabarkan lebih jauh tentang
konsep sosio-demokrasinya itu, yaitu dengan mengkonsepsikan nilai-nilai demokrasi politik dan juga
demokrasi ekonomi. Demokrasi politik menurut Soekarno adalah demokrasi yang berlaku di Eropa
pasca-Revolusi Prancis, yaitu demokrasi yang didalamnya adalah suatu sistem demokrasi keterwakilan
dalam sebuah lembaga parlemen, - Soekarno menyebutnya parlementaire democratie dan politieke
democratie - Soekarno melihat bahwa nilai-nilai demokrasi itu memang diterapkan saat pemilihan
anggota parlemen, namun bagi Soekarno demokrasi politik Eropa itu hanya berhenti sampai di parlemen
saja, sementera dalam bidang ekonomi tidak ada nilai-nilai demokrasinya, yang menyebabkan
banyaknya kemiskinan - dan untuk permasalahan ekonomi itu Soekarno menyalahkan demokrasi politik
yang justru mendukung berkembangnya kapitalisme.[6]

Soekarno kemudian membuat suatu rumusan, agar demokrasi menjadi lebih seimbang, artinya
demokrasi yang Soekarno inginkan bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi.
Demokrasi ekonomi itu menurut Soekarno adalah demokrasi yang menghendaki adanya pemberian hak-
hak ekonomi kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga tercipta suatu kemerataan. Kemerataan yang
dimaksudkan oleh Soekarno itu bukan kemerataan ekonomi dalam sistem komunisme yang
menghilangkan hak milik pribadi,[7] tetapi suatu kemerataan dimana semua hak kepemilikan pribadi -
Soekarno menyeburnya sebagai privaatbezit - seluruh rakyat dijamin oleh negara, dalam hal ini
parlemen yang merupakan hasil dari demokrasi politik berperan untuk memberikan perlindungan bagi
hak-hak kepemilikan pribadi semua orang melalui suatu pembuatan peraturan atau hukum yang adil
bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali, baik dari kelas borjuis ataupun proletar - termasuk juga kelas
masyarakat yang memiliki harta benda sedikit atau yang disebut Soekarno sebagai marhaen.[8]

Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, terutama saat perumusan dasar negara Indonesia yang
dilaksanakan pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), Soekarno menawarkan konsepsi dasar negara bagi Indonesia Merdeka, yaitu Pancasila –
meskipun Soekarno sendiri menolak disebut sebagai penemu Pancasila, oleh karen itu Soekarno lebih
suka disebut sebagai “penggali Pancasila”. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 itu, Soekarno berkata
mengenai konsespsi demokrasi yang Soekarno tawarkan adalah sebagai berikut:[9]

"Prinsip nomor 4, sekarang saya usulkan. Saya di dalam tiga hari ini belum mendengarkan prinsip itu,
yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya
katakan tadi; prinsipnya San Min Chu ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng (yang artinya): Nationalism,
Democracy, Socialism. Maka prinsip kita harus (berdasarkan apa?): Apakah kita mau Indonesia Merdeka,
yang kaum kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup
makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup
member sandang – pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, Saudara-Saudara? Jangan Saudara kira,
bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan
ini. Kita sudah lihat di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire demokratie.
Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?"[10]

Pada sila ini secara eksplisit Soekarno menginingkan sebuah sistem politik demokrasi yang tidak hanya
politiknya saja yang mengalami demokratisasi, tetapi juga ekonominya, dengan cara menjadikan
“kerakyatan” sebagai fondasi utamanya dan dijalankan dengan prinsip-prinsip “hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan”. Seokarno tidak ingin Indonesia menjadi negara demokrasi liberal
seperti di Barat, yang masyarakatnya kapitalistik, Soekarno ingin Indonesia menjadi negara demokrasi
yang masyarakatnya sosialistik, artinya bahwa demokrasi bukan hanya pada kebebasan dalam politik,
seperti bebas berbicara, bebas memilih, dan bebas berserikat dalam organisasi apapun, tetapi juga
demokrasi yang mampu mengalokasikan seluruh sumber daya ekonomi kepada seluruh rakyat atau
sederhadanya kekuasaan rakyat atas ekonomi dan perlawanan terhadap kemiskinan.[11]

Soekarno juga memiliki suatu konsepsi tentang demokrasi yang dikemukakan pada 21 Februari 1957.
Konsepsi itu berisi penolakannya terhadap sistem demokrasi parlementer yang saat itu diterapkan di
Indonesia, karena Soekarno menganggap demokrasi parlementer sebagai demokrasi Barat yang
mengecewakan. Selain itu, konsepsi Soekarno tentang demokrasi itu kemudian dikenal sebagai
Demokrasi Terpimpin atau Demokrasi Gotong Royong dengan kepemimpinan yang terpusat dan
integralistik.[12]

Demokrasi Menurut Mohammad Hatta


Untuk biografi, lihat Mohammad Hatta.

Mohammad Hatta
Seperti Soekarno, Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, Mohammad Hatta juga merupakan salah
satu tokoh pergerakan yang menjadi pengeritik utama demokrasi liberal Barat. Kritik Hatta terhadap
demokrasi Barat yang dimaksud, bukanlah demokrasi Barat dalam arti politik, yaitu demokrasi dalam
kehidupan politik, atau liberalisme secara umum. Dalam pamflet yang berjudul Ke Arah Indonesia
Merdeka, Hatta mengemukakan sebagai berikut:[13]

"Jadinya, demokrasi Barat yang dilahirkan oleh Revolusi Prancis tiada membawa kemerdekaan rakyat
yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme. Sebab itu demokrasi politik saja tidak
cukup untuk mencapai demokrasi yang sebenarnya, yaitu Kedaulatan Rakyat. Haruslah ada pula
demokrasi ekonomi."[13]

Demokrasi Barat yang bersendikan pada liberalisme memiliki sisi politik dan ekonomi, yaitu demokrasi
politik dan sistem kapitalisme dalam ekonominya. Secara spesifik dalam pandangan Hatta, sistem
ekonomi kapitalis lahir terlebih dulu (oleh kaum kelas borjuis yang menguasai parlemen di masa itu) dan
kemudian kelas borjuis yang kapitalis mendirikan sebuah sistem demokrasi politik yang bertujuan untuk
menjamin keberlangsungan sistem kapitalisme itu sendiri. Hatta mengakui bahwa demokrasi Barat
memang menjamin kedaulatan rakyat di bidang politik, akan tetapi karena kehidupan politik berkaitan
dengan kehidupan ekonomi, sementara kehidupan ekonomi dalam demokrasi Barat tidak mengandung
kedaulatan rakyat, maka bagi Hatta demokrasi politik dalam demokrasi Barat menjadi manipulatif, yaitu
“memutar satu asas yang baik seperti kedaulatan rakyat menjadi perkakas pemakan rakyat”.[14]

Demokrasi politik di Barat – seperti apa yang dikemukakan oleh William Ebenstein dan Edwin Fogelman
– bertumpu kepada “pementingan individu"[15] dalam kehidupan politik. Maksudnya, individu dengan
segenap hak-hak dasarnya merupakan unit utama dalam kehidupan politik. Negara dan kelompok-
kelompok lain diadakan semata-mata untuk melayani kepentingan individu-individu ini. Hatta
berpendapat, semangat individualisme Barat dalam politik harus ditolak. Sebaliknya, Hatta
menginginkan sebuah sistem demokrasi yang berdasarkan kebersamaan dan kekeluargaan yang
mencerminkan tradisi kehidupan bangsa Indonesia secara turun menurun.[16]

Hatta menganggap individualisme sebagai penyakit, sehingga individualism adalah sesuatu yang harus
dihindari, Hatta selanjutnya berbicara tentang demokrasi yang lebih sempurna bagi Indonesia – seperti
Soekarno – yaitu demokrasi di bidang politik dan ekonomi yang tidak mengandung paham
individualisme. Hatta bahkan amat yakin, demokrasi yang dibayangkannya itu akan bisa terwujud karena
kesesuaiannya dengan tradisi masyarakat Indonesia, yaitu kebersamaan dan kekeluargaan.

Sifat demokratis masyarakat asli Indonesia ini bersumber dari semangat kebersamaan atau kolektivisme.
Kolektivisme ini mewujud dalam sikap saling tolong menolong, gotong royong, dan sebagainya.
Kolektivisme dalam masyarakat asli Indonesia juga berarti pengambilan keputusan melalui musyawarah
untuk mencapai mufakat. Ini jelas berbeda dengan kebiasaan yang berlaku dalam sistem demokrasi
Barat yang individualistis.
Menurut Hatta, kebersamaan harus berarti, kepemilikan bersama atas suatu alat produksi (tanah) tidak
bisa dijalankan dengan pembagian, melainkan harus diusahakan secara bersama-sama pula. Dengan
kata lain, usaha individual dengan bantuan orang lain yang mencirikan kebersamaan masyarakat asli
Indonesia masa kini, harus diganti dengan milik bersama yang diusahakan secara bersama-sama pula.
Inilah yang dimaksud oleh Hatta dengan collectivisme baroe, yang seharusnya mewarnai kehidupan
ekonomi Indonesia merdeka. Pengertian inilah yang kemudian melekat pada koperasi sebagai wujud
kolektivisme baru.

Sejak masa pergerakan Indonesia, Hatta dalam pidatonya yang berjudul Koperasi: Jembatan ke
Demokrasi Ekonomi terus menyerukan koperasi sebagai satu-satunya organisasi ekonomi yang bisa
berhasil meletakkan sendi yang kuat untuk membangun kembali ekonomi yang roboh. Hatta
meyakininya karena koperasi berupaya berjalan dengan semangat self-help dan oto-activity. Artinya
koperasi berusaha menumbuhkan rasa percaya diri dan tolong menolong antar masyarakat sebagai
pemandu kemauan yang kuat. Semangat itulah yang sudah lama muncul yang sebetulnya membarengi
berkembangnya demokrasi sosial, politik dan ekonomi. Hal ini dapat dengan mudah dikatakan karena
bangunan demokrasi yang sangat kuat sebagian besar dipupuk dengan semangat koperasi. Demokrasi
dapat hidup dan kuat, kalau ada rasa tanggung jawab pada rakyat. Dasar koperasi adalah menghidupkan
rasa tanggung jawab itu, sebab koperasi selain membela keperluan bersama, membangun dalam jiwa
tiap-tiap anggotanya manusia merdeka, sadar akan harga dirinya.[17]

Hatta melihat, demokrasi Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno, lebih tepatnya setelah
Dwitunggal bubar dan Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden pada Juli 1959 telah bergeser menjadi
demokrasi yang meniru kediktatoran komunisme di Timur, demokrasi yang menurut Hatta hanya
dijadikan alat oleh negara untuk melanggengkan kekuasaan semata. Oleh karena itu, Hatta menyebut
periode Orde Lama sebagai periode “krisis demokrasi”. Pada 1966, tepatnya ketika rezim Soekarno
mulai berubah menjadi otoritarian dan Dwitunggal telah pecah, Hatta mulai mengoreksi, bahkan
mengkritik “demokrasi terpimpin” ataupun “demokrasi gotong royong” yang digagas Soekarno. Hatta
mengkritik demokrasi yang diterapkan oleh Soekarno itu dalam artikelnya yang berjudul Demokrasi Kita
yang dimuat dalam majalah Pandji Masjarakat pada 1966 yang sempat dibredel oleh pemerintah Orde
Lama.[18]

Demokrasi Menurut Soetan Sjahrir


Untuk biografi, lihat Soetan Sjahrir.

Soetan Sjahrir
Seperti halnya Soekarno dan Mohammad Hatta, Perdana Menteri Pertama Republik Indonesia, Soetan
Sjahrir juga memiliki konsepsi sendiri tentang demokrasi, namun yang membedannya adalah Sjahrir
tidak mengutuk habis-habisan demokrasi Barat seperti yang dilakukan Soekarno dan Hatta. Sjahrir lebih
membenci fasisme dan ketimbang kapitalisme Barat, oleh karena itu tak mengherankan bila Sjahrir lebih
suka melakukan dialog dengan pihak Sekutu Barat, seperti Amerika Serikat, Britania Raya, dan Belanda.

Selain fasisme, Sjahrir pun juga menyerang komunisme dan sistem demokrasinya sebagai ideologi yang
mengkhianati sosialisme kerena mengabaikan kemanusiaan, seperti Joseph Stalin dan Mao Tse Tung.
Karena serangan Sjahrir ke kaum komunis, maka para penentangnya yang berasal dari spektrum kiri jauh
mengejeknya dengan sebutan “soka” – yang merujuk pada nama bunga – atau akronim dari sosialis
kanan, karena keterpukauan Sjahrir kepada segala hal yang berbau Barat.[19]
Kebencian Sjahrir pada fasisme dan komunisme turut mempengaruhi konsepsinya mengenai demokrasi
dan pemerintahan di Indonesia Merdeka. Pemikiran Sjahrir tentang demokrasi dan pemerintahan di
Indonesia tertuang dalam bukunya yang berjudul Perjuangan Kita yang terbit pasca Indonesia Merdeka,
dan duet Soekarno-Hatta atau Dwitunggal menjadi pemimpin Indonesia. Bagi Sjahrir, pemerintahan
Indonesia yang baru merdeka, adalah pemerintahan yang dipimpin oleh kolaborator fasis (dalam hal ini
kolaborator Kekaisaran Jepang), sehingga pemerintahan perlu “didemokratisir”.[20]

“Secepat mungkin seluruh pemerintahan harus didemokratiseer, sehingga rakyat banyak masuk
tersusun di dalam lingkungan pemerintahan. Ini mudah dikerjakan dengan menghidupkan dan di mana
perlu membangunkan dewan-dewan perwakilan rakyat dari desa hingga ke puncak pemerintahan."[20]

Sementara seorang aktivis simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Rahman Tolleng menyebut ideologi
Sjahrir sebagai republikan-sosialis, “karena dia (Sjahrir) menekankan pada partisipasi rakyat,” kata
Tolleng. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi di kemudian hari Sjahrir mengubah sistem
presidensial menjadi parlementer agar partisipasi itu bisa maksimal.[19]

Dalam pemikirannya, Sjahrir sangat jelas memiliki banyak perbedaan dengan Soekarno dan Hatta
mengenai konsepsi demokrasi. Bila Soekarno dan Hatta melihat individualisme sebagai hal yang harus
dihindari, maka Sjahrir justru menganggap individualisme menjadi elemen yang penting dalam negara
dan sistem pemerintahan yang demokratis. Menurut Vedi Hadiz, pengajar ilmu politik di Universitas
Nasional Singapura, ideologi Sjahrir adalah perpaduan antara tradisi sosial-demokrat dengan liberalisme.
Sosial-demokrat Sjahrir, misalnya, terlihat pada perhatian dan gerakannya menumbuhkan pendidikan
rakyat. Sedangkan liberalisme muncul dari sikapnya yang menjunjung hak dan kebebasan individu.[21]

Sikap politik Sjahrir yang seorang sosialis tetapi mengakui ide-ide demokrasi Barat dan liberalism tidak
hanya membuat Sjahrir bermusuhan dengan fasisme, tetapi juga dengan kelompok komunis. Bagi Sjahrir
demokrasi dan sosialisme bisa tercapai dengan azas akal, bukan melalui jalur revolusi terus-menerus –
dalam hal ini Sjahir bertolak belakang dengan Soekarno yang mengatakan “revolusi belum selesai”,
tetapi ia sejalan dengan Hatta yang mengatakan “revolusi telah selesai”.

Konsepsi Sjahrir mengenai demokrasi dan sosialisme yang bisa dicapai melalui jalur diplomasi bukan
revolusi kekerasan diungkapkan pada Kongres Sosialis Asia II di Bombay (sekarang Mumbai), India pada
6 November 1956. Dalam Kongres itu Sjahrir berkata:[22]

“Kaum sosial kerakyatan di Asia menyadari bahwa mereka mempunyai kesabaran revolusioner yang
sama dengan kaum komunis, tetapi mereka melihat dengan sangat jelas bahwa kaum komunis telah
menempuh suatu jalan yang salah. Dituntun oleh ajaran-ajaran Lenin dan Stalin mengenai perjuangan
kelas, mereka menghancurkan dalam diri mereka sendiri, jiwa serta semangat sosialisme, yaitu
kemampuan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia.”[22]

Dalam pidato itu jelas Sjahrir menolah sistem demokrasi a’la Bolshevik dan Komunis Internasional yang
menindas dan mengabaikan kedaulatan rakyat dengan sistem yang hirarkis, otoriter, dan totaliter dalam
politbiro Partai Komunis. Menurut Sjahrir, pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dan martabat
manusia secara individu membuat sosialisme yang dianutnya sejalan dengan demokrasi liberal ala Barat,
namun dengan satu perbedaan, yaitu tidak adanya pengakuan terhadap sistem ekonomi kapitalis –
dalam hal ini Sjahrir sejalan dengan Soekarno dan Hatta.[23]
Demokrasi Parlementer
Era demokrasi parlementer di Indonesia, juga sering kali disebut sebagai era demokrasi konstitusional.
[24] Munculnya sistem parlementer di Indonesia karena jatuhnya kabinet Presidensial Pertama pada 14
November 1945 yang disebabkan oleh keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X/1945 pada 16 Oktober
1945 dan diikuti kemudian oleh Maklumat Pemerintah pada 3 November 1945 yang berisi tentang
seruan untuk mendirikan partai-partai politik di Indonesia.[25]

Daftar partai yang terbentuk setelah keluarnya Maklumat X[26]


No. Nama Partai Ketua Tanggal IdeologiKeterangan
1 Majelis Sjuro Moeslimin Indonesia (MASJUMI) Sukiman Wiryosanjoyo 7 November 1945
Islamisme, nasionalisme Islam
2 Partai Komunis Indonesia (PKI) Mr. Moehammad Yoesoef 7 November 1945
Komunisme
3 Partai Buruh Indonesia (PBI) Nyono 8 November 1945 Sosialisme, Kiri Jauh
Nantinya bergabung dengan PKI
4 Partai Rakyat Jelata (PRJ) Soetan Dewanis8 November 1945 Sosialisme
5 Partai Kristen Indonesia (PARKINDO) Ds. Probowinoto 10 November 1945
Protestanisme, Kristen demokrat
6 Partai Sosialis Indonesia (PSI) Amir Sjarifoedin 10 November 1945 Sosialisme,
sosial-demokrat
7 Partai Rakyat Sosialis (PRS) Soetan Sjahrir 20 November 1945 Sosialisme, sosial-
demokrat Pada Desember 1945, bergabung dengan PSI dan yang menjadi ketua tetap Soetan
Sjahrir
8 Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI) I. J. Kasimo 8 Desember 1945
Katholikisme, Kristen demokrat
9 Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (PERMEI) J. B. Assa 17 Desember 1945
Marhaenisme, Nasionalisme
10 Partai Nasional Indonesia (PNI) Joyosukarto 29 Januari 1946 Nasionalisme, Marhaenisme
PNI ini berbeda dengan PNI yang dibentuk Soekarno pada 1927 di Bandung, meskipun PNI ini
tetap mewarisi pemikiran PNI 1927. PNI pimpinan Joyosukarto ini adalah gabungan dari tiga partai
politik lainnya, yaitu: PRI (Partai Rakyat Indonesia), GRI (Gerakan Republik Indonesia), dan SRI (Serikat
Rakyat Indonesia).

Kabinet Sjahrir II, terlihat di foto, Amir Sjarifoedin sebelum terlibat dalam Pemberontakan PKI 1948
(orang kedua dari kiri berdiri dengan kacamata) dan Soetan Sjahrir (duduk di bangku paling kanan)
Keberlanjutan dari Maklumat Pemerintah itu adalah adanya pengumuman dari Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) tentang perubahan pertanggungjawaban Menteri kepada Parlemen,
dalam hal ini adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Usulan dari BPKNIP itu kemudian disetujui
oleh Presiden Soekarno pada 14 November 1945. Dengan demikian, maka secara otomatis sistem
pemerintahan di Indonesia saat itu bukan lagi presidensial, tetapi menjadi parlementer.[27]

Sistem pemerintahan parlementer yang pertama di Indonesia dimulai pada 14 November 1945 sampai
12 Maret 1946 dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Pertama Indonesia, Soetan Sjahrir atau disebut
juga sebagai Kabinet Sjahrir I.[28] Langkah mengubah sistem pemerintahan Indonesia dari presidensil ke
parlementer dianggap sebagai suatu langkah politik ideologi Sjahrir yang menganut sosial-demokrat dan
mendukung sistem demokrasi Barat yang parlemennya kuat.[19]
Demokrasi parlementer di Indonesia semakin kuat dengan memiliki landasan konstitusional, yaitu
Undang-Undang Dasar Sementara 1949 dan 1950. Dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 itu
menetapkan bahwa lembaga eksekutif, yang terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional
dan menteri-menteri memiliki tanggungjawab politik dibawah seorang perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan sehari-hari. Kabinet pemerintahan itu kemudian dibentuk atas dasar koalisi partai-partai
di parlemen, namun sering kali koalisi antar partai itu mengalami keretakan dan menggoyahkan kabinet
pemerintahan. Akhirnya karena seringnya koalisi partai tidak pernah utuh sampai selesai, banyak
kabinet pemerintahan di masa demokrasi parlementer jatuh bangun dengan cepat, ditambah partai
yang menjadi oposisi sering kali menunjukkan sikap kritik destruktif dengan mengangkat sisi negatif
partai penguasa, hal ini menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia saat itu belum dewasa.[24]

Menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar
Ilmu Politik, demokrasi parlementer di Indonesia dirasa kurang cocok, karena persatuan dan kesatuan
diantara elemen kekuatan politik bangsa dan negara menjadi kendor dan sulit untuk dikendalikan. Selain
itu demokrasi parlementer di Indonesia menurut Miriam telah melahirkan dominasi partai politik dan
lembaga legistalif yang justru mendorong politik nasional menjadi tidak tidak stabil.[24]

Kabinet Sjahrir II sedang bertemu dengan Presiden Soekarno


Ketidakstabilan dalam politik nasional Indonesia pada masa demokrasi parlementer disebabkan karena
kebanyakan kabinet pemerintahan hanya bertahan selama delapan bulan, hal ini bukan hanya
berdampak pada bidang politik, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional pada saat itu.
Ekonomi menjadi terhambat karena pemerintah tidak sempat melaksanakan program kerjanya dan
ketidaktabilan politik yang terjadi di pusat juga melebar hingga pemberontakan-pemberontakan yang
ada di daerah, seperti Darul Islam, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, dan sebagainya.[29]

Selain ketidakstabilan politik, ekonomi, dan keamanan negara, demokrasi parlementer juga membuat
seorang Soekarno marah. Selama masa demokrasi parlementer, Presiden Soekarno hanya sebagai
seroang kepala negara yang tugasnya tak lebih sebagai “tukang stempel” atau “rubberstamp”. Selain itu,
pihak militer juga menuntut diikutsertakan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan
karena merasa bahwa militer lahir dari semangat revolusi kemerdekaan yang berhak untuk terlibat
dalam politik.[12][29]

Puncak dari ketidakstabilan politik di era demokrasi parlementer adalah gagalnya anggota Konstituante
dalam membentuk suatu undang-undang dasar yang baru bagi Indonesia. Kegagalan Konstituante itu
disebabkan karena para anggota Konstituante yang terdiri dari partai-partai politik dalam parlemen tidak
pernah bekerjasama untuk mencapai konsensus membentuk undang-undang dasar yang baru.
Kegagalan Konstituante itu yang kemudian akhirnya mendorong Presiden Soekarno mengemukakan apa
yang disebut sebagai “Konsepsi Presiden” pada 21 Februari 1957, dalam konsepsi itu Soekarno
mengatakan bahwa demokrasi parlemeter adalah demokrasi Barat dan harus diganti. Akhirnya puncak
dari kekisruhan politik saat itu berakhir saat, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang menyatakan bahwa konstitusi Indonesia kembali pada Undang-Undang Dasar 1945 yang
sekaligus menyudahi kabinet parlementer terakhir yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo atau yang
disebut sebagai Kabinet Ali II dan seluruh sistem demokrasi parlementer di Indonesia.[29][30]

Demokrasi Terpimpin
Setelah berakhirnya era demokrasi parlementer, Indonesia mulai memasuki fase demokrasi lainnya,
yaitu demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin dimulai saat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Tetapi sebelum dekrit presiden diumumkan, demokrasi parlementer atau
demokrasi konstitusional masih bertahan dengan adanya pembentukan sebuah kabinet transisi yang
dipimpin oleh Ir. Djuanda atau yang disebut sebagai Kabinet Djuanda. Kabinet Djuanda ini berisi orang-
orang yang bukan dari koalisi dominan partai di palemenen, maka sering kali Kabinet Djuanda disebut
juga sebagai Kabinet Ekstra Parlemen. Kabinet ini terhitung mulai bekerja sejak 9 April 1957 sampai 10
Juli 1959.[31]

Jauh sebelum demokrasi terpimpin terbentuk, Soekarno sebenarnya telah mengemukakan keinginannya
untuk mengubah sistem demokrasi di Indonesia pada 27 Januari 1957 di Bandung. Gagasan Soekarno itu
yang diawali dengan mengungkapkan keinginannya untuk kembali bisa mencampuri urusan
pemerintahan meskipun Konstituante belum selesai membentuk undang-undang dasar yang baru.
Kelanjutan dari pendapatnya itu, kemudian Soekarno mengumpulkan para pemimpin partai politik
untuk membentuk sebuah lembaga yang disebut sebagai Dewan Nasional.[32]

Puncak dari ide-ide dan konsepsi demokrasi yang diimpikan Soekarno itu adalah pada 21 Februari 1957
yang dikenal dengan nama Konsepsi Presiden. Konsepsi Soekarno itu dikemukakan dihadapan para
menteri kabinet pemerintahan, pemimpin partai politik, dan perwira angkatan bersenjata. Isi daripada
konsepsi itu antara lain:[33]

Sistem demokrasi parlementer tidak cocok, harus diganti dengan demokrasi terpimpin.
Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin harus dibentuk Kabinet Gotong Royong yang diawali dengan
adanya “Kabinet Kaki Empat”.
Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan golongan fungsional sebagai penasehat Presiden.
Bila disimpulkan, Konsepsi Presiden yang dikemukakan oleh Soekarno intinya adalah; 1) mengganti
sistem pemeritnahan dari parlementer ke presidensial, 2) berusaha merangkul semua kekuatan politik
yang ada, terutama empat partai pemenang pemilu 1955, PNI, Masyumi, NU, dan PKI, dan juga
merangkul pihak militer dalam pembentukan Dewan Nasional.

Konsepsi itu sebenarnya banyak dikritik oleh para pemimpin partai, seperti Muhammad Natsir dari
Masyumi dan Imron Rosjadi dari NU, dan juga sebagian kecil anggota PNI (yang nantinya akan menjadi
PNI Osa-Usep). Puncaknya adalah pada 2 Maret 1957, lima partai yang terdiri dari Masyumi, NU, PSII,
Partai Katholik, dan PRI mengeluarkan pernyataan menolak konsepsi Soekarno. Sementara PKI satu-
satunya yang mendukung penuh konsepsi Soekarno itu dan sebagian besar anggota PNI (yang nantinya
akan menjadi PNI Ali-Soerachman).[34]

Meskipun mendapat tekanan dari partai-partai sayap kanan, Soekarno tetap menjalankan konsepsinya
dengan mengandalkan kekuatan partai-partai sayap kiri, yaitu PKI dan PNI. Pada 14 Maret 1957, keluar
undang-undang tentang keadaan darurat dan juga dibentuk sebuah kabinet transisi dibawah
kepemimpinan Ir. Juanda. Puncaknya adalah saat Soekarno kemudian mencetuskan konsepsinya itu
dalam bentuk Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang mengawali era demokrasi terpimpin di Indonesia. Isi
daripada Dekrit Presiden itu antara lain:[35]

Menetapkan pembubaran Konstituante


Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak berlakunya lagi
Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta
membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya.
Meskipun Konsepsi Presiden itu bertujuan untuk menyatukan semua kekuatan politik yang ada dan
menciptakan stabilitas politik nasional, tetapi pada praktiknya, Presiden Soekarno kemudian berusaha
menciptakan sebuh sistem kediktatoran yang diatasnamakan demokrasi terpimpin. Pada periode ini
pula kepemimpinan Dwitunggal bubar, Mohammad Hatta memilih untuk berada diluar pemerintahan
dan menjadi tokoh yang mengkritik Soekarno dengan tulisan-tulisan dan menganggap Soekarno telah
berubah menjadi seorang diktator sejak 1956.[36]

Menurut Miriam Budiardjo, ciri-ciri dari era demokrasi terpimpin adalah dominasi presiden yang
menguat, berkembangnya pengaruh komunisme, dan masuknya militer sebagai unsur sosial-politik.
Dekrit Presiden 5 Juli pada dasarnya membuka peluang bagi stabilitas politik nasional, karena dapat
mempertahankan kedudukan pemerintah setidaknya selama lima tahun, namun Dekrit Presiden 5 Juli
1959 itu berubah saat dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Soekarno sebagai
presiden seumur hidup. Ketetapan MPR itu sekaligus melangkahi batasan kedudukan seorang presiden
dan menjadikan Soekarno sebagai seorang diktator. Hal ini menjadi salah satu bentuk penyelewengan
konstitusi dan demokrasi di era demokrasi terpimpin.[37]

Penyalahgunaan lainnya yang dilakukan oleh Soekarno selama era demokrasi terpimpin adalah pada
1960, Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tak lain adalah lembaga legislatif,
padahal Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan kewenangan itu kepada seroang presiden.
Bahkan kemudian, setelah membubarkan DPR, Presiden Soekarno membentuk lembaga legislatif, yang
seharusnya anggota legislatif dipilih oleh rakyat, bukan presiden. Badan legislatif yang dibentuk
Soekarno itu kemudian disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Praktis,
karena DPR-GR adalah bentukan presiden, maka fungsi kontrol dari lembaga legislatif terhadap eksekutif
dihilangkan. Selain itu, jabatan Ketua DPR-GR dijadikan menteri oleh Presiden Soekarno, itu artinya
legislatif berada dibawah eksekutif, hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden No. 14/1960.[38]

Soekarno berpidato dihadapan ribuan kader Partai Komunis Indonesia


Selain lembaga legislatif, lembaga yudikatif juga mendapatkan intervensi dari Presiden Soekarno, salah
satunya adalah presiden memiliki kewenangan untuk ikut campur tangan dalam badan yudikatif yaitu
Mahkamah Agung. Intervensi Presiden Soekarno terhadap lambaga yudikatif itu semakin diperkuat
dengan Undang-Undang No.19/1964, itu artinya presiden sah apabila mencampuri putusan apapun yang
dibuat oleh lembaga yudikatif.[38]

Selain dalam hal pemerintahan, kecenderungan pada komunisme juga terjadi di era demokrasi
terpimpin, salah satunya adalah Presiden Soekarno membentuk sebuah lembaga ekstra konstitusional,
yaitu Front Nasional. Menurut Miriam Budiardjo, pembentukan Front Nasional adalah bagian dari
strategi Komunis Internasional (Komintern) untuk membentuk sebuah negara yang berdasarkan poda
“demokrasi rakyat”. Jadi Front Nasional yang dibentuk oleh Presiden Soekarno itu kemudian menjadi
lahan berpolitik bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tak bisa diutak-atik karena posisinya yang
berada diluar konstitusi tetapi dilindungi oleh presiden.[38]

Demokrasi terpimpin yang digagas oleh Presiden Soekarno semakin menunjukkan penyelewengan dan
justru menjauhi konsep dan nilai demokrasi itu sendiri, bukan hanya karena intervensi penuh pada
lembaga legislatif dan yudikatif, tetapi juga pembredelan terhadap partai politik yang dianggap melawan
Presiden Soekarno, seperti Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan dan Soetan Sjahrir
kemudian dibuang ke Swiss sampai wafat pada 1966, begitupula dengan pers dan lembaga seni yang
bertentangan dengan Presiden Soekarno ataupun yang berkonflik dengan PKI, seperti Harian Pandji
Masjarakat dan para aktivis kebudayaan yang tergabung dalam Manikebu juga dibredel. Selain itu pula
Presiden Soekarno lebih mengutamakan kepada kebijakan politik luar negeri yang disebut sebagai
“Politik Mercusuar”, hal ini berimbas pada terabaikannya sektor ekonomi nasional yang menyebabkan
inflasi besar dan kemiskinan.[38]

Era demokrasi terpimpin berakhir dengan peristiwa sejarah yang paling kelam bagi Bangsa Indonesia,
yaitu Peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI. Jumlah korban dalam
peristiwa itu bukan hanya 6 jenderal dan 1 perwira Angkatan Darat Indonesia saja, tetapi juga (diduga)
jutaan orang komunis yang sebenarnya tak tahu menahu tentang G30S/PKI ikut terbantai hampir
diseluruh wilayah Indonesia. G30S/PKI selain mengakhiri era demokrasi terpimpin, sekaligus juga
mengawali suatu fase kediktatoran baru, kediktatoran militer Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal
Soeharto atau yang disebut sebagai era demokrasi Pancasila.[38][39]

Demokrasi Pancasila

Mayor Jenderal Soeharto saat pemakaman 6 Jenderal dan 1 Perwira Muda Angkatan Darat yang menjadi
korban G30S
Era demokrasi Pancasila diawali dengan suatu peristiwa sejarah yang sangat kelam bagi Indonesia, yaitu
Gerakan 30 September (G30S) atau yang sering juga disebut dengan G30S/PKI. Pemberontakan G30S
terjadi pada antara 30 September dan juga 1 Oktober 1965, Soekarno lebih suka menyebutnya Gestok
(Gerakan Satu Oktober) semenatara Soeharto lebih suka menyebutnya Gestapu (Gerakan September
Tigapuluh). Peristiwa ini menelan korban kurang lebih tiga juta orang - menurut Sarwo Edhie Wibowo,
sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kasus genosida terbesar keempat di dunia
setelah Jerman Nazi, Kamboja Demokratik, dan Rwanda.[40] Namun, terlepas dari peristiwa
kemanusiaan yang mengikutinya, G30S juga membawa satu angin perubahan sosial, politik, dan
ekonomi di Indonesia.

Sistem demokrasi terpimpin yang justru dijadikan landasan untuk berdirinya sebuah pemerintahan
diktator oleh Soekarno setelah keluarnya Dekret Presiden 5 Juli 1959 ternyata tidak bertahan lama.
Dibawah kepemimpinan tunggal Presiden Soekarno, yang berdasarkan pada konsep Nasakom
(Nasionalis, Agamis, dan Komunis) dengan tujuan menyatukan seluruh elemen kekuatan sosial-politik di
Indonesia ternyata tidak berhasil, karena kecenderungan Soekarno pada kelompok komunis dan
membredel kelompok-kelompok kanan, justru menimbulkan suatu potensi konflik politik baru yang
membuat politik di Indonesia menjadi tidak stabil. Ditambah lagi dengan krisis ekonomi dan konflik
politik antara Partai Komunis Indonesia dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat membuat
rezim Orde Lama itu akhirnya tumbang dan Indonesia digantikan oleh sebuah rezim baru yang disebut
sebagai Orde Baru dibawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.[41]

Setelah mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar), Soeharto kemudian menjadi suksesor Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia yang
kedua dan secara resmi periode Orde Baru atau era demokrasi Pancasila dimulai. Menurut Haniah
Hanafie dan Suryani, dalam menjalankan pemerintahan, Presiden Soeharto mendasarinya pada
kerangka organisasi yang disebut sebagai "Jalur ABG" (singkatan dari ABRI, Birokrasi, dan Golkar).
Melalui jalur ABG itu negara menentukan kebijakan-kebijakan politiknya, hal ini menjadikan Indonesia -
seperti yang disebut oleh Karl D. Jackson sebagai Bureaucratic Policy atau "Masyarakat Politik
Birokratis",[42] yang artinya bahwa setiap keputusan diambil oleh pihak junta militer melalui struktur
dan sistem birokrasi.[43]

Sebenarnya, pertama kali ketika Orde Baru terbentuk, mereka didukung oleh hampir seluruh rakyat
Indonesia (kecuali kelompok sayap kiri, yang hampir habis dibantai saat G30S). Banyak orang dari
berbagai kalangan seperti mahasiswa, tokoh agama, intelektual, cendekiawan, dan sebagainya menaruh
harapan bahwa Orde Baru dapat mengembalikan demokrasi Indonesia kepada jalur yang benar, sebuah
demokrasi yang bersendikan pada Pancasila. Oleh karena itu, menurut Miriam Budiardjo, pada masa
Orde Baru, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
menjadi landasan formal yang berlaku di Indonesia, sehingga periode ini disebut juga dengan demokrasi
Pancasila.[38]

Presiden Soeharto (1970)


Langkah awal Orde Baru dalam proses rekonstruksi sistem demokrasi di Indonesia, seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, bahwa Orde Baru bertujuan untuk meluruskan kembali cita-cita demokrasi
Indonesia yang melenceng menjadi kediktatoran dibawah kekuasaan Presiden Soekarno selama masa
demokrasi terpimpin (Orde Lama). Salah satu yang dilakukan untuk menghapuskan kediktatoran Orde
Lama adalah membatalkan Ketetapan MPRS No. III/1963 yang berisi tentang pengangkatan Soekarno
sebagai presiden seumur hidup, dan jabatan presiden kemudian direvisi kembali menjadi jabatan yang
elektif (dipilih secara berkala) selama satu periodenya adalah lima tahun. Kemudian keluarnya
Ketetapan MPRS No.XIX/1966 yang isinya adalah untuk menentukan tinjauan kembali terhadap produk-
produk legislatif di masa Orde Lama, dan atas dasar Ketetapan MPRS itu, Undang-Undang No.19/1964
diganti dengan Undang-Undang No.14/1970 yang isisnya mengmabalikan independensi lembaga
yudikatif. Lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) juga dikembalikan
hak dan fungsi kontrolnya terhadap lembaga eksekutif dan Ketua DPR-GR tidak lagi menjadi seorang
menteri dibawah Presiden, tetapi memiliki kedudukan yang sejajar dengan Presiden, selain itu hak
Presiden untuk mengintervensi Parlemen dicabut. Kebebasan pers dan seni juga dikembalikan, para
tokoh partai-partai politik yang dahulu di masa demokrasi terpimpin ditangkap dan diasingkan
dibebaskan,[44] salah satunya Soetan Syahrir, tetapi Sjahrir lebih dahulu meninggal sebelum sempat
kembali ke Indonesia.[45]

Dibidang ekonomi, Orde Baru juga berusaha untuk mengembalikan sektor ekonomi nasional yang
terabaikan selama Orde Lama, salah satunya adalah membuka kran investasi asing sebesar-besarnya
untuk melakukan pembangunan nasional yang berkesinambungan. Salah satunya adalah Freeport-
McMoRan yang menanamkan uangnya di Indonesia pada 1967 untuk mengeksplorasi sumber daya emas
di Papua (saat itu Irian Jaya).[46]

Masa demokrasi Pancasila menunjukkan keberhasilan dalam politik, hal ini dibuktikan dengan
keberhasilan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) secara teratur, yaitu 1971, 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997. Adanya pemilu yang teratur memang merupakan tekad awal Orde Baru untuk
membangun kembali demokrasi Indonesia, dan ini telah diatur dalam Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum tahun 1969, tepatnya satu tahun setelah Jenderal Soeharto dilantik menjadi Presiden
Kedua Republik Indonesia pada 1968 atau dua tahun setelah dilantik sebagai Pejabat Presiden pada
1967 dan tiga tahun setelah mendapatkan Surat Perintah Sebelas Maret. Hal ini sesuai dengan slogan
Orde Baru yaitu; menjalankan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
[47]
Setelah politik dan ekonomi nasional kembali stabil, lambat laun ternyata telah tercipta sebuah
pemusatan kekuasaan kepada Presiden Soeharto. Dominasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
semakin terasa jelas, birokrasi menjadi semakin rumit dan mengekang kebebasan masyarakat, dan juga
Golongan Karya berubah menjadi sebuah organisasi politik yang dominan dalam politik Indonesia.
Pemerintahan Presiden Soeharto secara terang-terangan berubah menjadi sebuah rezim yang otoriter
namun kali ini bukan otoritarianisme sayap kiri seperti di era Soekarno, tetapi lebih kepada kediktatoran
junta militer, karena militer bisa dimana saja, menduduki jabatan-jabatan publik yang strategis, yang
seharusnya dalam demokrasi tidak boleh ada intevensi militer di dalamnya.

Publik mulai menyadari bahwa nilai-nilai demokrasi tidak ada dalam penyelenggaraan pemilu yang
diadakan oleh Orde Baru. Misalkan adanya kebijakan fusi partai yang menjadikan semua kelompok
nasionalis dilebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia dan seluruh golongan Islamis digabung dalam
Partai Persatuan Pembangunan, sementara Golongan Karya tetap menjadi satu organisasi politik non-
partai pada saat itu. Kedudukan Golkar yang non-partai ternyata dijadikan kelebihan bagi Orde Baru,
karena hanya Golkar saja yang boleh memiliki pengurus hingga ke tingkat desa dan kelurahan, selain itu
pemerintah juga menerapkan kebijakan monoloyalitas bagi pegawai negeri untuk mewajibkan mereka
memilih Golkar dalam setiap pemilu, hal ini menunjukkan apa yang disebut oleh Miriam Budiardjo
sebagai ketidakadilan dalam sistem politik di masa demokrasi Pancasila.[48]

Puncak dari anomali dimasa demokrasi Pancasila adalah merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme
(disingkat KKN) dan pembangunan ekonomi tidak dirasakan oleh rakyat yang kemudian menimbulkan
masalah kemiskinan seperti di akhir-akhir masa demokrasi terpimpin. Akibatnya adalah kelompok-
kelompok yang anti terhadap Presiden Soeharto semakin menguat, terutama kelompok intelektual
seperti mahasiswa dan pemuda. Kelompok mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh Indonesia dan
juga organisasi-organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung melakukan aksi
demonstrasi menuntut agar Soeharto mundur dari jabatan sebagai Presiden Indonesia. Akhirnya karena
terus menerus diterpa gelombang demonstrasi yang menunutnya untuk mundur dan kehilangan
kepercayaan dari orang-orang terdekatnya, Presiden Soeharto akhirnya menyatakan mundur pada 21
Mei 1998 atau yang dikenal sebagai Reformasi 1998 yang sekaligus menandai akhir dari era demokrasi
Pancasila.[49]

Era Reformasi
Proses Reformasi politik di Indonesia pasca jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998 telah membuka
peluang bagi tumbuhnya nilai-nilai demokrasi demi mewujudkan suatu pemerintahan yang baik. Proses
Reformasi itu terbagi dalam dua fase, yaitu:

Transisi Demokrasi

Kabinet Reformasi Pembangunan Presiden Habibie


Sebenarnya fase transisi ini adalah fase yang paling singkat, namun paling menentukan, karena
ketidakberhasilan suatu negara dalam proses demokratisasi-nya tergantung pada proses transisi
demokrasi. Menurut Richard Gunther, transisi itu adalah:

"Begins with the breakdown of the former authoritarian regime and ends with the establishment of a
relatively stable configuration of political institutions within a democratic regime"[50]

yang artinya adalah:


"Dimulai dengan hancurnya bekas rezim otoriter dan diakhiri dengan pembentukan konfigurasi institusi
politik yang relatif stabil dalam sebuah rezim demokratis"

Proses transisi demokrasi atau proses demokratisasi di Indonesia dimulai ketika terjadinya perpindahan
kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden B. J. Habibie pada 21 Mei 1998. Disebut
"transisi" karena pada fase inilah Indonesia mengalami peralihan atau transisi sistem politik dari
otoritarian menuju demokrasi, transisi dari supremasi militer kepada supremasi sipil, transisi dari
sentralisasi ke desentralisasi, dan seterusnya, yang maknanya adalah Indonesia telah beranjak
meninggalkan sistem diktator dan sedang menuju perubahan sebagai negara yang demokratis.

Tumbangnya Orde Baru telah membuka peluang terjadinya reformasi politik dan proses demokratisasi di
Indonesia. Pengalaman pada masa Orde Baru juga telah membuat Indonesia menyadari bahwa
demokrasi penting bagi tumbuhnya kesejahteraan rakyat, oleh karenanya seluruh rakyat Indonesia
pasca-1998 menaruh harapan bahwa proses demokratisasi dibawah kepemimpinan Presiden Habibie
dan Kabinet Reformasi Pembangunan dapat berjalan dengan baik dan tidak terjadi lagi anomali transisi
demokrasi seperti dari Orde Lama ke Orde Baru.[51]

Presiden Habibie yang dilantik menggantikan Presiden Soeharto kemudian menjadi El Pilota del Cambio
(dalam Bahasa Indonesia yang artinya "Sang Pilot Perubahan - sebuah julukan bagi Raja Juan Carlos yang
memimpin reformasi politik di Spanyol pasca-Francisco Franco)[52] memikul tanggungjawab besar
untuk memulai langkah-langkah demokratisasi dan meletakan fondasi-fondasi utama bagi sistem
demokrasi di Indonesia, seperti mempersiapkan pemilihan umum (pemilu) yang demokratis dan
membuat peraturan-peraturan, termasuk juga membebaskan para tahanan politik Orde Baru. Di era
transisi demokrasi ini terbentuk beberapa undang-undang baru, misalkan seperti Undang-Undang
tentang Partai Politik, Undang-Undang Pemilu, dan juga Undang-Undang tentang Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara juga mengalami perubahan.[51]

Konsolidasi Demokrasi
Setelah proses transisi demokrasi berhasil, maka selanjutnya adalah konsolidasi atau pemantapan
sistem demokrasi. Menurut Kacung Marijan, konsolidasi demokrasi menjadi penting karena sering kali
beberapa negara yang berusaha melakukan proses demokratisasi justru gagal ditengah jalan karena
proses transisinya yang tidak selesai atau gagal dalam proses konsolidasi sebuah sistem yang
demokratis, sehingga negara itu kembali kepada sistem otoriter dan diperintah kembali oleh seorang
diktator.[53]

Konsep utama dari proses konsolidasi demokrasi menurut Andreas Schedler adalah manakala ada suatu
negara yang menghadapi stabilitas rezim, itu artinya bahwa konsolidasi ditentukan oleh seberapa
stabilnya rezim, dalam hal ini adalah bagaimana konsolidasi demorkrasi menjadi berhasil bila stabilitas
rezim yang demokratis itu juga dapat terjaga. Menurut Guillermo O'Donnell, bila konsolidasi rezim itu
sudah tercapai, maka sudah kemungkinan besar stabilitas rezim juga akan dapat berkelangsungan.[53]

Dalam kasus proses konsolidasi demokrasi di Indonesia pasca-Reformasi, rezim baru dalam hal ini
Presiden Habibie dan kelompok Reformis lainnya terutama para elit politik yang tergabung dalam
Kelompok Ciganjur (Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Gus Dur) perlu mencapai sebuah
konsensus atau kesepakatan bersama, Presiden Habibie sebagai suksesor atau pengganti Soeharto
kemudian bertindak mewakili rezim lama, dan juga unsur-unsur yang meliputinya, seperti Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, Birokrat, dan Golongan Karya untuk dapat berdamai dengan unsur-unsur
kekuatan politik baru hasil reformasi, seperti mahasiswa dan tokoh-tokoh politik yang menjadi oposan
atau lawan dari unsur kekuatan politik lama. Bila proses konsolidasi tidak melibatkan unsur-unsur
kekuatan politik lama, terutama dari kalangan militer, maka yang mungkin terjadi adalah militer akan
melakukan kudeta terhadap pemerintahan reformis dan berusaha kembali mendirikan sebuah sistem
junta militer, seperti yang dilakukan oleh para perwira loyalis Franco di Spanyol yang dikenal dengan
Gerakan F-23.[54]

Namun beruntung bagi Indonesia - tidak seperti yang terjadi di Spanyol - karena pihak militer yang saat
itu dipimpin oleh Panglima Wiranto menerima proses reformasi dan demokratisasi di Indonesia, hampir
seluruh loyalis Presiden Soeharto yang duduk di posisi-posisi penting setuju untuk melakukan
konsolidasi demokrasi dengan kelompok reformis, salah satu hasilnya adalah dihapusnya Dwifungsi ABRI
(tentara sebagai alat pertahanan sekaligus sosial-politik) dan dipecahnya Kepolisian Republik Indonesia
dari ABRI, dan ABRI sendiri kemudian berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).[51]

Tantangan Demokrasi
Proses konsolidasi demokrasi di Indonesia juga didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik
pasca reformasi setidaknya dalam ekonomi makro, seperti pertumbuhan investasi, kerjasama
perdagangan luar negeri, dan sebagainya. Tetapi yang menjadi tantangan adalah kebangkitan ekonomi
makro di Indonesia ternyata tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi mikro, perekonomian rakyat
dari kalangan menengah ke bawah belum cukup terasa. Selain itu menurut Fuad Bawazier,
perekonomian Indonesia sebagian besar masih ditopang oleh hutang luar negeri, ditambah lagi dengan
tingkat kemiskinan yang tinggi, dan sebagainya.[55]

Bila demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila selalu menemui tantangan
politik, salah satunya kemunculan rezim diktator. Maka di era reformasi ini, sektor ekonomi yang
menjadi tantangan bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia,[56] sekaligus menentukan
kemanakah arah demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, apakah seperti yang akan dicita-citakan oleh
para founding fathers Bangsa Indonesia atau mungkin kearah lainnya?

Anda mungkin juga menyukai