Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PEMANFAATAN PT ERIDOPHYTA KAWASAN HUTAN PACET TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA) RADEN SOE…
Hanipa Imuy
GROUND COVER PLANT COMMUNIT Y COMPOSIT ION ON 1 HA PERMANENT PLOT OF MOUNT POHEN, B…
Sut omo Sut omo
ISSN 2089-9947
Wawan W. Efendi
Fitroh N.P. Hapsari
Zulaikhah Nuraini, S.Pd
Abstrak
Tumbuhan paku merupakan tumbuhan kormophyta berspora yang mudah hidup di berbagai habitat.
Kelimpahan dan persebarannya sangat luas dikarenakan sporanya mudah terbawa angin maupun
medium peranta lainnya, dan mampu bertahan pada kondisi yang kurang optimal. Namun, menur ut
Suryana (2009)hingga sekarang data dasar tumbuhan paku tentang komposisi, keanekaragaman dan
distribusi belum banyak terungkap. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
tentang data tersebut di kawasan wisata Coban Rondo. Inventarisasi dilakukan menggunakan teknik
porposive samplingdengan plot berukuran 120 m x 50 m yang kemudian dibagi menjadi empat sub-
plot yang sama besar (30 m x 50 m). Tiap-tiap sub-plot tersebut diidentifikasi dan dihitung semua
jumlah individu yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kawasan wisata Coban Rondo
terdapat 27 jenis paku yang terdiri dari 2 divisi (Pteridophyta dan Lycophyta), 3 kelas
(Polypodiopsida, Marattiopsida dan Lycopsida), 4 ordo (Polypodiales, Cyatheales, Marattiales dan
Selaginellales) dan serta 14 famili. Paku yang komposisi dan dominansi tertinggi adalah Athyrium
procumbens (Holtt.) Holtt.Sedangkan tingkat keanekaragamannya tergolong ke dalam kategori tinggi,
yaitu 8,87.
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna yang tinggi. Menurut Supeni (1994) di
dalam Suryana (2009) Diperkirakan dari seluruh jumlah flora dan fauna yang ada di dunia,
17% berada di Indonesia. Tingginya tingkat keanekaragaman hayati tersebut dikarenakan
Indonesia merupakan negara tropis dengan tingkat curah hujan yang tinggi. Sedangkan
menurut Nandika (2005), Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna dikarenakan
dari aspek geografis sumber daya hutannya terletak di sekitar garis khatulistiwa dan
tersebar di banyak kepulauan, serta berada di antara benua Asia dan Australia – sehingga
menyebabkan timbulnya ciri dan karakteristik tertentu pada sumber daya yang berupa
ekosistem hutan hujan tropis.
Hutan hujan tropis Indonesia dikenal sebagai hutan yang paling kaya akan jenis
tumbuhan dan memiliki ekosistem paling kompleks di dunia (Whitmore, 1984 dalam
Sidiyasaet al., 2006). Selain itu, menurut Groobridge (1992) dalam Suryana (2009)
keanekaragaman hayati Indonesia merupakan terbesar kedua di dunia.
Salah satu jenis keanekaragaman hayati dari kelompok flora yang ada di Indonesia
adalah tumbuhan paku (Sastrapradja, 1985 dalam Suryana, 2009) yang merupakan
tumbuhan kormophyta berspora yang dapat hidup dengan mudah di berbagai macam
habitat dan di mana saja baik secara epifit, terestrial maupun di air (Ewusie, 1990 dalam
Widhiastuti et al., 2006).
Kelimpahan dan penyebaran tumbuhan paku sangat tinggi terutama di daerah
hujan tropis. Tumbuhan paku juga banyak terdapat di hutan pegunungan (Ewusie, 1990
dalam Widhiastuti et al., 2006). Menurut Tjitrosomo et al. (1983) tumbuhan paku tersebar
luas dari tropika yang lembab hingga melampaui lingkaran Afrika. Sedangkan jumlah yang
teramat besar dijumpai di hutan-hutan tropika dan tumbuh dengan subur (di daerah
beriklim sedang, di hutan-hutan, padang rumput yang lembab, sepanjang sisi jalan dan
sungai).
Tumbuhan paku memiliki jenis yang heterogen, baik ditinjau dari segi habitus
maupun cara hidupnya (Tjitrosoepomo, 2005). Di permukaan bumi ini dilaporkan terdapat
13.000 jenis tumbuhan paku. Di kawasan Malesia yang terdiri dari hampir kepulauan
Indonesia, Filipina, Guinea dan Australia Utara diperkirakan terdapat 4.000 jenis paku
yang mayoritasnya adalah Filicinae (Whitten, 1995 dalam Lubis, 2009). Menurut Loveless
(1999) paku diwakili oleh kurang dari 10.000 jenis yang hidup, tetapi karena ukurannya
yang besar dan karakteristiknya yang khas, tumbuhan merupakan komponen vegetasi yang
menonjol. Total spesies yang diketahui hampir 10.000 (diperkirakan 3.000 di antaranya
tumbuh di Indonesia).
Di sisi lain, tumbuhan paku juga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi,
terutama pada keindahannya dan sebagai tanaman holtikultura, sebagai tanaman hias
(Polunim, 1994 dalam Daryanti, 2009). Sastrapradja et al. (1980) menjelaskan bahwa
tumbuhan paku juga dapat dimanfaatkan untuk sayuran dan obat-obatan tradisional.
Misalnya Helminthostachys zeylanica (Linn.) Hook. merupakan salah satu tumbuhan paku
yang telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional (Fitrya & Anwar,
2009). Sedangkan tumbuhan paku Cyathea mempunyai peranan yang besar bagi
keseimbangan ekosistem hutan antara lain sebagai pencegah erosi dan pengatur tata guna
air.
Penyebaran dan keanekaragaman tumbuhan paku memang sangat besar, begitu
pula dengan potensi dan manfaatnya yang cukup penting baik untuk tanaman hias, sayuran,
obat-obatan hingga peranannya sebagai keseimbangan ekosistem. Namun, data dasar
B. Pembahasan
1. Kawasan Wisata Coban Rondo
Nama Coban Rondo tersebut berasal dari legenda sepasang pengantin yang baru
saja menikah, yaitu Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi dan Raden Baron Kusumo dari
Gunung Anjasmoro. Diusia pernikahan mencapai 36 hari (selapan=bahasa Jawa), mereka
bersikeras untuk berkunjung ke Gunung Anjasmoro meskipun orangtuanya tidak
mengizinkan. Namun, ditengah perjalanan mereka dihadang oleh Joko Lelono yang tertarik
pada Dewi Anjarwati dan berusaha merebutnay dari Raden Baron Kusumo.
Perkelahianpun tidak dapat dihindarkan, Sehingga Raden Baron Kusumo meminta pada
pembantunya untuk menyembunyikan Dewi Anjarwati di tempat yang ada air terjunnya
(Coban=Bahasa Jawa). Perkelahian tersebut berlangsung menegangkan, hingga keduanya
sama-sama gugur. Dengan demikian Dewi Anjarwati menjadi Janda (Rondo=Bahasa
Jawa). Sejak itulah tempat Dewi Anjarwati bersembunyi di sebut dengan Coban Rondo
(Coban Rondo, 2012).
Kawasan wisata Coban Rondo terletak di Desa Pandesari, Kecamatan Pujon,
Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur dengan batas wilayah sesuai pengembangannya
adalah:
Sebelah Utara : Desa Sebaluh
Sebelah Selatan : Desa Paranggembang
Sebelah Barat : Desa Pujon Kidul
Sebelah Timur : Kecamatan Batu
Sedangkan menurut wilayah pengelolahan hutan, Coban Rondo masuk wilayah Kawasan
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Malang. Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan
(BKPH) Pujon Resort Polisi Hutan (RPH) Pujon Selatan (Anonymous, 1999).
Secara geografis kawasan wisata Coban Rondo terletak pada koordinat 7° 53' 5"
Lintang Selatan, dan 112° 28' 36" Bujur Timur, yang berada pada ketinggian 1135 meter
dpl, dengan debit air 150 liter/detik saat musim hujan, sedangkan pada musim kemarau
hanya 90 liter/detik (Anonymous, 2012) dan curah hujan rata-rata 1.721 mm pertahun
sehingga memiliki kelembaban yang tinggi (Anonymous, 2012). Coban Rondo bentang
lahannya dicirikan oleh dataran tinggi yang dikelilingi oleh pegunungan yang terjal
(Rahadi et al. 2008).
2. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juli 2012 di kawasan wisata Coban Rondo
Desa Pandesari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Penentuan
sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yang menurut
Sugiyono (2010) adalah teknik penentuan sampel dengan mempertimbangkan suatu hal
tertentu. Maka dalam penelitian ini didasarkan pada keberadaan tumbuhan paku yang
dianggap mewakili kawasan wisata Coban Rondo, yaitu pada area dekat air terjun. Pada
lokasi penelitian dibuat petak plot berukuran 120m x 50m yang dimulai dari gapura masuk
air terjun Coban Rondo ke arah samping kanan dan ke samping kiri dengan panjang 50 m.
kemudian ditarik ke arah menuju air terjun sepanjang 120 m hingga membentuk persegi
panjang. Kemudian plot tersebut dibagi menjadi empat bagian yang sama besar dengan
ukuran 30 m x 50 m.
Semua jenis tumbuhan paku yang ditemukan, diidentifikasi berdasarkan literatur-
literatur yang muktahir. Dilakukan pula pemotretan semua tumbuhan paku tersebut dari
kenampakan utuhnya hingga semua bagiannya terutama bagian yang merupakan ciri
utamanya. Setiap jenis paku dihitung jumlah individunya di dalam tiap-tiap plot. Selain
keanekaragamannya, dilakukan pengukuran faktor-faktor abiotiknya seperti; suhu,
kelembaban, pH tanah, kecepatan angin, dan intensitas cahaya.
Data yang telah diperoleh tersebut dianalisis dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Indriyanto, 2006):
a. Kerapatan (K)
c. Frekuensi (F)
INP = KR+FR
f. Indeks Keanekaragaman
(s – 1)
d =
Log N
Keterangan:
d = Indeks keanekaragaman Margalef
s = Jumlah spesies
N = Jumlah individu
Tabel 1
Hasil Identifikasi Tumbuhan Paku Di Kawasan Wisata
Coban Rondo
Banyak Jenis di
No. Divisi Kelas Ordo Famili Jenis Paku Dalam Plot ∑
I II III IV
1. Pterido- Polypodi- Polypodia- Adiantaceae Adiantum capillus-veneris - 27 - - 27
phyta opsida les L.
2. Adiantum diaphanum 6 18 - - 24
Blume
3. Adiantum hispidulum Sw. 1 2 1 4 8
Adiantum raddianum C.
4. Presl. - 2 - 5 7
Dryopteris sp.
5. Dryopteridaceae 3 - - - 3
Asplenium robustum Bl.
6. Aspleniaceae Asplenium perakense 8 15 24 9 56
7. Matthew & Christ. 5 8 10 7 30
Hymenasplenium sp.
8. - 1 - - 1
Athyrium procumbens
9. Athyriaceae (Holtt.) Holtt. 52 68 25 13 158
Davallia denticulata
10. Davalliaceae (Burm.) Mett. 4 26 17 6 53
Nephrolepis hirsutula
13. Nephrolepidaceae (Forst.) Pr. 10 14 16 16 56
80%-90%, pH tanah 5,0-6,0, Intensitas cahaya 0,20-978 lux, dan Kecepatan angin 0,3-6,8
knots. Sedangkan debit air di kawasan wisata Coban Rondo adalah 150 liter/detik saat
musim hujan, sedangkan pada musim kemarau hanya 90 liter/detik (Anonymous, 2012)
dengan curah hujan rata-rata 1,721 mm pertahun (Anonymous, 2012). Menurut LIPI
(1980) dalam Lubis (2009), paku di hutan umumnya menyukai naungan dan terlindung
dari panas serta angin kencang. Sedangkan Sastrapradja et al. (1980) menjelaskan bahwa
umumnya di daerah pegunungan jumlah jenis paku lebih banyak dari pada di dataran
rendah, hal ini dikarenakan oleh kelembaban yang tinggi, banyaknya aliran air, dan adanya
kabut, serta banyaknya curah hujan.
Berdasarkan semua tumbuhan paku yang telah ditemukan, yang memiliki anggota
terbanyak adalah dari kelas Polypodiosida. Hal ini sesuai dengan penjelasan Smith et al.
(2006) dan Christenhusz et al. (2011) bahwa kelas dari tumbuhan paku yang memiliki
anggota terbanyak adalah Polypodiosida. Sedangkan famili dari tumbuhan paku yang
ditemukan di kawasan wisata Coban Rondo dengan jumlah jenis terbanyak adalah famili
Adiantaceae yang berjumlah empat jenis.
Keanekaragaman jenis paku yang tinggi tersebut dikarenakan oleh kondisi
lingkungan (Tabel 2) di kawasan wisata Coban Rondo memang sangat mendukung untuk
pertumbuhan dan kehidupan tumbuhan paku. Selain itu, ketinggian daerah (1135 m dpl)
juga mempengaruhi keanekaragan jenis paku tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan oleh
Lubis (2009) bahwa hasil penelitiannya menyimpulkan pada ketinggian 1100-1300 m dpl
terdapat keanekaragaman yang paling tinggi dibandingkan ketinggian 1300-1500 m dpl
maupun 1500-1750 m dpl. Hal tersebut menurut Ewusie (1990) dapat terjadi karena
berkurangnya keanekaragaman dalam jumlah jenis berkaitan dengan meningkatnya
ketinggian dan curah hujan yang berkurang. Sedangkan vegetasi di daerah pengunungan
sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim pada ketinggian yang berbeda-beda.
Tabel 3
Nilai K, KR, F, FR INP Dan Indeks Keanekaragaman Dari Paku-Pakuan Di
Kawasan Wisata Coban Rondo
Cara ∑
Spesies K KR % F FR % INP % d
Hidup Individu
Adiantum capillus-veneris L. + 27 45,00 3,17 0,25 1,33 4,50 8,87
Adiantum diaphanum Blume + 24 40,00 2,82 0,5 2,67 5,49
Adiantum hispidulum Sw. + 8 13,33 0,94 1 5,33 6,27
Adiantum raddianum C. Presl. + 7 11,67 0,82 0,5 2,67 3,49
Angiopteris evecta (Forst.) + 2 3,33 0,23 0,5 2,67 2,90
Hoffm.
terrendah adalah Cheilanthes tenuifolia (Burm.) Sw., Cyathea latebrosa (Wall. ex Hook.)
Copel., Hymenasplenium sp., Pteris tripartita Sw. dan Tectaria angulata (Willd.) C. Chr.
yang semuanya memiliki nilai KR sebesar 0,12%.
Tinggi dan rendahnya nilai tersebut di atas disebabkan oleh banyaknya individu
dari masing-masing jenis. Sedangkan pertumbuhan paku yang subur pada kawasan wisata
Coban Rondo salah satunya disebabkan oleh faktor abiotik yang sangat mendukunng,
dimana terdapat banyak pohon memiliki tajuk yang banyak dan cukup luas sehingga
memiliki kelembaban yang tinggi yaitu antara 80%-90%. Selain itu, kondisi pH tanah yang
berkisar antara 5-6, intensitas cahaya 0,20-978 lux, dan kecepatan angin 0,3-6,8 knots juga
sangat mendukung pertumbuhan serta kehidupan tumbuhan paku.
Komposisi jenis sangat dipengaruhi oleh terutama waktu-waktu pemencaran buah
atau spora dan perkembangan bibit pada daerah tertentu. Selain itu komposisi jenis
berkaitan erat dengan ciri-ciri habitatnya seperti tanah dan topografi (Anwar et al., 1987;
Lubis, 2009). Sementara itu, pada suatu komunitas dapat dilihat adanya perbedaan jenis
penyusunnya secara vertikal, seperti perbedaan bentuk hidup serta tingkatannya (Suin,
2002). Untuk mengetahui komposisi tumbuhan paku tersebut di atas, dapat dilihat
berdasarkan keberadaan dan jumlah individu suatu jenis yang menempati kawasan wisata
Coban Rondo.
Tiga tumbuhan paku yang menempati komposisi tertinggi yaitu Athyrium
procumbens (Holtt.) Holtt., Orthiopteris kingii (Bedd.) Holtt. dan Selaginella trisulcata
Asplund dikarenakan banyaknya jumlah individu dari masing-masing jenis tersebut yang
ditemukan. Berikut jumlah indivudunya secara berturut-turut sebesar 263,33/ha, 138,33/ha,
dan 135,00/ha. Selain itu, sesuainnya kondisi lingkungan (faktor abiotik) menyebabkan ke-
3 tumbuhan paku tersebut dapat tumbuh dengan baik dan cepat. Menurut Mackinon et al.
(2000) dalam Lubis (2009) pada umumnya semakin ekstrim kondisi lingkungan, baik
karena iklim, tanah atau ketinggian tempat yang bertambah, maka akan semakin berkurang
keragaman komposisi jenis vegetasi dan satu atau dua jenis akan semakin dominan.
dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki nilai INP yang tinggi. sehingga
spesies yang paling dominan akan mempunyai nilai INP yang paling besar dibandingkan
dengan yang lainnya.
Menurut Lubis (2009) nilai INP menyatakan kepentingan suatu jenis tumbuhan
serta memperlihatkan peranannya dalam komunitas. Sedangkan nilai INP tersebut
diperoleh dari penjumlahan nilai KR dengan FR. Berdasarkan Tabel 3, tampak bahwa
tumbuhan paku yang memiliki nilai INP terbesar adalah Athyrium procumbens (Holtt.)
Holtt. sebesar 23,87%, kemudian Orthiopteris kingii (Bedd.) Holtt. 15,07% dan Selaginella
trisulcata Asplund sebesar 14,84%. Ketiga tumbuhan paku tersebut adalah yang dominan
di kawasan wisata Coban Rondo, sedangkan yang paling dominan adalah Athyrium
procumbens (Holtt.) Holtt.
15,07%
23,87% Athyrium procumbens
Orthiopteris kingii
18,84%
Selaginella trisulcata
Bagan 1
Tiga Tumbuhan Paku Dominan Di Kawasan
Wisata Coban Rondo
Tumbuhan paku yang memiliki nilai INP terendah adalah Hymenasplenium sp.,
Cheilanthes tenuifolia (Burm.) Sw., Cyathea latebrosa (Wall. ex Hook.) Copel., Pteris
tripartita Sw. dan Tectaria angulata (Willd.) C. Chr. yang semuanya memiliki nilai 1,45%.
1,45% 1,45%
Hymenasplenium Sp.
1,45% Cheilanthes tenuifolia
1,45%
Cyathea latebrosa
1,45% Pteris tripartita
Tectaria angulata
Bagan 2
Lima Tumbuhan Paku Coban Rondo Dengan
Nilai INP Terendah
Tiga tumbuhan paku dominan yang tersebut di atas adalah sama dengan yang
menempati tiga komposisi tertinggi. Sedangkan lima tumbuhan paku dengan nilai INP
terendah juga merupakan paku yang menempati lima komposisi terendah. Hal tersebut
dikarenakan nilai INP adalah berbanding lurus dengan nilai KR dan juga FR. Semakin
tinggi nilai KR dan FR, maka akan menyebabkan nilai INP semakin tinggi pula, dan begitu
juga sebaliknya.
Tingginya nilai INP pada tumbuhan paku dikarenakan besarnya keberadaan jenis
paku tersebut, dan juga dikarenakan rendahnya keberadaan tumbuhan paku yang lainnya.
Dua hal tersebut dikarenakan kemampuan tumbuh dengan pengaruh faktor abiotik yang
baik. Menurut Pramono (1992) pertumbuhan selain dipengaruhi oleh faktor genetik, juga
sangat dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan, seperti kondisi tanah, iklim,
mikroorganisme, dan juga kompetisi dengan organisme yang lain.
Menurut Mackinon et al. (2000) dalam Lubis (2009) umumnya semakin ekstrim
kondisi lingkungan, baik karena iklim, tanah atau ketinggian tempat yang bertambah, maka
akan semakin berkurang keragaman komposisi jenis vegetasi dan satu atau dua jenis akan
semakin dominan. Indrawan (1978) di dalam Lubis (2009) menjelaskan bahwa tumbuh-
tumbuhan yang mempunyai adaptasi tinggilah yang bisa hidup bahkan mendominasi di
suatu daerah. Selain itu dipengaruhi pula oleh pertumbuhan dari bibit atau kecambah dari
suatu jenis.
Tabel 4
Kisaran dan Pengelompokan Indeks
Keanekaragaman
Indeks Keanekaragaman Kesimpulan
<1 Rendah
1–3 Sedang
>3 Tinggi
Sumber: Mason, 1980 dalam Daryanti, 2009
C. Penutup
1. Natijah
a. Kawasan wisata Coban Rondo memiliki kekayaan tumbuhan paku yang tinggi, hal
tersebut dibuktikan dengan Ditemukan dua puluh tujuh jenis tumbuhan paku yang
terdiri dari dua divisi (Pteridophyta dan Lycophyta), tiga kelas (Polypodiopsida,
Marattiopsida dan Lycopsida), empat ordo (Polypodiales, Cyatheales, Marattiales
dan Selaginellales) dan empat belas famili (Adiantaceae, Dryopteridaceae,
Aspleniaceae, Athyriaceae, Davalliaceae, Dennstaedtiaceae, Nephrolepidaceae,
Polypodiaceae, Pteridaceae, Tectariaceae, Thelypteridaceae, Cyatheaceae,
Marattiaceae, Selaginellaceae).
b. Polypodiopsida merupakan kelas yang anggotanya ditemukan paling banyak di
kawasan wisata Coban Rondo.
c. Paku yang menempati komposisi tertinggi dan yang paling mendominasi adalah
Athyrium procumbens (Holtt.) Holtt. Sedangkan yang terendah ada lima paku dengan
jumlah yang sama yaitu Hymenasplenium sp., Cheilanthes tenuifolia (Burm.) Sw.,
Senarai Bacaan
Kinho, J, 2009, Mengenal Beberapa Jenis Tumbuhan Paku di Kawasan Hutan Payahe
Taman Nasional Aketajawe Lolobata Maluku Utara, Penerbit Balai Penelitian
Manado.
Lovelles, A. R, 1999, Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik 2, Jakarta,
PT. Gramedia.
Lubis S. R, 2009, Keanekaragaman dan Pola Distribusi Tumbuhan Paku di Hutan Wisata
Alam Taman Eden Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara. Tesis,
Medan, Universitas Sumatera Utara.
Nandika, D, 2005, Hutan Bagi Ketahanan Nasional, Surakarta, Muhammadiyah University
Press.
Odum, P. E, 1996, Dasar-dasar Ekologi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Partanto, P. A. & Barry, M. D, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya, Penerbit Arkola.
Piggott. A. G, 1988, Ferns of Malaya in Colour, Malaysia, Tropical Press SDN.
Polunin, N, 1994, Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun.
Yogyakarta, Gadjahmada University Press.
Pramono, H. A, 1992, Tataguna Lahan dan Deforestasi di Indonesia, Jakarta, Yayasan
Obor Indonesia.
Prastowo, A, 2011, Memahami Metode-metode Penelitian, Yogyakarta, Penerbit Ar-ruzz
Media.
Rahadi, B., E. Nurhayati, E. Purwanti & E. Suhartanto, 2008, Penilaian Tingkat Bahaya
Erosi Dengan Mempergunakan ARC VIEW GIS. JURNAL TEKNOLOGI DAN
KEJURUAN Vol. 31 No. 1 Februari 2008.
Sastrapradja, S., J. J. Afriastini, D. Darnaedi & Elizabeth, 1980, Jenis Paku Indonesia.
Bogor, Lembaga Biologi Nasional.
Smith, A. R., K. M. Pryer, E. Schuettpelz, P. Korall, H. Schneider & P. W. Wolf, 2006. A
Classification For Extant Ferns. TAXON 55 (3), Agustus 2006.
Sugiyono, 2009, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung, Penerbit Alfabeta.
Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung, Penerbit
Alfabeta.
Suin, N. M, 2002, Metoda Ekologi, Padang, Universitas Andalas.
Sunarmi & Sarwono, 2004, Inventarisasi Tumbuhan Paku di Daerah Malang. Jurnal Berk.
Penel. Hayati Vol. 10.
Suryana, 2009, Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Paku Terestrial dan Epifit di Kawasan
PLTP Kamojang Kab. Garut Jawabarat. Jurnal Biotika, No. 1 Vol. 7 Juni 2009.
Tjitrosomo, S. Sutarmi, H. Sudarnadi & A. Zakaria, 1983, Botani Umum 3. Bandung,
Penerbit Angkasa.