Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PRAKTIKUM EKSPLORASI ELEKTROMAGNETIK

PENGOLAHAN DATA ELEKTROMAGNETIK


BERDASARKAN METODE GROUND PENETRATING RADAR (GPR)
MENGGUNAKAN SOFTWARE REFLEX W

Oleh:
Kelompok 2

1. Rayhan Farisi Ramadhan 03411840000012


2. Faried Abdillah Santoso 03411840000024
3. Silvi Mahbubah 03411840000025
4. Amelia Rosana Putri 03411840000047
5. Bima Kukuh Prasetya 03411840000048

DEPARTEMEN TENIK GEOFISIKA


FAKULTAS TEKNIK SIPIL, PERENCANAAN DAN KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2021
BAB I
DASAR TEORI

1.1 Metode Ground Penetrating Radar


Ground Penetrating Radar (GPR) atau Georadar adalah metode dengan prinsip
elektromagnetik (EM) dan menggunakan gelombang radio yang diaplikasikan untuk
eksplorasi very near surface (dekat permukaan), umumnya dalam skala kecil. Penetrasi
kedalaman metode GPR dapat mencapai kurang lebih 10 meter. (Conyers, 2016)
Gelombang elektromagnetik akan dipancarkan ke dalam bumi dan direkam oleh antena
pada saat gelombang telah mencapai kepermukaan. Gelombang elektromagnetik diteruskan,
dipantulkan dan dihamburkan oleh struktur permukaan dan anomali jika terdapat di bawah
permukaan. Gelombang elektromagnetik yang dipantulkan dan dihamburkan akan direkam
oleh antena di permukaan. Metoda ini dapat menghasilkan gambaran bawah permukaan
dengan resolusi yang tinggi, karena gelombang yang dipancarkan oleh GPR memiliki
frekuensi sekitar 10- 1000Mhz. (Elfarabi,2017)
Metode GPR telah berhasil digunakan dalam investigasi struktur beton dan jalan,
pemetaan struktur lapisan (urutan sedimen), penentuan kedalaman air tanah, dan penentuan
infrastruktur yang tertimbun seperti pipa, terowongan dan kabel listrik. Metode GPR sangat
baik digunakan terutama pada investigasi material berbahan logam karena gelombang EM
yang digunakan dalam metode ini sangat sensitif terhadap keberadaan objek yang memiliki
konduktivitas tinggi (Ayi Syaeful Bahri dkk., 2015).

Gambar 1.1 Ilustrasi Penjalaran Gelombang GPR (Wiley, 1997)

1.2 Prinsip Kerja Metode Ground Penetrating Radar


Metode GPR mewakili bagian dari medan elektromagnetik penuh. Sinyal GPR
merupakan gelombang elektromagnetik yang dapat dijelaskan dengan Persamaan Maxwell,
dimana persamaan ini menggambarkan fisika elektromagnetik secara matematis dan
hubungan konstitutif yang mengukur properti sebuah objek atau materi (Annan, 2003).
Dalam istilah matematika, bidang elektromagnetik dan sifat-sifat terkait dinyatakan sebagai:

´ X É= −∂ B́ ……………………………………………………………………………. (1.1)



∂t
´ X D́=q ………………………………………………………………………………..(1.2)

´ X B́=0………………………………………………………………………………..(1.3)

´ X H́ =´j+ ∂ D́ …………………………………………………………………………. (1.4)



∂t
dimana Ē adalah vektor kekuatan medan listrik, B̄ adalah vektor flux densitas magnetik, D̄
adalah vektor perpindahan listrik, H̄ adalah intensitas medan magnet, q adalah muatan listrik
dan J̄ adalah vektor densitas arus listrik.

Gambar 1.2 Hukum Faraday dalam Persamaan Maxwell 1 dan (b) Hukum Ampere dalam Persamaan Maxwell
2 (Annan, 2003)

1.3 Tahapan Processing REFLEX


Sebagian besar analisis data GPR memerlukan beberapa pengkondisian pada data raw
(mentah) sebelum konstruksi gambar dari profil jarak dekat diimplementasikan. Pemrosesan
sinyal Radargram (RSP) meliputi basic handling, penggunaan filter khusus untuk
meningkatkan dan menyesuaikan refleksi digital, serta untuk menghilangkan noise yang
terkandung dalam data raw (Goodman dan Piro, 2013). Jenis proses sinyal yang dibutuhkan
akan tergantung pada berbagai faktor yang diamati dalam data raw. Ada berbagai RSP yang
penting dan beberapa hanya digunakan jika noise suara tertentu ditemukan ada dalam data.
Gambar 1.3 Gambaran Umum Alur Data Pengolahan Metode GPR (Annan, 2003)

RSP dasar yang digunakan pada pengolahan kali ini yaitu :


a) Dewowing
b) Static Correction
c) Bandpass 1D Filter
d) Background Removal
e) Gain
f) FK- Migration
g) FK- Filter
h) Time to Depth Correction

1.3.1 Dewowing
Koreksi ini digunakan pada awal pemprosesan pada data GPR, filter ini
digunakan agar dapat menghilangkan noise yang memiliki frekuensi sangat rendah.
Wow merupakan noise yang memiliki nilai frekuensi sangat rendah, hal ini terjadi
akibat adanya instrument elektronik yang tersaturasi oleh nilai amplitudo besar dari
gelombang langsung dan gelombang udara. (Elfarabi,2017). Komponen frekuensi data
yang sangat rendah dikaitkan dengan fenomena induktif atau kemungkinan
keterbatasan rentang dinamis instrumen. Operasi ini akan menghilangkan sinyal
‘wow’ dengan menerapkan filter FIR high pass fase nol dengan frekuensi cutoff tepat
2% dari Nyquist.
Gambar 1.4 Profil GPR sebelum (kiri) dan sesudah diterapkan dewow (kanan) (Dojack,
2012)
1.3.2 Static Correction
Koreksi topografi dapat dilakukan dengan koreksi statis elevasi yang
memposisikan ulang waktu nol pada sumbu vertikal dan menyesuaikan pantulan pada
sumbu vertikal. Koreksi statis elevasi mengasumsikan bahwa jalur sinar antara
reflektor dan permukaan tegak lurus. Ini adalah kasus ketika stratigrafi permukaan dan
bawah permukaan horizontal. Namun, dalam pasir aeolian reflektor biasanya condong
ke permukaan. Karena ekspansi bola sinyal, pantulan kembali tegak lurus ke reflektor
dan tidak tegak lurus ke permukaan. Akibatnya, pantulan akan diimbangi secara
vertikal dan lateral. Prosedur standar untuk mengoreksi efek ini adalah dengan
memindahkan data sehingga pantulan pencelupan dikembalikan ke kemiringan yang
benar, dan kemudian menerapkan koreksi statis untuk topografi guna mengembalikan
kedalaman ke pantulan di bawah permukaan.(Harry,2009)
Prosedur ini tidak memperhitungkan sepenuhnya perubahan geometri jalur
sinar antara permukaan akuisisi bergelombang dan reflektor bawah permukaan tidak
beraturan. Mereka menggambarkan suatu algoritma yang memungkinkan data GPR
dimigrasikan langsung dari permukaan akuisisi yang halus atau sangat tidak teratur.
Lehmann dan Green (2000) menyarankan bahwa koreksi ini harus diterapkan jika
kemiringan permukaan tanah melebihi 10% atau 6, seperti halnya di bukit pasir. Pada
bukit pasir terdapat banyak lereng yang curam dan perubahan kemiringan yang
mendadak dimana konfigurasi antena berubah yang mengakibatkan misrepresentasi
reflektor bawah permukaan. Efek topografi paling menonjol di puncak bukit pasir
atau di tepi permukaan licin. Masalah lain di puncak bukit pasir yang curam adalah
adanya pantulan dari antarmuka antara bukit pasir dan udara di permukaan yang
berlawanan yang membentuk pantulan yang bisa disalahartikan sebagai pantulan yang
menukik di dalam bukit pasir.(Harry,2009)

1.3.3 Bandpass 1D Filter


Filter bandpass adalah proses untuk menghilangkan frekuensi yang tidak
diinginkan dalam data raw. Filter bandpass mengharuskan pulsa radargram dikonversi
terlebih dahulu ke domain spektral menggunakan Fast Fourier Transforms (FFT).
FFT digunakan untuk menghitung amplitudo dan fase yang terdapat pada setiap
frekuensi yang membentuk pulsa radar. Kombinasi amplitudo pada frekuensi yang
berbeda dan fase ketika komponen frekuensi tersebut sampai pada antena penerima
menentukan sinyal radar unik yang direkam.
Dalam bandpass filtering, amplitudo pada frekuensi yang berbeda dapat
dikurangi atau disaring seluruhnya dengan terlebih dahulu menguraikan sinyal radar
yang direkam menggunakan FFT menjadi amplitudo dan fasa pada setiap frekuensi.
Dengan sinyal yang didekomposisi menjadi komponen spektralnya, amplitudo
frekuensi yang berbeda dapat disesuaikan hanya dengan menekan atau meningkatkan
frekuensi yang diinginkan. Setelah filter diatur untuk menghapus atau mengurangi
komponen frekuensi yang diinginkan, inversi FFT dijalankan untuk mengembalikan
spektrum yang difilter ke sinyal radar domain waktu. (Dojack,2012).
1.3.4 Background Removal
Salah satu operasi paling umum yang secara khusus diterapkan pada data GPR
adalah penggunaan penghapusan background trace. Umumnya ini berbentuk high
pass filter atau penghapusan jejak rata-rata (average trace), dimana background trace
adalah average trace yang ditentukan dengan menambahkan semua jejak dan
membaginya dengan jumlah jejak. Ini juga disebut stacking. Proses stacking
meningkatkan sinyal yang koheren dan mengurangi sinyal (atau noise) yang acak.
Sinyal koheren dalam hal ini adalah garis melintang horizontal yang sering terlihat
dalam data GPR (noise sistem) dan sinyal yang acak adalah sinyal radar yang diterima
dari bawah permukaan.
Penghapusan average trace adalah bentuk filter spasial. Dalam beberapa
situasi di mana gema pemancar dan artefak sistem sinkron waktu muncul, sangat
efektif untuk memungkinkan sinyal lemah yang hilang menjadi terlihat di bagian yang
diproses.

Gambar 1.5 (a) Contoh set data awal pada pipa yang terkubur. (b) Kumpulan data (a) setelah jejak
rata-rata untuk seluruh bagian telah dikurangi. Respons hiperbolik terlihat jelas seperti halnya tepi
penggalian yang landai (Annan, 2003).

1.3.5 Gain
Sinyal radar dilemahkan dengan sangat cepat saat mereka merambat ke
tanah. Sinyal dari kedalaman yang lebih dalam sangat kecil jika dibandingkan dengan
sinyal dari kedalaman yang lebih dangkal. Tampilan simultan dari sinyal-sinyal ini
memerlukan pengkondisian sebelum tampilan visual. Menyamakan amplitudo dengan
menerapkan fungsi penguatan yang bergantung pada waktu mengkompensasi
penurunan yang cepat dalam sinyal radar dari kedalaman yang lebih dalam. Gambar
dibawah menunjukkan sifat umum amplitudo sinyal radar terhadap waktu.
Amplifikasi yang berubah-ubah waktu seperti itu disebut sebagai perolehan waktu dan
penguatan jangkauan saat memanipulasi data GPR.
Atenuasi di tanah bisa sangat bervariasi. Lingkungan redaman rendah
memungkinkan eksplorasi hingga kedalaman puluhan meter. Dalam kondisi redaman
tinggi, kedalaman penetrasi bisa kurang dari 1 m. Tampilan data GPR terhadap waktu
harus mengakomodasi atenuasi ekstrim rendah dan tinggi seperti yang digambarkan
pada Gambar dibawah. Konsep gain yang bervariasi terhadap waktu digambarkan
pada Gambar dibawah ini, yang menerapkan gain kompensasi sferis dan eksponensial.
Ada berbagai cara untuk menerapkan perolehan waktu pada data radar. Keuntungan
harus dipilih berdasarkan model fisik apriori, bukan keinginan pengguna, dengan
tujuan meminimalkan artefak yang dibuat oleh proses tersebut.

Gambar 1.6 Model bumi berlapis lapisan reflektifitas yang sama dan respon impuls dengan amplop
amplitudo refleksi digambarkan. Pada kenyataannya, GPR untuk redaman sinyal bisa sangat tinggi,
membuat amplitudo sinyal menjadi kecil dalam waktu singkat.

Gambar 1.7 Konsep penguatan yang bervariasi waktu di mana penguatan sinyal bervariasi dengan
waktu untuk mengkompensasi atenuasi. (a) menunjukkan jejak radar dengan empat sinyal penurunan
amplitudo seiring waktu, (b) menunjukkan fungsi penguatan waktu sedangkan (c) menunjukkan hasil
perkalian (a) dengan (b). Semua empat peristiwa terlihat di (c).

1.3.6 F-K Migration


Kebanyakan antena GPR mengirimkan sinar gelombang mikro yang luas
ke permukaan. Tujuannya adalah untuk menyebabkan refleksi hiperbolik
terekam dari benda bulat di bawah permukaan. Objek yang berada tidak tepat di
bawah antena terekam saat gelombang mikro dipancarkan melalui berbagai
sudut. Hal ini membuat waktu penjalaran dari objek ke antena lebih lama dari
benda-benda yang berada tepat di bawah antena. Esensi dari titik terkubur objek
adalah menciptakan pola refleksi hiperbolik.

Gambar 1.8 Ilustrasi benda silindris yang terekam sebagai hiperbola


(Goodman dan Piro, 2013).

Ketika kecepatan gelombang mikro di dalam tanah sangat cepat, pantulan


hiperbolik sangat luas dan lebar; sebaliknya, ketika kecepatannya sangat lambat,
hiperbola sangat sempit. Bentuk hiperbola diberikan oleh persamaan waktu
perjalanan dari objek yang terkubur sebagai fungsi jarak ke antena dan diberikan
oleh (Goodman dan Piro, 2013):
2 √ x 2+ z2
T=
v
dimana T adalah waktu tempuh penjalaran dua gelombang (twt), x adalah jarak
horizontal ke objek bawah permukaan, z adalah kedalaman objek dan v adalah cepat
rambat gelombang mikro dalam tanah.
Migrasi adalah proses sinyal yang akan mengecilkan pantulan hiperbolik
menjadi pantulan sumber titik dengan menambahkan semua energi di sepanjang
hiperbola di seluruh radargram, dan menempatkan energi ini di puncak hiperbola.
Prinsip proses migrasi ini adalah bahwa fase sinyal ketika hiperbola tidak langsung di
atas hiperbola akan cenderung mengganggu atau merusak dengan pantulan sinyal lain
yang terekam sepanjang hiperbola. Ketika hiperbola secara langsung dicocokkan
dengan hiperbola yang diamati, proses migrasi akan kuat karena sinyal di sepanjang
hiperbola semuanya dalam fase. Selain itu migrasi juga mengorientasi ulang bidang
reflektor permukaan dan memposisikannya ke posisi aslinya. Berbagai macam proses
migrasi dalam domain waktu seperti migrasi Kirchoff dan dalam domain frekuensi
menggunakan migrasi FK dapat diimplementasikan tetapi dalam kebanyakan kasus
memberikan hasil yang hampir sama (Goodman dan Piro, 2013).

1.3.7 F-K Filtering


Filtering F-K adalah ketika suatu data, yang dalam domain waktu dan
perpindahan, diubah menjadi domain frekuensi dan bilangan gelombang (F-K) seperti
yang terlihat pada gambar di bawah ini. Data ini kemudian disaring untuk
menghilangkan frekuensi yang tidak diinginkan yang lebih tinggi dan/atau lebih
rendah dari pita sinyal, dan kemudian dikonversi kembali ke domain perpindahan
waktu. Prosesnya adalah transformasi Fourier dua dimensi dan harus diambil
sampelnya sesuai dengan kriteria Nyquist untuk menghindari aliasing.

Gambar 1.9 Gelombang permukaan dan gelombang pantul dalam domain ruang-waktu sebelum dan sesudah
pemrosesan pergeseran fasa dalam domain FKXKY: (a) gelombang permukaan dan gelombang pantul dalam
domain ruang-waktu; (b) fase permukaan dan gelombang pantul dalam domain FKXKY; (c) fase permukaan
dan gelombang pantul setelah pemrosesan pergeseran fase dalam domain FKXKY

1.3.8 Time To Depth Correction


Konversi data seismik ataupun peta struktur dari domain waktu menjadi domain
kedalaman merupakan hal yang sangat penting didalam dunia eksplorasi migas. Pengambilan
keputusan untuk program pengeboran didalam domain waktu merupakan hal yang sangat
membahayakan. Karena, seringkali interpretasi didalam domain waktu akan menghasilkan
penafsiran yang menyesatkan terutama pada zona di bawah kecepatan tinggi seperti sub-salt
ataupun sub carbonate. Dibawah zona ini, akan diperoleh pull up velocity anomaly atau
antiklin semu padahal pada keadaan sesungguhnya hanyalah datar-datar saja atau bahkan
sinklin, seperti yang terlihat pada sketsa dibawah ini:

Gambar 1.10 Apparent & True Structure


Sebaliknya, pada zona dibawah kecepatan rendah seperti water bottom dengan
kemiringan yang tajam atau fluktuatif (canyon), loose material overburden atau rapid
sedimentation, dibawah detached listric normal faults dan shale diapir akan diperoleh push
down velocity anomaly atau sinklin semu, padahal pada keadaan sesungguhnya adalah
antiklin.
Gambar dibawah ini menunjukkan perbandingan data seismik pada domain waktu
(kiri) dan kedalaman (kanan). Perhatikan pengaruh kecepatan air yang rendah (kemiringan
water bottom yang tajam) dapat menghilangkan prospek jika anda menginterpretasi didalam
domain waktu.

Gambar 1.11 Time to Depth Correction

1.4 ReflexW
ReflexW merupakan software pemrosesan data geofisika dekat permukaan dan
interpretasi yang dimana software ini meliputi seluruh bentuk data sinyal (GPR, Seismik,
Ultrasound) dan berbagai geometri (permukaan refleksi, refraksi, borehole crosshole, dan
tomografi). Pada ReflexW terdapat tiga modul diantaranya ialah 2D Data Analysis, 3D Data
Interpretation, Modelling(Simulation/Inversion).
Modul 2D Data Analysis merupakan modul untuk processing yang dimana terdapat
banyak kemungkinan pengolahan seperti pengolahan yang interaktif yang bisa dilakukan satu
file atau lebih, dapat menggunakan satu atau multi-channel filter, editing, static correction,
dekonvolusi, migrasi, dll. Lalu modul ini juga memiliki analisis untuk data seismik dimana
pengguna dapat beradaptasi secara interaktif karena software ini dapat mengestimasi
kecepatan rata-rata. Picking Data pada sofware ini dapat dilakukan secara manual, otomatis
dan semi-otomatis. (Sandmeier,2012)

1.5 Geologi Regional


Situs Kumitir berlokasi di Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto,
berdekatan dengan kawasan Trowulan yang menurut para ahli areatersebut secara historis
merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit. Situs Kumitir diyakini sebagai begian
dari Kerajaan Majapahit meskipun hingga saat ini para ahli masih memperdebatkan fungsi
dari situs tersebut. Proses ekskavasi situs ini telah berjalan sejak tahun 2019 dan kembali
diekskavasi pada Agustus 2020. Situs Kumitir memiliki luas area ekskavasi sebesar 6 hektar.
Kondisi situs ketika awal ditemukan masih tertimbun sedalam ±3 meter di bawah
permukaan.Pada area situs ini terdapat bagian utama yang terdiri dari dinding dan lantai
berbahan dasar batu bata kuno, kemudian terdapat juga struktur talud (dinding tanggul) yang
mengelilingi area situs. Pada area ini juga ditemukan sejumlah sumur tua dan sumur jobong
yang diduga merupakan teknologi sanitasi era Majapahit.
Lokasi Situs Kumitir terletak diantara beberapa formasi dan batuan, yaitu aluvial (Qa),
endapan lahar (Qvlh), batuan gunung api kuarter atas (Qv n), formasi kabuh (Qpk), formasi
notopuro (Qpnv). Aluvial merupakan kondisi geologi dimana terdapat kerakal, kerikil, pasir
lempung dan lumpur. Endapan lahar merupakan lokasi dimana terdapat kerakal-pasir
gunungapi, tuf, lempung dan sisa tumbuhan atau peradaban. Batuan gunung api kuarter atas
daerah tersebut merupakan penjalaran dari Gunung Penanggungan dan merupakan lokasi
dimana terdapat breksi gunungapi, tuf breksi, lava dan tuff. Formasi Kabuh merupakan
formasi yang terdiri dari batu pasir, batu lempung, sisipan konglomerat dan tuff. Formasi
Notopuro merupakan formasi yang terdiri dari breksi, batupasir tufan, batu lempung tufan,
batu pasir gampingan dan batu gamping (Gafoer, 1992).

Gambar 1.12 Peta Geologi Situs Kumitir


(Satriaji, 2021)
BAB II
METODOLOGI

2.1 Data dan Perangkat Pengolahan


2.1.1 Data Pengolahan
Data Pengolahan yang digunakan berupa data pengukuran GPR yang dilakukan pada
lokasi situs arkeologi Situs Kumitir yang merupakan bagian dari kompleks peninggalan
kepurbakalaan yang bertapak di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten
Mojokerto. Situs ini dikenal dengan situs peninggalan kerajaan Majapahit dengan gaya
banguan batu bata.

Gambar 2.1 Lokasi Penelitian


(situs arkeologi Kumitir di Kecamatan Jatirejo, Mojokerto)

2.1.2 Perangkat pengolahan


Perangkat Lunak yang digunakan dalam pengolahan data GPR ini adalah dengan
menggunakan Software Reflex – Win GPR dengan jumlah data 3 lintasan akuisisi GPR.
2.2 Diagram Alir
Alur langkah kerja dalam pengolahan GPR dengan menggunakan software Reflex – Win
GPR seperti pada diagram alir berikut:

Gambar 2.2 Diagram Alir


2.3 Langkah Kerja
Langkah kerja dalam kegiatan pengolahan GPR dengan menggunakan REFLEX W
adalah sebagai berikut :
1. Buka software Reflex-win, kemudian akan terbuka otomatis window project director.
Setelah itu pilih folder yang terdapat file data akuisisinya.

Project Directory
Reflex-Win

Gambar 2.3 Tampilan Awal software Reflexw

Jika tidak muncul secara otomatis, maka dapat dilihat dengan cara sebagai berikut:
Klik Project >> ProjectDir

Gambar 2.4 Cara menapilkan project director

2. Input data
Untuk menginput data, caranya adalah dengan klik File >> Import
Gambar 2.5 Tahapan input data

Dalam input data ada beberapa hal yang harus di perhatikan. Berikut Pengaturan yang
harus dipenuhi:
- Xstrat dan Ystart : untuk mementukan awal dan ahir dari panjang lintasan.
- Format data: tentukan format data input dan data outputnya.
- Tentukan parameter dan hal yang akan di tampilkan pada pengolahan pada bagian
Control Options
- Spesifikasi data dan nama File Pengolahan.

Gambar 2.6 Pengaturan pada input data

Setelah itu Klik Convert to Reflex >> input File data


Gambar 2.7 Penginputan Data akuisisi

Hasil dari input data akan berupa penampang gambaran raw data sebagai berikut:

Gambar 2.8 Hasil Input data

3. Dewow
Koreksi dewow merupakan proses filtering temporal yang bertujuan untuk
menghilangkan komponen-komponen berfrekuensi sangat rendah (very low
frequency) pada data. Perlunya menghilangkan komponen berfrekuensi sangat rendah
(wow) karena komponen tersebut disebabkan oleh fenomena induktif atau batas
jangkauan instrumen.
Caranya dengan klik Prosessing >> 1D filter
Gambar 2.9 Proses Filter dewow

Beberapa hal yang perlu diatur dalam filtering dewow adalah sebagai berikut :

Gambar 2.10 Pengaruran Filter Dewow

Setelah itu lakukan Processing Label >> Start kemudian pilih AddCurrentProc.
Gambar 2.11 Pengaruran Filter Dewow

Setelah itu, akan muncul penampang dari Hasil filter Dewow

Gambar 2.12 Hasil Filter Dewow

4. Static Correction
Koreksi statis merupakan pengkoreksian pada lapisan yang mengalami pelapukan
(siol reduction), yang mengkompensasi lapisan material berkecepatan rendah di dekat
permukaan bumi.
Caranya adalah dengan prosessing >> Static Correction/muting
Gambar 2.13 proses static correction/muting

Untuk memudahkan dalam tahap ini adalah dengan megaktifkan Magnifying/Zoom


dan Wiggle, fungsinya adalah untuk menunjukkan wiggle. Dalam tahapan ini lakukan
picking satu persatu dengan jarak yang di inginkan, semakin banyak maka akan
semakin baik.

Gambar 2.14 memunculkan wigel dalam proses static correction/muting

Berikut merupakn hasil dari pengolahan Static correction / muting :

Gambar 2.15 hasil proses static correction/muting

5. Bandpass Filt
Tujuan dari proses ini adalah untuk menghilangkan frekuensi-frekuensi yang tidak
diinginkan (noise), dengan membatasi nilai jangkauan frekuensi sinyal pada
radargram. Band pass filter memiliki nilai yang berbeda – beda tergantung dari jenis
frekuensi antena alat GPR yang digunakan.
Caranya dengan klik Prosessing >> 1D filter

Gambar 2.16 Proses Filter Bandpass

Kemudian lakukan penyesuaian paremeter dan nilai-nilai yang perlu dalam filter
bandpass. Sesuaikan paremeter sebagai berikut :

Gambar 2.17 tahapan proses Filter Bandpass

Berikut merupakan hasil dari pengolahan filter Bandpass :


Gambar 2.18 Hasil proses Filter Bandpass

6. Background Removal
Dalam proses pengolahan ini, Background Removal ini berguna untuk mengurangi
lintasan rata-rata (tracerange) yaitu memberikan jarak jangkauan secara aktual pada
suatu bagian. Koreksi ini melakukan pembersihan pada latar belakang,
menghilangkan energi koheren yang horizontal dengan frekuensi yang rendah.
Background Removal ini bekerja seperti high pass filter karena koreksi ini melakukan
pembersihan pada energi koheren pada sumbu horisontal (horizontal banding) yang
berfrekuensi rendah (sinyal lemah). Data-data tersebut harus dihilangkan untuk
mendapatkan respon permukaan (reflektor) yang lebih jelas.
Caranya dengan klik Prosessing >> 1D filter

Gambar 2.19 Proses Background Removal

Kemudian lakukan penyesuaian paremeter dan nilai-nilai yang perlu dalam


Background Removal. Sesuaikan paremeter sebagai berikut :
Gambar 2.20 Tahapan proses Background Removal

Kemudian berikut merupakan hasil dari pengolahan Background Removal :

Gambar 2.21 Hasil proses Background Removal

7. Gain
Proses ini dilakukan untuk memperkuat gain, karena sinyal radar yang dihasilkan oleh
transmitter menjalar dibawah permukaan bumi dengan sangat cepat, oleh karena itu
sinyal radar tersebut mengalami atenuasi, hal ini akan memberikan informasi sinyal
menjadi tidak begitu terlihat, terutama pada saat sinyal melewati batuan maupun
perlapisan tanah, oleh karena koresi ini digunakan untuk memperkuat sinyal tersebut.
Caranya adalah dengan klik Prosessing >> Gain
Gambar 2.22 Proses Gain

Akan muncul tampilan untuk melakukan berbagai cara pengolahan Gain. Jika
menggunakan manual gain, maka Pilih Manual Gain (y) kemudian buat kurva
hubungan antar gain dengan trace (gambar kiri):

Gambar 2.23 Proses Gain

Berikut merupakan hasil dari pengolahan Gain :

Gambar 2.24 Hasil proses Gain

8. Migration/time-depth conversion
Konversi domain waktu pada trace menjadi kedalaman memudahkan interpretasi
karena kesesuaiannya dan dapat dikorelasi dengan geologi setempat.
Caranya klik prosessing >> Migration/time-depth Conversion

Gambar 2.25 proses Time-depth cinversion

Setelah itu akan muncul window untuk megatur paremeter dan jenis konversi time to
depth. Dalam hal ini, Atur paremter sesuai dengan kondisi di daerah pengukuran.
Contohnya sebagai berikut :

Gambar 2.26 Proses Time-depth conversion

Berikut merupakan hasil dari pengolahan time-depth conversion:


Gambar 2.27 Hasil proses Time-depth conversion

9. FK-Filter
Filter ini digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan noise dengan
merekonstruksi sinyal berdasarkan nilai eigen vector yang diberikan.
Caranya adalah dengan klik Prosessing >> FK-filter/FK-spectrum

Gambar 2.28 Proses FK-Filter

Untuk tampilan awal akan muncul window pengaturan proses FK-Filter seperti
pada gambar di bawah ini, dalam window ini pilih FK- Filter kemudian klik
Generate FK-Spectrum.
Gambar 2.29 Proses FK-Filter

Kemudian akan muncul hasil sebagai berikut :

Gambar 2.30 Proses FK-Filter

Berikut merupakan hasil dari pengolahan FK-Filter :


Gambar 2.31 Hasil proses FK-Filter

10. Pick Layer


Sebelum melakukan time to depth conversion perlu dilakukan picking dengan cara
klik pick, kemudian pilih continuous pick, selanjutnya lakukan picking pada daerah
batas lapisan.
Lakukan pada setiap daerah batas Lapisan. Untuk memudahkan picking munculkan
window wiggle dengan cara view >> wigel window.

Gambar 2.32 Proses picking Time to Depth

Kemudian, Hasil picking sebagai berikut :

Gambar 2.33 Hasil proses picking Time To depth

11. Layer show


Layer show adalah tahapan untuk mengambarkan layer dari hasil picking yang telah
dilakukan.
Caranya adalah dengan klik Enable layer show (ikon di samping Pick) >> kemudian
akan mucul window seperti pada gambar yang dibagian bawah>> Pilih layer pick
Velocity >> Pilih File hasil Picking.

Gambar 2.34 Proses layer show

Kemudian lakukan export hasil pengolahan dari layer show dengan cara sebagai berikut:

Gambar 2.35 Proses layer show

12. Time To Depth Conversion


Tahapan ini bertujuan untuk mengubah dari domain waktu dari data hasil akuisisi
menjadi domain kedalaman.
Caranya adalah dengan prosessing >> Edit Traces
Gambar 2.36 Proses Time To depth conversion

Kemudian akan muncul window seperti pada gambar dibawah, kemudian pilih
timedepth Conversion. Kemudian masukkan nilai Max Depth dengan nilai hasil
pengolahan sebelumnya.

Gambar 2.37 Proses Time To depth conversion

Tahapan Time to Depth Conversion merupakan tahapan terahir dalam


pengolahan data GPR yang kami lakukan, hal ini sudah cukup meyakinkan dalam
melakukan interpretasi dari model hasil pengolahan yang mana model 1D yang
tergambarkan sudah mempreseptasikan keadaan yang dapat mengambarkan bawah
permukaan dan termodelkan dalam bentuk depth (m) yang memudahkan dalam
interpretasi kedalaman anomali.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini diketahui menggunakan metode Ground Penetrating Radar atau
kerap kali dikenal dengan metode GPR untuk mendeteksi adanya situs yang terkubur di
bawah permukaan. Informasi yang didapatkan dari adanya pengolahan diantaranya pengaruh
pemilihan kecepatan gelombang terhadap kedalaman, hasil perbandingan tiap tahapan
pemrosesan data, hasil interpetasi dari pengolahan data, dan pendeteksian kelurusan talud
yang ada dalam situs. Akuisisi yang telah dilakukan menghasilkan data sebanyak 3 line yaitu
line 1, line 2, dan line 3 dalam format data SGY File. Jika dikaitkan dengan software
pengolah datanya, format SGY File memang umum digunakan pada software Reflex-W pada
pengolahan 2D, meskipun software ini juga dapat menerima format SEG2 dari akuisisi GPR
dan GSSI, RAMMAC untuk akuisisi seismik. Software ini juga dapat digunakan untuk
pengolahan seismik dikarenakan kesamaan prinsip dasar antara kedua metode tersebut
(Sandmeier, 2021).
Beralih ke lokasi situs yang digunakan untuk penelitian yakni Situs Kumitir yang
merupakan kompleks peninggalan kepurbakalaan yang bertapak di Dusun Bendo, Desa
Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto. Para arkeologi banyak yang menduga
bahwa situs ini merupakan peninggalan dari Kerajaan Majapahit yang telah terkubur ke
dalam tanah (Yustana, 2011). Situs Kumitir diketahui mendapat perhatian khusus dari
pemerintah mulai tahun 2017. Dari penelitian yang telah dilakukan, Situs Kumitir diketahui
merupakan kompleks bangunan yang terbuat dari bata kuno dengan bangunan utama dan
dinding luar yang diduga berbentuk persegi panjang dengan panjang 315 meter dan lebar 200
meter. Proses ekskavasi yang sudah dilakukan berupa penggalian yang dilakukan oleh tim
Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur pada beberapa lokasi situs. Penggalian tersebut
berhasil mengungkap sebagian dari tumpukan bata kuno yang membentuk struktur dinding
bangunan dan sebagian bangunan utama yang disebut dengan sektor A, B dan C. Meskipun
sudah diekskavasi, sebagian besar bangunan situs masih tertimbun oleh tanah. Pada area situs
ini terdapat bagian utama yang terdiri dari dinding dan lantai berbahan dasar batu bata kuno,
kemudian terdapat juga struktur talud (dinding tanggul) yang mengelilingi area situs. Pada
area ini juga ditemukan sejumlah sumur tua dan sumur jobong yang diduga merupakan
teknologi sanitasi era Majapahit (Widiantoro, 2021).
Situs yang diteliti bermula pada tahun 2017 ini baru ditemukan oleh Tim Arkeolog
dari Pelestarian Cagar Budaya (BCPB) Jawa Timur pada awal tahun 2019. Pada proses
ekskavasi tahap pertama diketahui struktur situs yang ditemukan memiliki lebar 140
sentimeter dengan ketinggian struktur 80 sentimeter dan tersusun dari 14 lapis bata. Dengan
dimensi panjang 32 sentimeter lebar 22 sentimeter, dan tebal 6 sentimeter. Juga terdapat
temuan pilar pada sisi timur dengan jarak 5,5 meter. Pada proses ekskavasi tahap kedua
ditemukan jejak bangunan istana yang diinterpretasikan merupakan istana Bhre Wengker
yang ditemukan pada kedalaman 1 hingga 1,8 meter dengan luas 800 meter pesergi dengan
penyangga batu merah beserta bongkah batu andesit. Diperkirakan luas situs Kumitir ialah
sekitar 6 hektar panjang 318 meter dan lebar 197 meter dengan orientasi barat ke timur.
Penelitian di Situs Kumitir menggunakan metode geofisika telah dilakukan oleh Widiantoro,
2021 dengan menggunakan metoda Geolistrik Wenner dan Husaini 2021 dengan
menganalisis lingkungan pengendapan menggunakan metode measured stratigraphy.

3.2 Persamaan yang Berkorelasi Dengan Hasil Pengolahan


Berdasarkan hal yang telah disebutkan, maka dalam melakukan pegolahan data situs
arkeologi menggunakan metode GPR digunakan persamaan yang dapat dirincikan sebagai
berikut :
3.2.1 Kecepatan Gelombang Radar
Dalam setiap perambatan gelombang dikenal istilah kecepatan (velocity). Kecepatan
gelombang radar sangat bergantung pada konstanta dielektrik dari medium yang dilalui oleh
gelombang tersebut (Mussett and Khan, 1993).
c
v=
√εy
Dimana :
v = kecepatan gelombang radio merambat dalam tanah (m/s)
c = kecepatan cahaya (m/s)
εr = konstanta dielektrik relatif
Dari persamaan diatas dapat didefinisikan bahwa ketika gelombang radar melalui
material atau benda di bawah permukaan yang memiliki konstanta dielektrik yang tinggi,
maka gelombang tersebut akan merambat dengan kecepatan yang lebih rendah dan
sebaliknya. Sebagai contoh udara yang memiliki konstanta dielektrik 1 dan air yang memiliki
konstanta dielektrik 80 memiliki kontras kecepatan yang sangat tinggi, dimana gelombang
radar akan memiliki kecepatan yang lebih tinggi pada udara dibandingkan pada air. Adanya
kontras konstanta dielektrik pada batas permukaan menyebabkan gelombang radar akan
terpantulkan (terefleksikan) dengan koefisien refleksi:

R=
√ ε 2− √ ε 1
√ ε 2+ √ ε 1
R = koefisien refleksi
ε1 = konstanta dielektrik lapisan pertama
ε2 = konstanta dielektrik lapisan kedua
(Daniel, 1996)
Besarnya penetrasi atau kedalaman yang dapat dicapai oleh gelombang radar sangat
bergantung pada besar kecilnya frekuensi yang digunakan. Semakin kecil frekuensi atau
semakin besar panjang gelombang yang digunakan, maka akan semakin besar penetrasi yang
dapat dicapai oleh gelombang dan sebaliknya. Besarnya penetrasi juga dipengaruhi oleh
konduktivitas material, dimana konduktivitas yang tinggi akan menyebabkan penetrasi lebih
dangkal karena terjadinya absorbsi oleh lapisan-lapisan yang konduktif (Mussett and Khan,
1993).
Penentuan frekuensi gelombang radar yang digunakan juga akan berpengaruh pada
resolusi hasil rekaman data. Ketika menggunakan frekuensi yang rendah akan diperoleh
penetrasi yang dalam, akan tetapi resolusi yang dihasilkan akan semakin buruk. Maka, untuk
menghasilkan resolusi yang baik digunakan frekuensi yang besar.
3.2.2 Atenuasi Gelombang Radar
Gelombang Elektromagnetik akan mengalammi atenuasi dengan hamburan atenuasi yang
dinyatakan sebagai keofisien atenuasi α (Annan, 2005). Energi elektromagnetik akan
menurun sesuai kedalaman dapat dinyatakan sebagai berikut.
E=E0 e−α rs

Keterangan:
E = Energi magnetik
E0 = Energi magnetik awal
αs = Koefisien atenuasi
r = Kedalaman

dan koefisien atenuasi adalah


NA
α s=
2

Keterangan :
N = Jumlah unit
A = Hamburan atenuasi

Gambar 3.2.1.1 Kurva antara waktu dan kedalaman yang menggambarkan atenuasi

3.2.3 Koefisien Refleksi Gelombang Radar


Koefisien refleksi (R) didefinisikan sebagai perbandingan energi yang dipantulkan dengan
yang datang, nilainya (R) bergantung pada konstanta dialetrik relatif ε lapisan 1 dan lapisan
2, adalah ukuran kapasitas dari sebuah material dalam hal ini melewatkan muatan saat medan
elektromagnetik melewatinya.
(v 2−v 1) √ε 2−√ ε 1
R= =
(v 2+ v 1) √ ε 2+ √ ε 1
Secara teknisnya saat pengukuran di lapangan, hasil praktis dari radiasi gelombang
elektromagnetik ke bawah permukaan untuk pengukuran GPR ditunjukkan dengan prinsip
operasi dasar yang diilustrasikan pada Gambar 2.4 Gelombang elektromagnetik terpancar
dari antena pemancar, bergerak melalui material dengan kecepatan yang ditentukan terutama
oleh permitivitas material. Gelombang menyebar keluar dan perjalanan ke bawah hingga
menabrak objek yang berbeda sifat kelistrikannya dari medium sekitarnya, tersebar dari
obyek, dan kemudian terdeteksi oleh antena penerima.

Gambar 3.2.3.1 Jejak sinyal dari transmitter menbrak material di bawah pemukaan. A adalah direct airwave,
G adalah adalah direct ground wave, dan R adalah gelombang refleksi, dan C adalah gelombang refraksi.
(Jol, 2009).

3.3 Pengaruh Pemilihan Kecepatan

3.4 Hasil Pengolahan


Setelah melakukan pengolahan data GPR pada lintasan 1, lintasan 2 dan lintasan 3 yang
meliputi dewow filtering, static correction, bandpass frequency filtering, background
removal, gain amplitude, migration, dan FK Filter dengan menggunakan software Reflex-w,
didapatkan hasil dari setiap tahapan pengolahan yang kemudian dibandingkan satu sama lain
untuk mengetahui output yang didapatkan dari setiap tahapan. Selain itu juga dilakukan
analisis dan interpretasi terhadap hasil akhir yang didapatkan agar dapat diidentifikasi
struktur dari situs arkeologi di Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto,
Jawa Timur.
Gambar 3.4.1 Raw Data GPR Lintasan 1

Gambar 3.4.2 Raw Data GPR Lintasan 2

Gambar 3.4.3 Raw Data GPR Lintasan 3

3.4.1 Dewow Filter


Dewow filter merupakan koreksi yang digunakan untuk menghilangkan noise yang
memiliki frekuensi sangat rendah yang terekam oleh sistem. Perlunya menghilangkan
komponen berfrekuensi sangat rendah (wow) karena komponen tersebut disebabkan oleh
fenomena induktif atau batas jangkauan instrumen (Van overmeeren, 1997).

Gambar 3.4.4 Hasil Dewow Filter Lintasan 1


Gambar 3.4.5 Hasil Dewow Filter Lintasan 2

Gambar 3.4.6 Hasil Dewow Filter Lintasan 3

Dari Gambar 3.4.4 hingga Gambar 3.4.6 yang merupakan hasil dari dewow filter,
terlihat bahwa noise dengan frekuensi rendah menjadi lebih pudar (di hilangkan). Walaupun
efek perubahan dari penghapusan noise berfrekuensi rendah ini tidak terlalu terlihat pada
radargram, namun apabila diperhatikan dengan seksama dan dibandingkan dengan raw data,
radargram hasil dewow menunjukkan sinyal yang lebih kuat dan jelas. Hasil penghapusan
noise dengan frekuensi rendah untuk masing-masing lintasan ditandai dengan kotak berwarna
biru. Pada lintasan 3, didapatkan perbedaan yang signifikan antara raw data dengan setelah
dewow filter. Dimana banyak dari sinyal yang dilemahkan maupun dihilangkan. Hal ini
menunjukkan bahwa lintasan 3 memiliki noise dengan frekuensi rendah paling banyak
dibandingkan dengan lintasan 1 dan lintasan 2.
3.4.2 Static Correction
Koreksi ini digunakan untuk tiap trace, yaitu sebagai koreksi waktu independen
untuk tiap trace pada domain waktu. Filter ini digunakan untuk mengoreksi data terhadap
elevasi dan waktu tempuh gelombang akibat pengurangan kecepatan. Pada proses ini
digunakan koreksi statis move to negative time yang ditujukan untuk menginversi/mengubah
kemungkinan nilai delay time sebenarnya dengan cara menggeser/shifting.

Gambar 3.4.7 Hasil Koreksi Statis Lintasan 1


Gambar 3.4.8 Hasil Koreksi Statis Lintasan 2

Gambar 3.4.9 Hasil Koreksi Statis Lintasan 3

Pada Gambar 3.4.7 hingga Gambar 3.4.9 merupakan hasil setelah melakukan tahapan
static correction. Dari ketiga hasil koreksi statis untuk 3 lintasan, pada radargram akan
terlihat bahwa lapisan pertama berada pada time 0 ms. Sesuai dengan static correction yang
menempatkan posisi awal gelombang pada titik nol dengan mengubah kemungkinan
nilai delay time sebenarnya dengan cara menggeser/shifting. Sehingga radargram hasil
koreksi statis dapat sesuai dengan topografi daerah pengukuran dimana sinyal dimulai dari
titik 0 ms.
3.4.3 Bandpass Frequency Filter
Filter bandpass digunakan untuk menghilangkan frekuensi-frekuensi yang tidak
diinginkan (noise), dengan membatasi nilai jangkauan frekuensi sinyal pada radargram. Filter
bandpass ini mampu mengeliminasi sinyal yang tidak diinginkan sesuai dengan keinginan
pengolah data dengan menentukan batas lower cutoff, lower plateu, upper plateu dan upper
cutoff.

Gambar 3.4.10 Hasil Bandpass Frequency Filter Lintasan 1


Gambar 3.4.11 Hasil Bandpass Frequency Filter Lintasan 2

Gambar 3.4.12 Hasil Bandpass Frequency Filter Lintasan 3

Dari Gambar 3.4.10 hingga Gambar 3.4.12, hasil dari bandpass filtering menunjukkan
banyaknya frekuensi yang dihilangkan dan juga didapatkan hasil berupa frekuensi sinyal
yang lebih jelas terlihat. Selain itu juga didapatkan kontras sinyal pada radargram yang lebih
banyak dan sudah ditingkatkan dibandingkan dengan radargram sebelum dilakukan bandpass
filter. Dengan kata lain, setelah melakukan bandpass filtering didapatkan hasil yang lebih
smooth sebab noise diluar rentang yang diinginkan sudah dihilangkan.
3.4.4 Background Removal
Removal global background berguna untuk mengurangi lintasan rata-rata (trace range)
yaitu memberikan jarak jangkauan secara aktual pada suatu bagian (Elfarabi, 2017). Koreksi
ini membersihkan background pada profil GPR dan menghilangkan pengaruh energi koheren
lateral (horizontal) dengan frekuensi rendah pada profil.

Gambar 3.4.13 Hasil Background Removal Lintasan 1


Gambar 3.4.14 Hasil Background Removal Lintasan 2

Gambar 3.4.15 Hasil Background Removal Lintasan 3

Dari Gambar 3.4.13 hingga Gambar 3.4.15, area yang ditunjukkan oleh kotak biru
menunjukkan adanya perbedaan background lateral pada radargram sebelum dan sesudah
dilakukan background removal. Dimana setelah dilakukan koreksi ini, didapatkan profil GPR
yang tidak lagi memiliki efek background lateral.
3.4.5 Gaining
Gaining atau penguatan amplitudo merupakan proses pengubahan sinyal. Pada saat
akuisisi, sinyal radar yang dihasilkan mengalami atenuasi seiring bertambahnya kedalaman.
Maka untuk menghilangkannya dilakukan penguatan kembali amplitude yang hilang
sehingga seolah-olah di setiap titik energinya sama. Proses ini dilakukan menggunakan
manual gain (y) dimana hasil dari proses ini yaitu memberikan penguatan sinyal terhadap
sinyal-sinyal yang dianggap terlalu lemah.

Gambar 3.4.16 Hasil AGC Gain Lintasan 1


Gambar 3.4.17 Hasil Manual Gaining (y) Lintasan 2

Gambar 3.4.18 Hasil Manual Gaining (y) Lintasan 3

Pada Gambar 3.4.16 merupakan gain yang dihasilkan dengan menggunakan AGC Gain.
Penggunaan AGC Gain untuk lintasan 1 disebabkan oleh tidak berpengaruhnya radargram
apabila digunakan tipe manual gaining (y). Selain itu juga radargram untuk lintasan 1 dengan
manual gaining (y) menunjukkan hasil yang tidak akurat dengan banyaknya sinyal yang
hilang pada bagian tengah profil. Dengan menggunakan AGC Gain, didapatkan radargram
dengan sinyal yang lebih jelas sebagai hasil dari penguatan sinyal terhadap sinyal-sinyal yang
dianggap terlalu lemah. Sedangkan untuk Gambar 3.4.17 dan Gambar 3.4.18 yang
merupakan hasil gaining dengan tipe manual gaining (y), didapatkan juga radargram dengan
sinyal yang jelas sebagai hasil dari penguatan sinyal terhadap sinyal-sinyal yang dianggap
terlalu lemah.
3.4.6 Migration
Metode ini digunakan untuk memindahkan data GPR ke posisi yang benar secara
horizontal maupun vertikal. Ketidakpastian posisi ini disebabkan oleh efek difraksi yang
terjadi ketika gelombang elektromagnetik mengenai ujung atau puncak suatu diskontinuitas
akibat berbedaan struktur geologi seperti sesar atau lipatan (Elfarabi, 2017). Pada pengolahan
ini digunakan fk migration (stolt).

Gambar 3.4.19 Hasil Migration Lintasan 1


Gambar 3.4.20 Hasil Migration Lintasan 2

Gambar 3.4.21 Hasil Migration Lintasan 3

Pada Gambar 3.4.19 hingga Gambar 3.4.21 merupakan hasil setelah melakukan tahapan
migration. Hasil yang didapat dari ketiga gambar diatas tidak terlalu signifikan. Namun pada
tahapan migration ini, data-data GPR sudah dikembalikan ke posisi sebenarnya baik secara
vertikal maupun horizontal dan efek difraksi sudah dihapuskan dengan menggunakan nilai
velocity sesuai dengan litologi daerah pengukuran. Pada pengolahan ini, digunakan nilai
velocity dari dry sand yaitu sebesar 0.15 m/s.
3.4.7 FK Filter
Filter ini digunakan untuk menghilangkan noise koheren berupa ground-roll, gelombang
langsung dan gelombang bias yang secara umum merupakan refleksi pertama dalam data ini.
Filtering ini berfungsi untuk membatasi area yang akan di filter, dimana amplitudo spektrum
F-K yang terpilih akan memperlihatkan profil asli (Sandmeier, 2012). Filter ini bertujuan
untuk menghilangkan noise koheren, atau noise yang muncul secara teratur dari trace ke
trace (random noise). (Kafi, 2016)

Gambar 3.4.22 Hasil FK Filter Lintasan 1


Gambar 3.4.23 Hasil FK Filter Lintasan 2

Gambar 3.4.24 Hasil FK Filter Lintasan 3

Pada Gambar 3.4.22 hingga Gambar 3.4.24 merupakan hasil dari FK Filter dari ketiga
lintasan. Dari hasil yang didapatkan terlihat bahwa FK Filter memiliki pengaruh dalam
smoothing sinyal pada radargram. Hasil smoothing data pada radargram ditunjukkan pada
kotak biru pada ketiga gambar diatas. Sinyal hasil pada kotak biru tampak lebih smooth (tidak
lagi terputus-putus) dibandingkan dengan sinyal pada hasil sebelum dilakukan FK Filter. Dari
hasil FK Filter didapatkan radargram yang smooth.
3.4.8 Picking Batas Lapisan
Picking dilakukan untuk menentukan batas-batas lapisan yang terekam pada radargram.
Penentuan batas-batas lapisan litologi berdasarkan pada perbedaan wiggle pada radargram.
Apabila terdapat wiggle yang besar setelah lapisan pertama, menunjukkan adanya refleksi
sinyal elektromagnetik yang menyentuh batas lapisan kedua dan seterusnya. Pada pengolahan
ini dilakukan picking terhadap dua lapisan. Hal ini meninjau pada penetrasi GPR yang
dangkal sehingga hanya memungkinkan merekam kurang lebih 3 lapisan litologi.

Gambar 3.4.25 Hasil Picking Lintasan 1


Gambar 3.4.26 Hasil Picking Lintasan 2

Gambar 3.4.27 Hasil Picking Lintasan 3

Pada Gambar 3.4.25 hingga Gambar 3.4.27 merupakan hasil picking dari ketiga lintasan.
Dari hasil yang didapatkan terlihat bahwa picking lapisan pertama untuk lintasan 1 dimulai
dari 9.5 hingga 30 ms. Sedangkan untuk lapisan kedua berada pada rentang waktu 30 – 50
ms. Untuk lapisan pertama lintasan 2 dimulai dari 3 hingga 34 ms. Sedangkan untuk lapisan
kedua berada pada rentang waktu 30 – 50 ms. Untuk lapisan pertama lintasan 3 dimulai dari 2
hingga 32 ms. Sedangkan untuk lapisan kedua berada pada rentang waktu 30 – 50 ms.
3.4.9 Time to Depth Conversion
Metode ini merupakan proses konversi data GPR dari domain waktu menjadi domain
kedalaman. Konversi domain waktu pada trace menjadi kedalaman memudahkan interpretasi
karena kesesuaiannya dan dapat dikorelasi dengan data sumur. Tahap ini merupakan proses
mengonversikan data GPR dari domain waktu (time) ke domain kedalaman (depth)
berdasarkan parameter yang telah diberikan.
Gambar 3.4.28 Hasil Time to Depth Conversion

Pada Gambar 3.4.26 (atas) terlihat bahwa radargram yang dihasilkan setelah melakukan
picking, masih dalam satuan waktu (ms). Sedangkan untuk Gambar 3.4.26 (bawah) yang
merupakan hasil dari konversi time to depth, radargram sudah dalam satuan kedalaman (m).
Radargram dengan satuan kedalaman akan memudahkan interpretasi dan akan didapatkan
hasil interpretasi yang akurat. Colorbar pada Gambar 3.4.26 yang menyatakan nilai vp,
berikutnya akan digunakan pada hasil konversi time to depth disetiap lintasan. Masing-
masing dari hasil konversi Time to Depth untuk setiap lintasan dan variasi velocity disajikan
pada sub bab dibawah ini.
3.4.9.1 Time to Depth Lintasan 1

Gambar 3.4.29 Hasil Time-Depth Conversion Lintasan 1 (Variasi Velocity: 120 mm/ns dan 150 mm/ns)

Gambar 3.4.30 Hasil Time-Depth Conversion Lintasan 1 (Variasi Velocity: 60 mm/ns dan 106 mm/ns)

Gambar 3.4.31 Hasil Time-Depth Conversion Lintasan 1 (Variasi Velocity: 150 mm/ns dan 90 mm/ns)

Gambar 3.4.29 hingga Gambar 3.4.31 menunjukkan ketiga hasil time to depth
conversion terhadap lintasan 1. Diketahui bahwa untuk lintasan 1, dilakukan beberapa variasi
velocity untuk mengetahui pengaruh pemilihan velocity terhadap kedalaman pada data GPR.
Dari hasil analisis radargram pada ketiga gambar diatas yang merupakan hasil dari lintasan 1,
didapatkan bahwa untuk penetrasi kedalaman dari velocity 120 mm/ns dan 150 mm/ns
(Model Awal) memiliki akurasi mencapai 3 meter. Sedangkan untuk velocity 60 mm/ns dan
106 mm/ns (Kondisi Wet) didapatkan akurasi kedalaman yang terekam mencapai 2.5 meter.
Dan untuk velocity 150 mm/ns dan 90 mm/ns didapatkan akurasi kedalaman yang terekam
mencapai 2.1 meter.
3.4.9.2 Time to Depth Lintasan 2

Gambar 3.4.32 Hasil Time-Depth Conversion Lintasan 2 (Variasi Velocity: 120 mm/ns dan 150 mm/ns)

Gambar 3.4.33 Hasil Time-Depth Conversion Lintasan 2 (Variasi Velocity: 60 mm/ns dan 106 mm/ns)

Gambar 3.4.34 Hasil Time-Depth Conversion Lintasan 2 (Variasi Velocity: 150 mm/ns dan 90 mm/ns)

Gambar 3.4.32 hingga Gambar 3.4.34 menunjukkan ketiga hasil time to depth
conversion terhadap lintasan 2. Diketahui bahwa untuk lintasan 2, dilakukan beberapa variasi
velocity untuk mengetahui pengaruh pemilihan velocity terhadap kedalaman pada data GPR.
Dari hasil analisis radargram pada ketiga gambar diatas yang merupakan hasil dari lintasan 2,
didapatkan bahwa untuk penetrasi kedalaman dari velocity 120 mm/ns dan 150 mm/ns
(Model Awal) memiliki akurasi mencapai 3.6 meter. Sedangkan untuk velocity 60 mm/ns dan
106 mm/ns (Kondisi Wet) didapatkan akurasi kedalaman yang terekam mencapai 2.4 meter.
Dan untuk velocity 150 mm/ns dan 90 mm/ns didapatkan akurasi kedalaman yang terekam
mencapai 2.1 meter.
3.4.9.2 Time to Depth Lintasan 3
Gambar 3.4.35 Hasil Time-Depth Conversion Lintasan 3 (Variasi Velocity: 120 mm/ns dan 150 mm/ns)

Gambar 3.4.36 Hasil Time-Depth Conversion Lintasan 3 (Variasi Velocity: 60 mm/ns dan 106 mm/ns)

Gambar 3.4.37 Hasil Time-Depth Conversion Lintasan 3 (Variasi Velocity: 150 mm/ns dan 90 mm/ns)

Gambar 3.4.35 hingga Gambar 3.4.37 menunjukkan ketiga hasil time to depth
conversion terhadap lintasan 3. Diketahui bahwa untuk lintasan 3, dilakukan juga beberapa
variasi velocity untuk mengetahui pengaruh pemilihan velocity terhadap kedalaman pada data
GPR. Dari hasil analisis radargram pada ketiga gambar diatas yang merupakan hasil dari
lintasan 3, didapatkan bahwa untuk penetrasi kedalaman dari velocity 120 mm/ns dan 150
mm/ns (Model Awal) memiliki akurasi mencapai 3 meter. Sedangkan untuk velocity 60
mm/ns dan 106 mm/ns (Kondisi Wet) didapatkan akurasi kedalaman yang terekam mencapai
2.5 meter. Dan untuk velocity 150 mm/ns dan 90 mm/ns didapatkan akurasi kedalaman yang
terekam mencapai 2.2 meter.
3.7 Penelitian Serupa
DAFTAR PUSTAKA

Alan E. Musset, M. Aftab Khan . (1999). Looking Into The Earth. New York: New York pp
227-230.
Annan, A.P. (2003), Ground Penetrating Radar Principles, Procedures &
Applications, Mississauga, Canada.
Ayi Syaeful Bahri, Firman Syaifuddin dan Juan Pandu G. N., R. (2015), Delineation of
Buried Old Tram Tracks of Surabaya City with Ground Penetrating Radar Technology,
http://doi.org/10.13140/RG.2.1.4923.8164
Conyers, L.B. (2016), Ground-penetrating radar for geoarchaeology, John Wiley & Sons
Inc, Hoboken, NJ.
Conyers, L.B. dan Leckebusch, J. (2010), "Geophysical Archaeology Research Agendas for
the Future: Some Ground-Penetrating Radar Examples", Archaeological Prospection

Daniel, D. (1996). High Resolution Radar Detection of Buried Anti-Personnel Mines for
Humanitarian Clearing Operations. Proceedings of The 6th International Symposium
on Measurement and Control in Robotics. Brussel: pp. 542-551.
Dojack, L. (2012), Ground Penetrating Radar Theory, Data Collection, 3Processing, and
Interpretation: A Guide for Archaeologists.
Elfarabi. Widodo, A. dan Syaifuddin,F. (2017), Pengolahan data Ground Penetrating Radar
(GPR) dengan menggunakan software MATGPR R-3.5. Jurnal Teknik ITS Vol. 6, No.
1, (2017) ISSN: 2337-3539
Goodman, D. dan Piro, S. (2013), GPR Remote Sensing in Archaeology, Springer
Berlin Heidelberg, Berlin, Heidelberg. http://doi.org/10.1007/978-3-642-31857-3
Harry M. (2009). Ground Penetrating Radar Theory and Applications. Elsevier

Husaini, Izeddin Ahmad. 2021. Analisis Lingkungan Pengendapan Situs Kumitir Dengan
Metode Measured Stratigraphy. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
KAFI, M. S. (2016). ANALISA KONDISI BAWAH PERMUKAAN TANGGUL LUMPUR
SIDOARJO MENGGUNAKAN METODE GROUND PENETRATING RADAR (GPR)
PADA TITIK P76-77, P78-79, P79-83 (Doctoral dissertation, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember).
Persico, R. (2014), Introduction to ground penetrating radar: inverse scattering
and data processing, Wiley, IEEE Press, Hoboken, New Jersey.

Pryambodo, D.G. dan Troa, R.A. (2016), "Aplikasi Metode Geolistrik untuk Identifikasi
Situs
Arkeologi di Pulau Laut, Natuna", KALPATARU, Vol.25, No.1.
Reynolds, John. (1997), An Introduction To Applied and Environmental Gephysics. John
Wiley & Sons

Sandmeier KJ. (2012). REFLEXW Version 7.0 Windows™ 9x/NT/2000/XP/7-program for the
processing of seismic, acoustic or electromagnetic reflection and transmission data.
Sandmeier, Karl Josef. 2021. Reflexw: GPR and Seismic Processing Software. Sandmeier
Geophysical Research 2021.
Tzanis, Andreas.(2016). MATGPR 3.5: A Brief Introduction. Department Of Geophysics
University of Athens

Van Overmeeren. 1997. Ground penetrating radar for determining volumetric soil water
content; results of comparative measurements at two test sites. Geological Society,
London, Engineering Geology Special Publications, 12, 63-73.
Widiantoro, Satriaji Wahyu. 2021. Pemodelan Bawah Permukaan Situs Kumitir Dengan
Metode Geolistrik Wenner. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Widodo, A. dkk. (2019). Data Acquisition of 2D Geophysical Resistivity Methods with
Dipole-Dipole Configuration for Identification the Subsurface Brick Stone Sites of
Kadipaten Terung Sidoarjo. IOP Conf. Series: Materials Science and Engineering 546
(2019) 022034.

Anda mungkin juga menyukai