PTUN
PTUN
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang bertugas memeriksa atau mengadili atau
memutus sengketa tata usaha negara antara orang perorangan atau badan perdata dengan
pejabat atau badan tata usaha negara. Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Yang
dimaksud “rakyat pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun
orang asing dan badan hukum perdata yang mencari keadilan pada Paradilan Tata Usaha
Negara.
Tujuan tersebut diatas, kemudian ditampung dalam penjelasan umum angka ke-1 UU no. 5
Th 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara (untuk selanjutnya digunakan istilah UU
PERATUN). Dengan demikian, fungsi dari Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya adalah
sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara) dengan rakyat (orang atau badan hukum perdata) sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara).
B. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Persidangan Kasus Peradilan tata usaha negara
(dalam Ruang Lingkup Acara PTUN).
Ketentuan normatif mengenai sengketa Tata Usaha Negara di atur dalam Pasal 1 butir 4
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pasal tersebut memberikan batasan pengertian
sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarnya Keputusan TUN, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari batasan pengertian pasal tersebut, maka dalam sengketa tata usaha negara subyek
hukumnya terdiri dari :
1. Pihak Penggugat
Yang dapat menjadi pihak penggugat dalam perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara
adalah setiap subjek hukum, orang maupun badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di Pusat maupun di Daerah (Pasal 53 ayat (1)
UU no. 9 Tahun 2004 jo Pasal 1 angka 4 UU no. 5 tahun 1986). Badan hukum perdata
di sini adalah murni Badan yang menurut pengertian hukum perdata berstatus sebagai
badan hukum. Jadi bukan lembaga hukum publik yang berstatus sebagai badan
hukum, seperti Propinsi, Kabupaten, Departemen, dan sebagainya.Jadi, orang atau
badan hukum perdata tersebut secara hukum sebagai pendukung (pemangku) hak-hak
dan kewajiban, sehingga atas dasar itu mempunyai legal standing untuk
mempertahankan kepentingan yang dirugikan oleh suatu Keputusan TUN dengan cara
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Konsekuensi dari kriteria fungsional adalah pengertian Badan atau Pejabat TUN
menjadi tidak terbatas pada Badan-Badan atau Pejabat-Pejabat di lingkungan
eksekutif yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi siapa saja
asalkan kepadanya diletakkan kewenangan untuk menjalankan fungsi pemerintahan
atau melakukan kegiatan urusan pemerintahan, maka terhadap Keputusan TUN yang
dikeluarkannya pada prinsipnya dapat saja di jadikan obyek sengketa di Peradilan
Tata Usaha Negara, asalkan ada dasar wewenangnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4. Pemberian Kuasa
Apabila di kehendaki, para pihak dapat diwakili atau didampingi oleh seorang kuasa
atau beberapa orang kuasa. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan sebelum atau selama
perkara diperiksa. Pemberian surat kuasa yang dilakukan sebelum perkara diperiksa
harus secara tertulis dengan membuat surat kuasa khusus.
Dengan pemberian surat kuasa ini, si penerima kuasa bisa melakukan tindakan-
tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si
pemberi kuasa. Sedangkan pemberian kuasa yang dilakukan di persidangan bisa
dilakukan secara lisan. Pemberian kuasa bisa dilakukan oleh pihak tergugat ataupun
penggugat. (Pemberian kekuasaan terhadap kedua belah pihak menurut hukum acara
PTUN diatur dalam pasal 57 UU PTUN.
5. Hakim
Pemeriksaan perkara dalam hukum acara PTUN dan hukum acara perdata dilakukan
dengan hakim majelis (tiga orang hakim), yang terdiri atas satu orang bertindak
selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim anggota. Namun dalam
hal-hal tertentu dimungkinkan untuk menempuh prosedur pemeriksaan dengan hakim
tunggal (unus judex). Dalam hukum acara TUN hal ini dapat dilakukan dalam hal
pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 99 ayat 1).
Penetapan tertulis bukan hanya dilihat dari bentuknya saja tetapi lebih ditekankan kepada
isinya, yang berisi
kejelasan tentang:
Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa sebuah memo atau nota pun kalau sudah
memenuhi ketiga kreteria diatas dapat dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN).
Penjelasan obyek Ptun (keputusan) sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai
masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun
yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-
instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi
dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif
maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan
sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peradilan tun.
2. Berisi tindakan Hukum TUN
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah
satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian
selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu
adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau
menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain
untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat
TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk
menimbulkan suatu akibat hukum TUN.
3. Berdasarkan Peraturan perundang-undangan
yang dimaksud adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum, yang
dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik ditingkat pusat
maupun ditingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara , baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah yang juga mengikat secara
umum (Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Jadi
dalam mengeluarkan keputusan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan.
4. Bersifat konkret
diartikan obyek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak, tetapi berwujud,
tertentu atau dapat ditentukan. Misalnya; Keputusan mengenai Pembongkaran rumah
Dewi Setyawati, Ijin Mendirikan Bangunan bagi Komang Sriwati, atau Surat
Keputusan Pemberhentian dengan Hormat Brigadir Rikosebagai Anggota Polri.
Dengan kata lain wujud dari keputusan tersebut dapat dilihat dengan kasat mata.
5. Bersifat individual
diartikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi
kepada pihak tertentu baik alamat maupun yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih
dari satu orang, maka tiap-tiap individu harus dicantumkan namanya dalam keputusan
tersebut.
6. Bersifat final
diartikan keputusan tersebut sudah definitif , keputusan yang tidak lagi memerlukan
persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain, karenanya keputusan ini dapat
menimbulkan akibat hukum.
7. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam
suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu
tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak
dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga
bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis
harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang
telah ada.
Syarat-syarat untuk sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut :
1. Syarat Materiil :
1. Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang ;
2. Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka
pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis ;
3. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan
dasarnya dan pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur) membuat
keputusan itu, bilamana hal ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar
tersebut ;
4. Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.
2. Syarat Formil :
1. Syarat-syarat yang ditentukan yang berhubungan dengan persiapan dibuatnya
keputusan dan yang berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan, harus
dipenuhi ;
2. Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan ;
3. Syarat-syarat yang ditentukan yang berhubungan dengan dilakukannya
keputusan, harus dipenuhi ;
4. Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan
dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati.
Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 menentukan bahwa tidak termasuk
dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini:
Asas hukum yang terdapat di dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
negara adalah:
1. Asas praduga rechtmatig. Asas ini menyatakan setiap tindakan pemerintahan selalu
dianggap rechtmatig atau tidak menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara
yang disengketakan dan harus dijalankan dalam hal keputusan yang sudah dibuat
sampai ada pembatalan oleh pengadilan berwenang.Dengan asas ini, gugatan tidak
menunda pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (pasal 67 ayat (1)
(4) UU PTUN).
2. Asas para pihak harus didengar. Maksudnya para pihak mempunyai kedudukan
yang sama dan harus diperlakukan dan di perhatikan secara adil. Hakim tidak
dibenarkan hanya memperhatikan alat bukti, keterangan atau penjelasan salah satu
pihak saja. (audi et alteram partem).
3. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari
segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun tidak
langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan. (Pasal 24
UUD 1945 jo Pasal 4 UU 14/1970).
4. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Maksudnya
sederhana dalam hukum acara, waktu yang relatif cepat dalam waktu dan murah
dalam biaya ringan.
5. Asas hakim aktif (dominus litis) maksudnya ada rapat permusyawarahan untuk
menentukan gugatan dapat diterima atau tidak yg disertai pertimbangan-
pertimbangan, pemeriksaan persiapan untuk memeriksa kejelasan gugatan, hakim
dapat memeritahkan tergugat memberikan info-info yang dibutuhkan penggugat.
Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim
mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan tidak diterima
atau tidak berdasar yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan (Pasal 62 UU
PTUN) dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat
kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (Pasal 63 UU PTUN).
Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada hakim dalam proses persidangan
guna memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk itu UU PTUN mengarah pada
pembuktian bebas. Bahkan, jika dianggap perlu untuk mengatasi kesulitan penggugat
memperoleh informasi atau data yang diperlukan, maka hakim dapat memerintahkan
badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat itu untuk memberikan informasi atau
data yang diperlukan itu (Pasal 85 UU PTUN).
6. Asas sidang terbuka untuk umum. Maksudnya asas ini membawa konsekuensi
bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbukan untuk umum. (pasal 70 UU PTUN).
7. Asas peradilan berjenjang. Maksudnya Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang
terbawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara (PTTUN), dan puncaknya adalah Mahkamah Agung (MA).
Dengan dianutnya Asas ini, maka kesalahan dalam putusan yang lebih rendah dapat
dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi. Terhadap putusan yang belum
mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum banding kepada
PTTUN dan kasasi ke MA. Sedangkan keputusan yang mempunyai kekuatan Hukum
tetap dapat diajukan upaya permohonan peninjauan kembali kepada MA.
8. Asas Obyektifitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera
wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan
tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang
hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang disebutkan di atas,
atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung atau tidak
langsung dengan sengketanya (Pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).
9. Asas Pembuktian Bebas Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini
berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW. Asas ini dianut Pasal 107 UU 5/1986,
kemudian dibatasi dengan ketentuan pada pasal 100 uu no 5/1986.
10. Asas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan mengikat ( erga omnes ) ,
Sengkata TUN adalah sengketa diranah hukum public, yang tentu akibat hukum yang
timbul dari putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akan
mengikat tidak hanya para pihak yang bersengketa namun berdasarkan asas putusan
tersebut akan mengikat siapa saja.
11. Asas Pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini
menempatkan pengadilan sebagi ultimum remedium. Sengketa Tata Usaha Negara
sedapat mungkin terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui musyawarah
untuk mencapai mufakat bukan secara konfrontatif. Penyelesaian melalui upaya
administratif yang diatur dalam pasal 48 UUPTUN lebih menunjukkan penyelesaian
ke arah itu. Apabila musyawarah tidak mencapai mufakat, maka barulah penyelesaian
melalui PTUN dilakukan.
1. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang
menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk
memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa
(Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah
hukum pengadilan itu.
Untuk Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi relatifnya diatur dalam Pasal 6 UU
No. 5 Tahun 1986 tentang peradilan TUN sebagaimana telah diubah dengan UU No.
9 Tahun 2004 dan UU No 51 Tahun 2009 menyatakan :
1. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota;
2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan
daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Pada saat ini Pengadilan Tata
Usaha Negara di Indonesia baru terdapat di 26 Propinsi dan Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara baru terdapat 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya
dan Makassar sehingga wilayah hukum PTUN meliputi beberapa kabupaten
dan kota. Sedangkan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi beberapa provinsi,
seperti PTUN Jakarta yang meliputi wilayah kota yang ada di Daerah khusus
ibu kota Jakarta Raya sedangkan PT.TUN Jakarta meliputi beberapa Propinsi
yang ada di pulau Kalimantan, Jawa Barat dan DKI.
Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1
angka 9 UU No. 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final
sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari
rumusan pasal tersebut, persyaratan keputusan TUN yang dapat menjadi obyek di
Pengadilan TUN meliputi :
1. Penetapan tertulis dan dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
2. Berisi tindakan hukum TUN dan Berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
3. Bersifat Konkrit,Individual dam Final dan juga menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Ketiga persyaratan tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat dijadikan obyek sengketa
di Peradilan TUN, keputusan TUN harus memenuhi ketiga persyaratan tersebut.
Selain itu kompetensi Peradilan TUN termasuk pula ketentuan yang terdapat dalam ketentuan
pasal 3 UU Peratun, yaitu dalam hal Badan/Pejabat TUN tidak mengeluarkan suatu
keputusan yang dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu merupakan kewajibannya. Dalam
praktek keputusan-keputusan badan/Pejabat TUN yang berpontesi menimbulkan sengketa
TUN, yaitu antara lain :
1. Upaya Administratif
Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, menentukan bahwa:
1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh
atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha
Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya
administratif yang bersangkutan telah digunakan.
Dari uraian pasal tersebut maka dapat dipahami bahwa ada dua pilihan yang
dapat dilakukan apabila terjadi sengketa Tata Usaha Negara, yaitu:
1. Pihak Penggugat wajib atau harus menempuh upaya administratif
terlebih dahulu jika Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan KTUN yang disengketakan tersebut diberikan
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara.
2. Pihak Penggugat dapat langsung menempuh upaya peradilan jika
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN
yang disengketakan tersebut tidak diberikan wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan
secara administratif sengketa Tata Usaha Negara.
2. Proses berpekara di Peradilan TUN pada intinya melalui tahap-tahap sebagai
berikut :
1. 1. Pemeriksaan Pendahuluan
1. 1. Pemeriksaan administrasi di Kepaniteraan
Penelitian Administrasi dilakukan oleh Kepaniteraan, merupakan tahap
pertama untuk memeriksa gugatan yang masuk dan telah didaftar serta
mendapat nomor register yaitu setelah Penggugat/kuasanya
menyelesaikan administrasinya dengan membayar uang panjar perkara.
UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tidak menentukan
secara tegas pengaturan tentang penelitian segi administrasi terhadap
gugatan yang telah masuk dan didaftarkan dalam register perkara di
Pengadilan, akan tetapi dari ketentuan Pasal 62 ayat (1) huruf b UU
No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 yang antara lain
menyatakan, “Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 56 tidak terpenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah
diberitahukan dan diperingatkan”Dalam Surat Edaran MA No.2/1991
tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam UU No. 5
Tahun1986 diatur mengenai Penelitian Administrasi :
1. Petugas yang berwenang untuk melakukan penelitian
administrasi adalah Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda
Perkara sesuai pembagian tugas yang diberikan.
2. Pada setiap surat gugatan yang masuk haruslah segera dibubuhi
stempel dan tanggal pada sudut kiri atas halaman pertama yang
menunjuk mengenai :
1. Diterimanya surat gugatan yang bersangkutan.
2. Setelah segala persyaratan dipenuhi dilakukan
pendaftaran nomor perkaranya setelah membayar panjar
biaya perkara.
3. Perbaikan formal surat gugatan (jika memang ada).
4. Surat gugatan tidak perlu dibubuhi materai tempel, karena hal
tersebut tidak disyaratkan oleh UU.
5. Nomor Register perkara di PTTUN harus dipisahkan antara
perkara tingkat banding dan perkara yang diajukan ke PTTUN
sebagai instansi tingkat pertama (vide Pasal 51 ayat 3 UU No. 5
Tahun1986).
6. Di dalam kepala surat, alamat kantor PTUN atau PTTUN harus
ditulis secara lengkap termasuk kode posnya walaupun
mungkin kotanya berbeda.Misalnya: Pengadilan Tata Usaha
Negara Surabaya Jalan … No… di Sidoarjo Kode Pos ……
Tentang hal ini harus disesuaikan dengan penyebutan yang
telah ditentukan dalam UU No. 19 Tahun1960, Keppres No. 52
tahun 1990.
7. a. Identitas Penggugat harus dicantumkan secara lengkap dalam
surat gugatan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 56 UU
No. 5 Tahun1986.
b. Untuk memudahkan penanganan kasus-kasus dan demi
keseragaman model surat gugatan harus disebutkan terlebih
dahulu nama dari pihak Penggugat pribadi (in person) dan baru
disebutkan nama kuasa yang mendampingi, sehingga dalam
register perkara akan tampak jelas siapa pihak-pihak yang
berperkara senyatanya.
c. Penelitian administratisi supaya dilakukan secara formal
tentang bentuk dan isi gugatan sesuai Pasal 56 dan tidak
menyangkut segi materiil gugatan. Namun dalam tahap ini
Panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya dan
dapat meminta kepada pihak untuk memperbaiki yang
dianggap perlu. Sekalipun demikian, Panitera tidak berhak
menolak pendaftaran perkara tersebut dengan dalih apapun juga
yang berkaitan dengan materi gugatan.
8. Pendaftaran perkara di tingkat pertama dan banding
dimasukkan dalam register setelah yang bersangkutan
membayar uang muka atau panjar biaya perkara yang ditaksir
oleh panitera sesuai Pasal 59 sekurang-kurangnya sebesar Rp
50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Dalam perkara yang
diajukan melalui pos, panitera harus memberi tahu tentang
pembayaran uang muka kepada penggugat dengan diberi waktu
paling lama 6 (enam) bulan bagi Penggugat itu untuk
memenuhi dan kemudian diterima di Kepaniteraan Pengadilan,
terhitung sejak dikirimkannya surat pemberitahuan tersebut dan
uang muka biaya perkara belum diterima di Kepaniteraan,
maka perkara Penggugat tidak akan didaftar. Walaupun
gugatan yang dikirim melalui pos selama masih belum dipenuhi
pembayaran uang muka biaya perkara dianggap sebagai surat
biasa, akan tetapi kalau sudah jelas merupakan surat gugatan,
maka harus tetap disimpan di Kepaniteraan Muda Bidang
Perkara dan harus dicatat dalam Buku Bantu Register dengan
mendasar pada tanggal diterimanya gugatan tersebut, agar
dengan demikian ketentuan tenggang waktu dalam Pasal 55
tidak terlampaui.
9. Dalam hal Penggugat bertempat tinggal jauh dari PTUN
dimana ia akan mendaftarkan gugatannya, maka tentang
pembayaran uang muka biaya perkara dapat ditempuh dengan
cara.
10. Panjar biaya perkara dapat dibayarkan melalui PTUN mana
gugatan diajukan yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
Ongkos kirim ditanggung penggugat di luar panjar biaya
perkara.
11. Panjar biaya perkara dikirim langsung kepada PTUN dimana ia
mendaftarkan gugatannya.
12. a. Dalam hal suatu pihak didampingi kuasa, maka bentuk Surat
Kuasa Khusus dengan materai secukupnya, dan Surat Kuasa
Khusus yang diberi cap jempol haruslah dikuatkan
(waarmerking) oleh pejabat yang berwenang.
b. Surat Kuasa Khusus bagi pengacara/advokat tidak perlu
dilegalisir.
c. Dalam pemberian kuasa dibolehkan adanya substitusi tetapi
dimungkinkan pula adanya kuasa insidentil.
d. Surat kuasa tidak perlu didaftarkan di Kepaniteraan PTUN.
2. Untuk memudahkan pemeriksaan perkara selanjutnya maka setelah suatu
perkara didaftarkan dalam register dan memperoleh nomor perkara, oleh staf
kepaniteraan dibuatkan resume gugatan terlebih dahulu sebelum diajukan
kepada Ketua Pengadilan, dengan bentuk formal yang isinya pada pokoknya
sebagai berikut :
3. Siapa subyek gugatan, dan apakah penggugat maju sendiri ataukah diwakili
oleh Kuasa.
4. Apa yang menjadi obyek gugatan, dan apakah obyek gugatan tersebut
termasuk dalam pengertian Keputusan TUN yang memenuhi unsur Pasal 1
angka 3 UU No. 5 Tahun 1986.
5. Apakah yang menjadi alasan-alasan gugatan, dan apakah alasan tersebut
memenuhi unsur Pasal 53 ayat 2 huruf a, b, dan c UU No. 5 Tahun 1986.
(Setelah keluarnya UU No. 9 Tahun 2004 alasan gugatan mendasarkan pada
Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b UU No. 9 Tahn 2004).
6. Apakah yang menjadi petitum atau isi gugatan, yaitu hanya pembatalan
Keputusan TUN saja, ataukah ditambah pula dengan tuntutan ganti rugi
dan/atau rehabilitasi.
Untuk penelitian syarat-syarat formal gugatan, Panitera atau staf Kepaniteraan dapat
memberikan catatan atas gugatan tersebut, untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan
untuk ditindaklanjuti dengan Prosedur Dismissal.
Penetapan Ketua Pengadilan tentang dismissal proses yang berisi gugatan penggugat tidak
diterima atau tidak berdasar, diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari
persidangan ditentukan terlebih dahulu memanggil kedua belah pihak untuk didengar
keterangannya.Berdasarkan Surat MA.RI No.222/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993
Perihal:Juklak bahwa agar ketua pengadilan tidak terlalu mudah menggunakan Pasal 62
tersebut kecuali mengenai Pasal 62 ayat 1 huruf :
Sedangkan penetapan dismissal harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum:
Pemeriksaan persiapan dapat pula dilakukan oleh hakim anggota yang ditunjuk oleh
ketua majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh ketua majelis.
Maksud Pasal 63 ayat (2) b tidak terbatas hanya kepada Badan/Pejabat TUN yang
digugat, tetapi boleh juga terhadap siapa saja yang bersangkutan dengan data-data
yang diperlukan untuk mematangkan perkara itu. Dalam pemeriksaan persiapan
sesuai dengan ketentuan Pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986 dan Surat Edaran (SEMA
No. 2 Tahun1991) serta Juklak MARI (Juklak MARI No.052/Td.TUN/III/1992
tanggal 24 Maret 1992), (Surat MARI No. 223/Td.TUN/ X/ 1993 tanggal 14-10-1993
tentang Juklak), (Surat MARI No. 224 /Td.TUN/X/1993 tanggal 14-10-1993 tentang
Juklak). Majelis Hakim berwenang untuk :
1. Wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan
melengkapi dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari.
2. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat TUN yang
bersangkutan, demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu.
Wewenang Hakim ini untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang
sebagai Penggugat dalam mendapatkan informasi atau data yang diperlukan
dari Badan atau Pejabat TUN mengingat bahwa penggugat dan Badan atau
Pejabat TUN kedudukannya tidak sama. Dapat pula melakukan acara
mendengarkan keterangan-keterangan dari Pejabat TUN lainnya atau
mendengarkan keterangan siapa saja yang dipandang perlu oleh hakim serta
mengumpulkan surat-surat yang dianggap perlu oleh hakim.
Dalam kenyataan Keputusan TUN yang hendak disengketakan itu mungkin tidak ada
dalam tangan penggugat. Dalam hal keputusan itu ada padanya, maka untuk
kepentingan pembuktian ia seharusnya melampirkannya pada gugatan yang ia ajukan.
Tetapi apabila penggugat yang tidak memiliki Keputusan TUN yang bersangkutan
tentu tidak mungkin melampirkan pada gugatan terhadap keputusan yang hendak
disengketakan itu. Untuk itu, Hakim dapat meminta kepada Badan/Pejabat TUN yang
bersangkutan untuk mengirimkan kepada Pengadilan Keputusan TUN yang sedang
disengketakan itu. Dengan kata “sedapat mungkin” tersebut ditampung semua
kemungkinan, termasuk apabila tidak ada keputusan yang dikeluarkan menurut
ketentuan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986.
Pemeriksaan persiapan terutama dilakukan untuk menerima bukti-bukti dan surat-
surat yang berkaitan. Dalam hal adanya tanggapan dari Tergugat, tidak dapat diartikan
sebagai replik dan duplik. Bahwa untuk itu harus dibuat berita acara pemeriksaan
persiapan.
Mencabut “Penetapan Ketua PTUN tentang penundaan pelaksanaan Keputusan TUN”
apabila ternyata tidak diperlukan. •
Dalam tahap pemeriksaan persiapan juga dapat dilakukan pemeriksaan setempat.
Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan setempat tidak selalu harus
dilaksanakan lengkap, cukup oleh salah seorang anggota yang khusus ditugaskan
untuk melakukan pemeriksaan setempat. Penugasan tersebut dituangkan dalam bentuk
penetapan.Kalau gugatan dari Penggugat dinilai oleh Hakim sudah sempurna maka
tidak perlu diadakan perbaikan gugatan. •
Majelis Hakim juga harus menyarankan kepada penggugat untuk memperbaiki petitum
gugatan yang sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 53 tentang petitum gugatan dan dalam
Pasal 97 ayat 7 tentang putusan pengadilan, maka untuk keseragaman bunyi amar putusan
adalah sebagai berikut :
Selanjutnya diikuti amar berupa mewajibkan atau memerintahkan Tergugat untuk mencabut
Keputusan TUN yang disengketakan. Untuk itu didalam praktek masih adanya putusan yang
sifatnya deklaratoir(Menyatakan batal atau tidak sah saja) , tidak diikuti amar selanjutnya
berupa :
Dalam pemeriksaan perkara dengan acara cepat tidak ada pemeriksaan persiapan. Setelah
ditunjuk Hakim tunggal, langsung para pihak dipanggil untuk persidangan.
Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta aslinya. Tindasan,
foto copy, dan salinan akta yang aslinya masih ada, hanya dapat dipercaya apabila tindasan,
foto copy dan salinan itu sesuai dengan aslinya. Dalam hubungan ini, hakim dapat
memerintahkan kepada para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan,
tetapi apabila lawan mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan, foto copy, dan
salinan akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli.
1. 2. Keterangan ahli
Di dalam UU No.5/1986 pasal 102, dijelaskan bahwa : keterangan ahli adalah
pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang
ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau
salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat menunjuk
seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan baik dengan surat
maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran
sepanjang pengetahuan dan pengalamannya (pasal 103 UPTUN).
1. 3 . Keterangan saksi
Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengan dan
ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.Setiap orang
pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh
pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi saksi. Ada beberapa saksi yang
dilarang atau tidak diperbolehkan di dengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana
di atur dalam pasal 88 UPTUN sebagai berikut :
1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garus keturunan lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa
2. Istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai
3. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun
4. Orang sakit ingatan.
Ada beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula
mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 89 UPTUN), yaitu :
1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah
satu pihak
2. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya
diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal
itu.
Adakalanya, orang yang dijadikan saksi itu tidak mengerti bahasa Indonesia, hakim dapat
menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah dan sebelum melaksanakan
tugasnya ia harus di sumpah terlebih dahulu. Dan apabila seorang saksi dalam keadaan bisu-
tuli dan tidak dapat menulis, maka demi kepentingan pemeriksaan, hakim menunjuk seorang
yang sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai juru bahasa.
Sebelum melaksanakan tugasnya, ia wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama
dan kepecayaannya. Sedangkan apabila yang di panggil sebagai saksi adalah pejabat TUN,
maka pejabat tersebut tidak boleh mewakilkan kepada orang lain, ia wajib datang sendiri di
persidangan. Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan saksi
dengan keterangan ahli. Perbedaan itu diantaranya, adalah :
1. Keterangan saksi
1. Seorang (beberapa) saksi di panggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan
keterangan tentang hal-hal yang ia lihat, di dengar, atau dialami sendiri
2. Keterangan saksi harus lisan, bila tertulis maka jadi alat bukti tertulis
3. Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain kecuali sama-sama
melihat, mendengar dan menyaksikan peritiwa itu.
2. Keterangan ahli
1. Seorang (beberapa) saksi ahli dipanggil kemuka pengadilan untuk
mengemukakan keterangan berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa
2. Keterangan saksi atau ahli bisa secara lisan ataupun tertulis
3. Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang lain yang sesuai
dengan keahliannya.
1. 4. Pengakuan para pihak
“Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara,
dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa
yang dikemukakan oleh pihak lawan”.Menurut pasal 105 UU No.5/1986, pengakuan
para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan
dapat diterima oleh hakim. Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh
pihak yang bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus,
untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang
memberikan pengakuan itu.
Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar,
kendatipun belum tentu benar. Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai
pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan
yang diberikan diluar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya
hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya
menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja. Terserah kepada hakim untuk
menerima atau tidak menerimanya.
1. 5. Pengetahuan hakim
Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.
Melihat pada pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai apa
yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan. Misalnya :
sikap, perilaku, emosional dan tindakan para pihak dalam memutus perkara. Tetapi
pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak
dapat dijadikan bukti dalam memutus perkara.
Jika terdapat perbedaan antara putusan yang diucapkan dengan putusan yang
dituangkan dalam bentuk tertulis, maka yang sah adalah putusan yang diucapkan
(Sudikno Mertokusumo, 1988: 168). Hal ini juga sesuai dengan Pasal 20 UU Nomor 4
Tahun 2004 yang menyatakan bahwa semua putusan Pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
fagagashdahuwjhn
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Andi, (2017, Oktober 18), Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Senior Kampus, Diakses pada 12 Oktober 2020 melalui
https://seniorkampus.blogspot.com/2017/11/05-hukum-acara-peradilan-
tata-usaha.html